Karta tertegun mendengar suara Ranti. Suara itu mirip sekali dengan suara
Nuraini, kekasihnya yang beberapa tahun lalu meninggal dunia sebelum mereka
sempat mewujudkan cita-cita cinta mereka.
Kenapa suara gadis ini mirip sekali dengan suara Nuraini? Apakah aku salah
dengar? bisik hati Karta dengan perasaan tak menentu.
“Eh, kenapa kau diam saja, pendekar budiman?” tegur Ranti sambil menatap
wajah Karta dalam-dalam.
“Oh, aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa, dik. Hendak ke manakah tujuanmu,
dik Ranti? Apakah kau sedang dalam kesulitan? Jika........”
“Ah, tidak!” Ranti menyela ucapan Karta, “Aku tidak mau ke mana-mana. Aku
hanya jalan-jalan saja, ingin melihat-lihat keadaan desa orang lain di
seluruh tanah Cirebon ini.”
“Kalau begitu, bolehkah kita menjadi kawan seperjalanan?”
“Terima kasih, pendekar. Kau telah berbuat baik padaku. Semoga Tuhan
membalas budi baikmu. Tapi biarlah aku melanjutkan perjalanan sendiri. Nah,
sekarang kita sudah sampai di batas desa. Biarlah kita mengambil jalan
masing-masing. Selamat berpisah, pendekar budiman!”
Lalu Ranti meloncat, tubuhnya melesat dan dalam sekejap hilang di balik
pepohonan. Tak terdengar lagi suara percakapan, hanya suara desir angin
menerpa dedaunan.
Si Gila Dari Muara Bondet berdiri termangu-mangu. Hatinya serasa hancur
luluh. Rasa sepi dan hampa merejam kalbunya. Entah karena apa, ia sendiri
belum bisa memastikan.
“Oh, Tuhan, kenapa hanya sekejap saja ia berada di dekatku?
Kenapa........?” Hati pemuda itu merintih sedih. “Nuraini, oh Nuraini?
Mungkinkah engkau telah menjelma kembali ke bumi ini?”
Pertemuan yang teramat singkat itu ternyata telah membuat luka lama di hati
Karta kambuh lagi. Kenangan indah dan manis kembali memenuhi benaknya. Ia
teringat masa-masa penuh kemesraan tatkala Nuraini masih berada di sisinya.
Memang saat itu cukup banyak tantangan.
Tetapi dengan dua hati yang berpadu jadi satu, semua itu bisa dihadapi dan
diatasi. Karta dan Nuraini melangkah bersama, berbagi suka maupun duka.
Janji pun teruntai mengikat dua hati yang sedang dimabuk asmara.
Tetapi semua itu hanya tinggal kenangan. Perjalanan hidup ini memang
terlalu penuh dengan misteri. Apa yang terjadi esok hari, tak seorang pun
tahu. Manusia hanya bisa meramal dan mereka-reka. Karena itu orang
mengatakan, manusia hanya bisa merencanakan tapi keputusan tetap di tangan
Tuhan.
Di luar segala perhitungan dan harapan, maut merenggut nyawa Nuraini.
Gadis itu pergi dan takkan pernah lagi kembali. Ia pergi bersama cinta yang
masih bersemi di dalam sanubari.
Karta pun merasa terhempas ke dalam jurang yang maha dalam dan gelap.
Segala harapan dan mimpinya yang indah hancur sudah. Tiada lagi yang bisa ia
harapkan. Cinta yang telah sempat memberinya keindahan ternyata juga
memberinya kehancuran.
Kenyataan ini terlalu pahit dan menyakitkan. Karta yang dijuluki si Gila
Dari Muara Bondet itu memang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Ia
telah bertahun-tahun melanglang buana menembus jalan penuh duri, menghadapi
musuh-musuh yang tangguh.
Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai macam cobaan. Namun kepergian Nuraini
untuk selama-lama tidak bisa ia tahankan. Jiwa dan hatinya terlalu rapuh
untuk bisa menerima cobaan seperti itu.
Maka sejak saat itu, Karta menghadapi hari-harinya yang kelam. Ia melangkah
tanpa harapan. Penyesalan selalu bergayut di dadanya. Seandainya dia dan
Nuraini memang harus berpisah karena kematian, kenapa bukan ia yang lebih
dulu mati? Itu lebih baik daripada ia harus hidup menyendiri tanpa
kekasihnya itu.
Sekarang, ia bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang suaranya mirip
sekali dengan Nuraini.
Tidaklah mengherankan jika perasaannya terasa kosong melompong setelah
kepergian Ranti.
Tanpa disadari oleh Karta, gadis yang baru saja meninggalkan dirinya juga
merasa tak menentu. Ranti berlari dan terus berlari sampai akhirnya ia tiba
di sepanjang tebing kali Cimanuk menuju ke arah muaranya.
Ranti merasa menyesal karena meninggalkan pemuda itu. Tetapi ia memaksakan
diri untuk melupakannya. “Sebagai wanita aku tidak boleh terlalu penurut
kepada lelaki, apalagi yang baru kukenal,” pikir gadis itu.
Tetapi entah mengapa pula ada rasa kesal menyusup ke dalam hatinya karena
terlanjur mengenal pendekar budiman itu.
“Tak seharusnya aku berkenalan dengannya!” bisik hati Ranti.
Dan diam-diam, ia mulai merasakan bahwa kegagalan cintanya yang pertama
telah menjadi semacam trauma baginya. Ia tak ingin perkenalannya dengan
Karta melahirkan rasa cinta di dalam hatinya.
Ia tak ingin gagal lagi, seperti ketika ia mencintai Parmin. Ia merasa
lebih baik hidup menyendiri, jauh dari cinta dan lelaki daripada kelak ia
mengalami kegagalan lagi.
Akhirnya dara jelita itu tiba di pinggir tebing kali Cimanuk. Ranti duduk
bersandar pada batang pohon rindang yang tumbuh di atas tebing itu. Tebing
itu cukup curam dan dalam.
Di bawahnya mengalir tenang kali Cimanuk. Burung-burung bangau terbang kian
ke mari, melintas di antara mega-mega, di atas kali Cimanuk. Beberapa ekor
di antara burung bangau itu terbang berpasang-pasangan, mencerminkan
kesetiaan dan kemesraan.
“Ah........” hati Ranti kembali merintih.
***
5
Jauh di seberang kali, tampak rumah penduduk berjejer di antara pepohonan.
Sementara di tengah sungai yang cukup jernih itu, tampak sampan hilir mudik
menyeberangkan orang dari daratan sebelah Timur ke Barat.
