Pendekar Rajawali Sakti 103 - Gadis Bertudung Bambu(3)

Wanita bertudung bambu itu segera menarik kakinya ke belakang satu langkah sambil menarik tubuhnya hingga doyong ke belakang, begitu Panglima Sela Gading menyerang dengan membabatkan pedang ke arah dada. Dan sedikit saja ujung pedang Panglima Sela Gading lewat di depan dada wanita ini.

“Hup!”

Cepat-cepat wanita bertudung bambu itu melompat ke belakang. Tapi pada saat itu juga, salah seorang punggawa yang berada di belakangnya melepaskan satu pukulan keras ke punggung. Begitu cepat dan tidak terduga sama sekali serangan punggawa itu, sehingga wanita bertudung bambu ini tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, keseimbangan tubuhnya belum sempat dikuasai, akibat menghindari serangan Panglima Sela Gading. Dan pukulan punggawa itu telah menghantam punggungnya.

“Akh...!”

Wanita bertudung bambu itu jadi terpekik kecil, dan tubuhnya kontan terdorong ke belakang tiga langkah. Pada saat itu juga, Panglima Sela Gading sudah melompat menerjang sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hiyaaa...!”
“Ikh...?!”

Wanita bertudung itu tampak terkejut. Maka cepat-cepat tangan kirinya dikibaskan, untuk melindungi dadanya dari tendangan Panglima Sela Gading. Hingga....

Plak!
“Akh...!”
“Ukh!”

Mereka sama-sama terpental ke belakang, begitu telapak kaki Panglima Sela Gading menghantam lengan wanita bertudung yang menyilang di depan dada itu. Tampak panglima itu meringis menahan nyeri pada telapak tangan kanannya. Sedangkan wanita bertudung ini merasakan, seakan-akan tulang tangan kirinya remuk, akibat menangkis tendangan bertenaga dalam tinggi.

“Hiyaaat...!”
Bet!

Dan belum lagi wanita bertudung itu bisa menguasai keadaan, seorang prajurit yang berada di sebelah kiri sudah melompat, sambil menghunjamkan tombaknya yang panjang ke arah lambung.

“Hih!”
Wuk!
Trak!

Cepat sekali wanita bertudung bambu itu mengibaskan pedangnya, membabat tombak prajurit ini. Seketika, tombak itu patah jadi dua bagian. Dan dengan kecepatan bagai kilat, wanita itu mengibaskan pedangnya setengah berputar.

“Yeaaah...!”
Bret!
“Aaa...!”

Jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat. Prajurit yang menyerang dengan tombak tadi, kini terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang terbelah mengeluarkan darah.

“Seraaang...!” teriak Panglima Sela Gading, memberi perintah.

“Hiyaaat...!” “Yeaaah...!”

Kembali wanita bertudung bambu itu dikeroyok puluhan prajurit. Sementara, Panglima Sela Gading sendiri terus menerjang, sambil berteriak-teriak memberi semangat. Serangan dari segala arah ini membuat wanita itu jadi kelabakan juga. Tubuhnya berlompatan sambil memutar cepat pedangnya, untuk melindungi diri dari sabetan pedang dan hunjaman tombak.

Namun di saat keadaannya tengah terdesak begitu hebat, tiba-tiba saja terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi yang saling susul dari bagian belakang para prajurit. Dan saat itu juga, terlihat beberapa prajurit yang mengeroyok wanita bertudung bambu ini berpelantingan, roboh tak bangun-bangun lagi.

“Heh...?! Apa itu...?!” desis Panglima Sela Gading terperanjat. Keterkejutan Panglima Sela Gading cepat terjawab oleh terlihatnya sepasang anak muda yang tengah mengamuk menghajar prajurit-prajurit. Amukan kedua anak muda itu membuat kepungan prajurit ini jadi berantakan. Dan kesempatan yang hanya sedikit ini, tidak disia-siakan wanita bertudung bambu itu. Dengan sisa-sisa tenaga dan kekuatannya, dia melompat sambil membabatkan pedangnya diiringi teriakan keras menggelegar.

“Hiyaaat...!”
Bet!
Cras!
“Aaa...!”

Jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian pun semakin sering terdengar saling susul. Dan tubuh-tubuh bersimbah darah semakin banyak bergelimpangan di sekitar pertarungan. Sementara, Panglima Sela Gading jadi terperangah melihatnya. Kini tinggal beberapa orang lagi prajuritnya yang masih bertahan.

“Setan! Bisa mati aku, kalau begini terus...,” dengus Panglima Sela Gading.

“Hup! Yeaaah...!”

Begitu merasa ada kesempatan, cepat sekali Panglima Sela Gading melompat keluar dari kancah pertarungan. Dia langsung naik ke punggung kudanya, dan cepat menggebahnya.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Kuda coklat berbelang putih milik Panglima Sela Gading segera melesat bagai anak panah lepas dari busurnya. Sementara, sisa prajurit yang ditinggalkan tidak dapat lagi menahan gempuran tiga orang lawannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka semua sudah bergelimpangan tak bangun-bangun lagi. Kini di tempat pertarungan, terlihat seorang pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di samping kanan gadis cantik berbaju biru muda. Dan di depan mereka, berdiri wanita bertudung bambu yang mengenakan baju warna hijau muda ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang indah.

“Terima kasih, kalian sudah membantuku. Kalau tidak ada kalian, aku pasti sudah mati tercincang,” ucap wanita bertudung bambu itu.

“Kebetulan saja kami berdua memang sedang mengejar mereka semua,” kata Rangga.

“Oh...?! Apa persoalan kalian dengan Prajurit-prajurit Jatigelang?” tanya wanita bertudung itu tampak terkejut.

“Hanya mencoba menghentikan tindakan liar mereka saja. Terutama sekali panglimanya,” sahut Rangga kalem.

“Sayang, dia bisa lolos,” selak Pandan Wangi agak mendengus.

“Hm...,” wanita bertudung bambu itu menggumam kecil. 

***

Brak!

“Goblok...!”

Sebuah meja dari kayu jati yang cukup tebal seketika hancur berkeping-keping, terhantam pukulan keras dari tangan yang kekar dan berotot. Tampak Prabu Gelangsaka berdiri tegak di samping meja yang hancur berantakan. Di depannya, terlihat Panglima Sela Gading duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk begitu dalam, seakan tidak sanggup memandang wajah Prabu Gelangsaka yang memerah menahan kemurkaannya.

“Berapa orang prajurit yang kau bawa, Panglima?” tanya Prabu Gelangsaka.

“Sekitar lima puluh orang, Gusti Prabu,” sahut Panglima Sela Gading.

