Jaka Sembung 6 - Si Cakar Rajawali(1)

1.
Hari sudah malam. Tetapi keadaan di sekitar pantai itu cukup terang disinari rembulan. Kali Pekik tampak memanjang dari Utara ke arah Selatan, berkelok-kelok dan berkilau-kilau ditimpa sinar rembulan.

Muara kali itu berdesir-desir diterjang ombak laut, yang datang bagaikan saling berlomba ke pantai. Di sana terlihat puluhan benda kehitam-hitaman mengambang di permukaan air. Bentuknya kecil panjang, bergerak perlahan-lahan dan hilir mudik. Itulah buaya-buaya yang terkenal sangat ganas dan telah sering mengambil korban jiwa.

Tak jauh dari muara yang banyak dihuni buaya itu, tumbuh sebatang pohon besar, tinggi dan cukup rindang.

Kadang-kadang hempasan ombak laut sampai ke batang pohon itu, tetapi pohon itu tetap tegar. Bahkan sepertinya berlaku sombong menantang hempasan air laut maupun terjangan angin. Daun-daunnya bergoyang-goyang ditiup angin malam. Beberapa helai daun kering gugur, lalu jatuh melayang-layang ke pantai berpasir putih.

Sekitar lima meter dari pohon itu, berdiri seorang lelaki. Sepasang matanya menatap ke arah muara yang dihuni buaya. Mulutnya terkatup rapat dan tubuhnya pun tegak tanpa bergerak-gerak mirip patung.

Lelaki itu masih cukup kekar, berusia sekitar duapuluh lima tahun, dengan tubuh yang kekar. Kumisnya panjang melingkar di atas bibirnya yang kehitam-hitaman. Ia mengenakan ikat kepala belang-belang. Alis matanya tebal, pertanda ia seorang pria yang keras hati.

Tetapi melihat sikapnya saat itu, agaknya ia sedang menanggung penderitaan batin maupun lahir yang sangat menyakitkan. Wajahnya yang mencerminkan kekerasan itu terlihat menahan sakit dan dendam.

Di bawah sinar rembulan, tampak tangan kanannya di bagian pergelangan bengkok dan membengkak kaku seperti cengkrong. Tulang pergelangan tangannya itu pastilah remuk, sehingga tidak bisa digerakkan. Nyerinya bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum.

Berkali-kali terdengar pria itu mengeluh dan merintih kesakitan. “Oh, Pak Guru. Seandainya engkau masih hidup, engkau tentu akan mengobati tanganku ini sampai sembuh seperti sedia kala. Tapi engkau telah pergi untuk selamanya, gugur di tangan jahanam itu. Aku akan menuntut balas atas kematianmu ini,” lelaki itu bergumam dalam hati.

Siapakah sebenarnya lelaki itu?

Dialah Barna pendekar yang kelak akan dikenal sebagai si Cakar Rajawali. Beberapa hari lalu gurunya bertarung habis-habisan dengan Jaka Sembung di tepi muara kali Pekik.

Melalui pertarungan yang sangat panjang dan menegangkan, gurunya akhirnya terlempar dalam keadaan tak berdaya ke dalam muara itu. Tak ayal lagi, tubuh itu pun habis dicabik-cabik oleh puluhan buaya. Di muara sungai itulah gurunya terkubur.

Dalam pertarungan sebelumnya Barna menderita luka tulang remuk di bagian pergelangan tangan kanannya. Sebentar ada rasa putus asa dalam hatinya, karena ia telah hidup menyendiri, tanpa guru bahkan tanpa sanak saudara.

Tetapi karena kebencian dan dendam di dalam hatinya, semangatnya berkobar kembali. Tidak! Aku tidak boleh putus asa. Aku akan melatih tanganku yang cacat ini, ia berkata dalam hati.

Perlahan-lahan, ia berlutut dan mengangguk-angguk ke arah muara kali Pekik. “Guru, selamat jalan! Mohon doa restu untuk muridmu........” katanya dengan suara bergetar.

Setelah itu, ia kembali bangkit dan melangkah meninggalkan tempat itu.

<>

Esok harinya, matahari bersinar sangat teriknya bagai hendak membakar pasir pantai teluk Cirebon. Pasir pantai yang sangat luas itu terlihat mengeluarkan uap seperti air mendidih, yang menginjaknya pastilah akan kepanasan.

Itulah sebabnya pantai itu nyaris tak pernah didatangi manusia bila siang. Tetapi di pantai pasir itu sekarang tampak seorang lelaki sedang duduk setengah berjongkok.

Perbuatannya sangat aneh, sekaligus mengagumkan. Ia membenamkan tangan kanannya ke dalam pasir yang panas itu. Itulah Barna! Lelaki muda itu mulai berlatih, mempersiapkan tangan kanannya yang cacat menjadi kuat serta berbahaya.

