Jaka Sembung - Bajing Ireng Maling Budiman(2)
Karya Djair
Pertarungan mereka beralih menuju makam tua,
suatu kawasan kuburan yang sudah ditumbuhi semak-belukar.
Suatu kesempatan tiba-tiba pendekar botak itu melancarkan serangan dan
berhasil mengenai ulu hati Bajing Ireng.
“Aduh!” Bajing Ireng mengerang kesakitan. Tubuhnya melorot ke bawah tak
sanggup berdiri lagi. Bajing Ireng terkulai lemas dan bersandar pada batu
nisan salah satu makam tua di situ.
Seketika wajah Beruang Kuning berseri-seri melihat tubuh Bajing Ireng sudah
tergolek tak berdaya dan suara tawanya memecah dinginnya udara pagi saat
itu.
“Ha ha ha ha ha ha! Sekarang kau baru mengakui kehebatanku? Kau tak dapat
bergerak lagi dan semua orang tentu ingin tahu siapa sebenarnya Bajing
Ireng!” teriak Beruang Kuning alias Dewa Suci Penyebar Bala kepada para
penjaga gudang yang menghampirinya dengan berbondong- bondong.
“Tahukah kalian? Kalian kan penduduk desa ini, bukan…….? Tentu dapat
mengenali wajah yang tersembunyi di balik cadar hitam ini!” teriak Beruang
Kuning kepada para penjaga gudang yang berkerumun mengelilingi Bajing Ireng
yang sudah tak dapat berbuat apa-apa lagi.
“Tahukah kalian, berapa hadiah yang akan aku terima dari tuan Van Eisen,
ha? Lima kali lipat dari hadiah yang dijanjikan dalam sayembara itu!
Bukankah ini suatu keberuntungan yang sangat besar, bukan? Selanjutnya aku
akan hidup uncang-uncang kaki menikmati hadiah itu!” ujar Beruang Kuning
dengan kesombongan yang membuat iri para jago-jago pribumi bila
mendengarnya.
“Nah, cobalah kalian dekat kemari! Kita akan menyaksikan siapa sebenarnya
maling ini!” kata Beruang Kuning menghampiri Bajing Ireng yang terbujur
lemah tanpa daya dan menyerah kepada nasib.
Walaupun dengan sekuat hati Bajing Ireng mencoba untuk bergerak, tetap
seluruh persendian tubuhnya terasa lolos tak berfungsi lagi. Beruang Kuning
mengulurkan tangan untuk membuka cadar yang menutupi wajah Bajing
Ireng.
“Jangan sentuh aku, bangsat!” teriak Bajing Ireng dengan cemas.
“Ha ha ha ha ha! Tenang saja anak manis. Aku dapat berbuat apa saja
terhadap dirimu!” sahut Beruang Kuning semakin jumawa penuh
kesombongan.
Ketika tangan kekar itu hendak membetot cadar dari wajah Bajing Ireng
tiba-tiba sebuah batu melayang tepat mengenai tangannya, sehingga tangan
Beruang Kuning yang menjulur itu ditariknya kembali sambil meringis
kesakitan.
“Huh! Siapa yang berani kurang ajar kepadaku? Ayo. Tunjukkan
dirimu.......!” umpat Beruang Kuning bagai disengat lebah.
Dan seketika berdirilah sesosok tubuh tegap bertudung caping di hadapan
mereka. Orang itu melangkah dengan tenang mendekati Beruang Kuning yang
masih terperangah kagum dengan ilmu tenaga dalam yang dimiliki orang
itu.
Para penjaga gudang segera mengurung orang itu dengan golok terhunus.
Mereka telah memastikan bahwa siapapun yang datang membantu Bajing Ireng
berarti musuh yang harus disingkirkan pula. Parmin si pendekar bertudung
caping segera memberi peringatan.
“Jangan sentuh gadis itu! Pergilah kalian menyingkir!” katanya dengan nada
yang mantap dan berwibawa.
“Uh....... uhh! Siapa kau, he? Mengapa kau membokongku?! Kau telah berani
mencampuri urusanku! Siapa namamu, pemuda?” tanya Beruang Kuning sambil
terus memegangi tangannya yang melepuh biru akibat lemparan batu itu.
“Apalah arti sebuah nama? Nama bagiku tak begitu penting! Aku tekankan
sekali lagi kalau ingin selamat segeralah menyingkir dari sini! He,
pernahkah kau mendengar nama Syarif Hidayatullah?” tanya Parmin pada Beruang
Kuning alias Dewa Suci Penyebar Bala.
Dengan sekali kibas, senjata-senjata rahasia itu rontok
berpelantingan.
“Atau orang menyebutnya Sunan Gunung Jati. Beliau telah mempersunting
seorang putri dari negerimu! Hmm, oleh karena itu seharusnya kau tidak
menodai nilai-nilai persahabatan itu!” sambungnya tanpa merasa gentar
terhadap siapapun.
“Janganlah kau mengotori tanah Cirebon dengan segala ulahmu yang
memuakkan!!” lanjut Parmin mengusir pendekar dari Gurun Gobi dengan nada
keras dan menyakitkan.
Beruang Kuning merasa diremehkan oleh pemuda pribumi itu di hadapan para
penjaga gudang seorang tuan tanah Belanda yang saat ini menumpahkan harapan
kepadanya.
“Persetan dengan ocehanmu!!” teriak Beruang Kuning.
Lalu ia tiba-tiba berteriak sambil melontarkan senjata rahasianya ke arah
Parmin. Senjata rahasia itu meluncur begitu cepat sehingga tak terlihat oleh
pandangan mata biasa.
Melihat serangan yang dilontarkan oleh lawannya secara tak terduga, lalu
Parmin secepat kilat mencabut golok yang terselip di pinggangnya, dan
tiba-tiba “Ting! Ting! Ting! Ting!” Terdengar suara benturan dua senjata
yang terbuat dari logam.
Pisau-pisau itu beradu dengan golok, melejit lalu menancap di tanah tanpa
dapat menyentuh sama sekali sasarannya.
“Ha ha ha ha ha ha! Percuma saja kau menggunakan senjata rahasiamu, kakek
gundul!!” ujar Parmin sambil menyarungkan goloknya kembali.
Melihat senjata rahasianya berhasil ditangkis lawan dengan mudah Beruang
Kuning menjadi geram sekali.
Kemudian tanpa diduga ia melancarkan serangan ke arah Parmin. Tendangan
Beruang Kuning hanya mengenai caping pemuda itu sampai terpental lepas
sehingga terlihatlah wajah pemiliknya yang sangat tampan dan simpatik.
Kehadirannya membuat pesona baru bagi dunia persilatan. Ia seorang pendekar
yang naik darat bukan turun gunung seperti kebanyakan pendekar pada
umumnya.
Bajing Ireng dan para penjaga menyaksikan pertarungan sengit itu berdecak
kagum. Hanya beberapa jurus saja Parmin berhasil mendaratkan tendangan keras
ke dahi Beruang Kuning.
Tendangan tersebut sempat membuat tubuh lawannya mundur beberapa langkah ke
belakang. Baru saja ia mengatur napas untuk membuka serangan baru, secepat
itu pula sebuah tendangan telah mendarat lagi di dada Beruang Kuning.
Beruang Kuning memegangi dadanya merasakan sakit yang teramat sangat.
“U-huk! U-huk! Hoak........! Stop! Stop! Aku mengakui kau lebih unggul
dariku. Tetapi jangan merasa bangga dulu, tunggulah saat
pembalasanku.......!” desisnya sambil terbatuk-batuk. Dari mulutnya mengalir
darah kental, darah luka dalam rongga dadanya.
Parmin menghentikan serangannya.
Beruang Kuning berjalan sempoyongan. Kemudian ia melakukan gerakan salto
meloncat ke atas atap sebuah rumah.
“Sampai berjumpa lagi, kawan!” katanya langsung menghilang di kegelapan
malam menjelang remang pagi.
“Aku akan menunggumu walau sampai dunia kiamat!” teriak Parmin membiarkan
Beruang Kuning pergi.
Lalu ia menghampiri para penjaga gudang yang hanya berdiri mematung.
“Hei, kalian kerbau-kerbau dungu! Mengapa bengong di sini saja? Ayo pergi
semuanya?” bentak Parmin.
Tanpa bicara sepatah katapun para penjaga gudang itu segera pergi menuju
posnya masing-masing.
