Jaka Sembung 7 - Lagu Rindu dari Puncak Ciremai(1)

1
Di suatu pagi yang cerah matahari mulai memancarkan sinar keemasannya menyinari alam sekitarnya. Angin berhembus sepoi-sepoi basah menambah sejuk udara yang dihirup oleh makhluk-makhluk yang ada di permukaan bumi ini. Udara yang begitu segar jauh dari polusi.

Nun jauh di sana di kaki gunung Ciremai, di mana mata memandang terlihat pemandangan yang sangat indah. Para petani begitu asyiknya mencangkul tanahnya di sawah. Padi-padi yang hijau maupun yang telah menguning dengan latar belakang Ciremai yang menjulang kokoh ke angkasa raya menambahkan keindahan alam sekitarnya.

Pemandangan yang begitu indah dan tertata rapi itu seperti goresan lukisan yang begitu indah dari sang Pencipta. Puncaknya yang perkasa menembus cakrawala dengan awan bergumpal-gumpal di udara laksana kapas raksasa mengambang.

Di sana Ciremai berdiri tegak membiru dalam kebisuannya. Semakin kita telusuri ke dalam, terlihatlah di atas tebing-tebing terjal di sebelah Utara, suatu benda bergerak merayap, perlahan tapi pasti.

Benda itu sangat kecil bila dibandingkan dengan alam di sekitarnya. Batu-batu cadas yang besar begitu besar bila dibandingkan dengan benda tersebut.

Gerakannya seolah-olah ingin menaklukkan gunung perkasa itu dengan jalan merayap ke puncaknya. Ternyata benda yang sedang merayap naik itu adalah seorang manusia. Sesosok tubuh manusia berpakaian seperti seorang pendekar silat dengan ikat kepala yang berwarna sama dengan kain yang melilit di pinggangnya.

Setiap kali kakinya menginjak tebing, maka setiap kali pula batu-batu kerikil berguguran ke dasar jurang yang sangat dalam. Apakah sebenarnya yang mendorong semangatnya untuk bertarung melawan keterjalan lereng gunung itu?

Barangkali saja apabila ia tergelincir sedikit saja, maka tubuhnya akan melayang ke dasar jurang nun jauh di bawah sana. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya, sementara batu yang berjatuhan saja hancur di bawah sana, apalagi tubuh manusia.

Sambil terus merayap, sesekali tampak ia mengusap peluh di tubuhnya. Manusia itu terus merayap dengan penuh perhitungan.

Selang beberapa saat ia telah sampai di puncak tebing itu. Tampak kemudian ia mengangkat tangannya seperti sedang mengucapkan syukur kehadirannya atas keselamatannya sampai di tempat tersebut.

Manusia itu lalu menengok ke bawah sana di mana terlihat sungai-sungai yang berliuk-liuk seperti seekor naga yang sedang menari, menggeliat lincah ke sana ke mari dengan airnya yang jernih. Di kejauhan, horison melengkung menggambarkan langit yang seperti sedang berpelukan dengan bumi bak sepasang suami istri yang sedang berkasihan.

“Sungguh menakjubkan! Oh……. Yang Maha Pencipta, betapa indah alam yang Kau ciptakan ini. Semua yang ada di sini adalah untuk umat-Mu. Sungguh Engkau Maha Pemurah,” gumam orang itu sambil menengadahkan wajahnya ke atas.

Setelah puas memandang, ia lalu menyandarkan tubuhnya ke sebuah batu besar untuk beristirahat. Mendadak ia seperti teringat akan sesuatu.

Diambilnya sebuah suling dari bambu itu, maka mengalunlah sebuah irama yang melantunkan bayangan kerinduan sebuah hati di antara tebing-tebing cadas yang menyeramkan itu

“Tutuliliut...... Tetiutiut……. tuiiii……....”

“Kasih yang jauh di sana,
Aku selalu terbayang-bayang,
Di kala tidur maupun terjaga,
Engkau selalu hadir sayang........”

Dalam kesendiriannya di puncak tebing itu, tak seorang pun menemaninya, kecuali seruling bambu satu-satunya yang merupakan pelipur duka hati manusia tersebut. Siapakah orang itu? Wajahnya begitu simpatik dengan pakaian bersahaja yang mencerminkan kesederhanaan jiwanya pula.

Dia tak lain adalah Parmin alias si Jaka Sembung! Pendekar dari gunung Sembung yang terkenal.

Ketika lelahnya telah berkurang banyak dan tenaganya mulai pulih kembali, tampak Parmin berdiri dan kembali melanjutkan perjalanannya merayapi tebing Ciremai. Seorang diri ia kembali menanjaki tebing demi tebing untuk mencapai puncak Ciremai yang sesungguhnya.

Keesokan harinya ketika matahari mulai bergenit kembali dengan sinarnya yang terang, Parmin telah sampai di sebuah dataran yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Udara sangat sejuk dan nyaman terasa di kulit.

Parmin terus melangkah. Matanya berkeliling mencari sesuatu. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan pandangan matanya tertumbuk pada suatu tempat.

Tempat tersebut sangat bersih dan rapi, seolah-olah ada tangan yang mengurus dan mengaturnya. Sungguh unik dan fantastis sekali keadaannya. Sembilan buah batu berkeliling membentuk garis oval, tersusun rapi seperti diatur untuk mengadakan suatu pertemuan.

“Inikah tempat yang dikatakan guru? Tempat Wali Sanga bermusyawarah?” gumam Parmin dalam hati.

Pandangan matanya lalu tertuju pada sebuah batu besar di sebelah kanannya. Parmin lalu mendekati batu besar tersebut. Terlihatlah beberapa baris tulisan dalam huruf Arab Jawi yang menerangkan nama beberapa orang.

Sunan Gunung Jati pada baris pertama! Sunan Kalijaga pada baris kedua. Demikian seterusnya sampai jumlah nama tersebut mencapai sembilan orang.

