“Tar...! Tar...! Tar...!” Suara lecutan cambuk menghantam tubuh gadis itu,
terdengar nyaring dan sambung-menyambung. Terdengar pula jerit dan rintih
kesakitan. Beberapa pasang mata menatap dengan buas, sementara puluhan
lainnya menyaksikan dengan airmata berlinang-linang.
Roijah! Gadis berusia muda itu sedang menerima hukuman berupa siksaan.
Tubuhnya hampir telanjang, karena seluruh pakaiannya telah sobek. Begitu
juga kulit tubuhnya akibat kerasnya cambukan yang menerpa dirinya.
Darah segar menetes, bahkan di beberapa bagian tubuhnya bercucuran,
membasahi bumi persada. Tanah di sekelilingnya merah dan basah, seperti
sedang melukiskan sejarah yang kelak akan turun-temurun.
Perlahan kepala gadis itu terkulai lemas. Rambutnya yang hitam panjang
terurai menutupi sebagian wajahnya. Kedua kelopak matanya pun tertutup. Lalu
ia tak ingat apa-apa lagi.
Di desa Kandang Haur, kejadian seperti itu bukanlah hal yang aneh bagi
penduduk. Tentara kumpeni Belanda tampaknya menerapkan sistim hukum rimba,
di mana setiap orang, terutama para pendekar yang dianggap pembangkang
disiksa habis-habisan.
Tragisnya lagi, penyiksaan itu sengaja dilakukan di depan umum dengan
maksud sebagai peringatan kepada penduduk lainnya agar tidak membangkang.
Roijah telah cukup lama dikenal sebagai pendekar yang memiliki sifat
kesatria yang patut ditiru. Selain ramah tamah, ia juga selalu ringan tangan
memberikan pertolongan bagi orang yang sedang kesusahan.
Hampir semua penduduk Kandang Haur merasa simpati padanya. Namun
sebaliknya, Kumpeni Belanda menganggapnya musuh yang harus dilenyapkan.
Sepak terjangnya selama ini telah membuat penjajah kalang kabut.
Gadis itu bagaikan siluman saja masuk ke loji musuh, lalu mencuri
perbekalan tentara Belanda, seperti beras, ikan, bahkan uang dan perhiasan
emas. Demikian lihainya gadis itu, sehingga selama ini ia selalu lolos dari
sergapan musuh.
Di kalangan pasukan Residen Cirebon yang dipimpin oleh Leonard Van Eisen,
gadis itu dijuluki “Bajing Ireng” yang dapat diartikan sebagai maling yang
menyerupai seekor Tupai berbulu hitam, karena pakaian Bajing Ireng memang
serba hitam.
Roijah adalah putri Kepala Desa Kandang Haur, Bek Marto. Usia gadis itu
baru sekitar duapuluh tahun. Rambutnya yang hitam legam dan agak
bergelombang dibiarkan jatuh terurai sampai ke pinggul.
Wajahnya mulus dengan raut wajah yang bulat telor. Hidungnya agak mancung,
bibirnya merah merekah dan jika mengulum senyum kelihatan seperti bunga
mawar yang sedang mekar. Sepasang matanya bening dan selalu bersinar-sinar.
Alis matanya lentik dan tebal menandakan ia seorang yang berpendirian
kokoh.
Seperti kata pepatah, sepandai-pandai tupai melompat, sekali-sekali pasti
jatuh juga. Demikianlah nasib putri Kepala Desa itu. Dalam persembunyiannya,
ketika hari masih pagi, ia dikepung puluhan pasukan Residen.
Roijah melarikan diri sampai ke hutan di belakang desa. Namun pasukan musuh
kali ini rupanya tidak mau bertindak tanggung-tanggung.
Ke mana pun ia melarikan diri, pasukan lawan telah menghadang. Dan
akhirnya, setelah merobohkan beberapa orang pasukan penjajah, Roijah dapat
diringkus. Kedua tangan Roijah segera diikat ke belakang.
“Bawa pemberontak itu ke alun-alun!” perintah pemimpin pasukan itu.
Dalam keadaan tak berdaya, Roijah dilemparkan ke dalam kereta kuda beroda
dua. Kereta kuda yang biasanya digunakan untuk mengangkut barang-barang itu
kemudian digiring ke alun-alun pasar Kandang Haur.
“Hei, minggir! Semua minggir!” teriak pasukan itu sambil mengayun-ayunkan
senjatanya.
Penduduk menjadi ketakutan dan segera menyingkir.
“Hei, kalian semua! Dengar dan perhatian baik-baik siapa perempuan di dalam
gerobak ini. Dia menjadi contoh buat kalian bahwa siapa saja yang coba-coba
membangkang atau memberontak akan mengalami nasib seperti dia!”
