Karya : Djair
Sang surya menyinari alam raya ini dengan sinarnya yang keemasan,
memberikan kehidupan bagi makhluk yang berada di muka bumi tak terkecuali
makhluk kecil maupun makhluk yang terbesar.
Awan yang bergumpal-gumpal tipis seakan-akan berjalan mengikuti arah angin
yang berhembus. Langit pun menjadi cerah membuat mentari dapat mengeluarkan
cahaya tanpa penghalang, sehingga hawa menjadi panas.
Di kejauhan terlihat sosok tubuh manusia sedang menelusuri dataran yang
sangat luas dengan pemandangan di kiri kanannya sawah-sawah yang sedang
menguning dan pohon-pohon yang tumbuh dengan suburnya, dengan dibatasi
bebatuan yang menyembul dari permukaan bumi membentuk bukit-bukit kecil
sehingga sosok tubuh itu terlihat sangat kecil sekali bila dibandingkan alam
sekitarnya yang begitu luas. Sosok tubuh itu melangkah dengan langkah pasti
dan yakin dengan sebilah tongkat besi tergenggam dalam jari-jari tangannya
yang kuat.
Ya....... dialah Parmin alias Jaka Sembung yang meneruskan perjalanannya
yang masih jauh. Ia harus melewati Desa Cilimus dan desa-desa lainnya di
seluruh Kabupaten Kuningan.
Terik matahari yang bersinar cerah membuat peluh membasahi tubuhnya dan
butir-butir keringat yang keluar di wajahnya dihapusnya dengan telapak
tangan sekali-kali agar pandangan matanya tidak terganggu. Temannya yang
setia terus mengikuti perjalanannya dengan bertengger di pundak Parmin
sambil sekali bersiul membuat irama lagu yang membangkitkan semangat dalam
jiwa yang mendengarkannya.
Selang beberapa saat langkahnya terhenti. Naluri kependekarannya mengatakan
ada sesuatu yang tak beres berada di sekitarnya. Setelah mengamati keadaan
sekitar dengan pandangan mata yang tajam, Parmin kemudian melanjutkan
perjalanannya dengan penuh kewaspadaan.
Tiba-tiba secara serempak, entah dari mana datangnya berpuluh-puluh
bongkahan batu besar dan kecil berjatuhan seperti hujan dari langit
mengancam tubuh Parmin. Akan tetapi naluri kependekarannya dengan cepat
bereaksi.
Tubuh Parmin bersalto dengan cepat menghindari dan berlompatan ke sana ke
mari di sela-sela hujan bongkahan batu-batu itu. Tongkat besi beraninya
diputar-putar dengan cepat membuat perisai untuk melindungi tubuhnya.
Dan batu-batu yang terkena besi beraninya hancur berhamburan serta kakinya
membuat tendangan keras dengan menyalurkan tenaga dalamnya mengarah
bongkahan batu-batu yang seketika hancur menjadi kerikil-kerikil. Debu pun
beterbangan ke udara kemudian hilang terbawa hembusan angin.
Parmin membuat gerakan-gerakan salto dengan manisnya di sela-sela bongkahan
batu tersebut, yang seakan-akan tidak ada henti-hentinya menghujani dirinya.
Ketika Parmin sedang jungkir balik dan menendang sebuah bongkahan batu yang
besar, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat keras memecahkan
gendang telinga bagi yang tidak mempunyai ilmu dalam yang cukup
tinggi.
“Duuaaaar.......!”
Suara itu menggema keras ke seluruh dataran itu dan seketika bukit batu
yang berada tidak jauh dari Parmin mendarat, hancur berantakan dan
pecahan-pecahannya mengarah ke tubuh Parmin begitu cepatnya dengan debu-debu
yang beterbangan membuat pandangan mata Parmin agak terganggu.
Namun bukanlah pendekar Jaka Sembung kalau tidak bisa menghindari semua
itu. Dengan sekali hentakkan tubuhnya melambung ke udara menerobos
pecahan-pecahan batu itu dengan cepatnya dan mendarat lebih jauh dari tempat
semula dengan pijakan kaki mantap, tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun.
Belum lagi tubuhnya tegak sempurna, kembali serangan datang ke arahnya
dengan bunyi berdesir sangat kencang yang mengitari tubuhnya.
“Hah....... benda apa ini?!” sentak Parmin terperanjat sambil memasang
kuda-kuda dengan menyilangkan tangan kanannya yang menggenggam tongkat besi
berani ke dadanya yang bidang. Dengan sorot mata tajam mengikuti gerak benda
aneh itu dengan penuh kewaspadaan.
Benda aneh itu terus berputar mengitari tubuh Parmin. Desiran angin yang
ditimbulkannya membuat debu-debu dan kerikil-kerikil beterbangan sehingga
kain yang melekat di tubuh Parmin yang diselempangkan di pundaknya, turut
tergerai terkena desiran benda aneh tersebut.
Pada suatu kesempatan Parmin menangkis benda itu dengan sabetan tongkat
besinya dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
“Triing.......!”
Benturan kedua benda itu sangat nyaring sehingga menimbulkan bunga-bunga
api dan asap hitam yang mengepul ke udara dan segera menghilang tertiup
angin. Benda aneh itu kembali menyerangnya setelah memantul dari benturan
tongkat besi berani Parmin dan dibarengi dengan suara tertawa yang
memekakkan gendang telinga dan bergema tak putus-putusnya.
Jaka Sembung berdiri dengan kewaspadaan penuh sambil merasakan getaran di
telapak tangannya yang terasa kesemutan. Telapak tangannya lalu
digosok-gosok dengan telapak tangan yang lain dan matanya nyalang mencari
sumber suara yang mengandung tenaga dalam untuk melemahkan urat saraf bagi
yang mendengarkan suara itu.
Jaka Sembung pun segera memusatkan tenaga dalamnya untuk mengusir pengaruh
suara yang datang dengan ilmu yang diberikan oleh gurunya yang kedua, yaitu
Begawan Sokalima yang dinamakan 'Ilmu melepas sukma'. Dengan demikian
terhindarlah Parmin dari pengaruh tersebut dan segera dapat melihat dengan
jelas ke atas sebuah batu besar, di mana di atas batu itu telah berdiri
seorang laki-laki dengan tertawa terbahak-bahak.
“Ha.... ha.... ha.... ha...! Tak percuma gelar yang kau miliki itu,
pendekar Gunung Sembung!” teriaknya keras memuji kehebatan Parmin yang dalam
serangan tadi dapat menghindari dengan baik, dan dalam menangkal tenaga
dalam pun sanggup melakukannya dengan baik.
“Siapakah anda?” tanya Parmin keheranan setelah melihat wajah orang
tersebut, yang sama sekali belum dikenalnya, sambil tetap dengan kewaspadaan
penuh kalau-kalau orang itu kembali menyerangnya.
