Jaka Sembung 6 - Si Cakar Rajawali(2)

Karta tertegun mendengar suara Ranti. Suara itu mirip sekali dengan suara Nuraini, kekasihnya yang beberapa tahun lalu meninggal dunia sebelum mereka sempat mewujudkan cita-cita cinta mereka.

Kenapa suara gadis ini mirip sekali dengan suara Nuraini? Apakah aku salah dengar? bisik hati Karta dengan perasaan tak menentu.

“Eh, kenapa kau diam saja, pendekar budiman?” tegur Ranti sambil menatap wajah Karta dalam-dalam.

“Oh, aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa, dik. Hendak ke manakah tujuanmu, dik Ranti? Apakah kau sedang dalam kesulitan? Jika........”

“Ah, tidak!” Ranti menyela ucapan Karta, “Aku tidak mau ke mana-mana. Aku hanya jalan-jalan saja, ingin melihat-lihat keadaan desa orang lain di seluruh tanah Cirebon ini.”

“Kalau begitu, bolehkah kita menjadi kawan seperjalanan?”

“Terima kasih, pendekar. Kau telah berbuat baik padaku. Semoga Tuhan membalas budi baikmu. Tapi biarlah aku melanjutkan perjalanan sendiri. Nah, sekarang kita sudah sampai di batas desa. Biarlah kita mengambil jalan masing-masing. Selamat berpisah, pendekar budiman!”

Lalu Ranti meloncat, tubuhnya melesat dan dalam sekejap hilang di balik pepohonan. Tak terdengar lagi suara percakapan, hanya suara desir angin menerpa dedaunan.

Si Gila Dari Muara Bondet berdiri termangu-mangu. Hatinya serasa hancur luluh. Rasa sepi dan hampa merejam kalbunya. Entah karena apa, ia sendiri belum bisa memastikan.

“Oh, Tuhan, kenapa hanya sekejap saja ia berada di dekatku? Kenapa........?” Hati pemuda itu merintih sedih. “Nuraini, oh Nuraini? Mungkinkah engkau telah menjelma kembali ke bumi ini?”

Pertemuan yang teramat singkat itu ternyata telah membuat luka lama di hati Karta kambuh lagi. Kenangan indah dan manis kembali memenuhi benaknya. Ia teringat masa-masa penuh kemesraan tatkala Nuraini masih berada di sisinya. Memang saat itu cukup banyak tantangan.

Tetapi dengan dua hati yang berpadu jadi satu, semua itu bisa dihadapi dan diatasi. Karta dan Nuraini melangkah bersama, berbagi suka maupun duka. Janji pun teruntai mengikat dua hati yang sedang dimabuk asmara.

Tetapi semua itu hanya tinggal kenangan. Perjalanan hidup ini memang terlalu penuh dengan misteri. Apa yang terjadi esok hari, tak seorang pun tahu. Manusia hanya bisa meramal dan mereka-reka. Karena itu orang mengatakan, manusia hanya bisa merencanakan tapi keputusan tetap di tangan Tuhan.

Di luar segala perhitungan dan harapan, maut merenggut nyawa Nuraini.

Gadis itu pergi dan takkan pernah lagi kembali. Ia pergi bersama cinta yang masih bersemi di dalam sanubari.

Karta pun merasa terhempas ke dalam jurang yang maha dalam dan gelap. Segala harapan dan mimpinya yang indah hancur sudah. Tiada lagi yang bisa ia harapkan. Cinta yang telah sempat memberinya keindahan ternyata juga memberinya kehancuran.

Kenyataan ini terlalu pahit dan menyakitkan. Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet itu memang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Ia telah bertahun-tahun melanglang buana menembus jalan penuh duri, menghadapi musuh-musuh yang tangguh.

Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai macam cobaan. Namun kepergian Nuraini untuk selama-lama tidak bisa ia tahankan. Jiwa dan hatinya terlalu rapuh untuk bisa menerima cobaan seperti itu.

Maka sejak saat itu, Karta menghadapi hari-harinya yang kelam. Ia melangkah tanpa harapan. Penyesalan selalu bergayut di dadanya. Seandainya dia dan Nuraini memang harus berpisah karena kematian, kenapa bukan ia yang lebih dulu mati? Itu lebih baik daripada ia harus hidup menyendiri tanpa kekasihnya itu.

Sekarang, ia bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang suaranya mirip sekali dengan Nuraini.

Tidaklah mengherankan jika perasaannya terasa kosong melompong setelah kepergian Ranti.

Tanpa disadari oleh Karta, gadis yang baru saja meninggalkan dirinya juga merasa tak menentu. Ranti berlari dan terus berlari sampai akhirnya ia tiba di sepanjang tebing kali Cimanuk menuju ke arah muaranya.

Ranti merasa menyesal karena meninggalkan pemuda itu. Tetapi ia memaksakan diri untuk melupakannya. “Sebagai wanita aku tidak boleh terlalu penurut kepada lelaki, apalagi yang baru kukenal,” pikir gadis itu.

Tetapi entah mengapa pula ada rasa kesal menyusup ke dalam hatinya karena terlanjur mengenal pendekar budiman itu.

“Tak seharusnya aku berkenalan dengannya!” bisik hati Ranti.

Dan diam-diam, ia mulai merasakan bahwa kegagalan cintanya yang pertama telah menjadi semacam trauma baginya. Ia tak ingin perkenalannya dengan Karta melahirkan rasa cinta di dalam hatinya.

Ia tak ingin gagal lagi, seperti ketika ia mencintai Parmin. Ia merasa lebih baik hidup menyendiri, jauh dari cinta dan lelaki daripada kelak ia mengalami kegagalan lagi.

Akhirnya dara jelita itu tiba di pinggir tebing kali Cimanuk. Ranti duduk bersandar pada batang pohon rindang yang tumbuh di atas tebing itu. Tebing itu cukup curam dan dalam.

Di bawahnya mengalir tenang kali Cimanuk. Burung-burung bangau terbang kian ke mari, melintas di antara mega-mega, di atas kali Cimanuk. Beberapa ekor di antara burung bangau itu terbang berpasang-pasangan, mencerminkan kesetiaan dan kemesraan.

“Ah........” hati Ranti kembali merintih.

***

5

Jauh di seberang kali, tampak rumah penduduk berjejer di antara pepohonan. Sementara di tengah sungai yang cukup jernih itu, tampak sampan hilir mudik menyeberangkan orang dari daratan sebelah Timur ke Barat.

