Jaka Sembung 7 - Lagu Rindu dari Puncak Ciremai(3)

Dengan tergopoh-gopoh Elang Sutawinata dalang ke pendopo di mana Sultan Kanoman telah menunggu dengan wajah bingung atas kejadian yang baru saja dialaminya.

“Ampun kanjeng Ratu, ada apakah gerangan hamba diminta menghadap Kanjeng Tuanku?” tanya Elang Sutawinata setelah menyembah hormat pada saudara tua yang juga sekaligus merupakan iparnya itu.

“Elang Sutawinata! Saat ini penjajah Kumpeni Belanda meminta kita untuk membayar pajak atas tanah keraton ini. Bagaimanakah pendapatmu?” tanya Sultan Kanoman Raden Agung Anom Wicaksana itu.

Elang Sutawinata tidak langsung menjawab, keningnya berkerut tanda ia sedang berfikir keras. Hatinya terbakar setelah mendengar betapa kurang ajarnya pihak Kumpeni Belanda yang telah lancang hendak memungut pajak atas tanah keraton yang merupakan lambang kebanggaan leluhur itu.

“Ampun Kanjeng Ratu, menurut pendapat hamba lebih baik paduka jangan menuruti kehendak penjajah Kumpeni Belanda, dan lebih baik kita diamkan saja karena tanah keraton ini merupakan lambang kedaulatan kita sebagai bangsa yang mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri!” jawab Elang Sutawinata tegas.

“Bagaimana kalau penjajah Belanda dalang menyerang keraton?” tanya Sultan Kanoman kembali dengan gigi gemeretak menahan amarah.

“Kita lawan penjajah Belanda itu dan minta bantuan pada Kanjeng Sultan Kasepuhan,” jawab Elang Sutawinata dengan cepat, ia memang belum mengetahui adanya perbedaan paham yang meruncing antara kedua orang Sultan di daerah Cirebon tersebut.

Mendengar jawaban Elang Sutawinata sebagai penasehat keraton, wajah Sultan Kanoman menjadi merah padam. Ia menjadi sangat gusar karenanya. Ternyata saran dari penasehat utamanya itu justru sependapat dengan Sultan Kasepuhan.

Hal ini telah membuat Sultan Kanoman menjadi marah bukan kepalang. Elang Sutawinata sama sekali tak mengetahui hal ini, karenanya ia hanya bisa memandang tak mengerti saja ketika Sultan Kanoman tiba-tiba meledak marah terhadapnya.

“Kau sama tololnya dengan Kangmas Kasepuhan! Mulai detik ini juga keluarlah kau dari tempat ini dan jangan pernah injak tanah keraton ini lagi! Cepat enyah dan pergi!!!” bentak Sultan Kanoman histeris sambil bertolak pinggang sambil membuang muka.

“Ampunilah kebodohan hamba, kanjeng Ratu,” kata Elang Sutawinata lirih dengan wajah tertunduk lesu. Ia tahu betul watak kakak iparnya itu yang tak pernah mau dibantah.

“Tidak! Tidaaakk.......! Kataku pergi, pergi! Aku sudah muak melihat wajahmu!” lanjut Sultan Kanoman sambil membelakangi Elang Sutawinata.

Tanpa berkata apa-apa lagi. Elang Sutawinata lalu melangkah gontai meninggalkan ruangan keraton untuk kembali ke rumahnya. Tinggallah Sultan Kanoman seorang diri sambil menahan marah dan bingung atas apa yang harus dilakukannya setelah itu.

Sesampai di rumah, Elang Sutawinata menjumpai istrinya yang sudah menunggu dengan tatapan mata yang sayu dan hati penuh tanda tanya apakah gerangan yang telah terjadi pada diri suaminya itu.

Dilihatnya suasana wajah suaminya sangatlah muram dan bertolak belakang dengan keadaannya kemarin malam.

“Kangmas, apakah yang telah terjadi pada dirimu? Wajahmu tampak muram dan bersedih,” kata istri Elang Sutawinata sambil menyambut kedatangan suaminya.

Elang Sutawinata tidak langsung menjawab pertanyaan istrinya, ia hanya diam tak berkata sepatah pun. Dipeluknya leher istrinya dengan penuh perasaan haru sehingga debaran dadanya dapat dirasakan oleh Purnamasari, istrinya. Setelah dapat menenangkan hatinya, barulah Elang Sutawinata dapat menceritakan kemalangan yang baru saja dialaminya.

“Oh, Kangmas. Kenapa nasib kita jadi begini.......” lirih istrinya berkata sambil menyandarkan kepalanya di dada Elang Sutawinata. Ia mulai menangis sesenggukan, sementara Elang Sutawinata dengan penuh kasih sayang membelai kepala istrinya.

Demikianlah mereka sebagai suami istri hidup dengan penuh saling pengertian dan saling membagi perasaan. Memang demikianlah semestinya hidup bersuami istri di mana keterbukaan menjadi faktor yang menentukan bagi kelanggengan hidup suami istri.

Saling berbagi rasa dan saling menjaga perasaan masing-masing. Setiap pihak berlaku jujur kepada pasangannya dalam keadaan suka maupun duka.

“Sudahlah, Diajeng,” kata Elang Sutawinata berusaha menenangkan hati istrinya. “Tak ada yang perlu disesalkan lagi, barangkali memang demikianlah takdir bagi kita.”

“Apakah Kanjeng Ratu Sultan Kanoman tak mungkin memaafkan dirimu. Kangmas?” tanya istrinya penasaran di sela isak tangisnya.

“Tidak, Diajeng. Kanjeng Sultan berhati keras, dan kata-katanya tak mungkin dicabut kembali. Kata-katanya adalah undang-undang, setiap kata-katanya tak bisa dibantah dan digugat,” suaminya menjelaskan pada istrinya.

“Sudahlah, Diajeng. Mari kita berkemas-kemas sekarang sebelum Kanjeng Sultan marah untuk kedua kalinya. Justru lebih parah lagi keadaannya bila hal itu terjadi,” tegas Elang Sutawinata.