Berjam-jam lamanya ia berbuat seperti itu. Dan ketika matahari mulai condong ke Barat, ia menarik tangannya dan beristirahat. Malam harinya, ia berlatih silat dengan sangat tekunnya. Begitulah ia habiskan hari-harinya di pantai teluk Cirebon.

Tak ada yang mengetahui atau menyaksikannya. Seiring dengan perjalanan waktu, ilmunya pun semakin tinggi dan pergelangan tangannya mulai sembuh. Karena sepanjang hari dipanggang sinar matahari di pantai, kulit tubuhnya pun menjadi hitam legam.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan terus berlalu tanpa terasa. Pergelangan tangan kanannya selain tidak sakit lagi, juga telah kuat. Tetapi bentuknya berbeda dengan tangan kirinya.

Pergelangan tangan itu terlihat lebih besar, kaku dan kehitam-hitaman karena sepanjang hari dibenamkan di pasir panas. Jika dibuka dengan posisi hendak mencengkeram, tangan kanannya terlihat seperti terbuat dari besi.

Ia berlatih terus, seperti telah lupa segala-galanya sebab hanya memikirkan ilmu silat yang sedang dipelajarinya. Setengah tahun kemudian, terlihat ada kemajuan dalam dirinya. Sekarang ia tak melatih tangan kanannya lagi di pasir pantai, melainkan di dalam air mendidih.

Setiap hari selama berjam-jam, Barna menyalakan api menjerang air di dalam kuali. Di dalam air mendidih itulah ia membenamkan tangan kanannya sehingga menjadi sangat kuat. Bahkan pada hari-hari berikutnya, ia mulai bisa melatih tangannya itu di dalam kobaran api.

Sungguh luar biasa, pergelangan tangannya sama sekali tidak terbakar.

Memang hampir tidak masuk akal! Namun di kalangan dunia persilatan, ilmu melatih tangan seperti itu, karena selain membutuhkan waktu yang sangat lama, juga ketekunan disertai tekad baja. Jika berhasil, tangan tersebut akan menjadi kuat luar biasa.

Batang pohon yang sangat kuat pun bisa terkelupas oleh sambaran jemari tangan itu. Selain itu, tenaga dalam yang menyambar dari telapak tangannya mengandung hawa panas yang dapat membuat lawan kewalahan.

Kehebatan tangan kanannya itulah yang membuatnya dijuluki Si Cakar Rajawali. Karena cengkeraman tangan kanannya memang mirip cakar burung rajawali. Beberapa bulan kemudian setelah ilmunya dirasakan sempurna, ia pernah keluar dari tempatnya mengasingkan diri sambil memperdalam ilmu, pergi ke kota untuk membeli kebutuhan hidupnya.

Tanpa ia inginkan, ia hendak ditipu jagoan-jagoan pasar, bahkan mereka memperlakukannya sangat kasar. Maka ia pun mengamuk bagaikan banteng luka. Tangan kanannya yang sekeras baja itu menyambar-nyambar amat dahsyatnya.

Akibatnya memang luar biasa! Setiap jagoan yang terkena sambaran tangannya langsung roboh bersimbah darah. Nama Si Cakar Rajawali segera meluas, berpindah dari mulut ke mulut.

Dan nama itu bahkan merupakan semacam momok yang sangat menakutkan bagi para pendekar di sekitar daerah pantai Cirebon.

Jarang ada pendekar yang mengetahui latar belakang Si Cakar Rajawali. Karena sebelum menguasai ilmu cakar maut itu, ia memang belum dikenal orang dalam dunia persilatan.

◄Y►

2

Teriknya sinar matahari tidak hanya menyengat pantai teluk Cirebon.

Tetapi juga memanggang Desa Pamanukan di daerah Utara Cirebon. Penduduk tampak enggan bicara karena siang itu udara sangat panas.

Hanya beberapa petani yang kelihatan bekerja seperti biasa, atau membawa pulang hasil ladangnya, ke rumah masing-masing. Di tengah-tengah desa yang sedang kepanasan itu, tampak seorang gadis cantik melangkah agak gontai. Peluh membasahi sekujur tubuhnya hingga bajunya terlihat basah.

Berkali-kali ia meneguk air liur sendiri atau membasahi bibirnya dengan air ludah sekadar untuk menahan rasa dahaga dan lapar yang amat sangat. Itulah dia Ranti, putri almarhum Gagak Ciremai dari Desa Perbutulan.

Dara jelita yang memiliki ilmu tinggi, tetapi sedang mengalami prahara cinta, karena harapannya yang begitu indah telah kandas, terhempas di batu-batu karang. Harapannya telah hancur berkeping-keping.