Mengetahui wanita yang baru tertangkap itu adalah Roijah, penduduk menjadi
terkejut. Mereka berhamburan keluar rumah ingin menyaksikan keadaan gadis
itu. Namun tak ada yang berani mendekat karena takut melihat kebengisan
pasukan pemerintah.
“Kasihan....... Roijah ditangkap,” kata seorang lelaki setengah baya.
Kaum ibu-ibu di desa Kandang Haur bahkan tak sedikit yang menitikkan air
mata, karena mereka sudah bisa membayangkan hukuman apa yang bakal menimpa
Roijah. Orang yang tak bersalah saja sering disiksa apalagi yang dituduh
bersalah.
Suara derap langkah kuda terdengar jelas, karena keadaan sangat sepi. Tak
ada penduduk yang berani bicara keras-keras, sehingga yang kadang-kadang
terdengar hanya suara bisikan dan isak tangis.
Tak lama kemudian, gerobak kuda itu pun sampai di alun-alun pasar. Dari
jarak sekitar sepuluh meter, penduduk bergerombol ingin menyaksikan hukuman
yang akan diterima Roijah.
Di antara kerumunan penduduk itu, ada seorang gadis yang kira-kira berusia
jauh lebih muda dari Roijah. Gadis itu pun cantik jelita. Rambutnya yang
cukup panjang dikuncir ke belakang, Sinar matanya pun tampak selalu
bersinar-sinar.
Ia mengenakan baju kurung dengan dada agak terbuka, dan mengenakan celana
panjang setengah betis. Di punggungnya tergantung sebilah pedang bermata
dua. Tak salah lagi, ia pastilah seorang pendekar muda yang memiliki ilmu
yang cukup tinggi. Namun melihat gerak-geriknya dapatlah diterka bahwa ia
bukan warga desa Kandang Haur.
Siapakah sebenarnya pendekar wanita itu? Dia adalah Ranti, putri angkat
raja rampok Gembong Wungu dari desa Perbutulan, yang jaraknya berpuluh-puluh
kilo meter dari desa Kandang Haur.
Tak ada yang tahu maksud kedatangan gadis itu. Bahkan kehadirannya pun
kurang diperhatikan, karena mata penduduk desa Kandang Haur selalu tertuju
kepada Roijah.
“Siapakah dia, pak? Kenapa dia sampai digiring Kumpeni Belanda? Apa
salahnya?” tanya Ranti kepada lelaki di sampingnya.
“Dia adalah Roijah, anak Bek Marto kepala desa di sini. Ayah dan anak itu
dituduh pemberontak oleh pemerintah.”
“Pemberontak?”
“Ya. Ayahnya dituduh pemberontak karena tidak mau bekerja sama dengan
Belanda. Sedang putrinya ini sering mencuri beras dari gudang tuan tanah Van
Eisen. Tapi ia mencurinya untuk dibagikan kepada penduduk.
“Keduanya sangat baik. Ah...... beberapa waktu lalu Bek Marto ditembak mati
di alun-alun pasar ini. Sekarang Roijah tentu akan menyusul. Sungguh malang
nasib pendekar itu, ya Tuhan!”
Mendengar penjelasan lelaki itu, makin terkejutlah Ranti. Roijah, bisik
hatinya. Kalau begitu inilah orang yang kucari-cari, kekasih Parmin.
Ternyata Roijah adalah seorang pendekar sejati. Semua penduduk di desa ini
menangisi nasibnya, karena sebentar lagi ia akan ditembak.
Pada waktu lalu, Parmin yang dijuluki pendekar Jaka Sembung itu telah
menceritakan tentang kekasihnya ini kepada Ranti.
Pemuda itu secara halus menolak kehadiran Ranti di sisinya, sebab ia sudah
terikat janji dengan Roijah. Seperti diceritakan pada awal kisah ini, Ranti
adalah putri kandung guru silat desa Perbutulan, yakni Gagak Ciremai.
Namun ketika ia masih kecil, ayahnya dibunuh Gembong Wungu yang kemudian
memungut Ranti sebagai anak angkat. Sepak terjang pendekar bermata satu
Gembong Wungu kemudian sangat sadis dan brutal.
Tetapi kemudian, Ranti dendam pada ayah angkatnya itu, terutama setelah ibu
kandungnya yang muncul tiba-tiba tewas di ujung golok Gembong Wungu. Pada
saat itulah Parmin muncul, bahkan kemudian dapat merobohkan raja rampok itu
berkat bantuan monyet-monyet di hutan 'Plangon' tak jauh dari desa
Perbutulan.
Tanpa disadari, Ranti kemudian menaruh hati kepada Parmin, namun cintanya
bertepuk sebelah tangan. Ranti sangat terpukul. Juga penasaran.
Ia ingin tahu gadis seperti apa sebenarnya kekasih Parmin itu. Maka ia pun
berangkat ke desa Kandang Haur. Tepat ketika ia tiba di desa itu, ia melihat
Roijah sedang digiring ke tempat penyiksaan di alun-alun pasar Kandang
Haur.
