Pendekar Rajawali Sakti 100 - Kemelut Hutan Dandaka(2)

LIMA
Sebuah gerobak pedati yang ditarik seekor kuda terlihat berlari kcncang seperti dikejar sesuatu. Kusirnya seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Kepalanya botak dan dipenuhi kudis. Tubuhnya kekar dan bertelanjang dada. Pada wajahnya tampak dipenuhi cambang bauk. Tak salah lagi. Dialah Kebo Koneng, murid Nini Towok yang sedang mendapat tugas edan dari gurunya.

Sementara di dalam pedati bergeletakan dua sosok pemuda dalam keadaan tidak berdaya. Tubuh mereka kekar dan berwajah tampan. Sedangkan wajah Kebo Koneng tampak gelisah penuh kekesalan. Sambil menengadah menatap langit, sesekali mulutnya mendesah kesal. Waktunya tidak lama lagi. Sementara dia baru mendapatkan dua pemuda. Padahal gurunya meminta lima orang pemuda. Dan kalau kembali tanpa memenuhi syarat itu, jangan harap mendapat ampunan dari gurunya. Bahkan bisa jadi nyawanya malah terancam.

Tak berapa lama kemudian, Kebo Koneng memasuki sebuah mulut desa. Seketika laju pedatinya dihentikan dan diamankannya di tempat yang tersembunyi agar tidak diketahui orang lain. Kemudian, dia berjalan kaki memasuki desa itu, menyusuri sebuah sungai kering.

Namun belum jauh berjalan, tampak terlihat seorang laki-laki cebol berjanggut panjang berwarna putih, dengan tenangnya duduk memancing di tepi sungai. Kebo Koneng melirik sekilas. Tampak orang tua itu meletakkan umpannya di genangan air yang dangkal sekali. Bahkan dasar airnya pun terlihat Kebo Koneng jadi geli sendiri, menganggap orang tua cebol itu tidak waras pikirannya.

“Ssst... Awas, jangan mendekat dulu. Umpanku mengena!” seru laki-laki tua bertubuh cebol itu sambil meletakkan telunjuk ke bibir.

Dahi Kebo Koneng jad berkerut. Masalahnya, laki-laki cebol itu sama sekall tidak menoleh kepadanya. Lagi pula, sedikit pun tidak terlihat kalau umpannya sedang dimakan ikan. Tak lama kemudian, Kebo Koneng berjalan hati-hati.

“Sial! Dasar tuli...!” maki laki-laki cebol itu.

Kebo Koneng tersentak. Makian orang tua itu pasti ditujukan padanya, karena tidak ada orang lain lagi selain dirinya.

“He, Orang Tua! Siapa yang kau maki...?!” bentak Kebo Koneng gusar.

“Setan! Betul-betul tuli orang ini. Disuruh diam, malah tambah ribut!” dengus si cebol, tetap tanpa menoleh sedikit pun. Wajahnya masih cermat menatap mata kailnya.

“Kurang ajar! He, Cebol! Jangan sembarangan bicara. Atau, kau ingin mulutmu yang bau itu kurobek..!”

Mendengar bentakan itu, si cebol bukannya menoleh dan menunjukkan kemarahan, tapi malah tertawa-tawa. Sepertinya, kata-kata Kebo Koneng dianggapnya sangat lucu. Tentu saja hal itu membuat hati Kebo Koneng semakin panas. Dihampirinya orang tua itu. Dan dengan geram, ditedangnya sekuat tenaga.

Wut!

“Sudah tuli, eh, malah kurang ajar lagi! Dasar setan goblok!” bentak laki-laki cebol itu, seraya menghindari dengan merebahkan tubuhnya.

“Keparat...!” Kebo Koneng semakin geram saja, ketika melihat si cebol melesat, lalu duduk tenang di sebuah cabang pohon yang berada di atasnya.

“Mukamu yang keparat, Goblok!” balas si cebol sambil memaki lagi.

Kebo Koneng mendengus geram. Kemarahannya semakin meluap. Mendadak, tangan kanannya disorongkan ke atas sambil membentak keras. “Mampus...!”

Prasss!

Selarik sinar ungu langsung melesat ke atas, menghantam orang cebol itu. Akibatnya, cabang pohon yang diduduki hancur berantakan, tapi tubuh si cebol sendiri telah lenyap entah ke mana.

“He he he...! Ternyata tidak sia-sia si kuntilanak Nini Towok itu mengajarimu pukulan 'Penghancur Tulang'. Pukulan itu memang hebat, tapi hanya untuk batang kayu. Tapi kalau untuk tubuhku, kau harus belajar sepuluh tahun lagi, Bocah....”

Kebo Koneng jadi terkejut dan berbalik ketika tahu-tahu si cebol sudah berada di belakangnya. Lebih kaget lagi ternyata pukulan yang barusan dilancarkannya diketahui si cebol. Dipandangrnya orang tua itu tajam-tajam. Mungkinkah dia teman Eyang Guru...? Tapi, Eyang Guru pernah berkata kalau tidak memiliki teman seorang pun. Semua tokoh persilatan telah memusuhinya. Baik dari golongan lurus, maupun dari golongan sesat.

“Hei, Orang Tua Cebol! Siapa kau sebenarnya?! Dan, dari mana kau tahu pukulan yang kukerahkan tadi...?!” tanya Kebo Koneng dengan suara serak bernada curiga.

“He he he...! Dasar bocah goblok! Kau pikir di kolong langit ini siapa yang tidak tahu segala yang dimiliki gurumu, heh?! Ilmu kuntilanak yang haus perjaka itu bukan rahasia lagi, Tolol!”

“Kurang ajar! Berani kau menghina guruku! Kuhajar kau, Cebol Sial!”

“He he he..! Aku jadi sangsi apakah kau mampu menghajarku, Bocah Tolol! Ayo ke sinilah kalau ingin kepalamu kukemplang!” sahut orang tua cebol itu, terus mengejek.

“Keparat! Hiyaaat..!”

“Uts! Seranganmu kurang bermutu. Kau harus belajar sepuluh tahun lagl,” ledek laki-laki cebol itu, seraya mengelak.

“Phuih! Tutup mulutmu! Sebentar lagi akan kurobek mulutmu!”

“He he he...!”

Berkali-kali Kebo Koneng melepaskan serangan-serangan bertubi-tubi, namun sedikit pun tidak ada yang membuahkan hasil. Orang tua bertubuh cebol itu betul-betul membuktikan ejekannya. Bahkan sama sekali tidak memandang sebelah mata pada serangan maupun pukulan maut yang dilancarkan Kebo Koneng, Malah, serangan baliknya membuat Kebo Koneng jadi tersentak kaget.

“Huh!” Kebo Koneng mencoba menghindar dari sodokan kaki lawan, dengan memiringkan tubuhnya ke kiri. Namun laki-laki cebol itu melepaskan sabetan tangan kiri yang menderu ke arah dada lawan. Tidak ada kesempatan bagi Kebo Koneng untuk menghindar.

Desss!

“Aaakh...!” Kebo Koneng kontan menjerit kesakitan sambil terhuyung-huyung ke belakang begitu terhantam pukulan telak.

“Apa kataku? Ilmu yang kau miliki masih mentah, tapi sudah sok jago!” ejek orang tua cebol itu

Maka semakin gusar saja Kebo Koneng mendengar kata-kata laki-laki cebol itu. Satu hal yang membuatnya penasaran adalah, bagaimana mungkin lawannya mampu memasukkan pukulan? Padahal selama ini, dia beranggapan ilmu silatnya sudah cukup hebat. Betapa tidak...? Sebab, gurunya sendiri yang mengatakannya. Tapi si cebol ini, sama sekali tidak merasakan kesulitan menghadapinya. Bahkan terlihat memandang rendah sekali.

“Orang tua! Maaf, aku tidak bisa meladenimu lebih lama. Kalau tidak punya urusan lain, sudah sejak tadi kepalamu kupecahkan. Kapan-kapan kita teruskan urusan kita,” kata Kebo Koneng dengan nada mengalah.

“Ha ha ha...! Siapa yang peduli dengan urusanmu? Kau sendiri mengganggu urusanku!”

“He, urusanmu yang mana yang kuganggu...?”

“Dasar goblok! Hei! Bukankah kau tadi melihat aku sedang apa?” tuding orang tua cebol itu. Matanya mendelik garang, persis seperti sedang memarahi bocah yang berbuat salah.

“Orang tua! Mungkin kau telah pikun, atau sudah gila. Mana ada orang memancing di air yang dalamnya kurang dari sejengkal? Lagi pula, mana ada ikan di tempat seperti itu? Dan lagi, aku tidak pernah mengganggu urusan memancingmu, heh...?!” sahut Kebo Koneng merasa menang.

“Dasar tolol! Siapa yang mengatakan kalau aku sedang memacing ikan...?”

Kebo Koneng tersedak. Seketika kejengkelannya semakin menjadi-jadi mendengar jawaban ngawur si cebol yang mau menang sendiri saja.

“Orang tua sinting! Siapa pun tahu kalau alat yang kau gunakan itu untuk memancing, Kalau tidak, apa urusannya kau berada di sini sambil memegang alat pancingmu...?”

“Dasar otak bebal! Kau sendiri yang mengatakan kalau tempat ini tidak layak untuk memancing. Jadi, mana mungkin aku memancing ikan seperti yang kau duga. Aku tidak setolol dirimu, bocah!”

“Jadi apa yang kau kail?” tanya Kebo Koneng, mencoba menahan sabar.

Orang tua cebol itu hanya terkekeh kecil. “Apakah kau tidak melihat, apa yang kudapat?"

