Parmin terus menjalankan dengan tekun apa yang diperintahkan oleh guru
barunya itu tanpa sedikit pun mengeluh. Begawan Sokalima semakin sayang
padanya melihat sikap Parmin.
Di suatu pagi yang cerah setelah menginjak bulan kedelapan, seperti
biasanya Parmin menjalankan latihannya bersama-sama dengan gurunya.
“Perhatikan gerak putar balik jurus yang keempatpuluh lima. Lirikan matamu
harus dibarengi gerakan balik menyabet ke belakang dan tangan kiri siap
menangkis ke muka!” perintah Begawan Sokalima dengan penuh wibawa.
Parmin melaksanakannya dengan baik sekali setiap perintah dan wejangan yang
diberikan gurunya itu. Ia menanamkan setiap perintah dengan baik dalam
benaknya.
Pada suatu malam di bulan berikutnya, di tengah malam saat bulan purnama
bersinar terang menyinari lembah Banyu Panas, terlihat dua sosok sedang
bersila di atas sebuah batu besar yang berada tepat di tengah-tengah lembah.
Bau belerang menyebar di mana-mana, tetapi dua tubuh yang sedang bersila
berhadapan itu tampak tak terpengaruh sama sekali.
Keduanya saling berhadapan dengan telapak tangan menjadi satu dan mata
mereka terpejam. Tampaknya kedua orang itu sedang berkonsentrasi
penuh.
Tubuh Begawan Sokalima terlihat bergetar, dari ubun-ubunya keluar gumpalan
asap berwarna putih pertanda pengerahan tenaga dalam seseorang telah
mencapai puncaknya. Parmin yang duduk di hadapannya tetap duduk bersila
dengan tenang dan mala terpejam.
“Sekarang, bersiaplah. Melalui telapak tanganmu aku akan menyalurkan tenaga
dalamku,” bisik Begawan Sokalima perlahan.
Parmin segera melaksanakan petunjuk gurunya. Malam semakin merambat,
perlahan tapi pasti menuju pergantian hari. Fajar mulai menyingsing di ufuk
Timur, dan Begawan Sokalima telah selesai pula, mereka telah kembali ke
pondoknya.
Menurut perhitungan Begawan Sokalima, ilmu tongkat sakti yang diturunkannya
itu paling cepat dipelajari dalam waktu paling tidak dua tahun.
Namun Parmin berhasil menamatkan pelajaran itu dan menguasainya dalam bulan
yang keduabelas.
***
Singkat cerita, hari itu juga Parmin minta diri pada gurunya untuk turun
gunung guna menunaikan tugas dan perjalanannya yang telah tertunda sekian
lama. Begawan Sokalima dengan hati berat terpaksa merelakan Parmin yang
telah dianggapnya sebagai anak sendiri.
“Baiklah. Kurestui perjalanan menunaikan tugas sucimu itu, anakku. Tugasmu
jauh lebih penting dari segala-galanya dibanding rasa sentimen karena kita
harus berpisah. Kita pasti akan bertemu lagi suatu saat,” Begawan Sokalima
berkata perlahan sambil menghela nafas berat.
Bagaimanapun ia telah menyayangi Parmin sebagai anaknya sendiri, dan kini
tiba waktunya mereka harus berpisah.
“Kuwariskan tongkat besi ini padamu sebagai pelengkap bagimu dalam
menjalankan tugasmu itu. Sampaikan salamku pada kakang Sapu Angin kalau kau
bertemu dengannya lagi. Selamat jalan. Parmin, selamat jalan Jaka Sembung!”
kata Begawan Sokalima dengan suara menggeletar.
Tanpa terasa dari kedua belah matanya menitik air mata. Telah puluhan tahun
ia tak merasakan kesedihan seperti itu.
“Selamat tinggal, guru,” kata Parmin perlahan tapi sendu sambil mencium
tangan gurunya. Ia pun dapat merasakan kesedihan itu, tetapi sebagai orang
berjiwa besar ia dapat mengatasinya
“Berangkatlah sekarang juga, nak. Jangan sekali-kali kau menengok ke
belakang bila kau pergi meninggalkan orang dan tempat yang kau cintai,
karena hal itu hanya akan menimbulkan beban dalam hatimu.” Sambung Begawan
Sokalima lagi sambil memegang pundak Parmin.
Tak lama kemudian terlihat Jaka Sembung telah meninggalkan pondokan Begawan
Sokalima yang telah menjadi perguruannya yang kedua. Di tengah perjalanan ia
kembali teringat akan pesan Ki Sapu Angin, gurunya yang pertama.
Pesan Ki Sapu Angin kembali terngiang-ngiang di telinganya seolah gurunya
itu tengah berkata pada dirinya saat itu.
“Pergilah ke arah Selatan dan satukanlah para pendekar di sana. Sayang, aku
sudah tua dan tak bertenaga lagi, kalau tidak.......
"Pergilah kau mendaki gunung Ciremai sampai ke puncaknya karena ada sesuatu
yang sangat penting yang akan kau temui di sana, selain juga untuk menguji
mental dan kemampuanmu.”
Semangat Parmin kembali timbul, ia berjalan dengan penuh keyakinan.
Seminggu kemudian Jaka Sembung telah berhasil mencapai tempat yang
ditujunya.
Terlihatlah kepundan Ciremai tinggal beberapa langkah lagi. Udara di
sekitarnya terasa sangat dingin. Angin berhembus pelahan dan awan
menggumpal-gumpal terasa begitu dekat dengannya.
“Angin seperti ini biasanya menandakan hujan akan turun,” kata Parmin pada
dirinya sendiri.
Dugaannya memang betul, dalam waktu singkat langit telah berubah menjadi
gelap sekali. Tak lama kemudian gerimis segera turun membasahi bumi. Parmin
segera berlari-lari mencari tempat berteduh. Beberapa lama ia berlari,
akhirnya pendekar dari gunung Sembung itu berhasil menemukan sebuah
goa.