“Oh....... tentu! Tentu! Kau harus tahu siapa aku sebelum kau menjadi
bangkai busuk! Ha.... ha.... ha.... ha...!! Pernahkah kau ingat seorang
Hindustan yang mati di tanganmu, Gembel busuk?! Ketahuilah aku kakaknya yang
bernama Goga Khan yang akan menuntut balas!!” bentaknya keras dengan sorot
mata penuh dendam ingin membunuh sambil menggerakkan senjatanya
berputar-putar, membuat daun-daun kering berjatuhan ke tanah terkena
hempasan anginnya.
Goga Khan berwajah cukup menyeramkan. Matanya melotot seperti mata burung
hantu, dan hidung seperti burung betet dengan jenggot dan kumis yang
menyambung, menutupi mulutnya yang lebar, tumbuh dengan lebatnya sampai
mencapai leher.
Dengan bertelanjang dada sehingga dadanya yang bidang yang ditumbuhi
bulu-bulu halus yang menutupi seluruh dadanya, ia terlihat seperti seekor
gorila. Kepalanya yang botak pelontos licin seperti jalan tol menambah
penampilannya semakin angker bagi yang bernyali kecil.
Otot-otot tangannya yang kekar dan tubuh yang tinggi besar dengan
senjatanya yang aneh yang berbentuk bundar seperti durian, namun terbuat
dari bahan logam keras dengan diikat pada rantai yang panjang yang
tergenggam dengan kokoh di tangan kanannya.
Tangan sebelah kiri menggenggam rantai untuk pengulur di waktu menyerang
lawan dari jarak jauh. Senjata yang berbentuk durian itu kini
diputar-putarnya lebih kencang sehingga Parmin yang berada di bawahnya dapat
merasakan angin yang ditimbulkan oleh senjata tersebut.
“Duuaar!”
Bunyi itu begitu keras ketika menyerang Parmin. Dan mengenai ruang kosong
manakala Parmin dengan begitu indahnya membuat gerakan bersalto ke belakang
menghindari serangan tersebut dan membuat tanah yang terkena senjata itu
menjadi berlobang sampai setengah meter dalamnya.
Parmin yang melihat berapa dalamnya lobang tersebut menggeleng-gelengkan
kepalanya merasa kagum.
“Bukan main tingginya ilmu dalam Goga Khan ini!” gumam Parmin dalam hati
sambil mengerahkan juga tenaga dalamnya dan memasang kuda-kuda menantikan
serangan yang akan datang.
Goga Khan dengan wajah bengis dan dengus napas ingin membunuh sudah kembali
memutar-mutar senjatanya dan detik berikutnya senjata itu telah melesat
menuju sasarannya yaitu Parmin yang sudah bersiap-siap menantikan dengan
penuh kewaspadaan.
“Hiiyaaaaat.......!” teriak Parmin dengan gerakan cepat menghindari senjata
yang bagaikan peluru kendali itu.
Tubuhnya terus berjumpalitan menjauhi serangan yang datang secara
bertubi-tubi. Dan setiap senjata itu mengenai tempat kosong yang telah
ditinggalkan oleh Parmin, kembali tanah yang terkena itu berubah menjadi
sebuah lobang sehingga terlihat di tempat mereka bertempur lobang-lobang
kecil seperti permukaan sebuah sumur di sana sini.
Parmin berusaha menghindari serangan-serangan tersebut dengan mengerahkan
semua ilmu yang didapat dari gurunya, Ki Sapu Angin dan Begawan
Sokalima.
Pada suatu kesempatan Parmin melesat ke sebuah hutan yang berada tak jauh
dari tempat mereka bertempur. Hutan itu ditumbuhi dengan pohon-pohon
beraneka macam jenisnya dengan daun-daunnya yang tumbuh lebat menutupi
rantingnya.
Tetapi kembali senjata maut itu menyerang Parmin seperti mempunyai mata
saja senjata itu menyerang ke mana Parmin bergerak untuk mengelak.
Pohon-pohon yang terkena sambaran senjata maut itu menjadi tumbang dengan
batang yang hancur nyaris menimpa tubuh Parmin untuk menguburnya
hidup-hidup. Daun dan ranting menjadi beterbangan oleh angin yang
ditimbulkan oleh senjata tersebut.
Terpaksa Parmin kembali melesat ke luar dari hutan itu. Kini ia tegak
berdiri dengan kaki agak ditekuk dan menyilangkan tangannya di depan
dada.
“Ha.... ha.... ha.... ha...! Aku akan membuat sendi-sendimu menggigil
dahulu sebelum senjataku ini melumat batok kepalamu!!” Ancam Goga Khan keras
dengan nada mengejek dan bibir mencibir, sambil memutar-mutarkan senjata
mautnya yang mengeluarkan suara mendesing seperti angin puyuh membuat
daun-daun kering dan ranting-ranting yang telah rapuh beterbangan ke
udara.
Sepersekian detik senjata maut itu telah melesat dengan cepat mengarah ke
batok kepala Parmin. Begitu senjata maut yang seperti durian itu sudah dekat
ke arahnya, dengan gerakan cepat Parmin melesat tinggi ke udara sambil
bersalto.
Sebaliknya Goga Khan dengan cepat pula menarik senjatanya dengan tangannya
yang sudah terlatih sempurna untuk mengubah arah senjata mautnya, sehingga
mengancam Parmin yang masih bersalto di udara.
Jaka Sembung sudah kehilangan akal untuk menghindari serbuan senjata maut
yang dimainkan oleh tangan yang ahli dan membuat Jaka Sembung terdesak.
Akhirnya, Parmin mengambil suatu keputusan hidup atau mati!
Maka secara tiba-tiba Parmin yang masih bersalto di udara itu membuat
gerakan yang tidak diduga oleh Goga Khan, sehingga membuat ia menjadi
terkejut. Kiranya Parmin dengan ilmu 'Menyatukan Sukma' telah mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang sempurna mendaratkan kakinya tepat di atas bola
senjata maut yang berduri itu dan otomatis membuat tubuhnya ikut
berputar-putar di udara mengelilingi musuhnya seperti sebuah komidi putar
dengan Goga Khan sebagai porosnya.
Pada detik kelengahan dari Goga Khan, Parmin membuat gerakan meloncat
menerobos pagar pertahanan Goga Khan dari arah belakang dengan golok
pendeknya yang terhunus di tangan kanannya dan.......
“Sreet.......!”
“Eek!” teriak Goga Khan tertahan sambil menundukkan kepalanya menghindari
serangan yang tak diduga sebelumnya. Tetapi sayang Goga Khan kalah cepat
dengan serangan yang dilakukan Parmin sehingga ia terlambat bergerak.