Seperti diceritakan pada awal kisah, Ranti datang dari Desa Perbutulan ke Desa Kandang Haur untuk menemui Roijah, kekasih Parmin. Dara jelita yang dididik dan dibesarkan raja rampok Gembong Wungu ini bermaksud menantang Roijah untuk bertarung memperebutkan Parmin, Si Jaka Sembung. Setibanya di Desa Kandang Haur, ia berhasil menyelamatkan Roijah dari penjara Van Eissen.

Tapi di tengah hutan Loyang, Ranti mengajak Roijah bertarung hidup mati dalam arti siapa yang hidup atau menang dialah yang berhak mendampingi Parmin.

Tetapi kemudian, Ranti menyadari sepenuhnya bahwa cinta memang tidak bisa diperebutkan. Cinta itu lahir sendiri tak bisa dipaksakan.

Akhirnya ia pun meninggalkan Roijah bersama gurunya di tengah hutan itu. Ia berlari dan terus berlari ke luar hutan Loyang, lalu masuk hutan lain lagi. Air mata gadis itu tak henti-hentinya menetes membasahi wajahnya.

Entah berapa hari ia berlari ke luar masuk hutan, Ranti sendiri tidak mengingatnya. Hatinya sangat terpukul karena kegagalannya meraih mimpi-mimpinya yang sangat indah. Akhirnya, dalam keadaan sangat lemas, kehausan dan kelaparan, dara jelita itu sampai di depan desa Pamanukan.

Ranti sebenarnya tidak mempunyai kenalan di desa itu. Ia cuma kebetulan saja sampai di sana dalam perjalanannya yang tanpa tujuan pasti.

Sejenak ia hentikan langkahnya di depan sebuah warung di tengah desa. Di dalam warung itu tampak seorang lelaki sedang makan sendirian dengan posisi duduk membelakangi Ranti.

Rasa haus dan lapar semakin menyiksa. Ranti ingin mampir ke warung itu, tetapi ia tak mempunyai uang lagi. Ia kembali merasakan betapa menyakitkan jika tidak mempunyai uang, apalagi kalau sedang berada di desa orang.

“Apa akalku sekarang?” pikir gadis itu setengah putus asa. “Ah, sebaiknya aku mencoba menawarkan diri mencuci piring kepada pemilik warung itu agar aku bisa minum atau makan.”

Namun ketika melangkah hendak ke warung itu, tiba-tiba seorang lelaki setengah baya menghampirinya. Lelaki itu kurus dan matanya cekung dengan kumis tipis tapi panjang, membuatnya kelihatan lebih tua dari umur sebenarnya. Melihat sinar mata pria itu, Ranti segera menduga bahwa orang yang belum dikenalnya itu pastilah orang licik dan jahat.

Sambil tersenyum dengan setengah menyeringai, Tapor yang dijuluki Serigala Pamanukan itu menatap Ranti dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.

“He, he, he, kelihatannya nona merupakan orang asing di desa ini. Agaknya nona sedang dalam kesulitan. Kalau seandainya nona membutuhkan pertolongan, dengan senang hati akan saya bantu, nona,” kata Tapor.

“Apa maksudmu?” tanya Ranti ketus, tidak senang melihat sikap pria itu, terutama sinar matanya yang jelalatan melirik ke arah dada Ranti.

“Maksud saya begini nona. Saya lihat pedang nona itu sangat bagus. Saya ingin memilikinya. Bagaimana kubeli beberapa gulden? Nona tentu tidak keberatan.”

“Maaf, pak! Senjata ini adalah senjata pusaka pemberian ayahku. Tidak mungkin dijual. Permisi, aku mau pergi dulu,” ujar Ranti sambil membalikkan badan hendak meninggalkan Serigala Pamanukan.

“Hei, tunggu dulu, nona! Saya bermaksud baik. Saya yakin saat ini nona sangat kehausan dan kelaparan, namun tidak mempunyai bekal uang lagi. Biarlah aku membeli senjatamu itu,” kata Tapor sambil mencolek tangan Ranti.

Melihat tingkah lelaki itu agak kurang ajar, menjadi panas juga hati Ranti. Lelaki itu sepertinya menanggapi Ranti sebagai gadis murahan yang bisa diperdaya begitu saja. Seumur hidupnya, Ranti belum pernah dicolek-colek lelaki yang bermaksud kurang ajar seperti itu.

Tetapi agaknya, Tapor sudah terbiasa tidak perduli perasaan orang lain. Walaupun wajah Ranti mulai merah dan matanya mendelik bagai memancarkan api, Tapor tetap cengengesan, bahkan kembali mencolek Ranti.

“Heh, orang tua seperti kau jangan kurang ajar, ya! Nanti kepalamu sendiri yang belah dua oleh senjata pusakaku. Sudah kubilang aku tidak akan menjualnya malah bersikap kurang ajar lagi.”

