SATU
BULAN memancar penuh menerangi mayapada dengan cahayanya yang keemasan.
Langit kelihatan begitu cerah, bertaburkan ribuan bintang gemerlap. Malam
yang begitu indah, sayang sekali kalau tidak dinikmati. Di antara yang
menikmatinya adalah sepasang insan duduk yang tengah bersandar saling
merapat di bawah pohon rindang, tidak jauh dari tepian sungai yang mengalir
bagai membelah Desa Paranggada.
Entah, sudah berapa lama mereka duduk di sana. Di tengah kebisuan sambil
memandangi indahnya bulan yang bersinar penuh malam ini. Mereka duduk begitu
rapat, hingga tidak ada jarak yang membatasi sedikit pun.
“Sejak tadi kau diam saja, Kakang. Apa yang kau pikirkan...?” tanya gadis
yang berada di dalam pelukan seorang pemuda, memecah kebisuan.
Gadis itu mengangkat kepalanya sedikit, sehingga bisa menatap langsung ke
wajah tampan kekasihnya. Sementara yang dipandangi hanya diam saja, menatap
lurus ke arah bulan yang menggantung indah di langit. Perlahan kepala pemuda
itu menoleh, hingga tatapan mata mereka bertemu begitu dekat. Bahkan
hembusan napas mereka sampai terasa hangat menerpa kulit wajah.
“Lestari...,” terdengar begitu pelan suara pemuda ini.
“Hm...,” gadis yang dipanggil Lestari hanya menggumam saja.
Dia terus memandangi wajah pemuda kekasihnya ini. Sedangkan yang dipandangi
malah menengadah ke atas, menatap bulan yang tetap menggantung di langit
bening bertaburkan ribuan bintang.
“Aku hanya mendengar. Entah benar, atau tidak...,” terdengar terputus suara
pemuda itu.
“Apa yang kau dengar, Kakang Balika?” tanya Lestari terus memandangi dengan
sinar mata berbinar penuh cinta.
“Katanya, kau akan...,” kembali pemuda yang dipanggil Balika tidak
meneruskan kata-katanya.
Pemuda itu berpaling. Ditatapnya gadis itu dengan sinar mata sulit
diartikan. Sementara Lestari sama sekali tidak mengalihkan pandangannya,
sehingga tatapan mata mereka kembali bertemu. Entah, untuk yang ke berapa
kali.
“Aku kenapa, Kakang?” tanya Lestari masih belum bisa mengerti.
“Hhh...!” Balika menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya kuat-kuat.
Terasa begitu berat tarikan nafasnya. Dengan lembut dan perlahan sekali
pelukannya dilepaskan, lalu bangkit berdiri. Kini Balika bersandar pada
batang pohon yang cukup besar ini.
Sementara, Lestari masih tetap duduk di bawah pohon itu sambil memandangi
tanpa berkedip sedikit pun. Dari raut wajahnya, jelas sekali kalau Lestari
tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan pemuda itu. Kata-kata yang
terputus dan tidak pernah terselesaikan.
Sementara, Balika terus terdiam membisu sambil menatap lurus ke depan.
Entah apa yang tengah menjadi perhatiannya. Hanya kegelapan berselimut
cahaya bulan saja, yang ada di sepanjang tatapan matanya.
“Kau ingin mengatakan apa, Kakang? Katakan saja. Jangan ragu,” desak
Lestari sambil bangkit berdiri.
Gadis itu langsung saja melingkarkan tangannya ke pinggang Balika itu, dan
merebahkan kepalanya di bahu. Sementara Balika masih tetap diam membisu.
Kemudian tangannya dilingkarkan ke pundak ramping gadis ini. Kembali mereka
terdiam membisu beberapa saat. Terdengar tarikan napas Balika yang terasa
begitu berat.
“Lestari, kau tidak marah kalau aku mengatakannya...?” terdengar ragu-ragu
nada suara Balika.
“Katakan saja, Kakang. Mengapa harus marah...?” sambut Lestari seraya
memberikan senyum manis sekali.
“Terus terang, beberapa hari ini aku selalu gelisah,” kata Balika, mulai
terus terang.
“Kenapa?” tanya Lestari ingin tahu.
“Yaaah.... Aku gelisah memikirkanmu, Lestari.”
“Aku...?”
“Beberapa hari ini, aku mendengar berita-berita yang tidak enak mengenai
dirimu.”
“Berita apa, Kakang?”
“Kau tidak merasa, Lestari?” Balika balik bertanya.
“Berita apa...?” desak Lestari lagi.
“Hhh...!” lagi-lagi Balika menghembuskan napas berat.
Sementara, Lestari terus sabar menunggu. Sikapnya terlihat begitu tenang,
seakan tidak terjadi sesuatu. Padahal, sikap kekasihnya terlihat begitu
gundah, seperti ada sesuatu yang sedang dipendamnya dalam-dalam di
hati.
***
Malam terus merayap semakin larut. Sementara, dua anak manusia itu masih
tetap berdiri berpelukan di bawah pohon. Padahal, keadaan sekitarnya
kelihatan begitu sunyi. Tidak terlihat orang lain lagi di pinggiran Desa
Paranggada ini. Begitu sunyi, hanya gerit binatang malam saja yang
terdengar. Sedangkan angin yang bertiup pun semakin terasa dingin, seperti
akan membekukan tulang. Tapi dua orang itu seperti tidak peduli dengan
dinginnya udara malam.
“Lestari...,” terdengar begitu pelan suara Balika.
“Hmmm...,” Lestari hanya menggumam kecil.
“Benar apa yang aku dengar kalau kau akan...,” kembali kata-kata Balika
terputus. Kelihatan begitu berat Balika mengatakannya. Sedangkan Lestari
masih tetap sabar menunggu, tidak ingin lagi mendesak kekasihnya.
“Kau... kau akan dinikahkan, Lestari...?” Terdengar begitu pelan suara
Balika. Bahkan suaranya seperti tenggelam dalam tenggorokannya
sendiri.
Sementara Lestari yang mendengar kata-kata bernada berat itu jadi
melepaskan pelukannya. Kakinya digeser dua langkah ke belakang, dan berbalik
menghadap pemuda ini. Dipandanginya wajah tampan pemuda itu dalam-dalam.
Tapi sebentar kemudian...
“Ha ha ha...!”
“Eh...?!” Balika jadi tersentak, begitu tiba-tiba saja Lestari tertawa
terbahak-bahak, seakan ada yang lucu pada dirinya. Pemuda itu jadi keheranan
sendiri, kenapa tiba-tiba saja Lestari jadi tertawa setelah apa yang selama
beberapa hari ini selalu terpendam di dalam dadanya diutarakan.
“Kenapa kau tertawa, Lestari...?” suara Balika terdengar agak
tersedak.
Lestari terus saja tertawa terpingkal-pingkal, sampai memegangi perutnya
sendiri. Dan Balika jadi se-makin keheranan tidak mengerti. Namun tidak
berapa lama kemudian, tawa gadis itu terhenti. Sementara tangannya terus
memegangi perut yang mendadak saja jadi terasa sakit.
“Kau sama saja seperti yang lain, Kakang. Mudah percaya dan terpengaruh
pada kabar burung. Jadi, percaya kalau kabar itu benar...?” kata Lestari
dengan senyum lebar mengembang di bibirnya.