Kepalanya yang botak plontos itu tergores golok Parmin yang tajamnya
seperti pisau cukur membuat garis sepanjang jari telunjuk dan dalamnya
sekitar dua sentimeter dan darah pun terburai dari luka itu membasahi
wajahnya. Goga Khan menghapus dengan tangan kanannya, darah yang mengalir ke
matanya agar tidak menghalangi penglihatannya.
“Sampai di sini dulu! Selamat tinggal! Tunggulah pembalasanku!!” bentak
Goga Khan sambil melompat dan menghilang di balik bebatuan.
Melihat lawannya telah menghilang dari pandangan mata, Parmin menghela
nafas dalam-dalam.
“Hm....... ia begitu cepat menghilang seperti kilat! Suatu saat dia tentu
akan mencariku lagi untuk membalas dendam! Ia akan selalu penasaran untuk
bisa membunuhku!” gumam Parmin dalam hati sambil tangannya menghapus peluh
di dahi dan membersihkan bajunya yang penuh debu.
Sementara itu si Beo terbang menghampiri Parmin dan hinggap di pundak
Parmin. Kemudian Parmin melanjutkan perjalanannya.
Matahari hampir condong ke Barat dan membuat bayangan memanjang. Ketika
Parmin akan melewati dataran rumput ilalang di kejauhan sana mata Parmin
melihat sesosok tubuh sedang berjalan ke arahnya.
Sosok tubuh itu adalah seorang tua yang sudah keriput kulitnya. Di wajahnya
terlihat jelas kerut-kerut ketuaan dengan warna kulit hitam terkena teriknya
matahari di dalam pengembaraannya, sehingga kulitnya yang memang sudah hitam
menjadi semakin hitam legam.
Tubuhnya gemuk gempal dan ototnya terlihat masih kuat. Ia berjalan dengan
ditopang sebuah tongkat kayu jati bercagak.
Bentuk tubuhnya bongkok sehingga orang menyebutnya si Bongkok dengan
membawa buntelan yang ditaruh di pundaknya sehingga membuat tubuhnya yang
sudah bongkok terlihat semakin bongkok saja. Ia berjalan dengan langkah
perlahan.
Dengan rambut panjang yang berwarna putih awutan-awutan dan pakaiannya yang
ditambal di sana sini membuat ia tampak seperti seorang gembel saja
layaknya.
“Kukira pengembara tua renta di hadapanku ini pastilah bukan orang
sembarangan! Lihatlah sepasang matanya begitu tajam mengawasiku. Aku harus
hati-hati!” kata Parmin dalam hati setelah melihat dari jarak beberapa meter
dan ia melangkah dengan senyum ramah yang tersungging.
Si Bongkok pun terus melangkah mendekati Parmin dengan langkah perlahan
namun dengan tatapan matanya tajam seakan-akan ingin menembus isi kepala
Parmin. Setelah dekat dengan Parmin si Bongkok lalu memberi salam.
“Assalamualaikum.......!” sapanya dengan suara agak ditekan namun bibirnya
tidak bergerak.
“Wa'alaikum salam.......!” jawab Parmin sambil memindahkan tongkatnya ke
tangan sebelah kiri dan menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat
tangan.
“Hem....... he....... he....... he! Melihat sinar wajahmu aku tentu tidak
salah tebak bahwa kau pasti seorang pendekar yang alim! He....... he.......
kebetulan....... kebetulan!” katanya sambil jari telunjuknya menuding Parmin
yang segera menarik kembali tangannya dengan tanda tanya.
Kemudian si Bongkok melanjutkan bicara seakan-akan Parmin tidak boleh
bicara dulu.
“He....... hem! Kau tentu bisa menjawab pertanyaanku, Anak muda! Aku punya
sebuah pertanyaan mengenai sesuatu!”
“Apa maksud anda, Pak?!” sergah Parmin sambil mengerutkan dahinya tidak
mengerti.
“Bila engkau bisa menjawabnya, aku akan memberi sebuah hadiah! Aku pernah
membaca sebuah tulisan. Tulisan itu aku baca di sebuah dinding rumah seorang
muslim yang berbunyi:
“Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam!”
“Kalau benar apakah ini bukan semacam bujukan terhadap calon pemeluknya?
Karena sesungguhnya yang benar itu tak perlu menonjolkan dirinya benar dan
yang baik itu tidak perlu menonjolkan dirinya baik?!” katanya dengan sorot
mata penuh tantangan menatap mata Parmin yang terdiam sejenak memikirkan
pertanyaan si Bongkok itu.
“Semua agama itu baik, tetapi tidak semua yang baik itu benar. Agama Islam
adalah agama yang baik dan benar. Apapun nama agama yang ada di dunia ini
jika ternyata ajarannya baik dan benar adalah Islam,” jawab Parmin dengan
cara yang cukup diplomatis, membuat dahi si Kakek Bongkok menjadi semakin
berkerut.
Sejenak si Bongkok terdiam untuk mencerna jawaban yang diberikan Parmin dan
beberapa saat kemudian tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berseri gembira
seperti anak kecil yang mendapat permen coklat sehingga giginya yang ompong
terlihat jelas.
“Ha....... ha....... heh....... heh….! Aku mengerti sekarang anak muda!
Terima kasih! Terima kasih! Dan sebagai hadiah yang kujanjikan tadi,
terimalah sebuah cincin batu kecubung ini sebagai satu-satunya pusaka yang
kumiliki!” kata si Bongkok sambil menyodorkan batu cincin yang berikat
tembaga, serta menjelaskan khasiat dari batu tersebut.
“Batu kecubung adalah batu pemikat perempuan. Bila kau pakai maka akan
banyak wanita yang tergila-gila kepadamu! Aku sudah tua tak memerlukan ini
lagi! Terimalah anak muda!” ujarnya sungguh-sungguh.
“Terima kasih! Simpanlah cincin batu itu kembali. Maafkanlah aku tidak bisa
memakainya. Tuhan telah menciptakan manusia beserta daya tarik
masing-masing. Oleh karena itu manusia tak usah memakai jimat-jimat untuk
memikat lawan jenisnya!
“Salah sekali bila kita mengharapkan suatu anugerah dari benda-benda yang
ada di atas dunia yang fana ini. Tempat memohon hanyalah kepada Allah Tuhan
Yang Maha Esa! Benda yang anda percayai 'berkat' nya itu ternyata hanya
segelincir batu yang juga diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa!” jawab Parmin
membuat wajah kakek tua itu menjadi merah padam.
“Baiklah, sampai bertemu lagi anak muda!” ucap si Bongkok dengan nada sinis
dan berlalu dari hadapan Parmin tanpa menoleh ke belakang.
Tinggallah Parmin sendiri menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah
laku si kakek Bongkok. Parmin menghela nafas dalam-dalam dan kemudian
meneruskan perjalanannya kembali.
