Jaka Sembung 8 - Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung(3)

Beberapa saat kemudian Parmin sudah berada di sebuah lembah untuk menemui seseorang, yaitu Sundata. Saat itu sang surya telah mulai membuat bayangan-bayangan memanjang. Parmin mendekati sebuah batu untuk duduk di situ.

“Tempat inilah yang telah ia janjikan untuk pertemuan!” gumam Parmin pada dirinya.

Ia lalu duduk di atas sebuah batu. Baru saja ia duduk, tiba-tiba orang yang ditunggu sudah tampak berlari-lari menghampirinya.

“Perintah pertama sudah aku laksanakan. Aku berhasil mengumpulkan sembilan orang pendekar! Kami menunggu perintah anda selanjutnya, Jaka Sembung!” ujar Sundata memberi laporan.

“Perintahkan kepada sembilan pendekar itu supaya melamar pada orang-orang kaya di desa Kalimanggis ini untuk menjadi tukang-tukang pukul!”

“Siap! Akan kami laksanakan!” jawab Sundata cepat, kemudian berlalu meninggalkan Parmin untuk memberitahukan pendekar lainnya

“Selamat berjuang! Tuhan selalu di pihak yang benar!” ujar Parmin yakin.

Jaka Sembung lalu melanjutkan langkahnya. Ia tidak lagi berjalan seorang diri karena di temani oleh sahabat barunya yang setia, yaitu si Beo yang sangat cerdik itu.

“Kau kelihatan gelisah saja, Beo?” tanya Parmin melihat si Beo menggerak-gerakkan kepalanya.

Parmin terus melangkah, namun panca indera mengatakan ada sesuatu yang tidak beres di sekitarnya. Betul saja dugaannya, beberapa batang anak panah melesat dari busurnya mengarah ke tubuh Parmin.

“Hiiaatt…....!” seru Parmin sambil bersalto di udara mengindari serangan gelap itu. Selamatlah jiwanya untuk sementara waktu. Namun baru saja kakinya menyentuh tanah, beberapa batang anak panah kembali meluncur ke arahnya.

Parmin kembali harus bersalto ke udara sambil memutarkan tongkatnya untuk menangis. Beberapa batang anak panah patah dua terkena sabetan tongkat Parmin, dan sebagian lolos di antara kedua kaki dan tangannya.

Serangan anak panah yang bertubi-tubi itu tiba-tiba berhenti. Parmin lalu mendaratkan kakinya di antara anak panah yang menancap di tanah dengan sikap waspada. Tak lama kemudian Parmin mendengar suara derap kaki kuda yang bergemuruh dengan debu-debu yang berterbangan menuju ke arahnya.

Suara gemuruh itu kian dekat ke arah Jaka Sembung yang menanti dengan penuh kewaspadaan. Teriakan-teriakan penunggang kuda yang ramai itu menjadi hiruk pikuk. Para penunggang kuda dengan senjata-senjata tombak dan pedang panjang, serta tali tambang telah siap menyergap Parmin.

“Heeaaattt.......” teriak Parmin sambil berguling di tanah menghindari babatan pedang serta tombak yang menghujaninya.

Kini Parmin telah terkepung. Para penyerangnya dengan memacu kuda mereka mengitari Jaka Sembung sehingga debu-debu memenuhi arena pertarungan dan membuat pandangan mata Parmin menjadi terhalang.

Beberapa buah senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil mengarah ke tubuh Parmin.

“Heeeeaattt.......” seru Jaka Sembung keras sambil memutar tongkatnya dan berguling-guling.

Empat buah pisau menempel di tongkatnya. Dengan cepat ia hentakkan tongkatnya dan pisau-pisau itu melayang kembali mengarah kepada pemiliknya.

Seketika terdengarlah jeritan panjang diiringi suara berdebamnya tubuh salah seorang dari penyerang itu dengan pisau menancap di lehernya. Namun pada detik selanjutnya sebuah tali tambang besar telah melilit tangan Jaka Sembung.

Parmin berusaha untuk melepas lilitan itu, tetapi dua buah tambang kembali melilit tangannya dan tubuh Parmin lalu di seret oleh para penunggang kuda itu.

“Ha.......ha.......ha.......ha! Tikus Gunung Sembung ini sudah tidak berdaya lagi!” teriak salah seorang dari mereka gembira diikuti tawa yang lainnya.

“Tarik terus sampai besot-besot! Kita bikin dendeng abon! Yaaah! Yach!” teriak yang lainnya sambil menarik tambangnya berputar-putar kian kemari.

Tubuh Parmin terus diseret-seret, pakaiannya telah koyak-koyak terkena batu-batu kerikil yang ada di lembah itu dan tubuhnya pun telah lecet-lecet. Di sebuah pohon yang rindang di balik bukit, terlihat si Kaki Tunggal sedang makan sambil melepaskan lelah.

Tiba-tiba suapan nasinya terhenti ketika telinganya mendengar suara yang meminta pertolongan.

“Toloooong! Tooloong!”

“Apa iya Jaka Sembung cengeng begitu, baru kena diseret kuda saja sudah teriak-teriak minta tolong!”

“Pendekar Gunung Sembung dalam bahaya!” suara itu keras terdengar olehnya.

“Hah! Itu burung Beo Jaka Sembung! Aku harus segera menolongnya!” gumam si Kaki Tunggal menghentikan makannya begitu melihat Beo menghampiri dirinya.

Tanpa pikir panjang lagi, bagaikan orang disengat lebah, si Kaki Tunggal melesat dari tempat duduknya. Tubuhnya berkelebat mengikuti si Beo yang terbang rendah sebagai petunjuk jalan.

“Cepat sedikit, kawan!” teriak si Beo memberi peringatan.

Sementara itu Parmin masih berkutat dengan siksaan para penunggang kuda yang menyeret tubuhnya. Tanpa mereka ketahui tiba-tiba sebuah kilatan cahaya putih telah menerobos arena pertarungan.

“Sret!” Putuslah tali pengikat tangan Parmin, si Kaki Tunggal dengan mata mencorong telah berdiri di hadapan para penunggang kuda itu.

“Heh! Kurang ajar! Siapa kau?!”