Suami istri itu kemudian berkemas-kemas untuk mengumpulkan barang-barang yang bekal mereka perlukan dalam pengasingan tersebut.

Hari pun telah berganti malam, bulan telah muncul walau masih setengah ditutupi oleh awan gelap yang seakan-akan turut bersedih dengan keluarga yang sedang tertimpa musibah tersebut. Elang Sutawinata dan istri bersama anaknya yang baru berumur dua tahun meninggalkan keraton Kanoman diam-diam dengan perasaan sedih yang tak terkira.

Dengan seekor kuda dan perbekalan yang diperlukan, mereka memulai perjalanan yang belum diketahui arah dan tujuannya. Elang Sutawinata menuntun kuda yang membawa istri dan anaknya. Mereka berjalan gontai dengan hati pilu dan resah.

Mereka terus berjalan meninggalkan perbatasan keraton Kanoman dan terus menyusuri jalan yang ada di depan mereka. Bila malam tiba, mereka menginap dan beristirahat di rumah-rumah yang dijumpai serta bersedia menerima mereka menginap di situ.

Jika fajar kembali menyingsing, mereka kembali melanjutkan pengembaraan yang tanpa tujuan, berjalan dan berjalan ke arah Selatan. Hari demi hari, Minggu demi Minggu mereka terus berjalan, keluar dan masuk kampung menuruti ke mana langkah kaki membawa mereka.

Akhirnya dengan tak terasa mereka telah sampai di kaki gunung Ciremai yang berhawa sejuk dengan keindahan alam yang belum terjamah oleh tangan manusia.

“Akan ke manakah kita, Kangmas?” tanya istri yang masih tetap setia bertekad akan mengikuti suaminya tercinta. “Apakah kau tidak lelah. Kangmas?”

Betapa terharunya hati Elang Sutawinata demi mendengar perkataan istrinya yang masih memperhatikan suaminya walaupun keadaan dirinya sendiri lebih payah. Sebagai wanita, tentunya Ajeng Purnamasari memiliki kekuatan terbatas, berbeda dengan Elang Sutawinata.

“Entahlah. Diajeng. Mungkin di puncak Ciremai sana kita bisa memulai hidup yang tentram,” sahut Elang Sutawinata sambil tangannya menunjuk ke arah puncak Ciremai yang berdiri kokoh di depan mereka.

“Kangmas, marilah kita beristirahat dulu di bawah pohon itu,” ajak istrinya. Peluh mulai deras mengalir di kening istri tercintanya.

“Baiklah, Diajeng. Aku pun sudah merasa lelah,” jawab Elang Sutawinata sambil menuntun kudanya menuju pohon yang rindang di depan mereka.

Keluarga itu lalu berhenti di bawah sebuah pohon yang rindang. Elang Sutawinata lalu menurunkan anaknya dari gendongan istrinya. Setelah itu barulah ia membimbing Ajeng Purnamasari dari atas kudanya.

Mereka lalu bersandar di batang pohon itu untuk melepas lelah dengan pandangan kosong menatap jauh ke puncak gunung Ciremai. Sebersit harapan yang belum jelas segera membayang.

Suami istri itu lalu membuka bungkusan makanan yang mereka bawa untuk dicicipi sedikit. Setelah memakan sedikit bekal untuk mengisi perut, mereka segera membungkus kembali makanan itu untuk bekal di perjalanan selanjutnya.

Ajeng Purnamasari lalu meraih si kecil yang masih berada dalam gendongan ayahnya. Si kecil yang diberi nama Parmin itu memang masih belum mengerti apa-apa. Ia tertidur begitu tenang seolah-olah tak ada persoalan apa pun bagi dirinya. Kini ia tertidur di pangkuan ibunya dengan damai.

Setelah cukup lama beristirahat, Elang Sutawinata lalu mengajak istrinya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Dengan keyakinan dan doa memohon perlindunganNya, kedua suami istri yang saling setia itu kembali melanjutkan perjalanannya untuk mencapai puncak Ciremai yang menjanjikan sedikit harapan untuk dapat hidup tentram dan damai, jauh dari segala persoalan manusia.

***

5

Di sebuah hutan yang sangat lebat dan angker, yaitu hutan Geger Pati terdapat segerombolan perampok yang dipimpin oleh seorang bertubuh tinggi besar dan kasar. Kumis dan brewoknya tumbuh lebat menutupi sebagian besar wajahnya.

Tindakan pemimpin gerombolan perampok sangat ganas dan kejam. Tak ada satu pun anak buahnya yang berani melawan maupun membantah bila diperintah oleh sang pemimpin. Sepak terjangnya sungguh tak pandang bulu, siapa saja yang berani melawannya akan dihabisi segera nyawanya tanpa perduli perempuan maupun anak-anak.

Dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kasar serta wajahnya yang seram ia menjuluki dirinya sendiri Gembong Kuning Pencabut Nyawa.

Di dalam hutan tersebut terdapat sebuah goa tempat para begundal di bawah pimpinan Gembong Kuning. Dari dalam goa tersebut terdengar gelak tawa yang tak henti-hentinya.

Kiranya kawanan perampok itu sedang berpesta pora merayakan keberhasilan mereka setelah beraksi menggondol harta milik saudagar dari desa Lambu Karang, sebelah Utara hutan Geger Pati itu. Bau minuman keras berbaur dengan wangi hidangan yang sedang mereka santap.

Di dalam goa sang pemimpin rampok itu sedang menenggak tuak dan membuang kendi yang sudah kosong. Ia berdiri bertolak pinggang sambil tertawa keras terbahak- bahak sambil membentak-bentak.

“Ha ha ha....... Japra! Tambah lagi tuakku ini!”

“Baik....... baik tuanku!” jawab Japra cepat. Ia segera bergerak dengan cepat mengambil apa yang diinginkan oleh majikannya. Sebuah guci besar berisi tuak segera diserahkannya pada Gembong Kuning.

Tiba-tiba Gembong Kuning berdiri dan tertawa terbahak-bahak dengan kerasnya. Suaranya menggema ke seluruh sudut ruangan goa dan memekakkan telinga anak buahnya yang sedang berpesta. Kegembiraan itu terhenti sejenak karena suara sang Gembong yang mengandung tenaga dalam itu telah memotong suasana. Ia terus tertawa tiada henti.