Matahari sudah lama terbenam di ufuk Barat. Siang pun telah berganti dengan
malam ditandai dengan munculnya sang rembulan di ufuk Timur, dengan cahaya
emasnya yang menerangi alam maya pada ini.
Setelah melewati dataran yang ditumbuhi rumput ilalang, Parmin melihat dari
kejauhan beberapa bangunan tua di pinggiran desa. Parmin menuju ke arah
bangunan itu dengan maksud hendak beristirahat.
Bangunan tua itu memiliki tiang-tiang batu yang sudah berlumut dan
sudut-sudutnya telah dipenuhi banyak sarang laba-laba, sehingga mirip sebuah
bangunan yang angker. Genteng-gentengnya dan sudah banyak yang pecah hingga
berserakan di lantai yang juga sudah berdebu tebal.
Pelatarannya pun sudah banyak sampah-sampah dedaunan kering serta dahan
pohon yang berjatuhan. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bangunan tersebut
sangat rindang namun tidak terurus oleh jamahan tangan-tangan manusia.
◄Y►
2
Beberapa saat Parmin melihat keadaan di dalam bangunan tua itu melalui
sinar rembulan yang masuk dari celah-celah genteng lalu ia kembali ke luar
dan duduk pada sebuah anak tangga di depan bangunan tua itu.
Tanpa sepengetahuan Parmin, sesosok tubuh berkelebat mengikuti gerak gerik
Parmin melalui atap bubungan bangunan yang lain. Dengan sorot mata tajam ia
mengawasi Parmin yang sedang memandang sang rembulan.
Saat itu Parmin tengah terbayang wajah sang kekasih yang nun jauh di sana,
di desa Kandang Haur. Pada malam-malam terang bulan dengan angin berhembus
perlahan menambah keindahan malam, sangatlah sempurna bila di sampingnya ada
sang kekasih yang dicintainya.
Malam pun telah beringsut-ingsut menuju larut, namun sepasang mata tajam
itu terus mengawasinya dan kini kian memancarkan sinar nafsu membunuh.
Dengan berkacak pinggang di atas ubungan itu, sinar rembulan menerpa
tubuhnya, maka jelaslah siapa orang tersebut.
“Ha.... ha.... ha.... ha... ha….! Agaknya di sini kita bisa berjumpa
lagi!!” ujarnya keras yang disertai tenaga dalam untuk melumpuhkan syaraf
lawan.
Parmin tersentak dari lamunannya dan merasakan ada getaran masuk secara
tiba-tiba melalui gendang telinganya. Ia lalu berdiri setelah berhasil
menolak getaran itu dengan hawa murni dari bawah pusat perutnya, dan dengan
segera ia membalikkan tubuhnya ke arah dari mana datangnya suara itu.
Kalau saja orang biasa yang mendengar suara itu, sudah dapat dipastikan
akan melorot meraung-raung dengan gendang telinga pecah berhamburan darah.
Namun bukanlah Jaka Sembung bila tidak dapat mengatasi semua itu dengan
cepat.
Dengan tenang ia melangkah empat langkah dan berdiri di tengah halaman
bangunan tua itu sambil memandang ke atas dengan sorot matanya yang tajam,
sinar bulan membantu menerangi tubuh orang yang berada di atas bangunan itu.
Dengan cepat Parmin sudah mengenal siapa orang tersebut.
“Memang bukan sembarangan orang dapat lolos dari serangan halimun maut di
puncak Gunung Ciremai! Aku kagumi kau dalam hal ini, Dewa Suci Penyebar
Bala!” sergah Parmin dengan suara lantang mengingatkan peristiwa yang
dialaminya di puncak Gunung Ciremai di mana dirinya hampir saja
celaka.
Ya! Memang seperti telah dikisahkan pada awal cerita yang lalu di dalam
episode “Lagu Rindu dari Puncak Ciremai” Parmin telah bentrok dengan seorang
yang menamakan dirinya 'Dewa Suci Penyebar Bala' yang berasal dari daratan
Tiongkok.
Dalam duel tersebut Parmin hampir jatuh ke dasar jurang setelah mengadu
tenaga dalam. Untung ada sebuah pohon yang tumbuh pada dinding tebing di
saat dirinya sedang melayang ke bawah, sehingga ia dapat selamat.
Setelah selamat dari jurang terjal itu, Parmin menghadapi bahaya yang lebih
ganas lagi yaitu 'halimun maut' yang bisa membekukan tubuh manusia. Meskipun
sudah mengeluarkan ilmu andalannya, masih belum mampu ia menghadapi halimun
maut itu, kalau tidak ditolong oleh Begawan Sokalima.
“Ha.... ha.... ha.... ha...! Dewa Suci tak melupakan janji! Di sini kita
harus bertanding habis-habisan! Mari kita buktikan, bangsaku atau bangsamu
yang lebih unggul dalam ilmu silat! Kita bertempur atas nama leluhur kita
masing-masing!!” ujarnya dengan nada sinis dan gigi gemeretak menahan
kemarahan.
“Hm....... Dewa Suci! Agaknya kau terlalu menyombongkan kepandaian yang kau
miliki!” Ujar Parmin tegas sambil mengamati lawan yang berada di atas
bubungan rumah.
“Haiyaaa! Tutup bacotmu, Gembel!!! Ciiaaat.......!!” bentak Dewa Suci
sambil melemparkan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil ke arah Parmin
dengan disertai tenaga dalam yang dahsyat sekali.
Parmin melihat cahaya-cahaya yang datang begitu cepatnya maka dengan cepat
pula Parmin miringkan tubuhnya ke kanan sehingga pisau-pisau itu lolos
menemui tempat kosong dan menancap pada tiang beton sampai ke pangkalnya.
Bersamaan dengan bergeraknya tubuh Parmin, si Beo pun terbang dan bertengger
di sudut jendela bangunan tua tersebut.
Sebelum Parmin berbuat banyak, kembali kilatan-kilatan pisau menghunjam
deras ke mana saja tubuh Parmin berkelebat. Agaknya kali ini Dewa Suci tak
akan memberi kesempatan kepada Parmin dan ia pun terus melancarkan
serangan-serangan yang mematikan.
“Ciiaaat.......!!” teriak Parmin sambil bersalto beberapa kali ke udara,
menghindari pisau-pisau itu. Tongkatnya diputar-putar dengan cepat untuk
melindungi tubuhnya dari serangan maut tersebut.
Lima jurus, sepuluh jurus, sampai tigapuluh jurus Parmin mengeluarkan ilmu
silatnya menghindari serangan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil yang
dilemparkan oleh si Dewa Suci. Pertahanan Parmin niscaya akan bobol jika
secara kebetulan ia tidak memiliki tongkat besi berani pemberian gurunya
yang kedua, yaitu Begawan Sokalima.
