Waktu terus berputar membawa irama kehidupan di Desa Cilumus dan
sekitarnya.
Parmin dengan sahabatnya, si Burung Beo, berjalan dengan tenang menyelusuri
bukit-bukit kecil yang terdapat di Desa Cilumus sebelah Timur guna mencari
tempat yang aman untuk mengobati dirinya sendiri yang terkena pukulan dari
Kiyai Subeni.
Parmin mendapatkan sebuah pohon besar dengan daun-daunnya yang tumbuh lebat
dan ranting- ranting yang menjuntai menambah rindangnya pohon itu. Ia segera
bersila di bawahnya.
Dengan posisi tangan berada di kedua belah pahanya dan matanya terpejam
memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Wahyu Taqwa' suatu ilmu yang amat
dahsyat dari jurus silat Gunung Sembung yang diajarkan oleh gurunya yang
pertama Ki Sapu Angin. Tetapi kali ini Parmin mempergunakannya tidak untuk
bertempur melawan musuh, melainkan untuk menyembuhkan luka dalamnya.
Parmin menyalurkan hawa murni dari bawah perutnya dan seketika uap putih
mengepul dari ubun-ubunnya yang jelas terlihat di bawah sinar rembulan yang
masuk di sela-sela dedaunan dan dada Parmin turun naik mengatur
pernafasannya.
Malam pun merambat perlahan namun pasti, rembulan yang bersinar kini kian
condong ke Barat membuat bayangan-bayangan memanjang dan tubuh Parmin tetap
pada posisinya semula. Binatang-binatang malam telah kembali ke sarangnya
dan rembulan pun telah hilang di balik bukit.
Sinar mentari pagi telah tersembul dari ufuk Timur dan semburat dengan
sinar emasnya menerangi ke seluruh mayapada ini.
Burung-burung bernyanyi bersenda gurau beterbangan kian ke mari serta ayam
jantan yang berkokok saling bersahut-sahutan menambah suasana menjadi terasa
bergairah dalam menyongsong datangnya hari baru. Sinar matahari pagi
menembus dari sela-sela dedaunan menyinari wajah Parmin dan seketika membuka
matanya sambil menghela napas dalam-dalam menghirup udara pagi yang
menyegarkan.
Embun pagi telah menguap dan Parmin segera meninggalkan tempat tersebut
dengan keadaan tubuhnya yang segar bugar setelah ia bersemadi semalam
suntuk. Langkahnya yang pasti menyelusuri tepian sungai itu dengan tujuan
kembali ke pesantren milik Kiyai Subeni.
Parmin berjalan sambil menikmati keindahan alam di sekitarnya sementara di
dekatnya air sungai mengalir dengan tenangnya. Parmin terus mengayunkan
langkahnya, akan tetapi segera berhenti karena naluri kependekarannya
mengatakan ada sesuatu yang tak beres berada di sekitarnya.
Setelah mengamati keadaan sekitarnya dengan sorot matanya yang tajam sambil
mengerahkan ilmu 'Menyatukan Sukma' ia melangkah dengan penuh
kewaspadaan.
Baru saja Parmin melangkahkan kakinya, tiba-tiba tanah yang di hadapannya
meledak seketika seperti terkena dinamit dan dengan segera Parmin bersalto
beberapa kali ke belakang.
“Bush! Bush!”
Suara itu menggelegar memecahkan suasana di pagi hari membuat burung-burung
beterbangan dan tanah yang terkena benda tersebut menjadi berlubang dan
debu-debu pun beterbangan ke sana ke mari.
Dengan cekatan Parmin menghindari setiap serangan yang mengarah ke tubuhnya
dan setiap kali benda itu mengenai tempat kosong.
Senjata yang menyerang Parmin itu ternyata berbentuk bundar seperti bola
terbuat dari logam keras berduri runcing-runcing dan dikendalikan oleh
rantai yang kuat dan panjang sehingga desiran angin yang ditimbulkan sangat
kuat dan kencang membuat daun-daun kering beterbangan dan berguguran terkena
hempasan anginnya.
Parmin baru ingat akan benda yang menyerangnya yang tak lain adalah
kepunyaan seorang dari negeri Hindustan yang bernama Goga Khan dengan ilmu
silat tinggi dan pernah bertarung dengannya beberapa bulan yang lalu, ketika
Parmin dalam perjalanan menuju Desa Cilumus. Ketika itu Goga Khan terkena
golok pendek Parmin yang menggores kulit batok kepalanya dan Goga Khan
berjanji akan kembali mencari Parmin untuk membalas kematian kakaknya.
