Jaka Sembung 5 - Airmata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur(3)

“Ah, kau pintar bicara. Sekarang bolehkah saya mengulangi pertanyaanku tadi?”

“Mengenai apakah itu? Maaf, aku suka lupa kalau lagi kenyang. Sejak dari kecil aku begitu. Kakak tanya apa tadi?”

“Adik yang manis, siapakah kau sebenarnya? Kenapa kau bersusah-susah menolong aku dari siksaan Belanda? Maaf, aku bukannya tak senang kau tolong, tapi aku masih sangat penasaran sebelum mendengar penjelasan darimu.”

“Baiklah kalau begitu. Agaknya kakak memang tidak akan bisa tenang sebelum mendengar penjelasan dariku. Namaku adalah Ranti, ya Ranti. Sekali lagi Ranti, ingat baik-baik, kak Roijah. Nanti kakak lupa.”

“Nama yang bagus, lalu siapakah kau sebenarnya?”

“Saya adalah putri tunggal Gagak Ciremai, seorang guru silat dari desa Perbutulan. Kakak tahu desa Perbutulan, bukan?”

“Ya, saya pernah dengar walaupun belum pernah ke sana. Kenapa sejauh itu adik datang ke mari?”

“Tunggu dulu, kak Roijah. Tadi kau menanyakan siapa aku sebenarnya, biar kujawab dulu. Ayahku tadi adalah Gagak Ciremai. Tapi aku sendiri tak pernah mengenalnya, karena menurut cerita pada usia satu tahun, maksudku ketika aku berusia sekecil itu, ayahku itu meninggal. Meninggal karena apa tak perlu kuceritakan.”

“Lalu siapakah ibumu?”

“Ah, itu tak perlu kuceritakan. Sekarang giliranmu bercerita, siapakah kau sebenarnya dan kenapa sampai ditangkap dan disiksa Belanda?”

“Bukankah kau sudah tahu namaku?”

“Ya, Lalu kenapa kau sampai ditangkap Belanda? Aku sempat melihatmu disiksa di alun-alun pasar Kandang Haur.”

“Panjang ceritanya, dik Ranti. Tapi baiklah, aku akan menceritakannya. Sebelumnya aku sangat berterima kasih karena kau telah menolongku. Masih semuda ini kau telah mempunyai sikap kesatria. Aku kagum padamu.”

“Kak Roijah tak perlu bicara bertele-tele. Ceritakanlah semuanya.”

“Ya, dik Ranti. Selain sudah tahu namaku, barangkali kau pun sudah pernah dengar bahwa aku adalah pencuri yang dijuluki si Bajing Ireng. Julukan maling itu diberikan Kumpeni Belanda, karena aku memang mencuri setiap ada kesempatan dari mereka.”

“Oh jadi kau ini rupanya suka mencuri, ya?”

“Ya, betul. Beberapa tahun terakhir ini aku selalu mencuri dari bangsa penjajah, dan sama sekali belum pernah mencuri dari bangsaku sendiri. Setiap kali beraksi, aku selalu mengenakan pakaian dan penutup muka yang serba hitam.

“Karena itulah aku dijuluki Bajing Ireng. Walaupun demikian, selama ini tak ada yang tahu siapa sebenarnya Bajing Ireng itu.

“Bukan hanya pihak Belanda bahkan ayah ku sendiri pun tak pernah tahu siapa maling yang muncul dan hilang bagaikan siluman itu. Tetapi seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat sekali-sekali jatuh juga. Demikian juga diriku. Belanda yang rupanya sangat penasaran menyebar mata-mata di seluruh penjuru desa Kandang Haur.”

“Terus kak Roijah tertangkap, begitu?”

“Ya, aku dan ayah sama-sama tertangkap pula. Belanda membuka kedok penyamaranku dan baru saat itulah ayahku mengetahui bahwa Bajing Ireng adalah putrinya sendiri.”

“Kenapa ayahmu ditangkap? Apakah ayahmu juga suka mencuri seperti dirimu?”

“Tidak, dik Ranti. Saya sebenarnya agak malu menceritakannya. Tapi biarlah dik Ranti mengetahui semuanya. Ayahku Bek Marto sebenarnya adalah...... adalah......” Roijah tak meneruskan ucapannya. Ia tiba-tiba menangis tersedu-sedu sambil menutupi wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.

“Kenapa kakak menangis? Ada apa sebenarnya?”

Roijah menyeka airmata, lalu menghela nafas dalam-dalam sekadar untuk menenangkan perasaannya yang tak menentu. Setelah itu ia melanjutkan ceritanya.

“Bek Marto, ayahku itu adalah Kepala Desa di Kandang Haur. Seperti halnya kepala Desa di mana saja daerah jajahan Belanda, ayahku pun sebenarnya adalah penghianat bangsa. Ayahku mau diperbudak penjajah demi harta duniawi. Jika adik mencemoohkan ayahku, terserahlah.”

“Oh, tak kusangka keadaannya seperti itu.”

“Apa boleh buat, barangkali si Bajing Ireng memang sudah ditakdirkan punya ayah seorang penghianat sebelum akhirnya ia juga sadar. Tetapi kemudian Belanda menangkap ayahku dengan tuduhan telah bersekongkol denganku, karena terbukti bahwa Bajing Ireng adalah anaknya sendiri, padahal seperti yang kukatakan tadi, ayahku baru mengetahuinya setelah aku tertangkap.

“Ayahku memang membela diri, bahkan aku pun mengaku dengan terus terang. Tapi semuanya sudah terlanjur, hukuman Kumpeni Belanda tak bisa ditawar-tawar lagi.”

Masih tetap dengan airmata berlinang-linang, Roijah menceritakan saat-saat ketika ayahnya ditangkap dan diseret serdadu Kumpeni Belanda untuk menjalani hukuman.

Hari itu masih siang. Puluhan tentara dan algojo pemerintah Kumpeni Belanda menggiring Bek Marto dengan kedua tangan terikat ke alun-alun pasar Kandang Haur. Seperti halnya ketika Roijah dihukum. Belanda pun sengaja melaksanakan hukuman mati terhadap Bek Marto di tempat umum dengan maksud agar penduduk tak berani lagi memberontak terhadap penjajah Belanda.

Puluhan bahkan ratusan penduduk berdiri agak jauh dari tempat itu sambil memperhatikan Bek Marto dengan mata hampir tak berkedip dan tanpa mengeluarkan suara. Semuanya diliputi ketegangan dan kecemasan, sebab pemerintah Belanda telah mengumumkan bahwa Bek Marto akan dihukum mati! Dihukum mati di hadapan regu tembak.