“Semua orang di desa sudah tahu, Lestari. Bagaimana mungkin aku tidak
mempercayainya...? Sedangkan yang kudengar, kau akan dinikahkan oleh anak
Juragan Merta,” Kata Balika bernada seperti ingin ketegasan.
“Edan...! Siapa yang mengatakan begitu..?” Lestari jadi sewot
sendiri.
“Semua orang sudah membicarakan hari pernikahanmu, Lestari. Dan anak
Juragan Marta sendiri sudah mengumbar suara, kalau sebentar lagi bakal
mempersunting dirimu. Aku dengar sendiri, Lestari. Jelas, ini bukan kabar
burung lagi.”
“Huh!” dengus Lestari kesal. Wajah Lestari yang tadi begitu cerah, kini
jadi kelihatan kusut menahan kesal. Sebenarnya, kabar seperti itu memang
sudah didengarnya. Memang tidak aneh lagi, karena dia putri satu-satunya
Kepala Desa Paranggada. Sedangkan Juragan Marta adalah orang terkaya dan
terpandang di desa itu. Jadi, sudah barang tentu kabar seperti itu akan
cepat sekali tersebar luas. Tapi Lestari jadi heran sendiri, kenapa Balika
jadi terpancing oleh berita itu...?
Padahal mereka sudah lama sekali menjalin hubungan. Malah, semua orang di
Desa Peranggada juga sudah mengetahui hubungan mereka. Walaupun Balika bukan
anak orang kaya, tapi kedua orangtuanya juga tidak bisa dikatakan miskin.
Dan memang diakui, harta kekayaan yang dimiliki orangtuanya masih kalah
kalau dibanding Juragan Marta. Tapi, sebenarnya bukan harta kekayaan yang
diinginkan Lestari. Yang jelas, dia begitu mencintai pemuda ini.
Hanya sayangnya, hubungan mereka tidak disetujui kedua orangtua
masing-masing. Entah kenapa? Tidak ada seorang pun yang tahu alasannya. Dan
hubungan mereka mendapatkan tantangan sangat berat, tapi tidak pernah
dihiraukan. Hanya dengan cara sembunyi-sembunyilah mereka masih tetap bisa
bertemu dan memadu kasih. Seperti halnya malam ini. Walaupun sudah begitu
larut, mereka belum juga beranjak pulang, seperti tiada lagi malam
berikutnya.
“Kau mulai ragu akan cintaku, Kakang...?” ujar Lestari jadi
bersungguh-sungguh.
“Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku, Lestari,” tegas Balika
menatap.
“Nah! Kenapa percaya pada kabar kosong seperti itu...?”
“Aku tidak tahu, Lestari. Sepertinya, itu bukan hanya kabar kosong belaka.
Aku....”
“Ah, sudahlah.... Jangan pikirkan itu lagi, Kakang. Yang penting sekarang,
kita harus hadapi bersama. Kita tidak bisa seperti ini terus-menerus. Apa
pun yang akan terjadi, aku tetap berada di sampingmu. Percayalah, cintaku
tidak akan terbagi untuk orang lain.”
Balika jadi terdiam. Dipandanginya bola mata gadis itu dalam-dalam. Seakan
ingin mencari kesungguhan dari kata-kata yang baru saja didengarnya. Dan
Lestari sendiri membalas tatapan mata pemuda itu dengan sinar mata penuh
cinta. Perlahan Balika melangkah menghampiri, hingga tubuh mereka begitu
dekat. Tangan pemuda itu langsung melingkar di pinggang ramping ini.
Sementara Lestari membiarkan saja pinggangnya dipeluk erat. Bahkan malah
membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan pemuda ini.
“Lestari....”
“Kakang....”
Tatapan mata mereka kini terpaut begitu dekat. Dan perlahan namun pasti,
kepala Balika bergerak semakin dekat. Malah dengus nafasnya seakan terasa
hendak membakar kulit wajah yang putih halus ini. Perlahan-lahan Lestari
memejamkan matanya saat merasakan bibirnya tersentuh lembut oleh bibir
pemuda itu.
“Ahhh....” Lestari mendesah lirih. Seluruh tubuhnya jadi bergetar saat
Balika melumat bibirnya dengan dalam dan lembut sekali. Tubuh mereka menyatu
rapat, seakan tidak ingin dilepaskan lagi. Balika terus memagut dan mengulum
bibir yang selalu merah menantang. Sementara Lestari hanya bisa mendesah
lirih, menikmati kehangatan dari pagutan pemuda yang dicintainya.
“Ah, Kakang...,” desah Lestari begitu Balika melepaskan pagutan di
bibirnya.
Gadis itu langsung menyembunyikan wajahnya di dalam dada bidang kekasihnya.
Entah kenapa, walaupun bukan sekali ini Balika melumat bibirnya, tapi sikap
Lestari selalu saja seperti gadis yang baru pertama kali disentuh laki-laki.
Wajahnya jadi memerah, dan seluruh tubuhnya bergetar bagai menggigil
kedinginan. Padahal, dalam pelukan Balika terasa begitu hangat, membuat
dengus napas pemuda itu jadi memburu cepat.
“Ahhh....” Lestari jadi menggelinjang begitu jari-jari tangan Balika mulai
merayap menjelajahi tubuhnya. Matanya pun segera dipejamkan. Sesaat
kepalanya jadi terdongak saat jari-jemari tangan Balika mulai menyentuh
lembut dadanya yang membusung, terbungkus baju merah muda yang halus dan
agak tipis.
“Kakang...,” desah Lestari lirih.
Entah kenapa, sedikit pun Lestari tidak menolak saat Balika membaringkannya
di atas rerumputan yang mulai basah tersiram embun ini. Dan malam pun terus
merayap semakin larut. Tidak ada seorang pun yang melihat. Hanya bulan dan
bintang saja yang berkerut menyaksikan apa yang terjadi di bawahnya.
Lestari tersentak bangun dari tidurnya, saat seluruh tubuhnya terasa
tersiram cahaya hangat matahari yang sudah naik tinggi. Tapi, bukan itu yang
membuatnya langsung terlonjak bangkit dari pembaringan. Ternyata suara
ribu-ribut dari luar rumahnya, membuat gadis itu bergegas bangkit dari
pembaringan dan langsung berlari keluar dari dalam kamarnya. Setengah
berlari, Lestari langsung menerobos ke ruangan depan rumahnya yang berukuran
cukup luas ini.
Tapi baru saja hendak menerobos pintu depan, sebuah tangan halus namun
sudah agak berkeriput, cepat mencekal tangannya. Seketika ayunan langkah
kakinya berhenti. Begitu kepalanya berpaling, tahu-tahu di sampingnya sudah
berdiri seorang wanita berusia lebih dari separo baya.
“Ibu. Ada apa ribut-ribut di luar?” tanya Lestari.
“Kau jangan keluar, Lestari,” cegah wanita tua itu, tanpa menghiraukan
pertanyaan anaknya.
“Iya, tapi ada apa...?” desak Lestari.
Tapi wanita tua itu tidak menjawab, sehingga membuat Lestari jadi
penasaran. Dengan sekali sentak saja, cekalan tangan ibunya terlepas. Dan
gadis itu cepat-cepat menerobos pintu keluar. Tapi baru saja kakinya berada
selangkah di ambang pintu, mendadak kedua bola matanya jadi terbeliak lebar.