Tukang sampan penyeberang orang itu bekerja keras mengayuh dayung agar lebih cepat sampai di seberang. Lelaki itu mengenakan topi lebar terbuat dari anyaman bambu untuk melindungi wajahnya dari sengatan terik matahari.

Itulah pekerjaan sehari-hari lelaki itu untuk menghidupi keluarganya. Istri dan anak-anaknya tentu sedang menunggunya di rumah dan mengharap uang yang dibawa hari ini lebih banyak dari hari-hari kemarin.

Berat juga tanggung jawab lelaki itu terhadap keluarganya. Tetapi alangkah bahagianya hidup bersama orang yang dicintai. Mereka akan berbagi suka maupun duka, saling bercanda dan bertukar pikiran jika seandainya ada sesuatu persoalan.

Sedangkan Ranti sendiri, kepada siapakah ia harus menceritakan segala keluh kesahnya? Orang tua tidak punya, sanak famili pun demikian. Bahkan sahabat dekat pun tidak ada. Ia merasa dirinya terkucilkan, merasa terlempar ke dunia kesepian yang teramat menyakitkan.

“Ayah, ibu, mengapa aku harus tersesat ke dalam dunia yang sunyi ini?” rintih gadis itu.

Tanpa ia sadari air mata menetes satu persatu membasahi wajahnya yang kusam. Ternyata hidup kesepian merupakan siksaan batin yang teramat menyakitkan. Segalanya terasa gersang hampa dan serba menjepit.

Memang demikianlah kehidupan ini. Harta dan kedudukan tidaklah cukup bagi orang. Tetapi juga perhatian dan kasih sayang baik dari orang yang dicintai maupun kerabat lainnya. Orang tidak akan merasa hidupnya tenang jika merasa tak diperhatikan atau disayangi.

Ini membuktikan bahwa dalam hidup ini, manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan lahir, tetapi juga kebutuhan batin. Seorang anak misalnya jika merasa tak diperhatikan dan disayangi di rumah biasanya akan mencari pelarian di luaran.

Dalam keadaan seperti inilah si anak sering terjerumus ke dalam hal-hal yang kurang baik. Meskipun misalnya keadaan materi di rumahnya serba berkecukupan dan mewah.

Ranti hampir saja putus asa. Ia sungguh tidak tahu harus melakukan apa agar bisa terbebas dari belenggu kehidupan yang penuh kesunyian serta kegersangan ini. Tanpa ia inginkan, ia teringat lagi ketika ia masih dalam asuhan Gembong Wungu.

Saat itu rasanya tiada yang kurang sebab waktu itu ia memang belum mengenal cinta. Ia hanya butuh perhiasan, uang dan sebagainya.

Rupanya kehidupan sewaktu kecil lebih enak dibandingkan setelah dewasa, pikir gadis itu sedih. Ia tidak mau memikirkan lebih lanjut apakah anggapannya itu benar atau salah. Ia cuma merasakan hidupnya sekarang jauh lebih menyakitkan daripada sewaktu dirinya masih kecil.

“Dik Ranti...!”

Tiba-tiba terdengar seorang laki-laki menyebut namanya. Ia segera berpaling menatap ke arah asal suara itu. Alangkah terkejutnya Ranti, karena di tempat itu telah berdiri si Gila Dari Muara Bondet.

“Oh, kau pendekar dari Muara Bondet. Mengapa kau mengikuti aku ke tempat ini? Mau apa kau?” ujar Ranti dengan suara tidak bersahabat.

Karta tidak segera menyahut. Pemuda itu merasa tak menentu mendapat sambutan kurang bersahabat dari Ranti. Tadi ia memang sengaja menyusul Ranti, karena masih sangat penasaran. Ketika tubuh Ranti lenyap, pendekar dari Muara Bondet itu segera menyusul.

Ia mengerahkan ilmu lari cepat yang telah hampir mencapai kesempurnaan. Tubuhnya berkelebatan di sela-sela pepohonan dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, pendekar muda itu dapat menyusul Ranti. Tetapi ia tidak segera menghampiri, melainkan membuntuti dari belakang, ingin tahu hendak ke mana sebenarnya gadis itu.

Karta merasa terkejut juga setelah melihat Ranti duduk menyendiri di atas tebing sambil bersandar di batang pohon. Apalagi saat mengetahui bahwa Ranti menitikkan air mata. Gadis ini pastilah sedang menghadapi suatu problema hidup yang rumit sehingga membuatnya sedih. Tapi entah apa?

“Kenapa kau diam saja, pendekar Muara Bondet? Kenapa kau menyusulku ke tempat ini?” tanya Ranti membuat Karta tersentak dari lamunannya.

“Maafkan saya, nona. Saya sebenarnya tak bermaksud mengganggu ketenanganmu. Tapi ada suatu hal yang membuatku tak bisa menahan diri untuk menemuimu. Maksudku........”

“Kalau kau memang tidak ingin mengangguku, tinggalkan tempat ini sekarang juga. Aku memang berhutang budi padamu, tapi jangan memperalat budi baikmu itu untuk memperdayaiku. Harap kau meninggalkan aku sendirian di sini!”

“Dik Ranti, saya mengerti perasaanmu. Baiklah, aku akan meninggalkanmu sendiri di sini. Tapi sebelumnya harap kau tidak keberatan untuk mendengar penjelasan dariku. Ini sangat penting untuk kuutarakan, karena terasa sangat mengganjal di hati.”

“Aku tak perlu mendengar apa-apa darimu pendekar Muara Bondet. Pergilah sekarang juga. Kau pun tentunya tahu tidak baik bagi lelaki dan wanita berduaan di tempat sepi seperti ini.”

“Memang tidak baik jika terkandung niat buruk. Aku hanya ingin mengutarakan isi hatiku, dik Ranti. Kau jangan salah paham. Aku sungguh tidak bermaksud jelek padamu. Percayalah, dik! Sedikitnya kita bisa mengobrol sebentar.”

“Tidak!” Ranti berteriak sambil meloncat berdiri. Wajahnya tampak merah padam, matanya mendelik bagaikan hendak menelan lelaki di hadapannya itu hidup-hidup, “Kau harus pergi dari sini. Ayo, cepat pergi! Kalau tidak, jangan salahkan aku jika terpaksa mencabut senjataku.”

“Tenanglah, dik Ranti. Jangan terlalu cepat marah.”

“Aku tak butuh nasehatmu. Rupanya kau ingin berbuat kurang ajar padaku, ya? Jangan harap niat busukmu itu bisa terlaksana. Langkahi dulu mayatku, baru boleh kau sentuh diriku.”