Putri kepala desa itu kini diseret ke tengah alun-alun. Di situ telah
disediakan pancangan kayu yang mirip gawang setinggi sekitar satu meter.
Tali yang mengikat kedua tangan pendekar wanita berkebaya kembang-kembang
itu dibuka, lalu diikatkan ke masing-masing sudut pancang kayu itu.
Roijah terlihat setengah jongkok di bawah tatapan mata cemas para penduduk.
Salah seorang tukang pukul pemerintah Kumpeni tampil ke depan. Ia mengambil
selembar surat kemudian membacakannya dengan suara keras-keras.
“Saudara-saudara sekalian.
Hari ini kalian kembali menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap seorang
pemberontak di desa ini. Kalian dengarkan, perempuan ini adalah seorang
pemberontak yang bersekongkol dengan ayahnya. Oleh karena itu, atas nama dan
kuasa Residen Cirebon, hari ini ia akan dijatuhi hukuman.
Selain itu, ia ternyata adalah si Bajing Ireng, maling besar yang telah
menghabiskan berpuluh kuintal beras dari gudang penggilingan tuan Van Eisen
di Kandang Haur. Ini akan menjadi contoh buat kalian. Sekali lagi
kuperingatkan, jangan coba-coba menentang pemerintah kalau tak ingin
nasibnya seperti ini.”
Penduduk menahan nafas. Sebagian di antaranya memalingkan muka karena
merasa tak tahan menyaksikan hukuman yang bakal dijatuhkan kepada
Roijah.
“Cambuk dia!” perintah kepala tukang pukul itu.
Seorang algojo segera mengayunkan cambuknya berulangkali ke tubuh
Roijah.
Ya, Allah...... kuatkanlah hambamu menahan siksaan ini, sampai ajalku tiba.
Parmin...... oh, kasihku. Selamat tinggal. Oh, Tuhan ampunilah segala
dosaku……. bisik hati gadis itu dengan airmata berlinang-linang.
“Kurang ajar! Biadab!” Tiba-tiba Ratih berkata tanpa sadar.
Ia sungguh sangat benci dan geram melihat kekejaman pemerintah Kumpeni
Belanda, ia ingin menebas batang leher algojo itu hingga putus. Tetapi ia
masih bisa berfikir dengan tenang, karena bagaimana pun juga, ia tidak boleh
bertindak sembrono dalam keadaan seperti itu.
Apalagi karena pasukan pemerintah Belanda diperlengkapi bedil. Ia tak
mungkin bisa berbuat apa-apa. Bahkan jika berani melawan, ia pasti mati
konyol.
Setelah Roijah jatuh tak sadarkan diri, tubuhnya kemudian di lemparkan ke
dalam gerobak kuda.
“Bawa dia!” teriak kepala tukang pukul itu.
Ranti menjadi semakin cemas. Mau dibawa ke mana dia? Tanya hatinya
was-was.
Ia mencoba membuntuti dari belakang, tetapi hanya sampai di sekitar
alun-alun saja, karena gerobak dan pasukan Kumpeni Belanda menuju ke arah
loji. Tak seorang penduduk pun di perbolehkan mendekat.
Dengan langkah lesu, Ranti meninggalkan tempat itu. Perutnya mulai terasa
lapar. Maka ia segera mampir ke salah satu warung makan di sekitar alun-alun
pasar. Di warung itu, Ranti kembali mendengarkan pembicaraan hangat para
pengunjung warung itu mengenai ditangkapnya Roijah.
Sehingga Ranti semakin sadar bahwa Roijah merupakan tokoh yang sangat
dikagumi sekaligus dikasihi penduduk desa Kandang Haur. Perlahan-lahan,
matahari mulai condong ke barat. Bahkan kini telah tenggelam di ufuk
barat.
***
Hari mulai malam. Beringsut-ingsut hingga tengah malam. Para centeng di
desa itu memukul besi bulat sebagai ganti lonceng sebanyak duabelas kali,
terdengar dari arah gudang penggilingan milik Van Eisen. Suara itu bergema
sampai ke pelosok desa.
Ranti sudah berbaring, tetapi belum pulas. Gadis itu kini tidur di kandang
kerbau, di belakang rumah salah seorang penduduk di desa itu.
Gadis itu menumpuk jemari dan menjadikannya alas tidur, tanpa selimut. Bau
tak sedap kotoran kerbau menusuk hidung dan sesekali terdengar pula lenguh
kerbau itu.
Tetapi bukan keadaan yang kurang menyenangkan itu yang membuat Ranti tak
bisa memejamkan mata. Ia kini teringat pada Roijah. Ya, Roijah.
Bagaimanakah nasib gadis itu sekarang? tanya hati Ranti. Ia mengetahui
Roijah dipenjarakan di dekat gudang penggilingan beras milik Van Eisen.