“Kepung kawan-kawan! jangan sampai kunyuk buntung ini lolos!” bentak salah seorang yang menyeret Parmin, setelah melihat ada orang yang menolong Jaka Sembung. Kini mereka berdua telah dikepung oleh para penunggang kuda itu.

“Heh! Bebel siah!” bentak si Kaki Tunggal mencaci-maki penyerangnya, karena tudung si Kaki Tunggal telah tertembus oleh sebuah tombak yang nyaris menghantam batok kepalanya.

Dengan cepat ia jatuhkan dirinya ke belakang sambil melemparkan senjatanya. “Mampus siah!” teriaknya dan seketika itu terdengar jeritan tertahan.

Si penyerang itu mati dengan dada tertembus.

Si Kaki Tunggal masih berguling-guling pada saat tiga buah cahaya dari senjata rahasia mengarah kepadanya.

Nyawa si Kaki Tunggal terancam, untung Parmin melihatnya, dan dengan gerakan cepat Parmin menyentil pisau-pisau itu hingga arahnya meleset ke samping tubuh si Kaki Tunggal. Maka luputlah bahaya yang mengancam jiwanya.

“Awas pisau, kawan!” teriak Parmin sambil bergerak mendekati si Kaki Tunggal.

“Terima kasih Jaka Sembung! Beginilah susahnya punya sebelah kaki, gerakan selalu lamban!” ujar si Kaki Tunggal sambil tangannya melemparkan kembali pisau-pisau itu mengarah leher lawannya.

Seketika itu juga tiga orang penunggang kuda itu jatuh dari pelananya dan mati dengan pisau menancap di leher.

Para penunggang kuda yang tinggal beberapa orang itu segera menyerang si Kaki Tunggal dan Parmin yang masih bergulingan di tanah dengan senjata-senjata mereka. Namun kembali si Kaki Tunggal dan Parmin membuat gerakan manis dengan menangkap pisau-pisau itu dengan jari tangan mereka dan mengembalikannya kepada sang pemilik dengan cepat.

Tepat mengarah leher mereka, sehingga tubuh mereka jatuh berdebam ke tanah dengan nyawa melayang. Darah membasahi bekas luka itu.

Kini tinggal Parmin dan si Kaki Tunggal berdiri di antara para penunggang kuda yang tergeletak tak bernyawa lagi dan kuda-kuda mereka telah berlarian entah kemana.

“Semoga anda tak terluka, pendekar Gunung Sembung! Rupanya kita enteng jodoh, sehingga dalam satu hari ini kita bisa bertemu dua kali,” ujar si Kaki Tunggal sambil berdiri dan menghampiri Parmin yang masih duduk di tanah.

“Terima kasih, pendekar!” ujar Parmin sambil menepis bajunya yang penuh debu.

“Burung Beo itulah sebetulnya yang menolong anda. Nah, baiklah kita berpisah dulu. Syukurlah jika anda baik-baik saja. Selamat malam, Jaka Sembung!” ujar si Kaki Tunggal sambil mengambil tudungnya yang bolong tertembus sebuah tombak dan berlalu dari hadapan Parmin.

“Kuharap kita bisa berjumpa lagi, pendekar!” ucap Parmin.

***

Hari telah berganti lagi. Siang itu matahari terik menyinari desa Kalimanggis. Dari tengah sawah terdengar teriakan-teriakan seseorang yang sedang menghalau burung-burung yang coba-coba mematuk padi yang mulai menguning.

“Huraaaaaaaaaaaaaaa.......!! Hup! Hup! Huuraaaaaiii.......! Haayooooooo.......!!!”

Suara itu keras sekali terdengar menggema, dibarengi hentakan-hentakan tangan pada tali-tali yang tergerak dengan bunyi-bunyian tempurung yang di isi batu-batu kecil sehingga membuat burung-burung tidak jadi memakan padi dan terbang menjauh.

Orang itu tak lain adalah Umang. Ia kini telah menjadi buruh pada seorang petani kaya di desa Kalimanggis.

Kerjanya tiap hari adalah menghalau burung-burung di sawah. Keringatnya telah membasahi baju serta wajahnya. Sekali-sekali ia menyeka keringat di wajahnya dengan tangannya yang buntung.

“Huraaaaaaaa.......! Huuraaaaaaa!!” teriak Umang dengan penuh semangat.

“Seandainya tanganku lengkap, aku lebih baik kerja lainnya. Aku jemu setiap hari menghalau burung!” gumam Umang menyesali dirinya.

Di saat itu sepasang mata lain mengawasinya dari arah belakang. Orang itu tak lain adalah Mirah yang terus berusaha mendekati Umang.

“Itulah Umang! Aku akan coba-coba berkawan dengannya. Tampaknya ia lebih bisa didekati dari pada si Tirta, kawannya itu!” gumam Mirah di dalam hatinya.

“Saudara Umang!” Sapa Mirah pelan sambil menguak batang padi yang sedang menguning di hadapannya agar tak menghalangi tubuhnya.

“Heh....... siapa kau? Apa maksudmu datang kemari? Oh....... andakah yang pernah mengintip kami?!” Kata Umang terkejut sambil menoleh padanya penuh selidik.

“Betul! Tetapi aku tidak punya niat jahat. Aku ingin bersahabat dengan anda berdua. Aku pun hendak menuntut balas terhadap Lalawa Hideung!” Jawab Mirah membela diri.

Umang tidak berkata sepatah pun ketika mendengar keterangan Mirah yang ingin membalas dendam pada gerombolan laknat itu.

“Percayalah! Aku bukan seorang mata-mata gerombolan Lalawa Hideung. Ijinkanlah aku menemani anda bercakap-cakap!” Ujar Mirah meyakinkan Umang agar menerima dirinya sebagai kawan.

“Heh! Berdua dalam gubuk di tengah sawah yang sepi begini? Apakah anda tak berperasangka buruk terhadapku?” tanya Umang dengan senyum penuh arti.

“Aku percaya bahwa anda seorang laki-laki yang menjunjung tinggi nilai kesucian seorang wanita!” jawab Mirah pelan penuh harapan.

“Terima kasih! Kemarilah, dan silakan duduk!” kata Umang sambil menggeser tubuhnya ke kiri untuk memberi Mirah duduk di sampingnya.