Sebelum menjalani hukuman mati, Bek Marto masih diberi kesempatan untuk mengucapkan pesan-pesan terakhir. Dengan sangat tenang Bek Marto berdiri di tengah alun-alun. Ia mengenakan peci dan kain sarung seperti halnya orang yang hendak sembahyang. Dan orangtua itu memang benar-benar berdoa, menyerahkan segenap jiwa raganya ke hadapan yang Maha Kuasa.

Bek Marto berdoa bukan karena takut menghadapi hukuman mati. Sama sekali tidak. Orang-tua itu malah kelihatan senang menghadapi hukuman seperti itu, karena ia telah menyadari bahwa selama ini ia telah mengkhianati bangsanya sendiri. Ia patut dihukum dengan hukuman yang paling berat.

Sejenak orangtua itu menitikkan airmata. Ia menatap ke segala penjuru. Tampaklah olehnya rumah-rumah penduduk yang sangat sederhana bahkan mencerminkan kemiskinan yang teramat sangat.

Wajah-wajah penduduk desa tampak muram, sepertinya di wajah-wajah itu Bek Marto melihat lukisan penderitaan dan kesengsaraan, oleh karena kejamnya penjajah. Sekalipun demikian, di mata penduduk masih terlihat kasih sayang dan rasa prihatin atas nasib Bek Marto.

Tak terkatakan betapa terharunya hati Kepala Desa itu menyaksikannya. Kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Pikirnya dengan hati perih bagaikan diiris-iris. Ia seharusnya berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mengusir penjajah.

Bumi tempatnya berpijak sekarang adalah warisan nenek moyangnya, bukan kekuasaan kaum penjajah dan bangsa asing manapun. Tuhanku, jika seandainya dosa-dosaku tidak termaafkan lagi, aku tidak akan terlalu menyesal.

Tetapi janganlah kiranya ada lagi penghianat seperti aku di bumi tercinta ini, kata hati Bek Marto. Ketika ia mendapat isyarat dari pimpinan algojo agar segera bicara, Bek Marto segera melangkah ke depan. Ia kembali menatap ke arah sekelilingnya, kemudian mulai berkata.

“Saudara-saudara tercinta. Mungkin tiada lagi artinya penyesalan bagiku, karena setan yang selama ini merasuki pikiranku mungkin akan tertawa dan mencemoohkan diriku. Sekarang aku baru menyadari betapa licik dan durjananya kaum penjajah yang telah sekian puluh tahun menguasai daerah kita........”

Bek Marto berhenti sejenak, lalu melanjutkan.

“Pada detik-detik terakhir ini, aku mengharapkan semoga darah dan dagingku bisa menyuburkan bumi kita tercinta sebagai pertanda bahwa saya dilahirkan, dibesarkan dan mati di sini, walaupun mungkin tak patut untuk dikenang. Tetapi setidaknya saya sangat berharap semoga kemusnahanku di ujung senjata penjajah akan menjadi contoh bagi pemimpin lainnya yang barangkali belum sadar dan masih mau menjilat telapak kaki penjajah bangsanya sendiri.

“Selamat tinggal saudara-saudaraku. Doaku beserta kalian semua. Berjuanglah sampai titik darah penghabisan dan percayalah, penjajah laknat akan angkat kaki dari negeri kita......”

Setelah Bek Marto selesai mengucapkan pesan terakhirnya, komandan algojo memberi isyarat, sambil mengangkat pedang panjangnya tinggi-tinggi. Sebanyak enam orang anggota regu tampak segera bersiap-siap di hadapan Bek Marto. Laras senapan segera diangkat dan diarahkan ke bagian tubuh Bek Marto.

Komandan regu menatap anggotanya sejenak, lalu melirik Bek Marto. Setelah itu, ia berteriak memberi aba-aba. Bersamaan dengan turunnya pedang di tangannya, terdengar suara tembakan secara serempak, mengoyak-ngoyak udara dan bergema sampai ke tengah hutan.

Tubuh Bek Marto ambruk ke tanah dalam keadaan bersimbah darah. Penduduk menutup mata sambil mengucapkan Innalillahi wainna ilaihi rojiuun….. Bek Marto telah menemui ajalnya. Darahnya mengucur deras membasahi tanah airnya. Kini semuanya telah berakhir. Nama Bek Marto hanya tinggal jadi kenangan.

“Itulah kisah kematian ayahku, dik Ranti......” ujar Roijah dengan suara serak.

“Kasihan ayahmu......”

“Aku tak bisa melukiskan bagaimana perasaanku saat itu, dik Ranti. Tetapi jauh di lubuk hatiku masih ada rasa bangga, karena di saat akhir hidupnya ayah menyadari kekeliruannya dan mengharapkan kematiannya jadi contoh bagi pemimpin lainnya agar tidak mau diperbudak penjajah.”

“Aku sangat prihatin mendengar itu, kak Roijah. Semoga Tuhan mengampuni ayahmu.”

“Ya, dik Ranti. Tetapi sekarang aku telah sebatang kara. Tidak ada lagi sanak saudaraku,” kata Roijah dengan tangis semakin menjadi-jadi. Ia menyandarkan tubuh ke batang pohon menumpahkan segala yang bergejolak di dalam hatinya.

“Sudahlah, kak Roijah. Sebagai pendekar, kita tidak boleh terlalu sedih atas segala cobaan yang kita hadapi. Aku mengerti perasaanmu, kak. Hidup sebatang kara memang menyakitkan. Tetapi aku pun telah sebatang kara. Tak ada ayah dan ibu, begitu juga sanak pamili.”

“Kau benar, dik Ranti. Ah, betapa tololnya aku terlalu menyesali semua yang telah terjadi. Yang telah terjadi itu biarlah terjadi. Mungkin semua ini telah takdir. Terimakasih, dik Ranti. Kau sangat baik.”

“Ah, kak Roijah. Bahkan kalau dipikir-pikir, kakak masih lebih beruntung daripada aku. Karena saat ini masih ada yang mencintaimu, kak!”

Roijah agak terkejut juga mendengar ucapan Ranti itu. Sambil menyeka airmata, gadis itu menatap Ranti dalam-dalam, “Apa maksudmu, dik Ranti?”

“Kakak masih beruntung karena Parmin mencintaimu. Bukankah kakak juga sangat mencintainya?”

“Hah? Jadi...... jadi kau mengenal Parmin?”

“Ya, kak. Aku mengenalnya.”

“Dimanakah kau mengenalnya dan di mana dia sekarang? Aku sudah lama tak bertemu dengannya.”

“Kak Roijah, maafkan aku. Sebenarnya untuk itulah aku datang ke mari.”

Ranti kemudian menjatuhkan dirinya ke pangkuan Roijah. Dan tak lama kemudian, tangisnya pun meledak. Air matanya bagaikan air hujan ditumpahkan dari langit.