Dan....
“Kakang...!” Seluruh tubuh Lestari jadi bergetar, seakan-akan bumi yang
dipijaknya terasa runtuh seketika itu juga. Hampir-hampir tidak dipercayai,
apa yang dilihatnya ini. Memang begitu banyak orang berkerumun di depan
rumahnya.
Tapi, bukan itu yang menjadi perhatiannya, melainkan sesosok tubuh pemuda
yang menggeletak di ujung tangga beranda rumah ini. Tubuhnya terkapar di
atas sebuah tandu dari bambu. Dan di samping sosok pemuda yang tergolek itu
berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tongkat kayu tampak
tergenggam di tangan kanannya. Wajahnya kelihatan memerah, dan matanya
berapi-api memancar bagai menahan kemarahan yang amat sangat.
Sementara di beranda depan rumah ini, berdiri Ki Rapala. Dialah Kepala Desa
Paranggada ini, yang didampingi tidak kurang sepuluh orang pemuda yang
semuanya menyandang golok terselip di pinggang.
“Kakang...!” Lestari berseru nyaring sambil berlari, hendak menghambur ke
arah pemuda yang menggeletak seperti tidak bernyawa lagi di atas tandu bambu
itu. Tapi belum juga sampai, Ki Rapala sudah begitu cepat mencekal
pergelangan tangannya.
“Masuk...!” bentak Ki Rapala sambil mendelik.
“Tidak...! Kakang Balika...!” jerit Lestari jadi kalap. Gadis itu
memberontak, mencoba melepaskan cekalan tangan ayahnya. Tapi tenaga
laki-laki tua itu memang lebih kuat. Sampai seluruh tubuhnya lemas, Lestari
tidak bisa juga melepaskan diri dari cekalan laki-laki tua ini.
“Hih!” Tuk!
Tiba-tiba saja, Ki Rapala mendaratkan satu totokan ke bagian atas dada
Lestari. Akibatnya, gadis itu seketika terkulai lemas. Ki Rapala langsung
memapah dan langsung dibawanya masuk, setelah berpesan pada sepuluh orang
pengawalnya agar tetap berada di beranda. Ki Rapala terus melangkah masuk ke
dalam rumahnya yang besar ini. Dibaringkannya Lestari di kursi panjang.
Sementara, istrinya hanya bisa memandangi dengan wajah kelihatan cemas,
tidak tahu apa yang harus diperbuat.
“Biar dia begitu dulu. Aku akan bereskan mereka di luar,” Kata Ki Rapala
agak keras suaranya. Istrinya hanya mengangguk saja.
Sementara, Ki Rapala sudah kembali melangkah keluar rumahnya yang besar
ini. Kepala desa itu kembali berdiri tegak di beranda depan, dengan tangan
kanan sudah menggenggam gagang pedang, walaupun masih tersimpan dalam
warangkanya di pinggang.
“Ki Antak! Sebaiknya kau bawa pulang mayat anakmu itu. Jangan membuat malu,
sehingga menjadi tontonan seperti ini...!” terdengar lantang sekali suara Ki
Rapala.
“Aku tidak akan membawanya pulang, sebelum pembunuh Balika dikeluarkan,”
sentak Ki Antak tidak kalah lantangnya.
“Edan...!” desis Ki Rapala menggeram pelan.
“Siapa yang tahu kalau anakmu terbunuh...? Kedatanganmu ke sini, seperti
menuduhku, Ki Antak. Tidakkah kau sadar akan tuduhanmu ini...?”
“Semalam Balika tidak pulang. Dan semua orang tahu, Balika semalam bersama
anakmu, Lestari. Tidak ada seorang pun yang melihat mereka berpisah. Maka
kuminta pertanggungjawabmu, Ki Rapala. Kau sebagai kepala desa, tentu bisa
berbuat adil dan bijaksana. Aku ingin pembunuh anakku ditangkap dan dihukum
gantung sampai mati!” lantang sekali suara Ki Antak.
“Heh...?! Kau benar-benar keterlaluan, Ki Antak. Kenapa kau jadi menuduh
anakku yang membunuh Balika...?!” sentak Ki Rapala jadi terkejut.
“Aku minta sekali lagi, Ki Rapala. Keluarkan pembunuh itu...!”
Ki Rapala jadi berang setengah mati, tapi masih tetap mencoba bertahan dan
bersabar menghadapi orang tua yang sedang kalap itu. Memang diakui, kalau
semalam secara diam-diam Lestari meninggalkan rumah. Dan dia tahu, anak
gadisnya hendak bertemu Balika. Dia juga tahu, Lestari baru pulang ketika
sudah lewat tengah malam. Tapi siapa yang tahu, apa yang terjadi setelah
mereka berpisah...?
Ki Rapala memang membiarkan saja anaknya menemui Balika semalam. Dia
sendiri sudah mendengar kabar yang mengatakan, tidak lama lagi anak gadisnya
ini akan menikah dengan putra Juragan Marta. Walaupun itu hanya isapan
jempol belaka, tapi diakuinya kalau hatinya senang juga mendengarnya. Itu
berarti bisa memisahkan hubungan asmara Lestari dengan Balika.
Dan Ki Rapala semalam berharap, kalau pertemuan mereka semalam adalah untuk
yang terakhir. Tapi sungguh tidak disangka kalau siang ini benar-benar
terjadi. Ternyata Balika ditemukan sudah tidak bernyawa lagi, berada di tepi
sungai yang membelah pinggiran Desa Paranggada ini. Entah apa yang terjadi,
tidak ada seorang pun yang tahu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, Balika
ditemukan tanpa sehelai pakaian pun melekat di tubuhnya.
***
DUA
Kerumunan orang di depan rumah Ki Rapala baru bubar, setelah mayat Balika
dibawa pergi. Meskipun akhirnya Ki Antak mau juga membawa mayat anaknya
pulang. Itu pun setelah istrinya datang menyusul dan memaksanya untuk segera
membawa pulang mayat anak mereka. Tapi, pada raut wajahnya terlihat jelas
rasa ketidakpuasan.
Sebentar saja keadaan di rumah kepala desa itu jadi sunyi. Semua orang yang
tadi berkerumun, sudah meninggalkan halaman rumah, ini untuk mengikuti Ki
Antak yang membawa mayat anaknya di atas tandu yang digotong empat orang
pembantunya. Sementara itu, Ki Rapala langsung menghenyakkan tubuhnya di
kursi, begitu Ki Antak dan orang-orang yang mengikutinya sudah tidak
terlihat lagi, menghilang di balik tikungan jalan. Dihembuskannya napas
panjang yang terasa begitu Serat.
“Huhhh...!”
Saat kepala desa itu memalingkan muka, istrinya terlihat sudah berdiri di
ambang pintu. Wanita berusia lebih dari separo baya itu datang menghampiri,
Lalu duduk di sebelahnya. Sementara Ki Rapala sendiri segera mengarahkan
pandangan ke depan jalan.
“Lestari bagaimana?” tanya Ki Rapala tanpa berpaling sedikitpun, setelah
cukup lama berdiam diri.
“Sudah siuman, dan masih berada di kamarnya.”