Kebo Koneng jadi mengernyitkan dahinya

“Ha ha ha...! Dasar bocah dungu. Aku sudah mendapat kakap jelek yang kepalanya botak penuh koreng, dan badannya bau seperti tahi kebo. Nah, itulah yang kudapatkan,” sahut orang tua cebol itu sambil terkekeh.

Bukan main kalapnya Kebo Koneng mendengar kata-kata itu. Jadi, dirinya yang dimaksud orang tua cebol ini?

“He. Cebol! Apa yang kau inginkan dariku?!” bentak Kebo Koneng garang.

“Kepalamu yang jelek itu untuk kutendang.” sahut orang tua cebol itu.

“Keparat!”
“Heh! Memakilah sepuasmu....”

“Huh! Rupanya harus kupecahkan dulu kepalamu, sebelum aku pergi!” dengus Kebo Koneng. Langsung dia melompat dan menyerang orang tua cebol itu.

“He he he...! Berani juga rupanya kau...”
“Yeaaa...!”

Kembali Kebo Koneng menyerang lawannya dengan kalap dan bertubi-tubi. Agaknya dia bermaksud menghabisi jiwa laki-laki cebol itu dalam waktu singkat. Tapi, hal itu ternyata tidak mudah. Karena selain gesit dan lincah, orang tua cebol itu sendiri kelihatan tenang-tenang saja. Sedikit pun tak terlihat kalau terdesak. Bahkan tampaknya sengaja mempermainkan lawan dengan terus-menerus mengelak untuk menguras tenaga Kebo Koneng. Dan dia hanya sekali balas menyerang, untuk membuat lawan terkejut dan jungkir balik menyelamatkan diri.

“Hiyaaat...!”

Dan ketika Kebo Koneng menyerang dengan melepaskan tendangan setengah putaran, laki-laki cebol itu memapaknya dengan tangan kanan.

Plak!

Mendapat papakan seperti itu, tubuh Kebo Koneng jadi melintir berbalik. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan si cebol. Dengan gerakan cepat, tubuhnya melesat sambil melepaskan saatu pukulan keras ke perut.

Diegk!
“Aaakh!”

Kebo Koneng kembali terpekik, ketika perutnya terkena hajaran telak lawannya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang diiringi tawa orang tua cebol itu.

“He he he...! Ayo, keluarkan segala kemampuan yang kau miliki! Umbarlah pukulan 'Penghancur Tulang' yang kau miliki itu untuk menghadapiku!” ledek si cebol.

“Keparat! Kau harus mati. Cebol!” dengus Kebo Koneng cepat kembali menyerang lawan dengan garang.

“Hup! Bagus..!”
“Yeaaa...!”

“Uts...! Hebat! Pukulan “Penghancur Tulang'mu lagi-lagi hanya mengenai angin. Kenapa? Apa kau sudah takut menghadapiku? He he he...!”

“Setan!”

“Hei?! Jangan memaki! Lebih baik, pecahkan kepalamu yang bodoh dan jelek itu!”

“Sial!”
“Ha ha ha...!”
“Hiyeaa…!”

“Hm.... Kini bersiaplah menerima kematianmu!” dengus orang tua cebol itu sambil memasang wajah bengis. Begitu selesai bicara, laki-laki cebol itu tampak membuka jurus dan mulai melancarkan serangan cepat bertenaga dalam kuat ke arah Kebo Koneng

“Yeaaa...!”
“Uts!”

Kebo Koneng langsung jungkir balik menghindari diri dari serangan lawan yang bertubi-tubi. Dan begitu bangkit kembali, lagi-lagi datang sebuah serangan. Terpaksa Kebo Koneng harus memapaknya, karena untuk menghindar sudah tidak mungkin. Maka....

Plak!

Tubuh Kebo Koneng terjajar beberapa langkah begitu tangannya beradu dengan tangan si cebol. Bahkan tangannya terasa nyeri seperti kesemutan. Dari sini bisa dilihat kalau tenaga dalamnya kalah jauh.

Sementara itu, begitu melihat lawannya terjajar, si cebol segera berlari menyusur tanah. Langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada, begitu dekat dengan lawannya.

Bugk!
“Aaakh...!”

Kembali Kebo Koneng memekik ketika satu pukulan telak bersarang di dadanya. Tubuhnya langsung terpental dengan isi dada terasa seperti remuk. Tapi serangan orang tua cebol itu tak berhenti sampai di situ. Sebelum tubuh Kebo Koneng menyentuh tanah, tubuhnya telah lebih dulu melesat kembali sambil mengirim serangan susulan. Kali ini, agaknya bisa dipastikan kalau nyawa Kebo Koneng berada di ambang neraka. Namun, belum juga serangannya mendarat di tubuh Kebo Koneng, mendadak....

“Ki Dara Pincung, harap kau sudi memberikan kesempatan padaku untuk menghukum si keparat itu!” Tiba-tiba terdengar bentakan kecil dan nyaring.

“Siapa?!”

Laki-laki cebol itu seketika menghentikan serangannya. Tiba-tiba saja tidak jauh dari situ berdiri sesosok laki-laki tua berkumis dan berjanggut panjang yang telah memutih. Sorot matanya yang lembut, namun menunjukkan kegarangan dan kebencian yang memuncak terhadap Kebo Koneng. Orang tua gagah bertubuh agak kurus itu membawa sebilah pedang di punggungnya. Tubuhnya lalu membungkuk memberi salam penghormatan kepada orang tua cebol yang dipanggil Ki Dara Pincung

“Oh! Kukira siapa. Tidak tahunya sobatku. Ki Ageng Kunir. Hm.... Ada urusan apa kau dengan kecoa busuk ini. Ki?” tanya Ki Dara Pincung bernada ramah, setelah menghentikan serangan mautnya pada Kebo Koneng.

“Mereka sudah menewaskan kedua muridku,” sahut laki-laki tua yang dipanggil Ki Ageng Kunir geram.

“Hm. Dari mana kau tahu itu?”

“Sebentar lagi, si keparat itu akan mengaku...”

Ki Dara Pincung hanya mendiamkan saja ketika Ki Ageng Kunir mendekati Kebo Koneng dengan wajah geram.

“He, Keparat! Apa kau tidak mengaku sudah mencelakai dua muridku...?” bentak Ki Ageng Kunir dengan sorot mata tajam.

“Oh! Siapa... siapa kau...?” tanya Kebo Koneng berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang terasa sakit bukan main.

“Aku Ki Ageng Kunir. Nah, apakah kau masih mau mengelak...?"

Pada dasarnya Kebo Koneng adalah orang yang tolol dan tidak tahu banyak seluk-beluk tokoh persilatan. Dia juga tidak punya teman, selain Supit Gadar. Jadi tidak pernah terpikir dalam benaknya kalau perbuatannya selama ini berakibat buruk dan ada orang yang menagih hutang nyawa. Maka ketika Ki Ageng Kunir berkata demikian, dia hanya semakin bingung saja. Sama sekali tidak dimengerti apa maksud perkataan orang ini

“Keparat! Kau masih pura-pura, heh...?!” geram Ki Ageng Kunir sambil mengayunkan kaki kanannya.

Tak!
"Akh...!“

Kebo Koneng menjerit keras ketika dagunya dihajar Ki Ageng Kunir. Tubuhnya sampai terjungkal ke belakang dengan beberapa buah gigi tanggal. Sehingga mulutnya berlumur darah Ki Ageng Kunir segera mendekati sambil berkacak pinggang.

“Aku tak peduli kau mampu atau tidak melawanku. Tapi, kau akan mampus kalau tak mengaku juga!”

“Eh…! Aku…, aku tak tahu apa yang kau maksud..."

“Sial! Hei! Muridku yang laki-laki ditemukan mati dengan muka pucat. Sedangkan muridku yang perempuan pun demikian, setelah dinodai dengan keji. Mayat mereka dibuang begitu saja di bawah jurang Hutan Dandaka. Nah, apakah kau akan mengelak?!"

“Eh! Apa..., apakah murid-muridmu itu adalah pemuda bersenjata kapak dan gadis bersenjata pedang...?”

“Nah! Ternyata ingatanmu masih baik, bukan? Hih!”

Begkh!
“Akh...!”

Kebo Koneng kembali terkapar di tanah, begitu mendapat hantaman keras. Lagi pula, Ki Ageng Kunir tak ingin Kebo Koneng mati begitu saja. Dia memang harus disiksa dulu, dan harus mati pelan-pelan. Rasanya keenakan baginya bila langsung mati.

“Ayo, bangkit! Lawanlah aku jangan mereka yang bau kencur dan tak tahu apa-apa! Ayo, lawan gurunya ini!”

Wut!
Des!

Ki Ageng Kunir kembali menghajar Kebo Koneng, namun tidak disertai tenaga dalam. Dan agaknya dia tak memberi kesempatan sedikit pun kepada Kebo Koneng. Amarahnya ditumpahkan kepada Kebo Koneng. Dia tak peduli, apakah Kebo Koneng melawan atau tidak.

Laki-laki berkepala botak penuh koreng itu berkali kali menjerit kesakitan. Tubuhnya yang memang sejak tadi sudah lemah, semakin tak berdaya saja

“Ayo, lawan! Bangun dan keluarkan seluruh ilmu silatmu yang hanya buat menakut-nakuti muridku yang masih bau kencur dan tak bisa apa-apa!” teriak Ki Ageng Kunir jengkel.

Sekujur tubuh Kebo Koneng terasa luluh lantak dan amat tak berdaya. Darah telah mengucur dari kepala, hidung, mulut, dan telinganya. Jerit kesakitan seperti tak pernah berhenti keluar dari mulutnya. Namun, belum terlihat tanda-tanda kalau Ki Ageng Kunir akan menyudahi siksaannya. Agaknya orang tua itu masih garam bercampur dendam atas kejadian yang menimpa kedua muridnya.