Karta menghela nafas dalam-dalam sekedar untuk menahan rasa sesak di dalam dadanya.

“Niat busuk?” pikirnya sedih. Rupanya Ranti beranggapan jelek padanya mengira dirinya hendak berbuat bejat. Entah apa alasan Ranti hingga beranggapan seperti itu. Apakah wajahnya memang wajah penipu atau wajah pemerkosa?

Karta sangat sedih, karena gadis yang suaranya mirip dengan mendiang kekasihnya sama sekali tidak mau mempercayainya, malahan menuduhnya yang bukan-bukan.

Tetapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia cukup mengerti perasaan Ranti. Mungkin gadis itu bersikap demikian hanya karena sedang mengalami persoalan yang sangat rumit. Kebanyakan orang memang begitu, jika sedang kalut, mudah marah dan tersinggung.

Pendekar muda itu menghibur diri sendiri.

“Kenapa kau diam saja, hah? Kenapa belum juga angkat kaki dari sini?” bentak Ranti.

“Oh, dik Ranti. Kau terlalu berprasangka buruk padaku. Aku sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa sewaktu kita pertama kali bertemu, perasaanku jadi tak menentu karena suaramu sangat mirip dengan orang yang kucintai. Aku tak bisa melupakannya. Sayang ia telah tiada........”

“Kau kira aku wanita yang lemah, hah? Jangan harap rayuan gombal seperti itu bisa menggodaku. Baiklah, agaknya kau harus diberi pelajaran. Nih, terimalah ini!”

Setelah berkata begitu, Ranti segera meloncat menerjang Karta. Tubuhnya melayang bagai rajawali menyambar ke arah lawan. Pedang diayun cepat sekali mengincar leher Karta.

Agaknya dara jelita itu tidak mau perduli lagi tentang keselamatan Karta. Karena kalau saja sabetan pedangnya itu mengenai sasaran, tak ayal lagi leher itu pasti akan terpisah dari badan.

Untunglah si Gila Dari Muara Bondet memiliki ilmu tinggi. Dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, lelaki itu menggeser kakinya ke belakang sehingga sabetan senjata lawan tidak mengenai sasaran. Setelah itu, Karta meloncat jauh ke belakang untuk menghindari serangan Ranti berikutnya.

“Sabarlah nona. Jangan menyerang aku seperti itu. Kalau kau memang tidak senang padaku, biarlah aku pergi sekarang juga.”

“Diam kau bangsat!” Ranti membentak, lalu kembali menyerang Karta dengan ganas.

Gadis itu segera mengeluarkan ilmu simpanan yang pernah diajarkan Gembong Wungu padanya, karena ia tahu Karta bukanlah orang sembarangan. Pedang gadis itu menyambar-nyambar cepat sekali dan penuh tipu daya yang sangat berbahaya.

Tipu seperti itu memang sudah merupakan ciri khas ilmu Gembong Wungu. Sama seperti halnya tokoh sesat lainnya, almarhum raja rampok itu juga selalu berusaha menjatuhkan lawan secepat mungkin dengan cara-cara keji dan penuh tipuan.
Ilmu itu kemudian diwariskan kepada Ranti, sehingga tanpa disadari, ilmunya selalu penuh tipu daya yang sangat berbahaya. Jika lawan lengah sedikit saja, pasti akan bernasib fatal. Jika tidak cacat, mungkin akan segera kehilangan nyawa.

Di kalangan tokoh-tokoh dunia hitam, jarang ada istilah melumpuhkan lawan tanpa melukainya. Lain halnya dengan para pendekar yang sikapnya kesatria, sering merobohkan lawan tanpa menurunkan tangan kejam. Misalnya dengan cara memukul lawan hingga pingsan, dan jika siuman kembali tidak akan menderita luka parah.

Ranti sebenarnya kurang menyadarinya, sebab ia hanya merasa bahwa dalam setiap pertarungan ia harus menyerang jika punya kesempatan dan mengelak jika diserang. Lawan pun tentu menginginkan kemenangan. Karena itu dalam setiap pertarungan hanya ada dua kemungkinan, menang atau kalah.

Demikian nasehat Gembong Wungu dahulu. Ganasnya serangan Ranti membuat Karta terkejut. Sebab siapa nyana, seorang gadis cantik jelita seperti Ranti mempunyai sikap ganas dan buas.

Pendekar dari Muara Bondet itu pun segera berloncatan ke sana ke mari menghindari serangan Ranti. Tubuhnya berkelebatan di sela-sela kilatan-kilatan senjata lawan.

“Kau keras kepala, dik Ranti. Dan seranganmu sangat ganas. Tenanglah, aku tak bermaksud jelek padamu,” teriak Karta sambil meloncat tinggi mengelakkan serangan Ranti.

Namun kata-katanya itu bukannya membuat Ranti menjadi tenang, malahan semakin beringas. Ia merasa lelaki itu memandang rendah padanya, bahkan menghinanya. Apalagi sejak tadi Karta sama sekali belum mau melakukan serangan balasan, selain menghindar saja. Maka makin panas jugalah hati Ranti.

Sikap dara jelita itu makin berangasan. Tetapi kewaspadaannya pun menjadi berkurang. Karena sangat marah, ia seolah-olah melupakan pertahanan dirinya sendiri sebab yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana supaya dapat segera merobohkan Karta.

Seandainya pendekar Muara Bondet itu mau, mungkin sejak tadi Ranti sudah roboh oleh serangannya. Tetapi ia tidak mau melakukannya. Sebab untuk apa ia melayani kekerasan Ranti?

Bukankah di antara mereka tidak ada persoalan apa-apa? Ranti hanya salah paham saja, atau mungkin hanya karena terdorong kemelut yang melanda hatinya.

Ranti terus menyerang Karta, dengan serangan yang mulai tampak agak tidak karuan. Ia kembali menerjang Karta yang saat itu sedang berdiri di pinggir tebing curam. Pedangnya diayunkan dari arah kanan ke sebelah kiri, mengarah ke arah pinggang pemuda itu.

Dalam keadaan terdesak seperti itu, Karta tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak mungkin mundur lagi untuk mengelak, karena kalau itu ia lakukan pasti akan terjatuh ke arus sungai.

Maka Karta pun segera meloncat tinggi sehingga serangan lawan dapat ia elakkan. Namun akibatnya cukup fatal bagi Ranti. Karena terjangannya sangat kuat tadi, ia tidak dapat lagi menguasai atau menahan laju tubuhnya. Disertai jeritan panjang, tubuhnya terjatuh ke dalam arus kali Cimanuk.