Kini kembali Parmin menghadapi senjata yang dahsyat itu dan dimainkan
dengan sangat terampil dan cekatan oleh orang yang berilmu silat tinggi
dengan tenaga dalam yang sudah sempurna tingkatnya. Namun dengan ketenangan
yang dimilikinya dan ilmu silat Gunung Sembung yang sudah menjadi darah
dagingnya, ia hadapi senjata maut Goga Khan dengan tenangnya.
Sementara itu suara berisik pertarungan telah membuat makhluk penghuni
sungai mulai bermunculan. Belasan ekor buaya mengangakan moncongnya siap
melahap mangsa yang terjerumus ke dalam air.
Tiba-tiba tubuh Parmin meletik ke udara menghindari senjata maut itu dan
kemudian dengan gerakan yang sangat ringan seperti kapas, tubuhnya membuat
gerakan bersalto beberapa kali dan ia menggunakan punggung buaya-buaya itu
sebagai jembatan penyeberangan. Akibatnya adalah.......
“Crot! Crot!”
Suara batok kepala buaya yang pecah terkena senjata maut itu dan darah pun
segera mewarnai air sungai. Terhindarlah Parmin dari serangan tersebut,
sebaliknya bagi buaya-buaya yang terluka dan berdarah mengundang
teman-temannya yang kelaparan dan dengan seketika tubuh kawannya yang sudah
tak berdaya lagi menjadi bahan rebutan untuk dimangsa dan air pun berubah
menjadi merah berbuih-buih dengan gejolak air yang bergulung-gulung menandai
pesta pora binatang yang ganas itu.
Tubuh Parmin yang masih melayang di udara terus dikejar oleh senjata yang
dahsyat itu yang bagaikan mempunyai mata mengikuti ke mana Parmin bergerak
dan selalu senjata itu mengenai tempat kosong membuat orang yang
menyerangnya menjadi semakin marah. Parmin dengan gesit terus menghindar
dengan penuh perhitungan.
Gulungan-gulungan sinar dari putaran senjata maut itu terus mengurung tubuh
Parmin hingga Parmin menjadi terdesak. Tetapi dengan ilmu silat tinggi yang
diwariskan oleh gurunya, Ki Sapu Angin sampai saat ini nyawanya masih
selamat dan tubuhnya melentik ke sana ke mari bagaikan seekor udang
menerobos celah-celah sinar tersebut.
Baru saja kakinya menyentuh tepi kali, kembali bola logam berduri itu
menyerangnya bertubi-tubi dan tubuh Parmin terpaksa kembali melompat tinggi
sambil menyabetkan tongkat besi beraninya.
“Trang!”
Suara keras yang ditimbulkan oleh beradunya dua senjata yang telah diisi
dengan tenaga dalam itu sehingga menimbulkan bunga-bunga api disusul dengan
melayangnya tubuh Parmin ke belakang sambil bersalto dua kali dan mendarat
dengan ringan pada sebuah batu besar dengan mantapnya. Sedangkan senjata
berduri itu terpental kembali menuju ke arah sang pemilik, dengan cepat
mengarah batang leher tuannya tanpa terkendali.
“Siing!”
Senjata maut itu bagaikan anak panah terlepas dari busur mengancam
nyawanya. Tetapi dengan kejelian matanya Goga Khan dengan cepat menundukkan
kepalanya sehingga senjata mautnya lewat di atas kepalanya sendiri dan
menghantam pohon besar sampai terporak poranda.
Duapuluh jurus, tigapuluh jurus hingga limapuluh jurus pertempuran itu
terlihat masih seimbang walau telah mengerahkan seluruh kemampuan
masing-masing untuk saling menjatuhkan. Desiran angin yang ditimbulkan oleh
senjata maut Goga Khan membuat daun-daun kering serta debu-debu beterbangan
menutupi pandangan mata Parmin.
Parmin alias Jaka Sembung sambil berkelit memutar tongkatnya dengan cepat
sehingga tubuhnya terlindung dari serangan tersebut. Akan tetapi senjata
maut itu terus mencecar tubuhnya di sela-sela gulungan debu yang menutupi
pandangan dengan dahsyatnya membuat Parmin pontang panting.
“Ha... ha… ha..... ha... ha….! Kali ini kau takkan bisa menghindari sapu
jagatku, Gembel busuk!!!” bentak Goga Khan keras dengan senyum sinis sambil
memutar senjatanya lebih cepat sehingga menimbulkan suara angin ribut
membuat ranting dan debu serta daun-daun kering beterbangan bagai diserang
oleh angin beliung.