“Lima puluh orang tidak sanggup menghadapi tiga orang...?!” tinggi sekali nada suara Prabu Gelangsaka. “Memalukan...! Kau tidak ada gunanya, Panglima.”

“Tapi, Gusti.... Mereka sangat tangguh dan berkepandaian tinggi. Mereka bukan tandingan para prajurit, Gusti.”

“Aku tidak sudi mendengar alasan apa pun darimu, Panglima! Sekarang juga, siapkan seribu prajurit. Bunuh mereka semua. Mengerti...?!”

“Hamba, Gusti Prabu.”

Setelah menyembah memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, Panglima Sela Gading beranjak pergi meninggalkan Balai Sema Agung Istana Jatigelang ini. Begitu berada diluar, langsung ditemuinya para panglima lain yang kedudukannya masih berada di bawahnya. Lalu, mereka diperintahkan untuk mengumpulkan seribu orang prajurit secepatnya.

Tanpa ada yang membantah, enam orang panglima itu segera meniup sangkala, untuk mengumpulkan seluruh prajurit di alun-alun istana. Sebentar saja, alun-alun yang luas itu sudah dipenuhi prajurit bersenjata lengkap. Tampak Panglima Sela Gading didampingi enam orang panglima bawahannya, berada di punggung kuda masing-masing. Mereka memeriksa kesiapan para prajurit yang berjumlah sangat besar ini.

Dari sekian banyak prajurit, dia memilih seribu prajurit yang kelihatan masih segar, kokoh, dan berhati baja. Dengan jumlah seribu orang, mereka harus menghadapi tiga orang saja. Dan sebenarnya pula, Panglima Sela Gading merasa malu melakukannya. Tapi perintah Prabu Gelangsaka tidak bisa ditolak lagi. Tiga orang itu harus ditangkap dengan mengerahkan prajurit dalam jumlah sangat besar.

“Perintahkan mereka bergerak ke selatan!” perintah Panglima Sela Gading.

Maka seketika iring-iringan para prajurit pun bergerak keluar dari lingkungan benteng istana. Bumi serasa berguncang oleh derap langkah prajurit-prajurit yang bagaikan sedang menuju medan perang. Mereka terus bergerak cepat, menuju selatan. Sementara, Panglima Sela Gading yang didampingi enam orang panglima bawahannya berkuda paling depan. Kepergian prajurit-prajurit itu tidak terlepas dari perhatian Prabu Gelangsaka dari balik jendela ruangan Balai Sema Agung. Tampak jelas dari raut wajahnya, terpancar kecemasan yang tidak dapat lagi disembunyikan. Hanya tiga orang saja yang harus dihadapi, tapi harus mengerahkan prajurit dalam jumlah sangat besar, seperti hendak berperang dengan kerajaan lain. Dan yang tersisa di istana ini, hanya sekitar seratus orang prajurit saja.

“Ayah....”
“Oh...?!”

Prabu Gelangsaka tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Cepat tubuhnya berputar berbalik. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di depannya kini sudah berdiri Rara Ayu Endang Witarsih.

“Ayah! Apakah tidak terlalu berlebihan dengan mengerahkan begitu banyak prajurit, hanya untuk menghadapi perampok-perampok itu...?” ujar Rara Ayu Endang Witarsih.

“Memang, jumlah mereka hanya tiga orang, Witarsih. Tapi mereka bukan orang-orang biasa. Aku yakin, mereka bukan perampok biasa. Tapi, ada maksud tertentu di balik semua ini,” kata Prabu Gelangsaka.

“Maksud, Ayah...?”

“Hm.... Aku menduga, gadis bertudung itu adalah Rara Ayu Diah Arimbi...,” gumam Prabu Gelangsaka perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

“Mustahil dia masih hidup, Ayah. Bukankah Paman Panglima Sela Gading sendiri yang membawa mereka ke dalam hutan, dan membunuhnya di sana bersama Bibi Layung...? Jadi, mustahil kalau mereka masih hidup, Ayah,” bantah Rara Ayu Endang Witarsih.

Prabu Gelangsaka hanya diam saja, seperti ada yang tengah dipikirkannya saat ini. Sesuatu yang membuat hatinya jadi gelisah penuh kecemasan. Kakinya lalu melangkah perlahan, dan menghenyakkan tubuhnya di kursi panjang yang ada di dalam ruangan berukuran besar ini. Sedangkan Rara Ayu Endang Witarsih masih tetap berdiri saja. Bahkan kini berdiri membelakangi jendela berukuran besar yang terbuka lebar, membuat cahaya matahari leluasa menerobos masuk menerangi seluruh ruangan ini.

“Aku ingin istirahat dulu. Jangan ganggu aku, Witarsih,” ujar Prabu Gelangsaka, seraya beranjak pergi meninggalkan ruangan itu.

Sementara Rara Ayu Endang Witarsih masih tetap berdiri diam membelakangi jendela. Keningnya terlihat agak berkerut, pertanda ada sesuatu yang tengah dipikirkannya. Perlahan kakinya melangkah sambil menghembuskan napas panjang. Namun, ayunan kakinya tiba-tiba saja terhenti. Dan....

Wusss...!

Gadis itu cepat berbalik sambil memiringkan tubuhnya, tepat di saat sebuah benda bulat kecil ber-warna kuning keemasan melesat cepat menerobos dari jendela.

“Hap...!”
Slap! 

***
TUJUH
Begitu tubuh Rara Ayu Endang Witarsih tegak, dari luar seseorang berbaju ketat warna hijau muda melesat masuk melalui jendela. Orang itu mengenakan tudung bambu yang menutupi hampir seluruh kepala dan wajahnya. Tampak sebilah pedang yang masih berada di dalam warangka tergenggam di tangan kiri.

“Siapa kau...?!” bentak Rara Ayu Endang Witarsih agak terperanjat.

“Kau tentu masih mengenali suaraku, Witarsih....”

“Diah Arimbi...,” desis Rara Ayu Endang Witarsih, langsung bisa mengenali wanita bertudung bambu itu.

“Aku senang kau masih ingat padaku, Witarsih,” ujar wanita bertudung itu sambil membuka tudung bambunya. Dan di balik tudung bambu itu, tersingkap seraut wajah cantik. Bibirnya merah, dan kulit wajahnya putih agak kemerahan. Namun sorot matanya begitu tajam, seakan hendak menelan Rara Ayu Endang Witarsih bulat-bulat. Perlahan kakinya melangkah beberapa tindak mendekati Rara Ayu Endang Witarsih. Tudung bambunya dilepaskan begitu saja, hingga menggeletak di lantai yang licin dan berkilat ini.