Waktu pun tak terasa lagi oleh Parmin. Ternyata matahari telah tepat berada di atas ubun-ubunnya. Parmin lalu segera bergegas melakukan salah satu kewajiban rukun Islam, yaitu melakukan shalat Dzuhur. Ia segera bertayamum karena tak ada sumber air di sekitar situ, dan segera melaksanakan niatnya.

Ketika Parmin telah mencapai tahap akhir shalatnya, tepat di bagian Tahyatul Akhir, indranya menangkap sesuatu yang tidak beres di sekitarnya. Tepat ketika ia mengucapkan salam pertama menjelang salam kedua, telinganya yang sangat terlatih mendengar suara kaki bergeser dengan halus dan mendekat ke arahnya.

Tiba-tiba secara refleks tubuhnya meletik ke udara bagaikan seekor belalang ketika empat buah senjata rahasia dengan kilatan cahaya berwarna hijau meluncur dengan deras ke arahnya.

“Ser...! Seerrrr...! Siuuut...!”

Serangan yang tiba-tiba itu dapat dihindari Parmin dengan manis, namun belum sempat kakinya menginjak tanah kembali, ia harus jungkir balik lagi untuk menghindari serangan kedua.

“Hiiiihhh...!”

“Tep!”

Sambil berjungkir balik itu Parmin berhasil menangkap salah satu senjata rahasia itu dan melontarkannya kembali ke si pemilik yang menyerangnya secara gelap itu. Parmin berusaha untuk mendarat kembali di tanah setelah melemparkan senjata rahasia tersebut sebagai serangan balasan. Namun sebelum kakinya mencapai tanah, kembali seberkas sinar merah menyergap ke arahnya.
“Wuuussss....... Duaarrr…....!”

Sinar itu meledak di udara dan mengeluarkan asap berwarna hitam merah.

Senjata rahasia yang tadi dilemparkan Parmin secara jitu berhasil memukul senjata berupa sinar merah tersebut di tengah jalan. Kembali Parmin terpaksa berjumpalitan beberapa kali untuk menghindari serangan dan menjaga kemungkinan serangan berikutnya.

Bersamaan dengan itu melayanglah sesosok tubuh dengan dua bilah pedang di tangan yang langsung menyerbu ke arah Parmin. Jaka Sembung melompat beberapa kali ke belakang dan memandang dengan mata membelalak melihat keberingasan orang menyerbu ke arahnya karena ia merasa tak mengenali siapa penyerangnya itu.

“Tunggu dulu! Siapakah gerangan anda dan kenapa tiba-tiba anda menyerangku?” bentak Parmin sambil terus bersiaga terhadap serangan berikutnya yang sewaktu-waktu menyusul.

Belum habis keheranan Parmin atas serangan bertubi-tubi terhadap dirinya itu, kini di hadapannya telah muncul seorang dara manis berpakaian ala pendekar dari daratan Tiongkok. Rambutnya diikat dengan pita merah yang membelah rambut itu menjadi dua bagian. Pakaian berwarna merah membungkus ketat tubuh langsing namun berisi dara tersebut.

Seperti kilat, dara itu kembali menyerang bagian-bagian tertentu dari tubuh Parmin dengan dua buah pedangnya yang dimainkan sekaligus. Sekalipun begitu berbahaya, namun gerakannya begitu indah dipandang mata seperti sebuah tarian ballet yang menakjubkan.

Semula Parmin agak kerepotan menghindarinya. Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau tak segera menguasai keadaan. Dengan segera ia dapat membaca gerakan-gerakan lawan, dan dengan cekatan pula ia dapat menghindar sambil sesekali melancarkan serangan gertakan terhadap lawan.

“Hmm, gadis asing ini sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk bicara dengannya,” gumam Parmin dalam hati sambil terus menghindar. “Apakah aku harus terus menghindar?” tanyanya lagi dalam hati. Di suatu kesempatan yang baik Parmin melancarkan sebuah serangan balasan.

“Traangg...!” Dua buah senjata beradu sampai mengeluarkan percikan api.

“Au...!” Si dara berteriak kesakitan lalu melompat ke belakang sambil memegangi kedua telapak tangannya yang terasa kesakitan sewaktu senjatanya kena dihantam oleh Jaka Sembung. Bibirnya menyeringai menahan sakit karena rasa panas di kedua telapak tangannya.

Dengan suatu gerakan manis, Parmin kembali melompat ke udara untuk menangkap dua bilah pedang yang terlempar dari tangan gadis tersebut, ia lalu menyerahkan pedang itu kepada pemiliknya.

Tanpa diduganya sama sekali, dara itu justru menyerangnya dengan sebuah tendangan lurus ke arah ulu hati Parmin.

Dengan sedikit egoskan pinggangnya, Parmin kembali lolos dari serangan yang dilakukan dari jarak dekat itu.

“Tunggu, nona beri aku kesempatan bicara!” teriak Parmin sambil bersiaga ketika dilihatnya si dara bersiap menyerangnya lagi.

“Minggirlah Ling Pei! Dia memang bukan tandinganmu!” sebuah suara keras dari belakang Parmin telah mengejutkannya.

Dara itu segera mundur ke belakang dengan pedang tetap terhunus siap menyerangnya sewaktu-waktu.

Parmin menoleh ke belakang dengan penuh tanda tanya di kepalanya, ia geser letak kaki kanannya ke samping untuk berjaga-jaga terhadap serangan dari dua arah.

“Heh, siapakah anda?” tanya Parmin dengan nada terkejut karena datangnya orang tersebut. Keningnya berkerut mengingat-ingat siapakah orang yang baru datang tersebut.

“Hmm, kalau tidak salah, bukankah kau si Dewa Suci Penyebar Bala dari Tiongkok itu?” sergah Parmin masih bertanya-tanya, ia khawatir dugaannya keliru dan ia salah mengenali orang.