Berpuluh-puluh batang pisau telah melekat pada tongkatnya dan dengan
gerakan cepat ia mengembalikan kepada sang pemilik dengan disertai tenaga
dalam yang lebih dahsyat lagi, sehingga sang pemilik harus jungkir balik
menghindar.
Dalam melakukan jungkir balik itu, tangan si Dewa Suci membuat gerakan yang
sangat cepat. Dan dengan jari-jari yang lentur ia menangkap dan menjepit
beberapa buah pisau yang dilemparkan Parmin dan dengan cepat pula
mengembalikan serangan ke biji mata Parmin.
Tubuh Dewa Suci yang bertubuh gemuk dengan lincah terus berjungkir balik
sambil mengirimkan serangan yang mematikan ke arah Parmin dengan pisau-pisau
yang tersedia, sehingga Parmin dibuat kerepotan.
Tubuhnya yang gemuk gempal itu bagaikan kapas saja waktu ia melakukan
lompatan atau pun bersalto ke udara. Ya....... memang si Dewa Suci ini telah
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna sehingga gerakannya
tidak terpengaruh walaupun tubuhnya gembrot seperti itu.
Dengan gesitnya ia melakukan jungkir balik dan melompat ke sana dan ke
sini. Parmin yang memang sudah mengetahui kehebatan si Dewa Suci itu terus
melayani serangan demi serangan yang dilancarkan oleh lawannya. Bukanlah
Jaka Sembung kalau tidak mempunyai ketenangan dan keuletan dalam menghadapi
segala kesulitan.
Memang betul. Dengan bermodal ketenangan apapun akan bisa teratasi.
Apalagi Parmin telah digembleng oleh gurunya Ki Sapu Angin di Pantai Eretan
yang ombaknya besar dan anginnya kencang serta oleh gurunya yang kedua,
Begawan Sokalima di puncak Gunung Ciremai, tepatnya di Lembah 'Banyu Panas'
yang belerangnya sangat menyesakkan pernapasan dan airnya yang mendidih,
ditambah lagi segudang pengalaman dalam pengembaraannya.
Parmin mengelakkan serangan yang dilancarkan si Dewa Suci dengan tongkat
besi beraninya sehingga sepasang pisau yang hendak mengancam biji matanya
segera menempel di tongkatnya dan pisau lainnya lolos di celah-celah kakinya
yang direntangkan sambil melompat tinggi dan bersalto menuju bubungan atap
bangunan.
Ketika si Dewa Suci melihat Parmin menghindar jauh, maka dengan segera ia
bersalto untuk mengejarnya. Parmin yang masih berada di udara segera
menangkap adanya bayangan yang mengejar dari arah belakang.
Si Dewa Suci dengan geram menyerang Parmin, jari-jari tangannya siap
mencengkeram tubuh Parmin.
Namun Parmin dengan gerakan manis membuat gerakan dengan menyontekkan ujung
tongkatnya ke genteng dan tubuhnya kembali melayang melewati tubuh si Dewa
Suci sambil menyabetkan tongkatnya ke pundak lawannya.
Dengan gesit si Dewa Suci berkelit, namun terlambat sedikit sehingga
bajunya sobek di bahu. Untung kulitnya masih utuh tidak terkena sabetan
Parmin, sehingga serangannya mengenai tempat yang kosong, yang menjadi
sasaran cengkeraman mautnya itu adalah genteng-genteng yang menjadi
berantakan dan yang diremasnya menjadi debu halus.
Memasuki jurus ketujuhpuluh lima, si Dewa Suci mengeluarkan jurus
andalannya, yaitu jurus 'Cengkeraman Singa Dari Gurun Gobi'. Jari-jari
tangannya mengeluarkan asap hitam dan kakinya yang sebelah kanan diangkat
sedikit, lalu dengan geraman keras ia menerkam Parmin.
Geraman itu memecahkan suasana yang sunyi dan membuat daun-daun kering
berjatuhan. Parmin segera memasang kuda-kuda untuk mengusir getaran yang
datang akibat geraman yang dikeluarkan si Dewa Suci dan bersiap-siap menanti
serangan tersebut.
“Haaiiit.......!!!” sambil melompat tinggi, Parmin menghindari dari
cengkeraman tangan maut si Dewa Suci dan menangkis dengan tongkatnya.
“Triing!”
Tongkat Parmin menerpa jari Dewa Suci yang menjadi keras seperti baja dan
tangan si Dewa Suci secepat kilat menyampok kaki Parmin yang sedang
melayang. Kakinya nyaris menendang selangkangan Parmin sehingga tubuh Parmin
terpaksa harus bergerak menghindar dengan melambung ke atas.
“Hm....... angin pukulannya cukup untuk merobohkan sebatang pohon kelapa!”
kata Parmin dalam hati sambil bersalto menghindar.
Si Dewa Suci melihat musuhnya masih dapat menyelamatkan diri dari serangan
jurus mautnya. Dengan segera ia membuat jurus kembangan dari jurus maut
cengkeraman 'Singa Dari Gurun Gobi' yang terdiri dari limabelas jurus.
Tangannya digerak-gerakan dengan cepat sehingga menimbulkan suara berdesing
dan angin keras pun keluar dari gerakan tersebut.
Parmin dengan cepat memutar tongkatnya membuat perisai untuk menghalangi
tubuhnya dari serangan tangan si Dewa Suci yang menimbulkan angin sangat
kencang sambil mengerahkan tenaga dalamnya supaya tidak terpental. Adu
tenaga dalam pun kian meningkat.
Parmin mengerahkan seluruh kemampuan yang diajarkan oleh gurunya yang
kedua, yaitu Begawan Sokalima, yang didapat di saat mempelajari jurus
terakhir dari ilmu tongkat sakti. Caranya dengan menyalurkan tenaga dalam ke
suatu titik yang berada di tangan Parmin, sehingga tongkat besi beraninya
berubah menjadi merah dan mengeluarkan hawa panas menolak serangan yang
dilancarkan si Dewa Suci. Terlihat asap mengepul ke udara akibat beradunya
tenaga dalam mereka.
Si Dewa Suci menambah daya serangan dengan sekali melompat kakinya
diluruskan ke depan mengarah pertahanan Parmin yang sedang memutar-mutarkan
tongkatnya yang semakin cepat.
“Hiiyaaat.......!!!” si Dewa Suci memekik keras dengan mengerahkan tenaga
dalamnya untuk membuyarkan konsentrasi Parmin dan tubuhnya melesat cepat
dengan jari-jari tangan siap mencengkeram batok kepala Parmin, sedangkan
kakinya lurus ke depan mengarah perut Parmin.
“Duk!!”