“Aduh, jangan galak begitu, nona manis. Apa salahnya nona menjual senjata pusaka itu kalau nona memang sangat membutuhkan uang? Pedang itu toh tidak akan bisa memberikan nona minuman dan makanan.”

“Tutup mulutmu!”

Agaknya pertengkaran mulut itu terdengar oleh Karta, lelaki yang sedang makan di warung tersebut. Ia segera bangkit dari duduknya, lalu melangkah menghampiri kedua orang yang sedang bertengkar itu.

Sebenarnya, Karta tidak mau mencampuri urusan orang. Apalagi karena ia juga merupakan pendatang baru di desa Pamanukan. Namun ketika mendengar suara Ranti, tiba-tiba saja dadanya berdebar tak karuan. Suara itu terasa begitu dekat dengan jiwanya, bahkan selama ini bagaikan perlambang kebahagiaan baginya.

Ketika memperhatikan wajah Ranti, terkejut juga Karta karena gadis itu masih sangat muda dan cantik jelita. Agaknya ia juga baru kali ini menginjakkan kakinya di desa ini. Mungkin ia pendekar yang suka mengembara, atau paling tidak sedang dalam perjalanan menunaikan tugas penting. Demikianlah dugaan Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.

“Maaf, saudara-saudara, saya mengganggu pembicaraan saudara berdua. Ada apakah gerangan sehingga orang tua yang tentu saja bijaksana terlibat pembicaraan yang kurang menyenangkan dengan seorang gadis?”

“Hai, siapakah kau anak muda? Kenapa begitu lancang mencampuri urusan orang?” kata Serigala Pamanukan dengan nada tak bersahabat.

“Ah, agaknya tuan telah salah mengerti. Saya sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusan tuan. Saya tidak berhak mencampurinya sebab di antara kita memang tidak ada hubungan apa-apa. Sama seperti tuan yang saya kira juga tidak berhak mencampuri urusan nona itu.”

“Agaknya kau belum kenal siapa aku, ya! Akulah si Serigala Pamanukan, jagoan nomor wahid di desa ini. Kau orang pendatang jangan coba-coba sok jadi pahlawan. Sayang jika kedatanganmu ke sini hanya untuk mengantarkan nyawa!”

“Sungguh merupakan suatu kehormatan bagi saya yang rendah dapat bertemu dengan jagoan desa ini. Tetapi janganlah memaksanya, jangan memperalat kelemahannya untuk memperdayai.

“Barang pusaka memang tidak boleh diperjual belikan. Sebab harganya sama dengan nyawa atau kasih sayang orang yang memberikan pusaka itu. Saya yakin, jagoan sehebat Serigala Pamanukan tentu sudah mengetahuinya.”

“Kurang ajar! Agaknya kau harus diberi pelajaran agar tidak lancang mencampuri urusan orang.”

“Sudah kubilang, saya tidak bermaksud mencampuri. Tetapi bagaimana mungkin aku diam melihat seorang gadis hendak diperdayai orang tua sepertimu?”

“Oh, jadi kau berani menantang aku, hah?”

“Maaf, aku tak perlu lagi melayanimu,” kata Karta ketus.

“Tunggu!” bentak Serigala Pamanukan sambil menggenggam hulu goloknya.

“Maaf, saya harus pergi sekarang. Harap kau tidak terlalu memaksaku.”

Lalu dengan sikap tak mau perduli lagi kepada Serigala Pamanukan, Karta menghampiri Ranti, kemudian dengan sikap bersahabat.

“Maaf, nona! Nona jangan salah paham terhadap saya. Tetapi jika nona kiranya tidak keberatan, marilah kita sama-sama minum dan makan di warung itu. Saya yakin nona adalah teman senasib dan seperjuangan.”

“Terima kasih atas kebaikan hati tuan,” ujar Ranti pelan. Kemudian kedua pendekar berusia muda itu melangkah meninggalkan Serigala Pamanukan, hendak masuk ke warung itu kembali.

Namun Serigala Pamanukan yang agaknya sangat tersinggung atas sikap dan kata-kata Karta kembali membentak dengan wajah merah padam.

“Tunggu dulu anak muda! Kau tidak boleh pergi begitu saja seolah-olah tidak memandang sebelah mata pun terhadap diriku ini. Ini adalah penghinaan bagiku. Dan siapa yang berani menghinaku, berarti ia sudah bosan hidup.”

Karta menatap Serigala Pamanukan dengan sikap yang sangat tenang. Bahkan dengan senyum yang sangat ramah, ia menyahut.

“Saudara yang terhormat, jika kau menuduh aku menghina dan memandang rendah, terserahlah. Tetapi kau pun harus menghormati orang. Saya belum selesai makan tadi, tapi terpaksa harus meninggalkan nasi di meja. Sayang kalau dihinggapi lalat.