“Dibandingkan dengan beberapa waktu yang lalu senjata maut ini sekarang
lebih dahsyat lagi keampuhannya! Angin sambarannya menimbulkan hawa dingin
dan panas!” gumam Parmin kagum dengan sorot mata tajam mengikuti ke mana
arah bola logam berduri itu bergerak.
“Hiiyaaat!!” teriak Parmin keras sambil melompat tinggi menghindari senjata
maut itu yang mengarah ke perutnya sambil bersalto beberapa kali dan
mendarat tepat, tanpa disadari di pinggir batu cadas dan di bawahnya telah
siap menanti moncong- moncong buaya yang kelaparan.
“Ha....... ha....... ha.......! Mau lari ke mana kau, Tikus busuk?”
Terdengar bentakan keras Goga Khan dengan bibir mencibir sinis melihat
lawannya berdiri di mulut jurang dan dengan cepat sekali memutar senjatanya
mengurung Parmin. Hawa panas dan dingin yang ditimbulkan senjata tersebut
membuat Parmin segera mengeluarkan jurus andalannya.
“Senjatamu memang aneh dalam dunia persilatan! Tetapi janganlah kau tertawa
dulu, Sobat!” gumam Parmin dalam hati sambil memasang kuda-kuda dan
memusatkan konsentrasinya membuat jurus andalannya dari ilmu silat Gunung
Sembung yang dinamakan jurus 'Wahyu Taqwa', jurus pilihan antara hidup dan
mati.
“Bismillah.......!” Tubuh Parmin berkelebat menembus lingkaran berduri yang
amat dahsyat itu langsung mengancam batok kepala yang botak dari pendekar
Hindustan itu.
Dengan gerakan cepat bagaikan anak panah melesat dari busur, tubuh Parmin
telah berada tepat di atas kepala Goga Khan yang tak menduga akan datang
serangan yang demikian cepatnya. Sedetik kemudian golok pendek Parmin yang
tajamnya seperti pisau cukur itu membelah batok kepala belakang Goga
Khan.
“Sret!”
“Ach!!”
Suara tertahan yang keluar dari mulut Goga Khan dengan luka di kepala dan
darah serta otaknya keluar membasahi punggungnya sehingga darah yang
terburai itu mengguyur tubuhnya dan Goga Khan menjadi bergoyang tak sanggup
menguasai keseimbangan tubuhnya. Parmin sambil bersalto beberapa kali dengan
ujung tongkat besi beraninya menyontek senjata Goga Khan yang sedang
meluncur tak terkendali itu.
“Tring!”
Ujung tongkat Parmin menghantam senjata maut Goga Khan dan kini arahnya
menuju tubuh Goga Khan yang sedang menahan sakit luar biasa dengan kedua
tangannya menutupi luka yang terus mengeluarkan darah segar. Senjata mautnya
yang diterpa ujung tongkat Parmin itu tepat mengenai perutnya dan tubuhnya
terpental jauh ke tengah kali dengan isi perut berhamburan keluar dan tubuh
Goga Khan langsung disambut oleh moncong-moncong buaya yang ganas dan
kelaparan.
“Byuur!”
Tubuh Goga Khan tercebur di air kali dan percikan-percikan air kali
tersebut seketika berwarna merah akibat darah luka Goga Khan yang segera
mengundang penghuni sungai yang sudah siap menunggu.
Pekikan tertahan itu sekejap mata lenyap bersama dengan gemeretaknya
taring-taring tajam yang berpuluh-puluh jumlahnya merobek-robek tubuh Goga
Khan yang tinggi besar tanpa mengenal ampun sehingga air pun berubah menjadi
merah.
Dari atas sebuah batu besar Parmin memperhatikan tubuh Goga Khan yang
lenyap dalam gumulan binatang reptil yang mengerikan itu.
“Akhirnya kau menyusul adikmu dengan kematian yang sama!” gumam Parmin
dalam hati dan ia teringat kembali beberapa tahun yang lalu, di sebuah
tempat di mana Parmin pernah bentrok dengan adiknya Goga Khan, dan adiknya
pun mati dengan cara yang dialami kakaknya.
***
5
Sementara itu si Tiga Melati sedang berlari-lari di tengah-tengah dataran
luas berbatu dalam udara yang cukup panas sehingga peluh di dahi mereka
terlihat jelas berbutir-butir dan sekali-sekali mereka hapus dengan telapak
tangan agar pandangannya tidak terganggu.