Ki Rapala tidak bicara lagi. Memang putrinya tadi hanya ditotok sementara
saja, agar bisa tenang. Karena saat itu, dia harus menghadapi Ki Antak yang
sedang diselimuti amarah. Totokan itu memang ringan dan bisa hilang dengan
sendirinya, setelah pingsan beberapa saat. Sehingga, tidak perlu pengerahan
hawa murni maupun tenaga dalam untuk membebaskannya. Malah akan menghilang
dengan sendirinya.
“Seharusnya kau tidak perlu bersikap seperti tadi. Biarkan saja dia menemui
Balika untuk yang terakhir kali...,” keluh Nyi Rapala, seakan menyesali
sikap suaminya yang melarang Lestari menemui mayat kekasihnya.
“Apa kau tidak lihat tadi...? Kau tahu, Ki Antak begitu marah. Bahkan bisa
saja anak kita dibunuhnya...! Dia telah menuduh kita yang membunuh anaknya,”
agak mendengus nada suara Ki Rapala.
Nyi Rapala jadi terdiam. Memang tidak bisa disangkal lagi. Dilihatnya
sendiri, betapa marahnya Ki Antak tadi. Bahkan melontarkan tuduhan tanpa
bukti nyata. Dan memang, orang yang sedang dilanda kemarahan sangat sulit
mengendalikan diri. Di dalam hatinya, Nyi Rapala mengakui tindakan suaminya
tadi. Tapi di balik itu semua, kekerasan yang dilakukan suaminya sama sekali
tidak disetujuinya. Mestinya, menghadapi Ki Antak haruslah dengan lemah
lembut. Bukannya malah dilawan dengan keras juga. Dan itulah yang membuat
rumah mereka jadi ramai.
“Panggil Lestari ke sini!” perintah Ki Rapala.
Tanpa menjawab apa pun juga, Nyi Rapala langsung masuk ke dalam
meninggalkan suaminya seorang diri di beranda depan. Tapi tidak berapa lama
kemudian, perempuan tua itu sudah kembali lagi dengan raut wajah memancarkan
kecemasan.
“Mana anak itu...?” tanya Ki Rapala langsung saja.
“Tidak ada...,” sahut Nyi Rapala agak takut.
“Tidak ada..?! Apa maksudmu, Nyi?” bentak Ki Rapala langsung gusar.
“Lestari tidak ada di kamarnya.”
“Apa...?!” Ki Rapala jadi tersentak.
Cepat dia melompat bangkit dari kursinya, dan langsung saja berlari ke
dalam. Hampir saja istrinya tertabrak. Untung wanita tua itu cepat menarik
diri ke belakang. Sementara, Ki Rapala terus berjalan cepat, dengan ayunan
kaki lebar-lebar menuju kamar anak gadisnya. Namun mendadak saja, laki-laki
tua itu jadi tertegun begitu sampai di depan pintu kamar Lestari. Pintu
kamar itu terbuka lebar, dan tidak terkunci sama sekali. Sedangkan di
dalamnya tidak ada seorang pun. Demikian juga jendela kamarnya yang terbuka
lebar. Ki Rapala bergegas masuk ke dalam. Sebentar pandangannya diedarkan ke
sekeliling kamar ini, seakan ada yang sedang dicarinya. Lalu dihampirinya
jendela, dan berdiri tegak di sana sambil memandang keluar.
“Huh! Anak kurang ajar...! Bikin susah orang tua!” dengus Ki Rapala gusar.
Laki-laki tua itu cepat berbalik memutar tubuhnya.
Tapi belum juga melangkah, istrinya sudah berada di ambang pintu. Hanya
sejenak saja laki-laki tua kepala desa itu menatap istrinya, kemudian
bergegas melangkah keluar tanpa bicara sedikit pun. Tapi baru saja kakinya
berada satu langkah di depan pintu, Nyi Rapala sudah mencekal pergelangan
tangannya. Terpaksa Ki Rapala menghentikan langkahnya, dan langsung
berpaling menatap tajam perempuan tua itu.
“Mau ke mana...?” tanya Nyi Rapala agak sendu terdengar suaranya.
“Huh!” Ki Rapala hanya mendengus saja. Dan sekali sentak, cekalan tangan
istrinya sudah terlepas. Langsung kakinya melangkah meninggalkan perempuan
tua itu. Sementara, Nyi Rapala hanya diam mematung dengan mata terlihat
redup.
Sebentar saja punggung suaminya sudah tidak terlihat lagi. Dan tak lama
kemudian, sudah terdengar hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Nyi
Rapala tahu, suaminya pergi tidak seorang diri. Itu bisa diduga dari
terdengarnya derap kaki ku-da. Memang, paling tidak, ada sekitar sepuluh
ekor kuda yang dipacu cepat keluar dari halaman depan rumah ini.
“Hhh...!”
***
Saat matahari baru saja tenggelam di balik peraduannya, Ki Rapala baru
sampai di rumahnya yang berukuran besar dan berhalaman sangat luas ini.
Sementara, suasana di desa itu sudah gelap dan sunyi. Tampak kerlip nyala
lampu pelita memendar dari setiap rumah di Desa Paranggada ini. Ki Rapala
melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya ringan sekali, ketika
mendarat tepat di depan tangga bawah beranda rumahnya yang berjumlah tujuh
undakan ini.
Seorang pembantunya bergegas mengambil kuda yang ditungganginya, dan
membawanya ke belakang. Sementara beberapa pemuda yang tadi ikut dengannya
langsung menuju belakang rumah tanpa turun dari kudanya. Tampak jelas wajah
mereka begitu lelah dan tebal penuh debu bercampur keringat. Ki Rapala
menapaki undakan beranda depan dengan ayunan kaki terlihat lesu.
Namun baru saja kakinya menapak di undakan terakhir, dan kepalanya
terangkat, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri. Di ambang pintu ternyata telah berdiri
seorang gadis berwajah cantik. Baju warna merah yang begitu ketat, hingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Bibirnya yang merah tampak
menyunggingkan senyum tipis yang terasa begitu sinis. Bahkan sorot matanya
terlihat sangat tajam, menusuk langsung ke bola mata Ki Rapala yang
terbeliak lebar bagai sedang berhadapan hantu wanita yang sangat
cantik!
“Kau....” Belum lagi habis suara Ki Rapala, tiba-tiba saja gadis cantik
berbaju merah itu sudah melesat cepat bagai kilat. Dan saat itu juga,
terlihat satu kilatan cahaya keperakan berkelebat begitu cepat ke arah leher
laki-laki tua kepala desa ini. Sama sekali tak ada waktu untuk menghindar
maupun memapak serangan itu, karena terjadinya begitu cepat. Dan saat
berikutnya....
Cras!
“Aaa...!” Jeritan panjang melengking tinggi, saat itu juga terdengar begitu
menyayat. Dan begitu sosok tubuh wanita cantik berbaju merah itu lenyap
setelah melesat ke atas atap, tubuh Ki Rapala jatuh terguling dari beranda.
Dan dengan keras sekali, tubuhnya menghantam tanah. Hanya beberapa saat saja
Ki Rapala masih bisa menggelepar, lalu sesaat kemudian seluruh tubuhnya
mengejang kaku dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Tampak dari lehernya yang
terbabat hampir buntung darah mengalir deras sekali.
