Jaka Sembung - Bajing Ireng Maling Budiman(1)

Hari telah larut malam. Seluruh penduduk kampung telah tidur dengan lelap. Sinar purnama memancarkan sinarnya yang lembut keperakan. Serangga malam mengisi keheningan malam dengan tembang-tembangnya yang membangkitkan rasa kekaguman manusia terhadap suasana malam.

Suasana syahdu itu dibuyarkan oleh jerit tangis anak kecil dari sebuah pondok yang letaknya terpencil dari pondok-pondok lainnya. Suara tangisan itu terdengar begitu menyayat hati yang mendengarnya.

Pondok itu dihuni sepasang suami istri yang dikaruniai seorang anak perempuan yang berumur tiga tahun. Anak itu diberi nama Kinong.

Pak Kinong bekerja sebagai buruh tani yang hanya mengandalkan upah dari pemilik tanah yang digarapnya. Istrinya bekerja mengumpulkan kayu bakar yang kemudian dijual di pasar. Ia juga kadang-kadang bekerja sebagai buruh potong padi pada saat musim panen tiba.

“Pak, cobalah pinjam beras barang sedikit saja kepada tetangga.......! Siapa tahu mereka menaruh belas kasihan kepada kita.......!” bujuk Bu Kinong penuh harap.

Suaminya hanya duduk termenung ke arah jendela memandang keluar dengan tatapan matanya yang kosong.

“Kasihan, sih, kasihan.......! Tetapi mereka juga sama seperti kita, kelaparan!” keluh Pak Kinong dengan nada putus asa.

“Coba-coba sajalah, Pak! Si Kinong ini sangat lapar!” seru istrinya sambil menenangkan si Kinong yang merengek-rengek minta makan.

“Pinjam sama siapa, Bu?” tanya pak Kinong sambil bangkit mengambil rokok kawungnya di atas meja. “Lagipula semua orang sedang enak-enaknya tidur! Salah-salah aku bisa disangka maling oleh penduduk! Sudahlah, kamu suruh tidur saja anak itu, Bujuklah sebisamu Bu!” ujar Pak Kinong sambil menghisap rokok kawungnya dalam-dalam.

“Sampai kapan kita hidup terus begini ya, Pak? Kita mungkin orang tua bisa saja tahan lapar, tapi anak kecil.......?” keluh istrinya.

Kinong seolah tahu sedang dibicarakan oleh kedua orang tuanya, maka ia sengaja meledakkan tangis sekuat-kuatnya sampai otot-otot lehernya menegang.

“Makaaaan............! Hengg............. Kinong lapaaal........!”

“Sampai kapan kau bilang? Huh! Tentu saja sampai tuan tanah Van Eisen mampus! Atau sampai penjajah itu angkat kaki dari negeri kita!”

Umpat Pak Kinong sambil menggebrak meja bambu di hadapannya. Meja yang sudah reyot itu semakin bertambah reyot jadinya.

“Berapa lama lagi? Sebulan? Setahun?” tanya Bu Kinong sengit.

“Sampai kita masuk liang kuburpun belum tentu hal itu terjadi!” Pak Kinong mendengus.

Suasana kembali hening. Suami istri itu sama-sama terdiam.

Sementara itu di antara atap-atap rumah terlihatlah sesosok tubuh melompat-lompat dengan lincahnya dari atap rumah yang satu ke atap rumah yang lain seperti seekor bajing. Ia mengenakan pakaian serba hitam. Rambutnya terurai sebatas pinggang.

Wajahnya ditutupi cadar hitam, hanya sepasang matanya saja yang tampak. Di pinggangnya terselip sebuah golok, yang terjepit di antara sabuk dan kain sarung yang melapisi celana pangsinya.

Begitu ringan tubuhnya melompat kesana kemari tanpa menimbulkan bunyi sedikitpun. Hanya sesekali ditandai dengan terhentinya suara unggas bernyanyi karena terganggu dengan kelebatan sosok tubuhnya.

Dengan satu hentakan ia meloncat turun. Tubuhnya melayang seperti sehelai daun kering yang jatuh di tanah, namun kedua kakinya berpijak dengan mantap.

Setelah mengamati keadaan sekelilingnya untuk meyakinkan dirinya bahwa sudah tidak ada orang lain yang membuntutinya, ia berjalan mengendap-endap. Di punggungnya terlihat sebuah bungkusan seperti sebuah karung.

Tiba-tiba ia berhenti melangkah karena mendengar suara tangisan anak kecil yang sudah parau dan tersendat- sendat. Lalu orang itu melangkah menuju sebuah pondok dimana suara tangisan itu berasal.

***

Seketika pintu rumah gubuk itu didorong dari luar lebar-lebar, sesosok tubuh dengan pakaian serba hitam sudah berdiri tegak di ambang pintu. Sepasang suami istri itu terkejut dan sambil gemetar melangkah mundur merapat ke dinding bilik.

“A....... ampun! Kami orang miskin yang tak punya apa-apa lagi untuk dimakan, apalagi barang berharga!” kata Pak Kinong dengan tersendat-sendat. Keringat dingin mengaliri tubuhnya.

“Jangan takut! Aku bukan perampok! Namaku Bajing Ireng!” seraya menghampiri sepasang suami istri tersebut dengan tenang. Sorot matanya terlihat ramah dan lembut.

“Jangan takut! Aku adalah Bajing Ireng! Ambillah beras dalam karung ini, Pak!”

Dalam remang-remang cahaya lampu tempel yang menerangi pondok itu, terlihatlah sepasang mata yang bening dan indah dengan bulu-bulu lentik di antara rambut yang tergerai di dahi dan cadar yang menutupi batang hidungnya sampai dagu. Ternyata ia seorang wanita.

Bajing Ireng tersenyum sambil menyodorkan karung yang digendongnya kepada suami istri tersebut. “Karung ini berisi beras, ambillah! Anak Bapak sudah sangat menderita karena menahan lapar!”

Bajing Ireng berkata lembut. Tetapi mereka masih ragu-ragu untuk menerima pemberian tak terduga dari seseorang yang sama sekali belum mereka kenal dengan baik.

“Jangan ragu-ragu! Ambillah! Aku paling tidak suka menyaksikan rakyat yang terlalu menderita!” suaranya berubah tinggi.

Akhirnya Pak Kinong menerima karung beras tersebut sambil menjatuhkan diri berlutut diikuti oleh Bu Kinong di hadapan Bajing Ireng.

“Terimakasih Pendekar! Beribu terima kasih atas pemberian ini. Bagaimana kami yang miskin ini harus membalas budi baik anda........?” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Bajing Ireng mengangkat bahu Pak Kinong agar segera berdiri.