“Dan kalau kau ingin ikut makan bersama-sama, silahkan. Kalau tidak, maaf dulu, kami harus segera ke warung itu. Kasihan nona ini tampaknya sudah sangat kelaparan dan kehausan.”

“Kurang ajar! Mulutmu yang lancang itu akan kurobek-robek nanti. Tapi baiklah, sekarang aku beri kesempatan untukmu untuk menghabiskan makananmu. Tetapi setelah itu, jangan harap kau boleh angkat kaki dari sini sebelum berurusan denganku.”

“Terima kasih atas kemurahanmu memberi aku kesempatan untuk makan kembali.”

Karta menarik tangan Ranti memasuki warung itu. Setelah Ranti duduk, Karta menghampiri pemilik warung itu.

“Pak, tolong bikinkan makanan sekalian dengan minumannya untuk nona ini,” katanya.

“Baik, den!”

Ketika pemilik warung sedang menyediakan makanan buat Ranti, Serigala Pamanukan muncul di pintu warung. Ia menatap Karta dengan sinar mata merah bagaikan memancarkan api. Gerahamnya gemeretak, pertanda kemarahannya sudah mencapai puncaknya.

“Makan dan minumlah sepuasmu, gembel busuk! Mungkin ini adalah kesempatan terakhir bagimu untuk menikmati lezatnya makanan,” kata jagoan desa itu dengan sikap mengancam.

“Ha-ha-ha, Serigala Pamanukan! Julukanmu sungguh hebat, tapi sikapmu seperti anak kecil saja,” sahut Karta seenaknya.

Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Serigala Pamanukan segera meninggalkan warung itu.

Karta menatap kepergian lelaki itu sambil tersenyum, seolah-olah geli melihat sikap jagoan desa itu. Sikap Karta demikian tenangnya, sehingga ia seolah-olah merasa tidak pernah terjadi apa-apa, atau tampak tak mau perduli apa pun akan dilakukan Serigala Pamanukan.

◄Y►

3

Tetapi rupanya, Pak Joran pemilik warung makan itu justru sangat cemas. Sambil menyuguhkan makanan dan minuman di meja di hadapan Ranti, lelaki itu mengatakan agar Karta dan Ranti hati-hati. Serigala Pamanukan itu katanya sangat brutal dan mempunyai banyak komplotan yang tak segan-segan berbuat kejam kepada siapa pun yang dianggap berani menantang.

Setelah menyediakan semua pesanan Karta, Pak Joran melihat ke luar melalui jendela warungnya. Orang tua itu menghela napas dalam-dalam.

Wajahnya sedikit muram, mungkin sangat takut membayangkan sesuatu yang tak diinginkan akan segera terjadi di warungnya.

“Sebaiknya kalian berdua hati-hati. Serigala Pamanukan itu sangat kejam dan memiliki ilmu kesaktian tinggi. Selama ini tak pernah ada penduduk di desa ini yang berani melawannya. Pekerjaannya hanya berbuat jahat saja, memeras dan menyiksa penduduk. Semua penduduk desa Pamanukan ini telah benci kepada komplotan mereka.”

“Tampaknya bapak sangat takut padanya. Apakah Serigala Pamanukan itu mau makan daging manusia?” kata Karta dengan sikap sangat memandang remeh kepada lelaki tadi.

“Ah, agaknya kalian berdua memang belum kenal padanya. Sebaiknya kalian berhati-hati. Sesal kemudian tiada guna, demikian pesan orang-orang tua dulu. Kalau sudah marah, Serigala Pamanukan pasti akan mengajak anak buah serta kawan-kawannya ke sini untuk menangkap atau bahkan mencelakakan kalian berdua. Ia tidak akan mau berhenti sebelum niatnya terlaksana.”

“Terima kasih atas nasehat bapak. Tetapi bapak harus mengetahui bahwa kejahatan, cepat atau lambat, pasti akan ada akhirnya. Bapak tak perlu terlalu khawatir atas keselamatan kami berdua. Percayalah, ucapanku tadi suatu saat nanti pasti akan terbukti.”

Ketika Ranti baru menghabiskan setengah makannya, tiba-tiba puluhan lelaki datang ke warung itu bersama Serigala Pamanukan. Para lelaki yang merupakan komplotan jagoan desa itu segera berdiri di depan warung dengan posisi melingkar, seolah-olah sedang mempersiapkan pagar betis supaya Karta tidak bisa melarikan diri.

Serigala Pamanukan maju beberapa langkah. Di tangannya kini telah terhunus sebilah golok panjang. Setelah memberi isyarat agar teman-temannya segera bersiap-siap, lelaki itu berteriak.

“Keluar kau, bedebah! Cepat keluar! Kalau tidak, aku akan mengobrak-abrik warung itu berikut isinya.”