Tukang sampan penyeberang orang itu bekerja keras mengayuh dayung agar
lebih cepat sampai di seberang. Lelaki itu mengenakan topi lebar terbuat
dari anyaman bambu untuk melindungi wajahnya dari sengatan terik
matahari.
Itulah pekerjaan sehari-hari lelaki itu untuk menghidupi keluarganya. Istri
dan anak-anaknya tentu sedang menunggunya di rumah dan mengharap uang yang
dibawa hari ini lebih banyak dari hari-hari kemarin.
Berat juga tanggung jawab lelaki itu terhadap keluarganya. Tetapi alangkah
bahagianya hidup bersama orang yang dicintai. Mereka akan berbagi suka
maupun duka, saling bercanda dan bertukar pikiran jika seandainya ada
sesuatu persoalan.
Sedangkan Ranti sendiri, kepada siapakah ia harus menceritakan segala keluh
kesahnya? Orang tua tidak punya, sanak famili pun demikian. Bahkan sahabat
dekat pun tidak ada. Ia merasa dirinya terkucilkan, merasa terlempar ke
dunia kesepian yang teramat menyakitkan.
“Ayah, ibu, mengapa aku harus tersesat ke dalam dunia yang sunyi ini?”
rintih gadis itu.
Tanpa ia sadari air mata menetes satu persatu membasahi wajahnya yang
kusam. Ternyata hidup kesepian merupakan siksaan batin yang teramat
menyakitkan. Segalanya terasa gersang hampa dan serba menjepit.
Memang demikianlah kehidupan ini. Harta dan kedudukan tidaklah cukup bagi
orang. Tetapi juga perhatian dan kasih sayang baik dari orang yang dicintai
maupun kerabat lainnya. Orang tidak akan merasa hidupnya tenang jika merasa
tak diperhatikan atau disayangi.
Ini membuktikan bahwa dalam hidup ini, manusia tidak hanya memerlukan
kebutuhan lahir, tetapi juga kebutuhan batin. Seorang anak misalnya jika
merasa tak diperhatikan dan disayangi di rumah biasanya akan mencari
pelarian di luaran.
Dalam keadaan seperti inilah si anak sering terjerumus ke dalam hal-hal
yang kurang baik. Meskipun misalnya keadaan materi di rumahnya serba
berkecukupan dan mewah.
Ranti hampir saja putus asa. Ia sungguh tidak tahu harus melakukan apa agar
bisa terbebas dari belenggu kehidupan yang penuh kesunyian serta kegersangan
ini. Tanpa ia inginkan, ia teringat lagi ketika ia masih dalam asuhan
Gembong Wungu.
Saat itu rasanya tiada yang kurang sebab waktu itu ia memang belum mengenal
cinta. Ia hanya butuh perhiasan, uang dan sebagainya.
Rupanya kehidupan sewaktu kecil lebih enak dibandingkan setelah dewasa,
pikir gadis itu sedih. Ia tidak mau memikirkan lebih lanjut apakah
anggapannya itu benar atau salah. Ia cuma merasakan hidupnya sekarang jauh
lebih menyakitkan daripada sewaktu dirinya masih kecil.
“Dik Ranti...!”
Tiba-tiba terdengar seorang laki-laki menyebut namanya. Ia segera berpaling
menatap ke arah asal suara itu. Alangkah terkejutnya Ranti, karena di tempat
itu telah berdiri si Gila Dari Muara Bondet.
“Oh, kau pendekar dari Muara Bondet. Mengapa kau mengikuti aku ke tempat
ini? Mau apa kau?” ujar Ranti dengan suara tidak bersahabat.
Karta tidak segera menyahut. Pemuda itu merasa tak menentu mendapat
sambutan kurang bersahabat dari Ranti. Tadi ia memang sengaja menyusul
Ranti, karena masih sangat penasaran. Ketika tubuh Ranti lenyap, pendekar
dari Muara Bondet itu segera menyusul.
Ia mengerahkan ilmu lari cepat yang telah hampir mencapai kesempurnaan.
Tubuhnya berkelebatan di sela-sela pepohonan dan dalam waktu yang tidak
terlalu lama, pendekar muda itu dapat menyusul Ranti. Tetapi ia tidak segera
menghampiri, melainkan membuntuti dari belakang, ingin tahu hendak ke mana
sebenarnya gadis itu.
Karta merasa terkejut juga setelah melihat Ranti duduk menyendiri di atas
tebing sambil bersandar di batang pohon. Apalagi saat mengetahui bahwa Ranti
menitikkan air mata. Gadis ini pastilah sedang menghadapi suatu problema
hidup yang rumit sehingga membuatnya sedih. Tapi entah apa?
“Kenapa kau diam saja, pendekar Muara Bondet? Kenapa kau menyusulku ke
tempat ini?” tanya Ranti membuat Karta tersentak dari lamunannya.
“Maafkan saya, nona. Saya sebenarnya tak bermaksud mengganggu ketenanganmu.
Tapi ada suatu hal yang membuatku tak bisa menahan diri untuk menemuimu.
Maksudku........”
“Kalau kau memang tidak ingin mengangguku, tinggalkan tempat ini sekarang
juga. Aku memang berhutang budi padamu, tapi jangan memperalat budi baikmu
itu untuk memperdayaiku. Harap kau meninggalkan aku sendirian di
sini!”
“Dik Ranti, saya mengerti perasaanmu. Baiklah, aku akan meninggalkanmu
sendiri di sini. Tapi sebelumnya harap kau tidak keberatan untuk mendengar
penjelasan dariku. Ini sangat penting untuk kuutarakan, karena terasa sangat
mengganjal di hati.”
“Aku tak perlu mendengar apa-apa darimu pendekar Muara Bondet. Pergilah
sekarang juga. Kau pun tentunya tahu tidak baik bagi lelaki dan wanita
berduaan di tempat sepi seperti ini.”
“Memang tidak baik jika terkandung niat buruk. Aku hanya ingin mengutarakan
isi hatiku, dik Ranti. Kau jangan salah paham. Aku sungguh tidak bermaksud
jelek padamu. Percayalah, dik! Sedikitnya kita bisa mengobrol
sebentar.”
“Tidak!” Ranti berteriak sambil meloncat berdiri. Wajahnya tampak merah
padam, matanya mendelik bagaikan hendak menelan lelaki di hadapannya itu
hidup-hidup, “Kau harus pergi dari sini. Ayo, cepat pergi! Kalau tidak,
jangan salahkan aku jika terpaksa mencabut senjataku.”
“Tenanglah, dik Ranti. Jangan terlalu cepat marah.”
“Aku tak butuh nasehatmu. Rupanya kau ingin berbuat kurang ajar padaku, ya?
Jangan harap niat busukmu itu bisa terlaksana. Langkahi dulu mayatku, baru
boleh kau sentuh diriku.”