Jeritan yang sangat panjang dan melengking itu, rupanya terdengar bukan
hanya oleh penghuni rumah kepala desa ini. Tapi, para penduduk yang rumahnya
berdekatan juga mendengarnya. Hingga dalam waktu sebentar saja, halaman
depan rumah kepala desa itu sudah dihuni orang yang hampir semuanya membawa
obor. Mereka seketika jadi terperanjat setengah mati, begitu mendapati tubuh
kepala desanya terbujur kaku, tanpa nyawa lagi. Yang lebih mengerikan,
lehernya terbabat hampir buntung! Dan saat itu juga, dari dalam rumah keluar
Nyi Rapala. Begitu melihat apa yang terjadi, wanita tua itu tidak dapat lagi
mengeluarkan suara sedikit pun. Dan dia langsung jatuh tidak sadarkan diri
di ambang pintu.
Seorang pekerja wanita rumah itu bergegas memapahnya, seraya minta tolong
pada dua orang pemuda yang berada di dekatnya untuk membawa Nyi Rapala ke
dalam. Sementara orang-orang yang berkerumun di depan rumah kepala desa itu
semakin banyak, membuat keadaan malam yang semula tenang dan sunyi jadi
gemerlap oleh cahaya api obor yang dibawa.
***
Kematian Ki Rapala tentu saja membuat seluruh Desa Paranggada jadi gempar.
Terlebih lagi, kematian Ki Rapala begitu mengenaskan. Entah, dengan apa
orang itu memenggal leher Ki Rapala. Tapi yang membuat semua orang jadi
bertanya-tanya, kematian kepala desa itu bersamaan dengan menghilangnya
Lestari, putri tunggalnya.
Sampai tujuh hari kematian Ki Rapala, tidak ada seorang pun yang tahu, di
mana gadis itu berada. Padahal, Nyi Rapala sendiri sudah memerintahkan
orang-orangnya untuk mencari. Tapi, sampai saat ini gadis itu tidak pernah
ketahuan rimbanya. Keadaan itu membuat Nyi Rapala semakin sering menyendiri,
hingga akhirnya jatuh sakit. Sudah beberapa tabib mencoba menyembuhkan, tapi
penyakit Nyi Rapala semakin bertambah parah saja. Hingga tepat satu purnama
setelah kematian suaminya, wanita tua itu kemudian menyusul.
Kini, mendung menyelimuti seluruh angkasa Desa Paranggada. Keadaan Desa
Paranggada yang tanpa pemimpin, membuat para pemuka desa harus mencari
kepala desa baru. Tapi memang tidak mudah untuk memilih kepala desa yang
baik. Padahal sudah beberapa orang yang begitu ingin menjadi kepala desa.
Mereka sudah melakukan berbagai macam cara untuk mempengaruhi penduduk, agar
memilihnya menjadi kepala desa. Dan justru hal ini membuat keadaan di desa
itu semakin tidak menentu. Keributan-keributan kecil mulai terjadi di
mana-mana. Bahkan sampai terjadi beberapa pertarungan. Tapi sampai saat ini,
memang belum ada yang menjadi korban. Hingga...
“Ada mayat...!”
“Heh...?!”
“Apa...?!”
Pagi ini, Desa Paranggada kembali digemparkan oleh ditemukannya sesosok
mayat, yang menggeletak di pinggir jalan. Mereka berbondong-bondong berlari
mendekati sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi, dengan leher
terbelah hampir buntung. Darah yang mengalir sudah kelihatan membeku,
pertanda kematiannya sudah cukup lama di sana.
“Heh...?! Bukankah itu anaknya Ki Marta...?”
“Benar! Dia anaknya Ki Marta...!”
Keterkejutan penduduk desa itu semakin bertambah, setelah mengetahui kalau
laki-laki yang tergeletak di pinggir jalan desa itu ternyata putra Ki Marta,
orang yang paling terpandang di Desa Paranggada ini. Setelah mengenali orang
yang tergeletak di pinggir jalan itu, tidak ada seorang pun yang berani lagi
mendekat. Dan tiba-tiba saja kerumunan orang itu bergerak menyingkir, begitu
terdengar bentakan keras dari arah belakang.
Tampak seorang laki-laki setengah baya bertubuh tegap dan terbungkus
pakaian biru muda dari bahan sutera halus, tengah berjalan mantap dengan
diiringi sekitar enam orang laki-laki berbadan kekar. Semua orang yang
berkerumun di situ tahu, laki-laki setengah baya inilah yang bernama Ki
Marta. Dia tampak tertegun, begitu melihat putranya tergeletak tidak
bernyawa dan menjadi tontonan seluruh penduduk desa di pinggir jalan
ini.
Yang lebih mengejutkan lagi, pemuda itu tewas tanpa mengenakan selembar
pakaian pun di tubuhnya. Ki Marta segera memerintahkan pengawal-pengawalnya
untuk menutupi tubuh anaknya, dan membawanya pergi dari tempat itu.
Sementara itu, tidak ada seorang pun yang berani bersuara.
Dan Ki Marta hanya memandangi orang-orang yang masih berkerumun di
sekitarnya. Tampak jelas sekali dari raut wajahnya, kalau laki-laki
terpandang ini tengah menahan kemarahan yang amat sangat. Wajahnya kelihatan
memerah, dengan bola mata bersinar bagaikan sepasang bola api. Beberapa kali
terdengar gerahamnya bergemeletuk, menahan kemarahan. Sedangkan tongkat kayu
yang tergenggam di tangan kanannya sudah dihunjamkan cukup dalam ke
tanah.
“Siapa yang pertama kali melihat anakku di sini...?” terdengar lantang dan
menggelegar suara Ki Marta.
Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat wajah mendengar pertanyaan
laki-laki setengah baya yang sangat berpengaruh dan paling kaya di desa itu.
Ki Marta kembali memandangi mereka satu persatu dengan geraham bergemeletuk
menahan geram.
“Aku, Ki....”
Tiba-tiba terdengar suara agak bergetar, diantara kerumunan orang-orang
desa itu. Semua orang langsung mengalihkan pandangan, ke arah datangnya
suara. Tampak seorang anak muda berusia sekitar dua puluh dua tahun,
melangkah beberapa tindak mendekati Ki Marta. Dari sikapnya, sepertinya dia
begitu takut. Seakan-akan, dia sedang berhadapan dengan seorang penuntut
yang akan menjatuhkan hukuman mati!
“Kau yang pertama kali melihat?” tanya Ki Marta lagi. Masih bernada
geram.
“Be..., benar, Ki,” sahut pemuda itu jadi tergagap.
“Siapa namamu?”
“Kajang.”
“Hanya kau sendiri yang melihat?”
“Tidak, Ki. Ada adikku.”
“Lalu, siapa lagi?”
Pemuda yang tadi mengaku bernama Kajang hanya menggeleng kepala saja. Dan
kepalanya terus tertunduk, seakan tidak berani lagi menatap bola mata Ki
Marta yang terlihat memerah bagai api. Sementara di belakang Ki Marta,
berdiri dua orang laki-laki berbadan tegap berotot dengan golok
masing-masing terselip di pinggang.
“Sedang apa kau di sini tadi?” tanya Ki Marta lagi.