“Sudahlah, Pak! Bapak dan Ibu tidak perlu berkata seperti itu. Bersyukurlah kepada Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang karena aku hanya sekedar perantara untuk menyampaikan pertolonganNya! Berdoalah selalu agar tidak terlalu lama menghadapi hidup yang miskin dan sengsara seperti ini!”

Kedua orang tua itu perlahan- lahan berdiri memandang Bajing Ireng dengan mata berbinar-binar karena terharu mendengar ucapan yang begitu mulia dari seseorang yang begitu peduli terhadap nasib rakyat kecil seperti mereka.

Sementara itu Kinong yang duduk di balai bambu dalam kamar sudah berhenti menangis. Ia seperti menyadari bahwa telah datang seorang dewa penolong khusus bagi dirinya.

“Baiklah, Pak! Aku sekarang mohon diri!” pamit Bajing Ireng. Tanpa bicara lagi langsung berkelebat menghilang entah kemana ditelan oleh kegelapan malam.

Kedua suami istri itu hanya saling pandang seakan-akan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Alhamdulillah....... Mak! Kita bisa makan sekarang. Inilah salah satu rahmat yang diberikan oleh Tuhan untuk kita!” desah Pak Kinong sambil mengangkat tangan dan wajah menengadah ke atas merasa bersyukur.

“Mari pak, kita segera menanak nasi! Kitapun sudah lapar sekali bukan?” kata Bu Kinong sambil menggendong si Kinong keluar kamar menuju dapur.

“Ya, Tuhan! Siapakah dewa penolong tadi ya, Pak? Mungkin ia seorang Malaikat yang sengaja diturunkan oleh Tuhan ke bumi untuk menolong orang-orang miskin seperti kita ya, Pak!” ujar Bu Kinong sambil cepat-cepat mencuci beras dengan air yang diambilnya dari dalam gentong di sudut dapur itu.

Pak Kinong menganggukkan kepalanya seraya tak henti-hentinya mengucapkan kata-kata syukur kepada Tuhan.

Kinong duduk di atas dingklik di sisi ibunya sambil sebentar-sebentar menyeka ingus dan menghapus air matanya dengan punggung telapak tangannya. Sepasang matanya kini terlihat bundar berbinar-binar penuh harapan.

***

Di suatu senja dari kejauhan terlihat sebuah rumah yang paling besar dan bagus di wilayah Kandang Haur. Atap rumah itu terbuat dari genteng berwarna coklat, dindingnya terbuat dari batu bata. Halamannya ditumbuhi bunga mawar dan tanaman hias lainnya yang tersusun rapi berpagar tembok.

Rumah itu adalah rumah Kepala Desa, Pak Marta namanya. Sebenarnya ia masih keturunan bangsawan Sunda dengan nama lengkap Marta Wargasasmita.

Setelah menjadi Kepala Desa Kandang Haur, ia terkenal dengan sebutan Pak Marta. Beliau tinggal bersama anak gadisnya, Roijah. Sedangkan istrinya telah lama meninggal ketika Roijah berumur sepuluh tahun.

Dari dalam rumah itu terdengar alunan suara Roijah yang sangat merdu melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an.

Suaranya terdengar begitu syahdu merasuk kalbu bagi siapa saja yang mendengarnya. Beberapa saat kemudian suara merdu tersebut berhenti. Roijah selesai mengaji.

Setelah menutup kitab suci Al Qur'an di atas lekarnya, ia lalu menggeser duduknya menghadap ayahnya yang sedang istirahat duduk di atas sebuah kursi goyang sambil menghisap cerutu.

“Ayah, kudengar tadi malam gudang beras milik tuan Van Eisen kemalingan lagi, Ayah........!” tanya Roijah memecah keheningan senja selepas waktu maghrib.

“Ya!” jawab Pak Marto singkat sambil menghembuskan asap cerutunya kuat-kuat. “Tetapi jangan kuatir! Mulai malam ini tuan tanah Van Eisen akan menyewa jago-jago bayaran untuk menangkap si pencuri yang berani kurang ajar tersebut!” dengus Pak Marta si Kepala Desa.

“Kalau aku menjadi kepala desa, aku akan menyewa jago-jago bayaran untuk melindungi pencuri itu!” tiba-tiba Roijah menyeletuk.

Bagaikan mendengar petir di siang hari, seketika Pak Marta meloncat dari tempat duduknya.

“Hah! Apa katamu, Roijah? Coba katakan sekali lagi!” teriak Pak Marta menahan marah.

“Ya, Ayah! Aku akan melindungi pencuri itu!” jawab Roijah sekali lagi dengan nada menantang. Ia berbicara seolah-olah bukan dengan ayahnya.

Roijah berjalan menuju jendela melempar pandangannya keluar. Diam sesaat dan membalikkan tubuhnya kembali menghadap ayahnya.

“Coba saja pikir.......! Ayah diperbudak oleh penjajah hanya untuk memeras bangsa sendiri. Rakyat menderita dan kelaparan akibat perbuatan ayah secara tidak langsung!!” kata Roijah mengecam ayahnya sendiri sehingga membuat Pak Marta mendidih darahnya menahan amarah yang tak terbendung lagi.

“Heh! Roijah! siapa yang mengajari kau berkata begitu terhadap orang tua mu, hah!!” bentak Pak Marta menggelegar.

Roijah menggigit bibirnya tertunduk diam.

Melihat anaknya tak menjawab pertanyaannya Pak Marta tak kuasa menahan amarahnya.

“Siapa yang mengajari kau, siapa?! Akan kupecahkan batok kepalanya! Siapa dia? Jawab!!” tanya Pak Marta semakin geram dan penasaran.

“Tak seorangpun mengajari aku, Ayah! Aku melihat dengan mata kepala sendiri. Mereka yang terus menerus memeras keringat tetapi hidupnya menderita! Sedangkan mereka yang kerjanya menjilat penjajah hidupnya mewah uncang-uncang kaki tanpa merasa bersalah!” sahut Roijah tenang.

“Kau berani mengatakan ayahmu sendiri sebagai penjilat, hah! Kau anak perempuan tahu apa! Urus saja dapur! Kau tak perlu tahu urusan orang tua mengerti?” bentak Pak Marta.

Perkataan ayahnya bukan membuat Roijah takut, justru sebaliknya ia semakin berani menyangkal segala perkataan ayahnya.