“Sulit sekali menemuimu, Witarsih. Kau bagai seorang putri raja yang selalu dikelilingi banyak pengawal,” ujar wanita bertudung bambu yang ternyata Diah Arimbi, putri Raja Kerajaan Jatigelang terdahulu.

“Seharusnya kau sudah mati, Arimbi. Paman Panglima Sela Gading yang mengatakannya padaku. Kau mati di ujung pedangnya,” agak bergetar terdengar suara Endang Witarsih.

“Hyang Widhi belum menghendaki nyawaku, Witarsih. Seseorang telah menyelamatkan nyawaku. Sayang orang sebaik itu juga harus cepat pergi. Aku tidak tahu, ke mana dia pergi. Tapi aku yakin, keberadaannya tidak jauh dari istana ini. Dan aku tidak akan mungkin dibiarkan seorang diri datang ke sini untuk menghukummu. Juga ayahmu, Witarsih.”

“A.... Apa yang akan kau lakukan padaku...?” suara Endang Witarsih terdengar bergetar.

“Hutang nyawa harus dibayar nyawa, Witarsih. Kau sudah meracuni ibuku sampai mati. Kemudian, kau racuni juga ayahku. Dan sekarang, kau enak-enakan menjadi putri raja. Kau telah merampas hakku, Witarsih. Tidak ada hukuman yang lebih pantas lagi untukmu, selain mati...,” terdengar dingin sekali nada suara Diah Arimbi.

Seketika wajah Endang Witarsih jadi memucat. Gadis itu langsung ingat peristiwa beberapa tahun yang lalu. Memang, dialah yang membubuhi racun ke dalam minuman Gusti Permaisuri. Dan selang beberapa tahun kemudian, Raja Jatigelang yang merupakan ayah dari Diah Arimbi juga diracunnya. Tapi, sebenarnya semua itu dilakukan atas perintah ayahnya yang sekarang menjadi raja di Kerajaan Jatigelang ini. Dan dulu, ayahnya hanya seorang patih.

Kemudian dengan cara yang sangat halus, mereka berhasil merebut takhta kerajaan ini. Bahkan tidak ada seorang pun yang mencurigainya. Tapi, dari mana Diah Arimbi bisa mengetahui rahasia yang selama ini tertutup rapat....? Pertanyaan yang bergayut di benak Endang Witarsih cepat terjawab oleh munculnya seorang laki-laki tua berjubah putih. Dia masuk ke dalam ruangan ini dari jendela, sama seperti ketika Diah Arimbi masuk tadi.

“Eyang Jamus...!” desis Endang Witarsih tercekat.

“Sejak semula sebenarnya aku sudah curiga waktu kau meminta bubuk racun padaku, Witarsih. Tapi sungguh tidak kusangka kalau racun itu kau gunakan untuk membunuh Gusti Prabu dan Gusti Permaisuri. Aku benar-benar menyesali tindakanmu, Witarsih. Rasanya memang tidak ada lagi hukuman yang pantas untukmu...,” terdengar agak berat suara Eyang Jamus.

Memang setelah Raja Jatigelang yang sebenarnya tewas diracun, patih yang bernama Gelangsaka merebut tahta dengan menyingkirkan Diah Arimbi. Gadis itu dibujuk untuk menuntut ilmu kedigdayaan, namun di tengah hutan berusaha dibunuh oleh Panglima Sela Gading. Dan ternyata pembunuhan itu gagal, karena pada kenyataannya Diah Arimbi masih hidup. Hanya Dayang Layung saja yang berhasil ditewaskan. Diah Arimbi yang memang berhasil ditikam Panglima Sela Gading, dan disangka telah mati, ternyata ditolong oleh seorang pertapa tua yang tinggal di Hutan Jatiwengker.

Dia berguru beberapa tahun, dan berhasil mencapai tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Selama petualangannya, Diah Arimbi berhasil menguasai sekelompok perampok setelah berhasil membunuh pemimpinnya. Agar tidak dikenali pihak kerajaan, Diah Arimbi lalu berganti nama menjadi Nyi Ramit. Namun, rupanya anak buahnya yang bernama Gondang mengkhianatinya. Padahal, Diah Arimbi telah menyusun rencana untuk menebus dendamnya pada Raja Jatigelang yang sekarang, Prabu Gelangsaka.

“Tidak...! Kalian semua sudah mati. Kalian tidak bisa membunuhku...!” jerit Endang Witarsih, jadi kalap.

“Pergi kalian. Pergiii...!”

Memang Eyang Jamus yang disangka telah mati, ternyata masih hidup. Waktu itu setelah berhasil membunuh Raja Jatigelang yang dulu, Prabu Gelangsaka memerintahkan untuk membunuh Eyang Jamus, karena takut rahasianya akan terbongkar. Namun, memang Eyang Jamus belum ditakdirkan mati. Ketika tubuhnya dilemparkan ke jurang di pinggir Hutan Jatiwengker, dia tersangkut di sebatang pohon perdu.

Akhirnya, Eyang Jamus berhasil keluar, dan segera mengobati luka-lukanya akibat dikeroyok para Panglima Kerajaan Jatigelang, yang termakan fitnah kalau seakan-akan Eyang Jamuslah yang memberi racun pada ayahanda Diah Arimbi. Setelah berhasil menyembuhkan luka-lukanya, Eyang Jamus kemudian pergi ke dalam Hutan Jatiwengker, dan bertemu Diah Arimbi atau Nyai Ramit. Di situlah dia menceritakan segala rahasia yang ada di Kerajaan Jatigelang kepada Diah Arimbi.

Jeritan Endang Witarsih rupanya terdengar beberapa prajurit yang berada tidak jauh dari ruangan itu. Dan tahu-tahu, sekitar sepuluh orang prajurit sudah berada di dalam ruangan besar dan megah ini. Tapi, mendadak saja wajah mereka jadi terlongong begitu melihat Diah Arimbi. Tentu saja gadis cantik berbaju hijau muda ini sudah tidak asing lagi bagi mereka. Walaupun mereka tidak kenal dengan laki-laki tua yang berada di sebelahnya.

“Bunuh mereka...!” teriak Endang Witarsih jadi kalap.

Tapi perintah gadis itu seperti tidak didengar oleh sepuluh orang prajurit yang masih terlongong bengong ini. Seakan-akan mereka tidak percaya oleh penglihatannya sendiri. Tak lama kemudian, muncul prajurit-prajurit lain ke dalam ruangan ini. Dan mereka juga jadi terperanjat seperti mimpi, ketika melihat Diah Arimbi.

“Kenapa kalian jadi bengong, heh...?! Bunuh mereka kataku!” bentak Endang Witarsih kalap.