Pada sebuah tikungan mereka dihadang oleh dua orang yang berwajah seram dan
bengis dengan mata yang memancarkan nafsu membunuh. Si Tiga Melati
memperlambat larinya dan berhenti di hadapan dua orang tersebut dengan
pandangan penuh kewaspadaan.
“Berhenti!! katakan di mana kau sembunyikan pendekar Sembung itu, hah?!”
bentak salah seorang dari mereka yang bertampang seram dengan codet
sepanjang jari tengah di sebelah pipi kiri dan memiliki ekspresi wajah yang
sangat kaku sehingga di waktu bicara bibirnya seperti tidak bergerak.
Si Tiga Melati mendengar pendekar kesayangannya dicari orang tersebut
dengan serta merta menyerang mereka.
“Kau pasti anjing-anjingnya Ki Subeni!! Rasakan ini! Hiiyaatt.......!!”
teriak Riska sambil menghunus pedangnya dan diikuti adik-adiknya, Risma dan
Rani, yang secara serempak mencabut pedangnya dan menyerang teman si
Codet.
Pedang Riska lurus ke depan mengarah batang leher si Codet dengan gerakan
cepat sekali, tetapi si Codet dengan gesit miringkan tubuhnya ke samping dan
loloslah serangan pedang Riska. Sementara itu sambil menjatuhkan dirinya si
Codet memberi sebuah tendangan keras dengan kaki kirinya ke arah lambung
sebelah kanan Riska, namun dengan jeli Riska melihat gerakan kaki si Codet
itu.
“Duk!”
Telapak kaki mereka berbenturan dengan keras membuat tubuh Riska melayang
ke atas sedangkan tubuh si Codet berguling-guling di tanah merasakan
kesemutan di sekitar kakinya akibat benturan itu.
Akan tetapi belum sempat ia berdiri tiba-tiba tubuh Riska berbalik dan
menukik cepat bagaikan seekor burung Rajawali menerkam anak ayam. Pedang
Riska lurus ke depan mengarah tubuh si Codet yang terus bergulingan berusaha
menghindari setiap tusukan ujung pedang Riska, dan pada kesempatan yang baik
si Codet menyabetkan goloknya menangkis pedang lawannya.
“Triing!”
Suara beradunya senjata mereka menimbulkan bunga-bunga api. Tubuh Riska
terpental ke belakang sambil mengusap telapak tangannya yang panas akibat
benturan itu. Untunglah tidak membuat pedangnya terlepas.
Kesempatan yang sekejap itu dipergunakan si Codet untuk berdiri mengatur
pernapasan.
Sementara itu dua adik kandungnya, Risma dan Rani yang di bawah ilmu silat
kakaknya bahu membahu menyerang teman si Codet yang setingkat lebih atas
dari pada ilmu silat mereka berdua. Namun dengan semangat yang berapi-api
mereka berdua masih sanggup melayani serangan kawan si Codet yang menamakan
dirinya 'Kudro Pencabut Nyawa'.
Risma dan Rani dengan mengandalkan kegesitan dan kelincahannya terus
jumpalitan ke sana ke mari menghindari serangan golok yang dilancarkan
dengan bertubi-tubi oleh Kudro Pencabut Nyawa sehingga tubuh mereka seperti
gulungan-gulungan sinar yang saling berkelebat di sekitar lawannya.
Pertarungan Riska dan si Codet telah memasuki jurus yang keduapuluh lima.
Namun sampai detik ini belum ada tanda-tanda di antara mereka yang kalah.
Baju mereka telah basah dengan peluh.
Riska dengan semangatnya yang berapi-api serta kelincahan yang dimilikinya
terus mendesak si Codet dengan pedangnya mengarah ke titik kematian di tubuh
si Codet.
Memasuki jurus yang ketigapuluh, tiba-tiba Riska membuat gerakan pedang
berputar seperti mata bor mengarah biji mata si Codet dan tangan kirinya
mengancam batang lehernya. Namun dengan cekatan si Codet menggeser kakinya
ke samping.
Ternyata pedang Riska yang mengarah biji mata si Codet hanyalah tipuan
belaka dan dengan cepat sekali pedangnya tiba-tiba berputar arah dan dengan
suatu sabetan kilat pedangnya berhasil merobek perut si Codet.
“Ach!” Terdengar jeritan si Codet sambil mendekap lukanya dengan kedua
belah tangan menahan isi perutnya yang akan berhamburan ke luar, maka
seketika melayanglah nyawa si Codet dengan bersimbah darah.