“Ayah merendahkan derajat kaum wanita! Justru ayah seharusnya menghargai perasaan wanita yang dapat merasakan penderitaan dan kesengsaraan bangsanya yang dijajah!” Roijah menarik napas panjang.

Sementara Pak Marta bersungut-sungut mendengarkan.

“Mengapa perasaan itu tidak timbul dari hati seorang pemimpin seperti ayah? Ayah bisa saja menyusun kekuatan untuk melakukan pemberontakan kepada tuan-tuan tanah kalau ayah mau! Ayah adalah seorang yang paling berkuasa di desa ini. Ayah kan seorang kepala desa!!” seru Roijah menyakinkan ayahnya.

Merasa dipojokkan oleh anaknya sendiri, Pak Marta tak kuasa lagi menahan amarahnya yang memang sejak tadi ditahannya.

“Diaaaamm….. !! Kau anak tak tahu diuntung! Berani benar kau nasehati ayahmu, he! Kutampar kau nanti!!” bentak Pak Marta dengan tatapan nanar dan napas mendengus, serta terdengar gemertaknya gigi.

Roijah meninggalkan ayahnya dan ia segera berlari masuk ke kamarnya langsung menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menangis. Hanya itu yang dapat dilakukan oleh seorang anak perempuan, walaupun terhadap ayahnya sendiri.

Sementara itu Pak Marta duduk menghisap cerutunya dalam-dalam sambil pikiran menembus masa lalu pada saat istrinya masih hidup. Kalau saja ibunya Roijah masih ada, tentu saja Roijah tidak menjadi anak pembangkang seperti sekarang ini. Mungkin jadi seorang anak yang penurut.

Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang. Roijah segera bangkit dan menghapus air mata yang membasahi pipinya. Kemudian berjalan ke sumur untuk mengambil air wudhu melakukan sholat Isya. Selesai sholat Roijah memanjatkan doa.

“Ya Allah! Berikanlah hambaMu kekuatan untuk menghadapi cobaanMu, ya Allah! Berikan keinsyafan pada ayahku. Sadarkanlah dia dari kekeliruannya.......! Ya Allah! Lindungi bangsaku! Lepaskanlah bangsaku dari cengkeraman penjajah! Amiiin.............”

Tanpa terasa air matanya kembali menetes membasahi kedua pipinya. Selesai melakukan sholat, Roijah bergegas ke dapur. Ia harus menyiapkan makan malam untuk ayahnya.

***

Malam kembali menyelubungi desa Kandang Haur. Bulan di langit semakin lerang menyebarkan cahayanya ke seluruh marcapada. Namun suasana sunyi dan mencekap menyelimuti desa tersebut.

Demikian pula suasana di sekitar gudang penggilingan beras milik tuan tanah Van Eisen.

Tapi di balik kegelapan malam, berdiri sosok-sosok tubuh yang kekar dan bertampang seram di setiap tempat-tempat tertentu di desa itu, terutama di sekitar gudang penggilingan beras milik tuan tanah Van Eisen.

Menjelang tengah malam, keluarlah sesosok tubuh serba hitam menyelinap di balik pohon yang rimbun sambil mengamati daerah sekitar gudang penggilingan beras itu. Langkah-langkahnya tidak menimbulkan bunyi sedikitpun. Sosok tubuh itu lalu berjalan ke balik gudang penggilingan beras tersebut.

Sementara para penjaga berusaha menghalau dinginnya malam dengan kegiatan masing-masing. Tanpa sepengetahuan mereka sosok tubuh hitam itu sudah tegak berdiri di belakang salah satu penjaga yang sedang menikmati sebatang rokok sambil melamun.

Dengan satu pukulan keras orang tersebut melenguh sekejap, kemudian tubuhnya melorot jatuh untuk tidak bangun lagi. Dari mulutnya keluar darah kental tanda ia mengalami luka dalam cukup parah akibat pukulan dari seorang yang benar-benar berilmu tinggi.

Melihat temannya roboh diserang oleh orang tak dikenal, yang lainnya segera berlari mengepung. Masing-masing mencabut golok dan sosok tubuh serba hitam itu kini dikelilingi oleh tidak kurang dari sepuluh orang jago-jago bayaran.

“Heiitt! Ladalah! Rupanya kau maling keparat yang sering mencuri beras dari gudang ini!” teriak salah satu penjaga gudang dengan lantang sambil memutar-mutarkan goloknya.

“Hi hi hi! Kalian semua hanya manusia-manusia kerbau yang cuma bisa membela perut sendiri saja!” Suara mengejek itu sangat merdu namun menyakitkan telinga bagi mereka yang mendengarkannya.

Merasa dihina, mereka segera mengepung membentuk lingkaran yang ketat mengelilingi sang maling selama ini berani menguras gudang milik tuan besar mereka.

“Ayo, maju satu persatu biar aku tebas batang leher kalian! Aku Bajing Ireng tidak segan-segan menyingkirkan siapa saja yang menjadi budak Kompeni Belanda!!” seru Bajing Ireng siap memasang kuda-kudanya.

Tetapi tak satupun dari mereka yang berani menyerang. Masing-masing hanya berdiri pasang kuda-kuda.

Sementara Bajing Ireng tak merasa gentar sedikitpun walau menghadapi pengepung yang semakin bertambah jumlahnya.

“Inikah jagoan-jagoan termashur yang selalu dibanggakan oleh tuan tanah bule itu? Tahukah kalian bahwa sesungguhnya kalian adalah manusia-manusia yang bisa dibeli dengan gulden! Manusia-manusia yang kecanduan roti dan keju!

“Aku malu melihat bangsaku sendiri yang diperalat oleh penjajah begitu tega hidup enak di atas penderitaan serta kemiskinan bangsanya sendiri! Sebenarnya aku muak berkelahi dengan kalian!!” katanya sambil berkacak pinggang. “Tapi apa boleh buat! Aku tak sudi melihat penderitaan rakyat kecil yang tertindas!”

Jago-jago sewaan masih terpana memandang Bajing Ireng tanpa mulai membuka serangan.

“Kalian lihat! Bangsa siapakah yang dijajah ini? Bangsa siapakah yang menderita ini? Aku, Bajing Ireng akan memberi pelajaran sedikit kepada kalian,” seru Bajing Ireng sambil matanya tajam mengawasi para begundal yang mengelilinginya dengan posisi siap siaga.

“Kalian manusia-manusia! Tidak lebih berharga dari seekor lalat! Siapa yang menjadi tuanmu, haa! Orang asing bukan........? Dan kalian yang memusuhi adalah aku, bangsamu sendiri! Berkulit sawo matang dan berambut hitam seperti kalian juga!!” Kata Bajing Ireng menyadarkan para penjaga itu.