Lama gadis itu menangis terisak-isak, sementara Roijah mendekap dan membelai-belai rambutnya dengan penuh rasa haru. Roijahpun tak henti-hentinya mengucapkan kata-kata hiburan agar Ranti segera diam dan bisa menguasai perasaannya.

“Sudahlah, dik Ranti. Hatiku tambah sedih melihatmu menangis. Hapuslah air matamu, jangan terlalu sedih. Bukankah tadi kau sendiri yang bilang agar kita jangan terlalu sedih? Kau bilang tadi, sebagai pendekar, kita tidak boleh menangis. Katakanlah isi hatimu. Dan coba ceritakan bagaimana kau bisa berkenalan dengan Parmin.”

“Baiklah, kak Roijah!” sahut Ranti seraya menyeka airmata.

Ia pun menghela nafas dalam-dalam untuk menenangkan perasaannya yang galau. Setelah perasaannya agak tenang, Ranti pun mulai bercerita.

“Kak Roijah, seperti yang saya ceritakan tadi aku adalah putri Gagak Ciremai. Tapi sejak kecil, karena ayahku keburu meninggal dunia, aku dipungut sebagai anak angkat oleh Gembong Wungu.”

“Gembong Wungu? Maksudmu pendekar bermata satu itu?”

“Ya. Apakah kak Roijah mengenalnya?”

“Tidak, dik Ranti. Tetapi aku sering mendengar namanya. Kabarnya dia adalah raja rampok yang memiliki kesaktian yang jarang ada tandingnya.”

“Ya, mungkin begitulah keadaannya. Tapi tahukah kakak betapa hancurnya perasaanku kemudian? Limabelas tahun setelah ayahku meninggal aku mengetahui bahwa Gembong Wungu bukanlah ayah kandungku bahkan punya hubungan familipun tidak. Bahkan kemudian kuketahui dia sendirilah yang membunuh ayahku Gagak Ciremai.”

“Sungguh kejam. Lalu bagaimana dengan ibumu?”

“Setelah ayahku terbunuh oleh Gembong Wungu, ibuku melarikan diri ke hutan dan baru limabelas tahun kemudian muncul di desa Perbutulan dengan maksud hendak membalas dendam. Selama limabelas tahun itu, ibuku rupanya diam-diam memperdalam ilmu untuk membalas dendam. Tetapi ibuku pun akhirnya meninggal di ujung senjata Gembong Wungu.”

“Kurang ajar! Benar-benar biadab si raja rampok itu!” seru Roijah geram.

“Saat itulah aku berkenalan dengan Parmin. Kebetulan ia singgah di desa Perbutulan untuk bekerja sebagai petani upahan karena dalam perjalanan katanya kehabisan bekal.”

“Lalu bagaimana selanjutnya?”

“Aku nekat menantang Gembong Wungu untuk bertarung sampai dia atau saya yang mati. Tetapi Parmin menasehatiku, katanya bajingan itu bukanlah tandinganku. Apalagi sebelum meninggal, ibuku sempat berpesan agar aku tak membalaskan dendam terhadap Gembong Wungu.

“Aku tak tahu harus melakukan apa lagi. Untunglah saat itu Parmin datang dan sebagai seorang kesatria menantang Gembong Wungu bertarung.”

“Lalu? Lalu...... siapa yang kalah......?”

“Yang kalah pastilah yang salah. Saya menyaksikan sendiri pertarungan itu. Tampaknya Parmin sendiri pun tidak kuat menghadapi apalagi mengalahkan Gembong Wungu......”

“Jadi...... dia telah meninggal......?” sela Roijah dengan wajah yang tiba-tiba berubah pucat pasi.

“Tidak, kak. Sewaktu bertarung, tiba-tiba ratusan bahkan mungkin ribuan monyet menyerbu Gembong Wungu. Karena sangat kesakitan, Gembong Wungu berlari tak tentu arah hingga akhirnya terjatuh ke dalam sebuah jurang yang sangat dalam dan akhirnya menemui ajalnya di jurang itu.”

“Oh...... kak Parmin......” desah Roijah lega.

“Sejak itu, aku mulai menyadari bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Maafkan aku, kak Roijah. Aku tahu kakak mencintainya dan telah ber janji padanya. Tetapi ketahuilah, kak Roijah. Cintamu belum tentu lebih besar daripada cintaku padanya.”

Lama Roijah termenung mendengar ucapan Ranti itu. Sepertinya kata-kata itu merupakan suatu isyarat baginya bahwa ia harus siap menghadapi kenyataan. Pantas saja Ranti jauh-jauh mau menemuinya. Rupanya antara gadis itu dan Parmin telah terjalin hubungan rahasia.

Sebagaimana halnya kaum gadis pada umumnya, rasa cemburu pun langsung bergejolak di dalam hati Roijah. Tetapi karena gadis itu sudah dewasa dan sudah terbiasa menghadapi berbagai macam problema dalam hidupnya, Roijah bisa menyembunyikan isi hatinya.

Walau dengan perasaan hancur, ia toh masih bisa menyadari bahwa jika kekasihnya memang telah berpaling pada gadis lain, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Bukankah masalah cinta itu adalah hak azasi manusia?

Sama seperti tidak bisa memaksa seseorang mencintai, seseorang juga tidak bisa terlalu dipaksa untuk setia. Orang bisa berjanji bahkan bersumpah, tetapi berbagai hal kemudian bisa membuat orang tersebut benar-benar melupakan atau terpaksa melupakan janjinya itu.

Akan tetapi cinta memang boleh dikatakan tak pernah lepas dari rasa egois. Mementingkan diri sendiri. Orang mencintai berarti ingin memiliki, bahkan menguasai.

Sadar atau tidak sadar, seorang pemuda misalnya biasanya tidak senang melihat pacarnya pergi bersama lelaki lain. Padahal antara kekasihnya itu dengan lelaki lain tadi belum tentu ada apa-apa.

Tetapi dengan alasan antara mereka ada hubungan cinta yang dinilai sebagai penguasaan, si pemuda pun merasa punya hak melarang, bahkan marah.

Itulah sekilas tenang cinta, yang barangkali sering disalah tafsirkan. Cinta yang kata orang bisa mendatangkan kebahagiaan tetapi juga bisa mendatangkan kehancuran dalam kehidupan. Entah itu namanya cinta sejati, atau hanya sekadar keegoisan dan dorongan untuk menguasai, wallahualam.

Roijah merupakan pendekar wanita yang memiliki ilmu tinggi. Ia juga memiliki keberanian luar biasa dan telah sering menghadapi kesulitan dalam hidupnya sebagai seorang pendekar. Tetapi mendengar kata-kata Ranti itu tadi, perasaannya jadi tak menentu. Diam-diam ia merasa seperti takut menghadapi kenyataan menyakitkan, jika ia harus berpisah dengan kekasihnya.