Sementara itu adik kandungnya Risma dan Rani bertarung dengan mati-matian
mempertahankan nyawanya yang terancam oleh sabetan dan tusukan golok si
Kudro Pencabut Nyawa. Akan tetapi dengan gesit dan cekatan kedua kakak
beradik itu selalu dapat menghindari serangan maut itu.
Tiba-tiba si Kudro Pencabut Nyawa mengangkat tinggi-tinggi goloknya dan
menyabet-nyabetkan ke udara sehingga menimbulkan suara angin yang
menderu-deru membuat debu-debu beterbangan dan menghalangi pandangan mata
Risma dan Rani yang mendadak menjadi terdesak. Detik berikutnya dengan cepat
tubuh Kudro melayang dengan golok mengancam.
“Ciiyaaat.......!!” teriak Kudro Pencabut Nyawa dengan keras tubuhnya
melayang ke arah musuhnya yang sudah tak berdaya itu. Namun sedetik sebelum
goloknya menghunjam sasarannya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang lain
dari arah belakang.
“Seet!”
Sebuah pedang dengan cepat menghantam batang leher si Kudro dan seketika
tubuhnya terhenti di udara dan kemudian jatuh berdebam ke tanah dengan
kepala terpisah dari tubuhnya serta nyawa melayang entah ke mana. Kiranya
yang melakukan itu adalah Riska.
Setelah membersihkan pedangnya dan memasukkannya kembali ke dalam
sarungnya, ia menghampiri adik-adiknya untuk segera meninggalkan tempat
tersebut guna menemui Parmin di tempat yang telah dijanjikan.
***
Sang waktu serasa berputar dengan cepatnya tanpa kita sadari dan senja pun
telah datang dengan bayangan-bayangan memanjang. Pada suatu tempat terlihat
empat orang sedang menyusun rencana, mereka tak lain adalah Parmin dan si
Tiga Melati. Setelah selesai dengan semua rencana, lalu mereka
berpisah.
Hari Jum'at telah datang dan mulai hari itu Kiyai Subeni lebih tekun
mengajar pembacaan Al Qur'an kepada Zaitun, sementara teman-teman Zaitun
telah pulang semuanya. Zaitun mulai Jum'at itu diharuskan menerima pelajaran
tambahan.
Di ruang dalam terlihat Kiyai Subeni sedang bersila dan di hadapannya duduk
Zaitun yang sedang mengaji. Ruangan itu hanya diterangi oleh tiga buah
pelita yang ditaruh di dinding.
“Zaitun suaramu usahakan lebih keras lagi agar terdengar!” ujar Kiyai
Subeni dengan suara yang berwibawa dan sorot matanya tajam menembus lubuk
hati Zaitun.
“Pak Kiyai....... hari sudah petang. Bolehkah saya pulang untuk sembahyang
maghrib?” tanya Zaitun pelan hampir tak terdengar dengan kepala
tertunduk.
“Orang menuntut ilmu tak boleh mengenal waktu! Berilmu adalah bekal untuk
beramal! Kalau kau hendak sholat maghrib, kau kerjakan di sini saja, apa
salahnya? Orang tuamu telah memberi kepercayaan kepadaku untuk membimbingmu
menjadi seorang gadis yang alim dan saleh!”
“Tetapi....... biarlah saya lanjutkan besok sore saja Ki Subeni,” sergah
Zaitun dengan suara gemetar.
“Zaitun....... Zaitun! Pandanglah aku, anak manis Ki Subeni!” ujar Ki
Subeni berdecak sambil mendekati Zaitun.
“Jangan, Ki! Jangan.......!” sergah Zaitun namun tiba-tiba tanpa disadari
tangannya melempar kerudung penutup kepalanya dan memejamkan mata. Bersamaan
dengan tangan Ki Subeni mulai meraba leher Zaitun dan dua buah lampu pelita
padam seketika sehingga menambah ketegangan di ruangan tersebut.
Sementara itu di tempat lain terlihat si Tiga Melati sedang mengumpulkan
penduduk Cilumus dengan berteriak-teriak keras sekali, “Haayoo!
Haayoo.......! Kalian, ke luar semua!!” teriak mereka bertiga bersamaan
dengan lantang.
Penduduk yang mendengar suara itu lalu berduyun-duyun ke luar dan berkumpul
di halaman yang sangat luas.
“Ayo berkumpul semua! Hari ini tiba saatnya kita angkat senjata! Kita
enyahkan iblis laknat itu sampai ke akar-akarnya!” teriak Riska bersemangat
membakar jiwa penduduk Cilumus.
“Hayooo! Kita serbu beramai-ramai! Kita basmi iblis itu!” teriak Risma dan
Rani bersama-sama dengan berapi-api dan disambut dengan gegap gempita oleh
penduduk kampung Cilumus.