Tetapi ia juga menyadari bahwa penjagaan di tempat itu sangat ketat dan
rapat.
Diam-diam Ranti merasa bimbang juga, bahkan khawatir tidak bisa menerobos
masuk gudang tanpa diketahui penjaga. Sambil menghela nafas dalam-dalam,
Ranti duduk bersandar pada tiang kandang kerbau itu. Ia memutar otak mencari
akal untuk bisa masuk ke ruang penjara Roijah.
Sejak kecil, Ranti memang sudah digembleng mempelajari berbagai ilmu silat
dari ayah angkatnya Gembong Wungu. Hampir semua ilmu raja rampok itu telah
dipelajarinya.
Tetapi karena selama ini ia belum pernah bertarung dengan musuh, ia
khawatir nantinya malah jadi gugup apalagi menghadapi musuh dalam jumlah
banyak. Tidak mengherankan jika Ranti merasa demikian.
Bagaimana pun juga, sikap Gembong Wungu dalam mengasuh dan membesarkannya
tentulah sangat berpengaruh bagi perkembangan jiwanya. Selama ini Ranti
selalu dimanjakan Gembong Wungu dan apa saja kemauannya selalu
dipenuhi.
Penduduk yang sebagian besar adalah perampok di desa Perbutulan tak ada
yang berani macam-macam terhadap gadis itu. Bahkan untuk menggodanya pun tak
ada yang berani.
Padahal sebagai gadis remaja yang cantik jelita tentulah banyak yang
tertarik atau menaruh hati pada Ranti. Jika misalnya ada yang bersikap
menjengkelkan, Ranti segera saja memberitahukannya kepada Gembong
Wungu.
Biasanya tanpa bertanya lebih dulu, Gembong Wungu langsung saja menghukum
orang tersebut, bahkan jika sudah kalap, raja rampok itu tak segan-segan
menghabisi nyawa orang yang berbuat tak baik kepada Ranti.
Aneh memang! Gembong Wungu yang selalu bersikap kejam dan sadis di luaran
senantiasa bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepada Ranti. Maka setelah
hidup menyendiri sekarang, Ranti memiliki sifat yang agak kurang percaya
pada diri sendiri.
Ketika sedang termenung dan berpikir-pikir dalam kebimbangan, tiba-tiba
terdengar suara irama seruling diiringi petikan gitar. Kombinasi kedua alat
musik itu terdengar sangat serasi, merdu dan mendayu-dayu. Sepinya malam
seperti tertegun oleh alunan irama itu.
Rupanya dua pemuda pemusik jalanan yang menamakan dirinya sebagai “Group
Tarling” iseng-iseng muncul di desa Kandang Haur. Sejenak, alunan nada yang
mereka bawakan dengan penuh perasaan menciptakan suasana romantis, sekaligus
keresahan terutama bagi gadis-gadis desa.
Hal itu karena lirik lagu yang diperdengarkan, biar agak lucu namun dapat
mengungkapkan kegelisahan bagi wanita yang sedang patah hati. Beberapa gadis
yang kebetulan sulit memejamkan mata segera membuka pintu rumah, begitu juga
warga lainnya ingin menyaksikan tontonan “Tarling” itu.
Ranti pun merasa tertarik, sehingga pikirannya terpusat pada nyanyian dan
musik kedua lelaki itu. Suara gitar dan seruling yang sangat merdu.
Siapakah gerangan orang itu? tanya hatinya.
Mendengar suara merdu seruling itu, Ranti jadi teringat kepada Parmin. Ya,
Parmin pun sangat mahir dan suka meniup seruling dengan nada yang
mendayu-dayu, sambil duduk menyendiri.
Ranti masih ingat, suatu malam ketika ia dan Parmin akan berpisah. Malam
itu, Parmin meniup seruling mengalunkan nada-nada rindu dan cinta asmara
yang tertahan. Dengan perasaan tak menentu, Ranti menghampiri pemuda
itu.
Dengan berbagai cara, Ranti mencoba membujuk Parmin agar mau tinggal di
desa Perbutulan, sedikitnya dalam beberapa hari saja. Namun dengan tegas
dikatakan oleh pemuda itu bahwa ia harus segera berangkat, untuk menghubungi
para pendekar di seluruh lereng gunung Ciremai untuk bersatu mengusir
penjajah dari bumi tercinta.
Sebagai seorang gadis, Ranti merasa kikuk juga mengungkapkan isi hatinya.
Tetapi karena perasaan itu tak bisa ditahan-tahan lagi, ia akhirnya
mengatakannya. Suaranya tersendat-sendat dan bibirnya gemetaran saat
menyatakan cinta kepada Parmin.
Dan apa yang dikatakan Parmin, kemudian meluluh-lantakkan harapan Ranti.