Orang yang diajak bicara itu bertengger di atas sebuah batu besar dengan kaki terbuka dan terpentang lebar sambil bertolak pinggang. Pakaiannya tampak seperti pakaian pendekar dari daratan Tiongkok. Tubuhnya gemuk pendek dengan kepala plontos yang ikut bergoyang-goyang sewaktu tertawa.

“Ha ha ha...! Ha ha ha... Betul! Bettuuull... Agaknya ingatanmu masih cukup baik, haiyaa...!” katanya dengan aksen Cina yang kental. “Dunia belum kiamat, dan secara kebetulan kita bertemu lagi di tempat yang jauh dan sunyi ini. haiyyya........” sambungnya lagi.

Dengan wajah serius, Parmin memperhatikan sikap di Dewa Suci Penyebar Bala yang terus saja berbicara.

“Tentu anda masih ingat perhitungan kita beberapa waktu yang lalu di desa Kandang Haur! Setahun sudah cukup bagi Dewa Suci untuk memperdalam ilmunya.

“Demi nama leluhurku, akan kubuktikan bahwa ilmu silat kami lebih unggul dibanding orang-orang di tanah Jawa ini. Kami akan menebus kembali kekalahan yang pernah dialami oleh nenek moyang kami, Sam Poo Toa Lang yang gugur di tanah Jawa beberapa waktu berselang!”

Nama Sam Poo Toa Lang yang baru saja disebut si Dewa Suci Penyebar Bala adalah seorang pendekar pengembara Tiongkok yang legendaris. Ia pernah datang ke tanah Jawa dan kemudian dikenal dengan nama Dampo Awang. Niatnya adalah hendak menguasai tanah Jawa, namun berhasil dikalahkan oleh para pendekar di tanah Jawa.

Sam Poo Toa Lang mengira ilmunya tak mungkin dikalahkan oleh pendekar-pendekar pribumi, namun ternyata ia salah perhitungan. Karena kegagalannya itulah, maka Dewa Suci Penyebar Bala lantas berusaha menebus kekalahan yang merupakan legenda tersebut.

“Dewa Suci! Bangsa kami adalah bangsa yang cinta damai, tetapi juga lebih mencintai kemerdekaan,” Parmin berkilah.

“Nenek moyangmu datang ke tanah Jawa dengan maksud menguasai dan menjajah kami, maka sudah kewajiban pula bagi kami untuk menumpasnya!” sahut Parmin kembali sambil berusaha menekan emosi di dadanya mendengar kesombongan lawan.

Dewa Suci Penyebar Bala yang berwajah bundar dengan mata sipit tersembunyi di antara pipinya yang tembem dan hidung yang pesek terus tertawa. Matanya yang sipit itu kelihatan seperti orang tertidur.

“Ha ha ha...! Ha ha ha...! Bangsamu adalah bangsa yang suka merendah dalam berkata-kata, tetapi di balik kata-kata halus itu tersembunyi senjata tajam yang mematikan lawan. Sudahlah, kita tak perlu banyak bicara lagi. Mari kita buktikan siapa yang lebih unggul!” lantang Dewa Suci sambil menyunggingkan senyum sinis.

Bersamaan dengan selesainya kata-katanya. Dewa Suci melesat seperti gumpalan batu yang melesat dari kawah gunung berapi yang sedang meletus. Tubuh si Dewa Suci langsung menyergap Parmin yang telah siap siaga sejak tadi.

“Haiiiayaaat...!” bentaknya mengguntur.

“Hup!” Parmin telah bersiap dengan tenaga dalamnya.

“Gedebruuuk...!”

Terdengar suara benturan yang cukup keras. Tubuh Parmin yang kekar terpental jauh ke belakang menghantam sebuah batu besar di belakangnya. Batu besar itu hancur berkeping-keping, Parmin meringis menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Dalam segebrakan tadi Parmin telah dapat mengukur tenaga dalam lawannya.

Sengaja ia hanya menerima serangan, dan dengan demikian diketahuinya bahwa kepandaian lawan telah jauh meningkat dibanding setahun lalu ketika keduanya bentrok di Kandang Haur, sewaktu Parmin berusaha menyelamatkan Bajing Ireng dari cengkeraman pendekar Tiongkok itu.

“Hebat juga tenaga dalam si botak ini,” gumam Parmin dalam hatinya. Ia segera bangkit memusatkan konsentrasi. Tangannya menyilang di depan dada, kaki kirinya digeser ke depan sedikit.

Kuda-kuda yang kokoh itu disertai tatapan matanya yang tajam menatap setiap gerakan Dewa Suci. Kedua orang perkasa itu melangkah perlahan melingkar dengan posisi kuda-kuda yang berbeda. Masing-masing berusaha mengukur gerak tipu dan tenaga dalam lawannya.

Tiba-tiba dengan teriakan keras yang merobek kesunyian di tempat itu, keduanya meloncat bersamaan.

“Heaaat...!”

“Ciaatt...!”

Bentrokan tenaga dalam terjadi di udara. Parmin menyalurkan hawa panas ke tangannya. Demikian pula yang dilakukan oleh Dewa Suci Penyebar Bala. Bahkan tak kalah hebat, tangannya sampai mengeluarkan asap berwarna putih.

“Braaakkk...!”

Keduanya terpental jauh ke belakang. Tubuh Parmin jatuh berdebam menimpa tanah, persis seperti nangka matang yang jatuh dari atas pohon.

“Weesss...”

Rumput di tanah yang tertimpa tubuh Parmin langsung menghitam hangus karena dahsyatnya pengaruh pukulan Dewa Suci Penyebar Bala. Sementara itu tubuh Dewa Suci pun terpental jauh sampai menerobos semak-semak di belakangnya dan kemudian berhenti ketika sebuah pohon sebesar dua pelukan orang dewasa menahannya.

“Krosssaaakkk... Bukk!”

Dewa Suci Penyebar Bala merasakan dada dan punggungnya sesak dan remuk, kepalanya berkunang-kunang. Pendekar Tiongkok itu segera bersila menghimpun pernafasannya untuk mengusir rasa sakit tersebut.