Kemudian Mirah menghampiri Umang dan duduk di sebelahnya. Mata mereka bertemu pandang sejenak dan untuk beberapa saat telah menimbulkan getaran-getaran di dada masing-masing. Mirah memulai bercerita tentang dirinya serta keluarganya.

“Dua tahun yang lalu, desa kami dirampok oleh gerombolan Lalawa Hideung. Kekasihku serta keluargaku mati terbunuh. Juga rumah kami di bakar habis,” ucap Mirah sedih mengenang peristiwa itu dan tanpa terasa air matanya menetes di pipinya.

“Semua orang bernasib sama karena kekejian Lalawa Hideung! Aku sudah banyak mendengar cerita duka seperti ini! Aku hanya bisa turut berduka cita atas nasibmu. Hm, Siapa namamu, dik?!” tanya Umang lembut dan membayangkan kejadian yang menimpa dirinya serta keluarga sendiri.

“Mirah!” jawab gadis tersebut sambil mengusap air matanya dengan jari-jari tangannya yang halus.

Mereka berdua terlibat pembicaraan mengenai diri masing-masing dengan serius. Sementara itu, tanpa mereka sadari, sesosok tubuh dengan kain membungkus kepalanya hingga tak terlihat sehelai rambut pun menghampiri mereka dari belakang.

“Huh! Kurang ajar betul ayam hutan itu!” gumamnya penuh rasa geram.

Sosok tubuh yang tak lain adalah Tirta itu terus mendekati mereka dengan perlahan-lahan. Tiba-tiba tangannya bergerak.

“Heeeaaatttt.......” teriak Tirta keras dengan sorot mata tajam.

Melesatlah tiga buah senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil mengarah ke punggung Mirah yang sedang asyik berbicara dengan Umang.

“Haaiiii........tt!” teriak Mirah sambil melesat ke atas menjebol atap gubuk itu dan bersalto di udara. Pisau-pisau itu menancap di atas tempat duduk Mirah yang telah kosong.

Umang sangat terperanjat dengan serangan yang datang secara tiba-tiba itu. Detik-detik selanjutnya Mirah yang masih berada di udara terus dihujani dengan serangan pisau-pisau kecil, sehingga Mirah terpaksa jungkir balik menghindarinya.

“Kau harus mampus, awewe jurig!!!” Bentak Tirta keras sambil melempar pisau-pisaunya ke arah titik-titik kematian pada tubuh Mirah.

“Tirta, tunggu!! Hentikan Tirta!!” teriak Umang sambil melompat dari tempat duduknya dan mengejar Tirta yang masih terus memburu Mirah.

“Tirta, tunggu! Gadis itu bukan musuh kita! Dia kawan kita, Tirta!”

“Aku lebih tahu tampang seorang cecunguk!!” bantah Tirta tanpa menghiraukan perkataan Umang. Ia malah menghunus goloknya yang lalu diayunkan ke arah Mirah yang terus menghindar tanpa memberi perlawanan.

“Tirta, hentikan kataku! Kau terlalu mengumbar napsu!!” Sergah Umang sambil memegang tangan Tirta.

“Jangan ikut campur! Ini adalah urusanku!!” bentak Tirta sambil meronta melepaskan pegangan tangan Umang. Dengan gerakan gesit ia kembali menyerang Mirah yang berusaha melompat menghindari serangan itu.

Akhirnya dengan susah payah Umang berhasil menyergap tubuh Tirta dan mendekapnya erat-erat.

“Lepaskan aku, Umang!” teriak Tirta keras sambil berusaha meronta dan melepaskan diri dari pelukkan Umang.

“Ah?! Umang tersentak kaget seraya melepaskan dekapan tangannya, dan mundur dua langkah dengan sorot mata mengandung sebuah pertanyaan.

Ketika Umang mendekap tubuh kawannya itu, ia merasakan tangannya menyentuh sesuatu yang lembut di balik baju Tirta.

Seketika itu Tirta berontak dan kemudian tertunduk malu. Wajahnya seketika bersemu merah.

“Kau selalu saja menghalang-halangiku! Seharusnya aku sudah dapat mengirim perempuan itu ke neraka. Suatu saat kita sendiri dapat terbunuh karena tindakanmu!” Ujar Tirta dengan wajah cemberut karena kesal dan malu atas kejadian yang baru saja berlangsung sambil meraba dadanya seakan-akan bekas tangan Umang masih terasa dan membuat bulu-bulu tubuhnya berdiri meremang.

“Tetapi kepada musuh wanita, kita tidak boleh bertindak secara membabi buta!” bentak Umang mengharap pertimbangan.

“Musuh wanita lebih berbahaya dari pada musuh laki-laki! Karena menganggap wanita lemah dan remeh, kita akan menjadi lengah dan sedikit saja salah langkah, kita akan terbunuh olehnya!” Jawab Tirta dengan nada penuh emosi dan rasa benci terhadap wanita.

“Tapi aku yakin ia bukan musuh kita!” Ujar Umang kembali dengan nada ditekan.

“Itulah kebodohanmu, Umang! Laki-laki semacam kau akan bisa dengan mudah kena perangkap dengan umpan wanita-wanita cantik!” sambung Tirta dengan nada kesal.

“Tetapi aku tidak melihat kebohongan pada sinar matanya!” bantah Umang membela diri sambil meyakinkan teman seperjalannya itu yang masih ragu-ragu.

Perdebatan mereka segera terhenti. Tirta bergegas meninggalkan Umang menuju lumbung tua. Umang mengikutinya dari belakang, sesampai di dalam lumbung tua tempat tinggal sementara bagi mereka, perdebatan pun dilanjutkan kembali.

Tirta dengan wajah yang masih cemberut, duduk bersandar pada sebuah balok dengan kaki di lipat, sedangkan Umang merebahkan diri di atas alang-alang kering dengan tangan sebagai alas kepala.

“Kita sama-sama lelaki, Umang!” ujar Tirta dengan nada sumbang sambil tangannya berusaha menutup kancing leher bajunya.

“Justru karena kita laki-laki, maka naluri kita bisa menangkap denyut kebohongan dalam dada setiap wanita!” jawab Umang cepat sambil duduk dan memandang wajah Tirta dalam-dalam.

“Kusesalkan seandainya kau bisa jatuh cinta pada musuh!” sergah Tirta dengan nada cemburu dan berusaha membuang muka menghindari tatapan Umang.