Parmin ternyata telah punya pilihan lain yakni Roijah yang kini sedang
dipenjarakan Kumpeni Belanda. Ah, Parmin. Parmin! bisik hati Ranti
sedih.
Gadis itu kemudian tersentak mendengar suara pemusik jalanan itu,
menyanyikan sebuah lagu yang seolah-olah ditujukan padanya.
“Kucing kurus mandi di kali,
Tidak tahu sang tikus geli tertawa,
Badan kurus memikirkan si jantung hati,
Karena si dia tak mau membalas cinta!”
Mendengar lirik lagu yang jenaka itu ditambah permainan musik yang sangat
merdu, maka makin banyak juga penduduk yang keluar rumah sekadar menghibur
hati, karena seharian bekerja keras ditambah lagi tekanan bathin oleh
perlakuan pemerintah Kumpeni Belanda yang kurang manusiawi.
Setelah berjoget dan berjingkrak-jingkrak sebentar, Parto anggota grup
pemusik jalanan itu kembali melantunkan lirik lagu yang jenaka.
“Jauh-jauh bangau datang mencari ikan di rawa,
Jauh-jauh adinda datang karena hati memendam cin...... trong!”
Kurang ajar! maki Ranti di dalam hati, karena merasa tersindir. Saking
geramnya, gadis itu memukul tiang kandang kerbau hingga nyaris patah.
Sementara itu, centeng-centeng Van Eisen juga sangat tertarik mendengar
lagu-lagu pemusik jalanan itu. Mereka menjadi lalai akan tugasnya, lalu ikut
nimbrung bersama penduduk menyaksikan penampilan Parto dan kawannya.
Ranti menjadi girang menyaksikannya. Ia segera bangkit dan keluar dari
kandang kerbau. Dara yang tangkas itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan
baik itu.
Dengan gerakan yang sangat ringan sehingga tidak menimbulkan suara
mencurigakan, Ranti meloncat ke dekat kamar tahanan itu. Hm, inilah
tempatnya, aku akan segera memasukinya. Kata hati Ranti tanpa ragu-ragu
lagi.
Tetapi manakala ia menyaksikan gembok besar yang mengunci pintu tahanan
itu, ia pun merasa ragu lagi. Ranti sempat bingung bagaimana caranya membuka
gembok besar itu.
Ah, dengan pedang bermata dua hadiah almarhum ayahnya Gagak Ciremai, ia
tentu bisa mematahkan gembok yang terbuat dari kuningan itu. Ia tahu bahwa
pedang itu terbuat dari baja pilihan, namun selama ini ia belum pernah
menggunakannya.
Sekaranglah saat terbaik untuk menguji kemampuan pedang itu. Maka Ranti pun
segera mencabut pedang itu dari sarungnya, sehingga tampak cahaya berkilauan
di gelapan malam. Tetapi ketika ia hendak mengayunkan tenaga melalui ujung
senjatanya untuk membabat gembok itu, tiba-tiba ia ragu. Bahkan merasa
dirinya sangat bodoh.
Alangkah bodohnya kau! Untuk apa kau datang jauh-jauh dari lereng Ciremai
ke Kandang Haur? Hanya untuk mengemis cinta dan meminta belas kasihan
Roijah? Mengapa pula kau hendak membebaskan Roijah? Kenapa tak kau biarkan
dia disiksa Kumpeni Belanda sampai mampus?
Kata-kata itu seperti terngiang-ngiang di telinga Ranti, sehingga untuk
beberapa saat, gadis itu hanya diam terpaku bagaikan patung.
Ya, memang benar! Jika ia membebaskan Roijah dari penjara Belanda, maka tak
mungkin lagi baginya untuk hidup berdampingan dengan Parmin. Sebab rasanya
tak mungkin Parmin mau mengingkari janjinya kepada Roijah.
Sebaliknya, jika ia membiarkan Roijah terbelenggu di penjara, besar sekali
kemungkinan gadis itu akan disiksa untuk kemudian di hukum mati. Jika itu
terjadi, terbukalah peluang bagi Ranti mendekati Parmin.
Tetapi...... ah, hati kecil Ranti benar-benar tidak setuju. Itu bukan sikap
seorang kesatria, melainkan sikap seorang pengecut busuk. Apalagi jika ia
teringat pesan almarhum ibunya sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir,
yang memintanya untuk mengabdi pada sesama manusia, terutama yang sedang
kesusahan.
Saat itu ibu Ranti bertarung habis-habisan dengan Gembong Wungu di Cadas
Kuriling. Keadaan ibu Ranti waktu itu sangat memprihatinkan, tak ubahnya
orang gila atau gelandangan. Tidaklah aneh, sebab selama limabelas tahun
wanita tua itu hidup menyendiri di lembah dedemit sambil memperdalam ilmu
silatnya.