Bunyi beradunya tenaga dalam mereka membuat genteng-genteng yang berada di
sekitar mereka jadi hancur berantakan, tubuh Parmin terpental enam langkah
sedangkan si Dewa Suci terpental empat langkah. Tubuh Parmin sempoyongan ke
belakang seakan-akan hendak jatuh ke bawah.
Di saat itu si Dewa Suci sudah bersiap-siap kembali dengan jurus kembangan
yang kesepuluh dari jurus 'Cengkeraman Singa dari Gurun Gobi'. Tangannya
masih tetap hendak mencengkeram lawan, namun kali ini kepalanya yang botak
plontos dimajukan agak ke depan sehingga sejajar dengan tangannya dan
mulutnya terbuka lebar dan dengan geraman yang keras sekali membuat bulu
kuduk berdiri.
Tubuh si Dewa Suci melesat dengan cepat sekali mengarah Parmin yang masih
sempoyongan. Namun di saat yang bersamaan tiba-tiba bayangan hitam membelah
pertempuran yang menegangkan itu.
“Hiiyaaat.......!!” Suara itu demikian keras mengalahkan suara si Dewa Suci
yang seketika menghentikan serangannya dan dengan segera miringkan tubuhnya
ke kanan sehingga serangan yang dilancarkan oleh bayangan tersebut lolos
mengenai tempat yang kosong dan sosok bayangan itu kemudian jungkir balik ke
bubungan yang lain.
Dengan sekali lompat Parmin menjauh dari dua orang tersebut.
Kini terlihatlah dengan jelas setelah bayangan itu berdiri tegak dan sinar
rembulan menerangi tubuhnya. Tubuh bayangan hitam itu terbungkus baju koko
dengan lengan panjang sampai pergelangan tangannya.
Lengan bajunya lebar sehingga bila tertiup angin lengan bajunya itu akan
tergerai melambai-lambai dan ujungnya bersetrip putih. Celana pangsinya
berwarna hitam sampai ke pangkal kaki dan bersetrip pula, serta pinggangnya
diikat kain putih selebar telapak tangan dengan tutup kepala yang menyerupai
mangkok berwarna hitam.
Kumisnya yang tipis dibiarkan tumbuh sampai ke dagu dan matanya yang sipit
dengan alis mata berwarna putih serta giginya yang hampir mencuat ke depan.
Tubuhnya yang kurus serta kulitnya yang keriput menandakan usianya sudah
lanjut namun melihat bentuk tulangnya yang masih amat kuat dan gerakan
tangannya sangat cepat bila ia sedang memainkan jurus-jurus kuntauw dengan
kuda-kuda yang kokoh, ia bukanlah orang sembarangan.
Kini mereka sudah berhadapan muka dengan masing-masing berdiri di atas
bubungan rumah. Si Dewa Suci Penyebar Bala dengan berkacak pinggang
memperhatikan terus bayangan hitam itu dengan waspada.
Bayangan hitam yang bernama Boen Sio Liong merentangkan tangannya sehingga
tangannya yang kurus seakan-akan menjadi besar oleh lengan bajunya yang
tertiup angin.
“Haiiyaaa!! Kiranya kau berada di sini Dewa Kualat! Bertahun-tahun aku
mencarimu ke segala pelosok daratan Tiongkok, baru detik ini kita saling
berhadapan di negeri orang!” ujar Boen Sio Liong dengan senyum sinis.
“Hm....... kiranya kau kakek keriput!” jawab si Dewa Suci setelah
mengetahui siapa bayangan hitam tersebut.
“Haiiyaaa! Agaknya kau masih mengenalku! Baik! Bersiap-siaplah untuk
membuat perhitungan kita di negeri leluhur dulu! Akhirnya kau tak akan bisa
lari lagi dari tanganku dan hari ini tamatlah petualanganmu!!” bentaknya
dengan suara keras penuh ancaman sambil tangan kanannya menuding dengan jari
membentuk jurus kuntauw.
Si Dewa Suci yang dituding seketika tertawa terbahak-bahak sehingga
perutnya yang buncit bergerak-gerak turun naik.
“Ha....... ha....... ha! Tidak semudah itu kau berbuat, Kakek kurus!”
sergah si Dewa Suci sambil tangan kirinya mengusap usap kepalanya yang botak
tanda ia meremehkan lawannya.
Parmin yang berada di atas bubungan lain menyaksikan dengan serius dua
seteru dari negeri seberang itu yang kini bersiap-siap memasang kuda-kuda
masing-masing. Boen Sio Liong dengan kaki kanan ke depan yang ditekuk
sedikit, lalu menggeser kaki kirinya ke belakang sehingga tubuhnya agak
turun ke bawah, namun pantatnya tidak mengenai genteng.
Tangan kanannya yang membentuk jurus kuntauw diluruskan ke depan. Dan
tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menempel pada jempol tangan kanannya
dan seketika dari telapak tangannya keluar asap kemerah-merahan.
Si Dewa Suci Penyebar Bala melihat lawannya telah mengeluarkan jurus tenaga
dalamnya lalu membuat kuda-kuda dengan kaki terbentang lebar dan agak
ditekuk sedikit. Dan kedua tangannya dikepal lalu disilangkan di depan
dadanya kemudian terlihatlah asap berwarna hitam keluar dari tangan si Dewa
Suci.
Kedua seteru itu kemudian melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan
menggunakan lwekang masing-masing. Suasana malam yang kian larut dengan
hawanya yang dingin namun menegangkan syaraf bagi yang melihat pertandingan
adu tenaga dalam tersebut.
Sinar merah dan hitam saling mendorong satu dengan yang lainnya dan tubuh
mereka bergoyang-goyang menahan dorongan yang dilancarkan. Sinar-sinar
tersebut saling bergulung-gulung sehingga menimbulkan hawa panas di
sekitarnya membuat daun-daun serta ranting-ranting pohon yang terdekat
hangus terbakar.
Parmin yang menyaksikan pertarungan itu merasakan ada hawa panas yang tak
wajar menerpanya sehingga ia segera menyalurkan hawa murni dari bawah
perutnya dan berhasil mengusirnya.
Pertarungan itu pun berlanjut terus sehingga tubuh mereka terlihat
terangkat dua jengkal dari posisi semula dan sinar-sinar itu semakin
bergulung-gulung kemudian menghilang ke udara. Ternyata mereka sama-sama
memiliki ilmu dalam yang seimbang dan lihai.
“Kau memang banyak kemajuan dewa laknat! Tetapi terimalah ini! Hiiiyaaa!!!”
bentaknya keras sambil mengerahkan tenaga dalamnya dan bagai kilat si jubah
hitam itu melompat menyerang Dewa Suci dengan tangan kanannya menusuk biji
mata dan tangan kirinya terbuka mengarah batok kepala serta kaki kanannya
mengarah perut.
Si Dewa Suci dengan kewaspadaan penuh dan perhitungan yang matang menggeser
tubuhnya ke kiri dan kepalan tangannya siap menghantam iga si Jubah
Hitam.
“Tak!!” bunyi beradu dua tulang seperti hendak patah dan tubuh si Dewa Suci
sempoyongan beberapa meter, sebaliknya tubuh si Jubah Hitam meletik ke udara
dengan bersalto seperti kapas tertiup angin.
Tubuh Boen Sio Liong begitu ringannya sehingga dalam bentrokan tadi
tubuhnya bisa melayang kembali setelah terkena tenaga yang dilancarkan si
Dewa Suci dan tenaga tersebut dijadikan sebagai pantulan tubuhnya.
Pada saat tubuh si Jubah Hitam sedang melambung ke udara, sebuah bayangan
lain berkelebat menyambarnya dengan tusukan yang mematikan mengarah leher.
Bayangan itu begitu cepatnya menyerang si Jubah Hitam, namun dengan gerakan
cepat pula si Jubah Hitam berkelit memutar tubuhnya yang masih bersalto dan
loloslah serangan yang dilakukan oleh bayangan tersebut.
“Haiyaa....... curang!!” bentak si Jubah Hitam menghindar setelah tahu ada
orang lain yang menyerangnya dengan sabetan-sabetan yang mematikan mengarah
ke tubuhnya.
Bayangan yang membokong itu tak lain adalah Ling Pei, dara manis putri si
Dewa Suci yang terus mengikuti ke mana ayahnya mengembara! Ya! Dalam episode
yang terdahulu pun Ling Pie telah membokong Parmin yang sedang melakukan
sholat.
Namun indra kependekaran yang dimiliki Jaka Sembung sudah sangat terlatih
sehingga serangan gelap berupa pisau-pisau kecil yang mengarah ke tubuh
Parmin dapat dihindarinya, sedangkan serangan senjata sepasang pedang Ling
Pei di tangannya pun dengan mudah dihindari Jaka Sembung.
Kini Ling Pie dengan sepasang pedangnya kembali menyerbu si Jubah Hitam
yang sudah mendarat di bubungan tak jauh dari tempat Ling Pei berdiri. Tubuh
Ling Pei melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya dengan kedua
pedang mengarah leher serta perut.
si Jubah Hitam tetapi dengan gerakan yang tak terduga oleh Ling Pei
menyelinap di antara kedua pedangnya dan tanpa ampun lagi tangan kanan si
Jubah Hitam yang telah diisi tenaga dalam tersebut mendobrak dada si dara
manis itu.
“Plak!!” Tangan itu menggedor dada Ling Pei dan dengan suara tertahan tubuh
Ling Pei melayang tak berdaya meluncur deras dari bubungan dengan darah
berhamburan dari rongga mulutnya.
Parmin yang menyaksikan tubuh dara itu melayang ke bawah dengan cepat
bertindak hendak menolong agar tubuh dara tersebut tidak berdebam di tanah.
Dengan sekali gerakan Jaka Sembung telah berada tepat di bawah tubuh molek
yang sedang melayang tanpa terkendali. Kedua belah tangannya yang kokoh
dibentangkan ke depan, menyongsong tubuh dara tersebut.
“Tap!!” Tubuh dara itu disambut oleh tangan Parmin, yang lalu membopongnya
dan meletakkannya di anak tangga di depan bangunan tua itu.
Sayang. Ternyata nyawa Ling Pei telah melayang entah ke mana dengan darah
berhamburan ke luar dari mulutnya hingga membasahi bajunya.
“Innalillahi.......!” ucap Parmin setelah mengetahui bahwa dara tersebut
telah meninggal dunia. Parmin lalu teringat akan pesan gurunya Ki Sapu Angin
bila kau melihat ada orang yang terkena musibah ucapkanlah 'Innalillahi
wainnailaihi roji'un', segala yang berasal dari-Nya akan berpulang
kepada-Nya jua.
***
3
Di atas bubungan yang lain dua seteru masih bertarung hidup dan mati.
Mereka mengeluarkan seluruh ilmu yang mereka miliki.
Ilmu silat mereka memang berimbang, keduanya sama-sama mengeluarkan
jurus-jurus ilmu silat tertinggi sehingga tubuh mereka tampak seperti
gulungan-gulungan sinar yang saling menindih. Dan sekali-sekali menekan
lawannya sehingga orang yang berilmu rendah tidak mampu mengikuti
pertarungan yang begitu cepat.
Parmin yang menyaksikan dari bawah berdecak kagum melihat kedua orang itu
bertarung dengan ilmu silat yang paling tinggi, yang mereka miliki. Apakah
yang mereka perebutkan? Kekuasaan? Kehormatan? Atau harta peninggalan nenek
moyang mereka?
Jikalau mereka memperebutkan kekuasaan, apakah mereka sanggup melawan
penjajah Kumpeni Belanda yang sedang berkuasa di negeri ini? Apabila mereka
memperebutkan harta peninggalan nenek moyang mereka, mengapa harus jauh-jauh
bertarung di negeri ini?
Andaikan mereka mencari kehormatan, apalah artinya kehormatan itu?
Kehormatan dengan mempertaruhkan nyawa. Sungguh suatu hal yang salah besar!
Kehormatan dunia tidaklah mutlak.
Lihatlah orang-orang yang mempunyai harta benda yang melimpah ruah, segala
keinginannya terpenuhi dengan segera apa-apa yang mereka mau dengan cepat
terlaksana. Apakah itu yang dinamakan kehormatan? Mungkin anggapan mereka
itulah kehormatan.
Tetapi bila harta tersebut telah habis atau telah lenyap dan nyawa mereka
telah diambil oleh Sang Maha Pencipta, apakah kehormatan itu masih kita
miliki? Tidak! sekali lagi tidak! Yang tinggal hanyalah kesedihan dan
kesengsaraan.
Kehormatan yang hakiki hanyalah di hadapan Allah Sang Maha Pencipta. Parmin
menarik napas dalam-dalam. Matanya yang tajam terus mengikuti pertempuran di
atas bubungan di mana kedua seteru itu masih saling menyerang satu dengan
lainnya dengan jurus-jurus maut yang mematikan.
“Kau telah membunuh putriku, Jahanam keparat!!!” bentak Dewa Suci dengan
geraman keras dan gigi gemeretuk menahan amarah yang meledak melihat putri
tersayangnya telah menjadi mayat. Dengan gerakan cepat kakinya menendang
perut si Jubah Hitam, sedangkan tangannya mengarah ke tenggorokan.
Tetapi dengan sekali hentakan, tubuh si Jubah Hitam telah melesat ke atas
dan membuat gerakan salto sambil kakinya menendang tengkuk si Dewa Suci.