Sesampainya di goa itu, Parmin segera masuk dan beristirahat di dalam untuk
menghilangkan rasa penat dan lelah setelah mendaki gunung Ciremai. Matanya
memandang jauh ke depan menembus rintik-rintik hujan gerimis.
Parmin termenung sejenak. Dikeluarkannya sebatang seruling yang merupakan
teman setianya selama perjalanan. Tak lama kemudian segera mengalun irama
penuh kerinduan dari hati yang nelangsa, menggema ke seluruh goa.
Binatang-binatang di dalam goa pun seolah berhenti bergerak seakan-akan
larut dalam irama seruling yang syahdu.
“Tuliit....... tiut tut tuilliiiiiut.......
Betapa rindunya hati ini.......
Siang dan malam engkau selalu kukenang.......
Wajahmu selalu terbayang-bayang.”
Tiba-tiba senandung Parmin terhenti, matanya yang tajam menembus ke dalam
kegelapan di sela-sela hujan gerimis, ia menangkap gerakan suatu bayangan di
depannya.
“He, siapakah itu.......?” gumam Jaka Sembung tersentak sambil berdiri dan
terus memperhatikan sosok tubuh yang tampak dari kejauhan itu.
Ia melihat sesosok bayangan sedang berlari-lari menuju tempatnya berteduh
itu. Jaka Sembung alias Parmin berusaha menajamkan indera pendengaran dan
penglihatannya agar dapat menangkap bayangan orang itu lebih jelas lagi.
Bayangan itu tampak seperti memakai payung pelindung agar bajunya tidak
basah.
Orang itu semakin dekat menuju goa tempat Parmin berteduh. Dari gerakannya
yang lincah dan tangkas, tentunya ia adalah seorang pendekar yang berilmu
cukup tinggi.
Jaka Sembung terkejut ketika melihat dengan jelas bahwa yang berlari-lari
ke tempatnya berteduh itu ternyata seorang wanita muda. Lebih terkejut lagi
pendekar gunung Sembung itu ketika melihat bahwa ternyata bukan payung yang
berada di tangan wanita muda itu, melainkan sebuah pedang bermata dua yang
diputarnya sedemikian cepat di atas kepalanya.
Begitu cepatnya putaran pedang itu sehingga membentuk payung yang tak
tembus oleh air hujan sekalipun. Betapa kagumnya Parmin melihat kepandaian
si gadis yang kini telah berdiri tegak di hadapannya itu.
“Hei, siapakah anda?” tanyanya penuh selidik.
“Aku seorang musafir yang tersesat ke puncak Ciremai ini,” jawab Parmin
sedikit berbohong untuk memancing reaksi dara muda di hadapannya itu.
Dara manis itu memakai pakaian ketat yang menggambarkan bentuk tubuhnya
dengan jelas. Lekuk tubuhnya tampak jelas sedang mekar-mekarnya.
Pinggangnya ramping. Bulu matanya lentik dengan sepasang alis yang tersusun
rapi. Bibirnya mungil. Rambutnya disanggul ke belakang, diikat dengan pita
biru muda yang sewarna dengan kemeja dan celana yang dipakainya.
“Begitu sempurna,” pikir Parmin.
Kejadian itu berlangsung hanya sekejap, sepasang mata mereka bertemu
pandang dan keduanya lalu sama-sama tertunduk. Jaka Sembung tertunduk,
sementara itu sekilas ia merasa ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya.
“Aneh, aku serasa pernah mengenal gadis ini, entah di mana dan kapan,”
pikir Parmin dalam hati.
Wajah si dara memerah dadu dalam sekejap adu pandang tadi. Maklumlah baru
kali ini dipandang oleh sorotan mata seorang pemuda yang gagah dan
tampan.
Demikian pula Parmin. Sebagai manusia normal, apalagi statusnya masih
bujangan, pantaslah bila Parmin memandang dara manis itu dengan sorotan mata
yang agak lain. Ketika Jaka Sembung hendak mencuri pandang sekali lagi, pada
saat yang bersamaan si gadis itu pun memergokinya.
Wajahnya semakin kemerah-merahan, semula ia tertunduk, tetapi tak lama
kemudian segera berubah. Matanya melotot, sambil bertolak pinggang ia
membentak Parmin.
“Mengapa anda menatapku seperti itu?” tanya dara itu dengan cepat.
Suaranya tak terdengar lembut seperti tadi. Parmin terkesiap, untuk sejenak
mulutnya seakan-akan tersumbat sesuatu sehingga ia tak segera
menjawab.
Terdengar kembali dara itu memaki-maki.
“Anda pikir aku wanita apa? Jangan mengira karena aku perempuan, maka anda
dapat menganggap remeh dan berbuat sesuka hati hendak melampiaskan nafsu dan
keisengan anda yang rakus! Jangan gegabah!” bentak si gadis tanpa memberikan
kesempatan pada Parmin untuk menjelaskan masalahnya.
“Apa maksud anda, nona?” tanya Parmin gugup.
“Huh! Dasar laki-laki hidung belang, mata keranjang! Tak usah berlagak
tolol kalau sudah kepergok, kurang ajar!” gadis itu membentak lebih keras
untuk melampiaskan kemarahannya. Ia segera mengayunkan pedangnya menusuk
titik kematian di tubuh Jaka Sembung yang masih tidak memahami kenapa gadis
itu tiba-tiba menjadi sangat marah.
“Ciaaattt.......!” Pedang si gadis telah mengayun dengan deras ke tubuh
Parmin.
Bukanlah Jaka Sembung namanya kalau hanya untuk menghindari serangan
seperti itu saja tak mampu. Dengan meletikkan tubuhnya ke atas seperti
seekor jangkrik kena geprak, Jaka Sembung bersalto beberapa kali ke udara
melewati kepala gadis tersebut.
Dara manis yang berpakaian serba biru muda itu merasa penasaran karena
serangannya hanya mengenai tempat kosong belaka. Ia kembali mengulangi
serangannya dengan mempercepat gerakan pedangnya untuk memburu tubuh Parmin
yang masih bersalto di udara.