Suara Gembong Kuning terus membahana, melengking tinggi menyengat telinga anak buahnya yang mendengar suara tertawa tersebut. Beberapa anak buahnya yang tidak memiliki kepandaian apa-apa, kecuali tenaga kasar saja lantas menggelosor ke lantai tanpa daya.

Sebagian lagi berusaha bertahan dengan menekap telinganya rapat-rapat. Akibat suara tertawa Gembong Kuning sungguh dahsyat bagi anak buahnya. Mereka yang tak sanggup mendengarnya langsung jatuh pingsan, sebagian lagi berteriak-teriak berusaha mengatasi suara tersebut.

Beberapa orang tampak mulai mengeluarkan darah dari telinga dan hidungnya.

“Aduuuh, toloooooong.......!!”

“Kupingku copot, auuuwwww.......!”

“Ampuuunn, guuusttiiii.......!” jerit si Pincang sambil berguling-gulingan tanpa memperdulikan lagi kakinya yang pincang.

“Aku tidak tahaaan, hentikkaann…...!” si Picak terkencing-kencing, sementara telinganya telah mengeluarkan darah tanpa bisa dihentikan.

Suasana di dalam goa menjadi hiruk pikuk dengan jeritan di sana sini, sementara tubuh mereka lantas menerjang ke sana ke mari dalam upaya mengatasi rasa sakit dan nyeri karena pengaruh suara yang menghantam pendengaran mereka tanpa ampun.

Suara kendi-kendi tuak yang jatuh ke tanah, meja-meja yang porak poranda menambah tidak keruan keadaan. Di sudut kanan goa sudah terlihat lima orang bertumpang tindih satu dan lainnya dengan hidung dan telinga mengucurkan darah menahan rasa sakit yang tak terhingga. Di sudut lain yang hanya diterangi sebuah obor terlihat meja dan kursi serta kendi-kendi tuak sudah berserakan di lantai dengan orang-orang yang menggelepar gelepar seperti ikan mabok.

“Maaak, tolooong.......!” suara si Codet meraung-raung berusaha menahan rasa sakit. Tubuhnya telah beberapa kali menimpa tubuh temannya.

“Hentikaaan....... Aku tak tahaaan.......!” si botak telah meggeliat-geliat di tanah tak kuat menahan siksaan itu.

Beberapa saat keadaan di dalam goa itu sudah tidak menentu. Kegembiraan yang semula mereka rasakan sebelumnya, kini menjadi kacau balau setelah mendengar suara tertawa yang mengandung tenaga dalam begitu tinggi sehingga melumpuhkan urat syaraf mereka yang mendengarkannya.

Setelah merasa puas mempermainkan anak buahnya. Gembong Kuning segera menghentikan tawanya dan terdiam sejenak sambil menenggak tuak sepuas-puasnya.

Dengan berhentinya tawa sang Gembong, berhenti pula siksaan yang mendera anak buahnya. Teriakan serta jeritan mereka berhenti seketika. Sebagian besar di antara mereka sudah berada dalam keadaan tak sadarkan diri. Sebagian lagi berupaya mengembalikan tenaga mereka dengan berbagai cara.

Beberapa lama kemudian, suasana sudah kembali seperti semula. Mereka kembali hanyut dengan suasana pesta pora yang sangat meriah, penuh gelak tawa yang tak berkesudahan. Sepertinya mereka telah melupakan kejadian yang baru saja mereka alami.

Guci-guci tuak dan kendi-kendi arak telah kembali dikeluarkan. Berbagai hidangan pun segera disajikan, mereka segera melahapnya dengan penuh nafsu seperti tak pernah makan sebelumnya.

“Tambah lagi hidangannya!” teriak beberapa orang hampir bersamaan dengan suara sangat keras.

“Jangan lupa tuaknya!” terdengar suara dari sudut kiri goa yang diterangi oleh pelita yang terbuat dari minyak jarak, namun mampu menerangi seluruh isi goa.

“Keluarkan daging kambingnya!” si Buntung tak mau kalah berteriak dari yang lainnya.

“Jangan lupa penghiburnya!” Lodra ikut berteriak.

Para pelayan itu adalah tawanan yang dijadikan budak dengan tergopoh-gopoh menyiapkan semua permintaan mereka dengan segera. Budak-budak yang terdiri dari wanita-wanita cantik itu dengan sangat terpaksa menyediakan makanan dan minuman kepada para begundal yang berteriak-teriak itu. Mereka pun tak dapat menghindari tangan-tangan usil mereka.

“Ayo, manis. Temani Kangmas saja di sini!” kata si pitak kepada seorang pelayan yang lewat di depannya.

“Dengan aku saja tidurnya, ya, manis,” si Bopeng pun tak mau kalah sambil memegang pipi pelayan yang sedang membungkuk di depannya.

“Aku mau kelonan sama kamu, neng,” sergah si Sumbing sambil meraba budak di depannya.

Selagi mereka asyik dengan wanita-wanita itu sambil menikmati hidangan serta minuman keras di hadapan mereka, tiba-tiba terdengar kembali suara menggeledek yang membuat mereka terpaksa menghentikan tindakannya. Suasana segera menjadi sunyi seketika.

“Hei, anak buahku! Lihatlah ke mari semuanya!”

Gembong Kuning kembali mengejutkan anak buahnya dengan teriakannya itu. Mereka menoleh secara bersamaan ke arah suara yang baru datang itu.

Para begundal itu melihat Gembong Kuning berdiri dengan seguci tuak di tangannya. Diminumnya tuak tersebut langsung dari mulut guci. Untuk sesaat ia berkumur-kumur, lalu disemburkannya tuak dari dalam mulutnya ke udara. Sungguh mengagumkan.

Dengan meng gunakan tenaga panas dari dalam tubuhnya. Gembong Kuning telah menjadikan tuak yang tersembur dari mulutnya itu menjadi api yang berkobar-kobar sehingga seluruh ruangan goa tersebut menjadi terang benderang. Kiranya Gembong Kuning kembali memamerkan keahliannya di hadapan anak buahnya.