“Jika masih sayang nyawa dan sayang anak istri, minggirlah kalian! Ini peringatan dariku!” ancam Bajing Ireng siap menyerang.

Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka memberi isyarat kepada teman-temannya agar mulai menyerang Bajing Ireng secara serentak. Mereka mulai mendesak.

Tapi Bajing Ireng langsung saja menendang dengan satu gerakan yang memutar dan cepat sekali tanpa bisa mereka hindari. Begitu cepat dan beruntun.

Tendangan itu mengenai dada para pengepungnya. Mereka langsung roboh hanya dengan satu gebrakan saja.

“Rupanya kalian menganggap remeh peringatanku! Ayo, siapa lagi yang berani mati, majulah!” teriak Bajing Ireng siap dengan jurusnya. Tangan kanan menyilang di dada dan tangan kirinya di atas kepala. Sebuah jurus yang sama sekali baru mereka lihat.

Melihat lawan-lawannya tidak memberikan reaksi lagi Bajing Ireng segera menurunkan tangannya kembali ke posisi semula dan berdiri tegak, setelah menarik kuda-kudanya. Para penjaga gudang dan jago-jago bayaran itu hanya berdiri diam memegangi dadanya masing-masing sambil meringis menahan sakit dan dari sela bibir mereka mengalir darah hitam, darah luka dalam.

“Ingat! Jangan coba-coba menghalangiku lagi, kalau kalian masih ingin melihat sinar matahari esok pagi! Selamat malam dan sampai jumpa lagi.......!” seru Bajing Ireng sambil membuat satu gerakan salto ke belakang dan disusul dengan sebuah loncatan ke atap bangunan gudang beras yang cukup tinggi itu dengan mudahnya.

Bajing Ireng meloncat hilang ke balik semak-semak dan hilang di kegelapan malam. Para penjaga itu hanya bisa saling pandang merasa heran dan kagum.

Keesokan harinya Pak Marta bersungut-sungut karena para jago-jago desanya gagal menangkap si pencuri yang telah diketahui menamakan dirinya Bajing Ireng.

“Hm, pantas! Pencurinya seorang jago silat yang luar biasa! Buktinya ia dapat menghajar beberapa orang sekaligus!” kata Pak Marta kepada anaknya Roijah yang sedang menjahit kebaya baru pemberiannya sebagai tanda penyesalannya kemarin. Begitu caranya ia meminta maaf pada anaknya.

Pak Marto bangkit dari tempat duduknya. “Bayangkan, sekali gebrak tiga orang roboh dan muntah darah tanpa ampun!!” seru Pak Marta sambil berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumahnya yang cukup luas.

Roijah hanya tersenyum melihat ayahnya menggerutu terus-menerus.

“Tadi pagi Tuan Leonard Van Eiser, memanggilku! Katanya, jika aku tidak sanggup menyingkirkan pencuri itu, maka tuan Leonard Van Eisen akan membuat laporan langsung ke Residen Cirebon!” gumam Pak Marta merasa kesal. Tanpa disadarinya, rokok cerutu yang dipegangnya remuk diremasnya.

“Dan tahukah kau?” tanya Pak Marta pada Roijah yang sedang sibuk memasukkan benang ke lubang jarum.

“Ini berarti jabatanku sebagai kepala desa akan dicopot!!”

Roijah acuh tak acuh menanggapi ayahnya yang takut kehilangan jabatan, dan masa depannya. Ia bangkit meninggalkan jahitannya untuk membuat segelas teh tubruk kegemaran ayahnya. Mudah-mudahan setelah mereguk teh itu, amarah ayahnya agak menurun dan tidak uring-uringan terus-menerus.

“Kenapa ayah begitu takut! Tidak jadi kepala desapun kita masih bisa hidup! Kita tidak usah diperbudak oleh bangsa Belanda!” kata Roijah menutup gelas besar setelah mengaduk teh di dalamnya dengan tutup gelas.

“Hidup yang bagaimana? Aku tidak mau makan singkong dan ikan asin! Aku ingin hidup layak, punya pendapatan besar dan menjadi orang terhormat........!” ucap Pak Marta dengan penuh keyakinan.

“Tak ada bangsa yang dapat hidup layak selama bangsa itu sendiri masih dijajah!!” jawab Roijah dengan nada sedikit ketus. Roijah berhenti menjahit karena ujung jarinya tertusuk jarum.

“Karena takut menghadapi hidup ini, ayah hanya menggantungkan hidup di bawah telapak kaki penjajah Belanda. Bila penjajah sudah tidak lagi membutuhkan ayah lagi, maka ayah pasti akan dicampakkan begitu saja seperti orang yang membuang kulit pisang ke dalam tong sampah!!” sindir Roijah sambil mengulum jari telunjuknya yang berdarah.

Pak Marto mendengar ocehan anaknya yang sudah melanggar batas, membuat darahnya bergejolak sampai ke ubun-ubun. Ia tak kuasa lagi menahannya, sehingga napasnya terdengar bagai dengusan hewan liar yang siap mencabik-cabik mangsanya.

“Diaaaamm!! Anak setan! Lagi-lagi kau mau mengajari aku! Aku tidak perlu dinasehati. Aku ini ayahmu, mengerti”!” teriak Pak Marta seolah kesetanan.

Kedua tangannya mengepal keras dan ia memukul meja yang berada di hadapannya, tanpa menghiraukan bahwa meja marmer itu terlalu tebal dan keras dibanding dengan kepalan tangannya.

“Kau berkata sembarangan! Kalau ketahuan mata-mata Belanda bisa-bisa kamu dianggap pemberontak!! Dan kau tahu apa hukuman bagi seorang pemberontak, ha? Ditembak mati!!

“Penjajah tidak mau tahu terhadap siapapun! Juga terhadap anak kepala desa sekalipun, mengerti!!” bentak Pak Marta seraya menghampiri Roijah dengan tatapan mata yang nanar.

“Itulah kematian yang paling mulia, ayah! Kita akan mati sebagai pahlawan bangsa! Kita akan dikenang oleh seluruh masyarakat!

“Bahkan bukan saja mulia dihadapan masyarakat, tetapi dihadapan Tuhan. Kita mati syahid, karena menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan ajaran agama kita!!” sahut Roijah tenang dan mantap seolah-olah tak sedikitpun ia merasa takut kepada ayahnya.