Pak Joran pemilik warung itu menjadi ketakutan. Wajahnya pucat pasi dan sekujur tubuhnya gemetaran dibasahi keringat dingin. Dengan tergopoh-gopoh, lelaki tua itu bersembunyi di dapur. Ia hanya berani mengintip apa yang bakal terjadi melalui celah-celah dinding.

Lain halnya dengan Karta, pemuda itu tampak tidak gentar sedikit pun juga. Ia malah masih sempai minum beberapa teguk, kemudian tertawa tergelak-gelak.

“Ha-ha-ha........! Rupanya kau telah mengundang teman-temanmu ke warung ini, sobat yang baik hati. Sayang sekali, uangku tak cukup lagi untuk membayar makanan kalian semua. Bagaimana kalau kalian saja yang bayar. Sebagai tuan rumah yang baik, kalian tentu tidak akan keberatan, bukan?”

“Jangan banyak bicara kau, monyet! Keluarlah! Engkau harus diberi pelajaran supaya menjadi contoh bagi yang lainnya bahwa siapapun yang berani mencoba-coba menantang Serigala Pamanukan pasti akan mampus!”

Karta kembali tertawa seakan-akan tidak ada sesuatu yang perlu dipikirkan. Diam-diam Ranti merasa kagum juga melihat ketenangan pemuda yang baru dikenalnya itu. Betapa tidak, sekali pun telah dikepung puluhan pendekar yang tampaknya rata-rata memiliki ilmu yang cukup tinggi, ia tetap tenang.

Sikap tenang pemuda itu mengingatkan Ranti kepada Parmin. Pemuda yang dicintainya itu pun memiliki ketenangan yang luar biasa.

Ranti masih ingat, ketika hendak berhadapan dengan Gembong Wungu, Parmin tetap bersikap tenang. Tak terlihat gentar apalagi gugup, padahal semua orang tahu siapa sebenarnya Gembong Wungu dan betapa tinggi ilmu silat yang dimilikinya.

Entah siapa yang bakal menang, seandainya Parmin berhadapan dengan Karta. Ranti membanding-bandingkan kedua lelaki itu di dalam hati.

“Nona yang baik hati, harap nona tidak merasa terganggu atas kehadiran tikus-tikus itu. Saya sebenarnya masih ingin menemani nona makan, sebab tak sopan rasanya meninggalkan teman makan sendirian. Tapi apa boleh buat, mereka tampaknya tak sabaran lagi. Saya harus segera menemui mereka sekarang juga,” kata Karta sambil menatap Ranti dalam-dalam.

“Ah, saya jadi menyesal telah merepotkan tuan!” kata Ranti dengan suara hampir tak terdengar. Gadis itu menundukkan kepala sambil mengetuk-ngetuk jemari tangannya ke atas meja.

Entah apa yang sedang dipikirkannya, tak seorang pun tahu.

“Maaf, nona. Saya harus menemui mereka sekarang,” kata Karta lagi.

“Oh, hati-hatilah. Tampaknya mereka adalah orang-orang jahat.”

Sambil tersenyum, Karta keluar dari warung itu. Rambutnya yang panjang bergoyang bagaikan menari-nari ditiup angin kencang. Sepasang matanya yang mencorong tajam bagaikan mata elang menyapu gerombolan jagoan desa Pamanukan. Ia kembali tersenyum, entah karena apa.

“Saudara-saudara sekalian, saya ucapkan selamat datang atas kedatangan kalian ke sini. Saya yakin saudara-saudara adalah para pendekar yang gagah perkasa yang tak mau ribut hanya karena sebilah pedang pusaka.

“Seperti yang sudah saya katakan kepada saudara Serigala Pamanukan tadi, benda pusaka hanya bisa dinilai dengan nyawa atau kasih sayang orang yang memberikannya dan tidaklah boleh diperjual-belikan. Karena itu, dengan segala hormat saya minta saudara-saudara sekalian tidak memaksa nona itu lagi untuk menjual senjata pusakanya.”

“Kau jangan berlagak pilon, gembel busuk! Tadi aku memang ingin membeli senjata pusakanya. Tapi persoalannya bukan itu lagi. Kau telah berani berbuat kurang ajar terhadapku, Serigala Pamanukan.

“Kelancanganmu itulah yang harus kau pertanggung jawabkan sekarang. Aku tahu kau bukan orang sembarangan, kau pastilah pendekar sakti yang sengaja datang ke desa Pamanukan untuk merebut kekuasaan kami. Tapi jangan harap niat busukmu itu bisa tercapai.”

Karta mereguk minuman dari dalam gelasnya yang sengaja ia bawa tadi dari dalam warung. Setelah mereguk minuman itu, Karta kembali menatap Serigala Pamanukan dengan sikap yang terlalu sukar dimengerti maknanya.