Akan tetapi ketika si Dewa Suci melihat tubuh musuhnya melewati kepalanya,
ia segera membuat gerakan tak terduga.
Kakinya yang telah mengarah ke perut lawan tiba-tiba dialihkan dengan
berguling-guling memburu selangkangan si Jubah Hitam yang masih jumpalitan
di udara. Kembali si Jubah Hitam membuat gerakan lain.
Dengan tubuh yang masih jumpalitan ia membuat kebalikan dari arah semula,
di mana ia diserang dan segera berdiri tegak tanpa menimbulkan suara, serta
langsung memasang kuda-kuda. Sebaliknya si Dewa Suci dengan cepat berdiri
dengan penuh kewaspadaan.
Mereka kini telah siap kembali dengan jurus maut yang mereka miliki. Di
detik selanjutnya terdengar suara menggelegar memecahkan suasana.
“Hiiyaaatt.......!!” Suara mereka keras hampir bersamaan dan seketika itu
tubuh mereka melesat ke udara. Terlihatlah berkas sinar saling
menyongsong.
“Duuaaarr.......!!” Sinar itu bertemu di udara dengan suara ledakan yang
menggema ke sekeliling tempat itu.
Asap hitam pun mengepul membubung ke udara dan hilang tertiup angin. Dalam
benturan itu tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang dan keduanya
sama-sama bersalto menjaga keseimbangan tubuh agar tak terjatuh dari atap
bangunan.
Embun pagi telah membasahi dedaunan dan rumput ilalang, namun mereka tetap
bertempur dengan jurus-jurus maut yang mematikan, walaupun belum terlihat
seorang pun yang bakal kalah.
Berpuluh-puluh jurus telah mereka keluarkan, peluh membasahi tubuh sehingga
pakaian mereka basah kuyup. Memasuki jurus keseratus, mereka mengeluarkan
ilmu andalannya masing-masing.
Si Dewa Suci mengeluarkan jurus maut dari ilmu silat Gurun Gobi, sedangkan
Boen Sio Liong alias si Jubah Hitam mengeluarkan jurus andalannya dari
Pegunungan Himalaya.
Kedua seteru ini telah bersiap-siap dengan ilmu andalannya masing-masing.
Dewa Suci mengerahkan tenaga dalam dengan sepenuhnya. Terlihat sewaktu ia
menggerak-gerakan tangannya yang dikepal lalu terbuka, dan dikepal lagi
sehingga menimbulkan hawa panas dan telapak tangannya menjadi merah seperti
bara.
Si Jubah Hitam yang merasakan hawa panas tersebut segera menolak dengan
jari-jari tangan terbuka seperti hendak menerkam lawan. Dari tangannya
keluar asap putih mengepul dan segera asap itu menolak hawa panas yang
datang. Jurus ini disebut Jurus Beruang Sakti dari Gunung Himalaya sebuah
jurus maut yang sangat ampuh.
Sinar merah dan putih saling mendorong untuk menjatuhkan lawan dan
akibatnya genteng-genteng di atap bangunan yang terdekat menjadi terbakar.
Pada detik selanjutnya Dewa Suci menerjang dengan seluruh tenaga
dalamnya.
Tangannya lurus mengarah ulu hati si Jubah Hitam dan dengan geraman keras
disertai nafsu membunuh, ia merangsak Jubah Hitam dan berhasil menggedor
dada lawan. Bersamaan itu si Jubah Hitam menyongsong serangan lawan dengan
kedua tangan yang siap menerkam.
“Buk! Prak!”
Bunyi bentrokan itu keras sekali, hampir bersamaan terdengar oleh Parmin
yang berada di bawah dan senantiasa menggeleng-geleng kepala menyaksikan
pertarungan langka tersebut.
Tangan kanan si Dewa Suci tepat mendarat di dada si Jubah Hitam. Darah
keluar dari mulut si Jubah Hitam akibat dadanya terguncang hebat dan
terlihat baju di depan dadanya pun terbakar, akan tetapi bersamaan dengan
itu tangan kiri si Jubah Hitam tepat menghantam batok kepala si Dewa Suci
yang botak plontos.
Jari-jari si Jubah Hitam amblas ke dalam hingga tak terlihat dan dengan
sekuat tenaga menjebol batok kepala tersebut hingga berantakan. Darah merah
berhamburan membasahi muka lawan sehingga tangan kiri si Jubah Hitam menjadi
merah dan batok kepala si Dewa Suci Penyebar Bala menjadi hancur seperti
kerupuk.
Pekik mereka berdua tertahan sejenak ketika tangan mereka mendobrak
sasaran. Kemudian tubuh mereka melayang deras ke bawah tanpa terkendali dan
tepat jatuh di depan Parmin yang sempat menggeser kakinya ke belakang
sehingga terhindar dari kejatuhan dua sosok tubuh tersebut.
Tubuh mereka berdua menggeletak tak bernyawa lagi, dalam keadaan bersimbah
darah. Parmin termangu-mangu memandangi tiga sosok tubuh yang telah menjadi
mayat.
“Inilah penyelesaian yang paling baik bagi Dewa Suci dan agaknya ia memang
ditakdirkan mati di tangan orang bangsanya sendiri!” gumam Parmin dalam
hati.
Sang waktu terus merangsek perlahan namun pasti, rembulan telah memasuki
peraduannya. Di ufuk Timur mentari telah menyinarkan cahaya keperakan,
memberikan kehidupan bagi makhluk yang berada di bumi ini.
Burung-burung serta unggas yang saling bernyanyi menyambut sang surya.
Kicauan burung-burung yang saling bersahutan memberi kenikmatan hidup bagi
yang mendengarnya. Sungguh Maha Besar Sang Pencipta alam raya ini.
Parmin pun segera membuat liang lahat dan beberapa saat kemudian ia telah
selesai menguburkan mayat-mayat itu. Setelah itu Parmin mencari mata air
yang terdekat. Tidak lama kemudian ia telah menemukan mata air tersebut dan
segera menanggalkan pakaiannya, Parmin lalu merendam tubuhnya di mata air
tersebut.
“Uh....... sejuknya air ini membuat tubuhku terasa lebih segar! Ayo Beo,
mandi! Bukankah kau telah satu minggu tidak mandi?!” ujar Parmin kepada
sahabatnya itu.
Dengan segera burung Beo itu terbang lalu hinggap di pundak Parmin dengan
perlahan sehingga kulit Parmin tidak terluka oleh kukunya yang tajam.
Kemudian dua makhluk yang berlainan jenis itu segera terlihat canda ria di
pagi yang cerah.
Setelah puas menikmati air yang jernih itu dan tubuhnya terasa lebih segar,
Parmin melanjutkan perjalanannya kembali.
***
Emoticon