“Tutup mulutmu!! Ayo masuk ke kamarmu dan jangan keluar-keluar lagi.......! Awas kalan berani keluar lagi akan kuhajar! Kau hanya membuat pikiranku jadi bertambah ruwet saja, bukannya berusaha meringankan beban orang tuamu!” hardik Pak Marta. Lalu menendang pintu kamar Roijah sampai pintu tersebut terbuka lebar.

“Maafkan aku, ayah! Sebetulnya aku tidak bermaksud menyakiti perasaan ayah!” kata Roijah sambil berusaha menghindari tatapan mata ayahnya dengan menundukkan wajahnya.

Roijah berusaha juga sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, maka Roijah meninggalkan ayahnya menuju kamarnya.

Pak Marta hanya menarik napas panjang, karena ia sebenarnya sangat sayang pada Roijah buah hati satu-satunya.

Suatu hari di alun-alun pasar terpancang papan pengumuman yang dapat dilihat oleh setiap orang yang lewat. Ditulis dalam huruf Arab berbahasa Sunda-Jawa. Pengumuman itu bersifat sayembara yang dipasang atas perintah tuan tanah Leonard Van Eisen.

Leonard Van Eisen melebarkan sayapnya ke daerah-daerah seluruh kawasan Karesidenan Cirebon bagian utara. Hal ini dimungkinkan karena prestasinya yang tinggi dalam membantu terlaksananya kehendak pemerintah Kompeni Belanda di daerah pantai utara Pulau Jawa bagian barat.

Di antara kerumunan orang-orang yang membaca pengumuman tersebut, terlihatlah seseorang bertubuh pendek dan gemuk berjalan menuju papan pengumuman. Matanya sipit dengan alis tebal seperti semut yang menumpuk.

Kepalanya botak, dia mengenakan baju serba kuning. Lelaki itu berjalan menyeruak kerumunan orang untuk melihat dari dekat papan pengumuman. Setelah membaca alisnya terangkat ke atas sambil meludah.

“Akan kutangkap Bajing Ireng hidup-hidup!” desisnya.

Lalu ia membalikan tubuhnya dan mendadak bertabrakan dengan seorang ibu yang menggendong sebuah bakul. Si botak menatap ibu itu dengan mata begis sehingga si ibu ketakutan. Segera si botak berjalan menuju kediaman tuan tanah Leonard Van Eisen.

Sambil membenahi isi bakul yang tercecer, ibu itu melihat papan pengumuman dan coba memahami apa yang tertulis disana. Tapi ia sadar bahwa dirinya buta huruf dan mau tak mau ia harus bertanya kepada orang lain yang berada di sekitar papan pengumuman itu.

Di wajahnya terlihat kecemasan setelah mengetahui isi pengumuman itu. Ia lalu pulang ke tempat tinggalnya dengan langkah tergesa-gesa agar cepat sampai dan memberitahukan kabar ini kepada suaminya.

Ibu tersebut tak lain adalah Bu Kinong. Setelah sampai ia menaruh bakul di atas balai-balai. Suaminya, Pak Kinong, sedang duduk melepas lelah sehabis membabat rumput liar di teritisan rumah.

“Pak, di pasar orang-orang ribut membaca pengumuman yang dipasang oleh tuan tanah Van Eisen. Katanya barang siapa yang dapat menangkap maling tersebut akan mendapat hadiah yang besar!” kata Bu Kinong sambil mengambil kue serabi kesukaan suaminya dari dalam bakul.

“Maling apa ya, Pak? Katanya maling yang setiap saat selalu mencuri beras dari gudang penggilingan. Apakah orang yang memberi beras pada kita malam-malam tempo hari ya, pak?” sambung Bu Kinong sambil menghampiri si Kinong yang baru saja terbangun dari tidurnya di kamar karena balai-balai tempat tidurnya sudah banjir oleh ompolnya sendiri.

Kemudian ia menggendong si Kinong untuk membersihkan tubuh si Kinong dan sekalian mengganti otonya yang basah kuyup. Suaminya hanya diam saja.

“Bu makan, Kinong lapaaal!” teriak si Kinong membetot-betot baju ibunya.

“Tapi dia telah menolong kita……”

***

Di saat itu jauh segala kegiatan dan berbagai keluh kesah yang terjadi di desa Kandang Haur, terlihatlah dua bayangan berkelebat di udara dengan ringannya di atas pasir pantai Eretan yang seperti perak.

Tampak dua orang yang sedang bertarung. Suara deburan ombak yang menghantam karang disertai lengking burung-burung camar tak mengusik konsentrasi kedua orang tersebut.

“Hiaaaaaat!!” dengan jurus-jurus yang luar biasa, pemuda tegap itu menghindari setiap serangan yang ditujukan kepadanya. Beberapa kali ia melakukan gerakan salto di udara dan meliuk-liuk seperti seekor burung elang yang menyambar-nyambar ke bawah mematuk mengsanya.

Sementara lawannya adalah kakek bertelanjang dada dengan rambut yang kumel dan janggut panjang berwarna putih. Dengan gencar menyerang muridnya yang meliuk-liuk di udara.

Mereka sebenarnya sedang melakukan latihan, tetapi dengan sungguh-sungguh seperti dua orang musuh yang sedang bertarung mati-matian.

Tiba-tiba si kakek menghentikan serangannya.

“Ha ha ha! Kau hampir mengalahkanku dalam duapuluh lima jurus! Cukuplah latihan kita kali ini, muridku! Akhir-akhir ini kau semakin maju pesat,” kata sang guru yang bernama Ki Sapu Angin.

Pemuda itu bernama Parmin yang kemudian menurunkan tangannya kembali tegak berdiri memandang gurunya dengan penuh rasa hormat dan cinta kepada gurunya seperti terhadap orang tuanya sendiri.

“Kini kau telah menguasai semua jurus-jurus silat GUNUNG SEMBUNG dengan sempurna! Ilmu ini belum ada tandingannya untuk seluruh cabang pencak silat manapun di daerah Pasundan!” kata Ki Sapu Angin kepada Parmin yang tegap dan tampan sambil menepuk-nepuk pundak murid tunggalnya itu.

“Ilmu silat GUNUNG SEMBUNG dahulu hanya dimiliki oleh para wali dan para kyai untuk menghadapi segala kekerasan dalam menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa ini, anakku!”

Parmin mendengarkan segala wejangan dari ilmu yang disampaikan gurunya dengan penuh perhatian.

Sejak lepas susu ibunya, Parmin sudah diminta Ki Sapu Angin untuk menjadi murid tunggalnya dan tinggal bersamanya di pantai Eretan. Maka tibalah saat yang telah lama dinantikan sampai hari ini.