Namun ketika membalaskan dendam atas kematian suaminya, ia tewas di ujung
golok Gembong Wungu. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Ranti masih
sempat memeluk tubuh ibunya yang berlumuran darah.
Saat itulah ibunya berpesan agar Ranti mengabdi kepada kemanusiaan,
mengamalkan ilmunya untuk kebajikan. Sekarang, melihat Roijah dipenjara dan
akan dihukum mati, apakah ia masih harus membiarkannya?
Lalu di mana rasa kemanusiaannya dan di mana sifat kependekarannya? Apakah
ilmunya hanya untuk berbuat kejahatan seperti yang dilakukan ayah angkatnya
Gembong Wungu? Oh, tidak! Tidak! Ranti tidak ingin seperti raja rampok
itu.
Ia harus menyelamatkan Roijah, harus membebaskannya dari penjara Kumpeni.
Maka sambil mengerahkan tenaga dalamnya, Ranti mengayunkan senjatanya
membabat gembok penjara itu.
“Trak!” Gembok itu pun putus seketika. Tanpa menunggu lebih lama lagi,
Ranti segera masuk ke ruangan itu.
Di dalam ruangan itu, tubuh Roijah tertelungkup lemah di atas lantai.
Bagian punggungnya yang tak ditutupi pakaian lagi tampak penuh luka-luka
bekas cambukan.
Oh, kasihan betul dia, bisik hati Ranti sambil berjalan berjingkat-jingkat
mendekati tubuh Roijah. Ranti menyentuh pundak Roijah, lalu
menggoyang-goyangnya dengan pelan.
“Kak Roijah......?” bisiknya. Tetapi Roijah tidak menyahut.
Dengan nafasnya terdengar sangat pelan. Mungkin gadis itu sedang dalam
keadaan masih pingsan. “Aku akan membebaskanmu,” bisik Ranti.
Dipanggulnya tubuh Roijah di atas pundak sebelah kiri. Setelah itu, ia
meloncat keluar dari ruangan penjara.
Tatkala Ranti sedang berlari keluar ruang penjara sambil memanggul tubuh
Roijah, seorang centeng berjalan ke arah ruangan penjara. Agaknya, lelaki
itu sangat terhibur oleh kehadiran pemusik jalanan group “Tarling”
itu.
Centeng penjaga gudang Van Eisen itupun bernyanyi-nyanyi dengan nada
jenaka, menirukan gaya kedua pemusik jalanan itu.
“Pohon angker pohon beringin,
lebih tinggi pohon kelapa.
Malam ini begitu dingin,
lebih enak tidur sama janda.”
Tiba-tiba nyanyian centeng itu terhenti, karena ia melihat bayangan
berkelebat melarikan diri dari alah penjara.
“Hei, berhenti kau monyet! Siapa kau, hah?” bentaknya sambil berlari
mengejar bayangan itu.
Ranti menjadi terkejut dan cemas setelah menyadari bahwa perbuatannya telah
diketahui musuh. Sambil mengerahkan segenap tenaganya, gadis itu melarikan
diri sekencang-kencangnya.
Tetapi centeng itu pun rupanya memiliki ilmu yang cukup lumayan. Dalam
waktu yang tidak terlalu lama, ia berhasil mengejar Ranti.
Tak ada lagi pilihan lain bagi Ranti. Sambil memanggul tubuh Roijah, ia
mencabut pedangnya. Secepat kilat mengayunkannya ke arah kepala centeng
itu.
Sebelum sempat mencabut senjatanya, centeng itu tertegun menyaksikan cahaya
putih menyambar ke arah kepalanya. Ia hendak mengelak, namun tak sempat
lagi. Tiba-tiba sekujur tubuhnya gemetaran, dan kepalanya terasa
pedih.
Disertai suara jerit panjang, tubuh centeng itu ambruk dan terkapar di
tanah dengan kepala hampir terbelah dua, terkena sabetan pedang di tangan
Ranti.
“Mampus kau, tikus busuk!” maki Ranti lalu kembali melarikan diri. Namun
sebelum berhasil lari jauh, ia sudah dikepung para penjaga lainnya.
Rupanya suara jeritan tadi terdengar oleh para penjaga, lalu berlarian ke
arah suara itu. Alangkah terkejutnya mereka menyaksikan di bawah sinar
rembulan yang sedang terang benderang seorang gadis berusaha melarikan diri
sambil memanggul seorang wanita.
“Kawan-kawan, hati-hati menghadapi singa betina ini. Lihat, ia telah
membunuh si Bagor teman kita. Ha-ha-ha, ternyata cantik juga setan betina
ini, kawan-kawan. Tapi dia berani menantang jago-jago Kandang Haur,
seolah-olah menganggap kita hanya seperti tauco. Buat menghadapi dia cukup
ku keluarkan ilmu ‘Deprok Menjangan ini’,” kata si Punuk sambil
tertawa-tawa.