“Hancurkan.......! Ayo kita serbu!! Kepruk saja!! Tumpaass!! Serrbuuuu!”
Suara penduduk Cilumus bersahut-sahutan memecahkan suasana malam yang telah
tiba.
Berpuluh-puluh bahkan ratusan penduduk Cilumus tergerak mendengar
teriakan-teriakan yang gegap gempita. Dengan senjata-senjata terhunus yang
beraneka ragam, ada yang membawa cangkul, arit, golok, beliung dan tak
ketinggalan beberapa obor yang mereka bawa sebagai alat penerang.
“Allahhu Akbar!! Allahu Akbar!!!” suara penduduk Cilumus bersemangat
bergemuruh ke udara mengikuti si Tiga Melati menuju pesantren Ki
Subeni.
Tiba-tiba di tengah perjalanan, di sebuah dataran luas mereka dihadang oleh
tujuh sosok tubuh dengan wajah seram dan bengis yang keluar dari balik
bebatuan besar.
“Haaiiit.......!! kalian mau mampus semua?!” bentak seseorang dari mereka
dengan bengis sambil menghunus pedangnya.
“Grrrt.......!! Jika kalian tidak ingin tertumpas sampai ke anak beranak,
jangan coba-coba melangkahkan kaki setapak lagi pun!” hardik seorang dari
mereka yang bertubuh jangkung dan kekar dengan bertelanjang dada. Ia
dijuluki si 'Raksasa Penyebar Maut'.
Ketujuh orang yang bertampang sangat mengerikan itu sudah terkenal sebagai
tukang pukul Kiyai Subeni untuk membungkam orang-orang penduduk Desa Cilumus
yang coba-coba menentangnya dan tak segan-segan untuk menghabisi nyawanya
pula.
“Demi kesucian agama Islam dan keagungan Tuhan! Seerrbuuu!!” teriak Riska
keras sekali membangkitkan semangat penduduk Cilumus dan tubuhnya menerjang
si raksasa dengan sabetan-sabetan yang mematikan ke arah lawannya demikian
pula yang dilakukan adik-adiknya Risma dan Rani serta penduduk
Cilumus.
“Allahh....... hu Akbar!! Allaaa....... hh....... hu Akbar!!” pekik
histeris berkumandang saling sahut-sahutan memecahkan kesunyian malam di
Desa Cilumus yang sedang berontak. Dan dalam sekejap kemudian terjadilah
pertempuran massal yang gegap gempita.
Ki Burik dengan tangan mautnya yang mengandung tenaga dalam menyambar
orang-orang yang mendekatinya dan terdengar suara tertahan dengan batok
kepala remuk serta dada yang berlubang. Sudah belasan orang yang mati di
tangan Ki Burik ini.
Sedang si raksasa dengan gada mautnya yang amat dahsyat itu menghantam
orang-orang yang menyerangnya. Tubuh Riska dengan ringannya berkelit
menghindari serangan si raksasa itu sehingga yang menjadi sasaranya adalah
penduduk Cilumus.
Jerit tangis serta pekik kematian dari penduduk Cilimus serta darah yang
terburai tak membuat yang masih hidup menjadi gentar. Bahkan semakin
bersemangat dan maju menggantikan kawannya yang gugur tanpa merasa takut
sambil berteriak histeris membangkitkan semangat kawan-kawannya dengan
senjata terhunus.
***
Sementara itu suasana ketegangan sedang berlangsung di dalam pesantren Ki
Subeni, di mana kini Zaitun sudah rebah terpaku dengan pasrah di bawah
tatapan mata serigala yang lapar melihat sang calon korban yang sudah tak
berdaya.
“Ja....... jang....... ngan Ki.......!” suara Zaitun lirih memelas.
Tangan Ki Subeni telah beraksi terhadap gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba
dinding bilik di belakang Ki Subeni jebol dan muncullah sesosok tubuh yang
tak lain si Jaka Sembung.
“Braak!!”
“Subeni! Hentikan perbuatan maksiatmu itu!!” bentak Parmin keras sambil
melancarkan serangan ke arah pinggang Ki Subeni dengan tendangan yang amat
keras sebelum Ki Subeni sempat membalikkan tubuhnya.
“Yaaatt.......!!”
“Buk!!”
Tubuh Ki Subeni terpental beberapa depa menghantam sebuah lemari besar yang
berisi jembangan-jembangan antik yang seketika menjadi pecah
berkeping-keping.