“Saya tak mengira persoalannya demikian. Rupanya dik Rantipun mencintainya. Apakah Parmin juga mencintaimu? Kalau memang demikian......”

“Tidak, Kak Roijah!” sela Ranti cepat, “Parmin tidak mencintai diriku. Di hatinya hanya ada kau seorang, kak.”

“Jadi…….?” kata Roijah bingung bercampur cemas.

Ranti tidak menyahut. Gadis itu tiba-tiba bangkit, kemudian meloncat jauh ke belakang. Wajahnya yang tadi pucat pasi kini berubah merah padam. Sepasang matanya menatap liar, bagaikan singa kelaparan siap menerkam mangsa.

Diam-diam Roijah terkejut menyaksikan perubahan Ranti. Gadis itu tampak berubah menjadi ganas dan buas. Sikapnya sekarang menunjukkan bahwa ia sedang sungguh-sungguh hendak mengadu nyawa dengan Roijah.

“Tidak! Seorang pendekar tidak boleh menangis. Sekarang mari kita bertarung untuk menentukan siapa yang paling berhak untuk memiliki cinta Parmin. Kau atau aku. Ayo, bangkitlah! Cabut senjatamu dan kita selesaikan persoalan ini sampai salah seorang di antara kita mampus.”

“Aduh, dik Ranti. Kau telah menyelamatkan nyawaku dari tangan penjajah. Aku berhutang nyawa padamu. Kalau kau memang berhak membunuhku, seharusnya kau melakukannya ketika aku belum sadar tadi. Tapi sekarang, terserah padamulah, dik Ranti. Aku tidak akan mau melawanmu. Bunuhlah aku sekarang juga!”

“Itu bukan sifat seorang kesatria,” kata Ranti sambil menghunus senjatanya, “Kau adalah seorang pendekar hebat. Tapi aku tidak takut padamu. Aku siap mengadu nyawa denganmu. Ayo, bangkitlah dan hadapi aku!”

“Dik Ranti, selain berhutang nyawa padamu, aku juga sangat menyayangimu. Demi langit dan bumi, aku tidak ingin mengecewakan hatimu, dik! Kau boleh membenciku, tapi aku tidak akan pernah membencimu.

“Sekarang aku telah menyadari bahwa diriku memang tidak pantas mengharapkan Parmin. Pergilah padanya, antara aku dan dia tak ada apa-apa lagi. Atau kalau dik Ranti memang tidak bisa menahan hasrat untuk membunuhku, silahkan. Aku sudah rela, dik. Aku akan bangga mati di tanganmu. Itu lebih baik daripada mati di tangan Penjajah Belanda laknat itu.”

“Huh, aku tak membutuhkan senjata ini,” teriak Ranti sembari melemparkan senjatanya ke tanah. Ia lalu melangkah ke hadapan Roijah dan menatap wanita itu dengan sikap yang tampak semakin ganas.

“Mari kita bertarung secara kesatria!”

“Dik Ranti, aku sudah mengatakan semuanya padamu. Kenapa kau belum juga melakukan niat hatimu? Seharusnya kau tak membuang senjatamu itu. Ambillah, dan laksanakan niat hatimu sepuas hati. Aku menyayangimu, dik! aku sudah merelakan nyawaku untukmu!”

“Jangan banyak omong. Aku tak butuh kata-kata seperti itu. Jangan bersikap pengecut. Bajing Ireng. Aku tidak mau menyerang orang yang tak mengadakan perlawanan. Bangkitlah!”

“Berbuatlah sesukamu, adikku yang manis.”

Roijah menatap Ranti dengan tatapan sendu. Mata gadis itu berkaca-kaca, sedih, terharu, menyesal dan entah apa lagi. Ia sungguh tak menyangka persoalannya akan jadi begini.

Tetapi melihat betapa besarnya harapan Ranti terhadap Parmin, diam-diam Roijah telah merelakan kekasihnya untuk hidup berdampingan dengan Ranti. Maka Roijah pun sudah pasrah, siap menerima kematian di tangan Ranti.

Melihat Roijah tetap tidak mau memberikan perlawanan, makin panas jugalah hati Ranti. Ingin rasanya ia menerjang Roijah dengan serangan mautnya. Tetapi bagaimana mungkin ia menyerang orang yang tak mau memberikan perlawanan?

“Bangsat kau, Bajing Ireng! Kau pengecut, kau......” Ranti menghentikan ucapannya.

Tiba-tiba dari balik pepohonan meluncur sebatang tombak dengan kecepatan tinggi ke arah Roijah. Sebagai pendekar yang memiliki ilmu tinggi, Roijah sebenarnya dapat menyadari bahwa dirinya terancam bahaya.

Tetapi karena kondisi tubuhnya sangat lemah, kecil kemungkinan baginya untuk mengelak. Di samping itu, dalam waktu yang singkat itu, ia telah memutuskan lebih baik mati agar Ranti merasa bebas berdekatan dengan Parmin.

Tetapi dengan kecepatan yang luar biasa, Ranti meloncat bagaikan burung elang menyambar tubuh Roijah sehingga wanita itu lolos dari maut. Senjata tombak itu menancap ke batang pohon tempat Roijah tadi bersandar.

Ketika tubuh Ranti dan Roijah masih berada di udara, menyusul lagi puluhan batang tombak menyambar. Sambil berteriak nyaring, Ranti berjumpalitan beberapa kali sambil mendekap tubuh Roijah sehingga senjata-senjata yang dilontarkan dari tempat tersembunyi itu tidak ada yang berhasil melukai kedua gadis itu.

Ranti memang memiliki ilmu silat luar biasa. Pendekar yang ilmunya biasa-biasa saja, mustahil akan bisa menyelamatkan diri apa lagi sambil membopong tubuh Roijah. Dengan gerakan yang sangat ringan, Ranti mendaratkan kakinya di atas tanah. Ia mengerahkan segenap perhatiannya untuk bersiap-siap jikalau diserang lagi.

“Hei, orang-orang pengecut! Keluarlah, jangan berani menyerang dari tempat persembunyian. Hai, anjing-anjing, monyet-monyet, keluarlah. Hadapi aku secara jantan. Akan kucincang tubuh kalian.” Ranti memaki-maki sambil mengacung-acungkan senjata.

Roijah yang kondisi tubuhnya masih sangat lemah, berusaha untuk berdiri dan bersiap-siap untuk menghadapi serangan lawan. Diam-diam, Roijah kagum juga melihat ketangkasan Ranti tadi menyelamatkan dirinya.