Karta menghela nafas dalam-dalam sekedar untuk menahan rasa sesak di dalam
dadanya.
“Niat busuk?” pikirnya sedih. Rupanya Ranti beranggapan jelek padanya
mengira dirinya hendak berbuat bejat. Entah apa alasan Ranti hingga
beranggapan seperti itu. Apakah wajahnya memang wajah penipu atau wajah
pemerkosa?
Karta sangat sedih, karena gadis yang suaranya mirip dengan mendiang
kekasihnya sama sekali tidak mau mempercayainya, malahan menuduhnya yang
bukan-bukan.
Tetapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia cukup mengerti perasaan
Ranti. Mungkin gadis itu bersikap demikian hanya karena sedang mengalami
persoalan yang sangat rumit. Kebanyakan orang memang begitu, jika sedang
kalut, mudah marah dan tersinggung.
Pendekar muda itu menghibur diri sendiri.
“Kenapa kau diam saja, hah? Kenapa belum juga angkat kaki dari sini?”
bentak Ranti.
“Oh, dik Ranti. Kau terlalu berprasangka buruk padaku. Aku sebenarnya hanya
ingin mengatakan bahwa sewaktu kita pertama kali bertemu, perasaanku jadi
tak menentu karena suaramu sangat mirip dengan orang yang kucintai. Aku tak
bisa melupakannya. Sayang ia telah tiada........”
“Kau kira aku wanita yang lemah, hah? Jangan harap rayuan gombal seperti
itu bisa menggodaku. Baiklah, agaknya kau harus diberi pelajaran. Nih,
terimalah ini!”
Setelah berkata begitu, Ranti segera meloncat menerjang Karta. Tubuhnya
melayang bagai rajawali menyambar ke arah lawan. Pedang diayun cepat sekali
mengincar leher Karta.
Agaknya dara jelita itu tidak mau perduli lagi tentang keselamatan Karta.
Karena kalau saja sabetan pedangnya itu mengenai sasaran, tak ayal lagi
leher itu pasti akan terpisah dari badan.
Untunglah si Gila Dari Muara Bondet memiliki ilmu tinggi. Dengan gerakan
yang tidak kalah cepatnya, lelaki itu menggeser kakinya ke belakang sehingga
sabetan senjata lawan tidak mengenai sasaran. Setelah itu, Karta meloncat
jauh ke belakang untuk menghindari serangan Ranti berikutnya.
“Sabarlah nona. Jangan menyerang aku seperti itu. Kalau kau memang tidak
senang padaku, biarlah aku pergi sekarang juga.”
“Diam kau bangsat!” Ranti membentak, lalu kembali menyerang Karta dengan
ganas.
Gadis itu segera mengeluarkan ilmu simpanan yang pernah diajarkan Gembong
Wungu padanya, karena ia tahu Karta bukanlah orang sembarangan. Pedang gadis
itu menyambar-nyambar cepat sekali dan penuh tipu daya yang sangat
berbahaya.
Tipu seperti itu memang sudah merupakan ciri khas ilmu Gembong Wungu. Sama
seperti halnya tokoh sesat lainnya, almarhum raja rampok itu juga selalu
berusaha menjatuhkan lawan secepat mungkin dengan cara-cara keji dan penuh
tipuan.
Ilmu itu kemudian diwariskan kepada Ranti, sehingga tanpa disadari, ilmunya
selalu penuh tipu daya yang sangat berbahaya. Jika lawan lengah sedikit
saja, pasti akan bernasib fatal. Jika tidak cacat, mungkin akan segera
kehilangan nyawa.
Di kalangan tokoh-tokoh dunia hitam, jarang ada istilah melumpuhkan lawan
tanpa melukainya. Lain halnya dengan para pendekar yang sikapnya kesatria,
sering merobohkan lawan tanpa menurunkan tangan kejam. Misalnya dengan cara
memukul lawan hingga pingsan, dan jika siuman kembali tidak akan menderita
luka parah.
Ranti sebenarnya kurang menyadarinya, sebab ia hanya merasa bahwa dalam
setiap pertarungan ia harus menyerang jika punya kesempatan dan mengelak
jika diserang. Lawan pun tentu menginginkan kemenangan. Karena itu dalam
setiap pertarungan hanya ada dua kemungkinan, menang atau kalah.
Demikian nasehat Gembong Wungu dahulu. Ganasnya serangan Ranti membuat
Karta terkejut. Sebab siapa nyana, seorang gadis cantik jelita seperti Ranti
mempunyai sikap ganas dan buas.
Pendekar dari Muara Bondet itu pun segera berloncatan ke sana ke mari
menghindari serangan Ranti. Tubuhnya berkelebatan di sela-sela
kilatan-kilatan senjata lawan.
“Kau keras kepala, dik Ranti. Dan seranganmu sangat ganas. Tenanglah, aku
tak bermaksud jelek padamu,” teriak Karta sambil meloncat tinggi mengelakkan
serangan Ranti.
Namun kata-katanya itu bukannya membuat Ranti menjadi tenang, malahan
semakin beringas. Ia merasa lelaki itu memandang rendah padanya, bahkan
menghinanya. Apalagi sejak tadi Karta sama sekali belum mau melakukan
serangan balasan, selain menghindar saja. Maka makin panas jugalah hati
Ranti.
Sikap dara jelita itu makin berangasan. Tetapi kewaspadaannya pun menjadi
berkurang. Karena sangat marah, ia seolah-olah melupakan pertahanan dirinya
sendiri sebab yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana supaya dapat segera
merobohkan Karta.
Seandainya pendekar Muara Bondet itu mau, mungkin sejak tadi Ranti sudah
roboh oleh serangannya. Tetapi ia tidak mau melakukannya. Sebab untuk apa ia
melayani kekerasan Ranti?
Bukankah di antara mereka tidak ada persoalan apa-apa? Ranti hanya salah
paham saja, atau mungkin hanya karena terdorong kemelut yang melanda
hatinya.
Ranti terus menyerang Karta, dengan serangan yang mulai tampak agak tidak
karuan. Ia kembali menerjang Karta yang saat itu sedang berdiri di pinggir
tebing curam. Pedangnya diayunkan dari arah kanan ke sebelah kiri, mengarah
ke arah pinggang pemuda itu.
Dalam keadaan terdesak seperti itu, Karta tidak bisa berbuat banyak. Ia
tidak mungkin mundur lagi untuk mengelak, karena kalau itu ia lakukan pasti
akan terjatuh ke arus sungai.
Maka Karta pun segera meloncat tinggi sehingga serangan lawan dapat ia
elakkan. Namun akibatnya cukup fatal bagi Ranti. Karena terjangannya sangat
kuat tadi, ia tidak dapat lagi menguasai atau menahan laju tubuhnya.