Sementara, Ki Dara Pincung sandal hanya terkekeh kekeh kecil sambil menggeleng melihat perbuatan sobatnya. Namun....

“Orang tua busuk, hentikan perbuatanmu! Akulah lawanmu!”

“Hah?!”

Seketika kedua orang tua itu tersentak. Dan begitu mereka berbalik, tampak laki-laki berambut tipis berwajah penuh cambang bauk sudah berdiri di depan mereka. Tubuh orang itu bertelanjang dada. Sorot matanya tajam menusuk, dan hawa amarah terlihat jelas di wajahnya.

“Hm... Kau pasti kawannya juga!” bentak Ki Ageng Kunir garang

“Benar Namaku Supit Gadar!”

***
ENAM
“He he he...! Ini yang namanya ular mendatangi penggebuk!” sahut Ki Dara Pincung sambil terkekeh-kekeh

Sebaliknya, Ki Ageng Kunir wajahnya tampak semakin kelam dan sorot matanya bertambah garang. Perlahan-lahan namun pasti, dihampirinya laki-laki yang baru tiba di tempat itu

“Hm.... Jadi kau pun muridnya si Nini Towok? Bagus!” dengus laki-laki tua itu dingin

“Dua orang tua bangka busuk! Apakah kalian tak malu mengerubuti seorang yang telah tak berdaya?!”

“Mana lebih busuk ketimbang dua orang berjiwa binatang yang menewaskan dua orang muridku yang tak bersalah secara kejam?”

“Apa maksudmu?” tanya Supit Gadar sambil mengerutkan dahi.

“Jangan bertanya! Tapi, akui saja perbuatan biadab kalian!”

“Kisanak! Aku semakin tak mengerti, apa yang tengah kau bicarakan?”

“He he he… Maling biasanya lebih suka lempar batu sembunyi tangan. Tapi bau busuk yang disembunyikan pasti akan tercium orang lain!” sindir Ki Dara Pincung acuh tak acuh.

“Orang tua cebol! Apa maksud kata-katamu itu? Yang kutahu kalian hanya dua orang tua hina yang melakukan pengeroyokan terhadap temanku. Dan kini, kalian malah mencari alasan untuk memojokkanku! Phuih! Sungguh perbuatan memalukan!”

“He he he.. ! Pintar kau bicara, Bocah. Tapi lebih banyak busa yang keluar dari mulutmu yang bercampur bau busuk dan amat menjijikkan” sahut Ki Dara Pincung tenang

“Kurang ajar! Heh, Orang Tua! Tak usah banyak berbasa-basi segala. Apa yang kalian inginkan sebetulnya?!” dengus Supit Gadar semakin geram.

“Kalau aku. Ingin langsung mengemplang kepalamu. Dan temanku, barangkali ingin mengorek jantungmu buat dijadikan kalung di lehernya,” sahut Ki Dara Pincung masih terus bersikap tenang.

“Setan!”

“Hei! Jangan banyak memaki. Sini kau, biar kukemplang!

Supit Gadar tak bisa menahan amarahnya lagi. Dan begitu kata-kata orang tua cebol itu selesai, tubuhnya langsung melesat mengirim serangan bertenaga kuat

“Yeaaa...!”

“Ki Dara Pincung! Biarkan aku yang mengemplang anak sok jago ini!” dengus Ki Ageng Kunir sambil melompat memapak serangan Supit Gadar

“Hm... Terserah kau saja. Sobat!” Dan...
Plak!
Wut!

Supit Gadar tersentak kaget ketika telapak tangannya beradu dengan tangan lawan. Terasa perih, dan membuat jantungnya bergetar tak menentu. Memang masih belum disadarinya, apa yang menyebabkan. Yang jelas dia mulai menduga kalau lawan memiliki kemampuan yang tak bisa dianggap remeh. Apalagi ketika orang tua itu bukannya menahan serangannya, tapi malah berbalik ganas menyerang secara bertubi-tubi.

“Hm… Ilmu silatmu lumayan hebat, Orang Tua. Siapa kau sebenarnya?”

“Siapa yang peduli pujianmu, Kutu Busuk?! Aku hanya peduli nyawamu untuk menebus kematian kedua muridku yang telah kalian bunuh dengan keji."

“Kedua muridmu...? Ya…, ya. Aku ingat seorang pemuda dan seorang gadis berwajah manis. Eh! Tahukah kau, Orang Tua? Gadis itu amat menawan dan membuat gairahku nyaris tak berhenti. Dia cukup memuaskan kami berdua.” Supit Gadar tersenyum-senyum kecil ketika mengatakan hal itu. Supit Gadar memang bermaksud memancing kemarahan lawannya yang memang telah memuncak. Dan kalau sudah begitu, biasanya perhatiannya akan kacau-balau. Tapi, sebenarnya Supit Gadar salah perhitungan. Meskipun Ki Ageng Kunir semakin geram mendengar kata-kata Supit Gadar, justru serangan-serangannya semakin ganas dan berbahaya.

“Binatang keparat! Kau akan mampus lebih dahulu!”

“Uts! “

Supit Gadar memang berhasil mengelakkan satu pukulan tangan kanan lawan. Namun, ternyata tendangan kaki Ki Ageng Kunir lebih cepat lagi menyambar ke arah perutnya.

Des!
“Aaakh...!”

Supit Gadar terjajar limbung disertai pekik kesakitan. Sementara itu Ki Ageng Kunir melompat, tanpa memberi kesempatan kepada lawan.

“Yeaaa…! Uts, Setan!”

Ki Ageng Kunir memaki geram sambil membuang tubuhnya ke samping, ketika Supit Gadar dalam keadaan bahaya begitu masih sempat melepaskan pukulan mautnya, ‘Kelabang Api’. Selarik sinar merah kekuningan yang berhawa panas itu menderu dan nyaris menghantam tubuh Ki Ageng Kunir kalau tak sempat dihindari.

“He he he...! Hati-hati kau, Kunir. Salah salah kau malah nanti yang dicundangi bocah itu dengan pukulan picisannya!” teriak Ki Dara Pincung mengingatkan sambil tertawa-tawa kecil.

“Terima kasih, Pincung! Mudah-mudahan kau sendiri juga tak lengah. Salah salah pukulan busuknya itu merebus dirimu!” sahut Ki Ageng Kunir tersenyum lebar.

“Sial!” jawab Ki Dara Pincung menggerutu kesal.

Ki Ageng Kunir terkekeh kecil. Tapi tiba-tiba....

“Akh...!“
“Hah?!”

Mendadak mereka semua yang ada di situ di kejutkan oleh jerit tertahan Kebo Koneng. Dan ternyata seseorang telah muncul di tempat itu, dan langsung memancung leher Kebo Koneng yang telah tak berdaya dengan bengis.

Supit Gadar tersentak kaget. Padahal walaupun terkejut, saat itu juga Ki Ageng Kunir melancarkan serangan pukulan maut berisi tenaga dalam penuh. Maka....

Begkh!
“Aaakh!”

Tak ayal lagi, Supit Gadar memekik kesakitan dengan tubuh terjungkal menyemburkan darah segar dari mulutnya. Dada kirinya seperti remuk dan jantungnya pecah terkena hantaman lawan. Begitu jatuh di tanah, tubuhnya menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak gerak lagi. Mati.

“Bidara Condong! Hm... kukira siapa,” sahut Ki Dara Pincung bernada datar, ketika melihat kehadiran seorang laki-laki berambut gondrong dengan dahi lebar dan ubun-ubun botak. Pedang besarnya masih berlumur darah. Dan matanya tajam memandang kedua orang tua itu sekilas.

“Aku tak peduli siapa kalian. Tapi, siapa pun yanq berurusan dengan Nini Towok, mesti mampus di tanganku!” sahut laki-laki berpakaian serba hitam dan kalung penuh kepala tengkorak yang dipanggil Bidara Condong. Setelah berkata demikian. Bidara Condong langsung pergi meninggalkan mereka.

“Manusia aneh tak beradat!” umpat Ki Dara Pincung.

Ki Ageng Kunir hanya tersenyum kecil. “Ki Dara Pincung, terima kasih atas bantuanmu Maaf, aku harus pergi ke Hutan Dandaka sekarang juga untuk meminta pertanggungjawaban Nini Towok,” ucap Ki Ageng Kunir bersiap pergi.

“He, tunggu dulu!”

“Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan, Ki?”

“Sial! Memangnya kau saja yang berurusan dengan kuntilanak itu? Ayo, berangkat!” sahut orang tua cebol itu sambil melesat pergi.

Ki Ageng Kunir menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, mengikuti orang tua cebol di sampingnya.

***

Sementara di tempat lain, Nini Towok tengah memandang Pandan Wangi sambil menyeringai kecil. Suasana ruangan itu agak temaram. Dan satu-satunya cahaya yang menerangi hanya obor kecil yang tergantung di dinding pondok. Sehingga, perempuan tua itu tak terlalu memperhatikan perasaan geram yang terbias di wajah Pandan Wangi. Gadis itu memang sudah siuman, namun masih dalam keadaan tertotok.

“He he he...! Sebentar lagi kekasihmu akan datang ke sini...!”

“Huh! Jangan terlalu yakin! Dia tak peduli sama sekali!”

“Hm, begitu? Kalau sampai besok dia tak datang, kau akan kuserahkan pada kedua muridku!” sahut Nini Towok dingin.

Pandan Wangi bergidik ngeri mendengar kata-kata Nini Towok. Betapa tidak! Terbayang sesuatu pengalaman nista yang akan dialaminya. Terbayang dalam ingatannya ketika bola mata Supit Gadar yang rakus menjilati seluruh tubuhnya dari kepala hingga kaki. Padahal, melihat wajah jelek dan menakutkan itu saja, perutnya sudah mual. Apalagi kalau setan itu sampai menggerayangi tubuhnya. Mungkin Pandan Wangi akan pingsan, karena tak kuat menahan amarah dalam ketidakberdayaannya

Nini Towok sendiri agaknya perempuan cerdik. Dia tahu Pandan Wangi hanya ditotok oleh Supit Gadar. Meskipun totokan itu kuat, namun gadis itu bukan wanita sembarangan. Tenaga dalamnya cukup kuat, sehingga bisa jadi akan mampu melepaskan diri secara diam-diam. Dia berpura-pura tetap tidak berdaya, kemudian membokong di saat lengah. Itulah sebabnya, gadis ini diikat dalam sebuah tonggak. Kedua tangan dan kaki Pandan Wangi diikat kuat-kuat dengan tambang dari oyot-oyot pohon yang lentur dan tidak mudah putus.

“Hi hi hi.! Kenapa kau diam? Takut...?” ejek Nini Towok sambil terkikik pelan.

“Phuih! Apa yang kutakutkan padamu?”

“O, tentu.... Tentu saja kau tidak takut padaku. Aku percaya. Tapi ketika dua muridku menggerayangi tubuhmu, apa kau masih tidak takut juga ? Hi hi hi..."

“Perempuan setan! Kau benar-benar terkutuk. Manusia binatang...!” maki Pandan Wangi geram.

Nini Towok hanya terkikik mendengar makian yang dilontarkan Pandan Wangi. Dan sebenarnya, dia tidak tahu kalau kedua muridnya tak akan muncul lagi di hadapannya.

“Hi hi hi..! Memakilah sepuasmu, sehingga akan semakin membuatku senang.”

“Dasar binatang!”

“He?! Kau akan lihat sendiri, apa kekasihmu itu lebih baik dariku...?”

“Huh! Mudah-mudahan kau akan mampus ditangannya.”

“Hi hi hi..! Begitukah kau menilaiku? Nini Towok bukanlah orang sembarangan, Cah Ayu. Dan kekasihmu hanya kelinci nakal yang akan memuaskan rasa laparku saja. Apa susahnya menangkap seekor kelinci...?”

“Kau terlalu sombong, Perempuan tua. Kau belum mengenal Pendekar Rajawali Sakti.”

“Hm, kenapa tidak? Aku sudah banyak mendengar cerita mengenai kekasihmu. Bahkan aku pernah melihatnya juga. Tapi ya.... tentu saja dia tidak mengenaliku. Karena saat itu, aku tidak memperkenalkan diri.”

“Apa kau tak malu pada dirimu sendiri?”

“Malu...? Kenapa harus malu?” Nini Towok malah balik bertanya.

“Berkacalah di mata air sana. Dan kau akan melihat kulit-kulit tubuhmu yang sudah keriput dimakan usia. Sangat tidak pantas perempuan seusiamu mempunyai pikiran kotor pada pemuda-pemuda belia. Kau bukan saja berpikiran kotor, tapi perbuatanmu amat menjijikkan. Tidakkah terbersit dalam hatimu untuk menyadari kekeliruanmu? Atau, barang kali memang kau gila dan memiliki kelainan...?”

Nini Towok memandang tajam ke arah Pandan Wangi. Wajahnya yang tadi cerah, tiba-tiba berubah tegang. Bahkan menakutkan. Tanpa sadar, Pandan Wangi jadi bergidik ngeri membayangkan wajah perempuan tua yang mengerikan itu.

“Hm... Kau tahu apa tentang kehidupan Cah Ayu..? Hidupmu hanya dipenuhi kesenangan dan kemewahan belaka. Pernahkah kau merasakan kesengsaraan. dijauhi semua orang, dan hidup dalam penderitaan lahir batin? Coba bayangkan dan pikir, apa kira-kira yang akan kau lakukan bagi kehidupanmu sendiri dan bagi orang lain yang memusuhimu?” tanya Nini Towok dingin.

Pandan Wangi terdiam. Dipandangnya perempuan tua itu sekilas. Kemudian, kepalanya menunduk lesu. Kata-kata perempuan tua itu dikeluarkan lewat nada yang pahit dan getir. Tapi sebenarnya apa yang dituduhkan perempuan tua ini terhadap Pandan Wangi tidak semuanya benar. Dan mungkin Pandan Wangi bisa menyadari, kalau penderitaan yang pernah dialaminya, tidak setara dengan penderitaan Nini Towok. Tapi benarkah begitu? Paling tidak bisa dirasakannya lewat nada suara dan sorot mata perempuan tua itu.

“Hhh ... itu masa lalu. Dan setiap orang mempunyai masa lalu yang berbeda.'' lirih sekali suara Nini Towok meneruskan kata-katanya.

Pandan Wangi semakin merasakan kegetiran yang dialami perempuan tua itu lewat helaan napas dan nada suaranya.

“Sudahlah. Ada baiknya kau bersiap-siap, Cah Ayu,” mendadak Nini Towok berdiri tegak

Pandan Wangi merasakan kalau perempuan tua ini sedang menunggu seseorang. Atau, mungkin beberapa orang. Mungkin juga kedua muridnya. Dan...

“Nini Towok! Keluar kau, Perempuan Jalang!”

Pandan Wangi tersentak dan mengangkat kepala ketika terdengar bentakan dari luar. Namun, perempuan tua itu malah tampak tersenyum. Kemudian sambil memandangnya sekilas, dia berjalan menuju pintu.

“Mereka telah datang...."
“Siapa mereka?” tanya Pandan Wangi.
Nini Towok diam membisu.

Pandan Wangi tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Lewat celah-celah dinding, yang terlihat hanya suasana gelap di luar yang berubah terang. Sementara di luar, beberapa orang tampak membawa obor. Senja memang baru saja berlalu. Namun, suasana di hutan ini seperti malam pekat

Nini Towok menyeringai dingin di depan pintu sambil memandangi mereka satu persatu. Tampak lebih dari sepuluh tokoh persilatan sudah mengepung pondoknya rapat-rapat. Wajah mereka tampak garang dan penuh amarah, yang terlihat oleh cahaya obor.

“Nini Towok! Tidakkah kau merasa jera akibat perbuatanmu di masa lalu?! Dan kini, kau bersama kedua muridmu membuat kekacauan di mana-mana. Hm.... Kami tidak bisa mendiamkan begitu saja. Dan kau akan menerima hukumannya!” kata salah seorang pembawa obor itu dengan suara lantang.

“Sudira! Apakah aku pernah berjanji pada kalian untuk mengaku kalah? Hm... Kalian terlalu gegabah memasuki wilayahku. Pulanglah kalian semua, sebelum aku bertindak tegas!”

“Perempuan hina! Apa kau pikir kami takut oleh ancamanmu itu? Kau dan murid-muridmu adalah pengacau dan patut dilenyapkan dari muka bumi ini. Suruh kedua muridmu itu menyerahkan diri, juga kau...!” sahut laki-laki yang tadi dipanggil Sudira.

“Hm.... Tidak semudah apa yang kau katakan itu, Sudira. Kau boleh menangkapku dan juga kedua muridku, setelah melangkahi mayatku. Kali ini, aku tidak akan lari begitu saja dari kalian. Siapa yang ingin mampus lebih dulu, silakan maju!” tegas Nini Towok bernada mengancam.

“Kurang ajar...!”

“Sudira! Sudah jangan banyak mulut lagi. Biar kami yang akan meringkus kuntilanak keparat ini!” sungut salah seorang dengan geram. Orang itu langsung melompat ke arah Nini Towok. Sedangkan golok besar di tangannya cepat diayunkan, mengincar tubuh perempuan tua itu.

“Cokro! Hati-hati kau...!” teriak Sudira memperingatkan.

“Jangan khawatir, akan kupersembahkan kepala kuntilanak ini pada kalian!” kata laki-laki yang baru saja menyerang, dan ternyata bernama Cokro.

“Hi hi hi...! Bukankah kalau kepalamu saja yang lebih dulu kutendang?” sambut Nini Towok sambil menghindar dan balas menyerang, dengan ayunan kakinya yang menendang kepala lawan.

Wut!
Bet!
“Uts..! Shaaa!”

Laki-laki bertubuh besar bernama Cokro itu mengelak dengan gesit. Lalu langsung dibalasnya serangan Nini Towok dengan ayunan golok besarnya ke arah kaki lawan. Namun, Nini Towok lebih cepat lagi menarik kakinya. Dan dengan tubuh berputar, dia melompat melewati kepala lawannya, bermaksud menghajar ubun-ubun.

“Yeaaah...!”
“Hup!”

Melihat serangan itu, Cokro cepat berkelit ke samping sambil membabatkan goloknya ke atas. Tapi siapa sangka kalau sabetannya hanya membelah angin belaka, karena lawan sudah lenyap entah ke mana. Cokro celingukan mencari-cari, seperti orang kebingungan. Namun mendadak....

Des!
“Aaakh...!”

Tiba-tiba satu tendangan keras menghantam ulu hatinya. Laki-laki bertubuh besar itu kontan memekik kesakitan. Tendangan yang dilakukan ujung kaki perempuan tua itu keras bukan main, sehingga membuatnya terjungkal. Namun belum lagi Cokro sempat memperbaiki keadaan, tendangan selanjutnya yang tidak terduga sama sekali tidak mampu dielakkan lagi. Maka....

“Yeaaah...!”
Diegh.... Krek!
“Aaa...! “
“Cokro...!”

Ujung kaki Nini Towok tepat mendarat telak pada tulang lehernya, hingga terdengar tulang berderak patah. Tubuh Cokro terlempar dan persis jatuh di depan orang-orang itu, dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Sudira dan yang lainnya berseru kaget dan menghampin Cokro.

“Kita hajar kuntilanak itu sama-sama!” teriak Sudira memberi perintah, begiru telah memastikan kalau Cokro telah tewas.

“Hancurkan perempuan Iblis itu...!”
“Yeaaa...!”
“Hiyaaa...!”

Nini Towok hanya mendengus meremehkan melihat mereka maju berbarengan. Bahkan dia masih tampak tenang-tenang saja ketika serangan lawan dekat. Baru ketika hampir menyambar tubuhnya, dia melompat ke atas dan langsung berputaran beberapa kali. Dan dengan gerakan manis sekali, dia sudah mendarat di belakang barisan orang-orang itu. Dan langsung dihajarnya salah seorang yang berada di dekatnya.

Begkh!

“Akh!”

“Sial..!”

“Hati-hati! Kuntilanak ini semakin lihai saja...!”

Pertarungan yang tidak seimbang pun berlangsung sengit. Namun Nini Towok sama sekali tidak memperlihatkan kegentarannya. Malah dengan bengis dan kejam sekali, dihajarnya lawan satu persatu tanpa kenal ampun.

***
TUJUH
Hari telah menjelang senja. Kegelapan mulai menyergap sekitar pinggiran Hutan Dandaka. Pada saat ini, tampak Pendekar Rajawali Sakti bersama seorang prajurit dari Kerajaan Pandarakan sudah tiba di pinggiran hutan ini. Tempat Pandan Wangi dan Panglima Sura Darma serta pasukannya menunggu. Namun suasana terlihat sepi dan tidak seorang pun terlihat.

“Apakah kau yakin mereka berada di sini?” tanya Rangga cemas.

“Aku yakin sekali.”

“Lalu, ke mana mereka sekarang?”

Prajurit itu tidak mampu menjawab, dan hanya mencari-cari lewat pandangan matanya.

“Cobalah, ingat-ingat. Barangkali kau lupa,” ujar Rangga lagi.

“Tidak. Aku yakin di sinilah mereka akan menunggu kita"

“Hm....” Rangga bergumam pelan.

“Aku.... Aku tidak berdusta. Kisanak”

“Ya, ya. Aku mengerti. Mungkin mereka sudah berpindah. Dan sebaiknya kita cari di sekitar sini,” sahut Rangga sambil menarik tali kekang kudanya. Dan mereka kini berkeliling, memutari tempat itu

“Lihat..! Ada apa di sana?!” tunjuk prajurit itu ketika melihat banyak sekali burung pemakan bangkai yang beterbangan di depan.

Melihat itu, dada Rangga jadi berdebar-debar tidak menentu. Jantungnya berdetak lebih kencang lagi. Dia memang mengkhawatirkan nasib Pandan Wangi. Harapannya, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada gadis itu.

“Haaa..! Ayo, Dewa Bayu. Bawa kami ke sana secepatnya!” teriak Rangga sambil menepuk leher kudanya.

Kuda berbulu hitam itu melesat cepat bagai kilat. Dan sebentar saja, mereka sudah berada di tempat itu. Prajurit itu langsung tersentak kaget ketika melihat seluruh prajurit kerajaan yang menyertai Panglima Sura Darma telah tewas tanpa nyawa lagi. Rangga buru-buru melompat turun dari punggung kudanya, dan mencari-cari kalau-kalau Pandan Wangi ikut menjadi korban.

“Tidak ada. Ke mana dia...?” dests Rangga.
“Ada apa, Kisanak?” tanya prajurit itu.
“Pandan Wangi. Dia tidak ada di antara mayat-mayat ini,” sahut Rangga.
“Apakah kemungkinan dia ... dia diculik?”
“Apa...?! Keparat!”
Prak!

Prajurit itu terlonjak kaget ketika Rangga menghantamkan sebuah batu yang ada di dekatnya hingga hancur berantakan. Wajahnya tampak menyiratkan kegeraman yang memuncak.

“Tunjukkan padaku, di mana mereka berada,” pinta Rangga.
“Mereka...?”
“Kedua orang itu!” bentak Rangga kesal.

“Eh...! Me..., mereka pasti berada di dalam Hutan Dandaka,” sahut prajurit itu dengan tubuh gemetar dan suara tercekat di tenggorokan.

“Mari kita berangkat,” ajak Rangga, sambil melompat ke punggung kudanya.

“Ta... tapi...”

“Tapi apa? Apa kau akan mendiamkan saja semua ini terjadi? Sebagai seorang prajurit sejati sudah selayaknya kau membela kebenaran. Mereka semua mati demi menjalankan tugas. Lalu apa yang kau ragukan lagi? Ayo Ikut!”

“Di... di sana tempat tinggal Nini Towok.”

“Siapa Nini Towok?”

“Guru kedua buronan itu.”

“Huh! Siapa yang peduli padanya...?”

“Dia kejam dan berilmu sangat tinggi. A.... aku....”

“Hm.... Kau takut...? Nah, kau boleh pergi. Tapi, tunjukkan padaku letak Hutan Dandaka dan di mana persisnya sarang mereka.”

“Eh! Hutan Dandaka berada di depan mata kita, Kisanak. Tapi sarang mereka aku tidak tahu. Mungkin di dalam hutan itu.”

Rangga memandang ke depan. Tampak tidak jauh dari tempatnya berdiri, Rangga melihat segerumbulan pepohonan besar yang lebat dan gelap. Pendekar Rajawali Sakti mendesah pelan dan diam-diam menggerutu kesal. Hutan itu begitu luas, dan tanpa petunjuk jelas. Mau tidak mau, dia harus menjelajahinya.

“Betul kau tidak mau ikut?”

“Eh! Aku..., harus melaporkan hal ini ke kerajaan,” sahut prajurit itu menemukan alasan

“Baiklah. Kau boleh kembali dengan berjalan kaki,” kata Rangga.

“Berjalan kaki?” tanya prajurit itu terperanjat.

Jarak yang mereka tempuh dengan berkuda saja, sudah begitu jauh. Apalagi sepanjang perjalanan tidak terlihat sedikit pun ada mata air. Tanah-tanah retak dan pepohonan gundul. Dan dia kini harus berjalan di malam hari.

“Ya, berjalan kaki.” tegas Rangga.

Setelah berkata begitu, Rangga langsung saja memacu kudanya kencang-kencang.

“Kisanak, tunggu dulu...! Aku ikut saja!” teriak prajurit itu.

Tapi Rangga sudah melesat jauh. Dan seandainya mendengar, Pendekar Rajawali Sakti mana mau peduli lagi? Dia memang paling tidak suka pada orang penakut yang hanya mementingkan keselamatan sendiri. Padahal jelas sekali kalau tugas menangkap kedua buronan itu terletak di tangannya. Dan dia adalah salah seorang prajurit di bawah pimpinan Panglima Sura Darma yang masih tersisa.

***

Mencari sarang dua buronan yang sebenarnya telah tewas di hutan luas ini, bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan Dewa Bayu tidak bisa membantu banyak, sebab banyak sekali cabang serta ranting pohon rendah yang mengganggu perjalanan. Sehingga tidak jarang Pendekar Rajawali Sakti harus turun, lalu memilih berjalan kaki sambil menuntun kudanya.

Sudah sejauh ini Pendekar Rajawali Sakti berjalan, namun tidak terdengar tanda-tanda akan terlihat sarang kedua buronan itu. Udara malam semakin dingin. Dan kegelapan menyelimuti tempat itu. Malah Rangga harus mengerahkan indera pendengarannya yang tajam untuk mengawasl keadaan sekitarnya.

“Hieeeh...!”

Mendadak saja, Dewa Bayu meringkik, Rangga menajamkan pendengarannya sambil menepuknepuk leher kuda hitamnya. Memang, telinga Pendekar Rajawali Sakti mendengar ribut-ribut seperti orang tengah bertarung.

“Ya! Aku juga mendengarnya, Dewa Bayu.” ujar Rangga sambil mengikuti sumber suara yang didengarnya.

Tidak berapa lama Rangga berjalan, terlihat cahaya terang di ujung jalan. Dan sambil mengendap-endap, Rangga segera menuju sebuah pertarungan yang memang terjadi. Tampak seorang perempuan tua bertubuh kurus tengah dikerubuti beberapa orang. Namun perempuan tua itu tampak tidak terdesak sama sekali. Bahkan dari beberapa sosok mayat yang bergelimpangan di dekat pertarungan, Rangga bisa menduga kalau perempuan tua itu berada di atas angin. Diakah yang bernama Nini Towok?

“Hi hi hi…! Sudira! Sebentar lagi, kau dan anak buahmu akan mampus di tanganku!”

“Kuntilanak keparat! Kau boleh berkata apa saja. Tapi, jangan harap kami akan melepaskanmu!”

“Hi hi hi...! Boleh juga semangatmu, Sudira! Yeaaah...!”

Perempuan yang yang memang Nini Towok itu langsung melepaskan pukulan jarak Jauh andalannya yang bernama pukulan 'Penghancur Tulang'. Sementara, Sudira memang bisa menghindar. Namun....

Plak!
Plak!
“Akh...!”

Beberapa orang kontan memekik kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung begitu terhantam pukulan jarak jauh Nini Towok. Dan mereka langsung ambruk ke tanah dalam keadaan tubuh mengerikan. Sekujur kulit tubuh mereka hancur menjadi kecil-kecil, itulah akibat menggiriskan dari pukulan maut yang disertai aji 'Penghancur Tulang' yang dilancarkan Nini Towok.