Para begundal itu memandangi dengan perasaan kagum, takut, dan juga bangga terhadap pemimpin mereka. Setelah puas dengan permainannya. Gembong Kuning kembali berteriak.

“Ayo, anak-anak! Kita rayakan pesta ini sampai pagi!”

Mendengar aba-aba dari sang pemimpin, anak buahnya segera menyambut dengan teriak-teriakan riuh bersemangat.

“Hidup Gembong Kuning!” teriak si Picak bersemangat.

“Hidup sang pemimpin!” sahut yang lainnya.

“Gembong Kuning tetap jaya!” teriak si Pincang bersemangat sambil menenggak tuaknya. Ia lupa pada luka di telinganya yang masih mengeluarkan darah.

Teriakannya segera disambut oleh teman-temannya dengan bersemangat. Mereka berjingkrak-jingkrak tak keruan seperti orang kehilangan akal sehat.

“Hidup! Hidup! Hidup! Horreeee....... Horrreeee.......!”

Sorak sorai mereka bertambah riuh ketika melihat Gembong Kuning melambai-lambaikan tangannya menambah semangat.

Sambil menenggak tuak tangan kanan Gembong Kuning mengeloni seorang wanita cantik yang berada dalam pelukannya. Wanita itu tampak meringis kesakitan dan juga ketakutan, tetapi ia sama sekali tak berdaya apa-apa.

Melihat kelakuan sang pemimpin, yang kini bertambah gila, anak buahnya ikut mencontohnya.

Mereka segera meraih budak terdekat. Sungguh malang nasib wanita-wanita tawanan yang dijadikan budak tersebut. Mereka hanya bisa meronta-ronta dan berteriak-teriak diperlakukan seperti binatang.

Sementara di tengah maksiat yang tengah berlangsung di ruangan goa itu, ada sebuah ruangan khusus tertutup di balik dinding goa yang memang disediakan Gembong Kuning untuk suatu acara khusus yang sengaja ia persiapkan untuk menyenangkan hati anak buahnya.

Tiga orang wanita penghibur tampak berbincang-bincang dengan genit di ruangan itu. Wajah yang telah dipoles dengan bedak dan gincu yang tebal menambah seronok penampilan mereka.

Ketiga wanita itu bertubuh montok yang mampu merontokkan iman lelaki yang melihatnya. Masing-masing menggunakan kain penutup dengan warna yang khas.

Salah satu di antara mereka bernama Jamilah. Ia mengenakan kain berwarna merah menyala. Satunya lagi mengenakan kain berwarna kuning dengan tali melilit di pinggangnya. Alis matanya dicukur membentuk garis tipis memanjang. Pinggulnya ramping dengan pinggang yang melebar ke bawah, kulitnya kuning langsat. Ia bernama Lastri Sari.

Wanita satunya lagi punggungnya bongkok udang. Namanya adalah Anggun Puspa. Betisnya indah seperti padi bunting, dengan kuku-kuku kaki yang panjang dan diberi pewarna merah. Rambutnya terurai sebatas pinggang. Seperti kedua wanita penghibur lainnya, ia pun hanya mengenakan kain berwarna merah menyala.

Ketiga wanita itu sedang berbincang-bincang tentang apa saja yang akan mereka lakukan di hadapan begundal-begundal anak buah Gembong Kuning. Mereka cekikikan sendiri membayangkan apa yang akan mereka lakukan nanti.

“Akan kubuat mereka sampai ileran melihatku,” kata Lastri Sari.

“Kalau aku tak akan memberikan kesempatan untuk mereka bernafas,” sahut Jamilah tak mau kalah.

“Aku akan bikin mereka menggelosor.” sahut Anggun Puspa sambil tertawa cekikikan.

Sementara itu di ruangan goa, para begundal anak buah Gembong Kuning semakin parah keadaannya. Mereka tengah mengumbar maksiat dengan para budak wanita yang mereka paksa untuk melayani nafsu mereka.

Di salah satu sudut terlihat si Botak yang jalannya sudah goyang karena terlalu banyak minum tengah merayu seorang pelayan yang lewat di depannya.

Dengan nafas terengah-engah di Botak meraih pelayan wanita itu. Wanita itu meronta-ronta tak berdaya. Namun baru saja tangan si Botak meraih apa yang diinginkannya, tiba-tiba terdengar suara teriakan Gembong Kuning menghentikan perbuatannya.

“Anak-anak. sekarang kalian dengarkan aku! Sebentar lagi kalian akan memperoleh pertunjukan yang sangat menarik, nantikanlah. Japra! Cepat panggil mereka!”

Dengan hati mendongkol si botak terpaksa menghentikan perbuatannya, sementara budak itu cepat-cepat berlari menyelamatkan diri. Orang yang dipanggil Japra itu pun segera berlari ke ruangan di balik dinding tersebut.

Mendengar kata-kata tersebut, semua yang ada di dalam goa tersebut menjadi girang bukan kepalang. Mereka semua adalah lelaki-lelaki kasar yang setiap harinya berurusan dengan kekerasan, wajarlah bila mereka jadi haus dengan bentuk-bentuk hiburan semacam itu. Mereka tahu apa yang dimaksudkan oleh sang pemimpin, karenanya mereka segera menyambut dengan perasaan yang sangat gembira.

Terdengar tepukan-tepukan tangan dan suara teriakan serta suit-suitan di sana sini. Keriuhan itu seolah tak ada henti-hentinya.

Plok........! Ploookk..! Ploook.......!

“Cepat. Japra!”

“Ayo, Japra, segera panggil mereka, aku sudah tak sabar menanti-nanti dari tadi.......!”

“Cepatlah, manis! Aku sudah tak sabar ingin menelanmu bulat-bulat!”

“Ayolah, manis! Keluarlah segera!”

Teriakan-teriakan itu semakin menjadi-jadi diiringi tepukan-tepukan tangan ketika tiga orang penari itu ke luar berbaris. Mata mereka melotot seolah akan ke luar dari tempatnya ketika melihat penari-penari yang dipanggil oleh Gembong Kuning itu.

Masing-masing berusaha untuk bisa lebih dekat melihat dan memegang apa saja dari para wanita itu. Apa saja dari tubuh penari-penari itu langsung menjadi sasaran tangan-tangan jahil dibarengi dengan teriakan-teriakan manja menggoda dari wanita-wanita penghibur itu. Suasana yang sudah kacau itu menjadi semakin kacau, mereka langsung berdesak-desakan satu sama lain.

“Tenang! Tenang! Beri mereka jalan!” teriak Japra berusaha mengatasi keadaan. “Minggir! Minggir, biarkan si manis lewat!”

“Beri jalan, hei, beri jalan!” yang lain segera menimpali dengan berteriak-teriak. Suasana yang sudah kacau itu bertambah kacau dengan adanya teriakan-teriakan itu. Akhirnya Gembong Kuning sendiri yang berteriak untuk mengatasinya.

“Minggir semuanya!” bentak Gembong Kuning menggelegar.

Dengan seketika keriuhan itu dapat teredam. Anak buahnya dengan patuh memberi jalan untuk wanita-wanita penghibur yang berjalan dengan lagak yang centil dan genit seolah-olah menantang setiap lelaki yang melihatnya.

Dengan berlenggak-lenggok, mereka berjalan melewati para begundal itu dan langsung menuju ke arah Gembong Kuning yang telah berdiri dengan tangan terentang seolah akan merangkul mereka bertiga. Ketiga penghibur itu langsung berdiri berjejer mengapit Gembong Kuning yang bergaya dan berlaku seolah raja besar saja.

Dua orang budak wanita berdiri di samping Gembong Kuning yang tengah diapit wanita-wanita penghibur itu. Mereka berdiri sambil memegangi sebuah kipas bertangkai panjang dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari bulu burung merak yang indah.

“Kalian semua! Buatlah lingkaran!” kembali terdengar Gembong Kuning memberi perintah yang segera dipatuhi oleh anak buahnya.

Mereka segera berlarian membentuk sebuah lingkaran besar dengan bagian tengah kosong, yang akan dipergunakan sebagai panggung nantinya.

Setelah lingkaran itu terbentuk, Gembong Kuning mencium ketiga wanita penghibur itu. Terakhir tangannya bergerak mendorong ketiga wanita itu. Mereka lalu berjalan berlenggak lenggok memasuki arena.

Tetabuhan gendang segera terdengar bertalu-talu mengiringi para penari tersebut. Mula-mula gerakan tarian mereka begitu lemah gemulai dengan goyangan-goyangan yang menggoda iman.

Ketiga wanita penghibur itu lalu melakukan gerakan-gerakan tari tertentu. Dari perlahan, gerakan mereka bertambah cepat seiring dengan bertambah cepatnya irama tabuhan gendang. Mereka lantas berputar-putar dan bergoyang sambil mengangkat kepalanya tinggi.

Mata para penonton mengikuti gerakan-gerakan para penari tersebut dengan mulut menganga.

Suasana bertambah riuh ketika para penari itu merubah gerakan tarian mereka. Ketiga penari tersebut mendadak duduk di lantai goa, mereka lantas menggoyang-goyangkan tubuh mereka.

Tentu saja hal itu semakin menambah riuh suasana. Teriakan-teriakan segera terdengar di sana sini ditingkahi suara-suara suitan yang melengking tinggi.

“Goyang teruuus! Kibul teruuus.......!”

“Oh. surga! Kau begitu dekat, uuu uhhhhhh.......!”

Para penonton yang terdiri dari kawanan rampok tersebut tak henti-hentinya memberi semangat, sehingga para penari itu semakin bergairah menari seperti orang kesurupan. Tampak beberapa orang sudah tak dapat menahan lagi, mereka segera menghampiri penari tersebut.

Para penari itu pun tak tinggal diam, dengan lincahnya mereka bergerak menghindar. Hal tersebut semakin membuat penontonnya bertambah gemas dan pusing, tetapi mereka tak pernah berhasil merengkuh para penari tersebut.

Gembong Kuning memandangi tingkah laku anak buahnya sambil tertawa-tawa keras. Pesta itu berlangsung sampai pagi, sampai akhirnya mereka kelelahan sendiri dalam keadaan tak keruan, bergelimpangan di sana sini, baik para begundal itu maupun wanita yang menjadi korbannya.

***

6

Memasuki Minggu kedua dalam perjalanannya yang tak menentu itu. Elang Sutawinata dan istrinya tiba di sebuah dataran luas di kaki Ciremai sambil menggendong anaknya. Terlihat suatu pemandangan indah dataran tersebut, di kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar yang rindang.

Mereka melangkah gontai dengan pakaian lusuh penuh debu. Tidak jauh dari tempat mereka berjalan, di balik semak-semak terdengar suara orang berbisik-bisik.

“Lodra, rasanya tak ada gunanya mereka kita begal! Mereka hanya pengembara gelandangan yang tak punya apa-apa,” suaranya pelan hampir tak kedengaran.

“Aku tak menghendaki harta bendanya, aku hanya ingin perempuan di atas kuda itu,” jawab Lodra sambil matanya terus mengawasi calon mangsa di depannya.

Mereka ternyata adalah anggota kawanan perampok di bawah pimpinan Gembong Kuning. Wajah mereka tampak amat seram dengan mata yang bersinar jalang.

“Sudah satu Minggu lebih aku tak melihat perempuan. Bantar, kau hajar lelakinya sementara aku mengerjai perempuan itu!” kata Lodra pada temannya yang segera menganggukkan kepala tanda setuju.

Sementara itu Elang Sutawinata dan istrinya terus berjalan menelusuri tanah berbatu-batu kerikil, sehingga langkah mereka menjadi sangat lambat apalagi harus menuntun seekor kuda yang ditunggangi oleh anak mereka yang masih kecil itu.

“Kangmas, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Aku takut, Kangmas,” ujar istrinya dengan sinar mata ketakutan.

“Tenanglah, Diajeng. Berdoalah semoga tak terjadi apa-apa dengan diri kita,” kata Elang Sutawinata berusaha menenangkan hati istrinya.

“Tapi, Kangmas, aku takut.”

“Tenanglah. Diajeng.”

Memang hati Elang Sutawinata pun merasakan akan datangnya bahaya. Telinganya lapat-lapat menangkap suara daun-daun yang tergeser oleh benda bergerak dengan cepat.

“Apa boleh buat! Barangkali mereka hendak membegalku. Rawe-Rawe rantas, malang-malang putung!” desah Elang Sutawinata pada dirinya sendiri.

Bersamaan dengan itu berkelebatlah dua sosok bayangan dari semak-semak belukar yang langsung menghadang langkah Elang Sutawinata.

“Heyaaaah....... Berhenti!” bentak Lodra keras, sementara Bantar telah siap siaga dengan golok di tangan kanannya.

“Oh, awas Kangmas! Mau apa orang-orang ini?” tanya istrinya dengan perasaan terkejut dan khawatir.

“Hai, apa yang kalian kehendaki!” tanya Elang Sutawinata tegas sambil menatap kedua orang itu dengan tatapan penuh selidik.

“Ha ha ha....... Perempuan itu cantik dan manis, persis seperti buah yang ranum. Agaknya keturunan orang keraton,” kata Lodra sambil melangkah menghampiri Ajeng Purnamasari.

Berbarengan dengan selesainya Lodra bicara, Bantar pun segera menerjang Elang Sutawinata tanpa banyak bicara. Goloknya membabat kaki Elang Sutawinata, tetapi dengan gerakan cepat Elang Sutawinata melompat ke belakang untuk menghindar.

“Yeeaahh.......!” Elang Sutawinata bersalto beberapa kali sehingga tali kuda yang dipegangnya terlepas dan kuda itu pun meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya ke atas. Hal tersebut mengakibatkan anaknya, Parmin yang baru berumur dua tahun menangis ketakutan.

“He he he....... Mari manis. Mari sayangku.......!” kata Lodra sambil berusaha memeluk Ajeng Purnamasari yang membelalak ketakutan melihat kejadian di depan matanya itu.

“Tolong! Jangan sentuh aku, bajingan!” teriak Ajeng Purnamasari meronta-ronta dari pegangan tangan Lodra yang tengah memeluk tubuhnya dengan pegangan yang kuat dan kokoh.

“Binatang kau! Jahanam, lepaskan aku.......!” jerit Ajeng Purnamasari mengumpat begundal itu, ia terus berusaha melepaskan diri dari pelukan Lodra. Suatu ketika tangannya berhasil mencakar wajah Lodra sehingga pelukan penjahat itu sempat terlepas beberapa saat.

Lodra memegangi wajahnya yang berdarah.

“Adddaaauuuww.......! Galak betul kau!” teriak Lodra berusaha menahan sakit.

Tetapi luka di wajahnya itu tak membuatnya surut, ia malah semakin bernafsu mengejar Ajeng Purnamasari yang saat itu telah berlari menjauhinya.

Pada saat yang sama tampak Elang Sutawinata sedang sibuk bertarung dengan Bantar yang terus saja mencecarnya dengan golok di tangan. Ia memberikan perlawanan dengan gigih terhadap lawan, sekalipun tangannya sama sekali tak bersenjata.

“Ciaaattt.......!”

“Moddiaarrrr kau.......!” maki Bantar sambil mengayunkan goloknya dengan keras ke arah Elang Sutawinata.

“Haaaiiit.......!” Elang Sutawinata tak menjadi gugup karenanya. Ia bungkukkan tubuh sedikit ke depan, kemudian kakinya bergerak mengirim tendangan keras mengarah ke dada Bantar yang tak terjaga.

“Buk…..!” Kaki Elang Sutawinata mendarat tepat di dada Bantar. Seketika itu juga Bantar terpental beberapa langkah ke belakang sementara dari mulutnya menetes darah segar.

Beberapa detik lamanya Bantar berkonsentrasi untuk membersihkan darah yang masih meleleh di bibirnya akibat tendangan Elang Sutawinata tadi. Bantar lalu memandang musuhnya dengan sorot mata tajam, ia kembali menyerang dengan sabetan-sabetan goloknya yang disertai nafsu membunuh yang sangat besar.

“Mampus kau, monyet!” bentak Bantar dan goloknya membabat pinggang serta kaki Elang Sutawinata yang terus menghindar dengan lompat-lompatan dan sekali-sekali membalas dengan tendangan-tendangan maut. Setiap kali Bantar membabatkan goloknya yang terkena hanyalah dahan dan ranting pohon di sekitarnya saja, karena Elang Sutawinata mampu menghindar dengan cepat.

Dengan bernafsu Bantar terus menyerang Elang Sutawinata dengan keinginan membunuh yang sangat besar. Serangan yang gencar itu menimbulkan suara berkesiutan yang nyaring ditingkahi teriakan dan bentakan Bantar.

Hal itu mampu membuat Elang Sutawinata bergidik diam-diam. Elang Sutawinata kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dilontarkan Bantar secara bertubi-tubi, sementara konsentrasinya pun harus terpecah mendengar teriakan-teriakan istrinya yang berteriak minta tolong karena perbuatan Lodra yang benar-benar tak berperikemanusiaan.

Saat itu Lodra sedang bergumul untuk melampiaskan nafsu setannya, sementara Ajeng Purnamasari berusaha untuk mempertahankan dan melepaskan diri.

Dengan nafsu yang telah merasuki jiwanya, Lodra berhasil menyibak kain Ajeng Purnamasari dan hampir berhasil melampiaskan nafsu iblisnya.

Namun sedetik lebih cepat dari tindakannya, tiba-tiba tubuh Lodra terpental sambil mengeluarkan suara rintihan. Ia terus menggelepar, menggeliat dibarengi darah yang menyembur dengan deras dari batok kepalanya yang retak.

“Ehhk.......! Eechk.. Ehhkkk.......!” terdengar suara Lodra tertahan-tahan dalam keadaan sekarat. Sejenak kemudian tampak ia memegangi kepalanya sendiri, untuk kemudian terpaksa melepaskan nyawanya pergi begitu saja.

Bersamaan dengan itu sesosok bayangan tampak melayang seakan-akan turun dari langit. Bayangan itu begitu ringan menjejakkan kakinya ke tanah tanpa mengeluarkan suara apa pun. Bahkan tak ada bekas debu beterbangan karena kedatangannya saking ringannya ia turun.

Sementara itu Elang Sutawinata masih sibuk melayani Bantar yang terus menyerang dengan membabi buta. Suatu ketika, karena berulangkali didesak tanpa kesempatan membalas, apalagi ia tak bersenjata. Elang Sutawinata terpojok.

Keadaannya sungguh kritis, ia tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk menghindar, nyawanya sudah berada di ujung golok Bantar. Tepat pada saat itu bayangan tadi kembali berkelebat dengan disusul jeritan tertahan dari Bantar.

“Akkh.......!” Tubuh Bantar pun ambruk ke tanah dengan balok kepala retak. Tubuhnya kaku tak bernyawa setelah itu, menyusul temannya yang telah mati lebih dulu.

“Oh, siapakah yang telah menolong jiwaku?” gumam Elang Sutawinata menyadari bahwa nyawanya telah diselamatkan oleh orang lain.

Bayangan itu kembali menjejakkan kakinya setelah bersalto beberapa kali di udara, ia kini telah berada di hadapan Elang Sutawinata yang masih berdiri keheranan.

“Kangmas kau tidak apa-apa?” sapa Ajeng Purnamasari yang telah membereskan pakaiannya dan menurunkan anaknya dari atas punggung kuda yang membawanya.

“Tidak, Diajeng. Bagaimana dengan kau, tidak apa-apakah kalian?” tanya Elang Sutawinata dengan nada khawatir sekali pun ia melihat sendiri bahwa istri dan anaknya memang tak kurang suatu apapun. Ia kembali menengok kepada sang penolong yang masih berdiri tegak di hadapannya.

Orang itu bertelanjang dada, dengan demikian tampaklah dadanya yang bidang, ia hanya mengenakan celana pangsi berwarna hitam sebatas betis dengan kaki beralaskan terompah tipis. Sehelai kain sarung berwarna hitam dengan garis-garis putih melilit di lehernya.

Rambutnya terurai sebatas bahu dengan kumis tipis yang terawat rapi, menyatu dengan jenggot yang sudah memutih pula. Rambutnya yang dibiarkan terurai serta kain sarung yang melilit di lehernya itu berkibar-kibar tertiup angin.

Sekalipun kulitnya telah menunjukkan keriput ketuaan, namun jalur-jalur otot di lengannya masih kukuh menampakkan diri. Sorot matanya tajam menatap Elang Sutawinata dan istrinya, tetapi di balik ketajaman pandangan itu terselip keramahan dan kebajikan yang tersembunyi.

“Terima kasihku yang tak terhingga, tuan pendekar. Kalau tak karena pertolongan tuan, tentunya kami sudah jadi korban keganasan para perampok itu,” ujar Elang Sutawinata memberi hormat.

“Ah, anda terlalu berlebihan,” jawabnya merendah. “Berbahaya sekali menempuh perjalanan di tempat seperti ini,” sambungnya mengingatkan.

Elang Sutawinata bersikap sangat hormat sambil membungkukkan badan seperti layaknya adat dan tata cara orang Keraton.

“Terima kasih, pendekar. Kami memang sedang berkelana tanpa tujuan. Lantas dengan apa kami dapat membalas budi baik yang telah tuan pendekar berikan pada kami. Kami sungguh tidak tahu, nama saya Elang Sutawinata dan ini istri serta anak saya.”

“Hmmm, jika anda berkenan, bolehkah kami tahu siapa gerangan tuan pendekar ini?” tanya Elang Sutawinata lagi.

“Hmm, orang biasa memanggilku Ki Sapu Angin,” jawabnya singkat. Kalimat berikut yang diucapkannya sungguh mengejutkan suami istri itu.

“Ah, sejak tadi aku tertarik pada si kecil ini! Sangat berbahaya menempuh perjalanan di gunung bersama dengan seorang anak seusia dia. Oleh karena itu, lebih baik berikanlah dia padaku. Aku akan mendidiknya menjadi seorang pendekar pilih tanding kelak.”

“Oh.......!” seru Ajeng Purnamasari terkejut.

Beberapa saat lamanya kedua suami istri itu saling memandang seakan-akan mereka sedang berunding untuk mengambil satu keputusan. Ajeng Purnamasari hanya terdiam saja memandang suaminya, pertanda bahwa ia menyerahkan segala keputusan di tangan suaminya.

Akhirnya dengan berat hati sekali suami istri itu melepaskan anaknya dan menyerahkannya pada Ki Sapu Angin dengan rasa percaya yang besar bahwa anak mereka akan tumbuh selamat dan aman di tangan pendekar tersebut. Ki Sapu Angin terus berlalu seperti angin, sesuai dengan nama kependekarannya. Apa boleh buat! Barangkali memang sudah suratan takdir bahwa mereka harus berpisah dengan anaknya.

Belajarlah berpisah dengan kecintaanmu, karena suatu ketika ini pasti terjadi di dalam hidupmu, bertemu dan berpisah. Itulah roda kehidupan yang akan terus berputar.

Elang Sutawinata meneruskan ceritanya. Parmin, Sri Ayu dan Kaswita tetap mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Kemudian kami terus mengembara sampai ke puncak Ciremai ini. Selama duapuluh tiga tahun kami mengasingkan diri dari dunia ramai dan segala urusan duniawi. Kami pun tak pernah lagi mendengar kabar tentang keadaan keraton Kanoman. Kemudian di puncak Ciremai ini kami kembali dikaruniai dua orang putra dan putri, yaitu Sri Ayu dan Kaswita.”

“Sayang istriku telah berpulang ke Rahmatullah ketika anak-anak menginjak usia remaja. Tetapi hari ini adalah saat penuh kegembiraan melihat kembalinya anakku yang pertama,” Elang Sutawinata berhenti sesaat sambil memandangi Parmin.

“Dia....... dia kini telah menjadi seorang pendekar perkasa dan shaleh sesuai dengan janji Ki Sapu Angin dulu. Aku sangat berterima kasih terhadap pendekar tersebut. Dia telah menggembleng anakku, anakku yang berusia dua tahun itu kini telah dewasa dan kembali kepadaku.

“Dia adalah....... Parmin Sutawinata. Sayang istriku tidak dapat melihat kembalinya anak yang selama duapuluh tiga tahun dirindukannya. Hmmm, sayang sekali.

“Tetapi aku bersyukur ke hadirat Ilahi dengan pertemuan ini, aku bangga melihatnya,” ucap Elang Sutawinata mengakhiri cerita masa silamnya.

“Jadi....... jadi bapak adalah.......?” sergah Parmin dengan terputus-putus menahan rasa gembira, haru, dan juga bangga bercampur menjadi satu.

“Parmin, anakku!” seru Elang Sutawinata tak tahan lagi menahan kerinduannya.

“Ayaah.......!” seru Parmin menubruk kaki Elang Sutawinata memberi hormat, memberi sembah sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orangtuanya.

Air mata keharuan tertumpah seakan-akan berhasrat menyaingi tumpahnya air hujan, suasana di rumah itu menjadi haru dan penuh kegembiraan. Parmin pun segera memeluk adik-adiknya dengan kegembiraan dan keharuan yang meluap-luap. Tangis keharuan yang bercampur kegembiraan terdengar membahana mewarnai suasana yang tercipta dalam pertemuan anak beranak dan saudara itu.

“Ohh, kakang....... Maafkanlah kelakuan kami tadi terhadapmu,” kata Sri Ayu dan Kaswita hampir berbarengan di antara isak tangis kegembiraan mereka.

“Ah, tak apa-apa, adikku. Kakang malah bangga punya adik-adik tangkas dan gesit seperti kalian. Apalagi kalian punya sifat saling membela,” sahut Parmin sambil memeluk erat-erat kedua adiknya.

Malam pun merambat semakin kelam, tetapi gelak tawa yang terdengar dari pondok tersebut terus saja membahana.

Agaknya mereka menyelingi pertemuan tersebut dengan cerita-cerita lucu. Keesokan harinya di tepi kepundan Ciremai yang sangat indah berdiri tafakur ketiga orang kakak beradik yang tengah menekuri sebuah nisan.

“Ibu, semoga ibu dapat beristirahat dengan tenang. Anakmu datang mengunjungi dengan panjatan doa ke hadirat Ilahi. Semoga Allah menerima ibu di sisiNya dan memberi pula rahmat bagi yang ditinggalkan....... Aamiiin!” Parmin menundukkan kepalanya di makam ibunya, ia lalu berdiri menghampiri adik-adiknya.

“Adik-adikku, kalian lebih beruntung dapat melihat wajah ibu sampai akhir hayatnya. Aku hanya bisa membayangkan samar-samar wajah ibu duapuluh tiga tahun yang lalu.”

Setelah seminggu lamanya Parmin menetap bersama ayah dan adik-adiknya yang baru saja ia ketemukan, Parmin merasa sudah tiba saatnya baginya untuk meneruskan perjalanan menyelesaikan tugas mulia dari Ki Sapu Angin. Ia pun segera minta diri dari hadapan orang tua dan adik adiknya.

“Tugasmu itu sungguh mulia, anakku. Berangkatlah dan jangan merasa berat hati meninggalkan kami karena tugas ini menyangkut kepentingan bangsa. Ayahmu pun dulu pergi dari keraton Kanoman karena tak setuju dengan penjajahan itu!” Elang Sutawinata menghapus keraguan Parmin dengan ucapannya yang mengandung semangat patriot itu.

“Ananda pamit, ayah,” ujar Parmin sambil berdiri mencium tangan ayahnya.

“Doaku selalu mengiringi perjalananmu, anakku!” sahut Elang Sutawinata penuh haru.

Parmin meninggalkan ayah dan adik-adiknya dengan langkah mantap diiringi pandangan bangga dari mereka.

Sri Ayuningrum dan Kaswita mengamati Jaka Sembung sampai ke lereng kepundan Ciremai, di mana terlihat jauh di bawah sana daerah Kuningan, daerah yang paling dekat dengan tempat itu.

“Sudahlah adik-adikku, kurasa kalian cukup mengantar sampai di sini saja. Selamat tinggal, adik-adikku. Patuhilah segala nasehat ayahanda. Jika tiba waktunya kalian berdua tentu diizinkan turun gunung pula.”

“Adikku, Sri Ayu. Kau adalah pengganti ibu kita, rawatlah ayahanda baik-baik. Kita beruntung masih memiliki seorang ayah,” ucap Parmin memberi pesan kepada adik-adiknya, ia lalu mencium kening Sri Ayuningrum yang tampak menangis sedih.

“Selamat tinggal, adik-adikku. Sampai bertemu lagi, sayang.”

“Selamat jalan, Kakang Parmin. Berhati-hatilah di jalan! Jaga diri baik-baik,” kata kedua adiknya.

Parmin lalu melangkah meninggalkan adik-adiknya yang memandangi dengan perasaan bangga, haru dan juga sedih karena harus berpisah dengan kakak yang baru saja mereka ketemukan lagi setelah sekian tahun mereka tak tahu bahwa mereka masih memiliki kakak. Betapa bangganya mereka memiliki kakak seperti Parmin alias Jaka Sembung yang merupakan seorang pendekar gagah dan shaleh, yang saat ini tengah memperjuangkan kemerdekaan bangsanya yang sedang terjajah oleh bangsa asing.

Jaka Sembung terus melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Gunung Ciremai sebelah Selatan untuk menuju tanah Pasundan. Peristiwa apa lagi yang akan dialaminya?

Keganasan gerombolan pendekar sesat siap menghadang perjalanannya, mampukah ia menghadapinya?!

Nantikan judul serial Jaka Sembung selanjutnya yang berjudul: MENUMPAS GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG

T A M A T