Gadis itu memutar pedangnya ke depan seperti sebuah mata bor dengan cepat
sampai menimbulkan cahaya kehijauan yang membentuk lingkaran-lingkaran kecil
langsung menerjang ke arah Parmin. Dengan ketenangan yang luar biasa,
mengingat ia pun baru lepas dari gemblengan gurunya yang luar biasa, Parmin
tak menjadi gugup, ia hanya menggeser kakinya ke samping kanan, maka
luputlah serangan dara tersebut.
Dara manis berbaju biru muda yang bernama Sri Ayu Ningrum itu kembali
melanjutkan serangannya. Ketika untuk kesekian kalinya Sri Ayu menyerang dan
menyabetkan pedangnya ke arah lambung, dengan seenaknya Parmin menggunakan
tongkat pemberian Begawan Sokalima untuk menangkisnya.
“Traangg.......!”
“Auhhh.......!”
Terdengar denting nyaring dua senjata tajam yang beradu. Gadis itu tampak
mundur beberapa tindak sambil meringis kesakitan. Pedangnya terlepas dari
tangannya, sementara ia merasakan tangannya seperti kesemutan. Beberapa saat
ia celingukan mencari ke mana jatuhnya pedang yang tadi dipegangnya.
Ternyata pedang itu tidak jatuh ke tanah. Sri Ayu Ningrum jadi penasaran.
Apa yang terjadi?
Ternyata pedangnya itu sudah bertengger dan melekat dengan kerasnya di
tongkat besi yang dipegang Parmin. Tongkat pemberian Begawan Sokalima itu
ternyata terbuat dari bahan berupa magnit yang dapat menarik dan menempelkan
benda-benda logam lainnya.
“Tunggu, nona! Aku sama sekali tak bermaksud buruk terhadapmu. Ambillah
pedangmu ini kembali,” sapa Parmin dengan sopan seraya menyerahkan pedang
tersebut.
Belum sampai tangannya terulur penuh, tiba-tiba Parmin harus menghindar
kembali dengan satu loncatan karena ternyata Sri Ayu Ningrum telah
menyabetkan sesuatu yang sejak tadi melilit di pinggangnya.
“Ctar! Ctarrrr.......!”
Suara tali pinggang yang dilecutkan dengan keras itu terdengar menggema di
dalam goa. Ujungnya menerpa dinding goa sampai mengeluarkan percikan api dan
batu dinding itu lantas menjadi hancur lebur berkeping-keping.
Parmin menjadi semakin kagum kepada dara berbaju biru muda itu, ia terus
saja menghindar tanpa membalas. Rupanya ujung ikat pinggang itu merupakan
sebuah benda yang runcing dan tajam, semacam senjata rahasia yang bentuknya
seperti sehelai angkin.
Jaka Sembung merasa geraknya di dalam goa yang sempit dan gelap itu tidak
leluasa apabila ia terus diserang bertubi-tubi. Lagipula ia tak ingin sampai
salah tangan dan melukai dara manis yang belum dikenalnya itu.
Belum sempat kakinya menginjak tanah, gadis itu telah kembali menyerang
dengan ganasnya. Rupanya gadis itu menjadi marah dan penasaran karena
sedemikian jauh ia belum dapat mengenai lawan.
Hujan masih turun dengan derasnya, dan tidak terlihat tanda-tanda akan
berhenti. Tanah di sekitar goa dan mulut goa itu sendiri telah basah dan
menjadi becek. Sri Ayu tetap penasaran tanpa memperdulikan pakaiannya
menjadi basah kuyup dan memperlihatkan bentuk tubuhnya yang padat berisi
dengan jelas.
Lekuk-lekuk tubuh yang membayang jelas itu membuat Parmin menjadi kikuk dan
canggung memandangnya sehingga gerakannya menjadi lamban. Hal ini membuat si
gadis menjadi semakin bernafsu untuk menyerang dan mengalahkannya.
“Jangan merasa bangga dulu dengan tongkatmu! Tali pinggangku ini terbuat
dari logam anti besi berani!” Suara Sri Ayu begitu keras terdengar.
***
Sementara pertarungan itu terus berlangsung. Di bawah sana terdapat
pemandangan yang indah dengan pohon-pohon rindang dan padi-padi yang sedang
menguning serta tanaman palawija yang mulai siap dipanen.
Seorang pemuda remaja bertelanjang dada tampak sedang beristirahat di
sebuah saung beratap daun kelapa, menantikan hujan yang tak kunjung reda
sejak tadi. Wajahnya sejak tadi berseri-seri memandang hasil jerih payahnya
bersama keluarga selama ini.
Dalam hatinya ia bersyukur kepada Sang Pencipta yang telah memberikan
rahmat-Nya selama ini. Pemuda itu bertubuh ramping dan berotot kekar,
matanya tajam, rambutnya sebatas bahu dengan senjata kesayangan berupa
sebuah beliung yang sedang ia bersihkan dengan hati-hati. Pemuda itu bernama
Kaswita.
“Lama sekali mbakyu pergi ke puncak Ciremai,” keluh Kaswita pada dirinya
sendiri. “Biasanya ia tidak lama di sana. Apakah ada sesuatu yang terjadi
pada dirinya?” desah Kaswita mulai khawatir.
Sri Ayu terus mencecar Parmin dengan jurus-jurus kilat yang berbahaya pada
saat Parmin merasa terdesak, sehingga pendekar dari gunung Sembung itu mulai
merasa kehilangan sabarnya, ia memutuskan untuk segera bertindak.
“Traaakk.......!” Dengan penuh perhitungan Parmin menyambut senjata Sri Ayu
dengan tongkat besi beraninya. Di saat kedua senjata itu beradu, kedua
seteru itu berkutat mempertahankannya. Senjata tongkat khas Jaka Sembung
kini terlibat oleh ikat pinggang milik Sri Ayu.
“Maafkan jika tindakanku kasar, nona. Kau pasti tak akan mau percaya
padaku,” bentak Parmin masih dalam nada sopan.