Kusni, jagoan desa Pamanukan lainnya yang dijuluki si Botak dari Neraka rupanya mengenal Karta. Jagoan yang kini berusia sekitar limapuluh lima tahun itu agaknya pernah bertemu dengan Karta, dan telah membuktikan sendiri bahwa kehebatan ilmu Karta bukan hanya sekedar isapan jempol belaka.

“Kawan-kawan, harap hati-hati terhadap iblis ini. Aku kenal padanya. Dialah si Gila dari Muara Bondet. Aku pernah bertemu dengannya,” kata Kusni sambil menghunus goloknya.

“Ha-ha-ha........ rupanya di antara kawan-kawan sekalian sudah ada yang kenal sama aku. Karena itu, aku merasa tak perlu lagi memperkenalkan diri. Aku memang si Gila dari Muara Bondet, tapi aku tidaklah gila seperti yang kalian maksudkan.

“Kalian sendirilah yang gila, beraninya hanya main keroyokan saja. Terhadap seorang gadis lagi. Karena itu, kalau saranku ini tidak terlalu berat, sebaiknya kalian kembali menghadap guru kalian untuk belajar lagi,” kata si Gila Dari Muara Bondet.

“Bangsat!” bentak Serigala Pamanukan geram. Lalu kepada teman-temannya, ia berseru: “Kawan-kawan, pergunakan cara kita yang biasa, ‘Jepit Rajungan’ untuk mengurung monyet ini. Biar tahu rasa dia. Hajar dia sampai........ hep!”

Tiba-tiba ucapan Tapor itu terhenti, karena air minum yang disemburkan Karta melalui mulutnya tepat menghantam mulut jagoan desa itu.

Sewaktu menyemburkan air itu tadi, Karta mengerahkan tenaga dalam, sehingga air minum dari mulutnya berubah seperti beku dan keras. Cukup sakit memang, tetapi bukan rasa sakit itu yang membuat Serigala Pamanukan marah bukan main, melainkan karena merasa dihina.

“Serang...!” teriak jagoan desa itu dengan suara mengguntur.

Bersamaan dengan itu, ia menerjang Karta dengan dahsyat. Goloknya diayunkan ke kepala pemuda itu. Jagoan desa lainnya juga segera menerjang dengan ganas, sehingga si Gila Dari Muara Bondet diserang dari berbagai penjuru.

Karta secepat kilat berkelit ke kiri dan ke kanan. Tubuhnya tampak berkelebatan di antara sela-sela sabetan senjata lawan. Demikian cepatnya gerakan pemuda itu, sehingga lawan-lawannya semakin marah dan penasaran. Semua serangan mereka dapat dielakkan.

Hampir tak dapat dipercaya gerombolan jagoan desa Pamanukan tidak dapat berbuat banyak menghadapi seorang pemuda yang boleh dikatakan masih sangat hijau dan muda dibanding mereka. Apa kata orang-orang nanti jika mereka tidak dapat mengalahkan seorang pemuda pendatang seperti Karta? Orang-orang tentu akan menertawakan mereka.

Merendahkan mereka! Maka Serigala Pamanukan dan teman-temannya semakin ganas dan beringas. Mereka mengeluarkan semua ilmu simpanannya dengan harapan dapat merobohkan lawan.

Akan tetapi si Gila Dari Muara Bondet agaknya bukanlah tandingan mereka. Pemuda itu sekarang tidak hanya menghindar lagi, tetapi juga mulai menyerang dengan gerakan yang semakin cepat. Pemuda itu membuka kain sarungnya dan menggunakannya sebagai senjata.

Di tangan seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi seperti si Gila Dari Muara Bondet, kain sarung itu bisa menjadi senjata yang cukup ampuh. Kadang-kadang kain sarung itu berubah jadi keras dan kaku bagaikan kayu, dan kadang-kadang lemas menyambar-nyambar lawan-lawannya bagaikan sebuah cemeti.

Para jagoan desa Pamanukan menjadi kalang kabut dan jatuh bangun terkena pukulan, tendangan dan sambaran kain sarung Karta. Melihat itu, makin terkejutlah Tapor. Diam-diam jagoan desa Pamanukan itu harus mengakui bahwa Karta memang seorang pendekar yang luar biasa. Bahkan tadi, ia sungguh tak mengira kepandaian pemuda pendatang tersebut setinggi itu.

“Hati-hati, kawan-kawan. Tikus busuk ini mempunyai ilmu siluman!” teriak Tapor.

“Ha-ha-ha, Serigala Pamanukan. Mengapa kau belum juga menyerah?” kata Karta sambil tertawa mengejek.

“Jangan sombong, gembel busuk! Kau pasti mampus!”

“Kalianlah yang akan mampus!” bentak Karta. Agaknya pemuda itu tidak mau main-main lagi. Serangan-serangannya makin ganas dan mematikan.