***
Parmin lalu mendekati Bajing Ireng yang masih tergeletak tak berdaya. Ia
menatap Bajing Ireng penuh rasa kasihan dan perlahan-lahan duduk di sisi
Bajing Ireng yang coba beringsut menjauhi pemuda yang sama sekali tak
dikenalnya.
“Ijinkanlah aku melepaskan totokan pada tubuhmu akibat serangan si Beruang
Kuning itu!” kata Parmin dengan lembut.
Bajing Ireng menganggukkan kepalanya memberi ijin kepadanya.
Parmin lalu membalikan tubuh Bajing Ireng dan memijit leher Bajing
Ireng.
Beberapa saat kemudian Bajing Ireng dapat menggerak-gerakkan tubuhnya. Ia
lalu duduk bersila mengatur napas untuk memulihkan kesegaran tubuhnya.
“Aku sangat berhutang budi kepada anda!” ucap Bajing Ireng.
“Ah, kita adalah kawan seperjuangan sekarang. Tubuhmu sudah bebas dari
pengaruh totokan itu. Nah! Ceritakan siapa dirimu sebenarnya!” pinta Parmin
pada kawan barunya itu.
Tetapi Bajing Ireng hanya diam saja. Ia tak berani menceritakan siapa
dirinya. Parmin dapat menangkap apa yang tersirat di hati Bajing
Ireng.
“Ceritakanlah! Tidak apa-apa! Tak seorangpun mendengar percakapan kita!
Ayo, ceritakan!” kata Parmin sambil mengamati daerah sekelilingnya untuk
meyakinkan Bajing Ireng.
“Bolehkah aku menolongmu membuka cadar itu?”
Bajing Ireng kembali diam. Ia tak kuasa menolak permintaan Parmin.
Parmin kemudian membuka cadar yang menutupi wajah Bajing Ireng dengan
lembut dan perlahan-lahan sekali. Ia menatap wajah Bajing Ireng seakan-akan
tak percaya. Baru kali ini ia melihat gadis secantik Bajing Ireng.
Parmin tidak menyangka bahwa gadis secantik Bajing Ireng sudah mempunyai
ilmu silat yang cukup tinggi dan berani berjuang melawan kekuasaan tuan
tanah Belanda yang bercokol di desa Kandang Haur dan mencengkram daerah
sekitarnya.
“Siapakah kau? Aku ingin mengenalmu lebih jauh!” bisik Parmin penuh
harap.
Bajing Ireng menundukkan kepalanya menghindari tatapan pemuda yang baru
dikenalnya tetapi telah terasa menyentuh kalbunya.
“Namaku Roijah! Aku adalah anak Pak Marto, kepala desa di sini!” sahut
Bajing Ireng pelan. Kemudian ia memberanikan diri menatap mata pemuda
tersebut.
Mata kedua anak muda itu sekilas beradu pandang.
“Siapakah anda? Kelihatannya anda adalah seorang pengembara?” tanya Roijah
tersipu malu dan pipinya tiba-tiba merona merah jambu.
“Ya, benar! Namaku Parmin. Aku seorang pengembara yang datang dari pantai
utara,” jawab Parmin terus menatap wajah Roijah yang cantik rupawan. Hatinya
bergetar segencar getaran yang ada di hati Roijah juga.
Roijah malu wajahnya dipandangi terus-menerus oleh Parmin. Ia hanya
tertunduk diam. Demikian juga dengan Parmin. Ia menjadi serba salah.
“Hmm........ ilmu silatmu cukup tinggi! Boleh aku mengetahui gurumu?
Barangkali kau tidak berkeberatan untuk menyebutkannya, bukan?” tanya Parmin
memulai kembali pembicaraan yang agak lama terhenti.
Roijah agak terkejut mendengar pertanyaan itu.
“Aku....... aku....... aku mempelajarinya di sebuah buku kuno!” sahutnya
terbata-bata.
“Dari sebuah buku kuno? Darimana kau mendapatkan kitab itu?” tanya Parmin
merasa heran sambil terus menatap Roijah.
Roijah dipandangi Parmin seperti merasa malu. Lagi-lagi wajahnya memerah
dan hatinya berbunga-bunga. Ia membuang wajahnya ke arah lain.
“Oh, mengapa kau menatapku seperti itu? Aku malu! Berpalinglah ke arah
lain!” kata Roijah dalam hati.
Parmin tersenyum dan segera memalingkan wajahnya membelakangi Roijah. Ia
seakan dapat membaca isi hati Roijah.
“Baiklah! Aku menghadap ke sini. Rupanya kau masih gadis pingitan, ya……?
Sekarang ceritakanlah bagaimana kau mendapatkan buku kuno tersebut!”
Roijah masih tertunduk membisu, maka Parmin membalikkan tubuhnya kembali
berhadapan dengan Roijah. Sejenak ia memandangi wajah cantik yang tak pernah
jemu bagi siapa saja yang memandangnya. Parmin menarik napas. Mendadak ia
bicara terputus.
“Roijah, tahukah kau? Aku....... aku....... hatiku berkata bahwa aku telah
mencintaimu!” kata Parmin dengan jantung yang berdebar-debar.
Roijah terkejut sekali mendengar keterus terangan Parmin. Tubuhnya terasa
bergetar mendengar Parmin menyebut namanya. Begitu mesranya, sampai meresap
ke dalam dada.
“Oh! Akupun....... ah! Aku malu mengatakannya! Sebenarnya tadi ketika kau
memijit leherku, dadaku terasa bergemuruh! Sepertinya kau....... aku juga
mencintaimu!” desah Roijah lembut sekali sambil memalingkan wajahnya yang
memerah ke arah lain.
Parmin senang sekali mendengar Roijah berkata begitu. Ia lalu memegang bahu
Roijah mesra sekali. Dunia ini terasa indah. Kuburan di sekitarnya mereka
seperti berubah menjadi taman sari yang ditumbuhi oleh aneka warna
bunga.
Sementara itu sinar bulan menyelimuti malam yang menyongsong dini hari.
Cakrawala begitu bening dan indah. Rinai embun yang turun menambah suasana
malam itu menjadi sensual.
Unggas-unggas malam dan rumput-rumput liar menjadi saksi pernyataan cinta
sepasang muda-mudi tersebut. Mereka begitu polos dalam mengutarakan
perasaannya masing-masing. Kemudian mereka duduk di atas batu-batu makam
yang beronggok tak bernisan lagi.
***
“Aku menemukan buku itu di atas tikar shajadah di dalam kamarku!” kata
Roijah menceritakan asal mula buku kuno itu.
Sementara Parmin duduk dengan tenang sambil mendengarkan cerita Roijah
dengan penuh perhatian.
“Sehabis mengambil air wudhu, aku terkejut sekali melihat buku yang entah
darimana datangnya. Aku memperhatikan buku itu dan berniat untuk
memberitahukan kepada ayah. Tetapi aku membaca serangkaian kata-kata yang
tertulis di halaman depan buku kuno tersebut.
Pelajarilah buku ini sampai selesai dan jangan ada seorangpun yang boleh
tahu.
“Aku berpikir, siapa yang telah memberikan buku kuno ini? Lalu aku membuka
halaman berikutnya. Sungguh di luar dugaan!
“Ternyata buku kuno itu berisi gambar-gambar yang melukiskan jurus-jurus
silat! Gambar-gambar itu sederhana namun mudah untuk dimengerti. Terlukis di
atas lembar- lembar kulit yang bersih dan tipis.
“Lembaran-lembaran buku itu dibundel dan dijahit dengan benang dari kulit
juga. Di samping itu yang lebih mengejutkanku adalah kutemukan pula satu
stel pakaian silat serba hitam berikut sebuah cadar dan sebuah golok berhulu
kayu hitam dengan ukiran berbentuk kepala bajing. Kemudian aku mencoba
pakaian itu dan mempelajari jurus-jurus yang tertera dalam buku itu. Aku
mulai membaca bab pertama.
“Kitab itu ternyata bertulisan huruf-huruf Arab dengan bahasa Jawa Cirebon.
Aku mulai mempelajari jurus pertama.
“Tanganku menyilang di dada dan kedua kaki berdiri sejajar dengan tubuh
agak merendah membentuk kuda-kuda. Begitulah sampai aku terasa lelah.
“Setiap malam selesai sholat, aku mempelajari kembali jurus demi jurus
dengan tekun. Semua itu aku lakukan tanpa sepengetahuan ayahku.
“Setiap malam selesai sholat, aku selalu mengurung diri di kamar sehingga
ayah sedikit curiga. Tetapi aku bilang padanya bahwa aku hanya sedikit
merasa tidak enak badan atau alasan-alasan lainnya. Ayahku percaya saja!”
kata Roijah dengan nada bersemangat sambil menggeser duduknya. Dan tanpa
sadar ia semakin dekat dengan Parmin.
Parmin sendiri bukan tidak tahu akan hal itu.
Ia diam-diam mengulum senyum dengan harapan agar Roijah lebih dekat
menggeser duduknya lagi.
Roijah kembali melanjutkan ceritanya.
“Begitulah terus-menerus setiap malam. Aku selalu mempelajari buku tersebut
dengan sungguh-sungguh. Tepatnya pada bulan yang ketigapuluh aku dapat
menyelesaikan bab terakhir. Semua jurus-jurusnya berjumlah seratus satu!”
lanjut Roijah.
“Aku merasa puas dapat menjalankan amanat yang diberikan seseorang untuk
mempelajari buku tersebut.
“Dan pada malam Jum'at dibulan Ramadhan menjelang makan sahur ketika aku
sedang mempelajari jurus yang paling terakhir dengan semangat yang
menyala-nyala, terdengar suara seseorang di luar jendela kamarku. Aku merasa
terkejut sekali! Kemudian aku bergegas ke jendela untuk meyakinkan sumber
tersebut.
“Selamat, muridku! Kau telah berhasil mempelajari buku itu dengan baik!
Nah, sekarang kembalikanlah buku itu dan ikutlah aku keluar!” perintah suara
itu pelan.
“Memang terdengar seperti orang yang berbisik tetapi sungguh aneh, suara
itu terdengar begitu jelas di telingaku.” Lanjut Roijah.
“Aku segera membuka jendela dan aku terkejut! Dari pantulan sinar bulan
terlihat sesosok tubuh berdiri di balik semak-semak. Kemudian orang tersebut
menghampiriku. Ternyata ia seorang nenek-nenek!
“Wajahnya yang keriput dengan rambut putih sebatas pinggang
berjumbai-jumbai ditiup angin. Wajahnya masih terlihat cantik meskipun sudah
tua. Aku memastikan bahwa di usia mudanya tentu dia seorang gadis yang
cantik jelita!”
“Keluarlah, muridku! Aku akan memberi restu kepadamu!” ujar nenek itu
dengan suara yang tenang. Kedua tangannya terbentang untuk
menyambutku.
“Baik, guru!” kataku lalu meloncat keluar menghampirinya dan aku segera
bertekuk lutut di hadapannya sebagai pernyataan hormat seorang murid kepada
gurunya.
“Kau sudah menguasai ilmu silat Dermayon! Aku adalah Nini Sari! Sekarang
kau resmi menjadi muridku. Aku akan memberimu pelajaran ilmu meringankan
tubuh agar kau dapat dengan mudah melompat-lompat seperti seekor
bajing.”
“Aku menganggukkan kepala. Kemudian ia membawaku ke suatu tempat yang
sangat terpencil. Setelah sampai ia berdiri tegak di depan sebuah pohon yang
besar dan tinggi. Aku memperhatikan guruku dengan penuh rasa ingin tahu
apakah yang akan ia lakukan?
“Tiba-tiba guruku meloncat ke atas dahan pohon itu. Aku hanya diam
memperhatikan guruku yang sudah berdiri di atas dahan pohon itu.
“Kemudian guruku menggerakkan jarinya mengisyaratkan agar aku mengikuti apa
yang dilakukannya. Aku meloncat ke atas salah satu dahan pohon yang
lain.
“Lalu guruku segera menjatuhkan dirinya seperti seekor kelelawar yang
sedang tidur. Kepalanya menjuntai ke bawah sedangkan kakinya menjepit dahan
tersebut yang semula sebagai tempat berpijak. Kedua tangannya tersedakap
menyilang di dada aku mengikuti apa yang dilakukan guruku tanpa banyak
bicara.
“Mula-mula aku hampir saja terjatuh ke bawah ketika mencoba posisi
bergelantung dengan kepala di bawah, karena jepitan kakiku pada dahan pohon
kurang kuat dan hampir terlepas! Tapi lama kelamaan aku dapat menguasai diri
dan bisa menggelantung seperti kelelawar yang dicontohkan Nini Sari
guruku.
“Namun sekarang timbul masalah baru! Kepalaku pusing seakan-akan seluruh
darah dalam tubuhku menumpuk di kepala dan kepalaku rasanya akan meledak!
Itupun akhirnya dapat kuatasi atas petunjuk guruku melalui sistim
pernapasan, sehingga aliran darah dapat terbagi rata secara normal seperti
posisi dalam keadaan berdiri.”
“Ternyata guruku mengetahui semua kesulitanku!”
“Atur napasmu dengan baik! Jurus pertama ini merupakan kunci dari ilmu
meringankan tubuh yang akan kuturunkan kepadamu, muridku!” katanya tenang,
mantap dan penuh wibawa.
Untuk pertama kali Roijah merasa sulit untuk bergantung dengan kaki di atas
dahan seperti seekor Kelelawar yang sedang tidur itu.
“Aku merasa malu dan kagum pada guruku. Ia dapat merasakan getaran tubuhku
dan suara napasku yang tidak teratur. Betapa tinggi ilmu silat yang
dimilikinya.
“Padahal jarak antara dahan pohon yang kugelantungi dengan dahan yang
digelantungi guruku cukup jauh! Mungkin karena meniru posisi kelelawar tidur
maka pendengarannyapun menjadi tajam seperti kelelawar!
“Demikianlah setiap malam aku digembleng oleh guruku. Dan pada bulan
pertama aku dapat menguasai jurus pertama dengan sempurna. Melihat aku sudah
dapat menguasai jurus yang diberikannya, guruku mulai memberikan jurus
berikutnya.
“Guruku berjalan mencari pohon yang cabang-cabangnya bersudut siku agar
dapat ditiduri dengan baik. Lalu ia melompat dengan ringannya ke cabang
pohon itu.
“Ia tidur terlentang pada salah satu cabang tak ubahnya seperti orang yang
tidur di atas tempat tidur saja. Tangannya disilangkan di perut.
“Semakin lama semakin aku tahu betapa tinggi ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki guruku, betapa tidak! Dari cabang pohon yang besar kemudian beralih
rebah terlentang di cabang-cabang pohon yang lebih kecil. Aku lalu melompat
juga ke cabang-cabang pohon itu mengikuti segala yang dilakukan oleh
guru!”
Roijah menarik napas panjang.
“Demikianlah setiap malam aku selalu keluar rumah melalui jendela untuk
menerima gemblengan dari guruku. Semua itu kulakukan dengan tekun dan
semangat yang menyala. Kemajuan-kemajuan yang kucapai dalam latihan itu
begitu cepat bukan semata-mata karena bakat, tetapi karena kemauan serta
semangat yang tinggi.
“Selain itu guruku pernah berkata bahwa semangat yang ada pada diriku
timbul karena rasa benci kepada penjajah Kumpeni Belanda yang mengakibatkan
rakyat hidup semakin miskin dan sengsara.”
“Demikianlah akhirnya pada bulan yang ketigapuluh aku berhasil menamatkan
pelajaran ilmu meringankan tubuh itu. Jadi jumlah seluruh waktu untuk
menuntut ilmu silat itu adalah enampuluh bulan atau lima tahun. Itu adalah
waktu yang sama bagi seorang gadis untuk menjalankan masa pingitan dari usia
tigabelas tahun sampai usia delapanbelas tahun!” Sambung Roijah.
“Muridku, kau telah berhasil menguasai semua ilmu yang kuberikan! Nah,
mulai sekarang kau harus menggunakan ilmu itu untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan dibumi ini. Dan kau jangan takabur tetapi harus bersikap
tawadhu.......! Ingat pesanku baik-baik!” ujar guruku sambil mengelus-elus
bahuku.
“Aku akan menjalankan perintah guru! Dan akan menumpas segala bentuk
kejahatan dibumi ini!” kataku dengan penuh kesungguhan dan menanamkan tekad
dalam kalbu.
“Maka sejak saat itu guruku pergi meninggalkan aku dan kembali ke tempat
dari mana ia datang. Pada awalnya perpisahan itu begitu berat kurasakan,
karena ia bukan hanya sebagai guru yang memberiku ilmu silat tapi ia juga
sebagai ibu yang menyayangiku dengan sepenuh jiwanya,” kata Roijah
mengakhiri kisahnya kepada Parmin.
***
“Dan aku sebagai gadis pingitan, rasanya tak ada jalan lain bagiku untuk
menolong bangsaku sendiri selain menjadi seorang pencuri beras dari gudang
milik tuan Van Eisen! Aku tak tahan melihat penderitaan rakyat!” kata Roijah
kesal.
Parmin menggeser duduknya lebih dekat kepada Roijah. Sinar matanya
berbinar.
“Aku bangga melihatmu, Roijah!” kata Parmin dengan senyum dan pandangan
penuh arti.
“Ditengah-tengah kebejatan moral bangsa yang dijajah ini masih ada pula
orang yang berjiwa patriot seperti kau!”
Roijah merasa senang dipuji oleh laki-laki yang dicintainya.
Parmin lalu berdiri. Sedangkan pandangannya tak lepas-lepas dari Roijah,
yang sibuk membenahi rambutnya. Rambut yang semula dibiarkan tergerai
sebatas pinggang itu kini dibuntelnya menjadi berbentuk sanggul. Dengan
dandanan rambut seperti itu, Parmin melihat Roijah menjadi seorang gadis
yang lebih dewasa dengan kecantikan yang anggun.
“Marilah kita membulatkan tekad untuk berjuang mengusir penjajah dari
negeri ini bahu-membahu, Roijah!” seru Parmin seraya mengepalkan tangan
kanannya.
Roijah menganggukkan kepalanya tanda setuju. Disusul pula dengan acungan
tangan kanan yang mengepal.
Sementara itu di ufuk timur mulai terang dan tak terasa ayam telah mulai
berkokok. Dinginnya malam berangsur- angsur mulai terusir.
Parmin menghampiri Roijah. Lalu ia memegang bahu Roijah lembut dan mesra.
Wajah mereka begitu dekat. Roijah menundukkan kepalanya tak sanggup membalas
tatapan Parmin yang terasa menembus jantung Roijah sehingga jantungnya
berdetak keras.
Suara kokok ayam bersahut-sahutan bahkan terasa tenggelam oleh gemuruhnya
dada sepasang muda-mudi yang sedang dilanda cinta itu.
“Sekarang hampir menjelang subuh! Cepatlah kau pulang dan kita berjumpa
kembali besok untuk menyusun kekuatan! Pulanglah Roijah.......!” kata Parmin
begitu mesra sambil mencium kening Roijah.
Jantung Roijah terasa berhenti saat Parmin mencium keningnya. Ia merasa
sangat bahagia saat itu. Roijah hanya tertunduk diam seribu bahasa.
Parmin mengangkat wajah Roijah dan ditatapnya dalam-dalam. Dalam sekali
seperti seorang yang menyelami sebuah telaga hati yang bening dan
teduh.
“Pulanglah!” seru Parmin.
Roijah membalas tatapan Parmin dengan hati yang berbunga-bunga seperti
ledakan bunga yang tiba-tiba mekar dengan indahnya.
“Baiklah, aku segera pulang, kang Parmin!” sahut Roijah lembut.
Tanpa sengaja Roijah memanggil kang kepada Parmin, sesuatu yang mengandung
arti khusus.
Kemudian mereka berjalan berlawanan arah sambil melambaikan tangan tanda
berpisah. Roijah berjalan perlahan-lahan membawa perasaan bahagia. Begitu
juga dengan Parmin.
***
Beberapa waktu kemudian secara serempak terjadilah pemberontakan-
pemberontakan para petani kepada tuan-tuan tanah. Mereka menuntut haknya
supaya tanah mereka dikembalikan.
Kerusuhan itu terus menjalar sampai kotapraja Cirebon. Mereka mendatangi
rumah tuan-tuan tanah beramai-ramai sambil mengacungkan senjata mereka
masing-masing. Ada yang bersenjata golok, parang, kayu, arit, sekop dan
sebagainya.
Para tuan tanah kewalahan menghadapi mereka. Dan para tuan tanah
menyampaikan hal ini ke Residen, agar segera mengambil tindakan yang tegas
guna menanggulangi para pemberontakan itu secepatnya.
Pihak pemerintah Kumpeni Belanda yang berkepentingan dengan tanggung jawab
keuntungan terhadap pemerintah pusat di Negeri Belanda, merasa perlu
mempertahankan kekuasaan para tuan tanah Belanda sebagai sumber devisa bagi
negaranya di Eropa sana. Oleh karena itu Kumpeni Belanda segera mengerahkan
segenap kekuatan militernya, mengirimkan serdadu beserta persenjataannya
untuk menumpas pemberontak para petani di seluruh wilayah karesidenan
Cirebon.
Akibatnya banyak korban jatuh, terutama di pihak para petani dan rakyat
kecil yang tak berdosa. Sebagai penguasa setempat, Residen merasa serba
salah.
Residen sebagai penguasa sipil harus bertanggung jawab kepada penguasa
militer Kumpeni Belanda dan bertanggung jawab kepada masyarakat sebagai
warganya yang terdiri dari para tuan tanah serta rakyat pribumi tanah
jajahan. Kedudukannya benar-benar terjepit seperti menghadapi buah
simalakama, dimakan ibu mati tidak dimakan bapak mati.
Tapi biar bagaimanapun Residen harus berani mengambil keputusan yang
terbaik. Keputusan yang fragmatis bagi kehidupan sebuah negeri
jajahan.
Kemudian atas kebijaksanaan Residen, maka para tuan tanah harus
mengembalikan tanah-tanah kepada pemiliknya masing-masing. Keputusan
tersebut disambut gembira oleh rakyat Cirebon. Sedangkan para tuan tanah
menganggap keputusan itu sangat merugikan mereka. Akhirnya dengan terpaksa
mereka mengembalikan tanah kepada pemiliknya masing-masing.
Kini rakyat Cirebon bagian utara telah mulai mengerjakan tanahnya kembali
dengan tenang tanpa pemerasan dari tuan-tuan tanah Belanda. Dan mereka tidak
perlu membayar pajak tanah.
***
Demikian juga dengan tanah Pak Kinong dan Bu Kinong. Mereka kelihatan
sangat gembira menggarap tanahnya sendiri. Peluh membasahi seluruh tubuh Pak
Kinong.
Wajahnya terlihat begitu cerah di siang hari meskipun tubuhnya terasa
lelah. Sementara itu dari kejauhan Bu Kinong berjalan membawa bakul yang
berisi makanan untuk Pak Kinong yang sedang duduk istirahat di pinggiran
sawahnya melepaskan lelah sambil memandangi tanah yang habis
dicangkulnya.
“Pak, makanan sudah siap!” teriak Bu Kinong sambil menurunkan bakul di
punggungnya.
Melihat istrinya sudah menyiapkan makan, Pak Kinong langsung
menghampirinya. Mereka berdua duduk dibawah pohon yang rindang sambil
menyantap makanan dengan lahap walau cuma dengan lauk ikan asin, sambal dan
sayur bening.
“Hmm....... akhirnya kita dapat menggarap tanah kita kembali ya, Bu! Kita
harus bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan KaruniaNya kepada kita
ya, Bu?” kata Pak Kinong sambil menyendok sayur bening kesukaannya dan
dituangkan di atas nasinya.
“Ya, Pak! Kita harus bersyukur! Tapi kau habiskan dulu nasimu baru bicara
lagi. Nanti batuk!” seru Bu Kinong mengingatkan suaminya.
Pak Kinong menuruti kata istrinya. Setelah selesai makan, pak Kinong lalu
kembali melanjutkan pembicaraannya, sementara Bu Kinong membenahi
bakulnya.
“Ini berkat jasa kepemimpinan seorang pendekar dari pantai utara Eretan
itu, Bu! Ternyata dia yang telah memompakan semangat kemerdekaan kepada
rakyat di segala pelosok kampung di seluruh wilayah Karesidenan Cirebon
ini!” kata Pak Kinong sambil menghisap rokok kawungnya seperti biasa.
Bu Kinong agaknya tidak mau kalah. Maka ia membanggakan seseorang dari
jenis kaumnya.
“Hei, Pak! Bukan cuma karena jasa pemuda Eretan itu saja! Tapi jangan lupa
pula keberadaan pendekar wanita yang terkenal dengan nama Bajing Ireng yang
pernah menolong kita tempo hari. Ternyata tidak lain dia itu putrinya Pak
Marto, kepala desa kita sendiri!!”
“Tentu saja aku tak mengabaikan jasa Bajing Ireng, Bu! Apalagi dia pernah
menolong kita sewaktu kelaparan. Tanpa dia mungkin si Kinong tidak hidup
sampai sekarang!” ujar Pak Kinong sambil menyulut rokok kawungnya yang
tiba-tiba mati tertiup angin.
Berkali-kali ia menyalakan batu pemantik api namun gagal, membuat ia
menggerutu.
“Apa cita-citamu untuk anak kita si Kinong, Bu?”
“Aku akan minta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar si Kinong kelak menjadi
seorang pendekar seperti Bajing Ireng, Pak!” sahut Bu Kinong sambil
pandangan matanya menerawang ke langit. Hening sejenak.
“Eh, Pak! Jang Parmin dan Neng Roijah itu pantasnya jadi suami-istri
saja.......! Benar-benar pasangan yang cocok, serasi! Pemudanya tampan dan
gagah sedangkan gadisnya cantik jelita. Anu....... seperti Arjuna dan
Srikandi ya, Pak?” kata Bu Kinong seakan-akan mewakili kehendaknya sendiri,
dan ia ingin melihat pemuda dari Eretan itu menjadi suami Bajing
Ireng.
“Sayang, Pak Marto tak sudi punya menantu seorang pemuda yang ia anggap
sebagai musuh, musuh pemerintah Kumpeni Belanda dan musuh bagi dirinya!”
jawab pak Kinong dengan sengit seakan-akan ia pun mewakili kehendaknya
sendiri untuk menyatakan protes kepada kepala desanya.
“Ya ya! Oleh sebab itu jadinya mereka terpaksa mengadakan pertemuan secara
diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Sebaliknya Pak Marto sendiri mengancam akan
menangkap Parmin dengan tuduhan maling bila ia suatu saat memergoki
pertemuan mereka itu! Huh! Orang tua macam apa itu? Kepada anaknya sendiri
tega berbuat sekejam itu!!” tak kalah sengitnya Bu Kinong bicara.
***
Malam semakin larut. Angin bertiup dengan lembut. Bulan purnama memancarkan
sinarnya menerangi seluruh alam. Suara serangga malam membuat suasana malam
itu menjadi ceria dan indah.
Para penduduk telah tidur lelap. Mereka sudah terbuai mimpi yang indah.
Mimpi tentang panen yang berlimpah-ruah, dan mimpi tentang kehidupan yang
layak tanpa kehadiran segala bentuk penjajahan dan pemerasan. Tapi lain
halnya dengan Roijah.
Ia belum dapat memejamkan matanya. Hatinya begitu gelisah. Sekali-kali ia
membalik-balikkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Ia teringat kembali saat pertemuannya yang pertama dengan Parmin. Ia
tersenyum sendiri tatkala mengingat saat Parmin mencium keningnya. Hatinya
merasa rindu sekali kepada Parmin kekasihnya.
Di saat Roijah sedang membayangkan wajah Parmin yang tampan dan simpatik
tiba-tiba ia dikejutkan dengan terdengarnya sesuatu yang memecahkan
kesunyian malam itu.
“Hmm........ malam-malam begini kudengar suara seruling demikian merdunya.
Lagunya adalah kidung kesayanganku! Siapa yang meniup seruling itu? Aku jadi
penasaran!” desah Roijah dalam hati.
Suara seruling itu terdengar begitu merdu dan syahdu sekali seakan-akan
melukiskan perasaan orang yang meniupnya. Perasaan menahan rindu yang
mendalam.
Roijah perlahan-lahan bangkit dari tempat tidurnya. Ia sepertinya
diperintah oleh sanubarinya untuk menghampiri suara tersebut. Pakaian yang
melekat ditubuhnya masih lusuh tidak karuan. Ia lalu berdiri menghadap
cermin yang terletak persis di depan tempat tidurnya. Segera ia membenahi
diri.
Setelah selesai berhias diri, Roijah berjalan ke arah jendela untuk melihat
siapa gerangan yang meniup seruling itu. Lalu Roijah membuka jendela kamar
tidurnya perlahan-lahan.
Sinar bulan langsung menerobos ke dalam kamar tidur yang sengaja dimatikan
lampunya oleh Roijah agar tidak ketahuan oleh orang yang sedang meniup
seruling itu. Roijah memperhatikan orang itu.
“Heh?! Oh....... tak kusangka ternyata dialah yang meniup seruling itu!”
gumam Roijah seakan tak percaya.
Benarlah ternyata dia adalah Parmin! Roijah tertegun memandang Parmin yang
sedang meniup seruling sambil berdiri di luar pekarangan rumahnya.
Dan sebaliknya Parmin tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diperhatikan
oleh Roijah. Ia sedang menikmati lagu yang dibawakannya melalui alunan suara
seruling.
Ternyata peniup seruling itu tak lain adalah Parmin, pemuda yang sedang
dirindukannya. Tiba-tiba Roijah memberi sebuah isyarat.
“Sstt........!!” seru Roijah.
Parmin segera menghentikan lagunya karena mendengar suara seorang wanita.
Lalu ia menoleh ke arah jendela sumber suara tersebut.
Dilihatnya Roijah berdiri memakai kebaya dengan rambut berbentuk sanggul
tersenyum di ambang jendela kamarnya.
Tanpa bicara lagi Parmin segera menghampiri Roijah. Ia melompati pagar yang
berada di depannya dengan sigap.
“Belum tidur kau, sayang? Lihatlah bulan purnama di atas sana bersinar
begitu indahnya memanggil kehadiran kita berdua.......!” kata Parmin dengan
nada penuh harapan.
Wajahnya menengadah keatas memandang keindahan sinar bulan purnama. Roijah
ikut menengadahkan wajahnya memandang langit dengan perasaan yang sama.
Tetapi perasaan itu sirna kembali dengan perasaan rindu yang mendalam.
Kemudian Parmin memegangi tangan Roijah dan meremasnya dengan erat. Roijah
membalas meremas tangan Parmin dengan erat pula.
“Aku terbangun oleh alunan serulingmu!” kata Roijah pelan.
Parmin tersenyum memandang Roijah yang semakin erat meremas jarinya. Mereka
saling pandang-pandangan. Tetapi tiba-tiba Roijah memalingkan wajahnya
merasa malu.
Parmin kembali tersenyum memandang wajah Roijah dengan senang. Dari jauh
terdengar sayup-sayup suara kentongan dipukul oleh para ronda yang sedang
berkeliling kampung.
Suara itu menyadarkan Roijah yang kemudian melongokkan kepalanya menoleh ke
kiri dan ke kanan mengamati daerah sekeliling rumahnya dengan cemas!
Takut-takut kalau ada orang yang melihat mereka.
“Cepatlah kau masuk! Nanti ada ronda datang kemari!” seru Roijah pada
Parmin yang masih memegangi tangannya. Wajahnya terlihat sangat cemas dan
takut.
Parmin lalu segera masuk ke dalam kamar Roijah meloncat melalui jendela.
Kemudian Roijah mengamati keadaan di luar untuk menyakinkan bahwa tidak ada
orang yang sedang berdiri mengamati keadaan kamar tidurnya sambil
tersenyum.
Parmin membalikkan tubuhnya dan terkejut melihat Roijah sudah berdiri di
hadapannya. Ia tersenyum.
“Besok aku berangkat ke selatan, Roijah!” kata Parmin sambil menggapit
tangan Roijah dan digenggamnya erat-erat.
Roijah agak terkejut mendengar apa yang dituturkan Parmin. Wajahnya
melukiskan ketakutan dan kecemasan. Tapi sedapat mungkin ia menekan perasaan
itu agar tak terlihat di hadapan Parmin. Ia harus tetap berjiwa besar.
“Aku akan berdoa untuk keselamatan dan keberangkatanmu, kang
Parmin.......!” Ujar Roijah membalas genggaman tangan Parmin erat
sekali.
Seakan-akan ia tidak mau ditinggalkan. Dan tanpa terasa air matanya yang
meleleh jatuh dikedua belah pipinya.
Parmin terharu melihatnya.
“Mengapa kau menangis, sayang?” kata Parmin sambil memegang dagu indah
milik Roijah.
“Seorang pendekar tak pantas mengeluarkan air matanya di saat-saat seperti
ini!!” bujuk Parmin menyeka air mata Roijah dengan penuh kelembutan.
Roijah menatap Parmin dalam-dalam. “Sebagai seorang wanita, aku menangis
meratapi kesepian yang akan kuhadapi setelah kau pergi. Aku akan merasa
kehilanganmu! Ingin rasanya aku meninggalkan kamar yang membosankan ini
untuk turut serta mendampingimu dalam menjalankan tugas tersebut!”
Desah Roijah merebahkan kepalanya di atas dada Parmin yang bidang. Ia
menemukan kesejukan di sana.
Parmin mendekap tubuh Roijah erat sekali. Kehangatan rasa cinta yang suci
dan menggelora menjalari tubuh mereka saat ini. Parmin dapat merasakan debar
jantung Roijah melalui pelukannya. Kemudian Parmin membelai rambut Roijah
dengan mesra.
“Sabarlah, sayang........! tugas yang lebih besar dan mulia telah menanti
kita. Jika tugas itu telah aku jalankan, kita akan segera berkumpul
kembali!” kata Parmin penuh kasih sayang.
Tangannya kembali membelai ujung rambut halus yang tumbuh dikening Roijah.
Rambut halus seperti itu akan dipangkas habis bila seorang gadis habis masa
pingitannya dan siap memasuki jenjang perkawinan.
Dan Roijah semakin erat mendekap Parmin. Seakan-akan ia tak mau
ditinggalkan oleh Parmin.
“Kang Parmin! Kaulah laki-laki yang pertama yang telah menyentuhku! Ayah
terlalu kejam!” isak Roijah lebih erat lagi mendekap Parmin.
“Sudahlah jangan menangis, sayangku! Percayalah, aku akan cepat kembali
setelah tugas itu selesai. Dan aku akan kembali untuk meminangmu,
Roijah.......! Nah, selamat tinggal, sayang! Aku pergi, ya?” ujar Parmin
mencium kening Roijah dengan lembut dan penuh perasaan. Lama sekali.
Seakan-akan Parmin ingin meresapinya dalam-dalam. Roijah memejamkan matanya
menikmati ciuman itu.
Parmin melepaskan ciumannya. Kemudian ia menatap wajah Roijah lekat-lekat
dan berjalan menghampiri jendela. Parmin lalu membuka jendela dan meloncat
keluar sambil melambaikan tangannya.
Roijah membalas lambaian tangan Parmin melepas kepergian sang kekasih
dengan setulus hati. Dan Roijah berdoa dalam hati agar Tuhan selalu
melindungi Parmin dan semoga Tuhan merestui pertautan tali kasih diantara
mereka.
Kemudian Roijah menutup jendelanya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas
tempat tidur. Tak lama kemudian ia memejamkan matanya. Sementara itu Parmin
terus berjalan menembus kegelapan malam untuk menunaikan tugas yang
dibebankan oleh agama, bangsa dan tanah airnya.
***
Ketika Parmin melangkahkan kaki dari pekarangan rumah Bek Marto, belasan
pasang mata dengan tajam mengikutinya dari kegelapan rumpun-rumpun pohon di
sekelilingnya. Naluri pendekar muda dari daerah pantai Eretan ini segera
menangkap segala yang mencurigakan itu, tetapi ia berusaha untuk bersikap
setenang mungkin dan melangkah dengan mantap meninggalkan desa Kandang
Haur.
Persis di batas desa, beberapa sosok tubuh berloncatan menghadang dan
mengepung Parmin dari segala penjuru. Mereka adalah jago-jago bayaran yang
didatangkan dari desa-desa lain.
Yang lebih istimewa kali ini adalah kehadiran beberapa serdadu Kumpeni
Belanda dengan senjata lengkap bedil, pestol dan kelewang. Mereka berdiri
berjajar siap-siaga di belakang barisan jago-jago pribumi.
“Tidak semudah itu kau meninggalkan Kandang Haur setelah kau hancurkan
segala rencana Tuan Van Eisen!” tampil salah seorang dari mereka yang
mewakili siapa yang merencanakan pencegatan itu.
“Tuanmu itu sebenarnya seorang sipil Belanda tetapi mengatas namakan semua
usaha dan kegiatannya di daerah ini kepada serdadu Kumpeni Belanda. Dia
menggunakan serdadu Kumpeni sebagai tameng! Bagiku sama saja, Van Eisen mau
pun Kumpeni Belanda adalah penjajah negeri kita!”
Parmin bicara dengan nada penuh penekanan agar jago-jago bayaran yang
terdiri dari orang-orang pribumi itu menyadari siapa sebenarnya
mereka.
“Kami tak butuh kotbahmu, santri busuk!”
“God Verdome Ceg!” terdengar makian dari barisan belakang dan disusul oleh
bunyi kokangan senjata mesiu. “Terserah kalian dan kalian boleh singkirkan
aku! Tetapi bagiku berpantang mati sebelum ajal, karena nyawaku bukanlah
milik kalian. Soal hidup dan mati hanya di tangan Tuhan!” jawab Parmin
dengan tegas.
“Tutup bacotmu, bangsat!” disusul dengan isyarat penyerangan, maka serempak
jago-jago bayaran itu meluncur dengan nafsu membunuh yang ganas dan
keji.
“Haiiiiit!!” Parmin menangkis kian-kemari dibarengi dengan gerak sepasang
kakinya yang bergerak lincah sambil sesekali melancarkan tendangan yang
telak, sehingga pada gebrakan pertama itu tiga orang pengeroyoknya dibuat
terpelanting.
Sementara itu serdadu Kumpeni Belanda yang berfungsi sebagai backing tak
bisa berbuat apa-apa menghadapi pertarungan yang semrawut ini. Pestol dan
bedilnya tak bisa mereka gunakan, karena kuatir menembak orang-orang bayaran
itu.
Beberapa orang jago pribumi bertumbangan ke tanah terkena hantaman
jurus-jurus silat Gunung Sembung yang konon dulu adalah ilmu silat para wali
dalam menghadapi kekerasan selama mereka menjalankan tugas penyebaran agama.
Namun dilain pihak, beberapa buah sayatan senjata tajam berhasil juga
menerobos pertahanan Parmin dan masih terbatas dengan koyaknya baju dan
celana yang dipakainya.
Pendekar muda ini benar-benar mengamuk bagaikan banteng ketaton.
Lawan-lawan yang ganas itu hampir seluruhnya telah ambruk dan berpelantingan
seperti diterpa angin beliung. Kini tinggal beberapa gelintir orang saja
yang tersisa dan itupun sudah kepayahan dengan gerak limbung dan
ngawur.
Melihat hal itu, serdadu-serdadu Kumpeni belanda segera mencabut
kelewangnya dan menyerang secara berbarengan.
“Mampus kowe orang! Hiyaaaaa!!” tetapi begitu mereka menyerbu sasaran,
Parmin tiba-tiba melesat ke udara dengan sebuah loncatan disusul dengan
tendangan kedua kakinya secara bersamaan menghantam kepala dua orang serdadu
yang terdekat.
“Duivel!” umpat mereka sempoyongan dengan pandangan mata yang penuh
kunang-kunang, lalu roboh ke tanah.
Parmin mendarat tepat di belakang dua orang serdadu yang masih terkesima
dengan loncatan mendadak tersebut. Begitu mereka menoleh ke belakang, tangan
Parmin yang mengepal menghajar wajah mereka sehingga terhuyung-huyung dengan
bibir masing-masing pecah berhamburan darah.
“Untuk menghadapi kalian tak perlu aku memakai senjata, kalau perlu aku
bisa menggunakan senjata kalian sendiri!” ujar Parmin sambil merampas sebuah
kelewang dari tangan salah seorang serdadu Kumpeni dan segera membalikkan
kelewang itu menghujam perut si pemilik sendiri.
Terkejut bukan main serdadu yang malang itu, namun segera disusul dengan
nyawanya yang terputus.
Sementara kawan-kawan lainnya yang tercecer tadi segera bangkit untuk
memulai serangan pembalasan. Mereka bergerak mengelilingi pendekar muda yang
gagah perkasa itu dengan nafas yang menggebu-gebu karena geram bukan
main.
Di lain pihak Parmin memandangi mereka satu persatu melalui lirikan matanya
yang tenang namun penuh kewaspadaan. Angin malam mengiringi suasana tegang
mencekam itu dengan desirannya yang merontokkan daun-daun kering, sehingga
suasana pertarungan itu semakin tampak dramatis.
Tiba-tiba dari suatu arah terdengar seruan seseorang yang segera
menghentikan pertarungan itu.
“Tunggu dulu!”
Ternyata suara itu datang dari seorang lelaki setengah baya yang sudah
mereka kenal baik selama ini. Dia adalah Pak Marta atau Bek Marto. Melihat
kedatangannya, Parmin segera bersiap-siap pula untuk menghadapi kemungkinan
dengan melipat gandakan kemampuannya.
“Tuan-tuan biarkan dia pergi!” ujar Bek Marto dengan penampilan yang
berwibawa membuat Parmin tertegun sejenak melihat perubahan itu. Ia melihat
ada sesuatu yang berubah pada diri ayah kekasihnya, Roijah.
“So? Kenapa tuan Bek bicara seperti itu?” tanya seorang serdadu sambil
memegangi pipinya yang bengkak dan biru legam. “Dia orang telah merusak
rencana Kumpeni! Dia orang telah membuat Van Eisen mengembalikan tanah
orang-orang pribumi! Dia orang telah bikin pailit Van Eisen! Dia orang harus
kita bikin mampus!” sambungnya sambil meludah ke tanah. Ludah itu berwarna
merah oleh darahnya sendiri.
“Pemuda itu benar, tuan!” jawab Bek Marto tenang.
“Aku tidak takut lagi kehilangan jabatanku sebagai kepala desa dan aku juga
tidak bernafsu lagi untuk menjadi seorang demang atau pangkat-pangkat lain
yang lebih tinggi seperti yang pernah dijanjikan oleh Leonard Van Eisen
kepadaku bila aku selalu mematuhi kehendaknya!” lanjut lelaki setengah baya
itu dengan ekspresi wajah yang datar tanpa emosi sedikitpun.
Kata-kata itu merupakan sambaran geledek bagi telinga serdadu Kumpeni dan
membuat mereka tersekat kaget.
“Apa yang membuat dia berubah?” tanya Parmin dalam hati.
“Katakan hal ini kepada tuan besar anda!” seru Bek Marto tegas, kemudian
pandangan matanya ditujukan kepada Parmin yang masih mengambil sikap
siap-siaga.
“Anakku Roijah telah membuka mataku yang buta selama ini, nak Parmin!
Silahkan pergi dan semoga berhasil dengan perjuanganmu!”
“Terima kasih, pak,” jawab Parmin.
Sementara para pengepungnya sudah bangun dan bermaksud mengadakan
pembalasan dengan mengurungnya rapat-rapat. Senjata tajam berbagai bentuk
siap untuk dihujamkan, tinggal menunggu komando dari pimpinan serdadu
Kumpeni.
“Tetapi aku tak mau mengorbankan keselamatan Bapak sendiri. Biarkan aku
menghadapi mereka sampai titik darah yang penghabisan! Bukan tidak mungkin
mereka juga akan membunuhmu sekarang!”
Parmin memperingatkan Bek Marto dengan menatap orang-orang yang
mengepungnya satu persatu. Bek Marto tersenyum senang dan tangannya
tiba-tiba menunjuk ke sekeliling tempat itu.
“Aku tidak sendirian, nak! Lihatlah di sekitar kita, rakyat Kandang Haur
berkumpul membentuk pagar betis dengan senjata apa adanya untuk menghadapi
segala kemungkinan!”
Terkesiap jago-jago bayaran dan para serdadu itu demi melihat di sekitar
mereka penduduk desa berbondong-bondong memagari tempat itu membawa obor dan
senjata apa saja seperti cangkul, arit, pisau dapur, pentungan dan
sebagainya. Bahkan diantara mereka ada yang membawa alu penumbuk padi.
Seketika hati mereka menjadi ciut. Kalaupun dilawan, jumlah mereka sendiri
jauh tak sebanding dengan jumlah seluruh penduduk yang sudah berkumpul
itu.
“Kita rajam mereka!”
“Usir mereka dari desa Kandang Haur!”
“Ya, kita tak sudi dijajah!”
Teriak dan pekik penduduk desa itu semakin riuh dan meninggi sehingga
memekakkan telinga membuat wajah-wajah para jago bayaran dan serdadu-serdadu
itu berkeringat dingin karena merasa cemas.
“Mereka menuntut kebebasan, tuan!” tegas Bek Marto lebih jauh mewakili
suara hati penduduk desanya.
“Ya, betul!!” disambut pekik gegap-gempita penduduk desa secara
serempak.
Melihat gejala yang tak menguntungkan ini, kepala serdadu Kumpeni
memberikan isyarat kepada anak buahnya termasuk kepada jago-jago bayaran
itu. “Kita bubar! Kita gotong kawan-kawan kita yang terluka. Cepat.......!!”
perintahnya dengan nada gugup.
Parmin hanya tersenyum melihat semuanya ini, dan setelah membungkuk hormat
kepada Bek Marto, iapun segera bergegas pergi meninggalkan desa Kandang
Haur.
***
Sore itu sehabis sholat Isya, Roijah membuat teh tubruk dicampur dengan
gula batu kesukaan ayahnya. Kemudian ia membawanya ke ruang tamu dimana
biasanya Bek Marto duduk berleha-leha di atas kursi goyangnya.
Segelas besar teh tubruk itu ia letakkan di atas meja marmer besar
disamping ayahnya duduk. Setelah mengaduk dengan sendok, lalu meletakkan
tutup gelas bersandar pada tatakan.
“Ayah tidak mengisap cerutu lagi?”
“Persetan dengan rokok borjuis itu!” sahut Bek Marto dengan sengit disusul
lemparan senyum manis kepada Roijah anak tunggal yang disayangnya.
“Kalau ibu masih ada, tentu ia sangat bangga melihatnya,” komentar Roijah
sambil mencium pipi ayahnya.
“Dengan rokok kelobot, rasanya jauh lebih nikmat!” ujar Bek Marto sambil
memilih tembakau di dalam lembaran daun jagung yang sudah dimasak dan
mengundang rasa manis itu.
“Bagaimana kalau ayah dicopot oleh Van Eisen dari jabatan sebagai kepala
desa?”
“Aku bisa jadi petani!” lanjut Bek Marto lebih semangat.
Setelah berdiam sejenak, Roijah kembali menggoda ayahnya.
“Kabarnya sejak Van Eisen mengembalikan tanah-tanah kepada rakyat, gudang
beras Tuan Belanda itu sudah tidak lagi disatroni oleh Bajing Ireng ya,
pak?”
“Ya!” Bek Marto menjawab singkat.
“Lalu kemana Bajing Ireng itu kini berada ya?” lanjutnya pula sengaja
memancing pendapat ayahnya tentang si maling budiman itu.
***
Sementara itu di tempat tinggal Pak Kinong, Bu Kinong sedang tertawa
terpingkal-pingkal melihat kelakuan anaknya yang masih berusia balita
itu.
Kinong gadis kecil yang lucu dengan rambut di kuncir dua kiri dan kanan
sedang melakukan gerak-gerak seperti seorang pendekar silat.
Yang lebih lucu lagi adalah separuh dari wajahnya ditutup dengan kain
serbet, sehingga sepasang matanya saja yang bundar seperti telur itu yang
terlihat. Rambut poninya menutupi seluruh dahinya yang nong-nong, yang
membuat dia diberi nama Kinong, berkali-kali ia sibakkan karena sering
menutupi pandangan matanya.
“Ciaaat! Heyaaat!” begitu teriaknya berulang kali sambil kakinya menendang
ke depan dan tangannya dikibaskan ke kiri dan ke kanan dengan
lincahnya.
“Ini si Bajing Ileng!” celotehnya dengan lidah yang cadel menyebut tokoh
idolanya dengan penuh rasa bangga.
“Apa benar anak emak mau jadi seorang pendekar yang sakti?” tanya Bu Kinong
menggoda
“Benal!” jawab Kinong dengan cepat sambil melompat-lompat dengan
lincahnya.
Kini tubuhnya sudah gemuk karena tak kurang makan lagi. Kinong tumbuh
dengan gemuk dan montok sekali membuat siapapun yang melihatnya akan merasa
gregetan ingin mencubitnya.
Apalagi pipinya yang mengencang dan kemerahan seperti buah tomat yang ranum
itu sangat menggoda orang untuk menjawilnya.
Tiba-tiba ia menghentikan geraknya mencopot serbet yang menutupi
wajahnya.
“Kinong lapal, mak!” teriaknya sambil memegangi perutnya yang mulai
keroncongan.
Anak kecil ini memang makannya kuat, sehari lebih dari tiga kali. Selain
itu Pak Kinong sepulangnya dari sawah sering membawa oleh-oleh jajanan yang
ia beli di warung. Kue serabi sangat disukai oleh anak tunggalnya itu,
sehingga kawan-kawannya main sekampungnya menjulukinya Si Muka Serabi.
Sewaktu-waktu Pak Kinong sering memancing jawab dari anaknya yang lucu itu
dan Kinong sendiri segera menjawabnya dengan lugas.
“Kalau besar mau jadi apa kau, Nong?”
“Jadi Bajing Ileng!”
“Kenapa mau jadi Bajing Ireng?”
“Kalena kalo ada anak yang lapal, dia cuka kasih belas.”
Kinong bergerak lincah seperti seorang pendekar sambil berteriak:
“Inilah dia Bajing Ileng!”
“Oh, kalau ada anak yang lapar, Bajing Ireng suka kasih beras ya?” tanggap
Bu Kinong menengahi pembicaraan bapak dan anak itu.
Memang di usianya yang hampir senja itu, Pak Kinong dan Bu Kinong baru
dikaruniai anak dan sekarang baru menginjak usia dua setengah tahun.
***
Baru beberapa hari Roijah berpisah dengan pemuda yang dicintainya, rasanya
seperti sudah beberapa bulan baginya. Ini membuat ia sering melamun dan
pandangan matanya menerawang jauh seperti berusaha menembus batas-batas
ruang untuk mencari jejak dimana sang kekasihnya itu kini sedang
berada.
Hari itu Roijah sedang mengingat Parmin kekasihnya. Tetapi lamunan Roijah
segera terputus ketika didengarnya orang berbicara dengan ayahnya di ruang
depan. Suara itu cukup keras dan dapat ditangkap dengan jelas dari
kamarnya.
“Bek Marto pasti berkomplot dengan maling itu!”
“Ya, kau pasti bersekongkol dengan Bajing Ireng!”
Dari balik gorden pintu, Roijah melihat beberapa orang dengan wajah-wajah
kasar bertolak pinggang sambil menuding-nuding ayahnya.
“Dengan alasan apa kalian menuduhku?” tanya Bek marto dengan tenang.
Roijah diam-diam merasa bangga terhadap perubahan perangai ayahnya
akhir-akhir ini.
“Pertama, kami pernah membuntuti maling itu dan ternyata ia masuk ke rumah
ini dan tidak keluar lagi.
Kedua, setelah tanah milik rakyat dikembalikan oleh Van Eisen dan rakyat
mengerjakan sawahnya masing-masing, Bajing Ireng sudah tidak muncul-muncul
lagi. Tepat sekali waktunya dengan perubahan sikapmu terhadap Kumpeni
Belanda!” tukas mereka dengan berapi-api.
“Tuduhan tanpa bukti adalah fitnah!” Bek Marto masih bisa menjawab dengan
tenang.
“Baik! Kalau begitu kami akan menggeledah kamar anakmu! Berikan kunci
lemarinya pada kami!”
“Apa hubungannya dengan anakku Roijah?” kali ini Bek marto agak meninggikan
suaranya.
Mendengar maksud para jago desa yang berpihak pada Van Eisen itu, Roijah
menjadi terkejut bukan kepalang. Apa mereka sudah tahu bahwa Bajing Ireng
adalah dirinya?
Dari mana mereka tahu? Seingatnya hanya Parmin dan Pak Kinong serta
istrinya saja yang tahu siapa Bajing Ireng sebenarnya.
“Jangan banyak tanya! Mana kunci lemari anakmu!” desak tukang-tukang pukul
sang tuan tanah kepada Bek Marto.
Roijah tahu, jika mereka menggeledah lemari di kamarnya tentu akan
menemukan sebuah peti berisi kitab dan seperangkat pakaian silat pemberian
gurunya Peti itu sudah lama ia simpan di sana tanpa siapapun yang
mengetahuinya termasuk ayahnya sendiri. Maka Roijah segera keluar menuju
ruang tamu untuk menghadapi jagoan-jagoan tersebut.
“Aku tidak sudi memberikan kunci lemariku pada mereka, ayah!”
“Roijah?” sambut Bek Marto dengan nada heran.
“Ini suatu penghinaan terhadap seorang gadis yang sedang menjalani masa
pingitan. Lebih baik terus terang dari siapa sumbernya, mereka menuduh aku
sebagai Bajing Ireng?”
“Kami memiliki orang andalan yang dapat menembus segala sesuatu yang
tersembunyi, seorang dukun sakti yang dapat bekerja sama dengan
makhluk-makhluk halus!” ujar salah seorang dari mereka dengan nada
pongah.
“Kalau benar, kenapa tidak ia suruh makhluk halus itu langsung membunuh
orang yang dicurigai? Aku tak gentar menghadapi jenis makhluk seperti itu!”
tantang Roijah.
“Nah, jelas dialah orangnya, terbukti tidak mau digeledah!! Ayo tunggu apa
lagi!”
Tangkap anak Bek Marto itu dan kita hadapkan kepada Tuan Leonard Van Eisen
agar dijatuhi hukuman yang setimpal. Ayo kita tangkap!”
Dua orang dari mereka segera menyergap Roijah yang meronta-ronta
sebagaimana layaknya seorang anak perempuan biasa yang tak punya ilmu bela
diri. Melihat hal ini Bek Marto bertindak mencegahnya, tetapi ia segera
terjerembab karena kakinya digaet oleh begundal yang lain!
“Lepaskan! Jangan sentuh aku!”
“Kalau tidak mengaku juga, kau akan kukerjai di depan ayahmu ini, neng!”
disusul tangan mereka yang kekar itu membetot kebaya Roijah sampai robek
bagian dadanya sehingga kutangnya tampak dan membuat nafsu binatang mereka
semakin memuncak.
Sekali lagi Bek Marto mencoba melindungi anaknya, tetapi sebuah tendangan
telak segera membuatnya terpelanting ke lantai. Sementara itu salah seorang
dari mereka mencoba untuk membetot angkin pengikat kain yang dipakai
Roijah.
Tepat pada detik-detik kritis itu tiba-tiba tangan begundal yang terjulur
itu tersentak keras karena sebuah batu kerikil dilemparkan orang tepat
mengenainya.
Serentak ketiga jago bayaran itu memekik dengan ranting pohon tertancap di
dahi masing-masing. “Woaaaaaa”!” begundal biadab itu menjerit dengan
kerasnya dan kedua temannya menoleh kearah datangnya suara lantang dari atas
dahan pohon di depan rumah Bek Marto.
Semua yang hadir disitu terperangah kaget melihat sesosok tubuh dengan
pakaian serba hitam dan wajah yang tertutup kain cadar berwarna hitam
pula.
“Kalian mencari Bajing Ireng? Inilah aku! Silakan tangkap aku barangkali
Van Eisen akan membuat kalian jadi kaya-raya!”
Kontan tiga orang jago bayaran itu melepaskan Roijah dan segera memburu
orang yang dicarinya, masing-masing dengan senjata terhunus. Namun baru saja
sampai di bawah pohon itu, tiba-tiba mereka bertiga meraung kesakitan dengan
potongan ranting pohon yang tertancap di dahi masing-masing. Ketiganya
kemudian secara bersamaan ambruk ke tanah untuk tidak bisa bangun
lagi.
“Mereka hanya kecoa-kecoa busuk.yang sepantasnya harus bernasib seperti
itu!” ujar pendekar yang menamakan dirinya Bajing Ireng, disaksikan oleh Bek
Marto dengan pandangan penuh rasa kagum dan heran.
Roijah sendiri untuk beberapa saat masih terperangah menatap pendekar sakti
yang masih bertengger di atas dahan pohon tepat di samping pintu pekarangan
itu.
“Hi hi hi hi hi....... terpaksa Bajing Ireng muncul di siang hari bolong!”
katanya dan disusul dengan sebuah gerak salto di udara beberapa kali ia
melesat meninggalkan pekarangan rumah Bek Marto dan lenyap dibalik rimbunan
pohon di seberang sana.
Roijah menghela nafas dengan puji syukur kepada Tuhan karena tanpa terduga
dapat lepas dari ancaman bahaya para begundal yang kemaruk hadiah itu.
Bibirnya yang rekah delima itu bergetar dan membisikkan sesuatu hampir tidak
terdengar oleh ayahnya sendiri yang masih menahan sakit akibat tendangan
tadi.
“Terimakasih, guru!”
………………………
Kemana tujuan perjalanan Parmin murid tunggal Ki Sapu Angin
selanjutnya?”
Ikutilah kisah Jaka Sembung selanjutnya dalam episode SI GILA DARI MUARA
BONDET
Emoticon