“Aku..., aku hendak pergi ke ladang untuk menyabit rumput, Ki. Tapi tidak
jadi, karena...,” suara Kajang terputus.
“Hm.... Kau lihat, siapa yang membunuh anakku?” tanya Ki Marta
langsung.
Lagi-lagi Kajang menggelengkan kepala, menjawab pertanyaan orang tua
itu.
“Hhh...!” Ki Marta menghembuskan nafasnya panjang- panjang. Kembali
pandangannya beredar berkeliling.
Tidak ada seorang pun yang berani mengangkat kepala, membalas pandangan
mata laki-laki separo baya ini. Dan mereka semua terdiam, tidak bersuara
sedikit pun juga. Sementara, Kajang masih berdiri sekitar lima langkah di
depannya. Saat itu, mayat putra Ki Marta sudah dibawa pergi oleh empat orang
pengawal laki-laki itu.
“Dengar, semua...! Anakku sudah menjadi korban. Dan bagai siapa saja yang
bisa membawa kepala si keparat itu kepadaku, akan kusediakan hadiah seribu
keping emas. Dengar itu...!” terdengar lantang sekali suara Ki Marta,
sehingga semua orang yang ada di sekitar tempat itu mendengar jelas. Dan
setelah berkata begitu, Ki Marta bergegas pergi. Langkah kakinya terlihat
lebar dan seperti tergesa-gesa.
Sementara semua orang hanya bisa saling berpandangan saja. Tentu saja
mereka tidak hanya terke-ut mendengar kata-kata terakhir yang diucapkan Ki
Marta, tapi juga heran. Ternyata orang yang terkaya itu akan memberi hadiah
yang sangat besar jumlahnya, hanya untuk membawa kepala pembunuh anaknya.
Tapi siapa yang sanggup...?
Sedangkan mereka semua hanya penduduk bisa yang tidak mengerti ilmu olah
kanuragan sedikit pun. Dan yang pasti, pembunuh itu memiliki kepandaian
tinggi sekali. Ini bisa dibuktikan dengan tewasnya Ki Rapala. Dan mereka
semua tahu, kepala desa itu memiliki kepandaian tidak rendah. Demikian pula
anak Ki Marta yang kepandaiannya tidak seberapa jauh di bawah ayahnya
sendiri. Mereka saja bisa tewas. Apa lagi hanya seorang penduduk desa yang
tidak mempunyai kepandaian apa-apa...?
Hadiah yang dijanjikan Ki Marta memang sangat menggiurkan sekali. Tapi
tidak ada seorang pun yang mau mengambil bahaya hanya untuk mendapatkan
seribu keping emas. Maka, mereka kini bubar begitu saja, seperti tidak
menghiraukan hadiah seribu keping emas yang dijanjikan Ki Marta. Sebentar
saja, jalan itu sudah sepi dari orang desa yang tadi berkerumun memadatinya.
Dan saat itu, terihat dua anak muda berdiri tidak jauh dari jalan.
Mereka tampaknya berlindung dari sengatan sinar matahari di bawah pohon
beringin yang cukup rindang. Yang seorang, adalah pemuda berwajah tampan.
Bajunya rompi putih dengan sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung
menyembul di balik punggungnya. Sedangkan yang berdiri di sebelah kirinya,
adalah seorang gadis cantik. Baju berwarna biru muda. Tangannya terus
memain-mainkan sebuah kipas berwarna putih keperakan di depan dadanya,
seakan hendak mengusir hawa panas yang memang begitu menyengat pagi
ini.
***
TIGA
Entah sudah berapa lama dua anak muda itu berada di sana. Tapi yang jelas,
mereka melihat semua yang terjadi barusan. Dan kini mereka terdiam membisu,
memandangi tempat putra Ki Marta ditemukan tergeletak sudah tidak bernyawa
lagi.
“Kakang. Apakah memang dia yang kita cari...?” terdengar pelan sekali suara
gadis cantik berbaju biru muda itu, tanpa berpaling sedikit pun pada pemuda
disebelahnya.
“Entahlah, Pandan. Aku jadi ragu-ragu juga,” sahut pemuda berbaju rompi
putih itu perlahan.
Gadis cantik yang dipanggil Pandan itu memalingkan mukanya sedikit, menatap
wajah tampan di sebelahnya. Dia memang Pandan Wangi, yang dikenal berjuluk
si Kipas Maut di kalangan orang-orang persilatan.
Sedangkan pemuda tampan berbaju rompi putih yang berdiri di sebelahnya,
tidak lain dari Rangga. Dan dia juga dikenal sebagai Pendekar Rajawali
Sakti. Kelihatannya, mereka berada di Desa Paranggada ini mempunyai satu
tugas. Satu tugas yang tentu saja merupakan tugas sebagai pendekar.
“Kalau memang dia..., hm.... Tindakannya semakin biadab saja, Kakang. Dan
ini tentu tidak bisa didiamkan terus-menerus,” ujar Pandan Wangi lagi, masih
dengan suara pelan, seperti bicara pada diri sendiri.
“Jangan terlalu berprasangka, Pandan. Sudah cukup jauh kita mengejar. Dan
sampai sekarang, kita belum tahu pasti keberadaannya,” kata Rangga mencoba
menyabarkan hati gadis ini.
Pandan Wangi memang cepat sekali naik darah. Apalagi melihat kekejaman
terjadi di depan matanya. Sedangkan Rangga, selalu bisa menahan kesabaran.
Bahkan harus terlalu sering mendinginkan darah Pandan Wangi yang cepat
sekali mendidih.
“Ayo, Pandan. Kita cari kedai dulu. Sejak kemarin kau belum makan, kan...?”
ajak Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Mereka kemudian melangkah menghampiri
kuda yang ditambatkan tidak jauh dari tempat mereka berdiri di bawah pohon
ini. Dua ekor kuda yang bagus dan tegap. Kuda itu tidak ditunggangi, tapi
dituntun. Dan mereka terus berjalan menyusuri jalan tanah berdebu yang
membelah Desa Paranggada ini bagai menjadi dua bagian.
Tidak ada seorang pun yang memperhatikan kedua pendekar dari Karang Setra
ini. Semua perhatian orang di Desa Paranggada tengah terpusat pada peristiwa
pembunuhan penuh teka-teki yang mengambil tiga korban. Dan semua yang
korbannya, tewas dengan leher terbabat hampir buntung.
“Di sebelah sana kelihatannya ada kedai, Kakang,” ujar Pandan Wangi sambil
menunjuk ke sebuah tikungan jalan.
“Hm.... Ayolah,” ajak Rangga agak menggumam nada suaranya.
Mereka terus berjalan sambil menuntun kudanya. Dan begitu sampai di
tikungan jalan yang ditunjuk Pandan Wangi, mereka memang menemukan sebuah
kedai yang tidak begitu besar, namun kelihatan begitu sepi. Kedua pendekar
muda itu terus berjalan memasuki halaman kedai. Tampak seorang anak
laki-laki berumur sekitar delapan tahun, berlari-lari kecil
menghampiri.
“Kudanya, Den...,” ujar bocah itu menawarkan jasanya.