“Kurasa sudah cukup bekal ilmu yang kuturunkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di negeri ini. Semua ilmu yang kumiliki sudah kuwariskan kepadamu.

“Kau tak perlu lagi merasa kuatir dalam menghadapi musuh-musuhmu yang tangguh sekalipun, kau pasti menang! Asal kau lakukan dengan tenang dan pasrah kepada Tuhan, karena ridho Ilahi adalah di atas segalanya bagi kita, anakku,” lanjut gurunya dengan yakin.

Lalu ia mengalihkan pandangannya ke laut lepas.

“Sayang aku sudah tua, tenagaku sudah mulai melemah walaupun semangatku untuk menegakkan kebenaran dan keadilan masih menyala-nyala!” keluh gurunya sambil membalikkan tubuhnya memandang muridnya. Kemudian ia memegang pundak muridnya dan menatap penuh harap.

“Nah, sekarang pergilah! Bergabunglah dengan pendekar-pendekar dari selatan. Nasib bangsamu terletak di tangan pemuda-pemuda seperti kau! Doaku menyertaimu, Parmin!

“Jangan segan-segan kau meringankan tangan untuk menolong sesamamu yang sedang menderita kesusahan. Dan sampaikan salamku untuk kawan-kawan seperjuanganku.

“Biarlah aku menghabiskan sisa hidupku dengan jala, kail, dan dayung. Pantai Eretan adalah tempat yang cocok bagi pengembaraanku yang terakhir!” perintah gurunya dengan air mata berkaca-kaca dan menetes membasahi pipinya yang penuh dengan keriput di usianya yang telah senja.

Sementara itu Parmin mendengarkan segala petuah yang disampaikan Ki Sapu Angin dengan rasa haru. Tiba-tiba Parmin melorot tanpa tenaga ke bawah bertekuk lutut di hadapan gurunya yang sangat ia sayangi untuk mohon doa restu.

“Kek! Aku akan selalu ingat akan petuah kakek. Aku akan menegakkan kebenaran dan keadilan di negeri ini. Selama dibumi ini masih merajalela segala kejahatan, aku tidak tinggal diam!” janji muridnya pada sang guru.

“Aku mohon diri sekarang, kek!” hampir-hampir ia tak sanggup menahan rasa haru.

Kemudian ia berjalan meninggalkan gurunya dengan mata yang masih berkaca-kaca. Betapa tidak, karena harus menghadapi perpisahan setelah lebih dari limabelas tahun mereka hidup bersama dalam suka dan duka sebagai dua orang murid dan guru di tempat yang sunyi terpencil itu.

Parmin terus berjalan menyelusuri pantai sampai tidak terlihat lagi oleh mata Ki Sapu Angin.

“Semoga Tuhan selalu menyertaimu, nak!” desahnya lirih.

<>

Malam itu terjadi ribu-ribut di luar rumah Pak Marta. Rupanya para jago di desa itu bersama-sama mendatangi rumah Pak Marta dan dengan tak sabar mereka menggedor-gedor pintu. Sepertinya ada keperluan yang teramat penting untuk dibicarakan.

“Pak Marta! Pak Marta! Buka pintu sebentar, cepat! Pak Marta!” teriak para jago tersebut.

Pintu segera terbuka. Tampak wajah Pak Marta geram karena terganggu tidur nyenyaknya dengan kedatangan orang-orang yang tak tahu waktu.

“Ada apa ini? Kalian tak tahu diri, malam-malam begini mengganggu orang tidur. Ada apa?” teriak Pak Marta melototkan matanya.

“Maaf, Pak Marta!” sahut para jago merendah.

“Malam ini kami mengintai maling yang selalu mencuri beras di gudang penggilingan, salah seorang jago berilmu tinggi berhasil menguntit maling itu. Tiba-tiba maling itu masuk ke dalam rumah Pak Marta dan tidak keluar lagi sampai saat ini!”

Mendengar pernjelasan dari para jago desa, Pak Marta kaget bukan main.

“Hah, apa katamu! Maling itu masuk kemari?” pekik Pak Marta seolah tak percaya.

“He, jangan-jangan dia datang ingin merampok hartaku! Bangsat........ maling itu!!” umpat Pak Marta sambil mengepalkan tangannya.

“Oleh karena itu kami ingin menggeledah seluruh isi rumah ini, barangkali maling itu masih berada dalam rumah ini!” seru seorang jago desa yang bertampang seram itu mewakili teman-temannya.

Tak ayal lagi Pak Marta mengijinkan para jago itu untuk menggeledah rumahnya. Mereka masuk sambil tetap siaga menghadapi segala kemungkinan yang terjadi sambil memeriksa setiap sudut rumah Pak Marta. Mereka bertindak dengan teliti, sampai-sampai dapur dan sumur serta jamban di belakang rumah tak terlewat begitu saja.

Sementara para jago sibuk memeriksa, Pak Marta menuju pintu kamar Roijah. “Roijah! Roijah! Bangunlah sebentar, buka pintunya,” teriak ayahnya dari luar.

Dan pintu kamar terbuka. Tampak Roijah keluar sambil mengucek-ucek matanya dan menguap berusaha menahan rasa kantuk.

“Apakah ada orang yang masuk ke dalam kamarmu, tadi? Maling itu masuk kemari kata mereka!” kata ayahnya merasa cemas. Ia takut, khawatir maling itu akan melukai anak tunggalnya.

“Entahlah! Aku tidur nyenyak sekali sampai ayah mengetok pintu dan aku terkejut. Oh ya? Apakah maling itu memang benar-benar kemari?

“Ah, jika demikian aku mau saja menjadi istrinya. Dan jika ternyata ia seorang perempuan aku akan menjadikan dia sebagai saudaraku!” sahut Roijah dengan senyum menantang sambil membetulkan rambutnya yang tergerai menunggu reaksi ayahnya.

Seketika Pak Marta kalap mendengar Roijah berkata seperti itu terhadapnya apalagi di depan para jago desa yang sudah berkumpul di depan kamar anaknya.

“Diam! Diam kau!!” bentak Pak Marta sambil berjalan menuju ruang tamu.

Lalu Pak Marta menghampiri para jago desa yang sudah duduk-duduk di kursi tamu. Ada beberapa orang di antaranya sedang menikmati rokok kelobot dan sigaret. Salah seorang dari mereka memberi laporan.

“Semua ruangan sudah kami periksa! Tetapi maling itu tidak diketemukan! Nah, selamat malam Pak Marta. Maafkan kami yang terpaksa mengganggu istirahat bapak tadi!” kata mereka sambil beranjak satu persatu keluar rumah.

“Oh, tak apa-apa! Bukankah kita harus selalu waspada menjaga lingkungan kita dari segala kerusuhan-kerusuhan yang akan terjadi!” tukas Pak Marta mengantarkan para jago desa itu sampai ke depan pintu.

“Baiklah, pak kami mohon diri untuk berjaga-jaga kembali!” kata mereka langsung berjalan meninggalkan rumah Pak Marta.

Pak Marta menutup pintu rumahnya dengan wajah lesu dan dalam benaknya menyimpan tanda tanya besar.

Kemana perginya maling tersebut? Apa mungkin ia lenyap begitu saja seperti ditelan lantai kamar rumahnya ini? Rasa-rasanya tak masuk akal!

<>

Keesokan harinya matahari bersinar cerah menerangi kaki langit sebelah timur yang ditingkahi kokok ayam dan cicit burung di atas dahan.

Dari kejauhan seseorang berjalan dengan tenangnya melintasi desa. Orang itu memakai tudung kepala dari anyaman bambu berbentuk caping sehingga sebagian wajahnya tertutup. Kain sarung menyilang di dadanya.

Ia berjalan menelusuri pematang sawah menikmati cerahnya pagi hari itu dengan nikmat. Seorang petani sedang mencangkul sawahnya berhenti sesaat memandang orang tersebut. Ia memastikan adanya kehadiran seorang pendatang baru yang lewat di kampungnya.

Tiba-tiba ia terkejut.

“Heh?! Orang itu mengherankan sekali! Dia seenaknya saja berjalan di atas pematang sawah yang basah baru kubikin, tapi....... dia tidak meninggalkan jejak kakinya barang sedikitpun di atasnya, seakan-akan dia sedang terbang!

“Mungkin dia seorang jago silat yang sengaja datang dari jauh untuk mengikuti sayembara yang dibuat tuan tanah Van Eisen untuk menangkap maling itu!?” pikir petani itu dengan wajah keheranan sambil menyeka keringat yang mengalir di keningnya. Ia seperti tak percaya dengan apa yang sedang disaksikannya dengan mata kepalanya sendiri.

Pendatang itu kemudian berhenti di depan sebuah papan yang tertancap di atas pematang sawah. Dia memperhatikan papan tersebut sambil berkacak pinggang dan membaca tulisan dengan huruf-huruf latin yang tertera di situ.

“Tanah ini milik Van Eisen.......” katanya sinis. “Van Eisen? Mengapa bukan milik si Salim atau si Tarjo.......? Tahukah kau he? Bahwa aku akan mengusirmu dari bumi persada ini!!” desis pendatang baru bertudung caping itu seraya mencabut goloknya yang terselip dipinggangnya.

“Van Eisen! Terimalah kehancuran secara simbolik dariku!! Dari Bangsa nusantara!” dengusnya. “Hiyaaaaaaat!! teriaknya sambil mengayunkan goloknya secepat kilat membabat papan tersebut berulang kali.

Tetapi papan itu terlihat masih tetap saja berdiri tegak menancap di atas pematang sawah tak bergeming. Apa karena golok yang diayunkan hanya menebas udara? Atau goloknya yang tumpul?

Tiba-tiba angin bertiup kencang dan menerpa papan bertonggak itu. Pemuda dengan tudung caping itu menyabetkan goloknya berulang-ulang pada papan nama yang terpancang di pematang sawah itu. Dan apa yang terjadi benar-benar diluar dugaan.

Papan pengumuman itu roboh menjadi tiga bagian.

“Itulah hari depanmu!” kata si pendekar caping berdiri tegak menyaksikan papan tersebut roboh dan terkapar di pematang sawah.

Sementara itu petani yang sejak tadi melihat apa yang dilakukan pendatang aneh itu sekali lagi ia dibuat terperangah heran.

“Oh! Masya Allah! Kayu pancang itu semula masih tegak berdiri tapi tak tahunya kayu itu sudah terpotong tiga dan baru roboh setelah tertiup angin. Begitu tinggi ilmu tenaga dalam mengiringi sabetan golok yang dimiliki pendatang itu!!” desisnya kagum.

“Kau harus enyah dari bumi kami!!” geram orang itu sambil menatap papan pancang yang sudah bertebaran tak berdiri angkuh lagi.

Kemudian dengan satu sentakan ia menendang papan yang bertuliskan nama Van Eisen itu ke hadapan si petani yang sedang mencangkul. Si petani hanya bisa melongo keheranan dan sama sekali tak mengerti apa arti kehancuran simbolik yang diucapkan oleh orang itu.

“Kau bukan bangsa tempe yang mau memeras keringat untuk kesenangan dan kekayaan penjajah semata-mata, bukan? Ayo injak papan itu demi kehormatan bangsa kita!!” perintahnya pada petani itu.

Setelah menyaksikan si petani menginjak papan itu atas perintahnya kemudian ia kembali meneruskan perjalanannya. Sedangkan si petani hanya memandang orang itu dengan pandangan heran dan ia sama sekali tak tahu kalau pendatang bertudung caping itu tidak lain adalah Parmin murid tunggal Ki Sapu Angin yang kini dalam perjalanan sudah sampai di daerah Kandang Haur.

***

Pemuda dengan tudung caping itu menyabetkan goloknya berulang-ulang pada papan nama yang terpancang di pematang sawah itu.

Saat itu di rumah Leonard Van Eisen terlihat orang berkepala botak berbaju kuning yang beberapa hari berselang membaca papan pengumuman sayembara yang dipasang di pasar, bertemu langsung dengan tuan Van Eisen. Ternyata ia mendaftarkan diri untuk ikut membekuk maling yang dikenal dengan julukan Bajing Ireng.

Si Botak memperkenalkan diri dengan nama Beruang Kuning Dari Gurun Gobi, minta bayaran yang sangat tinggi pada tuan Van Eisen.

“Kami sanggup memenuhi permintaan anda, asalkan anda dapat menangkap maling itu dalam keadaan mati atau hidup……..!”

“Tuan akan melihat sendiri hasilnya nanti malam! Aku akan menangkap maling itu hidup-hidup!” jawab si Beruang Kuning dengan pasti.

“Bagus! Saudara harus membuktikan janji anda untuk menangkap maling itu hidup-hidup. Kalau janji anda meleset, maka anda akan tahu sendiri akibatnya!! Sekarang mari kita rayakan pertemuan ini dengan minum anggur, ayo.......!” seru Van Eisen sambil menyodorkan gelas kepada Beruang Kuning.