Sri Ayu tak mau mendengar ucapan Parmin, ia terus saja berusaha menarik
kembali senjatanya sekuat tenaga. Matanya bersinar merah karena marah.
Sewaktu Jaka Sembung membelot tongkatnya, Sri Ayu ngotot untuk tidak
melepaskannya. Dengan satu sentakan, Parmin berhasil melepaskan belitan ikat
pinggang Sri Ayu.
“Hup, maaf, nona,” kata Parmin sopan.
“Ah,” si gadis berteriak kesakitan dan juga terkejut, yang disusul dengan
suara gedebuknya tubuh yang jatuh.
“Buk!” Hentakan Jaka Sembung tadi membuat Sri Ayu merasakan tongkatnya
seperti ditarik dengan keras sehingga ia berusaha menahannya sekuat tenaga.
Siapa yang menyangka di saat ia tengah berusaha bertahan sekuat tenaga
menahan itu, lawan justru melepaskannya dengan sebuah sentakan kecil tetapi
bertenaga besar.
Akibatnya tubuh Sri Ayu terjerembang ke belakang dengan kerasnya, langsung
menimpa kubangan lumpur yang tercipta karena derasnya hujan di tanah.
Pakaian dara manis itu jadi kotor sekali.
“Oh, maafkan aku, nona,” kata Jaka Sembung merasa tidak enak, tetapi juga
merasa lucu melihat keadaan lawan.
Ia segera mengulurkan tangannya untuk menolong orang. Tanpa
disangka-sangka, Sri Ayu justru menyambuti uluran tangan Jaka Sembung dengan
suatu gerakan kilat yang sangat cepat. Tangannya cekalan melontarkan tiga
buah senjata rahasia ke tubuh Parmin.
Langkah Parmin terhenti seketika, tongkat besinya bergerak menghentak tanah
di bawah. Tubuhnya bersalto beberapa kali di udara untuk menghindarkan diri
dari serangan gelap yang dilancarkan Sri Ayu.
Gadis itu langsung mencecar Jaka Sembung dengan beberapa senjata rahasia
yang dilontarkan secara beruntun. Dengan memutar-mutar tongkatnya, Parmin
terus bersalto di udara beberapa kali lalu menjauh dari tempat itu.
“Tep! Tep!” Beberapa senjata rahasia yang dilontarkan Sri Ayu melekat di
tongkat Parmin yang mengandung besi berani itu.
Ia kembali melayang turun dengan lincahnya.
“Tahan, nona! Kalau tidak, aku akan menghajarmu!” gertak Parmin
menakut-nakuti.
“Coba, kalau kau berani!” Sri Ayu berkata kesal dan marah bercampur satu
sambil melemparkan beberapa senjata rahasia yang masih berada di
tangannya.
Bersamaan dengan berdesingnya senjata rahasia itu, meluncurlah sesosok
bayangan ke arah Parmin. Telinga Jaka Sembung yang terlatih dapat menangkap
suara berdesirnya angin serangan yang datang dari belakang tubuhnya, ia
menyadari bahwa ada orang lain yang membokongnya dari belakang. Sebuah benda
runcing yang sangat keras tengah mengancam jiwanya saat itu.
Dengan gerakan yang sangat cepat Parmin mengeluarkan jurus Elang Terbang
Mematuk Anak Itik, dan tubuhnya meletik ke samping kiri unluk menghindari
serangan gelap tersebut sementara tongkatnya masih bergerak menangkis
senjata rahasia yang dilontarkan oleh Sri Ayu.
“Creeeppp.......!” Tanah di bekas tempat Parmin berdiri tadi langsung
berlubang terhantam sebuah beliung bermata runcing yang merupakan senjata
penyerang Jaka Sembung barusan.
“Tahan! Siapakah anda? Mengapa menyerangku secara tiba-tiba?” bentak Parmin
dengan penuh tanda tanya.
“Heaaatt.......! Pengembara tersesat! Jangan coba-coba mengganggu kakakku.
Bangsat kau!” jawab anak muda yang kini telah bersikap mengancam lagi dengan
sebuah beliung melintang di dadanya.
Jaka Sembung dengan tenang mengawasi anak muda bertelanjang dada dengan
senjata berupa beliung tajam di depannya itu. Pemuda itu adalah Kaswita yang
datang menyusul kakak perempuannya, dan mendapatkan mbakyunya sedang
bertarung dengan Parmin, maka ia pun segera turun tangan membantu
kakaknya.
“Hati-hati, adikku! Ia sangat tangguh,” sergah Sri Ayu.
“Jangan takut, mbakyu!” jawab Kaswita yakin.
“Tunggu, saudara! Sabar....... Aku sungguh-sungguh tak bermaksud buruk
terhadap mbakyumu ini. Anda berdua telah salah paham,” Parmin berusaha
mencegah terjadinya kesalahpahaman yang lebih ruwet.
Kaswita sama sekali tak menggubris omongan Jaka Sembung, ia segera
menyerang dengan beliung yang merupakan senjata andalannya dengan cepat dan
bertubi-tubi.
“Yeeeaaahhhh.......!” teriak Kaswita keras dan panjang. Beliungnya mengarah
dengan deras ke arah ubun-ubun Parmin.
Pendekar dari gunung Sembung itu merundukkan kepalanya dan ujung beliung
yang runcing itu lolos lewat belakang kepalanya. Sama sekali tak terduga
oleh lawannya, Parmin membuat sebuah gerakan yang cepat.
Tiba-tiba saja tongkat Parmin menyusup melalui dada sampai ke celah paha
Kaswita dan dengan cepat pula tubuh Kaswita yang kekar itu terangkat ke atas
sehingga untuk beberapa detik tubuh Kaswita dapat berdiri tegak di tanah
dengan ringannya setelah tubuhnya berjungkir balik beberapa kali di
udara.
