Jaka Sembung 3 - Menumpas Bergola Ijo(2)


Di saat itu dalam masjid Gunung Sembung, Parmin duduk bersila sendirian seusai berzikir. Sementara orang-orang muslim yang tinggal di sekitar masjid itu mulai banyak berdatangan untuk turut melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Tak ketinggalan Kiyai Subekti Achmad yang pertama kali memasuki masjid tersebut. Ia agak terperanjat melihat seorang pemuda duduk bersila dengan tenang tanpa merasa terusik oleh kehadirannya. Dalam hatinya bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda pendatang itu? Parmin sendiri merasakan adanya orang-orang yang mulai duduk berjajar membuat saf di sekitarnya.

"Hm... baru sekarang aku bertemu dengan penduduk desa ini. Sejak tadi aku cuma duduk sendirian saja di sini! Tapi... apakah mereka cuma shalat maghrib saja? Tadi siang tak kulihat mereka!" tanya Parmin dalam hati.

Kemudian Kiyai Subekti bersama murid kesayangannya melintas di hadapan dan melirik ke arahnya. Parmin memperhatikan orang tua berjanggut putih itu dengan seksama. Cara meliriknya terasa tajam seperti menguliti dirinya bulat-bulat. Langkahnya pelan tapi mantap menandakan ia seorang jago silat yang berilmu tinggi.

"Guruku, Ki Sapu Angin pernah mengatakan bahwa di daerah Gunung Sembung ada seorang alim ulama dan guru silat yang sangat termasyur! Aku rasa inilah orangnya!" gumam Parmin.

Setelah beberapa langkah melewatinya, Parmin diam-diam mendengar bisikan orang tua itu kepada muridnya.

"Siapakah anak muda yang duduk di belakang itu, Anwar? Tampaknya ia orang yang berisi!"

"Aku tidak tahu, Pak! Semua penduduk desa ini kukenal satu persatu. Barangkali ia seorang musafir!" sahut muridnya sambil menatap Parmin. Mereka berjalan beriringan diikuti oleh para ulama lainnya menuju saf yang terdepan.

Parmin lalu beringsut dari duduknya turut berjalan mengikuti mereka untuk membentuk saf demi saf. Ia kagum terhadap orang tua itu karena penglihatannya sangat tajam. Parmin berdiri di antara deretan jamaah dalam masjid itu.

"Hm... orang tua dan pemuda itu berdiri tepat di belakang imam. Aku akan ambil tempat dekat mereka!" ucapnya pelan sambil mengayunkan langkahnya mengisi tempat yang kebetulan kosong di sebelah kanan Kiyai Subekti.

Shalat maghrib telah dimulai. Suasana hening syahdu menyelimuti mereka. Masing-masing memusatkan pikirannya ke hadirat Allah penuh kekusyukan. Tetapi bagi seorang jago silat tentu mempunyai kelebihan naluri untuk bisa menangkap hal-hal yang terjadi disekelilingnya. Pada saat rakaat kedua Parmin merasakan adanya gelagat buruk yang akan menimpa mereka. Ketika Kiyai Subekti mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan takbir yang sengaja diperkeras. "Allahu Akbar!"

Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hijau menyambar orang tua itu dengan cepat. Tetapi Kiyai Subekti telah melesat lebih cepat dari serangan gelap itu. Sedangkan muridnya Anwar melejit ke atas dan meliuk ke samping kanan sambil berteriak. Dan Parmin yang berada di sebelah Kiyai Subekti hanya mengelak ke samping pilar masjid berlawanan arah dengan arah datangnya serangan tak terduga itu. Ia menyilangkan tangannya di dada siap-siaga.

Sementara Kiyai Subekti Achmad dengan kecepatan yang tidak dapat ditangkap oleh mata orang-orang biasa terbang keluar masjid ke pelataran sambil bersalto di udara mengalihkan perhatian bayangan hijau agar tidak mengganggu shalat jamaah lainnya. Begitu cepat kejadian itu sehingga mereka tidak mengetahui bahwa Kiyai Subekti telah hilang dari tempatnya, kecuali Parmin dan Anwar.

Parmin hanya memperhatikan semua itu dengan tenang tanpa peduli. Lalu ia kembali ke dalam saf melanjutkan shalat yang telah dibatalkannya. Pertarungan itu dilanjutkan di luar pekarangan masjid. Kiyai Subekti berusaha mengimbangi serangan yang dilancarkan bayangan hijau itu terhadap dirinya secara beruntun. Dengan satu gerakan yang cepat bayangan hijau itu melesat ke sana ke mari seperti sebuah meteor. Sinar hijau terlihat berkelebat kian ke mari menjelajahi pekarangan masjid. Dan Anwar yang melihat gurunya sedang bertarung menghadapi serangan bayangan hijau itu segera melompat terjun untuk membantu Kiyai Subekti. Tetapi bayangan hijau itu melayang lenyap ke dalam semak-semak di sebelah masjid begitu Anwar mendaratkan kakinya di atas tanah menengahi pertarungan mereka. Hanya bias warna hijau yang tersisa melintas areal pekuburan itu. Kiyai Subekti hanya dapat mengikuti arah tubuh itu bergerak hilang dengan pandangan matanya tanpa dapat mengejarnya.