Rangga tersenyum, lalu menyerahkan tali kekang kudanya. Demikian pula
Pandan Wangi. Sambil tersenyum riang, bocah yang bertelanjang dada itu
menarik dua ekor kuda ini ke bagian samping kedai. Sementara, Rangga dan
Pandan Wangi terus melangkah masuk ke dalam kedai. Seorang perempuan tua
bertubuh gemuk segera menyambut dengan senyum mengembang di bibirnya.
“Silakan, Den..., Nini...,” sambut perempuan gemuk itu, ramah.
Sebentar Rangga mengedarkan pandangannya ke sekeliling kedai ini. Memang
tidak besar, tapi kelihatan bersih sekali. Dan kedai ini sangat sunyi, tanpa
seorang pun pengunjung. Rupanya, hanya mereka berdua saja yang datang ke
kedai ini. Rangga memilih tempat tidak jauh dari pintu, tempat tadi
masuk.
“Sediakan makanan enak, dan minumannya,” pinta Rangga.
“Baik, Den,” sahut perempuan gemuk itu, yang ternyata pemilik kedai ini.
Perempuan gemuk itu bergegas melangkah ke bagian belakang kedai ini. Langkah
kakinya terlihat terseok, mungkin terlalu berat menahan beban tubuhnya yang
begitu gemuk.
Rangga kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan tak berapa lama
kemudian, perempuan gemuk itu sudah kembali lagi bersama seorang gadis
manis, sambil membawa sebuah baki kayu berukuran cukup besar. Dengan sikap
ramah disertai senyuman manis mereka menghidangkan pesanan kedua pendekar
muda ini. Rangga hanya memperhatikan saja. Sementara, Pandan Wangi sejak
tadi terus mengarahkan pandangan ke jalan.
“Sebentar, Nyi...,” cegah Rangga ketika perempuan gemuk itu hendak
meninggalkannya, setelah menghidangkan semua pesanan.
“Ada apa, Den?” tanya perempuan gemuk pemilik kedai ini ramah.
“Boleh bertanya sedikit, Nyi?” lembut sekali nada suara Rangga.
“Silakan, Den....”
“Hm. Apa nama desa ini, Nyi?”
“Desa Paranggada.”
“Ooo..,” Rangga mengangguk-angguk.
“Raden memangnya datang dari mana? Kok, tidak tahu nama desa ini...?”
perempuan gemuk itu balik bertanya. Sementara, gadis manis yang tadi
menyertainya sudah kembali menghilang ke belakang dan tidak muncul-muncul
lagi.
“Kami berdua datang dari jauh, Nyi,” sahut Rangga.
“Kami pengembara yang kebetulan lewat desa ini,” sambung Pandan Wangi yang
sudah melahap makanannya, tanpa dipersilakan lagi.
“Ooo.... Jadi, kalian berdua ini pengembara...?”
“Benar, Nyi,” sahut Rangga.
“Wah! Kalau begitu hati-hati, Den,” ujar perempuan gemuk itu.
“Kenapa...?” tanya Pandan Wangi langsung menghentikan makanannya.
“Desa ini sedang gempar, Nini. Apa tadi kalian tidak lihat ada kejadian di
ujung jalan sana...?” perempuan gemuk itu menunjuk ke arah jalan, tempat
arah kedatangan kedua tamunya ini tadi.
Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melemparkan pandangan. “Pembunuhan itu,
Nyi...?” ujar Rangga seakan ingin menegaskan.
“Benar, Den. Itu korban yang ketiga. Pertama, anaknya Ki Antak. Kemudian,
disusul Ki Rapala, kepala desa ini. Dan yang barusan anak Ki Marta, orang
paling kaya dan berpengaruh di desa ini. Dia bisa berbuat apa saja dengan
kekayaannya. Tadi Ki Marta juga mengatakan, bahwa akan menyediakan hadiah
seribu keping emas bagi siapa saja yang bisa membawa kepala pembunuh itu
padanya,” jelas pemilik kedai tanpa diminta.
“Oh! Bisa berbahaya...,” desah Rangga seakan terkejut mendengarnya.
“Benar, Den. Bisa-bisa terjadi pembunuhan- pembunuhan lain. Bisa jadi,
orang akan membawa kepala orang lain yang tidak bersalah, hanya untuk
mendapatkan hadiah dari Ki Marta,” sambung pemilik kedai itu.
“Terlalu gegabah dia, Kakang,” ujar Pandan Wangi.
“Apa tidak disadari, kalau hadiah begitu besar malah akan memperburuk
keadaan...? Hhh! Orang kaya di mana-mana sama. Tak pernah mau memikirkan
akibat dan keselamatan orang lain.“
“Celakanya lagi, Nini. Baru tadi Ki Marta mengatakan begitu, sudah ada dua
orang yang datang padanya. Dan katanya lagi, mereka akan mencari pembunuh
itu,” sambung pemilik kedai ini.
“Siapa mereka, Nyi?” tanya Rangga.
“Wah, tidak tahu.... Kelihatannya mereka bukan orang sini. Memang, tadi
mereka makan di sini. Seperti juga Raden dan Nini, mereka juga orang
jauh.”
“Laki-laki atau perempuan, Nyi?” tanya Pandan Wangi, seraya melirik
Rangga.
“Dua-duanya perempuan. Mereka juga membawa pedang seperti kalian.”
Rangga dan Pandan Wangi tidak bicara lagi. Sementara perempuan gemuk
pemilik kedai itu sudah meninggalkan mereka, setelah berpamitan ke belakang.
Dan kedua pendekar muda dari Karang Setra itu kini menikmati makanannya
tanpa bicara lagi.
***
Setelah matahari berada di atas kepala, Rangga baru mengajak Pandan Wangi
keluar dari kedai itu. Sedangkan pemilik kedai yang bertubuh gemuk itu
mengantarkan sampai kedua pendekar itu naik ke punggung kudanya. Mereka
menjalankan kudanya perlahan-lahan, sambil mengamati keadaan Desa Paranggada
ini. Sebentar saja, mereka sudah berada di perbatasan desa itu. Rumah-rumah
sudah mulai kelihatan jarang. Dan, udaranya pun terasa lebih segar. Namun
baru saja mereka hendak memacu kudanya, mendadak saja....
“Berhenti...!”
Sebuah bentakan keras, seketika membuat kedua pendekar muda itu jadi
menghentikan langkah kaki kudanya. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan
biru. Dan tahu-tahu, di depan kuda mereka sudah berdiri seorang laki-laki
berusia separo baya. Dan belum lagi kedua pendekar dari Karang Setra itu
bisa menghilangkan keterkejutannya, dari balik semak dan pepohonan sudah
berlompatan sekitar dua puluh orang yang langsung menghunuskan golok.
“Hm, ada apa ini...?” gumam Rangga pelan, seperti bertanya pada diri
sendiri.
“Turun kalian dari kuda...!” bentak laki-laki separo baya yang berbaju biru
itu, agak kasar nada suaranya.
“Maaf, Paman. Ada apa ini? Kenapa jalan kami dihadang...?” tanya Rangga
mencoba ramah.
“Turun kataku...!” bentak laki-laki separo baya itu, tanpa menghiraukan
keramahan Rangga.
Sedikit Rangga mengerutkan keningnya, tapi sebentar kemudian turun juga
dari punggung kudanya. Sedangkan Pandan Wangi tetap duduk di atas kuda
putihnya. Dan gadis itu baru turun, setelah Rangga memintanya. Seperti tahu
akan ada bahaya, kedua ekor kuda itu langsung bergerak menjauh dari tempat
semula. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi berdiri berdampingan dengan raut
wajah memancarkan ketidakmengertian.