Tampaknya ilmunya sendiri belum tentu lebih tinggi dari gadis itu. Entah siapa sebenarnya yang menyerang mereka secara gelap. Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa sambung-menyambung dari segala penjuru.

Ranti dan Roijah saling memutar tubuh sambil menatap ke sekelilingnya, karena suara tawa itu tampaknya datang dari segala penjuru.

Selain sangat keras, suara tawa itu juga mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga terasa menusuk-nusuk anak telinga dan membuat dada Ranti dan Roijah berdebar-debar. Tahulah Ranti bahwa lelaki yang mengeluarkan suara tawa itu bukanlah orang sembarangan.

Ia sudah sering mendengar bahwa di dunia persilatan banyak pendekar yang memiliki kemampuan menyerang lawan dengan suaranya. Serangan seperti itu hanya bisa dilakukan jika orang bersangkutan sudah memiliki tenaga dalam yang sangat kuat.

Sebagai contoh, suara auman harimau bisa membuat orang gemetar dan lemas, memperlihatkan betapa suara auman itu mengandung kekuatan. Ranti sendiri sudah pernah diajari ayahnya menggunakan ilmu seperti itu, walaupun hanya secara garis besarnya saja.

“Kak Roijah, tutup pendengaranmu. Agaknya si bangsat itu hendak bermain-main denganku.”

“Ya, dik Ranti. Hati-hatilah, tampaknya orang itu bukan orang sembarangan,” sahut Roijah was-was.

Ranti memusatkan perhatiannya sejenak. Ia menahan nafas sambil menghimpun tenaga dalamnya. Setelah itu, ia mengeluarkan suara lengkingan berkepanjangan.

Luar biasa! Suara lengkingan gadis jelita itu terasa menggetarkan dedaunan dan mengalahkan suara gelak tawa lelaki misterius itu. Suara gelak tawa itu pun terhenti.

Bersamaan dengan itu, puluhan lelaki bertampang seram berloncatan dari balik pepohonan dan langsung membentuk lingkaran, mengepung Ranti dan Roijah. Para lelaki itu hampir semuanya bersenjata golok selain beberapa orang di antaranya memegang senjata tombak berukuran sekitar satu setengah meter.

“Licik!” bentak Ranti geram.

“Ha-ha-ha…...!” gerombolan lelaki itu sama-sama tertawa tergelak kembali.

“Huh, anjing-anjing kurap, tak tahu diri, Kenapa jumlah kalian hanya segini saja? Di mana yang lain? Kebetulan aku sudah cukup lama tidak latihan. Senjataku pun sudah haus minum darah. Ayo bangsat-bangsat siluman, majulah. Akan kucincang tubuh kalian!”

“Hei, hati-hati kawan-kawan semua. Jangan sampai kedua tikus cantik ini lolos. Tangkap mereka hidup-hidup!” bentak si Cenot, pemimpin gerombolan itu.

“Kak Roijah, tetaplah berlindung di belakangku. Akan kusikat mereka satu per satu!” kata Ranti sambil memasang kuda-kuda

“Hati-hati, dik!”

Gerombolan lelaki yang sedikitnya berjumlah limabelas orang itu mengepung semakin rapat.

Sementara si Cenot sendiri agak jauh di belakang untuk memberi komando. “Siap, kawan-kawan. Serbuuu......!” teriak si Cenot dengan suara menggelegar.

Gerombolan lelaki yang ternyata adalah sewaan pemerintah Kumpeni Belanda itu mulai menyerang dengan ganas.

“Mampus kalian anjing-anjing Belanda!” bentak Ranti.

Gadis itu segera mengeluarkan ilmunya yang paling hebat yakni 'Grojogan Sewu' yang membuat senjatanya tampak berubah jadi banyak sekali dan menyerang lawan dari segala penjuru.

Ilmu tersebut ternyata luar biasa cepat dan setiap serangan selalu mengarah ke bagian-bagian tubuh yang sangat vital bagi lawan. Hanya dalam beberapa jurus saja, Ranti berhasil merobohkan empat lawan hingga terjungkal berlumuran darah. Ranti mengamuk bagaikan banteng terluka.

Sedikit pun ia tidak mau memberikan lawan kesempatan untuk menyerang. Sementara Roijah sendiri hanya bergerak ala kadarnya saja, sebab tubuhnya masih sangat lemah. Roijah kebanyakan menghindar sambil berusaha berlindung di belakang tubuh Ranti.

“Hei, kawan-kawan. Hati-hati!” teriak si Cenot yang rupanya terkejut juga menyaksikan sepak terjang Ranti yang sangat ganas.

Mendengar teriakan Cenot, para pengeroyok Ranti dan Roijah serentak meloncat mundur. Mereka melirik teman-temannya yang terkapar tak bernyawa. Setelah itu kemudian melirik Cenot, seolah-olah minta petunjuk.

“Gunakan sergapan kita yang paling ampuh! Kedua singa betina itu pasti tidak akan berkutik!” kata Cenot.

Sebanyak tujuh orang sisa anak buah Cenot segera mengangguk. Mereka lalu membentuk lingkaran, mengelilingi Ranti dan Roijah. Tak lama kemudian, mereka berteriak-teriak sambil berlari-lari mengelilingi kedua lawannya.

Makin lama gerak lari gerombolan pengeroyok makin cepat. Hebatnya lagi, sambil bergerak melingkar, mereka juga mengeluarkan suara untuk membingungkan lawan. Rupanya benar juga omongan Cenot tadi bahwa itu adalah serangan andalan mereka.

Diam-diam Ranti terkejut juga. Sebab seumur hidupnya ia belum pernah menghadapi serangan seperti itu. Untunglah Roijah segera dapat membaca gelagat yang kurang baik itu, karena ia memang jauh lebih berpengalaman dari pada Ranti sendiri.

“Dik Ranti, hati-hatilah. Serangan seperti ini sangat berbahaya. Kita harus melumpuhkan salah seorang di antaranya agar lingkaran setan itu buyar.”

Ranti mengangguk. Sebelum lawan menyerang, ia sudah meloncat menyerang salah seorang di antara musuh. Senjata di tangannya bergerak cepat bagaikan kilat menyambar.

Tetapi alangkah terkejutnya gadis itu, ketika lawan yang diserangnya tidak mengelak, bahkan balas menyerang dengan mengarahkan goloknya ke arah dada Ranti.

Sementara lelaki di belakangnya melindungi temannya dari serangan Ranti.

Ranti terpaksa menarik senjatanya untuk menangkis serangan lawan. Terdengar suara berdentang disertai pijaran bunga api karena bertemunya kedua senjata itu.