Matahari pun bergulir kearah barat dan senja telah datang. Binatang-binatang malam telah keluar dari sarangnya mencari makan. Malam itu udara di luar terasa dingin membuat orang-orang tertidur dengan nyenyaknya.

Di dalam lumbung tua terlihat Tirta dan Umang sudah terbaring dengan posisi bertolak belakang. Umang dengan posisi terlentang sedangkan Tirta dengan posisi terlungkup. Di dalam tidurnya malam itu, Umang agak gelisah. Ada sesuatu yang aneh di rasakan entah mimpi entah bukan.

Dalam perasaannya ada seseorang yang membelai tubuhnya dengan begitu lembut. Pakaiannya terasa di buka satu persatu oleh tangan-tangan halus lalu bibirnya dipagut oleh bibir yang tipis yang mengeluarkan bau harum dari mulutnya.

Tubuhnya bergulingan bersama tubuh lain dengan napas memburu dan pada saat puncaknya, tubuh Umang menegang untuk kemudian lemas.

Tatkala Umang terbangun tengah malam itu tubuhnya terasa agak lemah seperti dilolosi dan ia menoleh kepada Tirta yang tidur lena dengan bibir tersenyum bahagia. Sungguh aneh!

Sang surya telah memancarkan sinar emasnya menerangi alam raya ini, Umang meninggalkan Tirta yang masih tertidur. Ia kemudian membersihkan tubuhnya di air pegunungan yang tak jauh dari tempat mereka tinggal.

Air pegunungan di pagi itu membuat tubuh Umang terasa lebih segar dari biasanya, Umang terus merendam tubuhnya dengan pikiran yang masih dipenuhi dengan teka-teki.

“Tirta, tapi, ah....... Tak mungkin!” gumam Umang membayangkan kejadian yang dialami semalam.

Ketika Umang kembali ke lumbung tua itu, Tirta sudah tidak ada di tempatnya dan ia hanya melihat sudah ada hidangan yang tersedia disana.

“Tirta, ke mana Tirta? Biasanya ia memberi tahu aku kemana dia pergi! Hmm, apakah yang di tinggalkan itu? Makanan untukku? Telur ayam setengah matang! Tentu ini disediakan untukku!” gumam Umang pada dirinya sendiri setelah sia-sia mencari Tirta di tempat itu.

Umang mengambil telur dan di makannya sebelum menyantap makanan lainnya yang lengkap sebagai sarapan pagi penuh dengan gizi.

***

Pada malam hari di suatu tempat yang tak seorang pun tahu, telah berkumpul gerombolan Lalawa Hideung dengan berpakaian serba hitam komplit dengan cadar menutupi mukanya dan kepala terbungkus kain warna hitam pula.

Dalam ruangan yang hanya di terangi sebuah pelita yang tergantung pada sebuah balok melintang, duduk orang-orang Lalawa Hideung membentuk lingkaran mengelilingi meja perundingan dengan sang ketua duduk paling ujung menghadapi orang-orangnya yang dengan penuh perhatian mendengarkan pemimpinnya berbicara.

“Kalian harus waspada! Kini desa Kalimanggis terpagar kuat oleh para pendekar yang hendak menuntut balas kepada kita!” Ujar sang ketua dengan suara lantang dan berwibawa. Semua anak buahnya mendengarkan dengan serius. Kemudian sang ketua melanjutkan pembicaraannya.

“Penjagaan mereka tersusun rapi karena siasat pendekar Gunung Sembung! Seperti kalian tahu, kalian telah dua kali gagal membunuh pendekar dari daerah utara itu! Ini berarti Lalawa Hideung mendapat tantangan yang cukup berat!

“Minggu depan sudah mulai panen, kita harus bersiap-siap menyusun siasat dan kekuatan kita! Lalawa Hideung harus tetap jaya!

“Telah bertahun-tahun Lalawa Hideung merajai daerah lereng selatan gunung Ciremai ini! Lalawa Hideung adalah momok sepanjang jaman! Ha..ha.. ha..ha!!” seru sang ketua berapi-api dan bersemangat, dengan ketawa yang keras sekali membuat berdiri bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya.

“Hidup sang ketua! Hidup Lalawa Hideung!!” teriak mereka serempak seperti ada yang memberi komando.

Setelah mendengar sang ketua berbicara, kemudian mereka menyusun rencana untuk malam ini. Hari telah larut malam, tetapi mata Umang tak mau mengantuk, lalu membuat api unggun di depan lumbung tua itu menantikan Tirta yang tak kunjung datang.

Umang kemudian duduk di bawah pohon tak jauh dari api unggun itu sambil termenung. “Sudah hampir tiga bulan aku menetap di desa Kalimanggis ini, belum pernah seorang Lalawa Hideung pun yang kutemui! Apakah pengembaraanku akan sia-sia!” gumam Umang pada dirinya sendiri.

Pikiran menerawang seakan-akan menembus kegelapan malam. Tiba-tiba indera keenamnya bereaksi mengatakan ada sesuatu disekitarnya. Maka ia segera menoleh ke belakang.

“Heh, siapa itu?” Sapa Umang melihat sesosok bayangan tubuh menghampiri dirinya.

Setelah orang itu dekat Umang kembali memalingkan wajahnya menghadapi api unggun, karena orang yang baru datang itu tak lain adalah Mirah.

“Maafkanlah, lagi-lagi aku mengganggu anda, Umang!” katanya dengan lembut dan segera duduk di sebelah Umang.

“Oh....... tidak! Aku justru sedang butuh kawan!” balas Umang sambil menambah kayu bakar supaya api unggun tidak mati.

“Anda sedang sendirian? Kemana teman anda Tirta? Apakah ia sengaja memasang perangkap untukku?!” tanya Mirah menyelidik kalau-kalau Tirta ada di sekitarnya.

“Tidak! Sejak pagi tadi ia belum pulang. Jika ia bermaksud membunuhmu, aku pasti akan turun tangan!” jawab Umang dengan pandangan mata penuh arti.

“Hmm, anda berdua mulai bertengkar karena aku? Maafkanlah segala tindakanku!” ujar Mirah dengan bibir tersenyum sebagai balasan atas tatapan mata pemuda tampan bertangan satu itu.