Belum habis rasa heran Parmin, Kaswita telah kembali menyerang dengan jurus
Beliung Menyambar Alang-alang. Parmin melompat kian ke mari menghindar
seperti seorang penari ballet. Kaswita sama sekali tak memberi peluang
sedikit pun pada Jaka Sembung yang terus menghindar. Di suatu ketika yang
baik, Parmin berhasil melewati tubuh Kaswita dan menepak pundaknya.
“Aahhh.......!” teriak Kaswita, tubuhnya segera jatuh bergulingan beberapa
kali di tanah. Namun ia segera bangkit kembali dan siap menyerang Parmin
lagi.
Sementara itu Sri Ayu telah siap pula untuk membantu adiknya dalam
menghadapi lawan yang cukup tangguh buat mereka berdua.
“Tunggu, anak muda! Kalian telah salah paham,” cegah Parmin sambil
menghindar ke samping kanan.
Namun Kaswita tak mau memperdulikan kata-kata Parmin dan terus menyerang
dengan nafsu membunuh.
“Adikku, mari kita sama-sama menyerang!” suara Sri Ayu terdengar tegas
memberi komando.
“Baik, mbakyu! Aku pun telah siap sejak tadi!” terdengar Kaswita
menimpali.
Kedua kakak beradik itu lalu mundur membuat jarak untuk menyerang dari
tempat Parmin berdiri. Kaswita di sebelah kanan, sedangkan Sri Ayu di
sebelah kiri.
Dengan senjata di tangan, kedua kakak beradik itu telah bersiap-siap
menyerang Parmin. “Ciiaaattt.......!” berbarengan mereka menyerang. Dengan
penuh kewaspadaan Parmin menanti serangan itu sampai tepat pada jarak yang
diperhitungkannya.
“Haaattt.......!” Jaka Sembung berteriak sambil melompat ke atas membuat
beberapa kali putaran. Traaaanngg.......! Dua buah senjata beradu
mengeluarkan percikan api, kiranya senjata mereka beradu satu sama lainnya
sehingga kedua kakak beradik itu sama-sama tercengang. Kini mereka
melanjutkan serangannya kembali secara bersama-sama untuk mendesak
Parmin.
Ketiga pendekar muda yang berkelahi itu terus terlibat dalam kemelut sampai
ke bibir kepundan Ciremai. Gulungan-gulungan cahaya yang keluar dari
senjata-senjata mereka saling menindih. Dari kejauhan kelihatan tubuh mereka
seolah-olah seperti makhluk-makhluk ajaib yang melenting ke sana ke
mari.
***
3
Di bawah tebing itu terlihat sesosok bayangan berkelebat dengan gerakan
yang sulit diikuti mata biasa. Gerakannya sangat lincah dan cekatan melompat
ke sana ke mari, dari batu ke batu tanpa membuat batu-batu yang dipijaknya
tergeser, seolah-olah tak pernah tersentuh kakinya.
Bayangan itu kian mendekat dan kini terlihat bentuknya. Sesosok manusia
berpakaian serba putih, kepalanya dililit sorban berwarna putih pula.
Penampilannya mencerminkan seorang mualim yang saleh.
Orang yang berpakaian serba putih itu bernama Elang Sutawinata, umurnya
sudah mencapai setengah ahad. Elang Sutawinata mendaki tebing Ciremai dengan
maksud mencari anak-anaknya yang belum kembali. Sri Ayu dan Kaswita terus
menyerang Parmin sampai ke pinggir jurang ke pundan.
Parmin yang hanya menghindar dan terus berkelit sejak tadi hingga kelihatan
terdesak. Hal itu semata-mata dilakukan Parmin alias Jaka Sembung karena ia
enggan menangani orang-orang yang tidak mutlak menjadi musuhnya.
Kali ini Sri Ayu dan Kaswita membuat kuda-kuda yang cukup aneh. Mereka
saling berpegangan tangan dan bersama-sama seperti lengket saja tubuh
mereka, keduanya membuat gerakan menyerang.
Jurus ini mereka namakan jurus Menyatukan Sukma.
“Ciaaattt.......!” lengking suara mereka berbarengan.
“Heeeaatt.......!” Parmin alias Jaka Sembung pun tak mau kalah.
Ia bersalto beberapa kali dan terus berlaku demikian hingga mendarat tepat
di bibir tebing. Di bawahnya kawah Ciremai menganga siap menyambut siapa pun
yang jatuh ke dalamnya.
Di saat yang genting itu tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan lain
memecahkan suasana tegang itu dan berdiri di tengah-tengah mereka dengan
sikap gagah dan berwibawa. Wajahnya arif bijaksana, yang baru datang itu tak
lain adalah si orang tua Elang Sutawinata adanya.
“Tahan!” terdengar suara berat penuh wibawa menggema.
Seketika itu juga pertarungan terhenti, Sri Ayu dan Kaswita segera
menghampiri orang tersebut. “Ayah!” kedua kakak beradik itu berteriak hampir
bersamaan. Di wajah mereka terbayang kegembiraan.
“Kalian tidak tahu malu mengeroyok orang yang tidak melawan dan membiarkan
kalian menyerangnya,” suara Elang Sutawinata terdengar halus tetapi penuh
teguran kepada kedua putra putrinya.
“Dia telah kurang ajar padaku, ayah!” ujar Sri Ayu dengan penuh
kemanjaan.
“Aku hanya membantu mbakyu, ayah,” potong Kaswita membela diri. Sekalipun
usianya sudah remaja, namun sikap pemuda ini masih seperti anak-anak bila
berhadapan dengan orang tuanya.
“Kalianlah yang terburu nafsu, anakku,” sahut Elang Sutawinata menimpali
pembelaan kedua anaknya itu.
Parmin kembali tertegun melihat kejadian di depannya itu. “Ketiga anak dan
bapak ini seakan-akan pernah kulihat, tetapi entah di mana,” pikirnya dalam
hati.
Kini Elang Sutawinata memandang Parmin dengan penuh selidik, demikian pula
halnya dengan Parmin. Seolah ada sesuatu yang mereka percakapkan dalam
pertemuan mata itu.