Beruang Kuning menerima gelas yang disodorkan padanya. Tanpa ragu lagi ia menenggak habis isi gelas itu.

Demikian juga dengan Leonard Van Eisen.

Malam harinya seperti biasa di saat orang telah tidur dengan lelap. Sesosok tubuh serba hitam melompat-lompat dan mengendap-endap seperti seekor bajing di atas atap-atap rumah penduduk. Dia tak lain adalah Bajing Ireng sang maling budiman penolong rakyat miskin.

Tiba-tiba sesosok bayangan lain berkelebat cepat ke atas atap salah satu rumah dan berdiri menghadang Bajing Ireng. Gerakan orang tersebut yang ternyata adalah Beruang Kuning dari Gurun Gobi, itu sukar diikuti dengan mata biasa. Bajing Ireng agak gentar menghadapi lawannya kali ini.

Beruang Kuning tertawa terbahak-bahak.

Suaranya mengandung tenaga dalam yang hebat sehingga membuat telinga menjadi pekak bagi siapa saja yang mendengarnya. Apa lagi bagi orang yang ilmu tenaga dalamnya masih rendah maka telinganya bisa menjadi tuli.

Bajing Ireng menggerakan ilmu pernapasan dan tenaga dalamnya untuk menghalau suara yang dilancarkan pendekar berkepala botak tersebut.

“Ha ha ha ha ha ha ha!! Pantas malingnya begitu lihai dan hebat. Tentu saja tak tertandingi oleh jago-jago pribumi disini!

“Ternyata julukan Bajing Ireng tidak percuma kau sandang, karena gerakanmu memang mirip seekor bajing. Tetapi lebih baik kau menyerah saja, manis!

“Karena malam ini adalah malam terakhir petualanganmu, maling manis! Aku akan menyerahkan dirimu pada tuan Van Eisen!” kata Beruang Kuning dengan gaya rayuan yang tengik.

Bajing Ireng menjadi panas hati mendengar cara lawannya berbicara dan tarikan-tarikan wajahnya yang begitu nyinyir menyebalkan. Saat itu ia seperti menghadapi seorang dengan wajah seperti ketimun suri yang sudah lodo karena busuk.

“Bangsat! Siapakah kau, he bajingan gendut berkepala botak?! Pulanglah kau kembali ke negeri asalmu, botak!” hardik Bajing Ireng dengan nada begitu lugas dan ketus. Emosinya sebagai seorang perempuan terlihat begitu nyata.

Mendengar hinaan itu, Beruang Kuning dari Gurun Gobi hanya tersenyum. Senyuman sinis penuh ancaman.

“Dunia persilatan di negeriku mengenalku dengan julukan Si Dewa Suci Penyebar Bala! Dan di negeri Jawa Dwipa ini aku bergelar Beruang Kuning dari Gurun Gobi sesuai dengan tempat asalku di sana!” jawab Beruang Kuning.

“Hi hi hi hi hi hi hi! Hai, Dewa Gundul! Kau datang jauh-jauh dari tanah leluhurmu hanya untuk membuat kegaduhan disini. Sesudah itu kau akan mengeruk kekayaan negeri kami untuk mengisi perut gendutmu yang seperti gentong air itu!

“Kau memang benar-benar bangsat!! Dan kau tak lebih dari sebuah benalu bagi bangsa kami, Beruang gundul!” kata Bajing Ireng dengan nada mengejek.

Dan hal ini membuat Beruang Kuning tak dapat lagi menahan amarahnya.

“Hayyaa! Aku tidak membutuhkan ocehanmu! Uang adalah raja dari segala raja! Manusia dapat dikendalikan dengan uang!

“Hidup ini hanya untuk uang! Hanya manusia bodoh saja yang tidak mau menggunakan kesempatan emas yang berada di depan mata!” katanya sambil merentangkan tangannya membentuk sebuah jurus. Agaknya inilah jurus pembukaan gaya Beruang Kuning.

“Oh, rupanya demikian sifat dari seorang dewa!” sindir lembut Bajing Ireng sambil membentuk kuda-kuda.

“Aku tidak akan mundur menghadapi manusia tengik macam kau! Majulah daripada hidup di bawah telapak kaki penjajah lebih baik mati berkalang tanah! Ayo gundul gendut!!” teriak Bajing Ireng menanti serangan Beruang Kuning.

Tanpa banyak bicara lagi, Beruang Kuning melancarkan serangan yang pertama dan merangsak Bajing Ireng. Jurus-jurus yang dilancarkan Beruang Kuning menderu-deru seperti angin puyuh.

Bajing Ireng mengeluarkan semua ilmu yang dimilikinya dalam menghadapi serangan dari pendekar asing yang berilmu tinggi itu. Serangan demi serangan dilancarkan secara bergantian oleh pendekar itu sehingga udara di sekitarnya bergetar dan merontokkan daun-daun kering akibat kehebatan tenaga dalam masing-masing.

Dengan cengkeraman, Beruang Kuning segera melancarkan serangan ke arah Bajing Ireng.

Para penjaga gudang penggilingan beras datang berlari untuk menyaksikan pertarungan itu. Salah seorang dari mereka menunjuk ke atas dengan perasaan kagum dan terpesona.

“Lihat! Orang dari negeri seberang itu bertarung dengan Bajing Ireng di atas sana, lihat!!” teriaknya kepada teman-temannya.

“Kurasa kedua-duanya bukan orang sembarangan. Mereka memiliki ilmu meringan tubuh yang tinggi, sehingga dapat bertarung di atas atap rumah dengan lincah!” decak kagum dari para penjaga gudang beras menyaksikan kehebatan kedua orang itu.

Pertarungan sengit itu berlangsung cukup lama. Berpuluh-puluh jurus sudah mereka kerahkan tetapi pertarungan itu masih terlihat seimbang dan tampaknya pertarungan ini tak mungkin berakhir sampai pagi.

Suara ayam berkokok tidak menarik perhatian kedua orang yang sedang bertarung, itu. Beruang Kuning justru semakin gencar melancarkan serangannya sehingga Bajing Ireng terdesak.

Bajing Ireng merasa dirinya kewalahan, ia meloncat turun ke bawah diikuti oleh gerak salto Beruang Kuning yang terus mengejarnya. Pertarungan dilanjutkan di atas tanah yang mulai berembun.

“Hmm, lihatlah Bajing Ireng sudah mulai kelihatan terdesak oleh serangan maut yang dilancarkan pendekar dari negeri seberang itu!!” Komentar para penjaga gudang terus menyaksikan pertarungan tersebut dengan rasa ingin tahu yang kian menggebu.