Satu per satu, jagoan desa Pamanukan itu pun roboh tak bisa bangkit lagi dengan luka-luka yang cukup parah. Sebagian di antaranya malah terkapar tak sadarkan diri.

◄Y►

4

Penduduk desa Pamanukan yang sejak tadi bergerombol menyaksikan pertarungan itu menjadi terkejut dan sangat kagum. Mereka seolah-olah tak percaya pada penglihatannya sendiri. Bagaimana mungkin seorang pemuda pendatang dengan demikian mudahnya mengalahkan gerombolan jagoan desa?

Selama ini Serigala Pamanukan dan kawan-kawannya terkenal sangat ganas dan memiliki ilmu tinggi. Tak ada yang berani melawan jagoan-jagoan desa itu, walaupun sikap maupun perbuatan mereka sangat menggelisahkan penduduk. Kini para jagoan desa telah roboh, di tangan seorang pemuda.

Siapakah gerangan pemuda itu? Penduduk bertanya-tanya satu sama lainnya. Namun tak ada yang kenal pada Karta.

Diam-diam, penduduk desa itu sangat bersyukur karena Serigala Pamanukan dan komplotannya dirobohkan pendekar muda itu. Mereka bahkan sangat mengharap agar cecunguk-cecunguk desa itu dibunuh saja agar kelak tidak berbuat jahat lagi.

Ranti pun merasa kagum! Diam-diam merasa bahwa kepandaian Karta berada di atas kepandaiannya sendiri.

“Entah siapa sebenarnya pemuda ini,” pikir gadis itu sambil melangkah menghampiri Karta.

“Terima kasih, tuan telah menyelamatkan saya dari amukan para jagoan-jagoan tengik itu,” kata Ranti sambil tersenyum manis. Matanya yang bening menatap wajah Karta dengan bersinar-sinar.

“Ah, hanya kebetulan saja, nona. Bukankah nona pun bisa berbuat seperti itu?” ujar Karta.

Penduduk desa itu menghampiri dan mengerumuni Karta. Beberapa di antaranya mengucapkan terima kasih, lalu mengajak pendekar gagah perkasa itu bersama Ranti mampir ke rumahnya untuk dijamu, makan dan minum seadanya.

“Selama ini penduduk desa ini sangat sengsara karena perbuatan mereka. Kami diperas setiap hari, jika melawan disiksa habis-habisan. Bahkan beberapa hari lalu, mereka memperkosa wanita desa ini.”

“Sungguh perbuatan yang sangat kejam, dan biadab!” kata Ranti dengan wajah merah padam.

Sebagai seorang gadis, pemerkosaan memang lebih cepat menyentuh perasaan kewanitaannya. Ia dapat merasakan bahwa seorang wanita yang diperkosa akan merasa sangat tersiksa, baik lahir maupun batin.

“Tidak apa-apa. Mereka memang jahat dan sesat. Mudah-mudahan saja dengan adanya kejadian ini mereka menjadi insyaf. Kami akan berangkat sekarang. Kalau misalnya sikap mereka belum juga berubah, aku berjanji akan datang lagi ke desa ini untuk memberi pelajaran,” kata Karta.

“Aduh, kenapa tuan dan nona harus secepat itu meninggalkan desa ini? Siapakah nama tuan berdua yang gagah perkasa dan cantik jelita?”

“Bapak-bapak tak perlu mengetahui nama kami. Tapi percayalah, nanti kami akan datang lagi ke desa ini. Kami ingin tahu apakah Serigala Pamanukan masih belum juga berubah atau bagaimana. Nah, selamat tinggal saudara-saudara sekalian. Sampai ketemu lagi nanti.”

Setelah berkata begitu, Karta dan Ranti melangkah meninggalkan desa itu diiringi tatapan mata penuh kagum penduduk desa Pamanukan. Pemuda itu tampan dan gagah perkasa, sedangkan gadisnya cantik jelita dan tampaknya juga bukan orang sembarangan. Entah dari mana asal sepasang muda mudi yang sangat mengagumkan itu, kata hati penduduk desa tersebut.

Seolah-olah tidak sadar, Karta dan Ranti sama-sama melangkah sampai ke luar desa. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing, hingga akhirnya sama-sama terkejut ketika menyadari bahwa mereka sebenarnya belum saling kenal.

“Bolehkah aku tahu siapa kau, dik? Siapa namamu dan dari manakah asalmu? Sekarang adik mau ke mana?” tanya Karta dengan sikap yang agak kaku.

“Namaku Ranti, dari desa Perbutulan di lereng Utara gunung Ciremai. O, iya terima kasih atas pertolonganmu, pendekar budiman. Tanpa pertolonganmu, aku tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi pada diriku.”