“Dik Ranti!” teriak Karta terkejut. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda itu segera terjun ke dalam sungai, dengan maksud untuk menyelamatkan Ranti.

Arus sungai di pinggir tebing itu ternyata sangat deras. Dalam sekejap saja tubuh Ranti sudah hanyut terbawa arus. Sebagai anak gunung, dara jelita itu memang tidak pandai berenang. Nafasnya segera sesak, bahkan tanpa sengaja ia telah meminum air sungai.

Si Gila Dari Muara Bondet mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari tubuh Ranti. Pendekar muda itu memang sudah cukup terlatih melawan arus sungai, walaupun harus diakui arus Cimanuk lebih ganas dari kali Bondet.

Sekali waktu, tampak oleh Karta tangan Ranti melambai agak jauh di depannya. Tetapi hanya sekejap kemudian, tangan itu telah lenyap ke dalam arus air. Dengan perasaan dicekam kecemasan Karta segera berenang ke arah itu. Tetapi ia kembali kecewa, karena ia belum juga berhasil menemukan tubuh Ranti.

Ya Tuhan. Kalau gadis itu kehilangan nyawa di sungai ini, biarlah aku juga mati terkubur di sini, kata hati Karta. Ia terus berenang sambil tak henti-hentinya berdoa agar ia segera menemukan Ranti.

Akhirnya doanya pun terkabul. Ia dapat menangkap tangan Ranti. Tetapi keduanya sudah terlanjur terperangkap masuk pusaran air dahsyat di sekitar muara kali itu.

Pusaran air itu terjadi karena bertemunya dua arus kuat dari arah yang berlawanan. Karena bentrokan arus itu sangat kuat, arus di sekitar itu pun menjadi berputar-putar yang makin ke bawah makin kencang.

Itulah sebabnya pusaran air sungai itu mengandung tenaga sedot yang sangat kuat. Makhluk hidup maupun benda mati jika sudah terlanjur terperangkap pusaran arus, akan dibawa berputar-putar, makin lama makin ke bawah hingga akhirnya sampai ke dasar sungai.

Selama ini pusaran arus kali Cimanuk itu telah banyak mengambil korban jiwa manusia, mau pun hewan ternak yang kebetulan sampai ke pusarannya. Tidaklah mengherankan jika pusaran air itu sangat menakutkan penduduk di sekitar itu. Bahkan dulunya ada yang percaya bahwa pusaran arus itu adalah tempat para jin maupun makhluk halus lainnya untuk mandi.

Mereka tidak senang jika ada yang lancang mandi di tempat itu, sehingga bagi yang melanggarnya, baik sengaja maupun tidak sengaja akan dihanyutkan sampai mati.

◄Y►

6

Sebagai orang yang sudah terbiasa bermain-main di sungai, terkejut juga Karta setelah menyadari bahwa dirinya bersama Ranti telah terperangkap pusaran arus dahsyat. Putaran arus sungai itu sangat kuat, sehingga dada Karta serasa bagaikan hendak pecah.

Walaupun demikian, pendekar Muara Bondet itu tidak mau melepaskan tangan Ranti. Ia terus berusaha sekuat tenaga menarik tubuh wanita itu ke luar pusaran air. Makin lama, tenaga Karta pun makin terkuras. Rasa putus asa mulai menghinggapi pikirannya.

Akan tetapi sebagai pendekar yang sejak lama telah digembleng dengan keras, Karta tidak mau berserah atau pasrah kepada nasib. Ia tetap berprinsip, selama masih bisa bergerak ia tidak boleh berhenti berusaha.

Di sinilah terlihat bahwa sebelum ajal memang berpantang mati. Secara kebetulan, arus sungai yang sedang pasang menghantam pusaran air itu. Akibatnya tubuh kedua insan itu terlempar ke luar pusaran. Dengan sisa-sisa tenaganya, Karta menyeret tubuh Ranti, hingga akhirnya sampai ke tepi sungai.

“Terima kasih, Tuhan. Engkau telah menyelamatkan kami,” kata pemuda itu dengan napas tersengal-sengal.

Lalu ia membopong tubuh Ranti yang agaknya sudah cukup lama tak sadarkan diri, ke atas tebing.

Perlahan-lahan, Karta merebahkan tubuh Ranti di bawah pohon rindang. Diperiksanya urat nadi gadis itu, masih berdenyut tapi agak pelan. Berarti gadis itu hanya pingsan saja karena kelelahan.

Tak ada luka yang mengkhawatirkan. Karta menghela napas lega dan membiarkan Ranti tidur dengan pulasnya. Perasaan Karta masih tak menentu mengingat peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya dan nyawa Ranti.

Seandainya ia tidak berhasil menyelamatkan Ranti, alangkah berdosanya dirinya. Sebab bagaimanapun juga, Ranti terjatuh ke kali Cimanuk adalah gara-gara sikapnya juga.

Ranti sudah berulang kali menyuruhnya pergi, tetapi ia masih mencoba membujuk-bujuk hingga akhirnya gadis itu kehilangan kesabaran.

Karta kemudian membuka bajunya dan menggantungkannya di dahan pohon agar cepat kering. Sambil menunggu pakaiannya itu kering, pendekar Muara Bondet duduk membelakangi Ranti. Sepasang matanya menatap ke arah arus kali Cimanuk, lalu ke arah hutan di seberang sungai.

Pendekar itu kembali terkenang akan Nuraini, bahkan merasa kekasihnya itu seolah-olah sedang berada di sisinya. Duduk sambil menatapnya dengan penuh kemesraan. Sinar mata dan senyum gadis itu teruntai indah dan erat sehingga tidak mungkin dipisahkan tanpa merusak keindahannya.

Karta tidak tahu harus melakukan apa agar bisa melupakan kekasihnya itu. Dengan putus asa, ia memejamkan mata. Lalu bagaikan orang yang sedang mengigau, ia berbisik.

“Selamat jalan kekasihku. Selamat jalan pujaan hati, nafas kehidupanku yang abadi. Tak akan pernah lagi kulihat engkau, seperti dulu ketika kita sama-sama mereguk nikmat dan manisnya madu cinta kita.”

Tak lama kemudian, Ranti bangun dari tidurnya. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan lemas sekali. Ia menggosok-gosok kedua matanya dan menatap Karta yang sedang duduk bertelanjang dada tak jauh dari tempatnya tidur tadi.