“Maafkanlah kelakuan anak-anakku yang masih hijau ini, mereka belum
mengerti bagaimana menjadi pendekar-pendekar yang baik,” kata Elang
Sutawinata dengan sopan.
“Oh, tidak mengapa, pak! Paling tidak, mereka telah menunjukkan bakat dan
keuletan mereka sebagai calon pendekar dalam latihan barusan,” jawab Parmin
merendah. Ia merasa suka dengan sikap orang tua tersebut.
“Hendak ke manakah kau, anak muda?” tanya orang tua Elang Sutawinata.
“Saya hendak mencapai puncak Ciremai ini.”
“Apa tujuanmu hendak mendaki ke atas itu?”
“Saya hanya memenuhi perintah guru saya, pak.”
“Siapakah kau anak muda? Dan siapakah gurumu? Maafkan bila pertanyaanku
seolah mendesakmu. Aku bertanya seperti ini karena mendadak dalam hatiku
berkata sebuah firasat yang belum kuketahui juntrungannya,” sergah Elang
Sutawinata.
Tak salah memang apa yang dikatakannya, ia merasa hatinya berdegup
tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
“Nama saya, Parmin, murid Ki Sapu Angin dari Eretan. Saya diperintahkan
oleh beliau untuk mengembara mencari pengalaman dan berjuang mengumpulkan
para pendekar untuk mencapai tujuan menumpas penjajah dari bumi Nusantara
ini,” jawab Jaka Sembung jujur dan apa adanya.
“Parmin.......? Murid Ki Sapu Angin? Ya, Allah, Ya Rabbi!” si orang tua
Elang Sutawinata mendesah pelan hampir tak terdengar.
Di bibirnya tersungging senyum yang masih belum dapat ditebak maknanya oleh
Jaka Sembung. Kegembiraan jelas terlukis di wajah putih bersih itu
“Parmin, aku sangat gembira bertemu denganmu! Inilah saat yang
ditunggu-tunggu selama duapuluh tiga tahun! Marilah kita bercakap-cakap
dalam pondok kami. Ke marilah, nak!”
Elang Sutawinata berkata ramah dan terus menggandeng Parmin. Yang digandeng
menurut saja, cuma dalam hatinya timbul sedikit rasa heran.
Selama dalam perjalanan. Parmin terus bertanya-tanya dan berfikir dalam
hatinya, siapakah mereka ini sebenarnya?
Wajah mereka sangat mirip dengan dirinya sendiri, ia merasa seperti berkaca
pada tiga buah cermin, Parmin alias si Jaka Sembung seolah melihat ketiga
bayangannya sendiri. Keempat orang itu lalu menuruni tebing meninggalkan
bibir kepundan menuju sebuah pondok kecil yang terletak di sebuah dataran
yang luas dan indah.
Tempat itu sangat indah, sebuah rumah yang seluruhnya terbuat dari bambu
dengan pohon rindang di sekelilingnya. Di samping kanan ada sebuah kolam
dengan ikan-ikan yang besar-besar dan siap untuk dipanggang.
Tempat itu sungguh asri dan elok dilihat, diperindah dengan pemandangan di
sekitar lereng-lereng Ciremai yang menghijau. Jaka Sembung terus menatap
dengan kagum. Ketika mereka sampai di pondok itu, hujan pun telah
berhenti.
“Nah duduklah, nak. Semoga kau dapat menganggap tempat ini seperti rumahmu
sendiri,” bersilah Elang Sutawinata.
“Terima kasih, pak! Tapi saya ingin membersihkan diri dulu sebelumnya,”
kata Parmin sopan.
Elang Sutawinata menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Sepeninggal pendekar muda dari gunung Sembung itu, ia pun segera mengatakan
pada Sri Ayu untuk menyiapkan hidangan berupa teh hangat dan singkong rebus
untuk dihidangkan pada tamu mereka itu.
Setelah selesai, barulah ia kembali memanggil anak-anaknya untuk berkumpul.
“Sri! Kaswita! Duduklah di dekat ayah. Akan ayah ceritakan siapakah tamu
kita ini sebenarnya,” ujarnya lembut.
“Siapakah orang itu, ayah?” Sri Ayu tak sabar bertanya.
“Ya, ayah. Ceritakanlah segera!” Kaswita ikut mendesak.
Jawab Elang Sutawinata menyabarkan kedua anaknya. Tak lama kemudian Parmin
telah selesai dan ia pun ikut duduk berhadapan dengan Elang Sutawinata yang
dikelilingi oleh Sri Ayu dan Kaswita.
“Ah, sayang ibu kalian telah meninggal, kalau tidak, pertemuan ini akan
lebih menggembirakan,” desah Elang Sutawinata dengan nada haru mengenang
masa silam.
Matanya menerawang sesaat, memandang jauh ke masa silam. Parmin pun ikut
terharu melihatnya.
“Sri! Kaswita! Tentunya tak akan terjadi baku hantam antara kalian kalau
kalian tahu siapa pengembara yang gagah perkasa ini. Sebetulnya kalian
berdua memang bukan apa-apa bila dibandingkan dengannya,” ujar Elang
Sutawinata mengingatkan kedua anaknya.
Parmin hanya tersenyum mendengarnya.
“Nah, pak. Ceritakanlah apa yang ingin bapak ceritakan. Saya ingin segera
mendengarnya,” desak Parmin halus.
“Sabarlah, nak. Sebelum aku mulai bercerita, minumlah dulu teh hangat dan
singkong rebus ini untuk menghangatkan tubuhmu,” Elang Sutawinata
mempersilahkan Parmin untuk mencicipi hidangan di depannya.
“Terima kasih, pak!” ujar Parmin sambil tersenyum. Tangannya segera terulur
mengambil cangkir air teh dan sepotong singkong yang masih hangat. Setelah
mengucapkan “Bismillah”, Parmin memakan singkong yang masih hangat
itu.
“Semua ini hasil tanaman Sri dan Kaswita, nak Parmin.”