Kepungan pun makin diperketat. Para jagoan itu menghunus golok dan
bersiap-siap menyerang Ranti dari segala penjuru. Apa boleh buat, daripada
menyerah lebih baik mati bersimbah darah dengan cara kesatria.
Maka Ranti lebih dulu memulai serangan. Tidak tanggung-tanggung. Serangan
yang dikeluarkannya sangat cepat dan mematikan.
Gadis itu memang telah memutuskan, sekali menyerang sedikitnya harus bisa
menjatuhkan seorang lawan. Sinar senjatanya yang bermata dua berkelebatan ke
sana ke mari.
“Mampus kau anjing-anjing Kumpeni!” bentaknya.
Dalam beberapa gebrakan, goloknya berhasil membabat tiga-empat orang musuh.
Para centeng itu menjadi terkejut.
Mereka baru sadar bahwa gadis itu yang dihadapi sekarang ini bukanlah orang
sembarangan. Mereka tidak boleh anggap remeh, karena salah-salah bisa jadi
nyawa mereka yang melayang.
“Bangsat! Rupanya kau boleh juga, setan betina! Kawan-kawan, hati-hati, ia
memiliki ilmu siluman. Kepung rapat-rapat dan serang serentak dari segala
penjuru. Modar kau, setan betina......” teriak si Punuk sambil melancarkan
serangan mautnya.
Pada dasarnya, Ranti sebenarnya sudah memiliki ilmu silat yang sangat
tinggi, bahkan boleh dikatakan ilmu yang dikuasainya jarang bisa ditandingi
ilmu lainnya. Tidak percuma hampir selama limabelas tahun tokoh sesat
Gembong Wungu yang memiliki kesaktian yang sangat tinggi menggemblengnya
dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi karena Ranti masih sangat muda dan pengalamannya pun boleh
dikatakan masih sangat dangkal, ia merasa kewalahan juga menghadapi lawan
yang sedemikian banyaknya. Apalagi saat ini ia harus selalu menjaga
keselamatan Roijah agar jangan sampai terkena serangan lawan.
Di samping itu, berat tubuh Roijah juga sangat mempengaruhi kelincahannya.
Seandainya ia bertarung tanpa memanggul orang, barangkali ia tidak akan
secepat itu terdesak
Makin lama, perlawanan Ranti semakin lemah. Bahkan kini ia tak punya
kesempatan lagi untuk memberikan serangan balasan, karena serangan
bertubi-tubi dari gerombolan musuh. Hanya karena semangatnya yang
menggebu-gebu saja ia masih bisa bertahan.
“Sebaiknya kau menyerah, nona cantik. Kau akan kujadikan gundikku yang
kesepuluh dan kau akan merasakan nikmatnya tidur bersamaku,” kata si Punuk
sambil tertawa terkekeh-kekeh.
“Diam kau, monyet! Lebih baik mati daripada menyerah di hadapanmu!” bentak
Ranti geram.
Gadis tangkas itu menerjang si Punuk dengan serangan mautnya. Sementara
kaki kirinya menyambar dengan dahsyat mengarah ke pusar si Punuk.
Jurus itu adalah salah satu dari sekian puluh macam jurus mematikan yang
diajarkan si mata satu Gembong Wungu kepada Ranti, yaitu bagian dari ilmu
“Dewa Banyu Nitis”, jurus “Angin Beliung”. Jurus itu pada dasarnya bertitik
pusat pada senjata di tangan yang sengaja diarahkan kepada bagian-bagian
tubuh yang sangat penting di tubuh lawan. Dan untuk lebih memperkuat
serangan, Ranti mengayunkan kaki kirinya dengan maksud perhatian lawan
terpecah.
Sama seperti namanya “Angin Beliung”, pedang di tangan Rantipun diputar
cepat sekali sehingga kelihatan seolah-oleh jadi banyak sekali.
Di samping itu, Ranti pun mengerahkan tenaga dalam sehingga putaran
senjatanya menimbulkan putaran angin beliung.
Sayang tenaga dalam Ranti belum mencapai kesempurnaan dan keadaan saat ini
juga kurang menguntungkan karena berat tubuh Roijah, sehingga serangannya
tidak bisa dilancarkan secara sempurna.
Seandainya almarhum Gembong Wungu misalnya yang mengeluarkan jurus itu,
besar sekali kemungkinan para centeng Van Eisen itu sudah terjungkal hanya
karena putaran angin beliung yang tercipta dari jurus maut itu.
Dengan gerakan yang cepat, si Punuk menggeser tubuhnya ke sebelah kanan,
sehingga tendangan kaki kiri Ranti tidak mengenai sasaran.
Namun pada saat yang bersamaan, pedang Ranti menyambar ke arah lehernya.
Sambil berseru kaget karena tak mengira akan diserang seperti itu, si Punuk
mengangkat goloknya menangkis serangan lawan.
“Trang......!”
Kedua golok itu beradu keras, menimbulkan pijaran bunga api menandakan
betapa kuatnya pertemuan kedua senjata itu.
Tubuh Ranti sampai terjungkal, sedangkan tubuh si Punuk terlempar beberapa
meter ke belakang, menandakan tenaga dalam Ranti masih unggul dibandingkan
lawan.
Secepat kilat, Ranti bangkit kembali masih tetap dengan memanggul Roijah.
Namun baru saja berdiri, serangan lawan sudah datang bertubi-tubi.
Mungkin riwayat ku akan berakhir sampai di sini, bisik hati gadis itu
sedih. Betapa tidak, ia bukan hanya tidak berhasil menyelamatkan Roijah,
tetapi keselamatannya pun kini terancam.
Di saat-saat kritis itu, tiba-tiba muncul sesosok tubuh kecil dari dalam
semak-semak. Gadis itu masih kecil, usianya mungkin baru sekitar lima tahun.
Rambutnya dikepang dua ke samping, sehingga mirip tanduk kambing.
Ia mengenakan baju kembang-kembang sama dengan celana panjangnya. Sedangkan
di pinggangnya terlilitkan kain sarung yang membuatnya mirip badut. Di
pinggangnya diselipkan sebuah senjata ketepel.
Siapakah sebenarnya si 'Upik' itu? Pembaca tentu masih ingat akan seorang
gadis kecil yang menangis di tengah malam karena sangat lapar. Nah, itulah
dia si Kinong.
Cecunguk-cecunguk itu harus diberi pelajaran. Biar tahu rasa dulu mereka,
si Kinong bergumam geram. Kemudian ia memanggil ketapelnya dan mengarahkan
peluruhnya yang berupa batu-batu kecil itu ke arah para jagoan desa Kandang
Haur yang sedang mengeroyok Ranti.
Kinong ternyata sangat mahir menggunakan senjatanya. Peluru ketapelnya
secara beruntun menghantam bagian wajah, kepala dan tubuh para centeng lawan
Ranti.
“Aduh……!” si Punuk berterik kesakitan ketika sebuah batu kecil menghantam
mulutnya.
Teman-temannya yang lain juga mengalami nasib yang sama. Maka kalang kabut
jugalah komplotan centeng Tuan tanah Van Eisen karena serangan rahasia si
Kinong.
“Aduh, ada apa ini hah?” teriak si Punuk kesakitan.
“Ada setan menyerang dari semak-semak,” teriak temannya. Melihat para
pengeroyoknya kalang kabut, Ranti pun segera melarikan diri ke arah hutan
tak jauh dari tempat itu.
Tentu saja para centeng itu menjadi terkejut, melihat Ranti melarikan
diri.
“Hei, dia melarikan diri. Kejar dia! Ayo, jangan sampai lolos!” teriak si
Punuk dengan suara menggelegar.
“Tangkap!” teriak teman-temannya.
Ranti sengaja melarikan diri ke arah asal batu peluru ketapel si Kinong
barusan. Sebab sewaktu bertempur tadi, sekilas ia sempat melihat bayangan
tubuh gadis cilik itu di balik semak-semak. Siapakah gerangan anak kecil
itu? Kenapa ia membantu aku? tanya hati Ranti.
Diam-diam, gadis itu merasa bersyukur juga atas bantuan orang misterius
itu. Sebab tanpa bantuannya, entah apa yang bakal menimpa Ranti maupun
Roijah. Ranti memang memiliki ilmu tinggi, tetapi dalam keadaan seperti itu
tadi, sangat tipis harapannya untuk dapat meloloskan diri atau merobohkan
semua lawannya.
Ketika dahulu Gembong Wungu menggemblengnya, si raja rampok itu selalu
berpesan agar Ranti berusaha bersikap tenang biar dalam keadaan bagaimana
pun juga. Orang yang bersikap tenang, biasanya akan bisa menemukan jalan
keluar menghadapi kesulitannya.
Memang benarlah apa yang dikatakan Gembong Wungu. Dalam hidup ini, manusia
sering merasa gugup atau panik jika sedang menghadapi kesulitan. Karena rasa
gugup dan panik itu, pikiran orang bersangkutan pun menjadi kalut dan tidak
bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Akibatnya jalan keluar yang sebenarnya sudah berada di depan mata tidak
terlihat lagi olehnya. Sehingga kadang-kadang orang itu malah mengambil
jalan yang salah.
Agaknya Ranti pun kurang tenang tadi, sewaktu menghadapi lawan-lawannya.
Seharusnya jika pertarungan memang tidak bisa dielakkan lagi ia menurunkan
tubuh Roijah kemudian menerjang musuh dengan leluasa. Seandainya itu
dilakukan, hampir dapat dipastikan bahwa dalam waktu singkat ia akan dapat
merobohkan lawan-lawannya.
Emoticon