Pendekar Rajawali Sakti 102 - Pembunuh Berdarah Dingin(2)

Sementara itu, Pandan Wangi sudah cukup jauh meninggalkan Desa Paranggada. Lari kudanya baru dihentikan setelah dirasakan cukup jauh. Gadis itu langsung melompat turun dari punggung kudanya, dan berdiri tegak memandang ke arah Desa Paranggada, menunggu Rangga yang tadi ditinggalkannya dalam pertarungan.

“Apa yang kau tunggu, Pandan...?”

“Eh...?!” Pandan Wangi jadi tersentak kaget. Cepat tubuhnya berputar. Dan seketika kedua bola matanya jadi mendelik lebar, begitu melihat Rangga tahu-tahu sudah duduk di atas sebatang pohon kayu yang tumbang. Entah kapan Pendekar Rajawali Sakti ada di sana, sama sekali Pandan Wangi tidak mendengar suara kedatangannya.

“Setan! Bikin kaget saja...!” dengus Pandan Wangi langsung memberengut.

“Jangan cemberut begitu, Pandan Wangi. Kau tambah cantik kalau....”

“Sudah...!” Pandan Wangi langsung membentak, membuat godaan Rangga jadi terhenti.

Tapi senyuman di bibir Pendekar Rajawali Sakti semakin terlihat melebar. Dan itu membuat Pandan Wangi jadi bersungut-sungut sendiri. Tubuhnya lalu dihempaskan di atas rerumputan, tidak jauh dari pemuda itu. Sementara, Rangga sendiri tetap duduk mencangkung di atas pohon tumbang ini. Beberapa saat mereka jadi terdiam.

“Kau tahu, siapa Ki Marta itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi agak mendengus terdengar nada suaranya.

“Orang tua yang anaknya terbunuh, kan...?” sahut Rangga bernada bertanya.

“Benar,” sahut Pandan Wangi. "Tapi, kenapa kita yang dituduh...?”

“Semua orang tua yang anaknya mati terbunuh tanpa diketahui, pasti akan mencurigai siapa saja yang tidak dikenalnya, Pandan. Kita memang salah, berada di desa itu selagi keadaan tidak mengizinkan,” kata Rangga kalem.

“Tapi jangan main tuduh dan keroyok, Kakang. Seharusnya hal itu bisa ditanyakan baik-baik. Huh! Dasar saja dia yang ingin cari gara-gara!” dengus Pandan Wangi masih merasa kesal.

“Sudahlah, Pandan. Tidak perlu diperpanjang lagi,” ujar Rangga, mencoba meredakan kekesalan hati gadis itu.

“Huh...!” Pandan Wangi kembali mendengus.

Rangga melompat turun dari atas batang pohon kayu tumbang itu. Ringan sekali gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya mendarat di tanah berumput ini. Segera dihampirinya Pandan Wangi dan kembali duduk di depannya. Diraihnya tangan gadis itu, lalu diremasnya dengan hangat. Tapi baru saja tangan gadis itu hendak ditarik ke bibirnya mendadak saja....

“Hmmm....”

“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi.

“Ssst..!”

Pandan Wangi langsung diam. Namun belum juga bisa mengetahui apa yang dimaksud Rangga, mendadak....

Wusss...!
“Hup!”
“Ikh...!”

Pandan Wangi jadi terpekik kaget, begitu tiba- tiba saja Rangga mendorong dadanya hingga terpental ke belakang, dan bergulingan beberapa kali. Sementara, Rangga sendiri melesat ke belakang sambil mengebutkan tangannya. Saat itu juga, Pandan Wangi melihat sebuah benda meluncur deras dan langsung mendapat kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti.

Tap!
“Hap!”

Rangga cepat menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sementara tangan kanannya kini tergenggam sebatang ranting kering sepanjang jengkal. Sedangkan Pandan Wangi yang juga sudah berdiri, bergegas menghampiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Hih!”

Namun belum juga Pandan Wangi dekat, Rangga sudah cepat memutar tubuhnya. Dan secepat itu pula, tangan kanannya mengibas ke depan. Maka ranting kering yang tadi ditangkapnya, langsung meluncur deras bagai anak panah lepas dari busur.

Wusss...!
Srak!

Ranting itu menembus sebuah semak belukar. Dan pada saat itu, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat keluar dari dalam semak itu. Dan tahu-tahu, di atas pohon yang berjarak sekitar satu batang tombak dari kedua pendekar muda itu, sudah berdiri seseorang bertubuh ramping terbungkus baju merah menyala. Sayang, wajahnya sulit dikenali karena hampir seluruhnya tertutup sebuah tudung bambu yang cukup lebar di kepalanya. 

***
EMPAT
Tapi dari bentuk tubuh dan bibirnya yang terlihat, bisa dipastikan kalau dia seorang wanita. Dan belum lagi Rangga maupun Pandan Wangi membuka suara, orang berpakaian serba merah menyala itu sudah meluncur turun dari atas pohon. Gerakannya begitu ringan bagai kapas. Dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah, tepat sekitar enam langkah lagi di depan kedua pendekar muda ini.

“Nisanak, siapa kau? Kenapa menyerang kami?” tanya Rangga mencoba ramah.

“Jangan tanya siapa aku! Yang penting, kalian cepat minggat dari sini. Jangan campuri urusanku!” terdengar kasar sekali kata-kata wanita itu.

“Heh...?! Ada apa ini...? Kenapa kau tiba-tiba saja memusuhi kami?” sentak Pandan Wangi tidak senang.

“Aku memang bisa jadi musuh, kalau kalian usil dengan urusan orang lain.”

“Nisanak! Tolong jelaskan, kenapa kau tidak menginginkan kami berdua ada di sini?” pinta Rangga masih mencoba untuk ramah, walaupun mendapat sikap yang bermusuhan.

“Tidak perlu dijelaskan. Sebaiknya kalian cepat pergi, sebelum pikiranku berubah dan memenggal leher kalian berdua!” dengus wanita itu, dingin.

“Kalau aku tidak mau pergi...?” Pandan Wangi langsung saja mengambil sikap menentang.

“Kau akan mati!” desis wanita itu semakin terasa dingin nada suaranya.

“Ha ha ha...!” Entah kenapa, Pandan Wangi jadi tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata bernada ancaman itu.

Sementara, Rangga hanya diam saja. Memang, sudah dikenalnya betul akan watak Pandan Wangi. Dan dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin lagi bisa dihalangi. Karena sudah jelas, Pandan Wangi begitu cepat mengambil sikap menantang. Tampaknya pula, wanita berbaju merah yang mengenakan tudung bambu itu termakan tantangan si Kipas Maut. Dia mendengus berat. Dan dari balik tudungnya, jelas sekali kalau tengah menatap Pandan Wangi.

“Sebaiknya kau memang mampus! Hih...!” Cepat sekali wanita berbaju merah itu mengebutkan tangan kanannya. Dan seketika itu juga, dari balik lipatan lengan bajunya melesat cepat beberapa buah benda kecil berbentuk jarum ke arah Pandan Wangi.

“Heh...?! Hup!” Pandan Wangi agak terkesiap juga. Tapi dengan kecepatan mengagumkan, tubuhnya langsung melenting ke atas. Sehingga, jarum-jarum itu hanya lewat di bawah telapak kakinya. Tapi belum juga bisa menguasai diri di udara, mendadak saja wanita berbaju merah itu sudah melesat menyerang si Kipas Maut.

“Hiyaaat..!”

“Tahan...! Hih!” Rangga cepat-cepat bertindak. Langsung dilepaskannya satu sodokan kilat ke arah perut wanita itu. Sehingga, wanita itu harus membatalkan serangan pada Pandan Wangi, dan cepat-cepat memutar tubuhnya di udara untuk menghindari sodokan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Ikh...!”
Tap!

Manis sekali wanita itu kembali menjejakkan ka-kinya di tanah. Dan secara bersamaan, Pandan Wangi juga menjejakkan kakinya di samping Rangga.

“Huh! Kalian berdua sama saja! Jangan menyesal kalau hari ini tubuh kalian jadi santapan cacing tanah!” dengus wanita itu dingin, agak bergetar.

Sret!
Cring!

Saat itu juga, wanita bertudung besar ini langsung mencabut pedangnya yang sejak tadi tergantung di pinggang. Tampaknya, sebilah pedang yang kelihatannya biasa saja, tanpa memiliki pamor mengiriskan.

“Hiyaaat...!”
Bet!

Begitu cepat wanita itu melompat sambil membabatkan pedangnya ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti.

“Hap!”

Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga cepat berkelit menghindari serangan wanita ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, arah pedang wanita itu bisa dibelokkan, hingga tertuju ke leher Pandan Wangi. Begitu cepatnya gerakan pedang itu, membuat kipas maut jadi terkesiap sesaat. Tapi dengan cepat sekali, Pandan Wangi mencabut senjata kipasnya, dan langsung dikebutkan ke depan tenggorokannya.

“Akh...!”
“Pandan...!”

Rangga jadi tersentak kaget. Ternyata tubuh Pandan Wangi terpental, ketika kipasnya yang melindungi tenggorokan menghantam pedang wanita bertudung ini. Namun belum juga Rangga bisa bertindak, wanita itu sudah kembali melesat cepat sambil membabatkan pedangnya tepat mengarah ke leher si Kipas Maut. Sementara, saat itu Pandan Wangi tengah terhuyung kehilangan keseimbangan. Dan ini seketika membuat Rangga jadi terkesiap.

“Hup! Hiyaaa...!”

Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat. Langsung disambarnya tubuh Pandan Wangi, tepat di saat wanita berbaju merah dan bertudung bambu itu membabatkan pedangnya.

Wuk!

Pedang itu ternyata hanya melesat membabat angin. Begitu cepat sekali tindakan yang dilakukan Rangga, sehingga bisa menyelamatkan leher Pandan Wangi dari sabetan pedang yang kelihatannya biasa itu. Sementara, Rangga melenting tinggi ke udara. Lalu dengan manis sekali kakinya bisa dijejakkan di tanah. Dan Pandan Wangi langsung terhuyung, begitu terlepas dari pelukan Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau tidak apa-apa, Pandan?” tanya Rangga.

“Ukh, tanganku...,” keluh Pandan Wangi sambil memegangi tangan kanannya dengan tangan kiri.

Gadis itu merasakan seluruh tulang tangan kanannya seperti remuk, akibat kipas mautnya membentur pedang wanita yang tidak dikenal itu. Sungguh tidak diduga kalau pedang yang kelihatannya biasa itu, memiliki kekuatan sangat dahsyat Bahkan tenaga dalam wanita itu juga sangat tinggi, sehingga membuat tangan kanan Pandan Wangi jadi terasa remuk.

“Menjauhlah, Pandan,” pinta Rangga.

Kali ini Pandan Wangi tidak membantah. Segera kakinya melangkah mundur menjauhi tempat itu. Bibirnya masih meringis menahan sakit yang amat sangat pada seluruh tangan kanannya. Sementara, kipas yang menjadi senjata kebanggaannya terpental jauh darinya. Dan Rangga sudah melangkah menghampiri kipas putih senjata Pandan Wangi yang tergeletak cukup jauh darinya.

Sedangkan wanita bertudung dari bambu itu hanya memperhatikan saja, dengan pedang tersilang di depan dada. Perlahan Rangga terus melangkah menghampiri kipas baja putih senjata Pandan Wangi. Dan begitu dekat, Pendekar Rajawali Sakti berhenti sambil memperhatikan wanita berbaju merah itu. Dalam beberapa gebrakan tadi, Rangga sudah dapat menilai kalau wanita itu tidak bisa dipandang enteng. Setiap gerakan yang dilakukan begitu cepat dan sama sekali tidak terduga.

Perlahan Rangga membungkukkan tubuhnya. Diambilnya kipas baja putih yang menggeletak ditanah, lalu diselipkan ke balik ikat pinggangnya. Pendekar Rajawali Sakti kembali berdiri tegak sebentar, lalu melangkah menghampiri wanita bertudung yang masih tetap diam, berdiri tegak tidak bergeming sedikit pun juga.

Namun dari balik tudungnya yang cukup besar, Rangga bisa merasakan kalau sorot matanya yang tajam tertuju kepadanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi.

“Kepandaianmu sangat tinggi, Nisanak. Tapi sayang sekali, ilmu yang begitu tinggi digunakan tidak pada tempatnya...,” ujar Rangga agak datar terdengar nada suaranya.

“Kau juga ingin menantangku...?!” dengus wanita itu dingin, tanpa menghiraukan kata-kata Rangga barusan.

“Aku merasa tidak ada pertentangan di antara kita. Jadi sebaiknya tidak perlu membuka jurang permusuhan,” sahut Rangga kalem.

“Hm.... Kau takut...?” ejek wanita itu memanasi.

Rangga jadi tersenyum tapi terasa begitu kecut. Jelas sekali kalau wanita ini mencari persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Namun, Rangga masih berusaha tidak terpancing. Hanya saja hatinya merasa penasaran, kenapa wanita ini menginginkannya cepat-cepat pergi meninggalkan Desa Paranggada. Dan belum lama tadi, Ki Marta bersama orang-orangnya juga menyerang. Bahkan menuduhnya telah membunuh anaknya. Apakah wanita ini juga punya alasan sama...?

“Nisanak! Kau menginginkan aku pergi dari sini. Kalau boleh tahu, apa sebabnya...?” Rangga meminta penjelasan lagi.

“Sudah kukatakan, tidak perlu penjelasan! Kalau kau mau selamat, cepat tinggalkan desa ini. Tapi kalau terus membandel, aku tidak akan segan-segan lagi memenggal kepalamu!” sahut wanita itu kembali men-gancam.

“Maaf, Nisa....”

“Keparat...! Rupanya kau ingin mampus, heh...?! Hih!”

Bet!
“Hap!”

Rangga cepat-cepat melompat mundur, begitu pedang di tangan wanita bertudung itu berkelebat begitu cepat ke arah lehernya. Sungguh tidak diduga kalau akan mendapat serangan yang begitu cepat dan mendadak. Dan belum saja tubuhnya bisa ditegakkan lagi, wanita bertudung itu sudah menyerang lagi dengan kecepatan sukar sekali diikuti mata biasa.

“Hih! Yeaaah...!”
Bet!
“Hap!”

Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan gencar wanita bertudung ini. Ujung pedang wanita itu bagaikan memiliki mata saja. Begitu cepat berkelebat, mengikuti setiap gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali ujung pedang itu hampir mengoyak tubuhnya, tapi sampai saat ini Rangga masih bisa menghindarinya. Jurus demi jurus berlalu cepat.

Tanpa terasa, masing-masing sudah mengeluarkan lebih dari lima jurus. Tapi, pertarungan masih terus berlangsung. Bahkan semakin bertambah sengit saja. Begitu cepat gerakan-gerakan yang dilakukan, sehingga sulit diikuti mata biasa. Hanya dua bayangan saja yang terlihat berkelebat saling sambar dengan kecepatan tinggi.

“Hup! Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

Tiba-tiba saja mereka sama-sama melenting ke udara. Tampak saat itu, Rangga mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Sementara, wanita bertudung itu membabatkan pedangnya ke arah kepala, tepat di saat Rangga merunduk sambil mengibaskan tangan kanannya ke arah perut. Namun tanpa diduga sama sekali....

Wut!
“Ikh...!”

Rangga jadi terperanjat setengah mati. Ternyata secara tidak terduga, wanita bertudung itu bisa cepat memutar pedangnya untuk melindungi perut dari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Maka cepat-cepat Rangga menarik tangannya pulang, sehingga terhindar dari tebasan pedang itu.

“Hap!”

Secara bersamaan, mereka meluruk turun sambil terus melancarkan serangan-serangan cepat yang sangat berbahaya. Dan begitu mereka sama-sama menjejakkan kaki di tanah, saat itu juga....

“Suiiit...!”

“Heh...?!” Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba terdengar siulan panjang dan melengking tinggi, sehingga membuat telinga jadi terasa sakit. Dan saat itu juga, wanita bertudung ini melompat mundur keluar dari pertarungan. Pedangnya langsung dimasukkan ke dalam warangka di punggung.

“Ingat! Aku akan mencarimu. Hati-hati dengan kepalamu, Setan Keparat...!” desis wanita itu dingin menggetarkan.

Setelah berkata demikian, dengan kecepatan menakjubkan wanita itu melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat.

Sementara, Rangga masih berdiri tegak seperti terpaku melihat kedigdayaan wanita bertudung tadi. Beberapa saat Rangga masih berdiri tegak, memandang ke arah perginya wanita bertudung yang tidak dikenalnya. Kemudian tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri Pandan Wangi yang kini sudah duduk bersila dengan sikap bersemadi. Rangga berhenti, setelah dekat di depan gadis itu. Saat itu juga, Pandan Wangi membuka kelopak matanya yang tadi terpejam. Langsung kepalanya diangkat, dan menatap wajah tampan di depannya.

“Bagaimana tanganmu?” tanya Rangga langsung.

“Hhh! Hanya terkena aliran tenaga dalam tinggi, Kakang,” sahut Pandan Wangi, seraya menghembuskan nafasnya.

Gadis itu kemudian bangkit berdiri. Sebentar tangan kanannya dihentak-hentakkan, kemudian bibirnya tersenyum. Entah apa yang membuatnya jadi terse-nyum. Rangga mengambil kipas putih dari sabuk pinggangnya, dan menyerahkan kembali pada Pandan Wangi. Gadis itu langsung menerimanya, dan menyelipkan ke balik ikat pinggangnya sendiri.

“Tangguh sekali dia, Kakang. Hampir saja semua tulang tanganku remuk. Untung aku mengerahkan tenaga dalam tadi,” kata Pandan Wangi agak mendengus suaranya.

“Kau terlalu gegabah, dan menganggap ringan senjatanya, Pandan,” kata Rangga menilai.

“Ya! Aku memang tadi sempat memandangnya ringan,” sahut Pandan Wangi mengakui.

“Itulah kesalahanmu, Pandan. Jangan sekali- sekali memandang enteng lawan rendah, walaupun kepandaiannya berada di bawahmu. Kau harus menganggap semua lawan tangguh dan berbahaya. Jadi, tidak sampai kecolongan begitu,” kata Rangga menasihati.

Pandan Wangi hanya diam saja. Memang, Rangga bukan sekali ini memberi nasihat. Tapi, memang Pandan Wangi selalu tidak pernah mendengarkan nasihatnya. Apalagi itu memang sudah jadi wataknya. Dan dia selalu menganggap dirinya benar saja. Apa yang dilakukan dan dianggapnya benar, tidak perlu lagi mendapat pertimbangan. Jadi, tidak aneh kalau sering kali Pandan Wangi kecolongan.

“Ayo, Pandan...,” ajak Rangga.

“Ke mana?” tanya Pandan Wangi seraya melangkah mengikuti Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berjalan lebih dulu menghampiri kuda mereka.

“Ke Desa Paranggada,” sahut Rangga.

“Heh...?!” Pandan Wangi jadi terkejut mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. “Untuk apa ke sana, Kakang...?” tanya Pandan Wangi.

Tapi Rangga sama sekali tidak menjawab, seakan tidak mendengar pertanyaan si Kipas Maut itu. Pendekar Rajawali Sakti terus saja melompat naik ke punggung kudanya. Dan Pandan Wangi bergegas mengikuti, naik ke punggung kudanya sendiri. Dan tidak berapa lama kemudian, kedua pendekar muda dari Karang Setra itu sudah memacu kudanya kembali, menuju Desa Paranggada. 

***

Hampir menjelang malam, Rangga dan Pandan Wangi baru sampai di Desa Paranggada. Keadaan di desa itu tidak berubah, sama seperti saat mereka datang siang tadi. Tidak ada seorang pun yang memperhatikannya. Bahkan semua orang di desa ini seperti tidak peduli. Tapi begitu mereka melewati sebuah rumah yang sangat besar dan berhalaman luas, beberapa anak muda yang ada di sekitar halaman rumah itu memandanginya dengan sinar mata mengandung kecurigaan.

Pandangan mata pemuda-pemuda itu bukannya tidak diketahui. Tapi memang, Rangga sengaja tidak mempedulikannya. Bahkan sengaja tidak memberitahukan Pandan Wangi yang memang tidak tahu kalau sedang diperhatikan beberapa pemuda yang berada di sekitar halaman rumah besar yang dilewati. Dan rumah itu memang yang paling besar di antara rumah-rumah lain di Desa Paranggada ini.

“Sudah hampir malam, Kakang. Apa ada pengina-pan di desa ini...?” ujar Pandan Wangi seraya berpaling menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti yang berkuda di sebelahnya.

“Mudah-mudahan saja ada,” sahut Rangga.

“Tidak semua desa ada penginapannya, Kakang. Kalau desa ini tidak ada penginapan, lalu bagaimana...?” nada suara Pandan Wangi seperti mengeluh.

Rangga hanya diam saja. Dia tahu, Pandan Wangi sebenarnya sudah jemu, karena beberapa hari ini terpaksa harus tidur di alam terbuka. Meskipun Pandan Wangi seorang pendekar, tapi tetap saja wanita yang menginginkan tempat nyaman untuk melepaskan lelah. Dan meskipun watak Pandan Wangi agak ugal-ugalan, tapi masih ada sedikit kemanjaan pada dirinya.

Saat itu, mereka sudah sampai di ujung jalan, tepat berada di depan kedai yang tadi siang dimasuki. Tampak kedai itu sudah tutup. Sedangkan perempuan gemuk pemilik kedai itu tengah duduk di balai bambu dekat pintu, bersama seorang gadis yang tadi membantunya melayani kedua pendekar muda ini. Tidak jauh dari mereka, terlihat bocah kecil yang tadi mengurus kuda kedua pendekar ini. Rangga dan Pandan Wangi sama-sama menghentikan langkah kaki kudanya.

Melihat kedua pendekar muda itu datang lagi, perempuan gemuk itu bergegas turun dari balai bambu di samping pintu kedainya. Dengan tergopoh-gopoh, dihampirinya Rangga dan Pandan Wangi, diikuti gadis manis dan bocah laki-laki yang sejak siang tadi bertelanjang dada ini. Sikap mereka begitu ramah, menyambut kedua pendekar muda ini. Rangga dan Pandan Wangi segera turun dari punggung kudanya.

“Maaf, Nyi. Apakah ada penginapan yang terdekat di sini?” tanya Rangga langsung.

“Penginapan...? Rasanya tidak ada penginapan di desa ini, Den,” sahut wanita gemuk itu. "Tapi kalau Raden dan Nini suka, bisa bermalam di sini. Tapi, hanya ada satu kamar kosong.”

“Biar kakak tidur denganku saja, Mak,” selak gadis manis di belakang wanita gemuk itu.

"Oh, iya.... Bisa..., bisa. Biar Nini tidur dengan anakku ini,” kata wanita gemuk itu.

“Terima kasih, Nyi. Jadi merepotkan saja,” ucap Rangga merasa tidak enak atas keramahan ini.

“Ah, tidak.... Raden juga sudah begitu baik. Belum pernah kami mendapatkan tamu sebaik kalian berdua. Mari..., biar kuda-kudanya diurus Randika.

Rangga tidak bisa lagi menolak, begitu wanita gemuk itu menarik tangannya. Sementara, bocah kecil yang bernama Randika sudah mengambil kuda-kuda mereka. Pandan Wangi mengikuti saja dari belakang, bersama anak gadis pemilik kedai itu.

“Siapa namamu, Dik?” tanya Pandan Wangi ramah.

“Randini, Kak,” sahut gadis itu.

“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Pandan Wangi.

“Ah, tidak secantik Kakak,” ujar Randini, jadi tersipu.

Mereka kemudian masuk ke dalam rumah yang berada di samping kedai. Rumah Nyi Gembur, begitu orang-orang desa memanggil perempuan gemuk pemilik kedai ini. Entah, apa nama aslinya. Tapi tampaknya, perempuan gemuk itu tidak keberatan dipanggil Nyi Gembur. Dan memang, nama itu cocok sekali dengan bentuk tubuhnya yang gemuk dan subur.

Tapi anehnya, kedua anaknya tidak ada yang bertubuh gemuk. Terlebih lagi Randini. Tubuhnya sangat ramping. Malah kulitnya pun putih, tidak seperti ibunya yang agak hitam. Sedangkan Randika juga kurus. Hanya kulitnya saja yang sedikit hitam, karena tidak pernah memakai baju.

“Ngobrol dulu dengan Randini. Aku akan menyiapkan makan buat kalian,” kata Nyi Gembur, setelah mereka berada di dalam.

“Ah, tidak perlu repot-repot, Nyi,” ujar Pandan Wangi.

“Tidak apa-apa, Kak. Kami semua juga belum ada yang makan,” celetuk Randika yang tahu-tahu sudah berada di ambang pintu.

“Hush, Randika...!” sentak Nyi Gembur.

“Tapi memang benar kok, Mak. Randika sudah lapar dari tadi...,” Randika agak merengek.

“Iya, sebentar. Mak panaskan dulu sayurnya.”
“Cepat, Mak.”
“Iya...!”

Rangga hanya tersenyum saja mendengar semua itu. Sementara Pandan Wangi sudah terlibat obrolan yang entah menjurus ke mana bersama Randini. Kelihatan menarik sekali obrolan mereka, sehingga Rangga jadi tidak mau mengganggu. Pendekar Rajawali Sakti malah melangkah mendekati jendela, dan membukanya lebar-lebar. Angin senja yang bertiup lembut, langsung menghantam wajahnya. Begitu sejuk membuatnya terasa segar saat itu juga.

“Randika, nyalakan lampu...!” Terdengar teriakan Nyi Gembur dari belakang.

“Iya, Mak. Sebentar...!” balas Randika, tidak kalah kerasnya.

Rangga hanya melirik sedikit saja dan tersenyum melihat Randika begitu cekatan melaksanakan perintah ibunya. Sementara, Pandan Wangi dan Randini sudah menghilang entah ke mana. Mungkin, mereka masuk ke dalam kamar gadis itu. Dan Rangga tidak peduli lagi, karena tengah begitu menikmati udara segar di Desa Paranggada ini.

***
LIMA
Malam terus merayap semakin larut. Namun Rangga belum juga bisa memejamkan mata dalam kamarnya yang disediakan Nyi Gembur. Entah kenapa, pikirannya terus menerawang, mengulang kembali cerita Nyi Gembur mengenai beberapa pembunuhan aneh yang terjadi dalam beberapa hari di Desa Paranggada ini.

Dan sebenarnya, kedatangannya ke desa ini juga sedang mengejar seorang pembunuh keji, yang telah membantai hampir habis penduduk sebuah desa yang disinggahinya. Rangga sendiri belum bisa menduga, apakah orang yang sekarang berkeliaran mencari korban itu adalah orang yang sama dengan yang dikejarnya kini.

Hanya saja dari cara korbannya tewas, Rangga jadi ragu-ragu. Namun mengingat begitu banyak cara membunuh, keraguannya jadi menipis juga. Meskipun masih ada keraguan, tapi Rangga berharap di desa ini bisa bertemu buronannya.

“Kakang....”

“Ohhh...?!” Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba terdengar suara yang sangat lembut dari belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut. Ternyata Randini tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu kamar ini. Sungguh tadi suara langkah gadis itu tidak didengar. Mungkin karena seluruh perhatian dan pikirannya terlalu terpusat pada si pembunuh aneh, sehingga sampai tidak mendengar suara langkah kaki Randini.

“Oh.... Ada apa, Randini? Kenapa malam- malam datang ke sini?” tanya Rangga jadi tergagap.

“Maaf, Kakang. Aku hanya ingin bicara sebentar denganmu. Penting...,” ujar Randini.

“Duduklah...,” pinta Rangga seraya merentangkan tangannya sedikit menunjuk kursi di sebelahnya.

Randini melangkah masuk ke dalam kamar yang tidak begitu besar ini, lalu duduk di kursi rotan yang ditunjuk Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sendiri tetap berdiri membelakangi jendela yang sedikit terbuka. Sehingga dinginnya angin malam begitu terasa membelai punggungnya.

“Apa yang ingin kau ceritakan, Randini?” tanya Rangga melihat gadis itu hanya diam saja, dengan kepala sedikit tertunduk.

Sejenak Rangga memperhatikan raut wajah gadis itu saat kepalanya terangkat. Tampak jelas dari sinar matanya, kalau raut wajahnya seakan-akan begitu takut. Malah, tubuhnya mendadak saja jadi bergidik seperti kedinginan. Dan Rangga jadi mengerutkan keningnya melihat sikap gadis anak pemilik kedai ini.

“Ini penting, Kakang. Tapi kau harus janji...,” kata Randini pelan, seakan takut ada orang lain yang mendengar.

“Janji...?” Rangga jadi mengeratkan keningnya.

“Iya, janji jangan katakan pada orang lain.”

“Baiklah. Aku janji,” ujar Rangga jadi geli sendiri dalam hati.

Walaupun geli, Pendekar Rajawali Sakti juga terus bertanya-tanya, apa yang akan dikatakan gadis berusia delapan belas tahun ini. Dan Rangga masih bisa bersabar dan menahan diri untuk tidak terus mendesak. Bisa terlihat dari raut wajah dan sorot matanya, kalau Randini kelihatan begitu takut. Pendekar Rajawali Sakti menduga pasti sesuatu yang akan dikatakannya amat rahasia. Buktinya gadis itu tampak begitu ketakutan.

“Nah! Katakan sekarang, apa yang ingin kau sampaikan padaku,” ujar Rangga lembut.

“Kakang masih ingat cerita Emak ku tadi...?”

Rangga hanya mengangguk saja sedikit.

“Sebenarnya, aku lebih banyak tahu daripada orang lain, Kakang. Aku tahu, apa yang terjadi sebenarnya di desa ini.”

Kali ini Rangga benar-benar terkejut mendengarnya. Sungguh tidak disangka kalau Randini akan berkata seperti itu. Padahal dinilainya, gadis berusia sekitar delapan belas tahun ini begitu polos. Bahkan mungkin tidak tahu apa-apa yang terjadi di luar kehidupannya. Tapi, ternyata Randini malah tahu banyak.

“Kau tahu banyak mengenai pembunuh-pembunuh itu, Randini...?” tanya Rangga seperti ingin memastikan.

“Lebih dari yang orang lain ketahui, Kakang. Bahkan aku tahu siapa pelakunya,” sahut Randini mantap, tapi terdengar pelan sekali suaranya.

“Ah.... Kau jangan main-main, Randini.”

“Aku tidak main-main, Kakang. Aku sungguh-sungguh...,” tegas Randini, berusaha meyakinkan.

Rangga jadi tertegun beberapa saat. Sorot matanya terlihat begitu tajam merayapi wajah gadis manis itu. Rasanya, ingin dicarinya kesungguhan dari raut wajah dan sinar mata gadis itu. Dan yang ditemukan, Randini memang kelihatan tidak sedang bermain-main. Rangga jadi menghela napas panjang-panjang.

“Baiklah, Randini. Katakan, apa saja yang kau ketahui...,” ujar Rangga akhirnya ingin tahu juga.

Cukup lama juga Randini terdiam membisu, mencari kekuatan dan keberanian untuk menceritakan apa saja yang diketahuinya mengenai pembunuhan-pembunuhan aneh yang terjadi di Desa Paranggada ini. Sementara, Rangga menunggu hampir tidak sabar, tapi tetap mencoba menunggu. Beberapa kali Randini menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.

“Semua orang di desa ini memang tidak ada yang tahu, Kakang. Hanya aku sendiri yang tahu. Dan sebenarnya, juga aku sudah berjanji untuk tidak bercerita pada orang lain. Tapi...,” Randini tidak meneruskan.

“Teruskan, Randini,” pinta Rangga.

“Aku merasa ikut bersalah kalau terus diam saja, Kakang. Bahkan jadi takut sendiri kalau-kalau dia datang dan membunuhku...,” sambung Randini kembali terputus.

“Hm.... Kau tahu betul, siapa orangnya?” tanya Rangga langsung. Randini mengangguk. “Siapa...?”

“Lestari.”

“Lestari...?! Siapa dia?” tanya Rangga merasa tidak mengenal nama yang disebutkan Randini barusan.

“Putri Ki Rapala, kepala desa yang ikut menjadi korban.”

“Eh...?!” Rangga benar-benar tersentak kaget setengah mati kali ini. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat mendekati Randini yang masih tetap duduk di kursi rotan ini. Dicekalnya tangan gadis itu erat-erat, sehingga membuat Randini jadi meringis. Rangga buru-buru melepaskannya, dan kembali mendekati jendela kamar ini. Pendekar Rajawali Sakti kini membelakangi Randini, menatap jauh keluar, membelah kegelapan malam.

Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu. Perlahan Rangga memutar tubuhnya, dan kembali menatap Randini yang masih tetap duduk di kursi. Gadis itu juga terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan Rangga menghembuskan nafasnya panjang-panjang.

“Bagaimana kau bisa menceritakan semua itu, Randini?” tanya Rangga seakan tidak percaya.

“Aku tahu betul, Kakang. Sejak kecil, aku dan Lestari sudah bersahabat. Bahkan di antara kami tidak ada rahasia sedikit pun juga.”

“Hm...,” Rangga menggumam kecil. “Ceritakan, Randini. Kenapa dia sampai bisa begitu?”

Sebentar Randini terdiam. “Waktu berumur sepuluh tahun, aku dan Lestari sering main ke hutan. Waktu itu, aku menemukan sebuah goa dan langsung kuberitahukan pada Lestari. Dia minta agar masuk ke dalam goa itu. Semula aku takut, tapi Lestari terus memaksa. Dan akhirnya, kami berdua masuk ke dalamnya. Tidak ada apa-apa di dalam goa itu. Dan kami berdua jadi sering datang ke sana, sehingga goa itu seperti rumah kami saja. Beberapa hari yang lalu, ketika kami terakhir ke sana, goa itu sudah tidak lagi seperti biasanya. Dan begitu sampai di sana, kami menemukan seorang perempuan tua. Aku begitu ketakutan, tapi Lestari tidak sama sekali. Ternyata orang tua itu menderita sakit yang sangat parah. Dia meminta aku dan Lestari mendekat. Aku tidak mau, tapi Lestari mendekati juga. Dan...,” Randini memutuskan ceritanya.

“Apa yang terjadi, Randini?” tanya Rangga semakin ingin tahu.

“Perempuan tua itu lantas memegang wajah Lestari. Entah kenapa, tahu-tahu Lestari jadi berteriak. Tapi hanya sebentar saja, karena kemudian jatuh lemas. Dan tiba-tiba perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak, sehingga aku semakin ketakutan. Lalu, dia menuangkan cairan merah seperti darah ke dalam mulut Lestari. Kemudian.... Ihhh...!” Randini tiba-tiba saja jadi bergidik.

“Kemudian apa yang terjadi, Randini?”

“Seluruh tubuh Lestari hancur, menyatu dengan tanah dalam goa itu. Aku jadi semakin ketakutan, dan terus saja lari keluar. Dan aku masih mendengar suara tawa perempuan tua itu, sebelum jatuh pingsan. Aku tidak tahu lagi, apa yang terjadi. Dan begitu sadar, aku sudah berada di rumah.”

“Kejadian itu tidak kau ceritakan pada orang lain?” tanya Rangga. Randini hanya menggeleng saja. “Kenapa?”

“Waktu aku sadar, Lestari ada di kamarku. Hanya dia saja sendiri.”

“Oh....”

“Aku juga terkejut waktu itu, Kakang. Langsung saja kutanyakan, apa yang terjadi padanya di dalam goa. Tapi Lestari hanya mengatakan kalau perempuan tua itu sebenarnya seorang dewi yang memberi sebuah ilmu padanya. Aku tak tahu, ilmu apa yang dimaksud. Tapi beberapa hari setelah kejadian itu, aku lihat Lestari membunuh seorang anak gembala, dengan memenggal lehernya sampai hampir buntung. Kemudian dia melakukan perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukannya. Lestari tahu kalau aku melihat, sehingga dia mengancam akan membunuhku jika sampai menceritakannya pada orang lain. Aku sama sekali tidak berani cerita, Kakang. Aku tahu ancamannya benar-benar dibuktikan.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Menggauli mayat anak gembala itu.”

“Apa...?!”

“Bukan hanya anak gembala itu saja korbannya. Aku sering melihat Lestari membunuh dan menggauli korbannya. Bahkan seperti sengaja mengajakku untuk menyaksikannya. Aku benar-benar takut, Kakang. Tapi, aku tidak berani menolak. Lestari selalu mengancam akan membunuhku dan semua keluargaku, kalau tidak mau ikut dengannya mencari korban,” sambung Randini.

“Hm,” Rangga menggumam pendek.

“Beberapa hari yang lalu, semua orang kaget karena kekasih Lestari ditemukan mati terbunuh. Lehernya hampir buntung, dan tidak memakai pakaian sama sekali. Bahkan hari itu juga, Ki Rapala tewas dibunuh orang, juga dengan leher hampir buntung. Dan selang beberapa hari, anak Ki Marta juga mati terbunuh yang kemudian terus disusul beberapa pembunuhan lainnya. Semuanya yang mati dengan leher hampir buntung adalah laki-laki. Dari luka di lehernya, aku tahu kalau Lestari yang melakukan itu semua. Dia tidak akan memilih-milih korbannya. Bahkan ayahnya sendiri ikut menjadi korban. Semakin hari, dia semakin haus darah. Dan aku jadi takut untuk bertemu lagi dengannya, Kakang,” kata Randini lagi.

Rangga hanya diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Memang terasa sangat aneh, semua orang diceritakan Randini barusan. Lestari seperti bukan lagi manusia. Dan semua itu terjadi setelah masuk ke dalam goa di dalam hutan. Sementara, Randini juga tidak meneruskan ceritanya. Dia terdiam dengan wajah kelihatan tenang, seakan sebagian beban yang selama ini disandangnya sudah terlepas dari pundaknya. Dan malam terus merayap semakin bertambah larut.

“Kembalilah ke kamarmu, Randini. Sudah terlalu malam. Tidak enak nanti kalau ibumu tahu,” kata Rangga lembut.

“Kakang..., kau janji tidak akan mengatakannya pada orang lain,” ujar Randini meminta kepastian.

Rangga tersenyum dan mengangguk.

“Terima kasih, Kakang. Hanya padamu ini semua kuceritakan. Karena aku tahu, kau adalah pendekar digdaya.”

“Kau bisa mempercayai aku, Randini.”

Randini tersenyum, kemudian bangkit berdiri. Lalu dia melangkah keluar dari kamar ini. Tapi baru saja kakinya sampai di ambang pintu, mendadak saja....

Wusss...!
“Heh?! Awas...! Hup!”

Rangga cepat melompat begitu melihat sebuah benda meluncur cepat bagai kilat, menerobos dari jendela. Sigap sekali Pendekar Rajawali Sakti menubruk tubuh Randini, hingga mereka jatuh bergulingan bersama-sama.

“Akh...!” Randini jadi terpekik.

Tubuh mereka yang terus bergulingan, hingga punggung Rangga sampai menabrak meja hingga hancur berantakan.

“Hup...!” Rangga cepat melompat bangkit berdiri. Dan suara gaduh itu rupanya mengagetkan semua orang yang ada di rumah ini. Dan di saat Rangga melompat mendekati jendela, Pandan Wangi muncul, diikuti Nyi Gembur.

“Ada apa...?” seru Pandan Wangi bertanya.

“Randini...?!” Nyi Gembur tersentak kaget melihat anak gadisnya tergeletak meringis di lantai, di antara pecahan meja kayu yang tadi terlanda punggung Rangga.

“Pandan, kau jaga mereka,” kata Rangga.

“Hup...!”
“Heh...?!”

Pandan Wangi jadi tersentak kaget tidak mengerti. Tapi baru saja membuka mulutnya, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat, keluar dari kamar ini melalui jendela. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Sementara, Pandan Wangi jadi termangu sesaat, tapi cepat menghampiri Randini yang tengah berusaha berdiri dibantu ibunya.

“Aduh...,” Randini mengeluh, merasakan sakit pada pinggangnya. Memang keras sekali Randini jatuh tadi. Tulang-tulang pinggangnya terasa remuk. Pandan Wangi bergegas membantu Nyi Gembur memapah Randini, kemudian membaringkannya ke tempat tidur kayu di kamar ini. Randini masih meringis merasakan sakit. Dan Pandan Wangi segera memeriksa tubuh gadis ini. Ternyata yang didapat luka memar di bagian belakang pinggang Randini, dan tidak ada luka lain yang mengkhawatirkan.

“Tidak apa-apa, Nyi. Berikan saja obat balur. Besok juga sudah sembuh,” jelas Pandan Wangi tentang keadaan Randini.

“Apa yang terjadi, Randini? Kenapa kau malam-malam ada di kamar ini...?” tanya Nyi Gembur langsung meminta penjelasan.

“Sudahlah, Nyi. Biarkan Randini istirahat dulu,” ujar Pandan Wangi mencoba menengahi.

Nyi Gembur kelihatan tidak puas. Tapi perempuan gemuk itu menurut saja, saat Pandan Wangi mengajaknya keluar dari kamar ini, setelah menutup jendelanya. Sementara, Randini masih terbaring di atas ranjang kayu ini. Gadis itu kelihatan seperti tidur pulas, setelah Pandan Wangi memberi satu totokan di bagian atas dadanya. Tidak lama Pandan Wangi kembali ke kamar itu, dan langsung membebaskan totokannya.

“Oh....” Randini mencoba bangkit duduk, tapi jadi meringis. Pandan Wangi membantu gadis itu duduk bersandar di pembaringan, lalu kemudian duduk di tepi ranjang ini.

“Masih terasa sakit?” tanya Pandan Wangi.

“He-eh...,” sahut Randini sambil meringis.

“Mana yang sakit?”
“Ini..., pinggangku.”

“Hanya luka memar. Besok juga sudah sembuh.”
Randini hanya mengangguk saja.

“Randini, apa yang terjadi? Kenapa kau sampai jatuh tadi?” tanya Pandan Wangi lembut.

“Aku..., oh! Tidak..., tidak apa-apa. Tadi, aku hanya terpeleset,” sahut Randini agak tergagap.

“Lalu, kenapa kau ada di sini?”

“Aku..., aku tadi ke belakang sebentar. Lalu, aku melihat Kakang Rangga belum tidur dan akan menanyakannya, tapi....”

“Sudahlah, Randini. Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Baringkan tubuhmu. Biar kupijat bagian yang sakit,” kata Pandan Wangi langsung bisa mengerti.

Tapi pengertian Pandan Wangi lain. Rangga memang tampan, sehingga sudah tidak heran lagi kalau gadis-gadis ingin dekat dengannya. Terlebih lagi, gadis muda seperti Randini ini. Pandan Wangi memang tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Dan dia hanya menduga kalau Randini ingin mengenal Rangga lebih dekat lagi, hingga malam-malam mendatangi kamarnya. Tapi begitu melihat meja yang hancur, Pandan Wangi jadi berkerut juga keningnya.

“Hm.... Apa yang terjadi sebenarnya...? Mustahil kalau Kakang Rangga tergoda dan ingin.... Ah, tidak! Tidak mungkin...,” Pandan Wangi bicara sendiri dalam hati. Berbagai macam dugaan berkecamuk dalam kepala si Kipas Maut. Namun dugaan-dugaan buruk itu berusaha diusirnya. Pandan Wangi hanya bisa berharap Rangga mau menjelaskannya nanti kalau sudah kembali.

***