“Ayah juga turut menanamnya.” sela Sri Ayu manja.
Heran, langsung hilang begitu saja rasa kesalnya terhadap Parmin setelah
kedatangan ayahnya. Ia pun merasakan ada hal yang aneh dalam dirinya,
seperti yang dirasakan oleh Elang Sutawinata dan juga Parmin.
Demikian pula halnya dengan Kaswita yang tak luput dari perasaan seperti
itu.
“Betul, nak Parmin. Selama lebih dari duapuluh tahun kami di sini bercocok
tanam. Semuanya kami lakukan bersama-sama sampai detik ini,” jawab Elang
Sutawinata.
“Apakah bapak tidak punya pekerjaan sampingan?”
“Tidak, nak. Pekerjaan ini sudah menjadi bagian dari hidup bapak karena
bapak tak mau lagi mencampuri urusan orang lain.” Mata Elang Sutawinata
menerawang kembali jauh ke masa silam.
Tidak terasa saking asyiknya mereka mengobrol, matahari di ufuk Barat telah
menghilang dan diganti dengan seberkas sinar di ufuk Timur yang berupa
cahaya keemasan dari sang rembulan pertanda malam lelah menjelang.
Elang Sutawinata pun segera mengajak Parmin dan anak-anaknya untuk
melakukan kewajiban sebagai orang muslim untuk mendirikan shalat Maghrib
berjamaah dengan dia sendiri bertindak selaku imam.
***
4
Duapuluh tiga tahun yang lalu pada saat itu di Keraton Kanoman yang
pilar-pilarnya berdiri megah dengan dinding berukir hasil buah tangan
pemahat yang mahir, serta lantai rumah tangga yang hampir semuanya berlapis
emas, terasa sekali suasana yang lenggang.
Di sudut sebelah kanan terlihat seperangkat guci yang terbuat dari keramik
pilihan dengan ukiran-ukiran yang sangat indah tertata rapi dengan beralas
sebuah meja yang ukirannya sendiri tak kalah indah dibanding dengan
ukiran-ukiran keramik tersebut.
Keraton tersebut diperintah oleh seorang Sultan dengan gelar Sultan Anom
Wicaksana. Di bangunan bagian dalam terlihat lima orang sedang duduk di
lantai yang berlapis permadani tebal dengan kombinasi warna kuning dan hijau
dengan garis pinggir berwarna hitam.
Seseorang yang tak lain adalah Sultan Kanoman duduk di sebuah kursi
berukiran sangat indah, ia tampak sedang berbicara serius dengan seseorang
di hadapannya itu. Di hadapan Sultan Kanoman terlihat seorang lelaki duduk
dengan sikat takzim. Lelaki itu masih tergolong keluarga keraton Kanoman
sendiri karena ia adalah saudara dari selir sang Sultan sendiri.
Lelaki bernama Sutawinata yang baru berumur duapuluh lima tahun. Dalam usia
semuda itu, Sutawinata sudah memiliki kepandaian dalam soal agama dan
pemerintahan. Oleh karena itulah ia sangat disayang oleh Sultan
Kanoman.
Segala persoalan pemerintahan yang sulit dapat diselesaikan dengan baik
berkat saran-sarannya. Oleh sebab itu tak heranlah kalau Sultan Kanoman
mengangkatnya sebagai seorang penasehat yang sangat diandalkan.
“Sutawinata! Hari ini kau akan kuberi gelar karena engkau telah banyak
berjasa terhadap keraton ini,” ujar Sultan Kanoman tegas dan penuh
wibawa.
“Terima kasih, kanjeng tuanku. Cuma hamba rasa hamba tak pantas menerima
gelar tersebut,” jawab Sutawinata merendah.
“Tidak, Sutawinata! Kau harus menerimanya karena ini sudah menjadi
keputusanku. Tak boleh ada yang membantah!” tegas Sultan Kanoman.
Mendengar kata-kata tersebut, Sutawinata terdiam dengan kepala tertunduk,
meskipun hatinya sebenarnya menerima dengan senang hati.
“Nah, Sutawinata. Kini engkau bergelar “Elang Sutawinata,” tegas Sultan
Kanoman.
‘Elang’ adalah sebutan bagi kedudukan di kalangan bangsawan Cirebon yang
tingkatnya kira-kira setaraf dengan sebutan ‘Raden Mas’ di kalangan
bangsawan di Jawa.
“Terima kasih, kanjeng Ratu. Terima kasih,” Sutawinata bersujud
berkali-kali di hadapan Sultan Kanoman karena sangat gembira hatinya, ia
menyembah penuh hormat pada junjungannya itu.
Sultan Kanoman tersenyum puas. Ia lalu berdiri dan memegang pundak Elang
Sutawinata sebagai tanda selamat yang segera diikuti oleh sesepuh keraton
dan pejabat-pejabat istana lainnya.
Setelah acara itu, Sultan Kanoman pun minta diri dan Elang Sutawinata serta
para punggawa dan orang-orang lain yang tadinya berkumpul di ruangan itu
pelahan-lahan mundur untuk kembali ke tempat masing-masing.
Sementara itu di salah satu bangunan yang terletak di pojok belakang istana
keraton terdengar suara anak kecil menangis manja. Rupanya anak kecil itu
sedang menantikan ibunya yang sedang mempersiapkan hidangan di atas meja
makan.
Setelah hidangan tersedia, digendongnya anak tersebut dan dibelainya dengan
penuh kasih sayang. Seketika itu juga tangis si anak berhenti dan kemudian
ia tertidur dalam pelukan ibunya.
Rupanya anak lelaki berumur dua tahun itu sedang mulai disapih atau dipisah
dari ibunya agar tidak menyusu lagi pada ibunya. Baru saja sang ibu
meletakkan anaknya di tempat tidur, terdengar suara pintu diketuk dari
luar.
“Tok tok tok.......!”
“Diajeng! Diajeng! Buka pintu!” suara itu memanggil.
“Sebentar, kangmas!” suara itu terdengar lembut di telinga.