Melihat lelaki itu, maka prasangka buruk pun segera menghinggapi pikiran Ranti. Ia pingsan tadi, entah berapa lama. Pastilah si Gila dari Muara Bondet itu telah berbuat kurang ajar pada dirinya.

Maka Ranti pun segera meloncat ke hadapan Karta. Wajahnya merah padam, dadanya turun naik tak teratur karena amarah yang tak terkendalikan. Sambil menuding Karta dengan tangan kiri, ia berkata dengan kasar:

“Bajingan kau! Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku ketika pingsan tadi, hah? Bajingan, kurang ajar kau! Berani kau berbuat kurang ajar padaku. Akan kucincang tubuhmu!”

Tentu saja Karta sangat terkejut. Tadinya ia mengira Ranti akan mengucapkan terima kasih padanya karena ia telah menyelamatkannya dari pusaran arus kali Cimanuk. Lalu setelah itu, mereka akan berbincang-bincang penuh persahabatan.

Namun tanpa diduga-duga, gadis itu malah menuduhnya berbuat kurang ajar. Karta jadi kesal sekaligus tak tahu harus mengucapkan apa.

“Jangan diam kau, bajingan! Pengecut! Kau telah menodai aku ketika sedang pingsan tadi. Kubunuh kau bangsat!” bentak gadis itu lagi.

“Dik Ranti, kenapa kau berkata seperti itu? Kenapa kau tega menuduh aku seburuk itu? Demi Allah, aku tak berbuat apa-apa terhadap dirimu.”

“Diam! Lelaki pengecut seperti kau mana mau mengaku? Bangsat tengik seperti kau harus dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Kau telah menghancurkan hidupku!”

Karta tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mimpi pun ia tak menyangka akan dituduh seperti itu. Pendekar itu pun melangkah lebih dekat ke hadapan Ranti. Kepasrahan dan keputusasaan tercermin di wajahnya yang pucat.

“Dik Ranti, aku sungguh tak menyangka gadis seperti kau akan sampai hati menuduh aku sekotor itu. Tapi agaknya kau tidak akan mau percaya padaku.

“Baiklah kalau begitu. Aku tidak perlu berkata apa-apa lagi. Kalau kau memang menuduh aku seperti itu cabutlah senjatamu, bunuhlah aku. Aku sudah rela. Biarlah Tuhan yang tahu keadaan yang sebenarnya!”

Ranti meludah dengan sebal, “Huh, dasar pengecut. Beraninya hanya sama perempuan,” makinya kesal.

“Tak apalah dik Ranti jika kau tidak senang padaku. Tetapi tak seharusnya kau menuduh aku serendah itu. Ayo, cabutlah senjatamu. Lakukanlah apa yang kau inginkan.”

“Huh, kau pikir aku pengecut seperti dirimu? Kalau kau memang bukan pengecut, kenapa tidak kau biarkan saja aku mampus di kali itu? Kau pikir aku senang karena bantuanmu? Aku sangat benci padamu tahu?”

“Terserahlah, dik Ranti. Saya pun tak merasa telah menolongmu. Tapi aku yakin orang bijaksana selalu tahu menghormati kebaikan orang lain padanya. Tahu menilai mana yang baik dan mana yang tidak baik. Atau sedikitnya di atas sana masih ada Tuhan yang Maha Adil dan penuh kasih sayang.”

“Dasar laki-laki tak tahu diri! Awas ya! Kalau kau masih berani mengikutiku, akan kubunuh kau. Aku tidak akan memberikan ampun lagi.”

Habis berkata begitu, Ranti segera meloncat dari hadapan Karta. Tubuhnya melayang ringan bagaikan kapas, dan dalam sekejap telah lenyap di balik pepohonan dan semak-semak.

Ranti terus berlari sambil mengerahkan segenap kekuatannya agar dapat segera menjauh dari tebing kali Cimanuk. Ia tidak bisa melukiskan bagaimana perasaannya sekarang.

Entah gembira atau sedih. Sebab sebagai gadis yang telah menginjak dewasa, ia sudah bisa memastikan bahwa kehormatannya masih utuh. Karta tidak berbuat apa-apa padanya seperti yang ia tuduhkan tadi.

“Oh, alangkah tolol dan kurang ajarnya diriku. Nyawaku telah ia selamatkan. Tetapi bukannya berterima kasih, malahan menuduhnya berbuat kurang ajar. Padahal lelaki itu baik hati, memiliki sikap yang lembut dan gagah perkasa pula. Kenapa sikapku harus seperti itu tadi sewaktu berhadapan dengannya?” Gadis itu membatin sambil terus berlari.

Menjelang senja, Ranti istirahat, duduk bersandar pada pohon. Ia mulai kelelahan dan pikirannya makin kalut. Wajah Karta masih terbayang-bayang di pelupuk matanya. Kata-kata pemuda itu terngiang-ngiang kembali di telinganya.

Dan penyesalannya pun semakin menjadi-jadi atas sikapnya yang keterlaluan terhadap pemuda dari Muara Bondet itu. Putri Gagak Ciremai itu semakin menyadari bahwa dalam dirinya ada yang kurang beres. Ia telah membohongi hati nuraninya sendiri. Ia memaki-maki Karta bahkan menuduhnya telah berbuat kurang ajar.

Padahal sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, ia harus mengaku bahwa ia mengagumi pria itu. Atau sedikitnya ia butuh seorang kawan yang dapat dijadikan sebagai tempat mengadu dan menumpahkan segala keluh kesah.

Mengingat sikapnya yang dinilainya tidak wajar itu, Ranti pun teringat akan perlakuannya beberapa waktu lalu ketika berhadapan dengan Roijah, kekasih Parmin di desa Kandang Haur. Saat itu Ranti sengaja datang dari desa Perbutulan dan menemukan Roijah sedang dihukum cambuk oleh Kompeni Belanda, kemudian dipenjarakan di gudang penggilingan padi milik Van Eissen.

Ranti kemudian dapat menyelamatkan Roijah dan membawanya sampai ke hutan Loyang. Di tengah hutan itulah Ranti mengajak Roijah bertarung hidup mati untuk memperebutkan Parmin.

Katanya siapa yang menang, dialah yang berhak mendampingi Parmin. Padahal saat itu kondisi tubuh Roijah sangat lemah akibat siksaan centeng-centeng Belanda. Alangkah piciknya pikiran Ranti, seolah-olah menganggap cinta itu dapat diperebutkan seperti halnya piala.

Untunglah ia kemudian dapat menyadari kekeliruannya berkat nasehat guru Roijah. Ia kemudian menyadari bahwa cinta itu memang tidak bisa diperebutkan, karena cinta itu lahir sendiri tanpa disadari dan tanpa direncanakan.

Ya, tanpa disadari. Apakah sekarang tanpa sadar pula ia telah jatuh cinta kepada Karta? Oh, ia teringat sekarang. Dulu pun ketika pertama kali bertemu dengan Parmin, ia menuduh pemuda itu sengaja mengintipnya sewaktu mandi. Ranti bahkan menyerang Parmin dengan ganas.

Untunglah pemuda itu memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, sehingga dapat mengelakkan semua serangan Ranti.

Peristiwanya kira-kira sama seperti yang terjadi antara Ranti dengan Karta sekarang. Dan Parmin memang memiliki banyak kesamaan dengan Karta. Keduanya sama-sama gagah perkasa dan memiliki ilmu tinggi.

Selalu mau membela kaum lemah dari penindasan-penindasan, bersikap lembut dan penuh kasih sayang. Cuma saja, Parmin yang dijuluki Jaka Sembung itu kelihatan lebih dewasa dan lebih saleh penampilannya dibandingkan Karta yang dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.

Rambut Parmin dicukur pendek, sedangkan rambut Karta dibiarkan panjang sampai ke pinggang. Persamaan atau perbedaan lainnya masih dalam pemikiran Ranti, karena ia belum tahu banyak mengenai diri Karta. Dulu, dengan sikapnya yang kekanak-kanakan, Ranti sendirilah yang selalu berusaha berdekatan dengan Parmin.

Tanpa malu-malu, ia datang ke sawah tempat Parmin bekerja. Atau ke rumah petani tua hanya sekadar untuk bisa berbincang-bincang dengan pendekar itu.

Sekarang sebaliknya, Karta yang tampaknya selalu mengejar-ngejar Ranti. Sementara Ranti sendiri kelihatannya selalu berusaha menghindar, meskipun ia sendiri harus mengakui bahwa sikapnya itu tidak sesuai dengan hati nuraninya. Bahkan mungkin hanya sekadar kompensasi untuk menutupi isi hatinya yang sebenarnya.

Diam-diam dara jelita itu merasa khawatir, kalau-kalau Karta tidak mau lagi memaafkannya. Alangkah malangnya nasibnya jika ia akan kehilangan seorang pria yang demikian baik.

Tanpa terasa air matanya menetes membasahi wajahnya yang pucat. Aku harus kembali dan minta maaf padanya, kata hati Ranti. Tetapi saat itu juga hatinya berteriak lain.

Tidak! Aku tidak boleh merengek-rengek di hadapannya untuk minta dibelas-kasihani. Biarlah aku melupakannya! Ia selalu berusaha mendekatiku hanya karena suaraku mirip dengan mendiang kekasihnya. Kalaupun dia merasa cinta, yang ia cintai hanyalah suaraku.”

Tangis Ranti semakin menjadi-jadi. Matahari mulai gelap, bundar bagai bola dan mengembang di atas mega-mega di kaki langit. Udara menjelang kelam. Cahaya senja merah tembaga antara terang dan gelap, terasa lebih cepat kusam dan padam.

Nun jauh di sana, udara senja mulai hitam, menodai jaringan-jaringan halus pepohonan di tengah hutan. Seperti sedang mengisyaratkan sebuah prahara yang telah datang mengacaukan segalanya. Ranti tidak tahu harus melakukan apa agar pikirannya dapat tenang.

Dengan putus asa, ia menyandarkan kepala sambil memejamkan mata, lalu berbisik sedih: “Tuhan, daripada hidup tersiksa seperti ini, mengapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja?”

Tatkala malam semakin larut, Ranti naik ke dahan pohon dan kembali duduk bersandar. Ia sudah memutuskan akan melewatkan malam itu di tengah hutan. Sebab mau ke mana lagi dia?

Ia belum mengenal daerah di sekitar hutan itu. Kalau ia nekad meneruskan perjalanan, ia bisa tersesat makin jauh ke tengah hutan. Dengan air mata yang masih bercucuran dan suara isak tangis yang tersendat-sendat, gadis itu akhirnya tidur kelelahan.

Esok harinya, ia terbangun ketika matahari telah tinggi menerpa wajahnya dari sela-sela dedaunan.

Ranti terbangun karena matanya yang silau terkena sinar matahari. Sambil mengeluh, ia turun dari atas pohon. Ranti tidak tahu hendak ke mana sekarang. Perutnya terasa sangat lapar, pedih bagaikan dililit-lilit.

Tetapi kemanakah ia harus pergi mencari makanan?

Gadis itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke muara kali Cimanuk dan mengharap di tempat itu nanti ia bisa menemukan perkampungan kaum nelayan. Mudah-mudahan aku masih bisa menemukan orang yang mau memberiku sedikit makanan, kata hati Ranti penuh harap.

Ranti akhirnya sampai di muara kali Cimanuk, di pesisir pantai laut Jawa. Ia menyusuri pantai pasir putih dan matanya menatap liar ke sana ke mari dengan harapan bisa menemukan orang yang mempunyai makanan.

Pada usia semuda itu, Ranti telah hidup luntang lantung ke sana kemari. Semua itu sebetulnya hanya karena tuntutan hatinya yang kesepian dan butuh kasih sayang. Keadaan itu sangat jauh berbeda dengan kehidupannya pada waktu kecilnya.

Dulu Ranti hidup serba berkecukupan. Sekarang untuk makan saja sudah terancam. Wajar kalau ia merasa sangat tersiksa, sebab ia belum terbiasa hidup dalam keprihatinan. Keadaan itu telah membuka mata hatinya, bahwa dalam hidup ini banyak tantangan dan rintangan.

Bahwa dalam kehidupan ini manusia saling membutuhkan, saling tergantung satu sama lainnya tanpa terkecuali. Yang kaya bukan berarti tak pernah membutuhkan yang miskin, begitu juga sebaliknya yang miskin pun membutuhkan orang kaya.

Ranti tak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi pada dirinya jika dalam pengembaraannya itu tidak menemukan orang lain. Mungkin ia akan mati kelaparan.

Tak jauh dari tempat Ranti sekarang berjalan menyusuri pasir pantai, tampaklah asap mengepul, di dekat pohon nyiru. Seorang lelaki muda duduk di batang pohon kelapa yang telah tumbang. Ia sedang memasak ikan di dalam sebuah kuali.