Disertai jeritan panjang, tubuhnya terjatuh ke dalam arus kali
Cimanuk.
“Dik Ranti!” teriak Karta terkejut. Tanpa pikir panjang lagi, pemuda itu
segera terjun ke dalam sungai, dengan maksud untuk menyelamatkan
Ranti.
Arus sungai di pinggir tebing itu ternyata sangat deras. Dalam sekejap saja
tubuh Ranti sudah hanyut terbawa arus. Sebagai anak gunung, dara jelita itu
memang tidak pandai berenang. Nafasnya segera sesak, bahkan tanpa sengaja ia
telah meminum air sungai.
Si Gila Dari Muara Bondet mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencari
tubuh Ranti. Pendekar muda itu memang sudah cukup terlatih melawan arus
sungai, walaupun harus diakui arus Cimanuk lebih ganas dari kali
Bondet.
Sekali waktu, tampak oleh Karta tangan Ranti melambai agak jauh di
depannya. Tetapi hanya sekejap kemudian, tangan itu telah lenyap ke dalam
arus air. Dengan perasaan dicekam kecemasan Karta segera berenang ke arah
itu. Tetapi ia kembali kecewa, karena ia belum juga berhasil menemukan tubuh
Ranti.
Ya Tuhan. Kalau gadis itu kehilangan nyawa di sungai ini, biarlah aku juga
mati terkubur di sini, kata hati Karta. Ia terus berenang sambil tak
henti-hentinya berdoa agar ia segera menemukan Ranti.
Akhirnya doanya pun terkabul. Ia dapat menangkap tangan Ranti. Tetapi
keduanya sudah terlanjur terperangkap masuk pusaran air dahsyat di sekitar
muara kali itu.
Pusaran air itu terjadi karena bertemunya dua arus kuat dari arah yang
berlawanan. Karena bentrokan arus itu sangat kuat, arus di sekitar itu pun
menjadi berputar-putar yang makin ke bawah makin kencang.
Itulah sebabnya pusaran air sungai itu mengandung tenaga sedot yang sangat
kuat. Makhluk hidup maupun benda mati jika sudah terlanjur terperangkap
pusaran arus, akan dibawa berputar-putar, makin lama makin ke bawah hingga
akhirnya sampai ke dasar sungai.
Selama ini pusaran arus kali Cimanuk itu telah banyak mengambil korban jiwa
manusia, mau pun hewan ternak yang kebetulan sampai ke pusarannya. Tidaklah
mengherankan jika pusaran air itu sangat menakutkan penduduk di sekitar itu.
Bahkan dulunya ada yang percaya bahwa pusaran arus itu adalah tempat para
jin maupun makhluk halus lainnya untuk mandi.
Mereka tidak senang jika ada yang lancang mandi di tempat itu, sehingga
bagi yang melanggarnya, baik sengaja maupun tidak sengaja akan dihanyutkan
sampai mati.
◄Y►
6
Sebagai orang yang sudah terbiasa bermain-main di sungai, terkejut juga
Karta setelah menyadari bahwa dirinya bersama Ranti telah terperangkap
pusaran arus dahsyat. Putaran arus sungai itu sangat kuat, sehingga dada
Karta serasa bagaikan hendak pecah.
Walaupun demikian, pendekar Muara Bondet itu tidak mau melepaskan tangan
Ranti. Ia terus berusaha sekuat tenaga menarik tubuh wanita itu ke luar
pusaran air. Makin lama, tenaga Karta pun makin terkuras. Rasa putus asa
mulai menghinggapi pikirannya.
Akan tetapi sebagai pendekar yang sejak lama telah digembleng dengan keras,
Karta tidak mau berserah atau pasrah kepada nasib. Ia tetap berprinsip,
selama masih bisa bergerak ia tidak boleh berhenti berusaha.
Di sinilah terlihat bahwa sebelum ajal memang berpantang mati. Secara
kebetulan, arus sungai yang sedang pasang menghantam pusaran air itu.
Akibatnya tubuh kedua insan itu terlempar ke luar pusaran. Dengan sisa-sisa
tenaganya, Karta menyeret tubuh Ranti, hingga akhirnya sampai ke tepi
sungai.
“Terima kasih, Tuhan. Engkau telah menyelamatkan kami,” kata pemuda itu
dengan napas tersengal-sengal.
Lalu ia membopong tubuh Ranti yang agaknya sudah cukup lama tak sadarkan
diri, ke atas tebing.
Perlahan-lahan, Karta merebahkan tubuh Ranti di bawah pohon rindang.
Diperiksanya urat nadi gadis itu, masih berdenyut tapi agak pelan. Berarti
gadis itu hanya pingsan saja karena kelelahan.
Tak ada luka yang mengkhawatirkan. Karta menghela napas lega dan membiarkan
Ranti tidur dengan pulasnya. Perasaan Karta masih tak menentu mengingat
peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya dan nyawa Ranti.
Seandainya ia tidak berhasil menyelamatkan Ranti, alangkah berdosanya
dirinya. Sebab bagaimanapun juga, Ranti terjatuh ke kali Cimanuk adalah
gara-gara sikapnya juga.
Ranti sudah berulang kali menyuruhnya pergi, tetapi ia masih mencoba
membujuk-bujuk hingga akhirnya gadis itu kehilangan kesabaran.
Karta kemudian membuka bajunya dan menggantungkannya di dahan pohon agar
cepat kering. Sambil menunggu pakaiannya itu kering, pendekar Muara Bondet
duduk membelakangi Ranti. Sepasang matanya menatap ke arah arus kali
Cimanuk, lalu ke arah hutan di seberang sungai.
Pendekar itu kembali terkenang akan Nuraini, bahkan merasa kekasihnya itu
seolah-olah sedang berada di sisinya. Duduk sambil menatapnya dengan penuh
kemesraan. Sinar mata dan senyum gadis itu teruntai indah dan erat sehingga
tidak mungkin dipisahkan tanpa merusak keindahannya.
Karta tidak tahu harus melakukan apa agar bisa melupakan kekasihnya itu.
Dengan putus asa, ia memejamkan mata. Lalu bagaikan orang yang sedang
mengigau, ia berbisik.
“Selamat jalan kekasihku. Selamat jalan pujaan hati, nafas kehidupanku yang
abadi. Tak akan pernah lagi kulihat engkau, seperti dulu ketika kita
sama-sama mereguk nikmat dan manisnya madu cinta kita.”
Tak lama kemudian, Ranti bangun dari tidurnya. Sekujur tubuhnya terasa
nyeri dan lemas sekali. Ia menggosok-gosok kedua matanya dan menatap Karta
yang sedang duduk bertelanjang dada tak jauh dari tempatnya tidur
tadi.