Sementara itu Zaitun tersadar dari pengaruh hipnotis Ki Subeni, dengan
tunggang langgang berlari ke luar sambil meraih kain sarungnya dan berteriak
meminta pertolongan.
Ki Subeni dengan gigi gemeretuk menahan marah yang membludak segera bangkit
menyerang Parmin dengan cengkeraman tangan yang seketika itu berubah menjadi
kemerahan dan mengeluarkan asap mengepul.
“Rak!!”
“Lumaaat!!” bentak Ki Subeni geram dengan nafsu membunuh.
Tetapi dengan cepat Parmin melompat ke samping sehingga tangan maut itu
menghantam dinding kayu sampai hancur berantakan. Setelah menghindar, Parmin
membuat serangan balasan dan tubuhnya mencelat cepat dengan kaki mengarah
lambung Ki Subeni.
“Ciiiyaaatt.......!!” teriak Parmin keras.
“Buk!”
Tanpa Parmin ketahui tangan Ki Subeni segera berubah arah menyerang tubuh
Parmin yang masih melayang dan tepat mengenai dada Parmin sehingga tubuhnya
terpental ke belakang dan dadanya terasa mau pecah. Darah segar pun ke luar
dari mulutnya Parmin berusaha sekuat tenaga untuk berdiri.
Baru saja Parmin berbalik, Ki Subeni sudah menanti dengan tombak di tangan
dan secepat kilat menyerang Parmin.
“Jep!”
“Yach!!”
Tombak itu menghunjam bahunya. Sementara itu dengan cepat Parmin
menyabetkan golok pendeknya sehingga tubuh Ki Subeni terpental ke belakang
dengan dada tergores memanjang dan darah pun keluar dengan derasnya membuat
kedudukan menjadi satu-satu.
Dalam keadaan sempoyongan, Parmin berusaha ke luar dengan menabrak pintu
untuk menjauhkan dirinya dari Ki Subeni. Tubuh Parmin berguling-guling untuk
menghindari lebih jauh lagi sambil berusaha memusatkan konsentrasi dengan
jurus 'Hening Cipta'.
Jaka Sembung segera bangkit memasang kuda-kuda dengan kedua tangan
menyilang di dada dan siap menantikan serangan Ki Subeni.
“Jangan lari, Monyet!!” bentak Ki Subeni geram dengan mata menyala menahan
nafsu yang bergemuruh.
Dengan sekali lompatan, tubuh gendut itu melayang cepat ke arah Parmin
dengan kaki lurus ke depan dan tangan siap menerkam. Namun dengan cepat
Parmin berkelit ke samping sambil menghunjamkan tombak tadi dengan tenaga
dalam penuh.
“Ach!!” Pekik tertahan Parmin mengoyak suasana dan tombak itu menembus
tubuh Kiyai itu.
Untuk beberapa saat ia mencoba mencabut tombak tersebut, namun patah
menjadi dua bagian mengakibatkan darah bercucuran dari depan dan belakang
tubuhnya yang terluka. Ia menggeram hebat dengan mata yang memerah penuh
dendam dan nafsu membunuh.
“Ki Subeni. Aku mengagumi anda! Dengan darah yang terus mengucur seperti
itu anda kelihatan semakin segar!” ujar Parmin memuji dengan napas
tersenggal.
“Seharusnya anda dengan mudah dapat membunuhku! Ilmu silatku tak ada
seujung rambut anda! Tetapi satu hal yang anda lupa bahwa Tuhan selalu di
pihak yang benar!
“Sangat kusesalkan bahwa orang berilmu tinggi seperti anda berbuat sesuatu
yang terkutuk! Anda telah menghina citra muslimin, anda telah mengotori
ajaran agama dan keagungan Tuhan!!” lanjut Parmin sambil menyandarkan
tubuhnya dan tangan mendekap dadanya yang terluka dalam. Sementara luka di
bahunya terus mengucurkan darah.
<>
Kita tinggalkan dua seteru itu dan kini kita kembali kepada pertempuran
massal yang sengit antara antek-antek Ki Subeni melawan rakyat desa Cilumus
yang dipimpin si Tiga Melati. Betapa pun gigihnya seekor banteng, lama
kelamaan akan tumbang karena keroyokan ratusan tikus begitu pun halnya
dengan mereka, antek-antek Ki Subeni itu.
Mereka menemui ajalnya satu per satu di tangan rakyat dengan tubuh hancur
tak berbentuk. Korban rakyat tak terhitung jumlahnya tetapi orang-orang
murtad itu telah tewas semua dan yang tinggal hanyalah dedengkotnya, Ki
Subeni.
“Saudara-saudara! Sebagian harus mengurus jenazah-jenazah kawan-kawan kita
yang gugur! Sebagian lainnya ikut kami membantu pendekar Gunung Sembung!
Risma, Rani, mari jangan terlambat....... serrbuuuu.......!!” si Tiga Melati
berkelebat diikuti rakyat desa Cilumus yang berteriak histeris menuju
kemenangan yang indah di depan mata.
Angin berhembus kencang menyapu sisa-sisa mendung dan daun-daun kering
berguguran. Suasana di halaman pesantren sunyi senyap penuh ketegangan dan
dua seteru itu masih berhadap-hadapan.
Ki Subeni tegak menyusun sebuah jurus pamungkas dengan kedua tangannya yang
merah membawa sehingga hawa panas menyerang Parmin dan dengan segera Parmin
menolak serangan itu. Tubuh Parmin sudah bergetar hebat menahan sakit di
dadanya yang terasa remuk.
“Ya....... Allah! Berilah hamba kekuatan!!” gumam Parmin dalam hati
memohon.
“Ciiaat.......!!” teriak Ki Subeni keras dengan kedua belah tangan ke depan
terbuka, mengarah dada dan perut Parmin. Namun dengan sisa-sisa tenaganya
Parmin berkelit sambil bersalto ke udara beberapa kali menghindari serangan
tangan maut Ki Subeni.
Di saat keadaan Parmin terjepit, tiba-tiba seperti air bah yang datang.
Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus orang datang menyerbu Ki Subeni yang
dipimpin oleh si Tiga Melati.
Ki Subeni terperangah sejenak menyadari dirinya telah terkepung dan
senjata-senjata tajam yang menghunjam ke arah tubuhnya. Ki Subeni menggeram
hebat dan tangan mautnya beraksi membuat pengeroyok itu terpental dengan
dada remuk dan mati seketika.
Namun dengan segera pengeroyok lainnya datang secara bergelombang membuat
Ki Subeni kewalahan dan ia segera mengambil langkah seribu. Darah menetes
sepanjang jalan yang dilaluinya membuat rakyat tidak bisa kehilangan jejak
dan terus mengejarnya.
Sekuat-kuatnya tenaga manusia tentu ada batasnya. Setelah kejar mengejar
semalam suntuk akhirnya sebuah teriakan panjang mengerikan mengakhiri hidup
Kiyai cabul itu. Kemarahan rakyat tak bisa dibendung lagi, membuat tubuh Ki
Subeni itu hancur dirajam tanpa secuil daging pun yang selamat.
“Pendekar Gunung Sembung terluka berat! Risma dan Rani! Mari kita segera
menolongnya!!” sergah Riska khawatir setelah melihat Parmin yang sempoyongan
menahan tubuhnya berdiri.
Seminggu lamanya Parmin dirawat oleh si Tiga Melati. Penduduk Cilumus
menunjukkan simpati yang besar dan berdoa semoga Parmin lekas sembuh.
Memasuki minggu kedua pendekar kita Jaka Sembung telah berangsur-angsur
sembuh kembali dan tubuhnya sehat seperti sedia kala.
Dengan demikian tibalah saatnya Parmin untuk meneruskan perjalanannya,
bagaimana pun berat si Tiga Melati yang senantiasa memujanya itu.
“Kalian bertiga telah banyak menolongku dan hendaknya kalian jadikan
pegangan bahwa tidak ada manusia yang luar biasa di atas dunia ini!
Janganlah kalian mendewakan manusia karena tidak ada manusia yang
sempurna!
“Sebagai contoh diriku! Dulu kalian seakan-akan menganggapku sebagai dewa
persilatan tetapi seperti kalian lihat sendiri kepandaianku dalam ilmu silat
tidak ada seujung rambut pun bila dibandingkan dengan ilmu silat yang
dimiliki Ki Subeni!” ujar Parmin menasehati si Tiga Melati yang berusaha
mengerti.
Pada hari yang cerah itu Parmin pamitan kepada seluruh penduduk Cilumus dan
si Tiga Melati. Dengan rasa berat hati mereka mengantar Parmin sampai ke
batas desa dan mereka bersyukur bahwa desa mereka sekarang telah bebas dari
cengkeraman sebuah tirani seorang Kiyai cabul. Bersama Jaka Sembung, mereka
telah berhasil membabat Kiyai murtad itu.......!
T A M A T
Ikuti kisah Jaka Sembung berikutnya dalam : "Mahligai Cinta Sepasang Pendekar"
Emoticon