Parmin berusaha untuk bangkit kembali dari jatuhnya dan bersiap memasang kuda-kuda. Ketika ia berdiri, dirasakannya perutnya seolah akan meledak. Rasa mual berontak ke atas. Parmin merasakan hal yang tidak beres, ia pun segera bersila mengheningkan nafas untuk memusatkan tenaganya.

Perlahan Parmin mulai mempersiapkan jurus Wahyu Taqwa yang menjadi andalannya. Sebuah jurus maut dari ilmu silat gunung Sembung ciptaan Ki Sapu Angin guru si Jaka Sembung. Jurus itu hanya dipergunakan Parmin pada saat-saat terdesak.

Kakinya terpentang lebar membuat kuda-kuda. Tangan kirinya ditekuk sedikit di depan dada sedang tangan kanannya sejajar dengan daun telinga sebelah kanan.

Melihat hal itu, tahulah Dewa Suci Penyebar Bala bahwa lawan tengah menyiapkan sebuah ilmu andalan, ia pun segera memasang kuda-kuda dengan kaki membentang, kedua tangannya terangkat sebatas muka dengan jari-jari terpentang seolah akan menerkam. Dewa Suci Penyebar Bala telah menyiapkan jurus Naga Liar Menerkam Bumi. Salah satu jurus yang sangat diandalkannya.

Kedua seteru itu mulai bermandikan keringat karena pengaruh ilmu yang mereka amalkan. Butir-butir keringat sebesar biji jagung menetes di kening mereka. Suasana tegang mencekam dan menyelimuti puncak Ciremai dalam kebisuannya. Rumput ilalang di sekitar mereka pun ikut tegang.

Ling Pei yang sedari tadi memperhatikan hal itu menjadi ikut tegang dan was-was. Ia sadar bahwa kedua orang di hadapannya itu telah langsung mengeluarkan jurus-jurus andalan yang tentunya sangat berbahaya buat keselamatan jiwa mereka.

Suatu perasaan aneh berdesir dalam hatinya. Di satu sisi ia mengkhawatirkan keselamatan jiwa ayahnya, tetapi di lain sisi ia pun merasa sayang jika pemuda berwajah tampan yang menjadi lawan ayahnya itu akan tewas di tangan ayahnya, ia menahan nafas ketika tubuh kedua orang itu melesat di udara dalam waktu bersamaan.

“Heeeaaatttt...!” teriak mereka berbarengan.

“Plak! Tak! Duaaarrr...” Beberapa kali terdengar bunyi pukulan beradu dengan diakhiri oleh sebuah suara ledakan yang sangat keras.

Ling Pei tercengang ketika melihat asap putih membumbung ke udara sewaktu telapak tangan kedua orang itu beradu. Ling Pei yang melihat hal itu menjadi tegang.

Tubuh Parmin yang tepat berada di pinggir jurang tadi terpental kehilangan keseimbangannya. Tubuhnya mental dan langsung jatuh ke jurang yang sangat dalam itu.

Sebaliknya tubuh si Dewa Suci sendiri terus terpental jauh ke belakang dan kembali menerabas semak serta akhirnya berhenti di sebuah batu besar berwarna hitam yang menahan daya luncur tubuhnya yang telah tak terkendalikan itu. Kali ini Dewa Suci merasakan akibat yang jauh lebih parah dibanding tadi.

Ia segera memusatkan perhatian penuh untuk membantu memulihkan tenaganya sekaligus menghilangkan rasa sakit yang menyergapnya. Dari jubahnya keluar asap, sementara pakaiannya robek-robek tak keruan lagi bentuknya.

“Ayaah...!” Ling Pei segera memburu tubuh ayahnya dengan perasaan penuh kekhawatiran dan haru.

Sementara itu tubuh Parmin terus meluncur ke dasar jurang yang terjal.

“Aaaaaa.....!” menggema suaranya.

Dalam kecepatan tinggi, tubuh Parmin terus meluncur tak terkendali ke bawah jurang yang sangat dalam. Sejenak ia seperti kehilangan semangat dan kesadarannya.

Untunglah ia sempat menguasai kembali dirinya. Matanya yang tajam menangkap bayangan sebuah pohon yang tumbuh di permukaan tebing. Parmin berusaha mengerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk menggaet dahan pohon tersebut.

“Hait! Hup!”

Dengan tepat, tangan Parmin menggaet dahan pohon tepi tebing itu untuk kemudian bergelantungan. Cepat ia pergunakan tenaga penahan dari dahan pohon tersebut, kemudian dengan meminjam daya penahan itu, ia angkat tubuhnya ke dataran yang terdapat di pinggir tebing tersebut.

“Alhamdulillah, Tuhan masih menyelamatkan jiwaku,” gumam Parmin mengucapkan syukur ke hadiratNya atas keselamatan yang diperolehnya sampai saat itu. “Aku harus berhati-hati untuk mencapai tempat itu kembali,” gumam Parmin.

Dewa Suci Penyebar Bala telah berhasil mengatasi luka dalam yang dideritanya. Ia segera melangkah menghampiri tepi tebing untuk melihat ke bawah di mana Parmin terjatuh.

“Aku rasa ia masih dapat menyelamatkan dirinya.” katanya perlahan.

“Ling Pei, mari kita berangkat sekarang. Mungkin di lain saat kita dapat bertemu lagi dengannya,” kata si Dewa Suci kepada putrinya.

“Dia belum mati, ayah?” tanya Ling Pei dengan satu kekhawatiran yang tak dapat dimengertinya segera, ia sendiri heran kenapa di hatinya muncul sedikit kekhawatiran tentang nasib pemuda itu.

“Belum,” jawab ayahnya singkat.

“Ling Pei, mari kita tinggalkan tempat ini segera. Kulihat ada tanda-tanda akan datangnya halimun maut di tempat ini,” sambung Dewa Suci Penyebar Kulit sambil beranjak meninggalkan tempat itu.