Melihat lelaki itu, maka prasangka buruk pun segera menghinggapi pikiran
Ranti. Ia pingsan tadi, entah berapa lama. Pastilah si Gila dari Muara
Bondet itu telah berbuat kurang ajar pada dirinya.
Maka Ranti pun segera meloncat ke hadapan Karta. Wajahnya merah padam,
dadanya turun naik tak teratur karena amarah yang tak terkendalikan. Sambil
menuding Karta dengan tangan kiri, ia berkata dengan kasar:
“Bajingan kau! Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku ketika pingsan
tadi, hah? Bajingan, kurang ajar kau! Berani kau berbuat kurang ajar padaku.
Akan kucincang tubuhmu!”
Tentu saja Karta sangat terkejut. Tadinya ia mengira Ranti akan mengucapkan
terima kasih padanya karena ia telah menyelamatkannya dari pusaran arus kali
Cimanuk. Lalu setelah itu, mereka akan berbincang-bincang penuh
persahabatan.
Namun tanpa diduga-duga, gadis itu malah menuduhnya berbuat kurang ajar.
Karta jadi kesal sekaligus tak tahu harus mengucapkan apa.
“Jangan diam kau, bajingan! Pengecut! Kau telah menodai aku ketika sedang
pingsan tadi. Kubunuh kau bangsat!” bentak gadis itu lagi.
“Dik Ranti, kenapa kau berkata seperti itu? Kenapa kau tega menuduh aku
seburuk itu? Demi Allah, aku tak berbuat apa-apa terhadap dirimu.”
“Diam! Lelaki pengecut seperti kau mana mau mengaku? Bangsat tengik seperti
kau harus dilenyapkan dari permukaan bumi ini. Kau telah menghancurkan
hidupku!”
Karta tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mimpi pun ia tak menyangka akan
dituduh seperti itu. Pendekar itu pun melangkah lebih dekat ke hadapan
Ranti. Kepasrahan dan keputusasaan tercermin di wajahnya yang pucat.
“Dik Ranti, aku sungguh tak menyangka gadis seperti kau akan sampai hati
menuduh aku sekotor itu. Tapi agaknya kau tidak akan mau percaya
padaku.
“Baiklah kalau begitu. Aku tidak perlu berkata apa-apa lagi. Kalau kau
memang menuduh aku seperti itu cabutlah senjatamu, bunuhlah aku. Aku sudah
rela. Biarlah Tuhan yang tahu keadaan yang sebenarnya!”
Ranti meludah dengan sebal, “Huh, dasar pengecut. Beraninya hanya sama
perempuan,” makinya kesal.
“Tak apalah dik Ranti jika kau tidak senang padaku. Tetapi tak seharusnya
kau menuduh aku serendah itu. Ayo, cabutlah senjatamu. Lakukanlah apa yang
kau inginkan.”
“Huh, kau pikir aku pengecut seperti dirimu? Kalau kau memang bukan
pengecut, kenapa tidak kau biarkan saja aku mampus di kali itu? Kau pikir
aku senang karena bantuanmu? Aku sangat benci padamu tahu?”
“Terserahlah, dik Ranti. Saya pun tak merasa telah menolongmu. Tapi aku
yakin orang bijaksana selalu tahu menghormati kebaikan orang lain padanya.
Tahu menilai mana yang baik dan mana yang tidak baik. Atau sedikitnya di
atas sana masih ada Tuhan yang Maha Adil dan penuh kasih sayang.”
“Dasar laki-laki tak tahu diri! Awas ya! Kalau kau masih berani
mengikutiku, akan kubunuh kau. Aku tidak akan memberikan ampun lagi.”
Habis berkata begitu, Ranti segera meloncat dari hadapan Karta. Tubuhnya
melayang ringan bagaikan kapas, dan dalam sekejap telah lenyap di balik
pepohonan dan semak-semak.
Ranti terus berlari sambil mengerahkan segenap kekuatannya agar dapat
segera menjauh dari tebing kali Cimanuk. Ia tidak bisa melukiskan bagaimana
perasaannya sekarang.
Entah gembira atau sedih. Sebab sebagai gadis yang telah menginjak dewasa,
ia sudah bisa memastikan bahwa kehormatannya masih utuh. Karta tidak berbuat
apa-apa padanya seperti yang ia tuduhkan tadi.
“Oh, alangkah tolol dan kurang ajarnya diriku. Nyawaku telah ia selamatkan.
Tetapi bukannya berterima kasih, malahan menuduhnya berbuat kurang ajar.
Padahal lelaki itu baik hati, memiliki sikap yang lembut dan gagah perkasa
pula. Kenapa sikapku harus seperti itu tadi sewaktu berhadapan dengannya?”
Gadis itu membatin sambil terus berlari.
Menjelang senja, Ranti istirahat, duduk bersandar pada pohon. Ia mulai
kelelahan dan pikirannya makin kalut. Wajah Karta masih terbayang-bayang di
pelupuk matanya. Kata-kata pemuda itu terngiang-ngiang kembali di
telinganya.
Dan penyesalannya pun semakin menjadi-jadi atas sikapnya yang keterlaluan
terhadap pemuda dari Muara Bondet itu. Putri Gagak Ciremai itu semakin
menyadari bahwa dalam dirinya ada yang kurang beres. Ia telah membohongi
hati nuraninya sendiri. Ia memaki-maki Karta bahkan menuduhnya telah berbuat
kurang ajar.
Padahal sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, ia harus mengaku bahwa ia
mengagumi pria itu. Atau sedikitnya ia butuh seorang kawan yang dapat
dijadikan sebagai tempat mengadu dan menumpahkan segala keluh kesah.
Mengingat sikapnya yang dinilainya tidak wajar itu, Ranti pun teringat akan
perlakuannya beberapa waktu lalu ketika berhadapan dengan Roijah, kekasih
Parmin di desa Kandang Haur. Saat itu Ranti sengaja datang dari desa
Perbutulan dan menemukan Roijah sedang dihukum cambuk oleh Kompeni Belanda,
kemudian dipenjarakan di gudang penggilingan padi milik Van Eissen.
Ranti kemudian dapat menyelamatkan Roijah dan membawanya sampai ke hutan
Loyang. Di tengah hutan itulah Ranti mengajak Roijah bertarung hidup mati
untuk memperebutkan Parmin.
Katanya siapa yang menang, dialah yang berhak mendampingi Parmin. Padahal
saat itu kondisi tubuh Roijah sangat lemah akibat siksaan centeng-centeng
Belanda. Alangkah piciknya pikiran Ranti, seolah-olah menganggap cinta itu
dapat diperebutkan seperti halnya piala.