“Ah....... tak mengapa! Memang sebagai kawan, Tirta terlalu berlebihan terhadapku sehingga kadang-kadang aku merasa diperlakukan seperti anak kecil yang harus menuruti apa yang ia katakan!”

“Itu tandanya ia mempunyai sikap yang akrab terhadap kawan sependeritaan,” komentar Mirah dengan nada agak menyindir.

“Suatu saat, ia kadang-kadang berlaku manja seperti anak kecil dan justru aku merasa tersiksa oleh kemanjaannya. Dia terlampau halus, mudah tersinggung tetapi sebaliknya ia suka mau tahu dalam segala hal! Ia marah sekali ketika aku menghalang-halanginya untuk membunuhmu,” Ujar Umang menceritakan perilaku Tirta.

“Tirta sangat mencurigaiku, tetapi aku sanggup membuktikan dengan apa saja sampai anda berdua percaya kepadaku!” Katanya dengan nada meyakinkan lawan bicaranya itu.

Tiba-tiba percakapan mereka terhenti, ketika sebuah benda panjang berdesing dengan deras ke arah mereka.

“Awas, Umang!!” teriak Mirah sambil bersalto ke belakang diikuti oleh Umang. Kiranya sebuah tombak telah tertancap tepat di tempat duduk Mirah yang telah kosong.

Belum sempat Mirah dan Umang membetulkan posisi mereka, kembali senjata-senjata gelap melayang mengancam nyawa mereka. Mau tak mau, mereka harus bersalto menghindar.

Mirah dengan cekatan sekali membuat gerakan-gerakan indah di udara sambil menangkis senjata-senjata rahasia tersebut dengan pedangnya. Sejenak serangan itu terhenti.

Mirah dan Umang yang kini sudah memasang kuda-kuda dengan punggung mereka menempel satu dengan yang lainnya, menanti dengan penuh kewaspadaan. Beberapa saat kemudian sosok-sosok tubuh berlompatan dengan ringannya mengepung mereka dengan senjata-senjata tajam terhunus.

“Lalawa Hideung!!” bentak Umang sambil menyilangkan goloknya didepan dada setelah melihat orang-orang yang mengepungnya itu berpakaian serba hitam dengan cadar yang menutupi muka serta ikat kepala berwarna hitam pula.

Teriakan-teriakan mereka memecahkan suasana yang sepi menjadi hiruk-pikuk disertai dentingan-dentingan suara senjata tajam yang beradu menimbulkan percikan bunga-bunga api.

Di tengah-tengah berkecamuknya pertempuran itu, muncullah sesosok bayangan lain dengan gerakan yang cepat.

“Hiiyaaaaaaa........tt! Mampus kalian semua!” bentaknya dengan suara melengking sambil menyabetkan goloknya ke arah gerombolan Lalawa Hideung yang mengepung Mirah dan Umang.

“Tirta!!” seru Umang dan Mirah hampir bersamaan.

Mereka bertiga kini menghadapi Lalawa Hideung dengan sabetan-sabetan dan serangan-serangan yang mematikan.

Namun bagaikan kelelawar-kelelawar, tubuh-tubuh berpakaian hitam itu melompat kesana-kemari memusingkan pandangan mata, kemudian menempel pada dahan-dahan pohon dengan sangat mengagumkan. Telapak-telapak kaki mereka melekat erat pada dahan-dahan itu seakan-akan memiliki daya perekat, meninggalkan musuhnya di bawah sana yang menjadi kebingungan.

“Ha.......ha.......ha.......ha! Kalian kira kemampuan kalian akan mampu menandingi Lalawa Hideung?” Ujar salah seorang dari mereka dengan nada mengejek.

“Turun kalian! Kami tidak takut!!” bentak mereka hampir bersamaan dengan rasa penasaran.

Kemudian orang-orang di atas pohon itu membuat gerakan menukik seperti seekor kelelawar menyambar seekor serangga, dengan golok-golok terhunus mengarah kepada mereka yang berada dibawah. Namun Mirah dan Umang serta Tirta menangkiskan golok mereka masing-masing sehingga para penyerangnya kembali melesat ke atas dengan manisnya dan menempel ketat di pohon.

Mereka menjadi terkejut melihat komplotan itu kembali dengan cepatnya setelah beradu dengan senjata-senjata mereka. Rupanya kelompok Lalawa Hideung itu membuat senjata musuhnya sebagai pantulan. Belum hilang rasa terkejut mereka, tiba-tiba kelompok Lalawa Hideung kembali menyerang dengan bersalto berkali-kali dengan sebuah jaring besar ditebarkan mengarah kepada mereka.

“Awas! Umang, jaring!!” teriak Mirah memperingati Umang.

Namun terlambat Umang meronta, namun sia-sia jaring itu demikian kuatnya. Secepat kilat jaring itu terangkat dengan tubuh Umang di dalamnya terperangkap tak berdaya.

“Kepung! Jangan sampai lolos awewe itu!” Ujar seseorang dari mereka yang segera menyerang Mirah dengan membabi buta, membuat gadis itu kewalahan.

“Wah....... celaka! Umang tertangkap,” gumam Mirah khawatir melihat keadaan pemuda yang dalam waktu singkat ini telah merebut hatinya.

“Jumlah mereka terlalu banyak untukku! He, kemana gerangan Tirta? Aku tak melihatnya? Apakah ia tertangkap? Percuma melawan mereka sendirian! Aku harus segera lari. Di sini banyak sekali pohon-pohon yang sangat menguntungkan mereka,” gumam Mirah kecut setelah melihat situasi yang tidak menguntungkan dirinya.

Sambil menangkis dan bersalto menjauhi mereka, ia segera lari dengan mempergunakan ilmu larinya seperti seekor kijang lari menyelusup ke dalam semak-semak belukar. Mirah berlari dan berlari tak tentu arah menjauhkan diri dari komplotan itu.

“He....... mereka berhenti mengejar?” pikirnya setelah mengetahui dirinya tidak dikejar lagi oleh gerombolan Lalawa Hideung.

“Hh........., hh........, napasku hampir putus! Oh, Umang! Dia tertangkap! Umang, Umang....... tidaak! aku sudah sebatang kara di dunia ini, aku tak mau kehilangan lagi!” desah Mirah sambil menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon kelapa.