Ling Pei hanya menganggukkan kepalanya saja untuk kemudian mengikuti langkah ayahnya. Tak lama kemudian terlihat dua bayangan tubuh melesat dengan cepatnya bagaikan kijang dan kemudian lenyap di balik kesunyian tebing cadas. Mereka menuruni lembah tersebut dengan cepat.

***

2

Parmin masih berjuang melawan keterjalan tebing menuju tempat di mana tadi ia terjatuh. Parmin terus merayap ke atas dengan langkah pasti.

Dengan susah payah disertai keringat yang menggeros keluar dari tubuhnya dengan deras, akhirnya ia sampai ke tempatnya semula. Tempat itu telah sepi kembali. Dewa Suci Penyebar Bala dengan putrinya telah lama meninggalkan tempat itu.

Parmin menemukan kembali sarung dan serulingnya yang tadi tertinggal. Hari telah sore, ia segera mencari sumber air di sekitar tebing itu untuk membersihkan tubuhnya dan melakukan shalat Ashar yang telah tiba waktunya.

Selesai shalat, Parmin berdoa memohon lindunganNya dalam menunaikan tugas suci yang sedang diembannya. Tujuannya masih sangat jauh di atas sana.

Puncak Ciremai belum digapainya. Namun belum jauh kakinya melangkah, seekor burung kecil berwarna ungu menyambar-nyambar di sekitarnya.

“Hmm, menurut guru, burung kecil itu memberi tanda kepada manusia bahwa akan datang halimun yang mengerikan dan membahayakan jiwa manusia,” gumam Parmin sambil mengingat kembali pesan Ki Sapu Angin, gurunya.

Benar saja, dalam waktu singkat segumpal awan tebal telah datang menghampiri tempat tersebut.

Parmin segera merasakan rasa dingin yang menyergap sekujur tubuhnya. Kabut berwarna kelabu yang datang dari lembah sebelah Barat itu hampir menutupi seluruh kawasan lereng Ciremai.

Pendekar dari gunung Sembung itu berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi rasa dingin yang mulai membekukan tubuhnya itu. Ia merasakan dadanya mulai sesak karena kekurangan udara segar.

“Aduh, dadaku sesak,” keluh Parmin dalam hati. Ia berdoa memohon kebesaran Yang Maha Kuasa.

Segera Parmin memusatkan perhatiannya untuk mengerahkan tenaga dalamnya dan mengatur pernafasannya untuk menghasilkan hawa panas dari dalam tubuhnya guna mengusir hawa dingin yang semakin membekukan tubuhnya itu. Sekuat tenaga Parmin berkonsentrasi menyalurkan hawa panas ke seluruh tubuhnya.

Sementara ia menggigil hebat, tampaknya kekuatan tubuh Parmin belum dapat melawan dingin yang disebabkan oleh halimun (kabut yang sangat tebal) tersebut. Dinginnya menyusup sampai ke tulang sumsum.

Dingin yang disebabkan oleh halimun tersebut memang sangatlah dingin, sampai jauh di bawah titik beku. Tak heran jika sampai saat ini banyak pendaki gunung yang hilang dan di kemudian hari baru ketahuan mati beku oleh tim pencari dan penyelamat.

Demikian pula yang terjadi pada diri Parmin. Sekalipun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun tetap saja kekuatannya tak mampu menandingi kekuatan alam yang sangat dahsyat.

Parmin segera merasakan pandangannya berkunang-kunang. Nafasnya mulai sesak, dadanya seperti hendak pecah. Sementara telinganya didera oleh suara seribu air terjun yang jatuh berbarengan.

Parmin tak kuat lagi menahan kebekuan yang mengungkung dirinya, ia tak dapat bertahan lebih lama lagi. Tak lama kemudian ia jatuh tak sadarkan diri dalam kondisi kaku dan posisi kuda-kuda jurus Hening Cipta ajaran gurunya.

Demikian dahsyat pengaruh halimun yang datang itu. Dalam kesamaran halimun yang pekat itu mendadak terlihat sesosok bayangan melayang ke arah Parmin. Wajah orang itu kurang jelas terlihat, tetapi ia sepertinya tak terpengaruh oleh rasa dingin yang menggila itu. Dengan santai bayangan tubuh itu lantas menghampiri Parmin.

“Kasihan! Kasihan kau, anak muda yang belum berpengalaman, begitu berani menentang bahaya,” desahnya dalam hati sambil meraba tubuh Parmin.

Orang yang baru datang itu berpakaian serba putih dengan ikat kepala berupa kain putih menutupi seluruh rambutnya. Di tangannya terlihat sebatang tongkat besi untuk menyanggah tubuhnya yang tua itu.

“Kasihan! Sungguh kasihan, ia masih hijau dan memerlukan banyak pendidikan,” gumam orang itu sambil mengangkat tubuh Parmin yang berdiri kaku lalu meletakkannya di atas pundak.

Orang itu mengangkat Parmin seperti mengangkat sekarung kapas saja, begitu ringan ia melangkah. Hawa dingin di sekitarnya sama sekali tak berpengaruh terhadap dirinya.

Bisa dibayangkan bahwa ia merupakan orang yang memiliki ilmu dalam yang sempurna. Beberapa saat kemudian sampailah sudah ia di kediamannya, sebuah lembah yang terletak di lereng Ciremai itu.

Tubuh Parmin lalu diletakkannya di sebuah dipan, kemudian orang itu membuat api unggun untuk menghangatkan suasana. Malam telah menyelubungi seluruh alam, langit berwarna pekat.

Malam merambat terus merangkak dan merayap menuju dinihari. Langit di sebelah Timur lembah berwarna lembayung ketika Parmin siuman.

“Uhh, di mana aku? Ya Allah, ya Rabbi....... apa yang terjadi.......?” Parmin berkata pelan seperti kepada dirinya sendiri ketika sadar.