Untunglah ia kemudian dapat menyadari kekeliruannya berkat nasehat guru
Roijah. Ia kemudian menyadari bahwa cinta itu memang tidak bisa
diperebutkan, karena cinta itu lahir sendiri tanpa disadari dan tanpa
direncanakan.
Ya, tanpa disadari. Apakah sekarang tanpa sadar pula ia telah jatuh cinta
kepada Karta? Oh, ia teringat sekarang. Dulu pun ketika pertama kali bertemu
dengan Parmin, ia menuduh pemuda itu sengaja mengintipnya sewaktu mandi.
Ranti bahkan menyerang Parmin dengan ganas.
Untunglah pemuda itu memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, sehingga dapat
mengelakkan semua serangan Ranti.
Peristiwanya kira-kira sama seperti yang terjadi antara Ranti dengan Karta
sekarang. Dan Parmin memang memiliki banyak kesamaan dengan Karta. Keduanya
sama-sama gagah perkasa dan memiliki ilmu tinggi.
Selalu mau membela kaum lemah dari penindasan-penindasan, bersikap lembut
dan penuh kasih sayang. Cuma saja, Parmin yang dijuluki Jaka Sembung itu
kelihatan lebih dewasa dan lebih saleh penampilannya dibandingkan Karta yang
dijuluki si Gila Dari Muara Bondet.
Rambut Parmin dicukur pendek, sedangkan rambut Karta dibiarkan panjang
sampai ke pinggang. Persamaan atau perbedaan lainnya masih dalam pemikiran
Ranti, karena ia belum tahu banyak mengenai diri Karta. Dulu, dengan
sikapnya yang kekanak-kanakan, Ranti sendirilah yang selalu berusaha
berdekatan dengan Parmin.
Tanpa malu-malu, ia datang ke sawah tempat Parmin bekerja. Atau ke rumah
petani tua hanya sekadar untuk bisa berbincang-bincang dengan pendekar
itu.
Sekarang sebaliknya, Karta yang tampaknya selalu mengejar-ngejar Ranti.
Sementara Ranti sendiri kelihatannya selalu berusaha menghindar, meskipun ia
sendiri harus mengakui bahwa sikapnya itu tidak sesuai dengan hati
nuraninya. Bahkan mungkin hanya sekadar kompensasi untuk menutupi isi
hatinya yang sebenarnya.
Diam-diam dara jelita itu merasa khawatir, kalau-kalau Karta tidak mau lagi
memaafkannya. Alangkah malangnya nasibnya jika ia akan kehilangan seorang
pria yang demikian baik.
Tanpa terasa air matanya menetes membasahi wajahnya yang pucat. Aku harus
kembali dan minta maaf padanya, kata hati Ranti. Tetapi saat itu juga
hatinya berteriak lain.
Tidak! Aku tidak boleh merengek-rengek di hadapannya untuk minta
dibelas-kasihani. Biarlah aku melupakannya! Ia selalu berusaha mendekatiku
hanya karena suaraku mirip dengan mendiang kekasihnya. Kalaupun dia merasa
cinta, yang ia cintai hanyalah suaraku.”
Tangis Ranti semakin menjadi-jadi. Matahari mulai gelap, bundar bagai bola
dan mengembang di atas mega-mega di kaki langit. Udara menjelang kelam.
Cahaya senja merah tembaga antara terang dan gelap, terasa lebih cepat kusam
dan padam.
Nun jauh di sana, udara senja mulai hitam, menodai jaringan-jaringan halus
pepohonan di tengah hutan. Seperti sedang mengisyaratkan sebuah prahara yang
telah datang mengacaukan segalanya. Ranti tidak tahu harus melakukan apa
agar pikirannya dapat tenang.
Dengan putus asa, ia menyandarkan kepala sambil memejamkan mata, lalu
berbisik sedih: “Tuhan, daripada hidup tersiksa seperti ini, mengapa Tuhan
tidak mencabut nyawaku saja?”
Tatkala malam semakin larut, Ranti naik ke dahan pohon dan kembali duduk
bersandar. Ia sudah memutuskan akan melewatkan malam itu di tengah hutan.
Sebab mau ke mana lagi dia?
Ia belum mengenal daerah di sekitar hutan itu. Kalau ia nekad meneruskan
perjalanan, ia bisa tersesat makin jauh ke tengah hutan. Dengan air mata
yang masih bercucuran dan suara isak tangis yang tersendat-sendat, gadis itu
akhirnya tidur kelelahan.
Esok harinya, ia terbangun ketika matahari telah tinggi menerpa wajahnya
dari sela-sela dedaunan.
Ranti terbangun karena matanya yang silau terkena sinar matahari. Sambil
mengeluh, ia turun dari atas pohon. Ranti tidak tahu hendak ke mana
sekarang. Perutnya terasa sangat lapar, pedih bagaikan dililit-lilit.
Tetapi kemanakah ia harus pergi mencari makanan?
Gadis itu akhirnya memutuskan untuk pergi ke muara kali Cimanuk dan
mengharap di tempat itu nanti ia bisa menemukan perkampungan kaum nelayan.
Mudah-mudahan aku masih bisa menemukan orang yang mau memberiku sedikit
makanan, kata hati Ranti penuh harap.
Ranti akhirnya sampai di muara kali Cimanuk, di pesisir pantai laut Jawa.
Ia menyusuri pantai pasir putih dan matanya menatap liar ke sana ke mari
dengan harapan bisa menemukan orang yang mempunyai makanan.
Pada usia semuda itu, Ranti telah hidup luntang lantung ke sana kemari.
Semua itu sebetulnya hanya karena tuntutan hatinya yang kesepian dan butuh
kasih sayang. Keadaan itu sangat jauh berbeda dengan kehidupannya pada waktu
kecilnya.
Dulu Ranti hidup serba berkecukupan. Sekarang untuk makan saja sudah
terancam. Wajar kalau ia merasa sangat tersiksa, sebab ia belum terbiasa
hidup dalam keprihatinan. Keadaan itu telah membuka mata hatinya, bahwa
dalam hidup ini banyak tantangan dan rintangan.
Bahwa dalam kehidupan ini manusia saling membutuhkan, saling tergantung
satu sama lainnya tanpa terkecuali. Yang kaya bukan berarti tak pernah
membutuhkan yang miskin, begitu juga sebaliknya yang miskin pun membutuhkan
orang kaya.
Ranti tak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi pada dirinya jika dalam
pengembaraannya itu tidak menemukan orang lain. Mungkin ia akan mati
kelaparan.
Tak jauh dari tempat Ranti sekarang berjalan menyusuri pasir pantai,
tampaklah asap mengepul, di dekat pohon nyiru. Seorang lelaki muda duduk di
batang pohon kelapa yang telah tumbang. Ia sedang memasak ikan di dalam
sebuah kuali.