“Aku berjanji akan menolongmu, akan kuselamatkan! Aku akan mencarimu, Umang! Oh, Tuhan! Tuhan! Lindungilah dia! Aku tak mau lagi kehilangan seseorang yang kucintai!” pekik Mirah dengan tangis terisak dan air mata membasahi kedua pipinya, dengan deras.

Kemudian ia menyabetkan pedangnya kian kemari melampiaskan rasa kesal dalam hatinya, membuat daun-daun yang terkena pedangnya menjadi terpotong berhamburan.

“Dengan saksi bintang-bintang di langit, angin yang bertiup, aku bersumpah! Akan kutumpas setan-setan keji itu yang telah merampas hidupku, cintaku!!” teriaknya keras mengacungkan pedangnya ke atas.

***

Saat itu di tempat lain, ada sebuah gubuk reot terlihat Umang terikat pada sebuah tiang dengan dijaga ketat oleh gerombolan Lalawa Hideung.

“Mengapa kalian tak segera membunuhku?!” bentak Umang marah dengan mata melotot.

“Ketua kami memerintahkan untuk menawan anda hidup-hidup!” Jawab salah seorang yang dipercaya oleh sang ketua.

“Aku tahu! Lalawa Hideung adalah iblis keji! Kalian akan membunuhku secara perlahan-lahan!” Sergah Umang dengan mata melotot.

“Kami tidak tahu! Kami hanya patuh kepada perintah Pimpinan! Untuk apa anda harus ditangkap hidup-hidup! Kami tak tahu! Kami hanya menunggu perintah selanjutnya!” jawab orang kepercayaan sang ketua itu selanjutnya.

Waktu pun berlalu dengan cepatnya, tak terasa musim panen telah datang. Huma dan sawah telah dituai, lumbung-lumbung telah penuh terisi. Semua orang bergembira, tetapi kegembiraan itu di barengi pula dengan rasa cemas dan waswas karena harta benda milik mereka jelas terancam.

Tidak seorang pun di antara penghuni rumah-rumah itu merasa tenteram setiap malam datang. Setiap laki-laki muda ditugaskan berjaga-jaga sampai pagi.

Pada suatu malam dengan sinar bulan yang enggan menampakkan diri, di pinggiran desa Kalimanggis tampaklah sesosok bayangan berdiri di kegelapan malam. Sosok tubuh itu tak lain Parmin, si Pendekar Gunung Sembung yang menempatkan diri di batas sebelah Barat.

Di atas desa sebelah Timur sesosok tubuh dengan topi tudungnya yang tak lain adalah si Kaki Tunggal, selalu mengintai bagaikan seekor Serigala.

Sementara itu untuk pertahanan dalam desa, tersebar sepuluh pendekar dari segala pelosok. Mereka siap siaga setiap detik dengan senjata-senjata di tangan.

Begitulah suasana desa Kalimanggis setiap malam, tetapi penjagaan yang ketat itu belum bisa menghibur hati orang-orang kaya. Mereka tetap merasa tak tenteram dan ini terjadi pada minggu pertama sesudah panen. Pada malam itu terlihat di bangunan besar milik orang kaya yang badannya gemuk serta perutnya gendut.

“Sudahlah pak! Kenapa sih, belum tidur-tidur juga?” tanya istrinya sambil membelai dada suaminya manja.

“Hatiku merasa dag-dig-dug! Di mana kau simpan barang-barang berharga kita, bu?” jawab sang suami dengan nada waswas.

“Dalam peti besi buatan kumpeni, pasti aman! Lagi pula kita telah menyewa tukang-tukang pukul jago berkelahi itu kan pak?” Ujar istrinya dengan maksud menenangkan suaminya.

“Aku tak percaya dengan kekuatan mereka, bu! Lalawa Hideung bisa menyelusup seperti jurig!” Sanggah suaminya penuh khawatir. Memang tanpa mereka sadari, dari atas genteng terlihat sesosok bayangan hitam telah berada di atas kamar mereka dan tiba-tiba.

“Betul apa yang kalian katakan! Lalawa Hideung bisa berada di mana-mana seperti malaikat pencabut nyawa!” bentaknya mengancam dengan golok terhunus dan telapak kakinya menempel di hamparan atap kamar suami istri tersebut. Rupanya ia masuk melalui lubang langit-langit kamar setelah membongkar gentengnya.

“Hah........!!!” sentak suami-istri itu dengan wajah ketakutan yang tak terhingga, lalu mereka berpelukan dengan tubuh menggigil dan mandi keringat dingin.

“Hayo....... cepat serahkan peti harta kalian kepadaku! Cepat kataku!!” bentaknya keras sambil meloncat turun dan segera menempelkan goloknya di leher si gendut yang semakin ketakutan.

“Am....... am…. ampun! Ja........ jang....... an bunuh aku!” ratapnya dengan nada terputus-putus menahan ketakutan sampai tak terasa celananya telah basah akibat kencingnya sendiri.

Tetapi di luar dugaan, kemunculan anggota Lalawa Hideung itu tertangkap oleh sepasang mata burung Beo teman Parmin yang bertengger pada sebuah lemari yang berukir dalam kamar tersebut.

“Kami hanya punya harta, padi kami belum terjual!” jawab si Gendut coba mengelak sambil mendekap bantal guling untuk menutupi celananya yang basah.

“Heh, kau coba-coba membohong, babi!! Kalian kira Lalawa Hideung tuli!! Ini....... agaknya kau lebih menghendaki aku mengupas kulit kepalamu!!” bentaknya sambil menggoreskan goloknya di atas jidat si gendut....... Darah pun segera keluar dari luka itu membasahi mukanya.

“Am....... am........ pun, tu....... an!” rintihan si gendut sambil mengusap darah di wajahnya dan menunjukkan di mana tempat hartanya disimpan.

Melihat itu, si burung Beo segera terbang menerobos kisi-kisi jendela sambil berteriak-teriak memberi peringatan kepada para pendekar.

“Toolooong! Lalawa Hideung! Tooo....... looong! Lalawa Hideung datang! Siaaa....... ppp!!” teriak Beo sambil berputar-putar mengelilingi desa Kalimanggis itu dengan cepat.

Beberapa saat kemudian rumah saudagar kaya itu telah dikepung oleh para pemuda desa itu dengan senjata lengkap terhunus.

“Ciiiiaaaa........ttt!!” teriak mereka keras sambil mendobrak pintu. Maka seketika keluarlah sesosok bayangan dengan cepatnya.

Para pemuda desa Kalimanggis segera mengepung orang tersebut dengan tombak serta golok dan senjata lainnya secara serempak. Namun orang yang berpakaian serba hitam itu dengan manis, bersalto ke udara dan menempel pada sebuah pohon dengan tangan menggondol peti harta. Ia segera meninggalkan musuh jauh di bawah sana dengan pandangan mata kebingungan.

Detik berikutnya dengan tiada terduga-duga terjadilah hujan pisau dari atas pohon-pohon melanda pemuda-pemuda Kalimanggis itu.

Dengan leher tertancap pisau-pisau rahasia, mereka mati seketika. Disusul kemudian dari atas pohon, turunlah berpuluh-puluh anggota Lalawa Hideung! Dalam sekejap saja terjadilah pertempuran sengit. Suara-suara teriakan keras memecah suasana malam di iringi dengan suara dentingan senjata-senjata yang saling beradu. Api telah berkobar di mana-mana diiringi jerit tangis kepanikan para wanita dan anak-anak yang ketakutan.

Sudah banyak pemuda-pemuda Kalimanggis gugur bergelimpangan dengan luka mengerikan. Namun di lain sudut, sepuluh pendekar mengamuk bagaikan banteng ketaton dengan sabetan-sabetan golok yang menimbulkan cahaya putih menyambar tubuh musuhnya yang berteriak tertahan terkena sabetan itu lalu mati seketika.

Terlihat pula Parmin melompat ke sana ke mari dengan gesitnya. Dengan tongkat besi berani di tangan kanannya serta golok pendek di tangan kiri menyambar-nyambar tubuh anggota Lalawa Hideung. Setiap tubuhnya berkelebat, tumbanglah beberapa orang Lalawa Hideung dengan jeritan tertahan.

Di lain sudut terlihat pula si Kaki Tunggal membabatkan pisau tongkatnya kesana kemari dengan ganas. Setiap kali tongkatnya bergerak, dua tiga orang musuhnya yang berpakaian serba hitam itu mati dengan leher hampir putus.

Pertempuran itu lebih ramai lagi dengan munculnya Mirah yang begitu gesit, seakan-akan tubuhnya sedang menari-nari dengan pedangnya. Gulungan cahaya putih dari pedang Mirah menyambar-nyambar kian kemari dan mendarat tepat di tubuh para anggota Lalawa Hideung diiringi jeritan-jeritan kesakitan dan ambruk seketika dengan nyawa melayang.

Para pendekar yang kini berjumlah tigabelas orang itu berjuang mati-matian dan berusaha memancing Lalawa Hideung ke tempat terbuka dan gundul dengan maksud melumpuhkan gerak Lalawa Hideung dan menjauhi kobaran api yang semakin besar.

Di tengah-tengah kemelut itu, Mirah melihat sesosok tubuh berkelebat keluar dari kancah pertempuran menuju ke suatu tempat dengan tergesa-gesa.

“Heh, itu seperti Tirta! Lari kemana dia? Mengapa ia meninggalkan pertempuran? Baiklah kuikuti terus!”

Pikir Mirah sambil berlari mengikuti kemana Tirta berlari dengan hati-hati. “Aku harus segera mendapatkan Umang!” desis Tirta pada dirinya sendiri sambil mempercepat larinya.

“Heh, agaknya ia hendak menuju puncak bukit itu! Ada apa gerangan?” gumam Mirah setelah melihat Tirta mendaki sebuah bukit di luar desa Kalimanggis.

“He, dia menuju sebuah rumah tua!” desah Mirah keheranan sambil mengendap-ngendap dengan pedang selalu siap di tangannya. Di dalam gelap yang pekat itu Tirta memasuki rumah tua itu tanpa menyadari ada orang lain yang mengikutinya. Di dalam rumah tua itulah terlihat Umang terikat di sebuah tiang.

“Umang!” sapa Tirta pelan mendekati Umang.

“Heh, siapa kau? Oh,....... engkau Tirta! Syukurlah kau selamat, kukira engkau tewas malam itu!” kata Umang setelah mengetahui siapa yang datang.

“Aku baik-baik saja, Umang!” ujar Tirta lembut. “Lalawa Hideung telah mengurung ku di sini selama dua Minggu! Mereka memberiku makan seperti anjing! Dari mana kau tahu aku meringkuk di sini? Cepat buka ikatanku! Kita segera lari!” Ujar Umang memelas.

“Jika kau menghendaki lari, aku akan membunuhmu di sini! Kecuali jika kau mau menuruti apa yang ku katakan!” sergah Tirta dengan nada mengancam, membuat Umang terkejut seperti disambar petir.

“Aku tak mengerti apa yang kau maksud? Mengapa kau hendak membunuhku? Apakah kau sudah tak waras Tirta?!” tanya Umang sambil mengerutkan keningnya.

“Ha........ ha....... ha....... ha! Umang! Umang! Berapa tahun engkau telah berkelana untuk balas pati kepada Lalawa Hideung? Ah,....... kasihan betul! Kau tolol! Jika kau hendak membalas dendam kepada Lalawa Hideung berarti kau adalah musuhku!”

“Ha.......ha.......ha.......hi..hi!” bentak Tirta dengan suara keras dan tertawa-tawa mengejek. “Kau tolol! Kau Tolol! Umang! Akulah sebenarnya pemimpin Lalawa Hideung! Kau telah berkawan dengan seekor ular yang setiap saat bisa menelanmu!!!”

Suara Tirta semakin keras memperkenalkan siapa dirinya yang sesungguhnya.

“Ha, apa? Kau pemimpin gerombolan iblis laknat yang terkutuk itu?! Kau, kau....... kaukah itu Tirta?” tanya Umang terkejut mendengar keterangan Tirta dengan mulut menganga dan mata melotot.

“Hi.......hi.......hi.......hi! Telah kau saksikan sendiri betapa lihainya Lalawa Hideung, bukan? Tetapi kau tak usah khawatir aku tidak bermaksud membunuhmu! Kau adalah milikku, oleh karena itu sengaja kau ku tangkap hidup-hidup dan di sembunyikan di sini!

“Malam itu sebenarnya aku sedang bersandiwara dengan berpura-pura membantu kalian melawan Lalawa Hideung! Semua ini atas siasatku! Sayang betina itu bisa lolos dari lubang jarum! Sayang sekali!!!” ujarnya dengan nada sinis dan senyum tersungging penuh arti.

“Iblis keparat kau! Bajingan licik! Terkutuk! Keji!!” bentak Umang memaki Tirta dengan wajah merah menahan dendam.

“Jangan marah Umang. Aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu! Aku sangat mencintaimu, Umang! Marilah kita hidup bersama-sama dengan harta berlimpah-limpah! Lihatlah! Akan kubuka tutup kepalaku! Kau lihat, Umang. Betapa perasaanku kepadamu selama ini!” Ujarnya sambil melepas penutup kepalanya.

“Kau....... kau seorang wanita! Siapakah kau sebenarnya?” sergah Umang heran demi melihat Tirta yang cantik.

“Ya aku seorang wanita. Oleh karena itu aku merasa cemburu terhadap si Mirah! Kini....... marilah sayang....... kita berdua pergi ke tempat yang tenang dan tersembunyi, di mana kita dapat hidup berdua! Kita akan bahagia sebagai suami istri.

“Hartaku takkan habis dimakan tujuh turunan! Harta yang telah bertahun-tahun kukumpulkan! Marilah sayang,......... marilah!”

Suara Tirta lembut dengan sorot mata menantang dan senyuman dan rekah bibir yang manis. Kedua tangan gadis itu terbentang sambil berlenggak-lenggok mendekati Umang.

“Tidaak!! Jangan sentuh aku! Enyaaah kau! Kau pembunuh! Pembunuh ibu-bapakku! Pembunuh kakak perempuanku! Pembunuh dan perampok terkutuk di muka bumi ini! Tidaak! Tiidaaakkk!!” teriak Umang keras sambil memejamkan matanya menahan amarah yang tak terbendung lagi.

“Jangan bersikap tolol, sayang. Selagi ada kesempatan gunakanlah kesempatan ini sebaik-baiknya. Persetan dengan penderitaan orang lain! Marilah sayang, jangan buang-buang waktu.......” ujarnya manja dengan bibir mengecup leher pemuda yang masih terbelenggu tak berdaya itu.

Belum sampai niatnya terlaksana, tiba-tiba tubuh molek itu mengeliat dengan suara tertahan. Tubuhnya mengejang sejenak dengan badan tertembus pedang tepat di jantungnya.

Seketika darah segar menyembur dan membasahi baju Umang di hadapannya.

“Mampus kau kunyuk!” teriak Mirah dari belakang sambil menusukkan pedangnya lebih dalam ke tubuh wanita muda yang selama ini menyamar sebagai seorang pemuda bernama Tirta itu.

“Mirah! Tepat pada waktunya kau datang! Mirah, terima kasih. Tak kusangka,....... Tirta,........ Oh!” tukas Umang gembira

“Umang! Umang,........ kau tak apa-apa, sayang?” ujar Mirah dengan mesra sambil mendekap Umang yang dibalas dengan belaian mesra dari sang pemuda tersebut.

“Semuanya telah berakhir Umang....... Mari kita pergi! Lalawa Hideung akan musnah bersama terbitnya matahari esok!” ujar Mirah sambil melepaskan tali belenggu Umang dan menggandengnya keluar rumah.

Kepalanya disandarkan ke dada Umang. Mereka berlalu dari tempat itu menuruni bukit dengan hati cerah, secerah warna langit di ufuk timur yang mulai Jingga. Ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan menyambut sebuah hari baru.

Hari itu berakhirnya riwayat gerombolan perampok keji dari daerah Pasundan ini. Mereka yang masih hidup mengucapkan syukur, walaupun desa Kalimanggis sudah berubah menjadi puing-puing.

Di sana-sini mayat bergelimpangan. Bau darah yang anyir bercampur baur dengan bau asap yang menyesakkan dada. Parmin termenung memandangi sisa-sisa api dan melihat mayat-mayat yang bergelimpangan.

“Perampokan, pembunuhan, ganas dan kejam! Semua ini selalu terjadi sepanjang zaman di antara manusia di muka bumi. Ya Allah, tunjukkanlah mereka jalan yang benar, jalan yang lurus!!” Ucap Parmin dengan perasaan trenyuh. Kemudian Parmin mengumpulkan para pendekar dan memberi sedikit kata sambutan.

“Saudara-saudara pendekar! Terima kasih atas segala bantuannya. Jika kita bersatu, musuh yang paling dahsyat pun bisa kita lumpuhkan! Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh!

“Kepada yang gugur, marilah kita panjatkan doa kehadirat Illahi, semoga mereka mendapat tempat layak! Satu hal yang patut kita sadari ialah bahwa bangsa kita dalam penderitaan di bawah telapak kaki penjajah!

“Untuk ini marilah kita bersatu lebih kokoh, karena kita menghadapi perjuangan yang jauh lebih besar! Namun kita percaya akan menang jika kita berjuang dengan penuh pengabdian dan berada di jalan Allah!” Ujar Parmin dengan ringkas, tetapi tegas dan didengarkan oleh para pendekar dengan serius.

Setelah mengurus semua jenazah dengan layak, Parmin pun minta diri untuk melanjutkan pengembaraannya.

“Nah, saudara-saudara sekalian, kurasa tibalah masanya kita berpisah dahulu! Tugasku masih banyak, perjalanan ku masih panjang. Kalau Tuhan masih mengijinkan langkahku, aku bermaksud menghubungi pendekar-pendekar di seluruh daerah Pasundan ini!”

Dengan hati berat, para pendekar dan penduduk desa Kalimanggis melepas keberangkatan Parmin. Di antara mereka tak terkecuali sepasang muda-mudi yang sedang kasmaran, Umang dan Mirah, Si Kaki Tunggal yang gagah dan tegar, melambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Sang Pendekar muda dari Utara yang terkenal dengan gelar Jaka Sembung tersebut.

SELESAI

Nantikan judul serial Jaka Sembung selanjutnya yang berjudul: Membabat Kyai Murtad