Rasa pedih yang disebabkan oleh lambatnya tubuh beradaptasi dari dingin yang membekukan ke udara hangat yang terhembus dari api unggun orang itu terasa menyengat di sekujur tubuhnya. Bola matanya bergerak ke sana ke mari memperhatikan keadaan sekelilingnya.

“He he....... Syukurlah kau telah sadar!” terdengar sebuah suara lembut menyapanya.

Parmin menoleh dan melihat seorang tua dengan wajah lembut mengulurkan sebuah mangkuk berisi air hangat ke wajahnya.

“Kau berada di tempat yang aman, anak muda,” katanya kemudian dengan nada penuh kasih sayang, kentara sekali sikap bijak dan arif yang dimilikinya.

“Minumlah ramuan ini, buatanku sendiri untuk menyegarkan kembali pembuluh-pembuluh darahmu yang membeku. Kau akan segera merasakan kehangatan yang segar setelah meminumnya.” Orang tua itu menjelaskan apa yang diberikannya pada Parmin.

“Siapakah engkau orang tua? Anda begitu baik hati, mau menolongku,” tanya Parmin sambil menerima mangkuk tersebut.

Ia teringat bahwa beberapa saat yang lalu sepertinya ia sedang bergulat dengan kematian yang diantarkan oleh kebekuan udara yang disebabkan datangnya halimun tadi. Orang tua yang kulitnya sudah keriput dan giginya tinggal dua serta alis mata dan jenggot yang sudah memutih itu tidak segera menjawab.

Diperhatikannya wajah Parmin dengan seksama. Perlahan ia menarik nafas, untuk kemudian tertawa kecil. Suaranya merdu didengar.

“He he he....... Orang menjuluki aku dengan nama Begawan Sokalima, mungkin karena rupaku yang buruk ini mirip dengan penggambaran Begawan Dorna dalam cerita pewayangan itu. Aku tak menolak julukan tersebut, bahkan senang karenanya,” jawabnya merendah.

“Terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan hati anda,” sahut Parmin hormat, ia lalu menenggak habis isi ramuan yang diberikan orang tua itu tanpa ragu karena telah melihat sikap orang yang menyenangkan hatinya.

“Kau, anak muda, boleh juga memanggilku dengan sebutan itu, he he he.......” kata Begawan Sokalima seraya tersenyum lembut. “Siapakah namamu, anak muda?” tanyanya lagi.

“Parmin,” jawab Parmin singkat dan sopan. Tangan kirinya mengulurkan kembali mangkuk minumannya.

Suasana hening sejenak. Begawan Sokalima menatap Parmin dengan tajam seolah-olah akan menelan habis tubuh pemuda itu. Yang ditatap tetap tenang sekalipun ia tahu orang tengah mengawasi dirinya.

“Parmin? Hmmm, aku sudah lama sekali berkeinginan untuk mengangkat murid, namun kiranya baru hari ini keinginanku terkabul. Aku sudah tua, sayang sekali bila ilmu yang kumiliki ini tak bisa kuturunkan kepada siapapun,” katanya tiba-tiba sambil memegang pundak Parmin erat-erat. Sikapnya seolah meminta kesediaan Parmin untuk menjadi muridnya.

“Terima kasih atas kebaikan orang tua, tetapi saya telah mempunyai seorang guru. Tentunya tidak baik bila saya harus menerima ilmu dari orang lain tanpa sepengetahuan beliau,” kata Parmin takut membuat Begawan Sokalima kecewa mendengar jawabannya.

Ia pun sebenarnya tertarik untuk menjadi murid Begawan Sokalima. Cuma perasaan hormatnya terhadap Ki Sapu Angin membuatnya tak enak bila sembarangan memperoleh ilmu dari orang atau cabang lain.

“Aku mengerti kekhawatiranmu itu. Katakanlah siapa gurumu yang telah beruntung memperoleh murid sepertimu?” tanya Begawan Sokalima setelah meneliti bakat yang terpendam dalam diri Parmin, yang terlihat dari sorot mata dan bentuk tulangnya.

“Guruku dikenal orang dengan sebutan Ki Sapu Angin dari Ciremai.......” jelas Parmin yang disambut dengan senyum gembira di wajah Begawan Sokalima.

“He he he bagus, bagus....... Kau murid Ki Sapu Angin, berarti bukan orang lain bagiku. Gurumu adalah sahabat dekatku, dan ilmu yang kami miliki sama-sama berasal dari satu sumber. Bagus. Kalau kau murid Ki Sapu Angin, berarti tak perlu berizin-izin segala. Dia pasti mau mengerti, he he....... Beruntunglah aku, ilmuku jatuh tak jauh dari sumbernya.”

Orang tua itu tampak senang sekali mendengar nama guru Parmin. Melihat sikap orang yang tampak seperti orang senang dan kangen, Jaka Sembung dapat mempercayai ucapan orang. Dalam hatinya ia berkata bahwa tak ada salahnya ia menerima ilmu dari orang yang merupakan sahabat gurunya, tentunya hal itu bukan berarti ia telah berkhianat terhadap perguruan maupun gurunya.

“He he he, tapi kau juga harus melewati ujianku dulu sebelum kuterima sebagai muridku. Nah, bersiaplah untuk esok pagi. Kau harus bertempur di lembah Banyu Panas. Sanggupkah kau?” tanya Begawan Sokalima yang memperoleh jawaban berupa anggukan kepala tanda setuju dari Parmin.

“Kalau kau berhasil lulus, aku akan mengajarkanmu ilmu tongkat yang sangat ampuh untuk menandingi jago-jago kebatilan yang selalu membuat rusuh dunia ini! Kau tak bisa hanya mengandalkan ilmu silat dengan golok pendek yang kau miliki itu!” Begawan Sokalima berkata-kata sambil mengelus-elus jenggotnya yang berwarna putih.