“Siapa kalian?!” tanya orang berbaju biru itu, masih dengan suara agak
kasar.
“Aku Rangga. Dan ini adikku, Pandan Wangi. Kami berdua pengembara yang
kebetulan lewat di....”
“Cukup...!” bentak orang berbaju biru itu, memutuskan kata-kata
Rangga.
Bentakan itu membuat kening Rangga jadi semakin dalam berkerut. Benar-benar
tidak dimengerti sikap laki-laki separo baya ini. Tapi melihat tongkat kayu
tergenggam di tangan kanan dan caranya muncul tadi, Rangga sudah bisa
menduga kalau orang yang berdiri tepat sekitar enam langkah di depannya ini
memiliki kepandaian tinggi. Pendekar Rajawali Sakti jadi menduga-duga, apa
maksud orang ini menghadangnya.
“Kalian mengaku pengembara. Hhh! Pasti kalian bangsat-bangsat keparat itu!”
dengus orang itu kasar.
“Eh, apa katamu...?!” sentak Pandan Wangi langsung marah.
“Kalian tidak perlu mungkir. Aku Ki Marta yang akan memenggal kepala kalian
berdua!”
“Tunggu dulu...! Apa maksud semua ini?” tanya Rangga meminta
penjelasan.
“Tidak perlu lagi penjelasan, Setan Keparat! Kalian harus mampus sebelum
jatuh korban lagi!”
“Heh...?!”
“Serang! Bunuh mereka...!”
Belum lagi hilang rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti, tiba-tiba saja
Ki Marta sudah berteriak lantang dan menggelegar bernada perintah. Dan
seketika itu juga....
“Hiyaaat...!” “Yeaaah...!”
Orang-orang yang sejak tadi sudah menghunus golok dan tinggal menunggu
perintah saja, seketika itu juga langsung berlompatan begitu mendengar
perintah Ki Marta. Dan ini membuat kedua pendekar muda itu jadi semakin
terperanjat. Namun, tidak ada lagi kesempatan bagi mereka untuk
mencegah.
“Hup!” “Hiyaaa...!”
Satu sambaran golok yang begitu cepat, hampir saja membelah kepala Rangga.
Untung saja, Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat merundukkan kepalanya.
Sementara, Pandan Wangi cepat melenting ke udara, saat sebilah golok
berukuran cukup besar membabat ke arah kakinya. Dan saat itu juga, anak buah
Ki Marta sudah merangsek, mengeroyok kedua pendekar ini. Teriakan-teriakan
keras terdengar membahana, membuat jantung siapa saja akan berhenti berdetak
bila mendengarnya.
Dan tanpa disadari, pertarungan itu diawasi oleh sepasang mata indah di
balik sebuah tudung berbentuk bulat dan cukup besar. Sepasang mata itu
berada cukup jauh dari tempat pertarungan, tapi cukup jelas untuk
menyaksikannya.
Sementara Rangga terpaksa harus berjumpalitan dan meliuk-liukkan tubuhnya,
menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dari segala arah.
Digunakannya jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’ yang hanya digunakan untuk
menghindari setiap serangan. Dengan jurus ini, orang-orang yang
mengeroyoknya jadi terasa sulit untuk mendesak.
Sementara, Pandan Wangi sudah menggunakan senjata Kipas Maut yang sangat
terkenal di kalangan persilatan. Tapi gadis itu masih mencoba untuk bisa
bersabar. Dan kipasnya hanya digunakan untuk menangkis senjata
lawan-lawannya. Namun sesekali dilepaskannya pukulan ringan dengan tangan
kiri. Dan itu sudah membuat beberapa lawannya jatuh bangun.
“Pandan! Tinggalkan tempat ini, cepat...!” seru Rangga dalam
pertarungannya.
“Tidak...!” sahut Pandan Wangi juga berteriak keras.
“Pergi cepat...!” perintah Rangga lagi.
Pandan Wangi jadi bimbang juga. Sekilas matanya melirik Rangga yang
dikeroyok oleh orang-orang yang jumlahnya lebih banyak. Bahkan Ki Marta
sendiri sudah terjun menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tapi walaupun hanya
melihat sekilas, Pandan Wangi sudah bisa mengetahui kalau Rangga bisa
menguasai keadaan. Jelas sekali terlihat, mereka bukanlah tandingan Pendekar
Rajawali Sakti, walaupun jumlahnya cukup banyak. Melihat keadaan yang tidak
mengkhawatirkan itu, Pandan Wangi cepat-cepat melenting tinggi ke udara
sambil menyambar sebuah ranting di tanah. Dan saat itu juga....
“Hup! Yeaaah...!”
Wuk!
Sambil melemparkan ranting itu, Pandan Wangi melesat cepat melewati kepala
beberapa orang pengeroyoknya.
Tuk!
Manis sekali Pandan Wangi menotol ranting yang melayang di udara ini dengan
ujung jari kakinya. Dan tubuhnya langsung melenting begitu cepat
meninggalkan lawan-lawannya. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat
mereka yang mengeroyoknya jadi terlongong bengong. Dan belum juga ada yang
sempat menyadari, Pandan Wangi sudah berada di punggung kudanya lagi.
Diambilnya tali kekang Dewa Bayu tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit
masih sempat dilihatnya Rangga yang masih dikeroyok puluhan orang itu.
“Hiya! Hiyaaa...!”
Kuda putih tunggangan Pandan Wangi langsung melesat cepat begitu digebah
keras, tanpa ada seorang pun yang bisa mengejar. Sebentar saja, tempat itu
sudah jauh ditinggalkannya. Sementara, Rangga masih terus berjumpalitan
menghindari setiap serangan yang datang.
“Hup! Hiyaaa...!”
Begitu melihat Pandan Wangi sudah pergi, cepat sekali Pendekar Rajawali
Sakti melenting tinggi-tinggi ke angkasa. Lalu manis sekali kakinya hinggap
di atas sebatang dahan pohon yang cukup tinggi.
“Maaf, aku tidak ada waktu untuk bermain- main dengan kalian,” ujar Rangga
disertai sedikit pengerahan tenaga dalam. Dan saat itu juga....
“Hup!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting. Begitu sempurna
ilmu meringankan tubuhnya, sehingga hanya bayangan tubuhnya saja yang sempat
terlihat berkelebat bagai kilat. Dan dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh
Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tidak berbekas lagi.
Kepergian Rangga yang begitu menakjubkan, membuat Ki Marta dan
orang-orangnya jadi terlongong bengong. Walaupun tadi mereka menggempur
habis-habisan, tapi tidak seorang pun yang bisa menyarangkan serangannya.
Dan sebaliknya, tidak seorang pun yang menjadi korban. Keadaan ini membuat
Ki Marta jadi termangu sendiri, memandang ke arah kepergian pemuda
itu.
“Rangga.... Hm.... Siapa dia sebenarnya...? Ilmunya begitu tinggi. Apakah
dia benar bukan si pembunuh keparat itu...?” gumam Ki Marta jadi
bertanya-tanya sendiri dalam hati.
***
Emoticon