Lelaki itu masih cukup muda, berusia sekitar duapuluh lima tahun. Tubuhnya tegap kekar dengan kulit hitam legam. Kumisnya panjang dan melingkar.

Alis matanya tebal, sedangkan matanya kelihatan selalu melotot. Ia mengenakan ikat kepala sehingga rambutnya yang cukup panjang tidak awut-awutan. Jika diperhatikan cara lelaki itu memasak, orang pasti akan terkejut.

Betapa tidak, ia sama sekali tidak menggunakan sendok untuk mengaduk rebus ikan yang sedang mendidih itu, melainkan dengan tangan kanannya sendiri. Anehnya, lelaki itu kelihatan tenang-tenang saja, tak merasa kepanasan sedikitpun juga.

Perlahan-lahan, lelaki itu mengangkat tangan kanannya dari dalam kuali. Maka tampaklah tangannya yang hitam legam dan bentuknya aneh itu mengeluarkan uap. Tangan itu mirip garpu besar dan terlihat seperti terbuat dari baja.

Apakah lelaki itu sedang mengenakan sarung tangan yang terbuat dari baja? Sama sekali tidak! Tangan kanannya itu berubah jadi seperti itu adalah berkat latihan yang tak kenal lelah dan putus asa. Itulah dia si Cakar Rajawali!

Seperti diceritakan di bagian awal, lelaki itu berlatih tekun siang dan malam untuk memperdalam ilmu silatnya di pantai teluk Cirebon.

Tangan kanannya yang cacat itu dilatih, mulai dengan cara membenamkannya di pasir pantai yang panas, kemudian di dalam air mendidih hingga akhirnya di dalam kobaran api. Dan jika malam telah tiba, lelaki itu berlatih jurus-jurus silat sehingga tingkat kepandaiannya makan lama makin tinggi.

Si Cakar Rajawali yang nama aslinya adalah Barna telah bertekad untuk membalaskan dendam kesumat atas kematian gurunya di tangan Jaka Sembung. Ia telah bersumpah tidak akan mau berhenti sebelum berhasil membunuh lelaki pengembara yang mengalahkan gurunya itu. Itulah sebabnya ia berlatih dan terus berlatih tanpa kenal lelah dan putus asa.

Barna menjilat-jilat kuah rebus ikan yang membasahi tangan kanannya.

Ia tampak lega, mungkin karena merasa bumbu masakannya telah sesuai dengan yang ia inginkan. Lalu ia bangkit dan menoleh ke sana ke mari, mencari ayahnya.

“Ayah! Di mana kau? Kemarilah, sarapan sudah siap!” teriak pendekar itu dengan suara menggelegar, sehingga suaranya bergema ke sepanjang pantai. Karena tidak ada sahutan, Barna berlari agak jauh ke sebelah Selatan pantai itu. Benar saja, ayahnya sedang terkekeh-kekeh.

“Ayah, kembalilah. Mari kita makan!” teriak Barna.

Ayahnya tak menyahut. Lelaki tua itu terus merangkak sambil berkata-kata seorang diri, “He-he he, mau lari ke mana kau setan cilik? Jangan kira kau bisa lolos dari tanganku,” katanya sambil terus merangkak bagaikan anak kecil yang belum bisa berjalan.

Lelaki tua kurus kerempeng itu tertawa keras-keras ketika berhasil menangkap seekor udang. Ia sangat girang, lalu merangkak lagi menangkap udang yang banyak berkeliaran di sekitar pantai itu. Agaknya pikiran lelaki tua itu tidak waras lagi. Tingkah lakunya sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang lelaki yang telah berumur lanjut.

Ia bertelanjang dada sehingga tulang-tulang rusuknya terlihat menonjol, seolah-olah hanya dibungkus kulit saja. Kumisnya yang tebal dan sudah mulai memutih dibiarkan tumbuh dengan liar, sehingga wajahnya tampak menyeramkan. Siapakah sebenarnya laki-laki tua dan kurus itu?

Dialah salah seorang dukun gadungan penyambung lidah Bergola Ijo. Dulu ia dikenal sebagai tokoh sesat yang sangat ditakuti banyak orang. Namun ia tidak kuat mental sehingga menjadi gila setelah majikannya terbunuh.

Menurut sebagian orang, dukun itu menjadi gila adalah karena ‘supata’ (kutukan) Kyai Haji Subekti Achmad, ulama besar dari Gunung Sembung. Melihat keadaan ayahnya itu, makin berkobarlah dendam di hati Barna. Semua ini gara-gara musuh-musuhnya yang kelak akan ia tumpas habis sampai ke anak cucunya hingga lenyap dari permukaan bumi ini.

“Ayah dengarlah aku ayah! Sarapan pagi kita sudah kusiapkan. Ayah tentunya sudah lapar. Ayolah, kita makan sekarang,” kata Barna membujuk-bujuk ayahnya.

“He-he-he, sarapan katamu? Inilah sarapanku. Cukup perbekalan selama tiga hari. Enak, manis dan gurih. Kalau kau suka kau boleh ambil. Nih, makanlah!”

Tangan kiri orang tua itu diulurkan kepada Barna. Sedangkan tangan kanannya memasukkan udang yang masih hidup itu ke dalam mulutnya. Sambil tak henti-hentinya tertawa terkekeh-kekeh, lelaki tua itu mengunyah-ngunyah dengan sangat lahapnya.

Cakar Rajawali tidak bisa berbuat apa-apa.

Kalaupun dia berusaha mencegah, tidak akan ada gunanya karena ayahnya pasti akan tetap makan udang itu. Bahkan mungkin akan menjadi marah karena merasa kesenangannya diganggu.

Memang demikianlah adat orang tua itu setelah pikirannya tak waras lagi. Masih mending kali ini ia cuma makan udang hidup. Pada waktu lalu ia malah pernah hendak memakan kalajengking yang ia tangkap di pinggir hutan. Untunglah anaknya segera melihat dan mencegahnya.

Kadang-kadang orang tua itu tertawa-tawa tak henti-hentinya, tetapi tak lama kemudian tiba-tiba menangis tersedu-sedu menyesali masa lalunya. Jika malam tiba, lelaki tua itu suka duduk menyendiri lama sekali.

Entah apa saja yang ia pikirkan tak ada yang tahu. Tetapi kalau anaknya menyuruhnya tidur, ia tidak mau bahkan sering menjadi beringas.

“Ayah, marilah kita makan. Saya sudah sangat lapar, ayah! Apakah ayah tidak merasa kasihan padaku?” tanya Barna lagi. Ia menarik tangan ayahnya dengan harapan ayahnya mau diajak meninggalkan pantai itu.

“Heh, kau berani kurang ajar padaku, ya?” bentak orang tua itu dengan sikap yang tiba-tiba berubah jadi beringas.

“Oh, ayah jangan marah. Saya tak bermaksud kurang ajar. Aku hanya ingin mengajak ayah sarapan pagi.”

“Aku sudah sarapan. Nih, sarapannya enak sekali. Cobalah, kau pasti senang,” kata lelaki tua itu sambil menyodorkan beberapa ekor udang kepada anaknya.

Si Cakar Rajawali tidak berkata apa-apa lagi. Dengan langkah lesu, ia meninggalkan tempat itu, kembali ke tempatnya tadi merebus ikan.

Akan tetapi setibanya di tempat itu, alangkah terkejutnya ia melihat ikan rebusnya sudah habis dimakan orang. Tinggal tulang-tulangnya saja berserakan di sekitar tempat itu.

“Bangsat! Siapa yang menghabiskan ikanku? Bajingan, akan kurobek-robek mulutnya jika aku tahu siapa yang berani mencuri ikanku!” kata Barna geram.

Pendekar itu melirik ke sekelilingnya, mencari orang yang berani mempermainkannya. Tiba-tiba matanya mendelik ketika melihat seorang gadis dengan tenang mencuci tangannya di pinggir pantai.

“Bangsat, pasti dialah yang telah menghabiskan ikan rebusku,” pikirnya. “Hei, siapa kau bangsat?” bentak Si Cakar Rajawali sambil menatap ke arah wanita yang duduk membelakanginya, yang tak lain tak bukan adalah Ranti.

Tadi ketika sedang melangkah sendirian di pasir pantai itu, Ranti mencium bau lezat ikan dimasak. Tak lama kemudian, ia melihat kepulan asap tak jauh dari tempat itu. Ranti mempercepat larinya ke arah kepulan asap itu. Ia menjadi kegirangan melihat ikan rebus di dalam kuali.

Ranti sebenarnya ingin meminta secara baik-baik kepada orang yang punya. Tetapi karena di tempat itu tidak ada siapa-siapa, dan karena sudah sangat lapar, maka ia segera memakan ikan rebus itu sampai habis.

“Nanti aku akan minta maaf pada orang yang punya ikan ini!” pikir Ranti. Ia nantinya rela bekerja untuk orang yang punya ikan sebagai ganti makanannya itu.

Setelah selesai mencuci tangannya, Ranti membalikkan badan lalu menatap ke arah Barna.

“Bajingan, kau telah menghabiskan ikan rebusku!” bentak Si Cakar Rajawali marah.

“Maafkan aku, tuan. Aku sangat kelaparan tadi,” ujar Ranti hati-hati.

Melihat gadis di hadapannya sangat cantik, Barna menjadi berubah sikap. Tadinya ia sudah memutuskan akan menghajar siapa pun yang telah mencuri ikannya tanpa perduli apapun alasannya.

Sekarang melihat Ranti sangat cantik dan masih sangat muda pula, timbullah niat busuk di hati si Cakar Rajawali. Ia ingin memperalat kesalahan gadis itu untuk menuruti kemauannya.

“Tak kusangka maling ikanku seorang gadis yang sangat cantik. Rupanya kau tersesat ke tempat ini, nona manis.”

“Ya, tuan. Saya sangat berterima kasih atas kebaikan tuan. Aku tak tahu harus bagaimana membalas budi baik tuan.”

“Ah, tidak apa. Orang yang lapar memang perlu makan. Orang yang haus perlu minum. Tapi sebagai seorang pengembara dan sebagai pendekar yang ksatria, kau pun tentunya tahu membalas budi baik orang, nona.”

“Ya, saya sangat berterima kasih pada tuan. Apakah yang harus kulakukan untuk membalas kebaikanmu ini?”

“Mudah saja, Nona. Seperti yang saya katakan tadi, orang lapar perlu makan dan orang haus perlu minum. Demikian juga orang kesepian perlu ditemani dan dihibur.”

“Apa maksudmu?” tanya Ranti sambil mengernyitkan alis matanya.

“Maksudku, kau harus menemani aku tidur nanti malam. Tidak susah, bukan? Aku sudah sangat lama tidak bertemu dengan gadis apalagi yang sangat cantik seperti dirimu.”

Mendengar ucapan lelaki itu, menjadi merah padamlah wajah Ranti. Perasaan kewanitaannya sangat tersinggung.

Ia memang berhutang budi terhadap lelaki di hadapannya itu, karena telah menghabiskan ikan rebusnya. Tetapi apakah ikan rebus seperti itu harus dibayar dengan kehormatannya sebagai seorang gadis?

Sampai mati pun dan demi apapun, Ranti tidak akan sudi. Ia memilih lebih baik mati daripada harus disuruh membayar ikan dengan kehormatannya.

Maka Ranti pun segera meloncat ke hadapan si Cakar Rajawali. Sikapnya sekarang tampak sangat beringas.

Matanya mencorong tajam dan merah bagaikan memancarkan api.

“Kau keterlaluan! Aku memang bersalah karena telah menghabiskan ikan rebusmu. Tetapi jangan kira aku mau membayarnya dengan kehormatanku. Akan kucabut nyawamu kalau berani berkata seperti itu lagi.”

“Ah, nona cantik yang sangat galak! Kau tambah cantik saja kalau sedang marah. Mengapa kau menolak maksud baikku? Apa salahnya kita tidur bersama-sama hanya untuk satu malam saja?”

Ranti makin marah. Membayangkan tidur bersama Parmin saja selama ini belum pernah. Apalagi tidur bersama lelaki yang baru dikenalnya itu.

“Dasar lelaki bajingan. Kalau abangku si Jaka Sembung tahu kau berani kurang ajar padaku, mulutmu itu tentu akan dirobek-robek!” bentak Ranti. Karena sangat marah dan tadi sempat teringat kepada Parmin, tanpa sengaja ia menyebut nama lelaki itu.

Dan rupanya kata ‘Jaka Sembung’ yang keluar dari mulut Ranti benar-benar membuat sikap si Cakar Rajawali berubah. Wajahnya merah padam, kumisnya tegak dan bergerak-gerak kaku. Kalau tadi sinar matanya memancarkan nafsu birahi, maka kini nafsu yang terpancar dari matanya adalah nafsu membunuh yang tampaknya tak bisa dicegah lagi.

***