Parmin memperhatikan dengan serius apa yang diucapkan Begawan Sokalima. Sementara sang Begawan berbalik untuk menambahkan kayu bakar ke api unggun yang mulai meredup nyalanya. Ia lalu menambahkan lagi.

“Jangan kaget, Parmin. Aku bisa menebak ilmu silat yang kau miliki ketika melihat kau berdiri dalam keadaan beku di atas sana. Caramu melakukan jurus Hening Cipta itu segera memperlihatkan siapa dan darimana asal ilmumu.”

Orang tua itu menghembuskan nafas panjang sejenak, lalu berkata lagi dengan perhatian serius dari Parmin.

“Aku tahu ilmu Gunung Sembung merupakan ilmu silat yang sangat ampuh, tetapi pelaksanaan dan penghayatan ilmu tersebut harus disertai dengan penyempurnaan yang tidak tanggung-tanggung,” jelas Begawan Sokalima memberi petunjuk pada Parmin.

Jaka Sembung sama sekali tidak tersinggung karena ilmu silat perguruannya dinilai orang tua itu, justru ia merasa bahwa matanya baru terbuka sekarang dengan adanya petunjuk dari Begawan Sokalima. Ia mengangguk tersenyum mendengarkan ucapan Begawan Sokalima untuk menyatakan kesediaannya menjadi murid orang tua yang bermata awas dan memiliki wawasan yang cukup luas itu.

“Istirahatlah dulu kau, besok pagi kau harus sudah bersiap. Atur pernafasanmu perlahan-lahan, jangan di paksakan apabila tidak kuat,” kata Begawan Sokalima lagi sambil berbalik meninggalkan Parmin.

“Baik, guru,” sahut Parmin.

Pagi-pagi sekali di lembah Banyu Panas telah terlihat dua sosok tubuh saling berhadapan dan berdiri tegak di tengah-tengah lembah yang penuh asap belerang dan air mendidih di sekitarnya. Bau belerang yang tidak enak itu membuat dada serasa sesak dan susah bernafas.

“Sudah siap kau, Parmin?” tanya Begawan Sokalima.

“Siap, guru!” sahut Parmin cepat.

Bersamaan dengan selesainya perkataan Parmin, entah dari mana datangnya tiba-tiba sebuah rajawali besar melayang menghampiri dan kemudian bertengger di pundak sebelah kanan Begawan Sokalima dengan enaknya seolah terbiasa berlaku seperti itu.

“He he he....... Parmin. Lihatlah di sekelilingmu, sedikit saja kau salah langkah, tak ayal lagi kau pasti jadi daging rebus di bawah sana!” tegur Begawan Sokalima memperingatkan.

Parmin berdiri tegak dengan penuh konsentrasi bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Kau lihat rajawali di tanganku ini? Burung ini pernah mentotol mata seorang raja rampok sakti yang coba-coba menggangguku,” jelas Begawan Sokalima.

Burung rajawali itu lantas mengkepak-kepakkan sayapnya pertanda mengerti bahwa orang tengah membicarakan dirinya.

“Pernahkah engkau mendengar tentang seorang perampok yang kejam dan ganas bernama Gembong Wungu”!” tanya Begawan Sokalima yang membuat hati Parmin terkejut juga mendengar nama itu.

“Orang itu sudah mati!” jawab Parmin cepat.

“He he he, sudah mati? Bagus! Berarti satu lagi jenis manusia pembawa malapetaka tersingkir dari muka bumi ini,” kata Begawan Sokalima dengan wajah lega.

Parmin hanya terdiam saja, ia terus memusatkan perhatiannya.

“Baik! Sekarang bersiaplah kau,” sentak sang Begawan. Tiba-tiba mata sang Begawan memancarkan sinar merah dan melotot tajam ke arah Parmin.

“Sekarang....... mulai!” seru Begawan Sokalima dengan suara keras.

Rajawali itu segera melesat bak peluru dari pundak Begawan Sokalima langsung menuju tempat di mana Parmin berdiri.

“Ayo, terkam dia rajawaliku!” Begawan Sokalima berteriak memberi perintah. Ternyata rajawali itu tak langsung menyerbu, ia justru membumbung tinggi ke angkasa dan berputar-putar di atas kepala Parmin.

“Yak, habisi dia!” Terdengar kembali Begawan Sokalima berseru.

Parmin yang berada di bawah terus mengikuti gerak rajawali tersebut. Tubuhnya ikut berputar dengan penuh kesiagaan untuk menjaga segala kemungkinan.

“Rajawali ini tak dapat dipandang ringan! Betapa tidak, perampok tangguh macam Gembong Wungu saja dapat dipecundangi oleh rajawali ini. Rupanya itulah sebabnya Gembong Wungu menjadi buta sebelah!” Parmin bergumam sambil terus mengawasi rajawali tersebut.

Tiba-tiba burung rajawali tersebut menukik keras ke bawah dengan cepat seperti luncuran sebuah meteor, kedua cakarnya mengembang di muka. Parmin segera memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di depan untuk melindungi mukanya.

“Swiiingggg.......! Brett.......!”

Baju Parmin robek di bagian pundak kanannya. Sekalipun Parmin sempat mengelakkan serangan rajawali tersebut, namun tetap saja pundaknya kena tersambar. Burung perkasa itu kembali melesat ke udara untuk kemudian dengan cepat berbalik menukik dan mengancam Parmin lagi.

Untunglah Jaka Sembung cukup lincah mengelak ke sana ke mari. Rajawali itu terus terbang dan menyambar-nyambar berulang kali. Parmin kewalahan juga pada akhirnya. Seberapapun cepatnya ia bergerak menghindar, tetap saja bajunya kena tersambar. Masih untung ia dapat menyelamatkan bagian wajahnya dari cakaran rajawali tersebut.

Kelihatannya rajawali itu sangat terlatih untuk bertempur. Ia terus mendesak Parmin ke tempat-tempat yang sangat berbahaya. Sementara harus menghindarkan serangan-serangan maut si rajawali itu, uap belerang semakin menyengat hidung Parmin. Semakin lama ia semakin terdesak ke pinggir jurang.

“Asap belerang ini menyesakkan nafasku dan juga melemahkan gerakan-gerakanku,” desah Parmin khawatir.

Rajawali itu terus menyerang dan berhasil menyudutkan Parmin ke sudut yang berbahaya. Lama-lama Parmin kehilangan kesabarannya pula, ia segera berteriak kepada Begawan Sokalima.

“Begawan Sokalima,” Parmin memanggil sang Begawan dengan sebutannya, bukan dengan panggilan guru karena rasa kesalnya telah memuncak. “Apakah kau menginzinkan ku untuk membunuh rajawalimu?” teriak Parmin dengan suara lantang.

“He he he....... Parmin, berbuatlah sesuka hatimu. Kalau kau tidak mau membunuh rajawali itu, akhirnya engkau sendiri yang akan dibunuhnya!” sahut sang Begawan mengancam. Ia tertawa bangga atas kehebatan rajawalinya.

“Hmm, dia terus menyambarku dari belakang. Aku bisa menghantamnya dengan berpura-pura lengah. Kesempatan baik buatku,” pikir Parmin. Ia terus mengawasi dengan ekor matanya ke setiap gerakan rajawali itu.

“Keeaakk.......!”

Terdengar seruan rajawali itu diiringi sambaran mautnya ke arah tengkuk Parmin yang saat itu tengah berdiri membelakanginya. Ia telah membayangkan sekumpulan urat nadi yang empuk di leher Parmin itu.

Ketika jarak burung itu semakin dekat dengan dirinya, tiba-tiba Jaka Sembung miringkan tubuhnya ke kiri dan tangan kanannya bergerak dengan kecepatan yang sulit dilihat mata biasa. Leher rajawali tersambar tepat di bagian yang diincar Parmin.

“Beuuuttt.......! Kraaak.......! Kek.......!”

Sambaran tangan Jaka Sembung berhasil menyambar leher burung tersebut tepat di bawah paruhnya. Tangannya segera bergerak kilat mematahkan leher burung tersebut dalam sekali puntir.

Ia lalu membanting tubuh rajawali itu ke tengah-tengah telaga yang mendidih airnya. Rajawali itu mati seketika ketika lehernya dipatahkan Parmin, tubuhnya melayang tak berdaya ke telaga itu dan dalam waktu singkat menjadi matang karena panasnya air telaga tersebut.

“He he he....... bagus! Kau ternyata cukup tangkas dan cerdik, Parmin. Meskipun aku merasa sayang kehilangan rajawali yang telah sangat berjasa dalam hidupku itu, tetapi aku bangga mendapat murid sepertimu. He he he....... Marilah, anak muda. Hari ini juga akan kuajarkan jurus pertama dari serangkaian ilmu tongkatku!” ajak Begawan Sokalima dengan hati gembira.

“Alhamdulillah,” gumam Parmin bersyukur.

Demikianlah setelah melewati ujian itu dan berhasil. Parmin lalu diangkat sebagai murid oleh Begawan Sokalima sesuai dengan janji yang telah diucapkannya.

Sejak saat itu Begawan Sokalima menurunkan ilmu tongkat yang dimilikinya kepada Parmin dan pemuda itu menerimanya dengan sepenuh hati. Dalam hatinya, Jaka Sembung telah berjanji untuk mempelajari ilmu itu dengan sungguh-sungguh dan akan mengamalkannya demi kebaikan.

Begawan Sokalima segera memperagakan jurus yang sangat diandalkannya itu. Ia menggunakan sebatang tongkat sebagai senjata andalannya.

“Lihat! Tangan kanan digunakan sebagai sumbu putar atau semacam engsel dan tangan kiri kita pergunakan sebagai alat kemudinya. Kuda-kuda yang mesti kau lakukan adalah seperti ini,” Begawan Sokalima memberi petunjuk yang diamati oleh Jaka Sembung dengan serius.

“Heaat.......!” Kuda-kuda yang digambarkan oleh Begawan Sokalima adalah mementang kaki lebar dengan lutut sebelah kanan hampir menyentuh tanah, sementara lutut kiri ditekuk sedikit sejajar dengan pangkal paha. Tubuh Begawan Sokalima miring sedikit ke kiri dengan sebatang tongkat besi menyilang depan dada.

Setelah memberikan peragaan tersebut. Begawan Sokalima mempersilahkan Parmin untuk memulai latihan. Ia sendiri lantas meloncat ke atas sebuah batu besar berwarna hitam yang dilapisi lumut berwarna hijau tua sekali. Batu itu sangatlah licin, kalau tak memiliki keseimbangan tubuh dan kepandaian meringankan tubuh yang tinggi, pasti akan terpeleset berdiri di atas batu tersebut.

Parmin lantas mengikuti contoh gerakan yang telah diperlihatkan oleh Begawan Sokalima. Dengan penuh semangat serta keseriusan yang tinggi, dengan dukungan bakat serta kecerdasan yang dimiliknya, Parmin dengan cepat dapat memahami segala perintah dan petunjuk yang datang dari sang guru Begawan Sokalima yang dikerjakannya dengan bersungguh-sungguh.

Begawan Sokalima pun sangat bangga dengan kesungguhan anak asuhnya itu mempelajari ilmu yang diberikannya. Ia memperhatikan dengan seksama apa yang diperlihatkan Parmin di awal latihannya.

Setelah melihat kesungguhan dan kecerdasan Parmin, Begawan Sokalima tak sungkan-sungkan lagi untuk menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Ilmu silat gunung Sembung yang dimiliki Parmin sangat mirip dengan ilmu silat yang diajarkannya, oleh karena itu Parmin tak banyak mengalami kesulitan dalam menyerapnya. Hari demi hari, minggu demi minggu, dan beberapa bulan berlalu.