Lelaki itu masih cukup muda, berusia sekitar duapuluh lima tahun. Tubuhnya
tegap kekar dengan kulit hitam legam. Kumisnya panjang dan melingkar.
Alis matanya tebal, sedangkan matanya kelihatan selalu melotot. Ia
mengenakan ikat kepala sehingga rambutnya yang cukup panjang tidak
awut-awutan. Jika diperhatikan cara lelaki itu memasak, orang pasti akan
terkejut.
Betapa tidak, ia sama sekali tidak menggunakan sendok untuk mengaduk rebus
ikan yang sedang mendidih itu, melainkan dengan tangan kanannya sendiri.
Anehnya, lelaki itu kelihatan tenang-tenang saja, tak merasa kepanasan
sedikitpun juga.
Perlahan-lahan, lelaki itu mengangkat tangan kanannya dari dalam kuali.
Maka tampaklah tangannya yang hitam legam dan bentuknya aneh itu
mengeluarkan uap. Tangan itu mirip garpu besar dan terlihat seperti terbuat
dari baja.
Apakah lelaki itu sedang mengenakan sarung tangan yang terbuat dari baja?
Sama sekali tidak! Tangan kanannya itu berubah jadi seperti itu adalah
berkat latihan yang tak kenal lelah dan putus asa. Itulah dia si Cakar
Rajawali!
Seperti diceritakan di bagian awal, lelaki itu berlatih tekun siang dan
malam untuk memperdalam ilmu silatnya di pantai teluk Cirebon.
Tangan kanannya yang cacat itu dilatih, mulai dengan cara membenamkannya di
pasir pantai yang panas, kemudian di dalam air mendidih hingga akhirnya di
dalam kobaran api. Dan jika malam telah tiba, lelaki itu berlatih
jurus-jurus silat sehingga tingkat kepandaiannya makan lama makin
tinggi.
Si Cakar Rajawali yang nama aslinya adalah Barna telah bertekad untuk
membalaskan dendam kesumat atas kematian gurunya di tangan Jaka Sembung. Ia
telah bersumpah tidak akan mau berhenti sebelum berhasil membunuh lelaki
pengembara yang mengalahkan gurunya itu. Itulah sebabnya ia berlatih dan
terus berlatih tanpa kenal lelah dan putus asa.
Barna menjilat-jilat kuah rebus ikan yang membasahi tangan kanannya.
Ia tampak lega, mungkin karena merasa bumbu masakannya telah sesuai dengan
yang ia inginkan. Lalu ia bangkit dan menoleh ke sana ke mari, mencari
ayahnya.
“Ayah! Di mana kau? Kemarilah, sarapan sudah siap!” teriak pendekar itu
dengan suara menggelegar, sehingga suaranya bergema ke sepanjang pantai.
Karena tidak ada sahutan, Barna berlari agak jauh ke sebelah Selatan pantai
itu. Benar saja, ayahnya sedang terkekeh-kekeh.
“Ayah, kembalilah. Mari kita makan!” teriak Barna.
Ayahnya tak menyahut. Lelaki tua itu terus merangkak sambil berkata-kata
seorang diri, “He-he he, mau lari ke mana kau setan cilik? Jangan kira kau
bisa lolos dari tanganku,” katanya sambil terus merangkak bagaikan anak
kecil yang belum bisa berjalan.
Lelaki tua kurus kerempeng itu tertawa keras-keras ketika berhasil
menangkap seekor udang. Ia sangat girang, lalu merangkak lagi menangkap
udang yang banyak berkeliaran di sekitar pantai itu. Agaknya pikiran lelaki
tua itu tidak waras lagi. Tingkah lakunya sama sekali tidak menunjukkan
sikap seorang lelaki yang telah berumur lanjut.
Ia bertelanjang dada sehingga tulang-tulang rusuknya terlihat menonjol,
seolah-olah hanya dibungkus kulit saja. Kumisnya yang tebal dan sudah mulai
memutih dibiarkan tumbuh dengan liar, sehingga wajahnya tampak menyeramkan.
Siapakah sebenarnya laki-laki tua dan kurus itu?
Dialah salah seorang dukun gadungan penyambung lidah Bergola Ijo. Dulu ia
dikenal sebagai tokoh sesat yang sangat ditakuti banyak orang. Namun ia
tidak kuat mental sehingga menjadi gila setelah majikannya terbunuh.
Menurut sebagian orang, dukun itu menjadi gila adalah karena ‘supata’
(kutukan) Kyai Haji Subekti Achmad, ulama besar dari Gunung Sembung. Melihat
keadaan ayahnya itu, makin berkobarlah dendam di hati Barna. Semua ini
gara-gara musuh-musuhnya yang kelak akan ia tumpas habis sampai ke anak
cucunya hingga lenyap dari permukaan bumi ini.
“Ayah dengarlah aku ayah! Sarapan pagi kita sudah kusiapkan. Ayah tentunya
sudah lapar. Ayolah, kita makan sekarang,” kata Barna membujuk-bujuk
ayahnya.
“He-he-he, sarapan katamu? Inilah sarapanku. Cukup perbekalan selama tiga
hari. Enak, manis dan gurih. Kalau kau suka kau boleh ambil. Nih,
makanlah!”
Tangan kiri orang tua itu diulurkan kepada Barna. Sedangkan tangan kanannya
memasukkan udang yang masih hidup itu ke dalam mulutnya. Sambil tak
henti-hentinya tertawa terkekeh-kekeh, lelaki tua itu mengunyah-ngunyah
dengan sangat lahapnya.
Cakar Rajawali tidak bisa berbuat apa-apa.
Kalaupun dia berusaha mencegah, tidak akan ada gunanya karena ayahnya pasti
akan tetap makan udang itu. Bahkan mungkin akan menjadi marah karena merasa
kesenangannya diganggu.
Memang demikianlah adat orang tua itu setelah pikirannya tak waras lagi.
Masih mending kali ini ia cuma makan udang hidup. Pada waktu lalu ia malah
pernah hendak memakan kalajengking yang ia tangkap di pinggir hutan.
Untunglah anaknya segera melihat dan mencegahnya.
Kadang-kadang orang tua itu tertawa-tawa tak henti-hentinya, tetapi tak
lama kemudian tiba-tiba menangis tersedu-sedu menyesali masa lalunya. Jika
malam tiba, lelaki tua itu suka duduk menyendiri lama sekali.
Entah apa saja yang ia pikirkan tak ada yang tahu. Tetapi kalau anaknya
menyuruhnya tidur, ia tidak mau bahkan sering menjadi beringas.
“Ayah, marilah kita makan. Saya sudah sangat lapar, ayah! Apakah ayah tidak
merasa kasihan padaku?” tanya Barna lagi. Ia menarik tangan ayahnya dengan
harapan ayahnya mau diajak meninggalkan pantai itu.
“Heh, kau berani kurang ajar padaku, ya?” bentak orang tua itu dengan sikap
yang tiba-tiba berubah jadi beringas.
“Oh, ayah jangan marah. Saya tak bermaksud kurang ajar. Aku hanya ingin
mengajak ayah sarapan pagi.”
“Aku sudah sarapan. Nih, sarapannya enak sekali. Cobalah, kau pasti
senang,” kata lelaki tua itu sambil menyodorkan beberapa ekor udang kepada
anaknya.
Si Cakar Rajawali tidak berkata apa-apa lagi. Dengan langkah lesu, ia
meninggalkan tempat itu, kembali ke tempatnya tadi merebus ikan.
Akan tetapi setibanya di tempat itu, alangkah terkejutnya ia melihat ikan
rebusnya sudah habis dimakan orang. Tinggal tulang-tulangnya saja berserakan
di sekitar tempat itu.
“Bangsat! Siapa yang menghabiskan ikanku? Bajingan, akan kurobek-robek
mulutnya jika aku tahu siapa yang berani mencuri ikanku!” kata Barna
geram.
Pendekar itu melirik ke sekelilingnya, mencari orang yang berani
mempermainkannya. Tiba-tiba matanya mendelik ketika melihat seorang gadis
dengan tenang mencuci tangannya di pinggir pantai.
“Bangsat, pasti dialah yang telah menghabiskan ikan rebusku,” pikirnya.
“Hei, siapa kau bangsat?” bentak Si Cakar Rajawali sambil menatap ke arah
wanita yang duduk membelakanginya, yang tak lain tak bukan adalah
Ranti.
Tadi ketika sedang melangkah sendirian di pasir pantai itu, Ranti mencium
bau lezat ikan dimasak. Tak lama kemudian, ia melihat kepulan asap tak jauh
dari tempat itu. Ranti mempercepat larinya ke arah kepulan asap itu. Ia
menjadi kegirangan melihat ikan rebus di dalam kuali.
Ranti sebenarnya ingin meminta secara baik-baik kepada orang yang punya.
Tetapi karena di tempat itu tidak ada siapa-siapa, dan karena sudah sangat
lapar, maka ia segera memakan ikan rebus itu sampai habis.
“Nanti aku akan minta maaf pada orang yang punya ikan ini!” pikir Ranti. Ia
nantinya rela bekerja untuk orang yang punya ikan sebagai ganti makanannya
itu.
Setelah selesai mencuci tangannya, Ranti membalikkan badan lalu menatap ke
arah Barna.
“Bajingan, kau telah menghabiskan ikan rebusku!” bentak Si Cakar Rajawali
marah.
“Maafkan aku, tuan. Aku sangat kelaparan tadi,” ujar Ranti hati-hati.
Melihat gadis di hadapannya sangat cantik, Barna menjadi berubah sikap.
Tadinya ia sudah memutuskan akan menghajar siapa pun yang telah mencuri
ikannya tanpa perduli apapun alasannya.
Sekarang melihat Ranti sangat cantik dan masih sangat muda pula, timbullah
niat busuk di hati si Cakar Rajawali. Ia ingin memperalat kesalahan gadis
itu untuk menuruti kemauannya.
“Tak kusangka maling ikanku seorang gadis yang sangat cantik. Rupanya kau
tersesat ke tempat ini, nona manis.”
“Ya, tuan. Saya sangat berterima kasih atas kebaikan tuan. Aku tak tahu
harus bagaimana membalas budi baik tuan.”
“Ah, tidak apa. Orang yang lapar memang perlu makan. Orang yang haus perlu
minum. Tapi sebagai seorang pengembara dan sebagai pendekar yang ksatria,
kau pun tentunya tahu membalas budi baik orang, nona.”
“Ya, saya sangat berterima kasih pada tuan. Apakah yang harus kulakukan
untuk membalas kebaikanmu ini?”
“Mudah saja, Nona. Seperti yang saya katakan tadi, orang lapar perlu makan
dan orang haus perlu minum. Demikian juga orang kesepian perlu ditemani dan
dihibur.”
“Apa maksudmu?” tanya Ranti sambil mengernyitkan alis matanya.
“Maksudku, kau harus menemani aku tidur nanti malam. Tidak susah, bukan?
Aku sudah sangat lama tidak bertemu dengan gadis apalagi yang sangat cantik
seperti dirimu.”
Mendengar ucapan lelaki itu, menjadi merah padamlah wajah Ranti. Perasaan
kewanitaannya sangat tersinggung.
Ia memang berhutang budi terhadap lelaki di hadapannya itu, karena telah
menghabiskan ikan rebusnya. Tetapi apakah ikan rebus seperti itu harus
dibayar dengan kehormatannya sebagai seorang gadis?
Sampai mati pun dan demi apapun, Ranti tidak akan sudi. Ia memilih lebih
baik mati daripada harus disuruh membayar ikan dengan kehormatannya.
Maka Ranti pun segera meloncat ke hadapan si Cakar Rajawali. Sikapnya
sekarang tampak sangat beringas.
Matanya mencorong tajam dan merah bagaikan memancarkan api.
“Kau keterlaluan! Aku memang bersalah karena telah menghabiskan ikan
rebusmu. Tetapi jangan kira aku mau membayarnya dengan kehormatanku. Akan
kucabut nyawamu kalau berani berkata seperti itu lagi.”
“Ah, nona cantik yang sangat galak! Kau tambah cantik saja kalau sedang
marah. Mengapa kau menolak maksud baikku? Apa salahnya kita tidur
bersama-sama hanya untuk satu malam saja?”
Ranti makin marah. Membayangkan tidur bersama Parmin saja selama ini belum
pernah. Apalagi tidur bersama lelaki yang baru dikenalnya itu.
“Dasar lelaki bajingan. Kalau abangku si Jaka Sembung tahu kau berani
kurang ajar padaku, mulutmu itu tentu akan dirobek-robek!” bentak Ranti.
Karena sangat marah dan tadi sempat teringat kepada Parmin, tanpa sengaja ia
menyebut nama lelaki itu.
Dan rupanya kata ‘Jaka Sembung’ yang keluar dari mulut Ranti benar-benar
membuat sikap si Cakar Rajawali berubah. Wajahnya merah padam, kumisnya
tegak dan bergerak-gerak kaku. Kalau tadi sinar matanya memancarkan nafsu
birahi, maka kini nafsu yang terpancar dari matanya adalah nafsu membunuh
yang tampaknya tak bisa dicegah lagi.
***
Emoticon