“Perempuan iblis! Kau kira kami takut dengan ajianmu itu?! Huh...!” dengus Sudira. kembali berniat melancarkan serangan lewat jurus andalannya.

“Hi hi hi..! Sudira! Kau goblok sekali berani mengandalkan pukulan tidak berguna itu,” ejek Nini Towok sambil tertawa nyaring

“Yeaaah...!”

Sudira tidak mempedulikan ocehan perempuan tua itu. Disertai bentakan nyaring, dilepaskannya pukulan-pukulan mautnya lewat Jurus 'Pukulan Kembang Merah' berkekuatan tenaga dalam tinggi.

Pada saat yang bersamaan pula beberapa orang anak buah Sudira segera menggabungkan kekuatan menjadi satu. Namun dengan gerakan lincah sekali. Nini Towok berkelit menghindar. Bahkan kembali melepaskan pukulan jarak jauhnya.

“Hiyaaat...!”

Nini Towok menyentakkan kedua tangannya ke depan. Maka seketika meluruk secercah cahaya kuning dari kedua tangannya. Sinar kurang itu terus meluruk, dan...

Pras!
“Aaa...!”

Kembali beberapa orang kontan terpekik dan ambruk di tanah terkena pukulan jarak jauh yang dilancarkan perempuan tua itu. Mereka berkelojotan sesaat, lalu diam tak berkutik lagi. Sudira menggeram sengit. Kini, jumlah mereka tinggal bertiga. Dia tidak yakin, apakah mampu mengalahkan lawannya yang tangguh ini.

“Kenapa, Sudira? Kau mulai takut setelah kehilangan anak buahmu...?” ejek Nini Towok.

“Huh! Siapa yang takut menghadapimu? Aku akan mengadu jiwa denganmu, Nini Towok!” dengus Sudira geram. Bersamaan dengan itu, Sudira bersiap-siap melancarkan serangan. Kemudian sambil membentak nyaring, tubuhnya melesat cepat ke arah lawan diikuti dua orang temannya.

“Hiyaaat..!”

“Hm.... Manusia-manusia tidak berguna! Kalian memang lebih baik mampus saja!” dests perempuan tua itu dengan wajah menyiratkan kebengisan.

“Yeaaah...!”

Nini Towok kembali melepaskan pukulan jarak jauhnya, yang disusul meluncurnya dua buah sinar berwarna kuning dari kedua tangannya yang dihentakkan, tak ada yang tahu kalau Nini Towok melepaskan dua ajian sekaligus. Aji Penghancur Tulang dan aji Kelabang Api. Maka...

Prak!
Plak!
“Aaah...!”

Kejadian itu cepat sekali. Dan tahu-tahu, terdengar keluh kesakitan dari ketiga lawannya. Tubuh mereka langsung ambruk ke tanah tanpa nyawa lagi. Dua orang kepalanya pecah terkena aji Penghancur Tulang. Sedangkan Sudira sendiri hangus terbakar terkena hantaman pukulan jarak jauh yang disertai aji Kelabang Api yang sangat dahsyat itu.

“Chuih! Orang-orang tidak berguna seperti kalian memang harus mati!” dengus Nini Towok sambil meludah dan berkacak pinggang.

“Ya! Mereka memang layak mampus, seperti juga kau...!”

“Heh...?!”

Nini Towok tersentak kaget dan berbalik, ketika tiba-tiba ada yang menyahuti ucapannya. Matanya jadi menyipit dan menyorot tajam ke arah laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berpakaian serba hitam yang sudah berdiri di belakangnya. Wajah orang itu lebar dan hidungnya bulat. Rambutnya panjang dan acak-acakan, seperti tak pernah diurus. Di lehernya terdapat untaian kalung dari tengkorak kepala manusia. Dengan pedang besar di pinggangnya, laki-laki itu tampak lebih menyeramkan. Apalagi saat mendengus geram seperti saat ini.

“Bidara Condong! Ada maksud apa kau jauh-jauh datang ke tempatku ini?” tanya Nini Towok dingin. saat mengenali orang yang baru datang itu.

“Untuk meminta kepalamu!”

“Hi hi hi..! Kau sekarang terlihat makin galak saja. Apalagi dalam keadaan menggeram begitu. Mana rasa sayangmu yang dulu? Apakah sekarang kau tidak menyayangiku lagi?” suara Nini Towok terdengar merdu merayu

Tapi laki-laki bernama Bidara Condong itu tidak tersenyum sedikit pun. Bahkan di wajahnya terbias perasaan geram yang memuncak.

“Perempuan liar! Jangan kau sebut-sebut lagi soal itu. Tidak cukupkah kau menewaskan kakakku?! Kau bujuk dan kau jerat dia, hingga kau berpaling dariku. Kemudian setelah itu, dia kau jadikan korbanmu. Dan kini, kau coba-coba merayuku. Phuih! Tua Bangka Keparat! Cobalah berkaca. Tubuhmu sudah peot dan wajahmu telah berkeriput. Meskipun kau masih semuda dulu. jangan harap bisa membujukku lagi. Apalagi dengan keadaanmu sekarang”

“Hi hi hi..! Sifatmu sejak dulu tak pernah berubah, Bidara. Kau tetap tegas dan gagah. Tapi, kenapa baru sekarang kau menginginkan kematianku? Kenapa tidak sejak dulu...?” sindir Nini Towok.

“Kalau dulu, itu kuanggap persoalan kalian. Lagi pula, aku masih sakit hati pada Kakang Narasoma. Tapi kini, persoalan menjadi lain. Seorang anakku diculik, saat aku tidak berada di rumah. Dan ketika kutahu kalau kedua penculik itu muridmu, tahulah aku kalau kaulah penyebabnya! Kaulah yang memerintahkan kedua muridmu untuk menculik anakku, sekadar pemuas nafsu iblismu. Dan setelah itu, dengan seenak udelmu mayatnya kau buang begitu saja. Hhh! Kau harus mampus, di tanganku, Perempuan Jahanam!” geram Bidara Condong. Suaranya terdengar bergetar menahan geram. Malah giginya terlihat bergemeretuk.

Setelah berkata begitu, Bidara Condong langsung mencabut pedangnya yang besar. Langsung diserangnya perempuan tua ini. “Mampus kau! Hiyaaat..!”

“Hup!”

Nini Towok cepat menghindar dengan gerakan lincah. Disadari betul kalau lawannya kali ini bukanlah orang sembarangan. Bidara Condong memiliki tenaga dalam kuat. Itu dapat terlihat dari angin serangannya yang menimbulkan hantaman kuat. Bahkan mampu membuat lawan sedikit bergetar, meskipun tidak mengenal sasaran.

Maka, Nini Towok merasa perlu berhati-hati menghadapinya. Dia tidak berani mengadu tenaga secara langsung, kalau tidak ingin celaka. Sebab kalau ternyata tenaga lawan lebih tinggi, dialah yang akan rugi. Tapi bila dibandingkan Bidara Condong, ilmu meringankan tubuhnya lebih tinggi setingkat. Sehingga, setiap serangan lawan mampu dihindari dengan gesit.

“Hm. Setelah sekian lama, ternyata kemajuanmu sangat pesat. Perempuan Keparat. Dan yang pasti, itu hasil perbuatan keji. Kau pandai menyerap semua ilmu korban-korbanmu'“ kata Bidara Condong sambil menghentikan serangannya.

“Hi hi hi... Kau sungguh bodoh, Bidara. Itu namanya kecerdikan! Bukan licik.”

“Tapi bukan berarti kalau aku tidak mampu mengalahkanmu.”

“Hm. Kenapa banyak mulut? Kalau memang mampu, buktikanlah.”

“Apa susahnya? Buktinya kedua muridmu sudah mampus. Dan sekarang tinggal kau sendirian.”

“Apa katamu...?!” tanya Nini Towok, kaget
“Kedua muridmu sudah mampus!”
“Bangsat! Kau yang membunuh mereka?”
“Sayang, hanya seekor bagianku.” sahut Bidara Condong kalem.

Bidara Condong berkata demikian dengan harapan perempuan tua ini akan marah. Apalagi menggunakan sebutan seekor. Dan berarti sudah penghinaan yang kelewatan sekali. Sementara, Nini Towok memang kelihatan marah sekali. Tapi bukan karena makian kata-kata seekor itu, melainkan...

“Setan! Berani benar kau mendahului aku!”

Dan kini gantian Bidara Condong yang merasa terkejut. Guru macam apa perempuan ini? Mendengar muridnya tewas dan disamakan dengan binatang, tapi malah menjawab seperti itu. Seolah dia tidak rela kalau orang lain yang menghukum kedua muridnya, karena memang bermaksud menghukumnya sendiri. Bidara Condong jadi heran. Apakah di antara mereka memang tidak sejalan? Bidara Condong buru-buru menepiskan pertanyaan terakhirnya. Dia tahu betul, perempuan tua ini sangat licik.

“Yeaaah...!”

Kini terlihat, serangan Nini Towok semakin gencar dan hebat saja. Segenap kecepatan geraknya dikerahkan untuk menghajar lawan. Akibatnya, Bidara Condong jungkir balik dibuatnya. Bahkan dalam satu kesempatan dia nyaris terkena hajaran perempuan tua itu kalau tidak buru-buru menjatuhkan diri ke bawah.

Belum juga Bidara Condong bangkit, perempuan tua itu sudah menyusuli dengan serangan selanjutnya. Maka sambil bergulingan. Bidara Condong buru-buru melepaskan ajiannya yang bernama Klambang Mekar. Ajian mengandung hawa dingin yang mampu membuat tubuh lawan membeku dan pembuluh darahnya pecah itu ternyata dihadapi Nini Towok dengan pukulan jarak jauh Penghancur Tulang disertai kekuatan penuh. Maka....

Glarrr...!

Sebuah ledakan dahsyat terdengar ketika dua ajian berbeda jenis itu beradu pada satu titik. Kemudian....

“Akh!”

Bidara Condong tiba-tiba memekik kesakitan. Tubuhnya yang memang sudah berada di tanah langsung terpental sambil memuntahkan darah segar. Bukan saja karena pukulannya tidak mampu melukai lawan, tapi justru ajiannya sendiri malah berbalik menyerangnya. Sambil menjerit-jerit kesakitan. Bidara Condong menggelepar di tanah. Tapi, Nini Towok tidak memberi kesempatan sedikit pun. Bahkan tubuhnya sudah melompat sambil berputar, dan kembali menghantamkan pukulan mautnya.

“Yaaah...!“
Pratt

Bidara Condong tak bersambat lagi ketika tubuhnya remuk tak berbentuk. Kulit tubuh dan tulang-tulangnya hancur dihantam pukulan maut lawannya. Nyawanya kontan terlepas dari badan.

“Hhh! Pukulan maut yang hebat. Sayang, Bidara Condong sangat gegabah dan menganggap enteng...”

Tiba-tiba terdengar suara bernada mengejek. Nini Towok melirik garang. Memang sudah disadarinya kehadiran dua sosok tubuh itu, saat tadi bertarung melawan Bidara Condong. Namun karena mereka tidak bertindak apa-apa, dia mendiamkan begitu saja. Dan kini jelas bisa diketahui, siapa mereka.

“Dara Pincung dan Ageng Kunir! Mau apa kalian datang ke sini?” tanya Nini Towok.

“Meminta pertanggungjawabanmu...!” Ki Ageng Kunir yang menyahuti

“Hm... Dan kau, Kakek Cebol?”

“Aku? Hm Aku hanya rindu saja padamu. Telah lama kita tidak bertemu. Beginikah sikapmu pada kenalan lama...?”

“Huh, Cebol Licik! Kau pikir aku tidak tahu maksudmu dengan berpura-pura baik begitu?!”

“Hm.... jadi. kau tahu maksudku yang sebenarnya? Baguslah...” sahut orang tua bertubuh cebol itu.

“Bukankah kau ingin membalaskan sakit hatimu karena muridmu tergila-gila padaku?” ejek Nini Towok sambil tersenyum sinis.

“Kau salah, Kuntilanak. Bukan dia, melainkan kaulah yang tergila-gila padanya. Dan karena memang gila, kau perkosa dan kau bunuh bocah bau kencur itu.”

“Hm... Siapa bilang dia bau kencur? Dia pemuda hebat yang luar biasa.”

“He he he.. ! Dasar perempuan iblis, ya tetap iblis. Hari ini kau tidak akan bisa lari lagi dari tanganku!”

“Hi hi hi..! Akan kulihat sampai di mana kehebatanmu, Tua Bangka Cebol!”

***
DELAPAN
Ki Dara Pincung sudah bersiap membuka jurus. Namun....

“Sobat! Biar aku yang lebih dulu menghajar perempuan iblis ini,” cegah Ki Ageng Kunir.

“Huh! Apa pedulinya...? Kau mau maju menggepruknya sekalian pun aku tidak peduli. Yang jelas, dia musti mampus di tanganku!” sahut orang tua cebol itu tanpa tedeng aling-aling lagi.

“Tapi, Sobat...”

“Heh! Kau ingin mengatakan itu tidak adil? Persetan dengan keadilan. Kalau kau juga ikut menggepruk perempuan sial ini, silakan saja!”

Ki Ageng Kunir jadi ragu-ragu bergerak. Meskipun dia urakan, tapi masih memegang peraturan pokok kalau mengeroyok lawan bukanlah perbuatan terpuji. Tapi belum lagi orang tua cebol itu bergerak menyerang lawan, tiba-tiba saja terdengar satu suara dari ambang pintu pondok gubuk Nini Towok.

“Kisanak, apakah tidak lebih baik kalau kita undi saja siapa yang lebih berhak menggepruk perempuan itu...?”

“Siapa kau?!” bentak Ki Dara Pincung garang.

Tampaklah seorang pemuda tampan berambut panjang. Bajunya rompi berwarna putih. Di punggungnya tersampir sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung. Dan di sebelahnya, terlihat seorang gadis cantik berbaju biru muda. Dia memang Pendekar Rajawali Sakti bersama Pandan Wangi.

Memang, ketika Nini Towok tengah bertarung malawan Sudira, diam-diam Rangga mendatangi pondok yang dilihatnya. Pendekar Rajawali Sakti memang curiga terhadap pondok itu, dan langsung memeriksanya. Ternyata di situ dia mendapatkan Pandan Wangi dalam keadaan terikat dan tertotok di tiang. Maka langsung dibebaskannya gadis itu.

Nini Towok yang melihat, mendadak saja wajahnya jadi kelihatan geram. Dan buru-buru tangannya berkacak pinggang sambil melotot garang. “Bocah sial! Jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti..?!” tanya Nini Towok.

“Begitulah orang-orang memanggilku.” sahut pemuda berbaju rompi putih itu, merendah.

“Bagus. Akhirnya kau datang juga. Tapi sungguh gegabah perbuatanmu dengan melepaskan tawananku. Maka, kaulah yang akan menggantikannya sekarang juga!” sambung Nini Towok sambil melompat menyerang pemuda itu.

“Sial! Kau pikir aku ini apa, heh...?!” bentak Ki Dara Pincung tiba-tiba, merasa tidak dipedulikan perempuan tua itu.

Tidak peduli kalau saat ini Nini Towok tengah menyerang Pendekar Rajawali Sakti, langsung diserangnya perempuan tua itu dengan gencar. Akibatnya, perhatian Nini Towok jadi terpecah menjadi dua. Dan hal itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi Ki Dara Pincung adalah tokoh tersohor yang memiliki kepandaian tinggi.

Dulu saja, kepandaiannya sudah sedemikian tinggi. Entah saat ini. Dan sifatnya yang ugal-ugalan, sering membuat Nini Towok keteter. Dia memang tidak peduli sopan santun segala macam. Maka begitu dianggap remeh, tidak menyambut tantangannya, langsung dihajarnya perempuan tua itu habis-habisan.

Akan halnya Pendekar Rajawati Sakti, dia langsung menghentikan serangannya ketika Ki Dara Pincung ikut membantu. Padahal hatinya geram dan amarahnya memuncak karena perlakuan kedua murid perempuan tua itu terhadap Pandan Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya menunggu kesempatan saja, bila Nini Towok tak bisa dikalahkan.

Berkali-kali Nini Towok dibuat jatuh bangun oleh serangan Ki Dara Pincung yang berkepandaian tinggi. Laki-laki cebol itu tidak memberi kesempatan sedikit pun. Namun sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi. Nini Towok masih mampu membebaskan dari tekanan lawan. Tubuhnya tiba-tiba melenting ke atas dan berputaran beberapa kali. Kemudian tubuhnya meluruk turun dan mendarat manis di tanah, langsung memasang kuda-kuda. Ditatapnya tajam-tajam Ki Dara Pincung dalam jarak dua tombak.

“Mau memamerkan pukulan mautmu itu, heh...?!” ejek Ki Dara Pincung, ketika Nini Towok hendak melepaskan pukulan Penghancur Tulang yang sangat dibanggakannya. Rupanya laki-laki cebol itu sudah bisa membaca gerakan lawan.

“Hih!” Nini Towok tidak mempedulikan ejekan Ki Dara Pincung. Kedua telapak tangannya yang terbuka, cepat dihentakkan ke depan. Maka seketika meluruk cepat secercah sinar kuning dari kedua telapak tangannya, ke arah laki-laki cebol itu.

“Uts!” Namun dengan manis sekali, Ki Dara Pincung menghindar. Lalu langsung dibalasnya serangan itu dengan pukulan maut yang mengeluarkan cahaya kebiru-biruan bagai nyala api hendak menyambar.

Werrr!
Glarrr!

Sebuah ledakan dahsyat terdengar begitu dua buah sinar beradu pada satu titik. Nini Towok terperanjat kaget ketika tubuhnya terjajar beberapa langkah. Ajian lawan memang nyaris membuatnya tewas. Untung saja tenaga dalamnya sudah cukup tinggi. Namun saat itu juga tubuh Ki Dara Pincung terjengkang ke belakang dengan mulut meringis. Rupanya tenaga dalamnya kalah sedikit di banding Nini Towok.

“Ayo, hadapi aku lagi. Perempuan jalang!” bentak Ki Dara Pincung, begitu berhasil menguasai keseimbangannya.

“Cebol keparat! Kau akan mampus di tanganku!” bentak Nini Towok geram, setelah berhasil mengatur jalan napasnya.

“Jangan banyak bicara! Ayo, buktikan...!” sambut Ki Dara Pincung tidak kalah garangnya.

“Yeaaah...!”

Orang tua cebol itu tersentak kaget ketika Nini Towok kembali gencar menyerang. Agaknya, Nini Towok menyadari kalau sudah dikelilingi lawan-lawan tangguh yang siap menunggu giliran. Maka tanpa membuang-buang kesempatan lagi, seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk menekan habis-habisan. Sehingga tidak heran kalau dalam beberapa saat saja, Ki Dara Pincung mulai terdesak hebat. Dan ketika Nini Towok mengibaskan tangan yang mengancam kepala. Ki Dara Pincung cepat memapaknya.

Plak!

Namun, Ki Dara Pincung salah perhitungan. Dikira sehabis mengibaskan tangan, Nini Towok akan melepaskan tendangan setengah lingkaran. Ternyata....

Des!
“Aaakh...!”