Tak lama kemudian pintu pun terbuka dan terlihat sesosok tubuh berdiri
dengan wajah gembira dan senyum tersungging di bibirnya. Ia lalu mengecupkan
bibirnya dengan mesra di kening istrinya.
Orang yang baru datang itu tak lain adalah Elang Sutawinata yang baru
kembali dari keraton. Ia segera menggendong istrinya dengan mesra yang
disambut dengan lingkaran tangan di leher.
Istrinya menyandarkan kepalanya dengan manja di bahu suaminya, mereka
memasuki ruangan dalam.
“Kangmas. Kau kelihatannya gembira sekali malam ini,” sapanya mesra dan
manja.
“Diajeng, aku baru saja diangkat menjadi penasehat keraton dan memperoleh
gelar Elang,” ujarnya sambil membelai rambut istrinya yang terurai dengan
penuh kasih sayang.
“Syukurlah, tetapi janganlah Kangmas jadi sombong dan angkuh dengan
kedudukan itu,” istrinya mengingatkan.
“Tidak, diajeng. Aku tak akan silau dengan gemerlapannya harta benda,
sanjungan, kedudukan, dan juga gelar!” jawab Sutawinata yang kini telah
bergelar Elang Sutawinata.
“Sudahlah, kangmas. Lupakanlah itu dulu. Apakah kangmas tak ingin makan
dulu?” tanya istrinya manja sambil tersenyum manis sehingga semakin jelas
lesung pipit di pipinya.
“Aku belum lapar, diajeng. Aku ingin mengajakmu ke peraduan dulu,” kala
Elang Sutawinata sambil membopong tubuh istrinya yang menggelendot manja ke
dalam kamar.
***
Pada masa itu penjajah kompeni Belanda sudah menguasai beberapa pulau. Di
setiap daerah yang dikuasai oleh penjajah selalu dikenakan pajak.
Bermacam-macam jenis pajak yang dikenakan terhadap penduduk, mulai dari
pajak hasil bumi. Tak perduli apakah tanah itu merupakan tanah milik
perorangan maupun tanah milik keraton yang seharusnya berdaulat secara
otonom.
Pada suatu hari dalam Keraton Kanoman terlihat Sultan Kasepuhan sedang
berbincang-bincang dengan Sultan Kanoman. Mereka duduk di kursi yang terbuat
dari kayu jati dan diukir sangat indah.
Di depan mereka tersedia seperangkat minuman teh lengkap dengan hidangan
lainnya di atas sebuah meja marmer yang berukiran semotif dengan kursinya.
Di wajah mereka tercermin ketegangan.
“Aku tak mau memenuhi keinginan penjajah itu untuk membayar pajak,” ucap
Sultan Kasepuhan tegas.
“Itu terserah kangmas, tetapi apa daya kita? Kita tak punya kekuatan untuk
menentang penjajah Belanda. Aku akan tetap mengikuti peraturan dan membayar
pajak seperti yang diinginkan,” ujar Sultan Kanoman tegas.
“Tidak, Dimas! Kita harus berontak! Kalau tanah keraton mau dikenakan
pajak, itu sudah sangat keterlaluan dan menginjak harga diri kita. Dimas!”
tukasnya cepat dengan nada agak kesal.
“Sia-sia saja usaha kita, Kangmas. Berfikirlah baik-baik, bangsa Belanda
menjajah hampir seluruh kepulauan Nusantara!” sanggahnya sambil
berdiri.
“Bagaimana pun aku akan tetap berontak!” tegas Sultan Kanoman menjadi
semakin sengit, seakan-akan mereka berdua tidak dapat mencapai kata
sepakat.
“Kangmas, penjajah Kumpeni Belanda berpusat di Batavia itu sewaktu-waktu
mengerahkan kekuatan untuk mematahkan kita punya kekuatan, sedangkan kita
cuma merupakan kesultanan kecil yang mempunyai keraton di dalam kota yang
juga dikuasai oleh Belanda. Setiap gerak kita tentunya diawasi,” jelas
Sultan Kanoman memperingatkan saudaranya.
“Jadi kau tidak mau berontak? Kau mau dijadikan budak oleh Belanda?” tanya
Sultan Kasepuhan dengan nada ditekan menahan emosi.
“Bukan begitu, Kangmas. Jangan salah paham. Kita bukan pengecut, tetap kita
harus menyusun kekuatan secara perlahan-lahan.”
“Tapi sampai kapan? Belanda sudah terlalu menginjak kepala kita! Apakah
kita tak percaya pada kekuatan sendiri, kita bukan bangsa lemah yang mudah
diinjak-injak begitu saja, Dimas!”
“Akan sia-sia, Kangmas! Akan sia-sia! Percayalah kekuatan kita tak ada
seujung rambut pun dibandingkan kekuatan Belanda,” lanjut Sultan Kanoman
dengan wajah sinis.
Mendengar kata-kata Sultan Kanoman itu, wajah Sultan Kasepuhan menjadi
merah padam menahan marah. Ia lalu meninggalkan ruangan keraton itu tanpa
berkata apa-apa lagi.
Sultan Kasepuhan segera kembali ke keraton Kasepuhan tempat kediamannya.
Kepergiannya diikuti pandangan mata Sultan Kanoman yang juga merasa kecewa
melihat sikap saudaranya yang paling tua itu.
Demikianlah dualisme yang terjadi dalam kepemimpinan keraton itu
berlangsung tanpa suatu jalan keluar yang bersifat musyawarah untuk mencapai
kata mufakat. Sultan Kasepuhan menghendaki suatu revolusi, sedangkan
sebaliknya Sultan Kanoman menghendaki evolusi.
Kini tinggallah Sultan Kanoman seorang diri sambil mondar-mandir di ruangan
pendopo keraton Kanoman. Wajahnya muram, langkahnya gontai memikirkan
tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya, ia lalu memerintahkan seorang
punggawa untuk memanggil penasehatnya. Elang Sutawinata.
Emoticon