"Hebat! Hebat! Datang dan pergi seperti kilat menyambar! Aku yang sudah tua bangka ini sangat kagum dengan ketangkasannya yang luar biasa. Tetapi sangat disesalkan... ia terlalu licik!" umpat Kiyai Subekti sambil menurunkan kedua tangannya yang menyilang diatas kepalanya. Ia menghela nafas dan membetulkan letak kain sarungnya yang miring.

Anwar mendekati gurunya dengan wajah cemas. Keringatnya mengalir membasahi keningnya. Nafasnya bergemuruh.

"Siapa dia, Pak? Dan mengapa bermaksud membunuhmu?" tanya Anwar sambil menyeka keringat.

Pak Kiyai memalingkan wajahnya. "Seingatku aku tidak pernah mempunyai musuh. Mungkin ia seseorang yang datang dari jauh hanya untuk menguji kemampuan ilmu silatku atau ada alasan lain! Ah... sudahlah. Mari kita kembali ke dalam masjid!" ucap Kiyai Subekti mengajak muridnya.

Kemudian mereka berdua berjalan untuk mengambil air wudhu lagi melanjutkan shalat maghribnya yang tadi terputus.

Orang-orang yang berada di dalam seusai shalat berhamburan keluar melihat apa yang telah terjadi terhadap diri Kiyai Subekti Achmad. Sedangkan Parmin tetap duduk bersila membaca doa wirid dan tinggal sendirian di dalam masjid. Dan Kiyai Subekti hanya tersenyum ketika mereka bertanya tentang kejadian tadi. Ia menjelaskan bahwa ada seseorang yang menginginkan kematiannya. Tetapi Kiyai Subekti memperingatkan kepada rekan-rekannya agar selalu waspada terhadap rongrongan yang sewaktu-waktu datang mematahkan semangat perjuangan mereka.

Dalam malam ini Parmin terpaksa tidur di dalam masjid. Malam berganti pagi. Sang surya memancarkan cahayanya ke seluruh alam. Cakrawala di kaki langit sebelah timur berbesit sinar kemerah-merahan. Kokok ayam dan kicau burung bersahut-sahutan dengan riuhnya menyambut datangnya pagi. Kabut sebagian menyelimuti daerah Gunung Sembung dan sekitarnya.

Parmin berjalan menyusuri kampung Gunung Sembung mencari sekedar makanan untuk sarapan pagi. Dalam hatinya timbul niat untuk tinggal beberapa hari lagi di sini karena ia tertarik pada peristiwa yang telah dialami oleh Kiyai Subekti yang juga pernah dialaminya kemarin. Parmin merentangkan kedua tangannya kuat-kuat sambil menghirup udara segar pagi ini. Ia berlari-lari kecil menelusuri jalan setapak sampai di pinggir kampung mendadak sontak langkahnya terhenti karena melihat suatu perubahan yang telah terjadi di kampung tersebut.

"Aneh, hari ini menjadi kebalikan dari hari kemarin! Sekarang orang-orang justeru banyak berkeliaran di luar rumah! Ada apa gerangan?" tanya Parmin heran dalam hati.

Ia memperhatikan orang-orang kampung Gunung Sembung berduyun-duyun keluar dari rumahnya masing-masing bersama sanak keluarganya. Gadis-gadis remaja berpakaian kebaya berwarna-warni bercanda ria dengan sesama temannya berjalan beriringan menuju suatu tempat. Sepertinya mereka sedang mengadakan suatu perayaan. Tua-muda, besar-kecil, semuanya berbaur menjadi satu membentuk sebuah barisan seperti karnaval.

Parmin mengernyitkan dahinya. "Dan... lihat! Wajah mereka berseri-seri! Tidak ada rasa takut tergores di wajah mereka seperti kemarin. Aneh!"

Memang seluruh penghuni kampung Gunung Sembung dilanda suka-ria beban yang telah seakan-akan ini menghimpit mereka akhir-akhir lepas begitu saja pada hari ini. Dari jauh terlibat gerombolan para pemain gamelan lengkap dengan pakaian pertunjukkannya turut mengiringi barisan itu dengan meriahnya. Barisan dipimpin oleh seorang laki-laki tua itu terus berjalan menuju ke suatu tempat. Sepertinya mereka mengadakan pesta panen padi atau yang sejenisnya.

Parmin segera berbaur ke dalam barisan itu mengikuti arus manusia entah ke mana. Di dalam otaknya penuh oleh seribu pertanyaan. Melihat dari dandanan para gadis desa dan segala jenis makanan berhias yang dibawahnya agaknya mereka menuju ke suatu perayaan perkawinan. Tetapi Parmin tetap tidak mengerti.

"Aneh sekali kelakuan penduduk desa ini! Bukankah mereka kemarin seperti berkabung. Tapi hari ini mereka malah mengadakan pesta Apa artinya semua ini?"

Parmin lalu memperlambat langkahnya agar dapat mengikuti barisan itu dari belakang, dan pada persimpangan jalan ia sengaja menyelinap memotong jalan meninggalkan barisan itu. Pemuda itu segera memasuki suatu daerah di dalam hutan dan di sana Parmin lebih heran lagi menyaksikan suatu pemandangan yang terpampang di hadapannya.

Di sebuah pohon beringin yang sangat besar dengan akar-akar gantungnya menjuntai sampai ke bawah, terlihat orang-orang berkumpul membakar kemenyan dan meletakkan berbagai macam sesajian. Dari mulai kembang tujuh warna sampai ayam panggang tersedia rapi dipenuhi hiasan dan buah-buahan. Mereka semuanya bertelanjang dada duduk bersila dengan teratur dengan kain lurik membalut tubuhnya dengan perut sampai ke lutut yang mempunyai satu lipatan tepat didepan pangkal pahanya masing-masing. Kepala mereka semuanya diikat dengan kain yang serupa.

Parmin berjalan mendekati orang-orang itu dan memperhatikan segala perbuatan mereka.

"Apa-apaan ini? Mereka menyembah pohon! Gila!" kutuknya pelan sambil berdiri tegak di belakang mereka.

Tiba-tiba salah seorang pimpinan mereka menaburkan bubuk kemenyan di atas pedupaan yang sudah dipenuhi bara api. Asap mengepul dari pedupaan itu menyebarkan aroma kemenyan menyelimuti udara disekitarnya. Tubuh orang itu bergetar hebat. Sepertinya ia kesurupan. Matanya mendelik. Giginya gemeretuk keras. Suaranya menggeram. Seluruh wajahnya merah padam. Setelah sekian lama dalam keadaan begitu, perlahan-lahan orang itu lemas sambil menundukkan kepalanya terdiam. Kemudian tegak kembali. Matanya terpejam. Kedua tangannya dirapatkan menempel pada dadanya. Mulutnya bergerak komat-kamit membaca mantera. Dan para pengikutnya di belakang turut merapatkan tangannya di dadanya masing-masing sambil memejamkan mata memusatkan pikiran.

"Gusti Bergola Ijo, ampunilah kami yang terlambat mengadakan pesta dan mempersembahkan sesajian ini!" kata orang itu sambil menaburkan bubuk kemenyan ke dalam pedupaan di sebelah kanannya. Asap kemenyan kembali mengepul. "Kini permintaan gusti telah kami penuh semuanya. Semoga gusti tidak murka lagi dan mohon berkah untuk kami sekalian!" lanjutnya sambil membaca mantera.

Kepala orang itu terangguk-angguk diikuti oleh para pengikutnya.

Parmin menggeleng-gelengkan kepalanya. "Masya Allah! Mereka menempuh jalan sesat!"

Tanpa bicara sepatah katapun, ia langsung menganyunkan langkah menuju tempat di mana suara gamelan berkumandang meninggalkan orang-orang sesat itu. Dari jauh terlihat kerumunan orang banyak memenuhi alun-alun. Suara gamelan terdengar keras seperti mengiringi suatu pertunjukan. Parmin segera mendekat. Ternyata para penduduk sedang menikmati sebuah pertunjukan wayang kulit. Dengan dalangnya yang sangat terkenal di daerah Cirebon dan sekitarnya yakni Ki Dalang Ambet.

Para penduduk berjubel saling berdesak-desakan ingin menyaksikan pertunjukan itu dari dekat, karena pesta yang demikian jarang sekali di selenggarakan sehingga mereka bersemangat untuk saling berebut tempat orang menonton di barisan paling depan. Sebagaimana dikatakan orang bahwa wayang kulit adalah suatu kesenian yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, maka setiap ajaran-ajaran Islam selalu diselipkan dalam setiap pertunjukkan wayang kulit.

Parmin berdiri agak ke tengah-tengah kumpulan orang-orang. Ia juga sangat menyukai pagelaran wayang kulit. Tabuhan gamelan mulai perlahan-lahan berkumandang menandakan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Dalang Ambet melagukan tembang pembuka dengan manis sekali membuat penonton seolah-olah terpaku tanpa bergerak sedikit pun mendengarkan tembang itu.

Dalang Ambet selain dikenal sebagai dalang, ia juga dikenal sebagai seorang alim ulama yang disegani. Oleh karena itu dalam setiap lakon yang didalanginya selalu bernilai unsur-unsur keagamaan dan keTuhanan sesuai dengan ajaran agama Islam. Banyak orang menyukai pertunjukannya sehingga mereka yang tinggal jauh dari tempat pertunjukan itu rela menempuh perjalanan jauh untuk menyaksikannya.

Tak berapa lama kemudian Dalang Ambet sudah mulai menggelarkan lakon wayang kulitnya dengan semangat. Tangan kanannya memegang tokoh Arjuna sedangkan tangan kirinya memegang tokoh Kresna. Ki Dalang tak henti-hentinya bersuluk dengan bahasa Jawa kuno yang merupakan syair pengantarnya. Ia lalu menancapkan kedua tokoh wayang itu di kedebok pisang yang terpampang di depannya, saling berhadap-hadapan dimana Kresna berdiri tegak sedangkan Arjuna dalam posisi agak condong ke depan merendah. Terdengar Ki Dalang Ambet bercerita disusul dengan dialog.

"Wahai adikku Dipati Arjuna, camkanlah dalam sanubarimu bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah!" kata Ki Dalang sambil mengaungkan tangan tokoh Kresna seakan-akan sedang memberi petunjuk.

"Janganlah engkau menyembah pohon-pohon, gunung, laut, bumi, bulan, matahari, jin ataupun manusia! Karena semua itu diciptakan oleh Allah. Kakanda merasa sedih dan prihatin terhadap manusia didunia ini yang telah mulai mengingkari agama Tuhan. Mereka semua sekarang menyembah seorang jin yang mereka menamakan Bergola Ijo!" ujar Ki Dalang Ambet berapi-api.

Secara tak langsung ia telah mengingatkan para penduduk akan kemungkaran yang telah mereka lakukan selama ini.

Belum habis Sang batara Kresna memberi wejangan kepada Adipati Arjuna, tiba-tiba wajah Ki Dalang Ambet berubah menjadi biru mengerikan menahan rasa sakit yang meletup-letup dari dalam tubuhnya. Bibirnya bergetar kuat. Matanya melotot.

"Hoak...!"

Dari mulutnya menyembur darah kental kehitam-hitaman membasahi wayang kulit yang berdiri tegak di hadapannya. Tubuhnya berkelejat-kelejat dan langsung ambruk menimpa peralatan gamelan di belakangnya. Tangannya mengejang keras sambil memegangi perutnya. Sekujur tubuhnya meregang sejenak dan akhirnya diam tak berkutik untuk selama-lamanya.

Seketika itu juga orang-orang menjadi panik bukan main. Para pemain gamelan berhamburan di atas panggung menabrak segala peralatannya sehingga menimbulkan suara yang gaduh semrawut. Orang-orang yang menyaksikan pertunjukan itu berlarian ke sana ke mari menyelamatkan diri masing-masing karena mereka percaya kutukan Sang Bergola Ijo menjadi kenyataan dan mereka tidak mau jadi korbannya.

Sedangkan Parmin sendiri langsung melesat hilang kembali ke masjid.

Mau tidak mau pertunjukkan wayang kulit itu terpaksa dihentikan. Jenazah Ki Dalang Ambet kemudian dibawa ke madrasah Kiyai Subekti Achmad untuk diurus. Para ulama lainnya datang berkumpul di dalam madrasah menyatakan rasa bela sungkawa. Mereka duduk bersila mengelilingi jenazah Ki Dalang Ambet yang sudah ditutupi sehelai kain putih.

"Innalillahi wainnailaihi rojiun! Semoga arwah almarhum mendapatkan tempat yang layak di alam baka. Almarhum telah menunaikan kewajiban suci! Almarhum telah mati syahid!" kata Kiyai Subekti memimpin doa bagi arwah Ki Dalang Ambet.

Mereka semalaman melaksanakan tahlil, setelah sore itu juga jenazah Ki Dalang Ambet dikebumikan. Satu lagi korban telah jatuh akibat ulah Bergola Ijo. Mereka telah kehilangan seorang alim ulama yang cukup disegani dan selalu berjuang menyebarkan agama Islam melalui wadah keseniannya. Daerah Gunung Sembung dan Gunung Jati telah kehilangan seorang seniman besar. Namun kematian Ki Dalang Ambet justru membuat para alim ulama semakin bertekad untuk menegakkan ajaran agama. Satu hilang esa terbilang.

Sejak peristiwa mengerikan itu, rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya semakin takut kepada Bergola Ijo. Sebaliknya para pengikut Bergola Ijo semakin bertambah jumlahnya. Mereka menjadi kafir dan murtad! Kematian Ki Dalang Ambet telah membuktikan bahwa barang siapa menentang Sang Bergola Ijo akan bernasib seperti itu.

***

Hari mulai gelap. Bulan bersinar redup seolah-olah turut berduka cita terhadap kematian seorang ulama. Suasana desa Gunung Sembung terlihat sunyi-senyap. Tak ada seorangpun penduduk yang berani menampakkan diri di luar. Mereka lebih suka berdiam diri di dalam rumah. Rasa takut akan kutukan Sang Bergola Ijo yang setiap saat mengancam telah tertanam kuat dalam dalam keyakinan mereka. Hanya kelelawar yang berani muncul terbang di udara dengan kepak sayapnya yang terdengar menyeramkan dan tembang serangga-serangga malam selalu setia menemani tugas sang bulan di langit.

Dalam malam ini adalah malam yang kedua Parmin menginap di masjid Gunung Sembung. Sampai saat ini belum berhasil memecahkan misteri yang sedang menyelubungi desa Gunung Sembung dan sekitarnya.

Pada malam itu ia sedang duduk merenung sendirian bersandar dengan kedua tangan dilipat sebagai bantalan kepala di sebuah pilar dalam masjid itu. Kakinya ia rentangkan lurus-lurus. Matanya memandang ke atas langit-langit masjid seakan-akan ia coba bertanya kepada saksi-saksi bisu yang ada di sekitarnya. "Aku tak habis pikir terhadap penduduk desa ini, mengapa begitu mudah dipengaruhi faham asing? Mungkinkah semua umat manusia akan berubah menjadi kafir? Ah, tidak! Tidak! Tidak ada kekuatan apapun yang mampu menentang kekuasaan Tuhan! Allahu Akbar! Tuhan Maha Besar! Maha Kuasa!" ucap Parmin memuji kebesaranNya.

Berdasarkan rangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ia dapat menarik kesimpulan bahwa antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya saling berkaitan. Semunya hampir memiliki persamaan yaitu menyangkut Bergola Ijo yang mereka sebut-sebut sebagai jin penguasa desa Gunung Sembung dan sekitarnya.

Sementara itu malam semakin larut. Kabut mulai turun perlahan-lahan menyelimuti kaki bukit Gunung Sembung. Para penduduk desa telah tertidur dengan lelap dibuai mimpi. Angin bertiup kencang membawa embun malam yang membuat ngilu tulang-tulang sum-sum. Tapi hal itu sama sekali tak dirasakan Parmin yang sedang tenggelam dalam pikirannya. Tiba-tiba ia tersentak dari lamunannya. Ia mendengar langkah-langkah halus di belakang masjid. Parmin segera memusatkan panca inderanya.

"Suara orang berjalan di belakang masjid. Sangat mencurigakan! Aku harus melihatnya!" desahnya sambil meningkatkan pendengarannya menangkap sumber suara itu.

Secepat kilat Parmin melompat keluar dari masjid dan melesat tanpa menimbulkan suara menuju datangnya langkah-langkah itu. Ia bersembunyi di balik sebuah pohon besar di tengah pekuburan. Maka terlihat olehnya dua orang berjalan di antara nisan-nisan kuburan sambil berbisik- bisik.

"Pekerjaanmu tadi siang berhasil memuaskan, Warto! Majikan kita Bergola Ijo pasti merasa senang dan itu berarti hadiah satu hektar sawah untukmu!"

"Ya, waktu ada perayaan aku berpura-pura jadi tukang antar minuman. Dan racun itu kutuangkan ke dalam gelas minuman Dalang Ambet sial itu!"

Kedua orang itu ternyata adalah kaki tangan Bergola Ijo. Seorang laki-laki tua dengan sorot mata yang tajam memandang puas pada Warto temannya yang bermulut monyong dengan kumis lebatnya yang tumbuh menutupi kedua bibirnya yang tebal.

Laki-laki tua itu rupanya tak lain adalah orang yang kemarin bertemu Parmin di pelataran masjid saat ia sedang mengambil air wudhu siang hari. Parmin memperhatikan keduanya dengan geram. Tak terasa tangannya mengepal keras.

"Hm, ternyata mereka adalah manusia-manusia licik dan keji!" maki Parmin dalam hati dan tak ia sadari dahan pohon di dekatnya patah oleh remasan tangannya.

Setelah menyeberangi jalan perintis buatan Kumpeni Belanda, kedua orang itu berjalan menuju Gunung Jati yang letaknya berada di sebelah timur Gunung Sembung dan Parmin terus mengikutinya tanpa suara.

"Ah, satu hektar sawah itu tak seberapa! Kau tentunya lebih kaya karena kepandaianmu sebagai dukun palsu penyambung lidah Bergola Ijo! Ya, kan?"

"Huh, apaan! Satu kali aku pura-pura kesurupan dan mengoceh makan asap pedupaan serta menelan setengah kilo kemenyan, upahku cuma dua ekor kerbau. Sial!"

"He... hei, jangan berkata begitu! Nanti kau jadi korban tajamnya senjata pengait Bergola Ijo, baru tahu rasa kau!"

Suasana hening sejenak. Kedua orang itu terus saja berjalan menelusuri jalan berundak-undak dengan hamparan kuburan berderet-deret dikiri-kanannya, menuju ke puncak Gunung Jati. Nafas mereka terdengar ngos-ngosan karena menempuh jalan menanjak dan berliku-liku sedemikian rupa.

Parmin mengendap-endap di sela-sela pekuburan sambil terus mengikuti mereka. Sekali-sekali suara cicit kelelawar mengejutkan ke dua orang itu dan pendekar muda dari pantai Eretan itu.

"Seorang telah mampus! Yang lainnya tentu menunggu giliran untuk menyusul!" seru Warto memecah kesunyian itu sambil mendengus.

"Dengan matinya Dalang Ambet, maka tinggal seorang lagi musuh berat gusti Bergola Ijo yakni Kiyai Subekti!" sahut laki-laki tua itu meringis.

Pembicaraan itu membuat Parmin mengerti akan duduk persoalan yang selama ini masih melekat dalam otaknya. "Oh, rupanya orang yang berpakaian serba hijau itulah yang mereka sebut sebagai Bergola Ijo!"

Sampai di puncak bukit Gunung Jati, dua sosok tubuh itu lenyap begitu saja dari pandangan Parmin. Ia lalu segera memburu mereka. Parmin kehilangan jejak. Matanya mengamati seluruh tempat ketika kedua orang tadi lenyap.

"He, kemana mereka? Apakah mereka mempunyai ilmu sihir sehingga dapat lenyap dari pandangan mata? Ah, tidak mungkin! Tapi... apakah itu? Sepertinya sebuah lubang gua. Mungkin mereka masuk ke dalamnya!" ujar Parmin penuh harap.

Tanpa pikir panjang lagi ia segera merosot turun menghampiri mulut sebuah gua yang letaknya tersembunyi dengan semak-semak yang tumbuh hampir menutupi mulut gua tersebut. Akar-akar pohon menjuntai ke bawah menghalangi pintu gua itu. Parmin lantas menyibak semak-semak yang sebagian berduri itu dengan perlahan-lahan. Matanya tetap memantau tempat itu dengan cermat untuk menjaga kemungkinan adanya perangkap rahasia yang mungkin sengaja dipasang di mulut gua tersebut.

Merasa aman, Parmin mulai memasuki mulut gua itu. Lubang gua itu ternyata kecil sekali, hanya dapat dimasuki seorang saja dan ia terpaksa harus berjongkok untuk menelusurinya. Dinding gua penuh ditumbuhi lumut basah sehingga lorongnya menjadi licin. Parmin melangkah dengan hati-hati sekali.

"Hm... biarlah aku terus masuk ke dalamnya! Mungkin di sinilah sarang Bergola Ijo itu! Dua orang tadi tentunya pembantu yang bertindak sebagai perantara untuk mengelabui penduduk desa. Sungguh licin cara penipuan mereka! Tetapi atas dasar apa mereka melakukan semua itu? Harus kuselidiki!" gumam Parmin sambil bergerak maju terus menjajaki lorong gua itu.

Setibanya di dalam, gua itu semakin lebar. Tanpa mengenal lelah Parmin terus merayap semakin jauh ke dalam. Udara mulai terasa hangat. Berarti di dalam gua ini terdapat sumber api.

"Betul! Seperti ada cahaya api dari dalam sana! Aku harus berhati-hati jangan sampai tertangkap basah!" desahnya sambil terus merayap.

Dalam keremangan cahaya yang terpancar dari sebuah tempat, di sekitar lantai gua itu terlihat pemandangan yang sangat menyeramkan. Tengkorak kepala manusia banyak berserakan di atas batu-batu runcing yang berlumut. Di langit-langit dan di dasar gua terdapat stalagnit dan stalagtit yang menambah suasana seram dalam gua tersebut.

Parmin terus menelusuri liku-liku gua itu mendekati arah datangnya cahaya yang memancar. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang yang bernada berat dan serak menggema ke seluruh relung gua. Terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar duduk bersila di atas sebuah batu pipih yang berbentuk altar dengan angkuhnya sambil menatap kedua orang yang tadi dikuntitnya, duduk berhadapan dengan orang tersebut. Ditengah-tengah mereka menyala kobaran api besar dari dalam sebuah kuali yang terbuat dari kuningan berukir. Di sebelah orang yang bertubuh besar itu duduk seorang pemuda dengan kumis tipis di atas bibirnya. Alisnya tebal dan mengenakan ikat kepala kain putih. Wajahnya cukup tampan. Sepertinya ia murid Bergola Ijo.

"Hm, itulah orang yang pernah coba-coba membunuhku di dalam masjid!" gumam Parmin menggeser kaki kanannya yang mulai terasa kesemutan karena berdiri dengan posisi kaki yang setengah berlutut.

Rupanya Sang Bergola Ijo sedang mendengarkan kerja kedua orang pembantunya. Ia tersenyum lebar. Giginya yang besar berderet tampak menyeringai seram.

"Bagus! Bagus! Rancana kita hampir berhasil! Pemerintah Kumpeni Belanda akan memberikan penghargaan kepada kita! Ha ha ha ha!" suara tawanya menggaung menggetarkan seluruh dinding gua itu.

Parmin mengatur nafas menahan getaran tenaga dalam yang merasuki telinganya yang terpancar melalui suara tawa itu. Batu-batu kecil rontok dari atas dinding karena tidak kuat menahan getaran tersebut.

Tiba-tiba Bergola Ijo menghentikan tawanya. Seluruh tubuhnya seketika berubah menjadi hijau. Matanya merah saga menahan amarah yang sedang bergejolak di dalam tubuhnya. Kumisnya bergerak-gerak mengikuti gerak mulutnya yang menggeram dengan suara gigi yang menggerutuk keras.

Satu-persatu pembantunya ditatap dengan sorot mata yang tajam. Mereka tak berani membalas tatapan majikannya yang terkenal sangat ganas dan tak segan-segan membunuh bagi siapa saja yang membangkangnya. Kedua orang itu harus menundukkan kepalanya karena mereka ngeri terhadap Sang Bergola Ijo.

"Orang-orang berotak cerdik dan kuat keagamaannya seperti Dalang Ambet harus mampus terlebih dahulu! Sayang Kiyai Subekti Achmad belum berhasil kukirim ke akhirat! Tetapi aku bersumpah suatu saat nantinya dia pasti menyusul Dalang itu!" dengus Bergola Ijo. Tangan kanannya yang berbentuk senjata pengait diacung-acungkannya.

"Tahukah kalian, mengapa orang-orang seperti itu harus dilenyapkan dari muka bumi ini? Karena mereka merupakan otak dan panutan bagi masyarakat di sekitarnya. Otak yang seperti itulah yang kelak menjadi pemimpin dan memupuk serta mengobarkan semangat jiwa patriot rakyat agar bersatu untuk memberontak terhadap Pemerintah Kumpeni Belanda. Ini yang harus kita cegah mulai sekarang! Dan atas perjuangan saudara-saudara. Pemerintah Kumpeni Belanda akan memberikan imbalan berupa harta kekayaan dan pangkat jabatan untuk saudara-saudara!" sambung Bergola Ijo membesarkan hati para pembantunya agar tetap bersemangat mengadakan infiltrasi dan agitasinya.

Maka semangat mereka pun kembali berkobar-kobar seperti kobaran api di dalam anglo besar di hadapan mereka.

"Dan tahukah kalian! Bahwa daerah Gunung Sembung Dan Gunung Jati adalah daerah yang akan menjadi pelopor pemberontakan di karesidenan Cirebon ini? Karena Pemerintah Kumpeni Belanda tahu bahwa seluruh rakyat Gunung Sembung adalah pemeluk agama Islam yang sangat kuat! Disinilah tempat berkumpulnya para alim ulama sejak abad kelima belas dan jalan satu-satunya untuk melemahkan semangat persatuan dan jiwa kepahlawanan itu ialah dengan jalan merontokkan iman mereka dan mengikis kepercayaan mereka terhadap agama. Dan lihatlah, kita telah berhasil! Mereka sebagian besar kini menyembah Bergola Ijo! Menyembah aku! Ha ha ha ha ha ... mereka sekarang menjadi kafir!"

Bergola Ijo tertawa bangga. Suara tawanya yang mengandung tenaga dalam yang besar kembali menggetarkan seluruh isi gua itu. Terdengar bergemuruh seperti hendak menggetarkan seluruh isi gua itu.

Sementara itu Parmin terus mendengarkan pembicaraan tersebut dengan seksama. Hatinya terbakar dan jiwa kesatriannya bergejolak. "Bangsat! Kini aku tahu betapa busuknya rencana mereka! Semuanya ternyata penipu jahanam! Bergola Ijo pantas saja dapat bergerak dengan leluasa melebarkan sayapnya karena di belakangnya berdiri Pemerintah Kumpeni Belanda! Orang seperti dia memang pantas menjadi makanan golokku!" geram Parmin.

Beberapa saat kemudian rapat rahasia itu dinyatakan bubar oleh Bergola Ijo. Tiba-tiba seorang pemuda yang sejak tadi duduk berdiam diri saja di samping Bergola Ijo beringsut menghadap gurunya duduk bersimpuh membuka suara. Bergola Ijo dapat menangkap gelagat perasaan muridnya.

"Apa yang hendak kau katakan, Barna?" tanyanya sambil menggeser tangan kirinya menumpu di atas pahanya.

"Pak Guru! Kiranya sudah tepat waktu bagiku untuk melampiaskan dendam kepada Anwar murid Kiyai Subekti itu, Pak Guru!" pinta Barna berharap.

Bergola Ijo mengernyitkan dahinya sejenak untuk berpikir. Ia melihat sinar mata muridnya mengharapkan izin darinya.

"Hm...baiklah, kuijinkan! Kepandaianmu sudah cukup untuk menandingi orang yang menjadi sainganmu dalam memperebutkan cinta. Tapi ingat, jangan kau ceritakan kepada orang-orang, siapa gurumu, mengerti? Aku datang jauh-jauh dari seberang lautan bukan cuma untuk membela kepentingan pribadimu! Aku bersedia mengajarkan sedikit kepandaianku hanya karena kau bersedia menjadi mata-mataku, mengerti kau, Barna?"

"Segala perintah Guru akan kujunjung tinggi, asalkan aku bisa mendapatkan anak gadis Kiyai Subekti itu!" sahutnya dengan mata yang berbinar-binar sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada orang yang bertubuh besar dihadapannya. Hatinya lega karena kini dapat restu dari gurunya.

Ternyata antara Barna dan Anwar terlihat masalah pribadi. Mereka berdua mencintai Ratna Zullifah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan Barna mengaku kalah dalam mendapatkan cinta Ratna yang lebih menyukai Anwar yang pendiam dan taat beribadah sesuai ajaran agama dibandingkan dengan dirinya yang bersifat berandalan dan selalu mengganggu anak gadis orang. Timbul rasa dendam yang membara dalam dirinya terhadap Anwar sehingga ia rela menjadi budak Sang Bergola Ijo. Sekarang saat balas dendam itu telah tiba!

Tiba-tiba Bergola Ijo menggeram keras memecah kesunyian dalam gua itu. Para pembantunya pun terperanjat. Keringat dingin mengucur membasahi kening mereka. Dalam hati mereka berdua menduga-duga tentu ada sesuatu yang membuat majikannya menggeram seperti itu. Pasti menyangkut masalah penting.

"Aku mau bertanya! Apakah kalian tahu siapa pemuda yang menginap di masjid akhir-akhir ini? Apakah dia termasuk dalam kelompok musuh kita? Jawab! Kalian harus tahu bahwa dia bukan orang sembarangan, mengerti?!" bentak Bergola Ijo pada kedua pembantunya.

Sementara itu Parmin sendiri terkesiap ketika dirinya disebut.

"Pak Guru, aku mengenal semua orang yang tinggal di Gunung Sembung dan Gunung Jati ini. Kurasa ia hanya seorang musafir yang kebetulan singgah untuk berziarah ke makam Sunan Gunung Jati atau makam pemuka agama lainnya, guru! Sepertinya dia tidak mempunyai hubungan terhadap persoalan kita!" sahut Barna penuh keyakinan diri.

Bergola Ijo percaya dengan keterangan yang diberikan oleh muridnya. Luapan amarahnya berangsur-angsur mereda. Demikian juga dengan Parmin, ia merasa lega karena dirinya tidak dicurigai oleh Bergola Ijo dan para pengikutnya.

"Syukurlah jika demikian. Itu berarti dia tidak akan merepotkan kita!"

"Ya, gusti! Dan menurut perkiraan kami besok atau lusa dia sudah berlalu dari sini!" ujar Warto dengan wajah berseri-seri. Hatinya lega, karena ia kuatir bila Bergola Ijo murka terhadap mereka apabila hasil kerjanya tidak berhasil. Majikannya tak segan-segan membunuh orangnya sendiri bila mengecewakan.

Untuk sementara Parmin segera meninggalkan gua itu karena ia tidak ingin tertangkap basah pada saat ia sedang mengintai. Parmin kembali ke masjid untuk melepaskan lelah. Sampai di sana ia langsung menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar yang berdiri kokoh tepat di tengah-tengah ruangan masjid dengan santai. Sebagian tubuhnya terbungkus kain sarung karena udara malam mulai terasa menusuk sendi-sendi tulangnya. Pikirannya masih dipenuhi oleh peristiwa yang baru saja dialaminya.

"Rencana Bergola Ijo itu bertentangan dengan tekad bangsaku! Maka merupakan tugasku untuk merintanginya. Tunggulah saat kehancuranmu!" ancam Parmin dalam hati.

Satu tugas lagi harus diselesaikannya. Dan tak terasa tubuhnya melorot dari sandarannya karena tak kuat menahan rasa kantuk yang menyerang dirinya. Tak lama kemudian terdengar suara dengkuran halus Parmin yang sudah tertidur pulas.

***