Ki Dara Pincung menjerit kesakitan begitu satu pukulan Nini Towok telak menghantam dadanya, sehingga membuatnya terjungkal. Rupanya bukan tendangan yang hendak dilancarkan Nini Towok, tapi sebuah sodokan tangan kiri yang dilepaskan sambil berputar. Untung saja, dia masih sempat membuat beberapa lompatan. Tapi, Nini Towok sudah mengejarnya dengan serangan susulan. Terpaksa Ki Dara Pincung bergulingan untuk menyelamatkan selembar nyawanya.

“Yeaaah...!”

Ki Dara Pincung terus bergulingan, tanpa mempunyai kesempatan membalas. Pada saat yang sama, Nini Towok terus melancarkan pukulan jarak jauh dengan tenaga dalam penuh. Selarik sinar kuning terus meluruk cepat secara beruntun memburu tubuh Ki Dara Pincung. Namun tokoh tua bertubuh cebol itu memang bukan tokoh kemarin sore. Maka dengan gerakan mengagumkan, tubuhnya melenting ke atas, ketika Nini Towok baru saja melepaskan pukulan lewat aji Penghancur Tulang.

Namun baru saja kakinya mendarat, kembali secercah cahaya kuning meluncur deras ke arahnya. Tak ada kesempatan bagi Ki Dara Pincung untuk menghindar, kecuali memapaknya. Maka...

Cras!

Glarrr!

Seketika terdengar ledakan berdentam dahsyat begitu kedua pukulan andalan mereka beradu. Tak lama kemudian, terdengar jeritan pendek salah seorang di antara mereka. Mereka tampak sama-sama terlempar ke belakang.

Namun, nasib malang menimpa Ki Dara Pincung. Dia tewas seketika dengan tubuh hancur dan berceceran di tanah. Sementara, Nini Towok sendiri mendapat luka cukup parah. Dari mulutnya darah tidak henti-hentinya mengalir. Bola matanya yang sayu diusahakan untuk segera menatap tajam ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tubuhnya yang terlempar dan limbung ketika adu kesaktian terjadi, diusahakan untuk berdiri tegak.

“Apakah kau ingin membalaskan sakit hatimu? Silakan. Aku sudah siap,” tantang perempuan tua itu dengan suara bergetar.

Rangga tersenyum pahit melihat keadaan lawannya. Di satu pihak, kejengkelannya belum terobati. Namun di pihak lain, dia tidak mungkin berhadapan dengan lawan yang sudah tidak berdaya. Bagaimana mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa membunuh lawan dalam keadaan demikian...?

“Ayo! Apa kau takut menghadapiku...? Huh! Tidak kusangka ternyata Pendekar Rajawali Sakti hanya julukan kosong belaka. Kau tidak lebih dari seorang pengecut!” teriak Nini Towok dengan suara parau dan diapaksakan untuk tetap tegar.

“Nini Towok! Kau bukanlah lawanku.” sahut Rangga pelan.

“Chiuhhh! Omong kosong! Itu hanya untuk menutupi kepengecutanmu! Ayo! Cabut pedangmu, dan hadapi aku!” bentak Nini Towok keras sambil meludah.

Rangga hanya menggeleng lemah dan berbalik sambil menggandeng Pandan Wangi. Mereka berjalan pelan meninggalkan tempat itu.

“Bocah sial! Apa kau pikir aku tidak mampu menghadapimu? Huh! Terimalah kematianmu...!” bentak Nini Towok sambil melompat bermaksud menyerang. Tapi di tengah jalan, malah tubuh Nini Towok sendiri yang terhempas sambil memuntahkan darah segar.

“Hoeeekh!”

Rangga memandang sekilas, kemudian melihat Ki Ageng Kunir juga tidak bertindak apa-apa. Bisa dirasakan kalau orang tua itu juga mempunyai dendam yang hebat pada Nini Towok. Tapi, dia berusaha menahan diri karena melihat keadaan lawan yang sudah terluka dalam yang amat parah.

“Keparat! Ayo lawan aku! Lawan aku!” jerit Nini Towok keras-keras dengan sesekali memuntahkan darah kental.

Agaknya perempuan tua itu merasa tersinggung betul, karena dianggap rendah oleh Pendekar Rajawali Sakti yang tidak meladeni bertarung dan meninggalkannya begitu saja. Dan hal itu sudah merupakan penghinaan yang hebat dirasakan Nini Towok. Dalam kemarahan dan jengkel, luka dalam yang dideritanya semakin bertambah parah saja.

Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Wajahnya segera dipalingkan pada perempuan tua itu. “Nini Towok! Tanpa bertarung denganku pun, nyawamu sudah tidak akan tertolong lagi. Perbuatanmu sungguh keji dan nista. Jadi, sudah sepatutnya kau menerima siksaan seperti ini. Membunuhmu lebih cepat hanya akan meringankan penderitaanmu saja. Dan kau memang harus merasakan sakitnya dosa yang sudah kau perbuat selama ini,” kata Rangga kalem, seraya berbalik bersama Pandan Wangi.

“Ke..., keparat! Keparat kau ! Hoeeekh!”

Tanpa diketahui Rangga dan Pandan Wangi, sebuah bayangan berkelebat ke arah Nini Towok. Lalu....

Bles!
“Aaa..!”
“Heh?!”

“Tidak baik membiarkan penderitaan orang yang sedang sekarat...” gumam Ki Ageng Kunir sambil mencabut pedangnya dari tubuh Nini Towok. Rupanya orang tua itu tidak sampai hati membiarkan Nini Towok tersiksa di ambang kematiannya. Kemudian, Ki Ageng Kunir memberi salam penghormatan dan langsung meninggalkan tempat itu.

Rangga hanya menggeleng saja begitu menyadari apa yang dilakukan orang tua itu. Memang, tanpa basa-basi lagi dia tadi langsung menghunjamkan pedangnya ke punggung kin Nini Towok, dan tepat menembus jantung. Kini Nini Towok sudah terbebas dari siksaan. Tubuhnya yang sejak tadi tertelungkup, diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.

“Kakang, tindakan orang tua itu kejam sekali,” desks Pandan Wangi.
“Kenapa? Kau tidak setuju?'' tanya Rangga,
“Nini Towok bukan binatang”
“Berarti kau membelanya? Padahal, dia sudah menahanmu.”

“Sebelum semuanya tiba di sini, dia bercerita mengenai kepahitan hidup yang dialami. Hatiku tersentuh. Aku menduga, pastilah segala kejahatan yang dilakukannya sekadar pelampiasan hidupnya yang selama ini tidak pernah bahagia.”

“Nini Towok itu seorang penjahat licik. Dan lebih dari itu, sifatnya aneh dan menjijikkan. Orang seperti itu tidak layak dipercaya,” sergah Rangga.

“Tapi aku menganggap kesungguhan di wajahnya saat menuturkan ceritanya, Kakang.”

“Orang seperti itu memang pandai bersandiwara. Apa anehnya...?”

“Aku juga mengerti itu, Kakang. Tapi sepintar-pintarnya orang berbicara, sinar matanya justru akan berbicara lain. Dan aku wanita, sama seperti dirinya. Bisa kurasakan, apa yang diceritakannya padaku,” Pandan Wangi tetap membela pendapatnya.

“Sudahlah, Pandan. Tidak baik membicarakan orang yang telah mati, kan...?”

“Aku hanya tidak menyetujui cara orang tua itu tadi.”

“Lalu, apa itu berarti kau setuju dengan caraku?”

“Membiarkan keadaannya tersiksa begitu, padahal kita tahu kalau usianya tidak akan bertahan lama? Hm itu tindakan yang lebih kejam lagi.” sahut Pandan Wangi.

“Lalu apa yang kau inginkan? Membiarkannya hidup dan membuat kerusuhan di mana-mana?”

“Ya, tidak...”
“Lalu?”
“Mestinya ada cara lain untuk menyadarkan perbuatannya.”

“Berarti kau tidak pernah mendengar cerita tentang kehidupannya. Nini Towok itu sudah pernah membuat kekacauan beberapa puluh tahun lalu, sehingga diserbu banyak tokoh persilatan. Sampai akhirnya, dia melarikan diri. Dalam pelarian, seharusnya dia bertobat. Tapi, ternyata tidak. Bahkan malah berusaha bangkit lagi dan mendidik dua orang murid yang sama bejatnya. Nah! Orang seperti itukah yang diharapkan bisa sadar dan bertobat...?”

“Iya, iya… Kau memang selalu tidak mau kalah kalau bicara denganku,” sungut Pandan Wangi.

“Selagi bicaramu tidak benar, masak aku mesti mengalah.”

“Dasar mau menang sendiri!” Pandan Wangi meninju pundak kekasihnya.

Tapi Rangga cepat menangkap, dan menariknya. Dalam sekejap saja gadis itu sudah berada dalam dekapannya.

“Dasar jahil!” dengus Pandan Wangi sambil melepaskan pelukan Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga hanya terkekeh saja. Kemudian, dia bersuit kecil. Tidak berapa lana terlihat seekor kuda hitam yang tadi disembunyikan di tempat yang agak jauh datang menghampiri.

“Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini. Kita cari kudamu, Pandan.” ajak Rangga.

“Astaga…! Aku baru ingat. Si Putih ke mana, Kakang?”

“Nanti kita cari sama-sama. Nanti juga ketemu. Aku yakin Dewa Bayu bisa mendapatkan si Putih untukmu lagi,” sahut Rangga.

Tidak berapa lama, kuda hitam Dewa Bayu sudah berpacu membawa kedua pendekar muda itu. Larinya demikian kencang bagaikan angin. Pandan Wangi memeluk erat-erat pinggang Pendekar Rajawali Sakti, bila tidak ingin terlempar jatuh.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: