Jaka Sembung 9 - Membabat Kyai Murtad(2)

Matahari telah menampakkan cahayanya, membuat titik-titik embun menguap dan hilang dari dedaunan. Dengan langkah perlahan namun pasti, Parmin terus berjalan memenuhi tugas yang diberikan gurunya, Ki Sapu Angin, untuk mempersatukan para pendekar di seluruh daerah Pasundan guna melawan Penjajah Kumpeni Belanda.

Beberapa jam kemudian Parmin telah sampai di perbatasan desa Cilimus. Perutnya pun telah berbunyi minta diisi.

Pemandangan di perbatasan desa tersebut cukup indah dengan batu-batu yang tersembul dari permukaan tanah. Gundukan-gundukan besar tersusun di kanan kiri dan pohon-pohon yang rindang dengan daun-daunnya yang berwarna hijau tumbuh dengan suburnya.

“Aku haus dan lapar! Tetapi di sini orang pendatang tak boleh minum di sembarang tempat! Semua makanan dan minuman akan dapat menjadi sebab kematian!

“Aku harus berhati-hati memasuki Desa Cilimus ini. Guruku berpesan bahwa di sini banyak pendekar yang memiliki ilmu hitam yang berbahaya!!” gumam Parmin dalam hatinya sambil mengingat-ingat pesan gurunya. Ia melanjutkan langkahnya dengan tenang.

Sementara itu tanpa disadari oleh Parmin, sepasang mata mengawasi gerak geriknya dari sela-sela semak-semak pohon dan kemudian sosok tubuh tersebut menyelinap dengan gerakan yang ringan tanpa mengeluarkan suara. Setelah beberapa saat menempuh perjalanan, Parmin melihat sebuah warung di tepi sebuah jalan setapak. Ia pun segera mempercepat jalannya menuju warung tersebut.

Tetapi warung itu terbuat dari daun tebu yang disusun rapi dan tiang-tiangnya terbuat dari bambu serta bangku yang hanya satu buah terbuat dari papan namun terlihat kokoh.

Beberapa saat sebelum Parmin tiba di warung itu, sosok tubuh yang mengintai gerak gerik Parmin tadi telah terlebih dahulu tiba di warung tersebut.

Orang itu berwajah bengis. Matanya tajam liar serta golok yang sudah terlepas dari sarungnya mengancam pemilik warung itu dan dengan kasar memaksa pemilik warung supaya mengikuti semua perintahnya.

Pemilik warung yang sudah tua itu mendadak semakin tua karena ketakutan yang amat sangat ketika orang yang mengancamnya menempelkan golok ke lehernya.

“Hai, Pak Tua! Taburkan bubuk ini ke dalam gelasnya bila pendatang beserta burung Beonya mampir ke sini, mengerti!! Jika kau tidak mau, lehermu aku bikin putus!!” bentaknya mengancam pemilik warung sambil memberikan sebungkus bubuk misterius kemudian ia bersembunyi di dalam warung tersebut.

“Baik, Gan, saya akan laksanakan!” jawab Pak Tua gemetar. Tangannya mengambil bungkusan itu, lalu ia letakkan bungkusan itu di antara guci-guci tempat kopi dan gula.

“Assalamualaikum.......” sapa Parmin lembut setelah sampai di warung tersebut dan melihat ke sekeliling kalau-kalau ada orang mencurigakan dan Parmin bernapas lega karena di warung itu tidak ada seorang pun yang duduk.

“Wa'alaikum salam.......! Silahkan duduk, Den! Mau minum kopi, teh manis atau mau makan, Den!”

“Hm....... teh segelas dengan gula aren, Pak! Kalau ada tolong juga pisangnya untuk burung kesayanganku ini, Pak!”

“Baik, Den!! Tunggu, akan saya persiapkan!” ujar Pak Tua sambil membalikkan tubuhnya.

Ia segera membuat air teh yang dipesan Parmin dengan tak lupa mencampurkan bubuk yang diberikan orang tadi. Sekali-sekali matanya melirik ke arah Parmin yang sedang duduk menikmati pemandangan alam sekitarnya, kalau-kalau perbuatannya diketahui oleh Parmin, sang pendatang.

“Silahkan minum, Den! Dan ini pisangnya!” ujar Pak Tua sambil menyodorkan gelas berisi air teh panas dan sesisir pisang.

Sosok tubuh yang berada di dalam warung itu sedang mengintipnya dari lubang bilik dengan dada berdebar-debar.

Parmin pun segera mengambil gelas itu dan ketika ia hendak menghirup air teh itu, tiba-tiba keningnya berkerut dan seketika ia teringat pesan gurunya.

Jikalau kau sudah memasuki daerah Cilimus hendaknya kau jangan sembarangan makan dan minum di kedai atau di warung yang kau jumpai, karena di daerah itu banyak sekali orang-orang yang memiliki ilmu hitam yang sering mencelakai orang pendatang.

Setelah mengingat pesan gurunya, Parmin segera mengheningkan cipta mengerahkan konsentrasinya ke dalam gelas itu. Beberapa saat kemudian terjadilah suatu keajaiban, air teh tersebut perlahan-lahan berubah dan buih itu semakin banyak.

Parmin terus menyalurkan hawa murni ke tangannya. Karena kuatnya tenaga yang tersalur, air teh itu menjadi mendidih dan meledaklah gelas yang Parmin pegang menjadi berkeping-keping dan airnya muncrat membasahi meja.

“Prak!”

“Racun!!” sentak Parmin dengan membeliak dan segera tangannya mencengkeram pundak sang pemilik warung itu.

“Heh, Pak! Mengapa kau bermaksud membunuhku dengan racun?!” bentak Parmin geram sambil mengangkat tubuh Pak Tua itu ke atas meja membuat Pak Tua ketakutan.

“Aa....... am....... pun, Den! Tobat, Den! Aku hanya disuruh.......!”

“Siapa yang menyuruhmu” Cepat, katakan!!”

Belum sempat orang tua itu menjawab, sebuah cahaya meluncur dengan cepat dan mengenai punggungnya. Sebuah senjata rahasia menghunjam dari arah belakang.

“Jep.......!”

“Ach!” Dengan suara tertahan orang tua itu menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mata melotot dan mulut menganga. Kiranya sebuah pisau belati telah menancap di punggungnya dan tembus ke ulu hatinya menandakan orang yang melemparkan pisau itu memiliki tenaga dalam yang dahsyat.

“Oh! Innalillahi.......!” sentak Parmin terkejut dengan sekali gerakan tubuhnya telah melesat ke atas atap warung itu dan ia segera melihat sosok tubuh yang melarikan diri dan hilang di balik bebatuan.

“Ilmu larinya boleh juga! Dia tentu bukan orang sembarangan.” gumam Parmin meloncat turun dan berkelebat mengejarnya.

Tiba-tiba dari arah semak-semak belukar tiga sosok bayangan berlompatan menghadang pengejarnya, maka dengan segera Parmin menghentikan larinya.

“Berhenti!” bentak mereka hampir bersamaan.

“Heh, siapakah kalian? Mengapa menghalang-halangiku?”

“Hm....... andakah Pendekar Gunung Sembung yang perkasa dan terkenal itu? E....... hm, pucuk dicinta ulam tiba! Kami 'Tiga Melati' sedang mencari anda dan secara kebetulan kita bertemu di sini!” sergah seseorang dari mereka dengan nada ketus dan bibir tersenyum genit.

Mereka segera mengepung Parmin dengan kuda-kuda kaki depan mereka agak ditekuk sedikit dan kaki kiri dipentangkan ke belakang.

Parmin bagaikan tersengat lebah terkejut tak percaya pada pandangan matanya, ketika ia melihat tiga dara kembar yang cantik-cantik telah berada di hadapannya dan tersenyum penuh arti melihatnya. Parmin menghela napas dalam-dalam.

Tiga dara yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' memiliki wajah yang sama bila dilihat sepintas lalu. Mereka seakan-akan sama satu dengan yang lainnya. Namun bila diteliti dengan seksama ada perbedaan pada wajah mereka.

Mereka bertiga mengenakan pakaian yang bercorak sama berwarna merah bergaris-garis berbentuk baju kurung dengan bukaan lebar di depan. Pinggang mereka ramping dengan lengan panjang tiga perempat, sehingga pergelangan tangan mereka yang kecil dengan jari tangan yang mungil terlihat jelas.

Celana pangsi mereka pun sama coraknya dengan baju mereka. Panjangnya sebatas betis, membungkus ketat kaki mereka sehingga betis mereka yang bunting padi terlihat manis dipandang mata.

Wajah mereka yang bulat telur dengan dagu agak panjang serta bibir yang merekah bak buah delima. Hidung yang agak mancung dan pipi yang lesung pipit, serta bola mata hitam dengan bulu mata lentik dan alis mata kecil membentuk bulan sabit menambah keelokan wajah mereka.

Rambut mereka terurai sampai punggung, agak berombak dengan ikat kepala berwarna merah muda dan ikat pinggang yang melilit berwarna merah muda pula dengan sebilah pedang terselip di pinggang masing-masing. Kulit mereka halus dan putih bersih.

Di bibir mereka terdapat tahi lalat kecil yang berbeda-beda letaknya, yang tertua dengan tahi lalat di bibir atas menghiasi wajahnya dan yang kedua dengan tahi lalat di bibir bawah dan yang nomor tiga dengan tahi lalat melekat di pinggir sebelah kanan bibirnya sehingga bila mereka tersenyum menambah kecantikan mereka.

“Adik-adikku! Hari ini kita bertemu dengan dewa silat!” ujar yang tertua dengan senyum menantang.

“Baiklah, kami memperkenalkan diri! Aku adalah yang tertua di antara kami. Namaku Riska dan yang kedua ini bernama Risma, serta yang paling bungsu bernama Rani!” lanjutnya dengan sorot mata tak berkedip menatap wajah Parmin yang tersipu-sipu melihat senyum mereka yang selalu menggoda.

“Apa maksud kalian bertiga mencegatku?! Aku sedang mengejar seseorang dan karena kalian aku kehilangan jejak!” sergah Parmin dengan nada agak jengkel.

“Kami bermaksud mencoba anda! Sampai di mana keahlian orang yang punya nama masyhur di seantero Pasundan ini!!!” kata Riska sambil menyilangkan kedua tangannya di dada diikuti oleh adik-adiknya.

“Ada suatu syarat! Bagaimana jika kalian kalah?” tanya Parmin dengan membentangkan kakinya memasang kuda-kuda sambil tersenyum simpul.

“Kami bertiga rela jadi istri anda dan kami mau melakukan apa saja di bawah perintah anda!” jawab Riska ketus sambil memberi isyarat kepada adik-adiknya untuk menyerang Parmin.

Secara serempak, tiba-tiba si Tiga Melati menyerang Parmin dengan senjata terhunus mengarah bagian leher, dada dan kaki Parmin, namun dengan cepat tubuh Parmin melentik bagaikan seekor belalang di sela-sela kilatan pedang dara-dara manis yang menyerangnya dengan ketat.

“Tunggu dulu! Aku tak dapat menerima syaratmu itu, Nona!” bentak Parmin sambil bersalto menjauhi si Tiga Melati.

Namun belum sampai kakinya menyentuh tanah, kembali si Tiga Dara tersebut menyerang Parmin dengan sabetan-sabetan pedang sehingga debu-debu beterbangan terkena angin yang ditimbulkan olehnya dan kembali Parmin terpaksa berjumpalitan di udara menghindari serangan tersebut.

Tubuh Parmin ringan bergerak bagaikan segumpal kapas tertiup angin. Tubuhnya ke sana ke mari berjumpalitan menghindar dari babatan dan sabetan pedang si Tiga Melati yang menyerangnya dengan bertubi-tubi. Namun sampai detik ini Parmin belum membalas serangan si Tiga Dara cantik dan centil itu.

Memang dalam hati Parmin ingin benar mengetahui sampai di mana tingkat ilmu silat mereka dan setelah memasuki jurus yang keduapuluh Parmin mengetahui bahwa tingkat ilmu mereka cukup lumayan. Tetapi dibandingkan dengan ilmu yang dimilikinya tentu masih jauh di bawah tingkatannya, dan selanjutnya Parmin menggunakan jurus 'angin puyuh' yang dengan sengaja membuat gaya secara demostratif.

“Hiiyaaaaat.......!!” bentak Parmin keras sambil meliuk-liukkan tubuhnya dengan cepat dan tongkatnya menyambar pedang dara-dara manis itu yang menjadi terkejut melihat bayangan tubuh Parmin yang begitu cepatnya.

“Trak. Trak! Trak!”

Suara beradu senjata-senjata mereka dengan tongkat Parmin. Seketika telapak tangan mereka terasa kesemutan disusul pedang yang terlepas dari genggaman tangan masing-masing.

“Aku di sini, Nona! Ambillah kembali pedang-pedang kalian! Nona bertiga kalah, tetapi aku tetap tak mau menerima syarat itu!!” ujar Parmin sambil menyodorkan tongkat besi beraninya yang ditempeli oleh tiga buah pedang milik si Tiga Melati.

Si Tiga Melati terkejut melihat kenyataan itu dengan mata melotot dan mulut terbuka dengan decak kagum mereka segera mengambil pedang masing-masing dan menyarungkannya kembali di balik ikat pinggangnya.

“Syarat lain kami tak punya! Kami tak punya apa-apa sebagai barang taruhan. Kami masing-masing hanya mempunyai sekujur badan ini!” jawab Risma.

“Anda jangan ragu-ragu, Pendekar! Kami bertiga rela hidup bersama anda ke mana anda pergi dan ketahuilah bahwa kami bertiga merupakan perawan yang baru mekar!

“Aku saja baru berumur limabelas tahun sedangkan kakakku berumur enambelas tahun dan kakakku yang tertua berumur tujuhbelas tahun! Apakah kami bukan sebagai buah yang sedang ranum?” tantang si Bungsu yang bernama Rani dengan ketus sambil mengerdipkan matanya sebelah mengandung arti.

***

4

Parmin melihat gelagat itu segera menarik napas dalam-dalam, dan dengan tenang ia kemudian berbicara seperti seorang bapak menasehati anaknya.

“Kalian telah membuat suatu lelucon yang tidak lucu buatku! Aku akan meneruskan perjalananku yang masih jauh! Selamat berpisah!

“Hanya kuharap kalian bertiga bisa menjadi pendekar yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan! Tuhan telah menentukan jodoh bagi setiap insan, begitu juga halnya dengan kalian bertiga.......!

“Bersabarlah! Jodoh tidak bisa diburu atau dipertaruhkan, jika sudah waktunya asam di gunung garam di laut pun bisa bertemu dalam belanga! Ingatlah itu baik-baik, Riska, Risma dan Rani!”

Parmin menasehati dara-dara manis yang masih muda belia itu. Dengan sorot mata tajam mereka mengikuti sang pendekar dari Gunung Sembung itu melangkahkan kakinya meninggalkan mereka. Kini tinggallah mereka pergi dengan kesan yang melekat di dalam hati masing-masing setelah menyaksikan kehebatan pendekar pujaannya yang terkenal itu.

“Dia sama sekali tidak tertarik kepada kita!” ujar Riska dengan nada seperti orang yang berputus asa dan bibirnya cemberut tanda kecewa.

“Kita harus belajar ilmu silat yang lebih tangguh dari dia! Jika dia kalah tentu dengan sendirinya ia akan menerima syarat kita!” kata si Bungsu yang bernama Rani dengan ketus sambil matanya terus memandang Parmin yang hampir menghilang di belokan jalan.

Beberapa saat kemudian mereka dengan lesu meninggalkan tempat tersebut dengan suatu tekad akan membantu pendekar kesayangannya mereka dalam suka dan duka, maka dengan langkah pasti mereka segera mengikuti arah perjalanan Parmin.

Tatkala bergegas mengejar, angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka bertiga sehingga rambut mereka yang dibiarkan terurai bergerai tertiup angin dan membuat wajah mereka menjadi semakin cantik mempesona. Baiklah kita tinggalkan dulu dara-dara manis yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' yang sedang mengejar langkah Parmin si Jaka Sembung.

<>

Sekarang kita ikuti perjalanan pendekar kita Parmin, alias si Jaka Sembung itu sendiri. Parmin terus melangkahkan kakinya menuju ke tengah-tengah Desa Cilumus. Matahari telah hampir condong ke Barat membuat bayangan-bayangan memanjang.

Parmin mengayunkan langkahnya perlahan namun pasti. Angin yang berhembus sepoi-sepoi basah menerpa wajahnya dan dedaunan yang bergoyang terkena hembusan angin membuat daun-daun kering yang sudah tua berguguran.

Awan hitam di langit sana mulai tampak bergumpal-gumpal memayungi Desa Cilumus saat itu dan kilatan-kilatan petir menyambar kian ke mari menandakan hujan akan segera turun. Penduduk Desa Cilumus yang masih berada di luar rumahnya bergegas memasuki rumah masing-masing. Sementara anak-anak kecil bersorak-sorai menantikan hujan, namun orang tua mereka segera menyuruh anaknya untuk memasuki rumah.

Tidak berapa lama kemudian air hujan mulai menetes satu per satu membasahi bumi. Parmin mempercepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh, tetapi tanpa sepengetahuan Parmin sepasang mata yang mencorong mengikuti gerak geriknya.

Sosok tubuh itu dengan wajah bengis dan golok yang terselip di pinggangnya berhenti di balik sebuah batang pohon besar sehingga tubuhnya terhalang oleh batang pohon tersebut. Parmin pun berteduh di samping rumah seorang penduduk.

“Kurang ajar! Gembel busuk itu bisa lolos dari racun itu! Aku harus segera lapor kepada Pak Kiyai!” gumamnya dalam hati dengan gigi gemerutuk menahan marah.

Hujan yang rintik-rintik kemudian menjadi besar disusul dengan curahan yang menderas diselingi guntur yang menggelegar memecahkan kesunyian di Desa Cilumus yang penduduknya telah memasuki rumahnya masing-masing.

Hujan deras itu tak henti-hentinya sampai matahari lenyap ke permukaan bumi dan alam yang sudah gelap kini menjadi kian pekat. Udara malam yang dingin kini semakin dingin disertai angin kencang. Genangan air hujan telah membentuk kubangan dan membuat tanah menjadi becek.

Dari celah-celah derasnya air hujan serta angin kencang yang membuat badan menjadi menggigil terlihat Parmin dan sahabatnya yang setia si Burung Beo sedang berteduh. Kaki serta pakaiannya telah basah terkena cipratan air hujan.

“Kau kedinginan, Beo? Masuklah berlindung dalam kain sarungku.” ujar Parmin hampir tak terdengar di sela-sela gemuruh suara hujan yang semakin deras.

Tiba-tiba telinganya mendengar sayu-sayup suara percakapan penghuni rumah tempat ia berteduh.

“Mini, oh. Mini anakku yang malang....... Mengapa sampai terjadi semua ini? Siapa.......? Siapa? Katakanlah kepada ibu siapa yang telah menodaimu?” tanya ibunya dengan lirih melihat anaknya kini sedang hamil dan perutnya yang kian membesar.

“Oh, ibu....... Kang Wangsa....... ampunilah aku! Ampunilah aku! Oh, Tuhan kutuklah aku!” ujar Mini dengan tangis terisak penuh penyesalan.

“Katakanlah, Nak.......! Katakanlah!” desak ibunya penasaran.

“Kiyai....... Kiyai....... Subeni!” jawab Mini terputus-putus sambil menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya dan menangis meraung-raung sangat memilukan hati.

“He.......? Hah?” sentak ibu dan Wangsa hampir bersamaan seperti disambar petir mendengar nama Kiyai Subeni disebut.

“Kiyai Subeni yang menodaimu, Mini? Masya Allah, Ki Subeni guru ngajimu itu?” Desak ibunya karena tidak percaya sambil mengerutkan dahinya dan terlihat wajahnya semakin tua.

“Kurang ajar! Keji! Murtad! Lagi-lagi perbuatan Kiyai cabul itu!!” bentak Wangsa sebagai tunangan gadis bernama Mini itu dengan suara keras. Tangannya dikepal menahan amarah, membuat Parmin yang berada di luar tersentak kaget.

“Hh!! Hachh!! Sudah berapa perawan yang ia rusak bedebah! Semua orang mendiamkan tingkah laku keparat itu! Mereka penakut semua! Apa yang ditakutkan? Aku tidak takut!!

“Akan kubunuh iblis murtad itu! Persetan dengan ilmu sihir dan guna-guna yang dimilikinya! Tunggulah ajalmu Kiyai Iblis!!!” bentaknya keras mencaci maki sepuasnya, disertai loncatan menerjang daun pintu yang terbuat dari bilik bambu dan ia melompat ke luar.

Di tengah-tengah derasnya hujan dan petir serta guntur yang menggelegar sang tunangan yang malang itu berlari-lari dengan golok telanjang menuju rumah Kiyai Subeni. Namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh sesosok manusia yang berwajah beringas.

“Berhenti! Mau ke mana, Kunyuk?!” bentak orang itu keras dengan mata yang menyiratkan nafsu ingin membunuh.

“Siapa kau?! Heh, Ki Burik, tangan kanan si Subeni! Bagus! Mampuslah anjingnya dulu! Hiiyaaaaat!!” bentak Wangsa keras sambil menyabetkan goloknya mengarah pinggang si Burik dengan cepat.

Namun dengan sekali menggerakkan tubuhnya Burik telah melesat ke atas dan lolos dari serangan Wangsa.

Wangsa terus merangsek Ki Burik yang masih berjumpalitan dengan goloknya yang tajam seperti pisau cukur. Tetapi Ki Burik dengan mudah menghindari serangan-serangan tersebut dan dalam jurus yang ketiga sebuah tendangan berat yang mengandung tenaga dalam menimpa dada Wangsa.

“Buk!”

“Hkh.......” suara tendangan itu disertai pekik tertahan dari Wangsa yang seketika tubuhnya terjerembab kegenangan air.

Ketika tubuh Wangsa hendak bangkit kembali tiba-tiba dadanya terasa terbongkar disusul dengan tersemburnya darah segar dan setelah menggeliat beberapa kali untuk meregang nyawa. Tubuh Wangsa tak berkutik lagi....... biru mengejang dan nyawanya lepas entah ke mana. Darah membasahi tubuhnya dan air di sekitarnya menjadi merah karena darahnya sendiri.

Ki Burik melihat korbannya mati dengan sekali gebrakan dengan serta merta tertawa terbahak-bahak sambil berkacak pinggang. Tetapi sedetik kemudian berkelebatlah bayangan Parmin menyerang tubuh Ki Burik yang sedang tertawa dengan babatan tongkat besi beraninya disertai tenaga dalam mengarah leher Ki Burik.

Tawa Ki Burik dengan seketika terhenti dan tubuhnya melejit ke belakang menghindari serangan Parmin. Namun sebelum kakinya menyentuh tanah kembali Parmin menyerang dengan tendangan kakinya mengarah selangkangan Ki Burik.

Tetapi dengan jeli Ki Burik melentikan tubuhnya dan menjauhi Parmin hendak melarikan diri. Namun kembali Parmin menyerang dengan totokan tongkatnya.

“Hek!” suara Ki Burik tertahan dan dengan tubuh sempoyongan ia melompat ke semak belukar. Seketika terjadilah kejar mengejar yang seru di bawah siraman hujan yang semakin deras dengan kilat menyambar dan guntur yang menggelegar.

“Tak salah lagi! Dia tentu orang yang menyuruh pelayan warung itu untuk meracuniku!” gumam Parmin dalam hati sambil mempercepat larinya. Tetapi tubuh Ki Burik telah menghilang ditelan kegelapan malam.

Tinggallah Parmin seorang diri di atas bubungan rumah penduduk sambil termangu-mangu dan sesaat kemudian ia telah kembali ke tempat di mana mayat Wangsa tergeletak dan dengan perasaan terenyuh dibopongnya mayat Wangsa yang berlumuran darah ke tempat di mana Parmin tadi berteduh.

Setelah memberitahukan kepada si pemilik rumah, Parmin segera berlalu dari tempat itu dan segera melangkah dengan cepat menuju ke kediaman Kiyai Subeni tanpa menghiraukan hujan yang turun dengan deras membasahi tubuhnya. Sungguh ia sangat menyesal terlambat bertindak sehingga pemuda yang malang itu sudah tewas di tangan seseorang yang berjiwa keji.

Sementara itu di suatu tempat dengan pekarangannya yang luas dipagari batang-batang bambu setinggi pinggang berdiri sebuah bangunan cukup megah dengan tiang-tiang terbuat dari kayu jati berukir.

Bangunan panggung tersebut memiliki anak tangga yang terbuat dari kayu jati dan berlantai kayu yang mengkilap. Di sudut kiri kanan terdapat kendi besar terbuat dari tanah liat berukir berbentuk burung elang sedang mematuk seekor ular.

Sayup-sayup terdengar alunan suara yang merdu mengalunkan ayat-ayat suci Al Qur'an seakan menembus derasnya hujan.

Di ruang dalam terdapat beberapa orang dara cantik sedang mengaji dengan khusu' dan tertib di bawah bimbingan seorang Kiyai. Dara-dara cantik itu memakai pakaian kain kebaya dengan kerudung menutupi kepalanya.

Di hadapan mereka duduk bersila sang Kiyai dengan pandangan mata tajam menatap wajah mereka satu persatu membuat yang dipandang menundukkan kepala. Orang tersebut yang tak lain adalah Kiyai Subeni dengan sosok tubuh gemuk serta pipinya yang tembem membuat hidungnya yang pesek menjadi semakin pesek.

Ia memakai baju koko bersulam benang emas di leher bajunya dan memakai pici berwarna putih yang dililit dengan sorban putih serta sehelai kain bercorak kotak-kotak diletakkan di pundak kirinya dan kain sarung yang dipakainya berwarna putih bergaris hitam.

“Si Zaitun kurang fasih dalam mengucapkan lafalnya! Mulai Jum'at besok kau harus mengaji sendirian sebagai pelajaran tambahan!” tegur Kiyai dengan suara berat namun tegas dengan mata yang menyiratkan sesuatu.

“Aku tak bisa datang ke mari sendirian, Kiyai! Biarlah kekurangannya akan kupelajari sendiri di rumah. Ayah dan ibu mungkin bisa memberi petunjuk!” sanggah Zaitun pelan sambil menundukkan kepalanya.

“Jangan bicara sebodoh itu, Zaitun! Ayah dan ibumu telah mempercayakan semua ini kepadaku!!!” bentak Kiyai Subeni agak keras dan disambut oleh Zaitun dengan tarikan napas panjang.

“Aku adalah gurumu, guru ngaji kalian! Kalian sebagai murid harus taat pada perintah dan ucapan guru! Kalau kalian membandel akan celakalah dan tiada bermanfaat ilmu yang kalian pelajari!

“Bagaimana Zaitun! Masihkah kau membantah? Pengajianmu banyak ketinggalan dari kawan-kawanmu!!” bentak Kiyai dengan suara keras memperingati Zaitun serta murid yang lainnya.

Semua murid yang berada di situ tidak ada yang berani bersuara apalagi menggerakkan badannya. Semua diam dengan kepala tertunduk. Begitu pun Zaitun murid yang tercantik itu menjadi lemas sendi-sendinya.

Apa yang harus diperbuat? Ia tertunduk sayu di bawah sorotan mata Kiyai Subeni yang bagaikan bisa menembus sampai ke lubuk hatinya dan memancarkan suatu tenaga gaib yang menghanyutkan.

“Bagaimana, Zaitun?” tanya Kiyai Subeni dengan mata memaksa dan sorot mata tajam menatap Zaitun.

Suasana di ruangan itu menjadi sunyi namun menegangkan. Akan tetapi ketegangan itu tiba-tiba terpecah dengan datangnya Ki Burik dengan sekujur badan yang basah kuyup.

“Ki.......! Kiyai! Celaka, Ki! Pendekar Gunung Sembung itu sudah sampai di sini dan sedang mengejarku!” ujar Ki Burik pelan dengan tubuh gemetar.

“Apa, hah?” bentak Kiyai Subeni kaget mendengar nama tersebut sambil menatap tajam ke arah Ki Burik.

Sementara itu hujan di luar belum juga ada tanda-tanda reda. Beberapa detik kemudian berkelebatlah tubuh Parmin melompati pagar bambu dan berdiri tegak di tengah pekarangan pesantren milik Kiyai Subeni.

“Kiyai Subeni! Sebagai tamu, aku sangat menghargai kekuasaan tuan rumah. Maka aku tak hendak masuk rumahmu dan memaksa anda untuk keluar. Tetapi anda pun harus keluar untuk mengulangi penyambutan anda yang telah gagal!!” ucap Parmin keras mengalahkan bunyi hujan yang semakin deras.

Parmin teringat peristiwa tadi siang di perbatasan Desa Cilumus, di warung itu, di mana ia hampir saja minum air teh yang berisi racun dan kiranya Kiyai Subenilah dalangnya. Hujan yang turun terus menerus itu menggigilkan tubuh Parmin dan agaknya Kiyai Subeni tahu akan hal itu dan sengaja membiarkan penantangnya berdiri di luar sampai kaku.

Tetapi Jaka Sembung yang telah dididik oleh gurunya yang kedua Begawan Sokalima di Puncak Ciremai melalui latihan melawan hawa yang sangat dingin, dengan tenang tetap berdiri di bawah curahan hujan dan dengan tubuh basah kuyup.

“Aku tahu akal bulus Kiyai murtad ini! Baik! Aku harus mengejeknya supaya ia keluar!” gumam Parmin dalam hati.

“Hai, Subeni! Bandot tua bermata keranjang! Memang enak cuaca dingin begini mengerami muridmu yang cantik-cantik!! Ha.... ha.... ha.... ha...!” Tantang Parmin dengan lantang dan mengandung ejekan yang sangat pedas.

Betul juga dugaan Parmin, karena tiba-tiba daun pintu bergerak dan sesosok tubuh bulat gempal melompat ke luar dan langsung menyerang Parmin yang memang sudah siap-siaga. Kiyai Subeni dengan cengkeraman mautnya yang disertai tenaga dalam yang sempurna menimbulkan hawa panas dari telapak tangannya.

Namun Parmin dengan sangat cekatan melayani serangan itu sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Melihat musuhnya tidak memakai senjata, Parmin segera melempar tongkat besi beraninya sambil berjumpalitan menghindari cengkeraman tangan Kiyai Subeni yang mengarah ke perut.

“Oh, inikah tampang Kiyai yang menghalalkan maksiat untuk memuaskan nafsu iblisnya?! Manusia seperti inilah penghuni neraka jahanam yang paling bawah!!!” ujar Parmin dengan lugasnya sambil bersalto ke belakang guna mengambil jarak.

“Tutup rapat-rapat bacotmu, Monyet gelandangan! Hiiiich.......! Mampus!!” bentak Kiyai Subeni sambil menyerang Parmin secara bertubi-tubi.

“Kau menodai kesucian agama! Copotlah kedok Kiyai mu itu, hai gadungan!!!” bentak Parmin keras dan dengan cepat menyerang Ki Subeni.

Mereka berdua mengeluarkan jurus-jurus maut dari ilmu silat tinggi sehingga tubuh mereka hanya terlihat seperti gulungan sinar dan gulungan sinar itu saling silang satu dengan yang lainnya dengan gerak yang begitu cepat.

Beberapa saat kemudian gulungan sinar itu berubah langkah dan kini saling menyongsong dengan kecepatan tinggi. Teriakan mereka hampir bersamaan memecahkan suara derasnya hujan karena disertai tenaga dalam, sehingga Ki Burik yang menyaksikan jalannya pertempuran itu segera bersemedi mengusir suara keras yang masuk ke telinganya.

“Buk! Hk!”

Terdengar suara tertahan disusul oleh tubuh Parmin yang terlempar ke belakang beberapa depa dan tubuhnya menabrak sebuah pohon besar membuat ranting dan daun kering berguguran.

Parmin merasa bumi yang dipijaknya berputar-putar, kepalanya pening dan dadanya sesak terkena gedoran tangan Ki Subeni yang mengandung tenaga dalam. Parmin berusaha untuk bangkit, tetapi pandangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang dan dadanya terasa hendak meledak.

“Hoak!” darah segera keluar dari mulutnya membasahi genangan air di sekitarnya yang seketika berubah menjadi merah dan tubuhnya ambruk bermandikan darahnya sendiri.

“Nah kini terimalah ajalmu gembel busuk!!!” teriak Ki Subeni keras dengan geraman nafsu ingin membunuh dan tubuhnya melesat cepat dengan kaki mengarah ke depan dengan pasti hendak menghabisi riwayat Jaka Sembung.

Pada saat kritis itu tiba-tiba bcrkelebat tiga bayangan menyambar tubuh Parmin yang sudah tak berdaya itu. Tanah becek tempat Parmin tergeletak meledak seperti kena bom, ketika kaki maut Ki Subeni itu berdebam menemui tempat kosong dan melihat tubuh musuhnya yang sudah tak berdaya itu melesat dibawa lari oleh tiga dara manis yang kini menyerangnya dengan pedang telanjang mengarah pinggangnya.

Mereka ternyata si Tiga Melati yang selama ini mengikuti perjalanan Parmin. Dua orang gadis di antaranya yang tak lain adalah Risma dan Rani segera melesat sambil membopong tubuh Parmin yang terluka parah dan menghilang dikegelapan malam.

“Cepat kita lari! Biarlah Kak Riska meladeni orang gemuk!” sergah Risma kepada adiknya Rani dan segera lari.

Sementara itu Riska dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya meliuk-liuk ke sana ke mari sambil sekali-sekali coba menusuk atau membabatkan pedangnya.

“Siapa kalian, heh? Kenapa ikut campur?” ujar Ki Subeni dengan kesal sambil mengirim serangan maut.

“Kami adalah bidadari-bidadari penolong dari kahyangan! Aku tak ingin lama-lama meladenimu bercanda, Kiyai gendut!” sergah Riska sambil bersalto menjauhi Ki Subeni ke semak-semak belukar dan menghilang di telan kegelapan malam.

“Bebel sial! Awewe jurig!!!” bentak Ki Subeni kesal setelah melihat musuhnya telah lenyap. Tinggallah Ki Subeni seorang diri dan dengan wajah kesal memasuki rumahnya dan segera memerintahkan Ki Burik untuk melakukan pengejaran.

“Burik cepat kumpulkan kawan-kawanmu dan segera bawa ke mari bangsat Sembung itu!!!” ujarnya keras dengan nada kesal.

“Baik, Pak Kiyai!” jawab Ki Burik dan segera meninggalkan tempat itu untuk mengumpulkan kawan-kawannya.

Riska dengan ilmu larinya yang sempurna segera dapat menyusul adik-adiknya yang masih membopong tubuh Parmin di celah-celah hujan yang deras itu.

“Terus ke lembah sebelah Timur itu di sana ada sebuah goa! Si gemuk gendut itu pasti tak mengejar kita! Ia lebih senang mengerami murid-muridnya yang cantik-cantik!” ujar Riska memberi petunjuk kepada adik-adiknya.

Beberapa lama kemudian mereka sampai pada sebuah goa di balik bukit dan segera tubuh Parmin dibaringkan di lantai batu yang beralas ilalang kering.

Sang waktu terus merambat pada jalurnya dengan pasti dan hujan diluar telah lama reda.

“Lihat! Dadanya terbakar kena pukulan 'Samber Nyawa' Ki Subeni!” sentak Riska setelah memeriksa dada Parmin yang membekas berbentuk telapak tangan Ki Subeni. Dada Parmin hangus membiru terkena gedoran pukulan Ki Subeni yang amat dahsyat.

“Kalian tak perlu cemas Pendekar Gunung Sembung tidak mati....... dia sedang melawan racun pukulan itu dengan tenaga dalamnya. Sebentar lagi tentu bangun,” ujar Riska setelah meraba dada Parmin dan telapak tangannya merasakan ada denyutan perlahan.

Kokok ayam jantan saling bersahut-sahutan menyambut sang fajar yang tersembul dari balik bukit dengan sinar emasnya. Burung-burung pun bernyanyi menyambut pagi dengan irama merdu pertanda masih ada kehidupan.

Parmin belum sadarkan diri. Tubuhnya masih terbaring di atas tumpukan ilalang rumput kering dan dijaga oleh tiga dara manis yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' dengan sabar.

“Rani! Coba kau carikan air! Air pegunungan yang dingin cukup membantu pernapasan dan kelancaran peredaran darah dalam tubuhnya, sementara itu aku membantu dengan mengurutnya!” ujar Riska menyuruh si Bungsu.

“Aku saja yang kau suruh-suruh, coba sekali-sekali si Risma itu!” bantah Rani sambil cemberut.

“Sudah! Jalankan perintah! Aku adalah saudaramu yang tertua berhak mengatur dan semua ini demi untuk kepentingan bersama!” bentak Riska tegas sambil melotot matanya.

Matahari telah mulai meninggi sehingga membuat hawa di sekitar goa menjadi hangat dan selang beberapa lama kemudian Parmin telah sadar dan segera menyandarkan dirinya ke dinding.

“Oh, terima kasih....... kaliankah yang telah menolongku? Riska, Risma dan Rani semoga Tuhan membalas kebaikan hati kalian!” ujar Parmin pelan sambil mendekap dadanya dan memijit kepalanya yang masih agak pusing.

“Mengapa Tuhan yang membalas?” tanya Riska berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan Parmin. “Kami ingin kau sendiri yang membalas kebaikan hati kami, kami bertiga bersedia ikut ke mana kau pergi. Jadikanlah kami bertiga istri-istrimu!” sela Rani ketus dengan senyum dibuat-buat agar Parmin tergugah hatinya.

“Tidak bisa! Ketahuilah oleh kalian, aku sudah punya kekasih di Desa Kandang Haur!” jawab Parmin cepat dan mengaku dengan jujur.

“Kekasihmu itu tentu seorang gadis yang cantik sekali....... ya?” ujar Risma sambil menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Parmin.

“Pendekar Gunung Sembung! Biarlah kami menjadi istrimu atau menjadi selir-selirmu! Bukankah agama kita mengijinkan seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari satu orang?” ujar Riska sambil tangannya bergelayutan di pundak Parmin, namun dengan halus Parmin menepiskannya.

“Itu memang dibenarkan oleh agama, tetapi dengan syarat. Pertama harus bisa membagi rata kasih sayang, kedua harus berbuat adil dengan nafkah harta maupun nafkah bathin. Pada kenyataannya manusia tidak bisa memenuhi syarat-syarat tersebut, tak terkecuali juga aku sendiri!

“Sekarang begini, bagaimana jika kita bersahabat saja? Hubungan sebagai kawan adalah lebih baik, karena tak dikotori oleh rasa cemburu! Dan bagaimana pendapat kalian untuk menyingkirkan Ki Subeni?”

“Ia ditakuti karena punya anak buah yang memiliki kekuatan ilmu hitam dan ilmu silat yang tinggi!” ujar Riska memperingatkan.

“Gampang! Kita bakar kemarahan penduduk desa ini! Kurasa di antara mereka ada yang memiliki kepandaian silat yang cukup, cuma mereka takut bertindak sendiri-sendiri,” potong Rani ketus sambil mengepalkan tangannya.

“Bagaimana caranya baiklah kuserahkan kepada kalian! Aku sendiri akan mencoba nasib sekali lagi melawan Ki Subeni!”

“Jangan khawatir pendekar! Kami akan membantumu sampai titik darah yang penghabisan!” sergah Risma bersemangat dengan mata berbinar-binar.

“Ya pendekar, kami akan membakar semangat penduduk untuk menumpas Kiyai murtad itu!” ujar Riska lebih bersemangat dan menggebu-gebu.

Parmin yang mendengar semua itu tersenyum bangga dalam hati. Andai kata para pendekar di seluruh nusantara tercinta ini memiliki semangat seperti si Tiga Melati ini niscaya penjajah Kumpeni Belanda akan musnah dari bumi pertiwi!

“Nah sekarang kembalilah kalian ke desa! Hindari bentrokan dengan para begundal Ki Subeni! Laksanakan tugas mulia ini, semoga Tuhan bersama kita!” ujar Parmin pelan namun berwibawa.

Si Tiga Melati dengan langkah pasti meninggalkan Parmin yang memandangi mereka dengan rasa kagum. Tak lama kemudian ketiga gadis kembar itu menghilang di balik bukit.

Matahari telah membuat bayangan-bayangan memanjang, angin pun berhembus sepoi-sepoi menerpa dedaunan membuat daun-daun kering berjatuhan dan tunas-tunas baru tumbuh menggantikan. Burung-burung dengan kicauan-kicauan merdu saling bersahut-sahutan kembali ke sarangnya masing-masing.

Tinggallah Parmin seorang diri di dalam goa. Namun tak lama kemudian ia pun meninggalkan tempat itu. Parmin terus berjalan melewati bukit bebatuan untuk mencari tempat yang aman guna penyembuhan lukanya.

Di tengah perjalanannya itu Parmin mendengar suara yang khas dimiliki sahabatnya, si Beo yang tiba-tiba tampak datang dengan terbang rendah dan kemudian hinggap di pundak Parmin sebelah kiri dengan lunaknya.

“Hm....... aku sudah cemas kehilangan kau, Beo!” ujar Parmin tersenyum gembira dan disambut oleh si Beo dengan mengibaskan sayapnya yang sebelah kanan mengusap pipi Parmin.

“Kau tentu lapar, Beo! Nah mari kita cari tempat istirahat sambil mencari makanan!” lanjut Parmin sambil mengelus kepala si Beo dan si Beo pun memejamkan matanya dengan manja.

<>

Kita tinggalkan dahulu Parmin dan sahabatnya yang setia dan selalu menemaninya dalam suka dan duka itu. Di suatu senja dengan anginnya yang semilir membuat awan tipis di udara bergerak berarak-arak dan pohon-pohon yang tumbuh dengan daun-daunnya yang lebat dan rindang bergoyang-goyang sehingga menimbulkan gerak bagai seorang penari yang lemah gemulai dan meliuk-liuk.

Di suatu tempat, di antara rumah-rumah penduduk Desa Cilumus terlihat dara manis yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' sedang berteriak-teriak keras penuh semangat.

“Haayooo! Haayooo!! Kalian semua keluar, keluar! Kami ingin bicara!” teriak si tiga dara cantik itu bersama-sama dengan penuh semangat, sehingga suaranya berkumandang ke segenap pelosok desa.

Mendengar suara teriakan-teriakan itu semua penghuni rumah ke luar memenuhi halamannya masing-masing sehingga dalam sekejap mereka sudah berkumpul.

“Heii, ayo berkumpul semua! Jangan berdiam diri saja! Dengarlah baik-baik! Kalian selama ini membiarkan seseorang yang berkedok Kiyai, tetapi ternyata melakukan praktek-praktek mesum!” ujar Riska bersemangat dengan suara lantang untuk membakar hati penduduk Desa Cilumus.

Mereka semua yang mendengar menjadi heran tercengang-cengang. Tiga orang dara muda belia begitu beraninya dan dengan terang-terangan menyinggung seseorang yang selama ini mereka segani dan paling mereka takuti di Desa Cilumus ini.

Pada sore hari ini mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala mereka masing-masing bagaimana tiga dara manis dengan semangat menggebu menentang dan mencaci maki orang tersebut. Dengan semangat yang berapi-api si Tiga Melati terus membakar semangat penduduk Cilumus yang mulai tergugah dan menyadari diri.

“Setiap muslim tentu merasa tercoreng oleh tindakan semena-mena dan menginjak-injak kesucian agama Islam!” teriak Risma sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi mengepal.

“Orang itu berlagak sebagai Kiyai alim, tetapi sesungguhnya adalah iblis yang paling murtad!!!” sambung Rani tak kalah keras dengan mata berbinar-binar.

“Sudah berapa banyak anak perawan yang dinodai? Apakah kalian akan terus membiarkan begitu saja? Apakah kalian merasa takut dengan kekuatan sihir Ki Subeni?! Cuiih!! Mari kita angkat senjata! Kita enyahkan iblis itu!!!” ujar Riska bersemangat sambil mengacungkan goloknya ke atas.

Maka dengan cepat penduduk yang berada di situ berteriak menyambut himbauan si Tiga Melati.

“Betul! Ayo, kita serbu!!!” teriak seseorang dengan penuh semangat.

“Hancurkan Kiyai cabul itu!!” ujar si kumis melintang sambil menguak kerumunan dan maju ke depan sehingga si Tiga Melati melihat dengan jelas.

“Kepruk saja kepalanya, kita jadikan perkedel!!!” seru orang yang brewok sambil melemparkan goloknya ke udara dan disambutnya kembali goloknya itu dengan sigap sehingga seketika tepuk tangan bergemuruh dari mereka yang menyaksikan demonstrasi tersebut.

“Sudah tiba saatnya kita menumpas Kiyai iblis itu!!!” teriak seorang wanita muda dengan suara melengking dan wajahnya menjadi merah padam menahan amarah yang sudah sekian lama terpendam. Agaknya mungkin ia merupakan salah seorang korban Kiyai Subeni juga.

“Tuummpaass!! Serbuuuu!! Ganyaaanngg!!” teriak mereka bersahut-sahutan sehingga suasana di tempat tersebut hiruk pikuk tak menentu, membuat si Tiga Melati menjadi kerepotan mengaturnya.

“Tenang saudara-saudara!! Teenaangg!!!” teriak si Tiga Melati hampir bersamaan dengan suara keras sekali sambil memberi aba-aba dengan tangannya supaya penduduk tenang. Dengan seketika suara yang hiruk pikuk tersebut menjadi berhenti dan mereka memperhatikan si Tiga Melati berbicara.

“Tenang saudara-saudara! Belum tiba saatnya bagi kita untuk menyerang! Tunggulah dalam beberapa hari ini! Bila pendekar kita Jaka Sembung telah memberi komando untuk menyerang baru kita menyerang!!

“Janganlah kalian bertindak sendiri-sendiri! Ingatlah bersatu kita teguh bercerai kita runtuh!!!” ujar Riska lantang memperingatkan penduduk yang kini telah terbakar semangatnya.

Setelah memberikan petunjuk kapan saat memulai pergerakan, si Tiga Melati segera meninggalkan tempat tersebut untuk menemui Parmin di tempat yang telah ditentukan.

***

Di suatu tempat dengan pekarangannya yang luas terlihat beberapa orang sedang berjaga-jaga di sekitar bangunan yang cukup besar sambil berbincang-bincang menikmati kopi hangat yang telah tersedia.

Udara di sore hari itu cukup sejuk dengan angin bertiup kencang dan awan di udara bergumpal-gumpal kehitaman pertanda hujan akan segera turun dan guntur yang bergemuruh memecahkan kesunyian menjelang malam yang sebentar lagi tiba.

Para begundal Ki Subeni dengan asyiknya menikmati kopi hangat sambil bermain kartu domino di teras rumah tersebut dengan tertawa-tawa. Wajah-wajah mereka menyeramkan dan bengis dengan mata yang berbinar-binar.

“Ayo Kupret! Angkat kakimu dari sini, uangmu sudah habis!” ujar si Brewok dengan bibir mencibir mengejek.

“Sialan! Lagi-lagi aku sial!!!” sentak Kupret kesal sambil berdiri dan membanting kartu yang dipegangnya ke atas meja dan berlalu diiringi gelak tawa teman-temannya.

Suasana di luar rumah tersebut sangat kontras dengan keadaan di ruangan dalam di mana dua sosok manusia sedang berhadap-hadapan dengan ketegangan masing-masing.

“Rokhimah! Duduknya jangan jauh-jauh, suaramu tidak kedengaran!” perintah Ki Subeni dengan sorot mata tajam memandangi muridnya yang sedang membaca ayat suci Al Qur'an.

“Pak Kiyai hari sudah malam dan hujan pun segera turun! Bolehkan saya pulang?” tanya Rokhimah sambil membetulkan kerudungnya hingga menutupi sebagian dahinya.

“Tidak Rokhimah! Kamu jangan takut, setelah selesai kau boleh pulang dan nanti kau diantar oleh orang-orangku!” ujar Ki Subeni sambil menggeser duduknya lebih dekat dengan sorot mata tetap memandang wajah Rokhimah yang menjadi gemetar dan keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.

“Te....... ta....... pi....... biarlah dilanjutkan besok sore saja, Kiyai!” sanggahnya pelan hampir tak terdengar karena menahan takut yang amat sangat melihat guru ngajinya kian mendekati dirinya dengan sorot mata yang mengeluarkan sinar menembus lubuk hatinya.

“Rokhimah.......! Rokhimah! Pandanglah ke mari, Anak manis!!” ujar Ki Subeni pelan namun berwibawa dengan napas yang memburu dan tangannya telah membelai pundak Rokhimah.

“Ja....... jangan, Kiyai!!” sergah Rokhimah terputus-putus dan tanpa sadar memandang mata Kiyai Subeni yang mengandung magnit itu, dan seketika tubuhnya menjadi lemas tak berdaya.

Kemudian tangan jahil itu mulai beraksi di tubuh Rokhimah yang telah terhipnotis.

Binatang-binatang malam tidak ada yang berani keluar, semuanya berlindung di sarangnya masing-masing hanya suara katak yang bersahut-sahutan seakan-akan memanggil hujan agar segera turun. Tak lama kemudian hujan rintik-rintik turun membasahi bumi, dedaunan serta tanah yang dengan seketika menjadi basah tergenang air hujan.

Udara pun bertambah dingin dan para begundal Ki Subeni yang sedang tertawa-tawa sambil bermain domino seakan-akan mengiringi sang iblis yang telah merasuki jiwa Kiyai Subeni untuk merusak akhlak manusia yang kurang imannya dan udara yang dingin itu justru menambah gejolak di dalam tubuh manusia yang telah dirasuki nafsu iblis tersebut.

Demikian yang terjadi diri Kiyai Subeni yang telah lupa akan dirinya dan nafsu setannya yang telah terlaksana. Hujan yang rintik-rintik seakan-akan tak mau reda mengiringi tangis terisak dari seorang gadis yang bernama Rokhimah, namun apa daya ia hanyalah makhluk lemah tak berdaya.

***