Teriakan-teriakan Endang Witarsih, rupanya sampai juga ke telinga Prabu Gelangsaka. Maka laki-laki setengah baya yang masih kelihatan tegap itu segera keluar dari kamar peristirahatannya, dan langsung masuk ke dalam ruangan ini. Dan dia juga jadi terbeliak lebar, begitu melihat Diah Arimbi ada di dalam ruangan ini bersama Eyang Jamus.

“Arimbi...,” desis Prabu Gelangsaka hampir tidak terdengar suaranya.

Beberapa saat kesunyian melingkupi ruangan Balai Sema Agung Istana Jatigelang ini. Tiga puluh lebih prajurit sudah berada di dalam ruangan itu, tapi tidak ada seorang pun yang berani bergerak dari tempatnya. Sementara, Prabu Gelangsaka seperti terbius memandangi Diah Arimbi, tidak percaya oleh penglihatannya sendiri.

“Tidak.... Kau sudah mati, Arimbi. Kau sudah mati...,” desis Prabu Gelangsaka seraya menggelengkan kepala perlahan beberapa kali.

“Aku belum mati, Paman Gelangsaka. Dan sekarang, aku datang untuk meminta tanggung jawabmu,” ujar Diah Arimbi tegas.

“Tidak ada yang bisa kau tuntut dariku, Arimbi,” desis Prabu Gelangsaka.

Sret!

Prabu Gelangsaka langsung saja mencabut pedangnya. Sedangkan Endang Witarsih sudah sejak tadi menggenggam sebilah pedang pendek yang selalu terselip di pinggangnya.

“Kau sudah mati, Arimbi...,” desis Prabu Gelangsaka agak bergetar. Perlahan laki-laki setengah baya itu melangkah menghampiri gadis berbaju hijau muda itu. Pedangnya yang berkilatan terhunus lurus ke depan, ke dada Diah Arimbi.

“Mungkin waktu itu Panglima Sela Gading mendustaiku. Tapi sekarang, kau harus mati di tanganku, Arimbi.”

Semakin dekat saja jarak Prabu Gelangsaka dengan Diah Arimbi. Tapi kelihatannya, gadis cantik ini tetap tenang, tanpa bergeming sedikit pun juga. Padahal, ujung pedang Prabu Gelangsaka sudah begitu dekat dengan dadanya.

“Mampus kau, Arimbi! Hih...!”

“Haiiit...!”

Cepat sekali Diah Arimbi mengegoskan tubuhnya ke kanan, tepat di saat Prabu Gelangsaka menusukkan pedangnya. Dan mata pedang yang berkilatan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Arimbi.

“Yeaaah...!”

Bagaikan kilat, Diah Arimbi menghentakkan kakinya. Langsung dilepaskannya tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi, dengan tubuh masih tetap doyong ke kanan.

“Hih!”
Wut!

Namun Prabu Gelangsaka memang bukan tokoh kosong. Begitu kaki Diah Arimbi terhentak, cepat sekali pedangnya diputar ke arah kaki. Arimbi jadi terhentak kaget, tidak menyangka. Cepat-cepat kakinya ditarik pulang, dan melompat ke belakang dua langkah.

“Serang! Bunuh mereka...!” teriak Prabu Gelangsaka keras menggelegar.

Tapi tidak ada seorang prajurit pun yang bergerak menyerang, mematuhi perintah itu. Dan ini membuat Prabu Gelangsaka jadi terhenyak. Cepat kakinya ditarik ke belakang tiga langkah. Dipandanginya prajurit-prajurit yang ada di sekitar ruangan ini yang hanya di-am saja seperti patung.

“Prajurit goblok! Sebaiknya kalian mampus saja semua! Hih...!”

Sambil mendesis geram, Prabu Gelangsaka cepat menghentakkan tangan kirinya. Dan seketika itu juga, melesat beberapa bilah pisau kecil ke arah para prajurit yang berada di sebelah kirinya. Begitu cepatnya pisau-pisau kecil itu melesat, sehingga para prajurit hanya bisa terbeliak, tanpa dapat menghindar lagi.

Crab!
“Aaa...!”

Jeritan-jeritan melengking seketika terdengar menyayat, disusul robohnya beberapa prajurit yang terkena sambaran pisau-pisau yang dilemparkan Prabu Gelangsaka.

“Witarsih! Bunuh mereka semua!” teriak Prabu Gelangsaka memerintah anak gadisnya.

“Hup! Hiyaaat...!”

Tanpa diperintah dua kali, Endang Witarsih langsung saja melompat menerjang para prajurit yang tidak lagi mematuhi perintah ayahnya. Gerakan gadis itu memang sangat luar biasa cepatnya. Sehingga dalam beberapa kibasan pedang saja, sudah tergeletak sekitar lima orang prajurit

“Hiyaaat..!”

Prabu Gelangsaka langsung melompat menyerang Diah Arimbi. Pedangnya berputaran begitu cepat, mengibas mengurung setiap gerak gadis ini. Sementara dari arah lain, jeritan-jeritan melengking tinggi terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah. Memang, Endang Witarsih mengamuk bagaikan singa betina yang terluka.

“Edan...! Benar-benar iblis mereka!” desis Eyang Jamus yang sejak tadi hanya diam saja tanpa bertindak apa-apa. Namun melihat keganasan Endang Witarsih, Eyang Jamus tidak dapat lagi menahan diri. Dan....

“Mundur kalian semua...! Hup! Yeaaah!”

Sambil berteriak lantang menggelegar, Eyang Jamus langsung saja melesat cepat bagai kilat menerjang Endang Witarsih. Dan secepat itu pula dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras, tepat mengarah ke kepala gadis ini.

“Haiiit...!”

Endang Witarsih memang bukan gadis lemah. Dengan sedikit mengegoskan kepala saja, pukulan yang dilepaskan Eyang Jamus berhasil dihindari. Namun belum juga kepalanya bisa ditarik tegak kembali, Eyang Jamus sudah menyerang lagi dengan kecepatan luar biasa.

Wusss!

Namun pada saat yang tepat, tiba-tiba saja Prabu Gelangsaka menghentakkan tangan kirinya ke arah Eyang Jamus. Padahal, saat itu dia sedang menghadapi Diah Arimbi. Maka seketika sebilah pisau kecil melesat begitu cepat bagai anak panah terlepas dari busur. Dan Eyang Jamus benar-benar tidak tahu akan mendapat serangan dari belakang seperti itu. Karena pada saat yang sama, dia tengah melancarkan serangan terhadap Endang Witarsih. Sehingga....

Jleb!
“Aaa...!”
“Eyang...!”