“Kurang ajar!” bentak Ranti geram. Ia lalu mempersiapkan serangan baru yaitu permainan silat 'Angin Beliung' yang merupakan puncak dari ilmu 'Dewa Banyu Nitis'.

Ranti menerjang dengan dahsyat. Tubuhnya melayang, kemudian menyambar turun bagaikan burung elang. Senjata di tangannya diputar menangkis serangan lawan. Sementara tangan kiri dan kaki kirinya menyambar dengan kekuatan dahsyat.

Bersamaan ketika senjata mereka beradu, kaki kiri Ranti dengan telak menghantam dada salah seorang lawan. Begitu, kuatnya tendangan dara jelita itu, sehingga lawannya terlempar beberapa meter. Darah kental kehitam-hitaman tersembur dari mulutnya. Setelah itu kepalanya terkulai. Nyawanya telah melayang.

Dengan lumpuhnya salah seorang di antara gerombolan pengeroyok itu, serangan mereka pun menjadi kacau. Kesempatan itu tak disia-siakan Ranti. Ia mengamuk lagi membabat lawan-lawannya dengan serangan mautnya.

Satu per satu kawanan pengeroyok itu roboh di ujung senjata Ranti. Darah segar tercecer di mana-mana. Mayat bergelimpangan sehingga sekitar tempat itu tampak sangat mengerikan.

Ketika matahari telah condong ke barat, semua anak buah Cenot telah roboh. Sekarang tinggal Cenot seorang. Lelaki itu terkejut juga menyaksikan kehebatan Ranti.

Hampir ia tak percaya belasan anak buahnya roboh di tangan seorang gadis cantik jelita dan masih sangat muda lagi. Siapakah gerangan pendekar wanita yang memiliki ilmu tinggi dan jika mengamuk tampak sangat beringas dan ganas?

Si Cenot tidak bisa menebak, tetapi menurut perkiraannya pendekar wanita itu pastilah mempunyai hubungan dengan Roijah. Mungkin keduanya masih satu perguruan.

Sekalipun Cenot memang belum pernah bertarung dengan Roijah, namun ia sudah mendengar sepak terjang Roijah yang sangat hebat. Entah sudah berapa orang yang tewas di tangan gadis itu.

Bahkan selama ini pemerintah Kumpeni Belanda sering menyewa jagoan-jagoan hanya untuk membekuk Roijah yang dijuluki si Bajing Ireng itu. Namun tidak ada yang berhasil menangkap Roijah.

Pemerintah Kumpeni Belanda akhirnya menghubungi pendekar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi yakni si Cenot sendiri, seorang jagoan dari Juntinyungat Karang Panjalin yang dijuluki Malaikat Samber Nyawa. Lelaki ini sudah cukup lama dikenal sebagai pendekar tanpa tanding di wilayah Jawa Barat.

Tampaknya Belanda tidak mau main-main lagi, terutama setelah Roijah menghilang dari penjara dibawa kabur oleh seorang pendekar wanita yang ilmunya juga sangat tinggi. Itulah makanya Si Cenot bersama belasan orang anak buahnya disewa untuk menangkap Roijah kembali.

Sekarang melihat kehebatan Ranti, si Cenot pun harus mengakui kagum. Bahkan terus-terang ia tidak menyangka ia akan bisa menemukan wanita yang sangat muda dan cantik jelita memiliki ilmu setinggi itu.

Tetapi sebagai seorang pendekar yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan dan sudah sangat berpengalaman pula. Si malaikat Samber Nyawa itu tidak gentar sama sekali. Ia yakin sekali bahwa ia akan dapat mengalahkan Ranti. Maka ia pun tertawa terpingkal-pingkal setelah semua anak buahnya roboh.

“Hebat! Luar biasa! Tadinya singa betina ini kukira hanyalah anak tikus. Tapi jangan sembarang mengumbar bacot di hadapanku.

“Akulah si Cenot yang dijuluki Malaikat Samber Nyawa yang tiada tandingan di Jawa Barat. Aku sengaja memperkenalkan diri agar kalian tidak mati penasaran.

“Sebaliknya, aku juga tidak ingin membunuh orang yang belum kuketahui namanya. Ayo, sekarang harap kalian berdua tidak keberatan untuk memperkenalkan diri.”

“Hati-hati, dik Ranti. Ia bukan orang sembarangan,” bisik Roijah was-was.

“Tenanglah, kak Roijah. Sebaiknya kakak menyingkir. Biar saya yang menghadapi si kunyuk tua itu.”

“Hei, kalian tak perlu bisik-bisik. Ayo, bicaralah!” kata Cenot lagi.

Ranti masih tetapi tidak menyahut. Dara jelita itu memperhatikan Cenot. Lelaki itu sudah tua, mungkin sudah berumur limapuluh tahun.

Tubuhnya agak pendek dan kurus. Ia mengenakan pakaian serba hijau bergaris-garis dengan celana panjang sebatas betis, dan di pinggangnya yang ramping dililitkan kain sarung sejenis songket.

Kedua pipi Cenot agak gempal dan sepasang matanya tampak selalu melotot, sehingga kalau ia tertawa ia mirip sekali badut. Sikapnya agak tidak perduli terhadap orang lain yang jika berjalan kelihatan loyo.

Pendekar yang dijuluki Malaikat Samber Nyawa itu mempunyai sebilah golok mengkilap yang kini telah terhunus di tangan kirinya.

Agaknya biarpun sikapnya tampak anggap remeh terhadap lawan, namun ia sudah bertekad untuk tidak main-main. Selain karena lawan memiliki ilmu yang cukup tinggi, ia juga ingin secepatnya melumpuhkan kemudian menyerahkan kepada Van Eisen.

“Hei, nona cantik. Kenapa kau diam saja? Siapakah namamu?”

“Huh, monyet kelaparan. Jangan kira aku takut padamu. Aku sudah siap mengadu nyawa denganmu. Kau tak perlu banyak bicara. Jika kau memang bukan pengecut, hadapilah aku. Aku sudah siap!”

“Baiklah kalau begitu. Agaknya kau memang sudah di takdirkan mati di tanganku. Sayang dua nona cantik seperti kalian harus mati sekarang. Seharusnya kalian berdua jadi biniku. Tapi tak apalah nona manis. Nanti aku akan kaya raya, dapat hadiah melimpah ruah dari Van Eisen sebagai ganti kedua kepala kalian.”

“Bangsat tak tahu diri. Akan kucincang tubuhmu, bedebah!”

Sambil tertawa-tawa, si Cenot pasang kuda-kuda. Kedua kakinya dibuka lebar-lebar, kemudian kedua lututnya ditekuk hingga hampir merapat ke dada. Dengan posisi seperti orang jongkok seperti itu, ia meliuk-liukkan badan dengan gaya yang sangat lemas dan mirip kucing sedang sakit perut.

Sementara tangan kanannya yang kini memegang golok diacung tinggi-tinggi ke belakang. Gaya main silat yang sangat aneh.

Ranti diam-diam terkejut juga, sebab ia sudah dapat menerka bahwa di balik gaya yang tampak semrawut itu tersimpan sesuatu gerak yang sangat berbahaya. Untuk menghadapi lawan seperti ini diperlukan kewaspadaan yang tinggi, tidak boleh lengah sedikit pun juga apalagi menganggap remeh.

Ranti mempersiapkan diri untuk memulai serangan dengan jurus maut bagian dari ilmu silat, Dewa Banyu Nitis. Sambil berteriak nyaring, dara muda itu meloncat tinggi ke arah lawan.

Tangan kiri disilangkan di depan dada, sementara tangan kanan yang memegang senjata dilipat di sebelah kiri. Kaki kanannya ditekuk, sehingga posisinya memungkinkan Ranti bisa menyerang dari berbagai arah dan dengan perkembangan jurus yang sulit ditebak.

Si Cenot pun berteriak nyaring sambil memindahkan goloknya ke tangan kiri. Agaknya si Malaikat Samber Nyawa itu segera menyadari bahwa serangan Ranti sangat berbahaya, dan dengan senjata di tangan kiri, lebih menguntungkan baginya menghadapi serangan itu. Dan itu merupakan salah satu keistimewaan Cenot, di mana tangan kiri maupun tangan kanannya sama berbahayanya jika memegang senjata.

Didahului serangan kaki dan tangan, senjata Ranti menyambar dahsyat ke arah dada Cenot.

Dengan gerakan-gerakan yang sangat aneh, Cenot menghindar, lalu mengangkat goloknya menangkis sabetan senjata lawan.

“Trang......!” Kedua senjata itu beradu keras, disertai percikan bunga api.

Tubuh Rianti yang sedang melayang di udara terdorong mundur, sehingga ia terpaksa melakukan salto beberapa kali ke belakang untuk menguasai keseimbangan tubuh. Sedangkan tubuh Cenot juga terdorong beberapa langkah.

Dapatlah diketahui bahwa tenaga dalam Cenot sedikit lebih kuat dibanding Ranti. Hal itu membuat Ranti sangat geram. Ia kembali menerjang dengan ganas.

Benarlah seperti apa yang diduganya semula bahwa Cenot bukanlah orang sembarangan. Lelaki itu selain memiliki gerakan yang sangat cepat, juga terasa sangat aneh, sepertinya tak lazim diperlihatkan para pendekar.

Untunglah Rianti memiliki semangat baja dan kelincahan tubuh yang sangat baik, sehingga sampai pertarungan itu berlangsung berpuluh-puluh jurus, ia masih dapat bertahan sambil sekali-sekali balas menyerang.

Namun makin lama tenaganya makin terkuras juga. Apalagi karena sebelumnya ia menghadapi keroyokan belasan anak buah Cenot. Walaupun lawan-lawannya itu rata-rata tidak memiliki ilmu yang tinggi, namun cukup banyak menguras tenaga Ranti. Makin lama perlawanan Ranti makin melemah.

Hari mulai senja, langit telah kelabu. Tiba-tiba saja permainan silat Cenot sering ngawur, bacokan-bacokan goloknya sering salah sasaran.

Tahulah Ranti bahwa musuhnya itu mempunyai kelemahan yakni matanya rabun ayam.

Tentu saja Ranti sangat girang. Semangatnya berkobar kembali, dan seperti memberikan tenaga baru baginya. Kalau tadi ia terdesak oleh lawan, kini keadaan telah berbalik. Ranti yang berada di atas angin dan tampaknya hanya menunggu waktu saja untuk merobohkan lawan.

Benar saja! Beberapa saat kemudian, senjata di tangan Ranti dengan telak menyabet leher Cenot hingga hampir putus. Lelaki itu menjerit panjang. Tubuhnya ambruk ke tanah dengan darah segar memancar deras membasahi pakaian dan tanah di sekitarnya.

Sejenak tubuh jagoan Malaikat Samber Nyawa itu menggelepar-gelepar, setelah itu tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya telah melayang entah ke mana.

“Mampus kau bangsat!” maki gadis itu sambil meludah. Ia lalu menyeka keringat yang membasahi wajah.

Sungguh suatu pertarungan yang luar biasa. Seumur hidup, Ranti belum pernah menghadapi lawan setangguh Cenot. Seandainya lawannya itu tidak rabun ayam, entah apa yang bakal terjadi. Mungkin Ranti sendiri yang akan mengalami nasib naas.

“Sungguh hebat kau, dik Ranti. Kau adalah yang amat perkasa, bisa mengalahkan jagoan setangguh itu,” kata Roijah yang sejak tadi mengawasi pertarungan itu dengan dada berdebar- debar.

Ranti hanya melirik sekejap. Setelah itu, ia kembali menyeka keringat dengan sikap seperti tak mendengar ucapan Roijah.

“Dik Ranti, aku sangat kagum padamu.”

“Tidak!” Tiba-tiba Ranti berteriak nyaring sambil melemparkan senjatanya, “Kau tak perlu memujiku. Mari kita selesaikan kembali urusan kita. Ayo, bersiap-siaplah. Aku akan mengadu nyawa denganmu sampai salah seorang di antara kita yang mampus.”

Roijah sangat terkejut mendengar kata-kata Ranti. Sungguh ia tak menyangka Ranti masih bersikap galak padanya. Bahkan tampak masih ingin bertarung dengannya. Diam-diam Roijah mengeluh, karena gadis yang sangat dikaguminya itu masih bersikap aneh padanya.

“Kau jangan diam saja, Bajing Ireng! Bersiap-siaplah menghadapi aku!”

“Dik Ranti, untuk kedua kalinya kau menyelamatkan nyawaku. Kau sangat berjasa terhadap diriku. Mungkin aku tidak akan pernah bisa membalas budi baikmu. Karena itu, ketahuilah, apapun yang akan terjadi, aku Roijah anak dari Bek Marto tidak akan mau melawanmu. Lakukanlah apa yang kau lakukan sesuai kehendak hatimu. “

“Diam! Aku bukan pengecut! Pokoknya kita harus bertarung demi Parmin. Kau harus melawanku, jangan bersikap pengecut seperti itu. Mari kita selesaikan. Bersiaplah kau, Bajing Ireng!”

“Dik Ranti, kenapa kau masih harus banyak bicara? Kenapa tak segera kau ambil senjatamu dan membunuhku?”

Karena sangat kesal, tiba-tiba Ranti menampar pipi Roijah. Demikian kerasnya tamparan itu, sehingga tubuh Roijah terpelanting dan terjerembab ke tanah.

“Agaknya kau harus diberi pemanasan. Sudah cukup, bukan? Sekarang bangkitlah. Ayo, bangkit. Jangan sampai membuat aku kehilangan kesabaran!”

“Bunuhlah aku, dik Ranti. Aku sudah rela seperti halnya aku merelakanmu berdampingan dengan Parmin, asalkan kau betul-betul mencintainya. Demi Tuhan aku benar-benar rela......”

“Kurang ajar! Agaknya aku harus menyeret tubuhmu agar mau melawanku......”

“Tunggu!” Tiba-tiba terdengar suara agak pelan namun mengandung wibawa yang sangat dalam.

Ketika Ranti menoleh. Tampaklah olehnya Nyi Saidah, nenek tua yang beberapa hari lalu berniat merampas Roijah dari tangan Ranti.

“Oh, kau lagi nenek peot!” bentak Ranti geram.

Melihat kedatangan Nyi Saidah, tiba-tiba Roijah bangkit, lalu berlutut sambil memeluk kedua kaki wanita tua itu.

“Ibu guru......” ujar Roijah penuh haru.

“Oh, betapa merananya hidupmu, muridku. Betul, kau jangan meladeni nona yang berkelakuan aneh itu,” ujar Nyi Saidah alias Nini Sari.

“Oh, jadi kaukah gurunya, nenek peot? Kuperingatkan padamu, jangan mencampuri urusanku dengannya. Kalau tidak, kalian berdua boleh maju mengeroyokku. Akan kukirim kalian ke neraka seperti anjing-anjing Belanda ini!”

“Aduh, anak manis. Kenapa kau segalak itu? Roijah adalah muridku. Sebagai guru, saya tentu patut mengetahui persoalan yang dihadapinya.”

“Ah, nenek peot seperti kau tahu apa?”

“Aku mengerti, anak manis. Justru karena itu aku perlu memberimu nasehat, anak jelita.”

“Aku tak butuh nasehatmu, nenek siluman!”

“Aku menghaturkan terimakasih padamu atas segala kebaikanmu telah menyelamatkan nyawa muridku sebanyak dua kali. Tetapi haruslah kau sadari pula bahwa cinta bukan suatu barang yang bisa diperebutkan seperti piala. Cinta hanya bisa terpadu juga dua hati saling menyentuh.”

“Sudah kubilang aku tak butuh nasehatmu. Jangan berkotbah di hadapanku, nenek peot. Lebih baik kau cabut senjatamu dan kita selesaikan persoalan ini secara kesatria.”

“Anak manis, aku tahu kau bicara kasar seperti itu pastilah tidak keluar dari hati nuranimu. Kau hanya terpengaruh oleh emosi yang tak menentu. Sadarilah itu, anak manis. Kau adalah seorang pendekar yang tangguh. Tanyalah hati nuranimu sendiri apakah sikap seperti itu memang baik atau tidak.”

“Baik atau tidak itu urusanku. Kalau kau memang keberatan, hadapilah aku.”

“Tak ada gunanya kau menantang kau, anak manis. Sebab aku tak akan menghadapimu sekalipun harus kau bunuh.”

“Hm, guru dan muridnya sama saja, sama-sama pengecut.”

“Aku juga pernah muda. Sebelum kau lahir, aku sudah merasakan apa itu cinta. Cinta itu lahir sendiri, anak manis. Tanpa disadari dan tanpa direncanakan. Oleh karena itu, cinta tidaklah bisa dipaksakan.

“Muridku Roijah telah mengalah padamu. Ia rela kau berdampingan dengan Parmin. Tetapi apakah itu bisa sebagai jaminan bagimu bahwa lelaki itu akan mau menerimamu?”

Ranti tidak menyahut lagi. Sebab jauh di lubuk hatinya, ia mulai mengakui kebenaran kata-kata Nyi Saidah itu.

“Camkanlah itu, anak manis. Aku yakin kau sudah cukup dewasa untuk bisa merenung-renungkannya. Kasihan Roijah. Janganlah menambah penderitaan bathin baginya. Kau tentu tahu, ayahnya baru saja ditembak mati Belanda.

“Setelah itu ia disiksa dan dipenjarakan. Tapi untunglah kau menyelamatkannya. Sungguh perbuatan yang sangat mulia. Karena itu, aku sarankan, carilah pria lain yang lebih patut mendampingimu.

“Pria di dunia ini bukan hanya satu orang saja. Kau muda dan cantik serta memiliki ilmu tinggi. Pasti banyak yang jatuh cinta padamu.”

Mendengar itu, menitiklah airmata Ranti. Ia mulai menyadari kekeliruannya. Bahkan kini ia merasa malu pada dirinya sendiri. Tak terlukiskan lagi perasaan gadis itu sekarang.

“Ah, aku tak tahu harus bicara apa lagi. Ternyata cinta itu terlalu menyakitkan bagiku. Kusadari pula betapa tulus dan sucinya cintamu, kak Roijah. Tak ada hak bagiku untuk mengganggumu. Sekarang aku harus pergi. Ya, biarlah aku pergi......”

“Dik Ranti, jangan berkata begitu......” seru Roijah terharu. Ia pun meneteskan airmata, membasahi pipinya yang pucat.

“Maafkan aku, kak. Biarlah aku pergi. Kudoakan semoga kakak hidup bahagia.

“Selamat tinggal......” Setelah berkata begitu, Ranti segera meloncat meninggalkan tempat itu.

“Dik Ranti, Tunggu!” teriak Roijah.

“Biarkanlah dia pergi. Hatinya sekeras baja. Ia perlu waktu untuk menyadari kekeliruannya dan juga untuk mengobati luka dalam hatinya,” ujar Nyi Sadah alias Nini Sari dengan suara lembut.

Ranti berlari menembus kegelapan malam, membawa kegelapan di dalam hatinya. Dara jelita itu terus berlari dan berlari dengan isak tangis yang tersendat-sendat. Ia berlari seperti ketika pertama kalinya datang ke daerah utara itu. Namun di dalam hatinya kini tergores sebuah luka yang kelak barangkali akan menjadi kenangan seumur hidup baginya.

T A M A T

Cinta memang indah, penuh mimpi nan membuai memberikan harapan-harapan menjanjikan dunia milik berdua dan Ranti ingin meraihnya di antara duri-duri serta acungan senjata. Tapi cinta yang pertama singgah dalam hidupnya tidak seindah apa yang dibayangkan.

Bagaimanakah nasib dara jelita itu setelah Episode ini? Kita nantikan saja judul berikutnya, yaitu: “SI CAKAR RAJAWALI”