Diah Arimbi jadi terpekik, begitu melihat Eyang Jamus terhuyung-huyung setelah punggungnya tertembus pisau kecil yang dilemparkan Prabu Gelangsaka dari belakang. Dan tentu saja pekikan itu membuat Diah Arimbi jadi lengah, sehingga kesempatan ini tidak disia-siakan Prabu Gelangsaka. Maka dengan kecepatan kilat, dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga Diah Arimbi tidak dapat lagi berkelit.

Des!
“Akh...!”

Diah Arimbi terpental deras sekali ke belakang, begitu pukulan Prabu Gelangsaka mendarat telak di dadanya. Hampir saja punggung gadis itu menghantam dinding. Untung saja sebuah bayangan putih tiba-tiba saja berkelebat begitu cepat, dan langsung menyambarnya. Tampak seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah memeluk Diah Arimbi dari belakang. Dan tidak berapa lama kemudian, terlihat seorang gadis berbaju biru muda, dengan paras wajah cantik, muncul dari jendela.

Gadis berbaju biru yang tidak lain Pandan Wangi itu langsung menghampiri pemuda berbaju rompi putih yang masih menyangga tubuh Diah Arimbi. Pemuda tampan yang memang Rangga, dan dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu segera menyerahkan Diah Arimbi kepada Pandan Wangi. Dan tampaknya, Diah Arimbi tidak sadar diri setelah mendapat pukulan yang sangat keras dari Prabu Gelangsaka.

“Bawa keluar, Pandan,” pinta Rangga.

Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi segera memapah tubuh Diah Arimbi yang pingsan akibat terkena pukulan keras di dadanya tadi. Langsung gadis itu melompat keluar melalui jendela, setelah memanggul tubuh Diah Arimbi di pundaknya. Sementara itu, terlihat Endang Witarsih sudah melompat sambil mengarahkan pedangnya pada dada Eyang Jamus yang masih terhuyung limbung.

“Hup! Yeaaah...!"
Slap!

Melihat hal itu, cepat sekali Rangga melesat. Maka langsung disambarnya tubuh Eyang Jamus. Dan secepat kilat pula dilepaskannya satu pukulan yang tidak begitu keras ke arah dada Endang Witarsih. Begitu cepat dan tiba-tiba sekali datangnya, sehingga membuat Endang Witarsih jadi terpekik kaget.

“Ikh?! Hup...!”

Cepat-cepat Endang Witarsih melompat ke belakang, membatalkan serangannya. Dan pada kesempatan yang sangat sedikit ini, Rangga segera melesat pergi sambil membawa Eyang Jamus di pundaknya. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga belum juga ada yang bisa menyadari, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak terlihat lagi.

“Prajurit goblok! Cepat kejar...!” bentak Prabu Gelangsaka jadi berang pada prajuritnya yang masih tersisa.

Tapi prajurit-prajurit itu hanya diam saja, seperti tidak mendengar teriakan Prabu Gelangsaka. Dan ini tentu saja membuat amarah Prabu Gelangsaka jadi memuncak.

“Keparat! Kalian sudah berani membangkang, heh...?!” bentak Prabu Gelangsaka berang.

Prajurit-prajurit yang sebagian sudah bergelimpangan berlumuran darah akibat amukan Endang Witarsih, malah bergerak maju mendekati Prabu Gelangsaka dan anak gadisnya. Tampak berada paling depan adalah seorang punggawa berusia muda. Pedang yang tergenggam di tangan kanannya terangkat naik perlahan, dan ditujukan lurus ke wajah Prabu Gelangsaka. Akibatnya, laki-laki setengah baya itu jadi terkesiap.

“Terbongkar sudah kelicikanmu, Gelangsaka. Sekarang juga kau harus turun takhta...!” dingin sekali suara punggawa itu. Kemunculan Diah Arimbi memang membuat prajurit-prajurit itu sudah mengerti, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di kerajaan ini. Dan mereka kini tahu, kalau raja mereka yang terdahulu tewas akibat diracuni. Kata-kata yang diucapkan Diah Arimbi tadi, seakan-akan membuat mata mereka terbuka.

“Setan keparat..! Mampus kalian semua. Hiyaaat..!”

Prabu Gelangsaka tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil memaki dan berteriak keras menggelegar, kedua tangannya cepat dikibaskan, setelah memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Dan seketika itu juga, pisau-pisau kecil berhamburan dari kedua telapak tangan Raja Jatigelang ini.

“Hiyaaat...!”

Pada saat yang bersamaan, Endang Witarsih melompat sambil cepat membabatkan pedangnya bagai kilat. Maka jeritan-jeritan mengiringi kematian pun terdengar saling sambut, disusul ambruknya tubuh-tubuh berlumuran darah tak bernyawa lagi. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, mereka semua sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Lantai yang semula licin berkilat, kini tersiram darah menggenang.

“Huh...!”

Prabu Gelangsaka menghembuskan napas berat sambil memandangi prajurit-prajuritnya yang bergelimpangan saling tumpang tindih tak bernyawa lagi. Sementara, Endang Witarsih menghampiri ayahnya dan berdiri di sebelah kanannya.

“Kumpulkan orang-orang kita, Witarsih. Kita harus siap menghadapi keparat-keparat itu. Akan kupenggal leher mereka satu persatu!” perintah Prabu Gelangsaka dengan suara mendengus berat.

“Baik, Ayah,” sahut Endang Witarsih. 

***
DELAPAN
Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi yang membawa Eyang Jamus dan Diah Arimbi tiba di rumah Nyi Junta, yang masih setia pada keluarga kerajaan. Nyi Junta dan kedua anak perempuannya jadi sibuk, membenahi tempat untuk pewaris tunggal Kerajaan Jatigelang ini. Mereka memang gembira melihat junjungannya masih hidup, tapi juga cemas melihat keadaannya yang terluka dalam akibat terkena pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi dari Prabu Gelangsaka.

Dengan penyaluran hawa murni yang sudah sempurna, Rangga mencoba menyembuhkan luka dalam yang diderita Diah Arimbi. Sementara, Pandan Wangi yang dibantu Ratna dan Dewi, merawat luka di punggung Eyang Jamus.

“Hhh...!”

Rangga menghembuskan napas panjang, setelah selesai menyalurkan hawa murni ke tubuh gadis pewaris takhta Kerajaan Jatigelang ini. Sementara, Diah Arimbi sendiri langsung bersemadi begitu tersadar dari pingsannya. Dan Rangga kemudian segera menghampiri Eyang Jamus. Tidak lama Diah Arimbi bersemadi, kemudian sudah membuka matanya. Wajah cantik yang tadi terlihat pucat, kini sudah kembali segar dan memerah. Gadis itu lalu bangkit dari balai-balai bambu itu, dan melangkah menghampiri Eyang Jamus.

“Bagaimana lukamu, Eyang?” tanya Diah Arimbi.

“Tidak parah. Untung hanya pisau biasa. Tidak beracun,” sahut Eyang Jamus seraya tersenyum.

Diah Arimbi mengalihkan perhatiannya, menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri menghadap ke jendela. Pemuda berbaju rompi putih itu hanya melirik sekilas, dan kembali mengamati keadaan di luar dari jendela yang terbuka sedikit. Saat itu terdengar suara derap kaki kuda yang berjumlah sangat banyak dari arah luar kota. Dan tidak lama kemudian, terlihat serombongan prajurit yang dipimpin Panglima Sela Gading.

“Arimbi! Sebaiknya kita cegat mereka sebelum masuk ke dalam istana,” kata Rangga.

“Jumlah mereka sangat banyak, Kakang Rangga,” ujar Diah Arimbi, yang sudah membiasakan memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan sebutan kakang.

“Yang kita hadapi hanya Panglima Sela Gading. Aku yakin, prajurit-prajurit itu tidak akan berbuat apa-apa setelah melihatmu, Arimbi. Kau bisa lihat sendiri, bagaimana sikap prajurit di istana. Sikap mereka sudah menunjukkan begitu merindukanmu, Arimbi,” tegas Rangga lagi.

Diah Arimbi memandang sebentar pada Eyang Jamus. Dan laki-laki tua itu hanya tersenyum saja, sambil menganggukkan kepala sedikit.

“Baiklah, Kakang. Ayo kita berangkat sekarang, sebelum mereka mendekati istana,” kata Diah Arimbi menyetujui.

“Kau ikut, Pandan,” ajak Rangga.

“Tapi, bagaimana dengan Eyang Jamus?” tanya Pandan Wangi.

“Aku tidak apa-apa, Nini Pandan. Hanya luka kecil saja. Pergilah bersama mereka,” kata Eyang Jamus lembut.

“Biar aku yang merawatnya, Kak Pandan,” selak Ratna, menawarkan.

Pandan Wangi tersenyum memandangi anak gadis Nyi Junta itu, kemudian bergegas melangkah keluar, menyusul Rangga dan Diah Arimbi yang sudah jalan lebih dulu. Sementara Nyi Junta menutup kembali pintunya rapat-rapat.

“Mudah-mudahan saja perkiraan Pendekar Rajawali Sakti benar...,” desah Eyang Jamus perlahan, seakan untuk diri sendiri.

Sementara itu Rangga, Pandan Wangi, dan Diah Arimbi sudah berdiri tegak menghadang rombongan prajurit Panglima Sela Gading di tengah jalan, jauh da-ri Istana Kerajaan Jatigelang. Diah Arimbi sudah mengenakan lagi tudung bambunya yang lebar, sehingga menutupi sebagian wajahnya. Malam yang sudah sejak tadi menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Jatigelang ini, membuat suasana terasa begitu sunyi. Hanya hentakan kaki-kaki kuda saja yang terdengar, bersamaan dengan ayunan langkah para prajurit yang berjalan kaki.

“Berhentiii...!” teriak Panglima Sela Gading sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi ke atas kepala, begitu melihat tiga orang berdiri tegak di tengah jalan dengan sikap menantang.

Dengan gerakan ringan sekali, Panglima Sela Gading melompat turun dari punggung kudanya, diikuti panglima-panglima lain yang menjadi bawahannya. Mereka melangkah tegap mendekati tiga orang yang berdiri menghadang di tengah jalan itu. Sementara, seluruh prajurit sudah siap siaga tanpa diperintah lagi.

“Bagus.... Rupanya kalian memang mencari mati di sini. Hhh...! Hanya tiga orang...,” dengus Panglima Sela Gading bernada mengejek.

“Walaupun bertiga, kami sanggup mengobrak-abrik seluruh pasukanmu, Panglima. Tapi bukan mereka yang kuinginkan. Hanya kau, Panglima Sela Gading...!” terdengar sangat dingin nada suara Diah Arimbi.

“Ha ha ha...!” Panglima Sela Gading jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata gadis yang selalu mengenakan tudung bambu itu. Seakan-akan, ucapan Diah Arimbi sangat menggelitik tenggorokannya, hingga jadi tertawa terbahak-bahak seperti itu.

“Nisanak! Kata-katamu seakan-akan aku punya hutang padamu,” ujar Panglima Sela Gading, setelah tawanya terhenti.

“Kau memang berhutang nyawa padaku, Panglima Sela Gading,” sahut Diah Arimbi dingin.

“Heh...?! Apa katamu..,.?!”

“Kau berhutang nyawa padaku, Panglima. Dan sekarang, aku akan menagih nyawamu.”

“Keparat...! Berani kau berkata begitu padaku, heh...! Kurobek mulutmu, Bocah!” geram Panglima Sela Gading jadi berang seketika.

“Aku khawatir, justru mulutmu yang terobek nanti.”

“Setan! Hiyaaa...!”
Sret!
Cring!

Sambil menggeram dahsyat, Panglima Sela Gading langsung melesat cepat seraya mencabut pedangnya. Langsung dihantamkannya pedang itu ke kepala gadis bertudung bambu ini. Namun hanya menarik kakinya ke belakang dua langkah, tebasan pedang panglima itu tidak sampai mengenai sasaran. Dan gadis bertudung bambu itu lalu meliukkan tubuhnya sambil membabatkan pedangnya ke atas.

Wut!
“Aikh...!”

Panglima Sela Gading jadi terperanjat. Cepat-cepat tubuhnya ditarik ke belakang menghindari serangan balasan gadis bertudung bambu ini. Dan pada saat itu, Rangga melompat cepat sambil berteriak keras menggelegar.

“Hentikan...!”

“Anak muda, minggir kau...!” bentak Panglima Sela Gading lantang.

“Panglima Sela Gading, kau tahu siapa yang kau hadapi ini?!” lantang suara Rangga.

“Phuih! Aku tidak peduli siapa dia!” sahut Panglima Sela Gading seraya menyemburkan ludahnya. Panglima itu sudah menyilangkan pedangnya di depan dada, seraya melirik sedikit pada enam orang panglima yang berada di sebelah kanan agak ke belakang. Enam orang panglima itu bergerak maju tanpa diminta lagi dengan kata-kata.

“Tunggu...! Kalian jangan gegabah. Lihat, siapa yang ada di depan kalian...!” seru Rangga cepat-cepat, begitu melihat gelagat yang tidak menguntungkan.

Saat itu, Diah Arimbi yang selama ini selalu mengenakan tudung bambu berukuran lebar, membuka tudungnya. Dan cahaya rembulan yang bersinar penuh malam ini, langsung menerangi wajahnya yang cantik.

“Ohhh...?!”

Semua panglima, punggawa, dan prajurit jadi terlongong bengong begitu melihat wanita itu membuka tudungnya, sehingga seluruh wajahnya yang cantik terlihat jelas. Bahkan Panglima Sela Gading sendiri sampai terbeliak, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Arimbi.... Tidak! Mustahil kau masih hidup...,” desis Panglima Sela Gading masih belum percaya dengan penglihatannya sendiri.

“Aku memang Diah Arimbi, Paman Sela Gading. Akulah yang kau tikam dengan pedangmu di hutan. Tapi, Hyang Widhi belum menghendaki kematianku,” terasa dingin sekali nada suara Diah Arimbi.

“Tidak.... Kau sudah mati, Arimbi. Kau sudah mati....”

Diah Arimbi melangkah perlahan-lahan, hingga berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Panglima Sela Gading menarik kakinya ke belakang beberapa langkah, dengan kepala bergerak menggeleng beberapa kali.

“Heh...?! Kenapa kalian diam saja? Cepat serang, bunuh mereka...!” teriak Panglima Sela Gading tiba-tiba.

Tapi tidak ada seorang pun prajurit yang bergerak mendengar perintah itu. Dan ini membuat Panglima Sela Gading jadi kebingungan sendiri. Dia berteriak-teriak memerintah, tapi tetap saja tidak ada seorang pun yang bergerak. Mereka hanya memandangi Diah Arimbi dan panglima itu bergantian.

“Goblok...! Dia bukan Putri Arimbi. Ayo, bunuh perempuan setan itu...!” teriak Panglima Sela Gading lagi.

“Kau yang setan, Sela Gading...!” Tiba-tiba saja salah seorang panglima menyelak dengan ketus, dan langsung bergerak menghampiri Panglima Sela Gading. Lima orang panglima lainnya juga bergerak mengikuti, membuat wajah Panglima Sela Gading jadi memucat pasi berkeringat dingin. Sementara para prajurit dan punggawa juga sudah mulai bergerak mengurung panglima ini.

“Tunggu...!” sentak Rangga tiba-tiba.

Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat ke depan Panglima Sela Gading, karena tidak ingin terjadi pembunuhan kejam. Dia tahu, para panglima, punggawa, dan prajurit ingin menghukum Panglima Sela Gading. Dan itu yang tidak diinginkannya.

“Kalian tidak bisa menjatuhkan hukuman begitu saja. Biarkan dia mendapatkan keadilan dari segala perbuatannya. Biar Putri Arimbi yang menentukan hukumannya!” lantang sekali suara Rangga. Saat itu, Panglima Sela Gading memang sudah tidak lagi bisa berbuat sesuatu. Seluruh tubuhnya bergetar, sudah bersimbah keringat dingin. Dan wajahnya kelihatan begitu pucat, seperti tidak pernah teraliri darah.

“Tangkap pengkhianat itu...!” seru Diah Arimbi sambil menunjuk Panglima Sela Gading.

Dua orang panglima segera bergerak maju meringkus Panglima Sela Gading yang tampaknya sudah pasrah, tidak ingin cari penyakit. Salah seorang mengambil pedangnya, dan yang seorang lagi mengikat tubuhnya dengan rantai.

“Bagaimana sekarang, Kakang?” tanya Diah Arimbi yang sudah berada di samping Rangga lagi.

“Langsung saja ke istana. Kita juga harus menangkap Prabu Gelangsaka dan putrinya,” sahut Rangga.

“Baiklah, Kakang.”

Diah Arimbi kemudian memerintahkan pada salah seorang panglima untuk bergerak ke istana secepatnya. Dan tanpa menunggu waktu lagi, para panglima, punggawa, dan prajurit langsung saja bergerak ke Istana Jatigelang. Mereka bergerak cepat sambil bersorak-sorak mengelu-elukan gadis ini. Teriakan-teriakan dan seruan-seruan keras, membuat seluruh rakyat di Kotaraja Jatigelang ini jadi terbangun. Mereka terkejut mendengar nama pewaris sah kerajaan disebut-sebut. Dan begitu mengetahui para prajurit itu kini dipimpin Diah Arimbi, semua rakyat keluar dari dalam rumah dan langsung ikut bergabung.

Tidak berapa lama, mereka sudah sampai di depan istana. Mereka langsung menerobos masuk istana tanpa mendapat halangan apa-apa. Tampak Diah Arimbi yang masih didampingi Rangga dan Pandan Wangi, menerobos masuk paling depan. Mereka langsung menuju bangunan istana yang sangat megah ini dan terus masuk sampai ke dalam. Namun begitu mereka sampai di ruangan tengah istana, mendadak saja Endang Witarsih sudah melompat dari atas langit-langit ruangan ini. Langsung pedangnya disabetkan ke kepala Diah Arimbi.

“Hiyaaat...!”

“Arimbi, awas...!” seru Rangga memperingatkan.

“Hup! Yeaaah...!”

Diah Arimbi memang tidak punya lagi kesempatan berkelit. Dan pada saat mata pedang Endang Witarsih hampir membelah kepalanya, Rangga cepat melompat menerjang Diah Arimbi. Akibatnya, mereka jatuh bergulingan di lantai. Pada saat yang bersamaan pula, Pandan Wangi sudah melesat cepat bagai kilat menyerang Endang Witarsih.

“Hiyaaat...!”
Bet!
“Haiiit..!”
Trang!

Pandan Wangi langsung mengebutkan kipas baja putihnya, tapi Endang Witarsih manis sekali bisa menangkis dengan pedangnya. Namun tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi cepat memutar tubuhnya sambil melepaskan tendangan berputar yang dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya, sehingga Endang Witarsih tidak sempat lagi berkelit Dan....

Des!
“Akh...!”

Endang Witarsih jadi terpekik, begitu telapak kaki Pandan Wangi menghantam telak dadanya. Dan gadis itu seketika terpental ke belakang, lalu keras sekali punggungnya menghantam dinding hingga bergetar dan retak. Tapi Endang Witarsih hanya mengeluh sedikit saja. Disekanya darah yang mengalir keluar dari sudut bibirnya, lalu kembali melangkah terhuyung menghampiri Pandan Wangi. Sementara itu, Rangga dan Diah Arimbi sudah berdiri lagi. Diah Arimbi ingin langsung menyerang Endang Witarsih, tapi Rangga sudah lebih cepat mencegah dengan mencekal tangan gadis itu. Sedangkan Pandan Wangi dan Endang Witarsih sudah kembali bertarung sengit.

“Biarkan mereka bertarung. Sebaiknya, kita cari Prabu Gelangsaka,” kata Rangga.

“Kau tidak perlu mencari aku, Pendekar Rajawali Sakti!”

Sama sekali Rangga tidak terkejut, begitu tiba-tiba Prabu Gelangsaka sudah muncul di dalam ruangan ini. Hanya Diah Arimbi yang kelihatan tersentak kaget. Namun baru saja Rangga memutar tubuhnya, Prabu Gelangsaka sudah melesat cepat bagai kilat. Langsung diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!”

“Menyingkir, Arimbi. Hup...!”

Cepat Rangga melesat menyambut setelah meminta Diah Arimbi menyingkir menjauh. Dan secara bersamaan, mereka melepaskan pukulan keras menggeledek sambil melayang di udara. Hingga....

Glarrr!

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar menggelegar, membuat seluruh dinding dan atap bangunan istana ini jadi bergetar, begitu dua tangan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi beradu tepat di udara. Tampak Prabu Gelangsaka terpental deras ke belakang sambil memekik tertahan. Sementara, Rangga berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di lantai ruangan ini.

“Keparat...!” geram Prabu Gelangsaka sambil menyeka darah yang mengalir di sudut bibirnya. “Kubunuh kau, Bocah Setan! Hiyaaat...!”

Prabu Gelangsaka kembali melompat menerjang sambil melepaskan beberapa pukulan beruntun yang sangat cepat dan bertenaga dalam tinggi. Namun dengan menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’, Rangga bisa mudah menghindari semua serangan. Dan tampaknya, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau berlarut-larut. Begitu memiliki kesempatan, cepat sekali dilepaskannya satu pukulan keras dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Begitu cepat pukulannya, sehingga Prabu Gelangsaka tidak dapat lagi menghindar.

Des!
“Aaakh...!”

Kembali Prabu Gelangsaka terdorong ke belakang, begitu dadanya terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali. Dan tanpa disadari, justru Prabu Gelangsaka mendekati Diah Arimbi. Dan kesempatan ini memang tidak bisa disia-siakan begitu saja. Cepat sekali Diah Arimbi menghunjamkan pedangnya ke punggung laki-laki setengah baya ini.

“Arimbi, jangan...!” Tapi, seruan Rangga sudah terlambat. Maka....

Bres!
“Aaa...!”

Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak tubuh Prabu Gelangsaka terhuyung-huyung begitu Diah Arimbi mencabut pedangnya kembali dari tubuh laki-laki setengah baya ini. Darah kontan mengucur deras dari punggung, dada, dan mulutnya. Dan sebentar kemudian, Prabu Gelangsaka ambruk menggelepar ke lantai. Hanya sebentar saja tubuhnya masih bergerak mengejang, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.

Jeritan kematian Prabu Gelangsaka, rupanya membuat perhatian Endang Witarsih jadi terpecah. Dan gadis itu tampak begitu terkejut melihat ayahnya sudah tergeletak bermandikan darah di depan Diah Arimbi.

“Ayah...!” jerit Endang Witarsih, kalap.

Gadis itu segera menghambur meninggalkan Pandan Wangi yang menjadi lawannya, dan segera menubruk Prabu Gelangsaka yang tergeletak tak bernyawa sambil menangis sesenggukan. Sementara itu dari luar, muncul enam panglima yang diikuti beberapa punggawa serta patih Kerajaan Jatigelang ini. Mereka jadi terdiam melihat Endang Witarsih menangis, memeluk tubuh ayahnya yang berlumur darah sudah tak bernyawa lagi.

“Panglima...,” ujar Diah Arimbi seraya melangkah pergi setelah memutar tubuhnya.

Enam orang panglima itu segera mendekati Endang Witarsih. Dua orang memegangi lengan gadis itu. Sedangkan empat orang lagi menggotong tubuh Prabu Gelangsaka, dan membawanya keluar ruangan ini. Dua orang panglima yang memegangi tangan Endang Witarsih, membawanya juga keluar dari ruangan ini. Sementara Diah Arimbi berdiri tegak mematung di depan jendela, memandang ke luar. Dirayapinya kerumunan prajurit dan rakyat yang memadati alun-alun istana ini.

“Paman Patih...,” ujar Diah Arimbi.

“Hamba, Gusti Putri,” sahut salah seorang laki-laki tua seraya melangkah mendekati.

“Tenangkan semua rakyat. Sebentar lagi, aku keluar,” kata Diah Arimbi.

“Hamba, Gusti Putri."

Laki-laki tua itu segera bergerak ke luar. Sementara, Diah Arimbi masih berdiri tegak menghadap ke jendela yang terbuka lebar. Sambil menghembuskan napas panjang, tubuhnya berputar berbalik. Namun...

“Heh...?!”

Kedua bola mata gadis itu jadi terbeliak lebar. Ternyata di dalam ruangan ini tidak lagi terlihat Rangga dan Pandan Wangi. Diah Arimbi jadi celingukan sendiri. Tapi memang, kedua pendekar muda itu sudah tidak ada lagi dan entah ke mana perginya.

“Hhh.... Kalian memang pendekar-pendekar sejati. Terima kasih, Kakang Rangga.... Pandan Wangi...” desah Diah Arimbi cepat menyadari.

Kemudian gadis itu melangkah perlahan meninggalkan ruangan ini. Memang, tidak ada seorang pun yang menyadari kalau kedua pendekar muda itu bergabung dengan rakyat, mendengarkan suara Diah Arimbi yang kini sudah mengambil alih takhta yang memang menjadi haknya. Malam yang semula terasa dingin, kini jadi hangat penuh teriakan-teriakan gegap gempita menyanjung Putri Diah Arimbi.

Sementara, para prajurit mulai menjalankan tugasnya. Mereka berjaga-jaga agar rakyat tidak menyerbu untuk mengelu-elukan junjungannya. Dan dari tempat yang agak jauh, dekat pintu gerbang istana ini, Rangga dan Pandan Wangi terus memandangi dengan bibir menyunggingkan senyum.

“Ayo, Pandan. Kita lanjutkan perjalanan,” ajak Rangga.

Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Dan mereka kemudian melangkah meninggalkan alun-alun Istana Jatigelang. Sementara, suara-suara gaduh penuh kegembiraan terus terdengar bagai hendak membelah langit kelam di atas wilayah Kerajaan Jatigelang. Sedangkan dua pendekar muda dari Karang Setra itu semakin jauh meninggalkan istana ini.

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: