“Perampok...?” nada suara Pandan Wangi seperti bertanya.
“Kemarin rombongan Rara Ayu Endang Witarsih disergap perampok. Seluruh
prajurit dan panglimanya mati terbunuh. Perampok itu mengambil pedati yang
penuh berisi emas dan perak. Tapi Rara Ayu Endang Witarsih bersama
dayang-dayangnya selamat. Mereka kini telah kembali ke istana dan melaporkan
semuanya,” jelas orang tua itu gamblang.
“Tentu jumlah perampok itu sangat banyak,” ujar Pandan Wangi, agak
menggumam suaranya.
“Memang. Tapi, mereka sudah mati semua.”
“Mati...?!” Pandan Wangi tampak terkejut
“Mereka mati terbunuh di tengah jalan. Tapi dengar-dengar ada dua orang
yang berhasil melarikan diri, dan diduga sekarang ada di kota ini. Sedangkan
pedati yang berisi perhiasan emas dan perak bisa diselamatkan.”
“Hm.... Bagaimana mungkin itu bisa terjadi...?” gumam Pandan Wangi lagi,
seperti bertanya pada diri sendiri. Sedikit Pandan Wangi melirik Rangga yang
sejak tadi diam saja, duduk di sebelah kirinya.
Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mendengarkan pembicaraan ini.
Sementara, terlihat sepuluh orang prajurit menda-tangi kedai ini. Sedangkan
semua orang yang berada di dalam kedai itu sudah memperhatikannya sejak
tadi. Keenam orang berada di kedai memang dari kalangan persilatan, semuanya
membawa senjata yang beraneka ragam bentuk dan ukurannya.
“Kalian semua yang ada di dalam kedai, keluar...!” teriak salah seorang
prajurit berpangkat punggawa, dengan suara lantang menggelegar.
Laki-laki setengah baya pemilik kedai, bergegas keluar dengan raut wajah
dan sikap ketakutan sekali. Langsung tubuhnya berlutut di depan sepuluh
orang prajurit itu.
“Hanya ada enam orang tamu di kedaiku. Gusti Prajurit. Dan aku tidak
mengenal mereka sama sekali,” kata pemilik kedai itu, tanpa ditanya
lagi.
“Suruh mereka keluar semua!” bentak punggawa itu, terdengar kasar sekali
suaranya.
Tiba-tiba saja terdengar sahutan dari dalam kedai. “Kami semua tidak ada
urusan denganmu, Prajurit. Pergilah, jangan merusak istirahat kami di
sini...!”
“Heh! Kurang ajar...!” desis punggawa itu, jadi berang.
Wajah punggawa itu seketika memerah. Sedangkan kedua bola matanya menyorot
bagai bola api, menatap tajam ke arah kedai. Sementara enam orang yang duduk
mengelilingi meja panjang di dalam kedai itu kelihatan tenang sekali,
seperti tidak menghiraukan prajurit-prajurit yang mulai berang.
“Minggir kau! Hih...!”
Duk!
“Akh...!”
Pemilik kedai itu terpekik dan jatuh terguling di tanah, begitu tubuhnya
terkena tendangan punggawa yang cukup keras ini. Punggawa itu melangkah
mendekati kedai, dan langsung saja meloloskan pedangnya. Sementara, sembilan
prajurit yang bersamanya sudah siap dengan tombak tergenggam erat.
“Aku perintahkan sekali lagi, keluar kalian...!” bentak punggawa itu
lantang menggelegar.
“Atau, kalian ingin kedai ini kuhancurkan...?!”
“Hati-hati dengan ucapanmu, Prajurit. Bisa- bisa, mulutmu yang hancur...!”
Terdengar lagi sahutan kalem dari dalam kedai.
“Heh...?!” Punggawa itu jadi tersentak kaget mendengar kata-kata yang jelas
sekali bernada tantangan itu. Padahal sejak tadi matanya merayapi keenam
orang di dalam kedai ini, tapi tidak ada seorang pun yang membuka mulutnya.
Tapi suara itu, jelas sekali terdengar dari arah kedai.
“Bangsat keparat...!” geram punggawa itu berang.
“Hancurkan semuanya...!"
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Sembilan orang prajurit itu langsung berlarian ke arah kedai. Tapi belum
juga sampai ke pintu, mendadak saja dari arah kedai melesat deras
potongan-potongan kayu bagai anak panah lepas dari busur. Dan seketika itu
juga....
“Akh!”
“Aaa...!”
Prajurit-prajurit itu menjerit melengking, begitu tubuh mereka tertembus
potongan kayu. Dan mereka langsung ambruk menggelepar dengan darah mengalir
dari bagian tubuh yang menjadi sasaran potongan kayu.
“Heh...?! Keparat...!” geram punggawa itu terkejut.
Betapa tidak...? Sembilan orang prajuritnya seketika tewas, sebelum
mencapai pintu kedai. Apalagi hanya potongan kayu saja yang membuat mereka
menggeletak tidak bernyawa lagi. Wajah punggawa itu jadi memerah menahan
amarah. Tapi melihat keadaan sembilan orang prajuritnya, hatinya jadi gentar
juga. Maka cepat disadarinya kalau saat ini sedang menghadapi orang-orang
yang berkepandaian sangat tinggi. Beberapa saat punggawa itu memandangi satu
persatu mereka yang ada di dalam kedai itu. Lalu sambil menggereng menahan
geram, tubuhnya cepat berbalik dan melangkah cepat-cepat meninggalkan kedai
itu.
Sementara, laki-laki setengah baya pemilik kedai itu bergegas masuk kembali
ke dalam kedainya yang kecil ini.
“Sebaiknya kalian cepat pergi. Punggawa itu pasti kembali lagi bersama
prajurit yang lebih banyak lagi,” ujar pemilik kedai itu dengan suara
tersendat ketakutan.
“Kalau kami pergi, lalu dengan apa kau akan menghadapi mereka, Paman?”
selak pemuda tampan yang tadi memandangi wajah Pandan Wangi terus-menerus.
Suaranya terdengar begitu lembut, bagai seorang pangeran. Dan matanya kini
memandangi yang lain, seakan meminta dukungan atas ucapannya barusan.
“Benar, Paman. Kami tidak akan beranjak dari sini. Kecuali, kalau kau
memang mau menghadapi mereka sendiri,” kata laki-laki bertubuh kekar dan
berkumis tebal melintang, hampir menutupi bibirnya yang tebal. Goloknya yang
terselip di pinggang dikeluarkan dan diletakkan di atas meja. Dari ciri-ciri
goloknya, orang pasti sudah bisa tahu kalau dia adalah si Golok Setan.
“Seribu prajurit pun, tidak akan sanggup menghadapi kami, Paman,” sambung
seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang sejak tadi diam
saja.
Walaupun usianya sudah berkepala empat, tapi raut wajahnya masih terlihat
cantik. Bentuk tubuhnya pun masih ramping, padat dan berisi. Bahkan rasanya
masih sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya.
Kelihatannya, dia tidak membawa sebuah senjata. Tapi di pinggangnya,
terlilit sehelai selendang berwarna kuning keemasan. Dan semua orang tahu,
selendangnya adalah senjata andalannya. Di kalangan orang-orang persilatan,
wanita ini dikenal sebagai Dewi Selendang Emas.
Sedangkan dua orang lagi bernama Jangrana. Dan dialah pemuda tampan yang
sejak tadi terus-menerus memandangi Pandan Wangi. Sementara seorang lagi,
yang duduk di samping Dewi Selendang Emas, adalah seorang laki-laki tua
berjubah putih. Rambut, kumis, dan jenggotnya juga sudah memutih semua.
Hanya sebatang tongkat kecil saja yang berada di tangan kirinya. Sebenarnya,
dia bernama Eyang Jamus. Tapi di kalangan rimba persilatan, julukannya
adalah Malaikat Bayangan Putih. Sementara itu, dua orang lagi tentu saja
Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti
dan si Kipas Maut. Dan mereka juga seringkali disebut sebagai Sepasang
Pendekar Karang Setra.
“Pergi sajalah kalian semua. Kalian malah akan menghancurkan kedaiku ini,
kalau prajurit-prajurit itu datang lagi,” kata pemilik kedai itu dengan
suara yang sangat memelas.
“Pergi atau tidak, keadaannya akan tetap sama, Paman. Biarlah kami sedikit
memberi pelajaran pada mereka, agar bisa bertindak lebih halus lagi. Jangan
seenaknya saja menyiksa rakyat lemah,” tegas Dewi Selendang Emas, agak
mendengus suaranya.
“Tapi....”
“Sudahlah, Paman. Berapa harga kedaimu ini? Biar kubayar semuanya,” selak
Jangrana sambil mengeluarkan sebuah pundi dari kulit.
Pemuda tampan itu langsung saja melemparkan pundi kulit itu ke depan
pemilik kedai ini. Melihat pundi yang kelihatan penuh itu, kedua bola mata
pemilik kedai ini jadi terbeliak juga. Dengan tangan agak bergetar,
dibukanya tali pengikat pundi itu. Dan wajahnya seketika semakin bersinar,
begitu melihat pundi itu berisi kepingingan emas yang tentu saja terlalu
banyak bila untuk membayar kedainya.
“Den...,” tersendat suara pemilik kedai itu.
“Ambil semua, Paman. Dan pergilah dari sini, sebelum prajurit-prajurit itu
datang,” kata Jangrana cepat, memutuskan ucapan pemilik kedai itu. Belum
juga pemilik kedai itu bisa mengucapkan sepatah kata, tiba-tiba terdengar
suara teriakan-teriakan yang disertai hentakan kaki-kaki kuda yang dipacu
cepat. Maka seketika tanah di sekitar kedai ini jadi bergetar bagai
diguncang gempa. Dan tak lama kemudian, terlihat kurang lebih seratus
prajurit berkuda mendatangi kedai ini. Tampak di antara mereka, punggawa
yang tadi datang bersama sembilan prajuritnya.
“Mereka datang...,” desis pemilik kedai bergetar.
“Pergilah, Paman. Dari belakang,” ujar Dewi Selendang Emas.
Tanpa bicara apa pun juga, pemilik kedai itu bergegas pergi melalui jalan
belakang. Sebentar dia tertegun setelah berada di bagian belakang kedainya,
namun kemudian sudah cepat-cepat melangkah lagi, mengambil jalan memutar.
Setelah melewati beberapa rumah, pemilik kedai itu berhenti dan berlindung
di balik sebatang pohon. Dipandanginya kedainya yang kini sudah terkepung
tidak kurang dari seratus dua puluh orang prajurit. Tampak di antara
prajurit-prajurit yang sudah mengepung rapat kedai itu, ada Panglima Sela
Gading.
***
EMPAT
Dengan gerakan yang sangat ringan, Panglima Sela Gading melompat turun dari
punggung kudanya. Begitu ringan gerakannya, pertanda kepandaiannya sudah
cukup tinggi. Tapi orang-orang yang, berada di dalam kedai, hanya tersenyum
sinis saja melihat cara Panglima Sela Gading melompat turun dari kudanya.
Dan hanya Rangga saja yang kelihatan seperti tidak peduli.
Panglima Sela Gading melangkah tegap mendekati kedai itu. Kemudian panglima
bertubuh tegap ini berdiri sambil berkacak pinggang, sekitar delapan langkah
lagi di depan pintu kedai. Sedangkan mereka yang berada di dalam kedai,
hanya diam saja memperhatikan gerak-geriknya.
“Kalian semua yang ada di dalam kedai, cepat keluar...!” terdengar lantang
sekali suara Panglima Sela Gading. Tidak ada sahutan sama sekali dari dalam
kedai. Namun saat itu, terlihat Rangga bangkit berdiri. Sebentar
dipandanginya mereka yang berada di dalam kedai. Sedangkan Pandan Wangi
memandangi Pendekar Rajawali Sakti.
“Kalian cari kesulitan saja. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi di
sini,” agak mendengus nada suara Rangga.
Setelah berkata begitu, Rangga melangkah mantap dan ringan sekali menuju
luar kedai. Sementara yang lainnya hanya memandangi. Dan mereka juga sudah
bangkit berdiri. Sementara, Pandan Wangi sudah be-rada di ambang pintu,
begitu Rangga berada di luar. Kini Pendekar Rajawali Sakti tengah berhadapan
dengan Panglima Sela Gading dalam jarak sekitar lima langkah lagi.
“Kisanak! Kau pasti bukan orang Jatigelang. Siapa kau?! Dan dari mana
asalmu...?!” terdengar begitu dalam sekali nada suara Panglima Sela
Gading.
“Namaku Rangga. Aku datang bersama adikku dari Karang Setra, dan hanya
kebetulan saja singgah di kota ini, untuk melepas lelah di kedai itu. Maaf
kalau tadi terjadi sedikit keributan. Prajurit-prajurit itu yang memulainya
lebih dulu,” jelas Rangga tenang.
“Kami sedang menjalankan perintah Gusti Prabu Gelangsaka. Dan berdasarkan
laporan punggawaku, sikap kalian sudah membuat kami curiga. Maka sebaiknya
kalian jangan mempersulit diri lagi. Biarkan kami memeriksa, apakah kalian
orang yang kami cari atau bukan,” tegas Panglima Sela Gading.
“Maaf, Panglima. Mungkin teman-temanku ini tidak suka melihat cara
prajuritmu menjalankan tugasnya. Mereka terlalu menganggap kami seperti
sampah. Jadi, maaf kalau ada di antara kami tadi terpaksa bertindak. Kami
hanya sekadar membela diri,” kata Rangga lagi, masih dengan suara tenang
sekali.
“Apa pun alasannya, kau dan teman-temanmu sudah membunuh sembilan orang
prajurit. Dan itu sudah membuktikan kalau kalian bukan orang baik-baik.
Maaf, aku harus menangkap kalian semua untuk diadili,” kata Panglima Sela
Gading, tetap tegas.
“Aku yang membunuh prajuritmu, Panglima...!”
Tiba-tiba saja terdengar sebuah suara keras menggelegar. Dan belum lagi
hilang suara itu dari pendengaran, tiba-tiba saja dari dalam kedai melesat
cepat sebuah bayangan. Dan tahu-tahu, di sebelah kiri Pendekar Rajawali
Sakti sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, dengan kumis tipis
menghiasi bibirnya. Dialah Jangrana, yang di kalangan rimba persilatan
dikenal sebagai Pendekar Cambuk Api, karena seutas cambuk di tangan kanannya
memang bagai lidah api.
“Kau tidak bisa mengadili kami semua, Panglima. Akulah yang membunuh
sembilan orang prajuritmu. Jadi, aku yang harus kau tangkap. Tapi itu kalau
kau mampu, Panglima,” kata Jangrana, agak sinis nada suaranya.
“Hm.... Jadi kau biang keladinya...,” desis panglima Sela Gading,
dingin.
“Maaf. Mereka terpaksa kubunuh, karena akan menghancurkan kedai ini.
Sedangkan aku dan yang lain sedang beristirahat di sini. Bahkan sikap mereka
terlalu kasar, dengan menganggap kami seperti orang-orang yang tidak ada
harganya sama sekali,” tegas Jangrana.
“Kalian memang tidak ada harganya sama sekali!” sentak Panglima Sela Gading
lantang.
Kata-kata Panglima Sela Gading, tentu saja membuat orang-orang di kedai itu
jadi memerah telinganya. Terlebih lagi, Jangrana. Pendekar Cambuk Api itu
langsung mengeretakkan gerahamnya. Bahkan wajahnya seketika jadi
memerah.
“Sikapmu seperti bukan seorang panglima saja. Bagiku, kau tidak lebih dari
kepala gerombolan liar...!” desis Jangrana tidak bisa lagi menahan
amarah.
“Keparat! Berani kau menghina Panglima Sela Gading, hah...?! Kurobek
mulutmu, Bangsaaat...!”
“Hhh! Aku khawatir, malah cambukku yang akan merobek isi perutmu!”
“Setan! Serang, bunuh mereka semuaaa...!” teriak Panglima Sela Gading tidak
bisa lagi menahan amarahnya. “Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
“Hup! Shaaa...!”
Rangga yang semula bermaksud hendak mencegah terjadinya pertarungan, tidak
dapat lagi berbuat apa-apa. Nyatanya, Panglima Sela Gading sudah
memerintahkan prajuritnya untuk menyerang. Dan tentu saja perintah itu tidak
bisa dicabut lagi. Maka seketika semua prajurit yang memang sudah mengepung
tempat itu langsung saja berhamburan seperti kumpulan ayam melihat butiran
beras.
Teriakan-teriakan pembangkit semangat bertarung seketika pecah menggelegar,
bagai hendak merobek angkasa. Dan saat itu juga, beberapa buah tombak sudah
berhamburan ke arah Pendekar Rajawali Sakti dan Pendekar Cambuk Api yang
berdiri berdampingan. Maka kedua pendekar itu langsung saja berlompatan,
menghindari sambaran tombak-tombak yang mengancam, bersamaan dengan
meluruknya para prajurit yang menyerang.
“Sial! Hih! Yeaaah...!”
Rangga jadi menggerutu sendiri dalam hati, karena tidak mungkin lagi bisa
keluar dari pertarungan ini. Buktinya dalam waktu sebentar saja, Pendekar
Rajawali Sakti sudah dikeroyok puluhan orang prajurit. Sementara, Pendekar
Cambuk Api juga sudah berlompatan ke sana kemari, mempertahankan selembar
nyawanya. Bukan hanya mereka saja yang harus berjumpalitan menghadapi
serangan para Prajurit Kerajaan Jatigelang ini.
Tapi para pendekar lain pun menjadi sasaran serangan pula. Sehingga, mereka
terpaksa keluar kedai menyambut Prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang ini.
Sementara itu sambil bertarung, Rangga terus bergerak mendekati Pandan Wangi
yang dikeroyok puluhan prajurit. Dari gerakan-gerakan yang dilakukan, jelas
sekali kalau Pendekar Rajawali Sakti hanya berkelit dan menghindar saja.
Malah sedikit pun tidak memberi serangan balasan.
Sementara yang lain sudah mulai merobohkan lawan-lawannya. Bahkan Pandan
Wangi sendiri sudah menjatuhkan lima orang prajurit yang menyerang. Hanya
Rangga saja yang belum melukai seorang prajurit pun.
“Hup!” Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai
tingkat sempurna, Rangga melesat mendekati Pandan Wangi. Maka hanya sekali
lesat saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di samping si Kipas
Maut.
“Pandan, ayo pergi dari sini...!” seru Rangga, agak ditekan suaranya.
“Tidak mungkin. Mereka terlalu banyak, Kakang!” sahut Pandan Wangi, sambil
meliukkan tubuhnya menghindari hunjaman tombak. Gadis yang berjuluk si Kipas
Maut itu langsung saja menghentakkan tangannya, mengirimkan satu pukulan
keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi, ke arah kepala prajurit
yang baru saja menghunjamkan tombaknya. Begitu cepat pukulannya, sehingga
prajurit itu tidak dapat lagi menghindari.
Prak!
“Aaakh...!”
“Pandan...!”
Rangga jadi tersentak kaget, begitu melihat Pandan Wangi menghantam kepala
prajurit itu sampai pecah. Maka, darah langsung menyembur deras dari kepala
prajurit itu. Beberapa saat dia terhuyung-huyung, kemudian jatuh menggelepar
tak bernyawa lagi. Memang sungguh keras pukulan yang dilepaskan si Kipas
maut tadi, sehingga kepala prajurit itu sampai pecah tidak berbentuk
lagi.
“Kau keterlaluan, Pandan. Hih...!”
“Eh...?!” Pandan Wangi jadi tersentak begitu tiba-tiba saja Rangga sudah
menotok tubuhnya. Seketika tubuh Pandan Wangi jadi lunglai tak berdaya. Dan
sebelum si Kipas Maut jatuh ke tanah, Rangga sudah menyambar tubuhnya yang
telah pingsan tertotok. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat cepat
sambil memperdengarkan siulan pendek. Saat itu juga, terdengar ringkikan
kuda yang sangat keras, meningkahi suara gaduh pertarungan. Dan tidak lama
kemudian, terlihat Rangga sudah berdiri di atas punggung kuda hitamnya
sambil memanggul Pandan Wangi.
“Cepat pergi dari sini, Dewa Bayu...!” seru Rangga.
“Hieeegh...!”
Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sementara, Rangga mengimbangi dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh di punggung kuda hitam ini. Kuda hitam
Dewa Bayu langsung melesat cepat bagai kilat, membawa Rangga yang berdiri di
punggungnya sambil memanggul Pandan Wangi.
Beberapa prajurit yang mencoba menghadang kuda itu langsung diterjang tanpa
ampun. Sambil mendengus-dengus dan sesekali meringkik, Dewa Bayu terus
berlari cepat menerobos kepungan Prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang. Dan
begitu sudah berada di luar kepungan, Dewa Bayu langsung saja melesat dengan
kecepatan bagai kilat meninggalkan pertarungan. Sementara, Pandan Wangi
tetap pingsan di pundak Pendekar Rajawali Sakti. Sementara pertarungan masih
terus berlangsung sengit.
Teriakan-teriakan pertarungan terus terdengar membahana, ditingkahi
jeritan-jeritan kematian yang melengking. Tampak tubuh-tubuh bersimbah darah
semakin banyak saja yang berjatuhan. Sedangkan dari empat orang yang
dikeroyok, belum ada seorang pun yang kelihatan terdesak. Dan memang,
tingkat kepandaian para prajurit masih terlalu rendah untuk menghadapi
orang-orang dari kalangan persilatan seperti mereka ini.
“Edan...! Bisa habis prajuritku kalau begini terus!” dengus Panglima Sela
Gading, begitu menyadari kalau prajuritnya semakin banyak saja yang
bergelimpangan bersimbah darah. Maka seketika mulai gentar juga hati
panglima itu melihat ketangguhan empat orang yang tidak dikenalnya ini.
Hatinya mulai khawatir, kalau pertarungan ini diteruskan, jelas prajuritnya
bakal habis terbantai. Apalagi, kemampuan yang dimiliki prajuritnya tidak
ada artinya bila dibandingkan empat orang persilatan itu.
“Munduuur...!” teriak Panglima Sela Gading.
Begitu terdengar perintah, prajurit-prajurit yang sejak tadi sebenarnya
juga sudah gentar, langsung berlompatan mundur. Dan sebentar saja,
pertarungan berhenti. Namun keempat tokoh persilatan itu sudah dikepung
kembali oleh puluhan prajurit yang masih tersisa. Mereka seperti tidak
menyadari kalau Rangga dan Pandan Wangi sudah pergi sejak tadi.
“Kita tidak mungkin mengalahkan mereka semua. Jumlahnya terlalu banyak...,”
bisik Dewi Selendang Emas, pelan.
“Coba kalian lihat di sebelah sana...,” selak Eyang Jamus.
Mereka semua langsung memandang ke arah yang ditunjuk Eyang Jamus. Tampak
serombongan prajurit lain yang berjumlah besar, bergerak menuju ke tempat
ini. Empat orang itu jadi saling berpandangan. Namun belum juga sempat
berpikir, tiba-tiba saja Rangga muncul kembali ke tempat itu tanpa Pandan
Wangi. Entah ditinggalkan di mana gadis itu.
“Kalian pergilah. Biar aku yang akan menghadang mereka,” kata Rangga.
“Jangan menganggap enteng mereka, Anak Muda,” dengus Eyang Jamus, merasa
tersinggung.
“Aku hanya akan menghadang saja. Kalau kalian sudah jauh, aku juga akan
pergi dari sini,” jelas Rangga. Sebentar mereka saling berpandangan.
“Cepatlah pergi. Prajurit-prajurit itu sudah semakin dekat,” desak
Rangga.
“Bagaimana...?” tanya Jangrana meminta pendapat.
“Kita pergi saja. Tapi, jangan terlalu jauh,” sahut Eyang Jamus.
Tanpa menunggu waktu lagi, mereka langsung cepat berlompatan pergi dari
tempat itu. Sementara, Rangga sudah mengepalkan kedua tangannya di samping
pinggang. Dan begitu empat orang itu sudah jauh....
“Aji Bayu Bajra! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti
merentangkan kedua tangannya ke samping. Lalu begitu dihentakkan ke atas,
tepat ketika kedua telapak tangannya menyatu rapat di atas kepala, seketika
terjadi badai topan yang sangat dahsyat. Panglima Sela Gading dan
prajurit-prajuritnya jadi tersentak kaget. Tapi belum juga rasa terkejut itu
hilang, mereka sudah berpelantingan terlanda hembusan angin badai yang
tiba-tiba saja tercipta begitu Rangga mengerahkan aji Bayu Bajra.
“Hup! Yeaaah...!”
Di saat prajurit-prajurit itu sedang kalang-kabut, cepat sekali Rangga
melesat pergi sambil mencabut ajiannya yang sangat dahsyat itu. Dan memang,
Rangga sengaja hanya membuat mereka kalang-kabut saja. Dan di saat yang
sangat tepat, tubuhnya langsung melesat pergi dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu
cepatnya, hingga sebelum ada yang menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah
jauh pergi tanpa terlihat lagi bayangannya.
Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh, keluar
dari Kotaraja Kerajaan Jatigelang ini. Dan dia baru berhenti, setelah tiba
di tempat Pandan Wangi ditinggalkan tadi. Gadis cantik yang berjuluk si
Kipas Maut itu terlihat tergolek seperti tidur di bawah sebatang pohon. Tak
jauh dari tempat Pandan Wangi tergolek, terlihat dua ekor kuda seperti
menjaganya. Dan kuda-kuda itu menyingkir, saat melihat Rangga datang
menghampiri.
Tuk! “Ohhh...!”
Rangga langsung saja membebaskan totokannya di tubuh Pandan Wangi. Gadis
itu sebentar kemudian menggeliat sambil mengeluh lirih, seakan-akan baru
saja terjaga dari tidur nyenyak. Namun begitu tersadar, Pandan Wangi cepat
melompat bangkit berdiri. Dia jadi celingukan, kemudian menatap Rangga yang
ber-diri dengan kedua telapak tangan terlipat di depan dada.
“Di mana ini, Kakang?” tanya Pandan Wangi terlihat agak kebingungan.
“Di tempat yang aman,” sahut Rangga kalem. Pendekar Rajawali Sakti kemudian
duduk bersandar di bawah pohon yang cukup rindang, melindungi tubuhnya dari
sengatan sinar matahari yang sangat terik.
“Lalu, di mana mereka? Prajurit-prajurit itu...?” tanya Pandan Wangi
lagi.
“Mungkin mereka masih ada di sana,” sahut Rangga.
Saat itu, terlihat empat orang berjalan melenggang menghampiri kedua
pendekar dari Karang Setra ini. Mereka adalah Eyang Jamus, Dewi Selendang
Emas, si Golok Setan, dan Jangrana yang juga dikenal sebagai Pendekar Cambuk
Api. Mereka langsung saja menggeletak di atas rerumputan, begitu sampai di
tempat Rangga beristirahat. Tampak butir-butir keringat membasahi tubuh
mereka semua, dengan tarikan napas terdengar memburu. Sementara Pandan Wangi
sudah mengambil tempat, duduk di sebelah kanan Pendekar Rajawali
Sakti.
“Kau benar-benar hebat, Anak Muda. Belum pernah aku melihat aji kesaktian
sedahsyat itu...,” ujar Eyang Jamus, langsung memuji Pendekar Rajawali
Sakti.
“Bagaimana caranya kau menciptakan badai topan sedahsyat itu, Kisanak?”
sambung Jangrana, ingin tahu.
“Ah, tidak ada yang kulakukan,” sahut Rangga merendah.
“Sejak pertama kali melihatmu, kau selalu diam dan tidak banyak bicara. Aku
yakin, kau seorang pendekar berkepandaian tinggi. Siapa namamu, Anak Muda?”
ujar Eyang Jamus lagi. Tampak sekali orang tua itu begitu kagum melihat
kepandaian Pendekar Rajawali Sakti.
“Rangga. Dan ini adikku. Namanya Pandan Wangi,” sahut Rangga sambil
memperkenalkan Pandan Wangi.
Mereka pun saling memperkenalkan diri masing-masing. Dan kini mereka yakin,
kalau masing-masing mempunyai satu jalan dan sealiran. Hanya saja, tidak ada
yang tahu, untuk apa berada di wilayah Kerajaan Jatigelang ini. Dan memang
tidak ada seorang pun yang mau terus terang mengatakannya. Tapi mereka juga
bisa memaklumi, hingga tidak ada yang mendesak.
“Rasanya sudah cukup beristirahat. Maaf. Aku mohon diri lebih dulu, karena
harus melanjutkan perjalanan,” ucap si Golok Setan seraya bangkit
berdiri.
“Mau ke mana kau, Paman Golok Setan?” tanya Jangrana.
“Aku harus sampai di Kadipaten Bukakambang secepatnya. Ada yang barus
kuselesaikan di sana. Maaf, aku terpaksa meninggalkan kalian di sini,” sahut
si Golok Setan sambil menjura memberi hormat.
“Hati-hati di jalan, Golok Setan. Hindari bentrokan dengan Prajurit
Jatigelang,” pesan Dewi Selendang Emas.
“Terima kasih, Nyai Dewi,” sahut si Golok Setan.
Setelah menjura memberi hormat sekali lagi, si Golok Setan melangkah
meninggalkan tempat ini. Baru setelah si Golok Setan tidak terlihat lagi,
Jangrana bangkit berdiri. Pemuda itu juga segera berpamitan, hendak
melanjutkan perjalanan ke kampung halamannya yang masih sangat jauh. Memang
hanya dia yang menceritakan tentang tujuannya, dan kenapa berada di Kerajaan
Jatigelang ini.
Sebenarnya, Jangrana hanya sekadar singgah saja. Tapi memang tidak ada yang
menyangka bisa bentrok dengan prajurit kerajaan. Dan kini, tinggal Rangga,
Pandan Wangi, Dewi Selendang Emas, serta Eyang Jamus saja yang masih ada.
Untuk beberapa saat, tidak ada yang membuka suara lebih dulu. Entah apa yang
ada dalam kepala masing-masing.
“Kau tidak pergi, Rangga?” tanya Dewi Selendang Emas.
“Aku masih ada urusan di Jatigelang ini,” sahut Rangga seraya
tersenyum.
“Dengan para prajurit itu...?” goda Eyang Jamus.
Rangga jadi tertawa mendengar gurauan laki-laki tua itu. Dan yang lainnya
juga tertawa. Memang, peristiwa yang baru saja dialami bersama, bisa membuat
perut mereka serasa tergelitik. Tapi, terasa sekali kalau suara tawa
Pendekar Rajawali Sakti terdengar sumbang. Kelihatannya seperti ada sesuatu
yang sedang disimpan di lubuk hatinya.
“Lebih dari itu, Eyang. Dan sebenarnya juga, aku tidak ada urusan dengan
mereka,” kata Rangga setelah berhenti tawanya.
“Sayang sekali, keadaannya sangat buruk untukmu, Rangga,” ujar Dewi
Selendang Emas.
“Bukan hanya untuknya, Nyai. Tapi juga untuk kita semua,” selak Eyang
Jamus, jadi agak jengkel suaranya.
“Ya! Semua ini gara-gara Jangrana,” dengus Dewi Selendang Emas lagi.
“Aku sendiri heran, untuk apa dia cari gara-gara dengan prajurit-prajurit
itu...? Kini kita semua kena getahnya. Huh...!”
“Aku pernah mendengar sedikit tentangnya. Dia memang pemarah, dan cepat
sekali naik darah. Tapi segala tindakannya selalu membela yang lemah. Hanya
saja tindakannya pada lawan tidak pernah memberi ampun, walaupun hanya
persoalan yang kecil sekali,” kata Eyang Jamus lagi.
“Huh! Menyesal aku bertemu dengannya. Semua jadi rusak gara-gara dia!”
dengus Dewi Selendang Emas lagi.
Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja mendengarkan mereka
saling mengumpat.
“Maaf, kami berdua mohon diri,” ujar Rangga seraya bangkit berdiri.
Pendekar Rajawali Sakti segera menarik tangan Pandan Wangi, dan mengajaknya
berdiri. Setelah menjura memberi hormat, kedua pendekar muda itu
meninggalkan Eyang Jamus dan Dewi Selendang Emas. Setelah Rangga dan Pandan
Wangi pergi, Eyang Jamus baru beranjak. Kemudian Dewi Selendang Emas pun
ikut melangkah meninggalkan tempat itu.
***
LIMA
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Jatigelang. Suasana
terasa begitu sunyi. Tidak ada seorang pun yang berkeliaran di luar rumah,
setelah peristiwa siang tadi. Hanya para prajurit saja yang terlihat
berjaga-jaga di setiap sudut kotaraja ini. Namun kesunyian malam ini sedikit
terusik oleh terdengarnya suara tangisan terisak dari beberapa rumah, yang
keluarganya terbunuh atau ditangkap prajurit siang tadi.
Memang tidak sedikit rakyat yang mati terbunuh, akibat tindakan kasar para
prajurit dalam mencari orang yang dicurigai dari gerombolan perampok yang
menyerang pasukan prajurit Panglima Wanengpati. Sementara dalam kegelapan
malam, terlihat dua bayangan berkelebat menyelinap di antara rumah-rumah
penduduk. Dua bayangan itu berhenti saat berada di samping sebuah rumah yang
tidak begitu besar, dan berdinding papan kasar.
Dari dalam rumah itu terdengar tangisan terisak yang terasa begitu
memilukan. Dua bayangan yang menyelinap masuk ke dalam kota ini tidak lain
dari Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Rajawali
Sakti dan si Kipas Maut. Mereka juga seringkali disebut sebagai Sepasang
Pendekar Karang Setra.
“Kau tunggu di sini, Pandan. Aku akan masuk ke dalam rumah ini,” bisik
Rangga, perlahan.
“Apa itu tidak berbahaya, Kakang?” tanya Pandan Wangi, agak khawatir.
“Tenanglah. Aku hanya ingin mencari sedikit keterangan saja,” sahut Rangga
kalem. Pandan Wangi hanya diam saja.
Sementara, Rangga sudah menyelinap ke bagian belakang rumah ini. Suara
tangisan terisak memilukan masih terdengar dari dalam. Saat itu, Pendekar
Rajawali Sakti sudah sampai di depan pintu belakang. Diamatinya keadaan
sekitar, kemudian tangannya perlahan mengetuk pintu itu.
“Siapa...?” Terdengar suara agak parau dari dalam rumah. Dari suaranya,
jelas kalau orang yang ada di dalam rumah ini wanita. Rangga terdiam
sejenak, sambil terus mengedarkan pandangan ke sekeliling.
“Aku, Nyi. Tolong buka pintunya,” sahut Rangga agak berbisik.
“Kau dari istana...?” tanya wanita di dalam rumah itu lagi.
“Bukan, Nyi. Aku penduduk sini juga,” sahut Rangga sedikit berbohong.
Tidak lama terdengar langkah kaki terseret, kemudian terdengar suara pintu
terbuka. Sedangkan Rangga masih menunggu dengan mata terus merayapi keadaan
sekitarnya. Dan dari balik pintu yang terbuka sedikit, muncul seraut wajah
wanita berusia sekitar lima puluh tahun yang sangat kurus. Begitu kurusnya,
sampai tulang-tulang pipinya terlihat menonjol. Dan kedua bola matanya juga
sangat cekung. Tampak butiran air bening masih mengambang di pelupuk
matanya.
“Siapa kau...? Aku tidak mengenalmu,” tanya wanita tua itu seraya merayapi
pemuda yang berada di depan pintu belakang rumahnya ini.
“Aku Rangga, Nyi. Aku pemuda dari padepokan yang tidak jauh letaknya dari
kota ini. Boleh aku masuk, Nyi...?” lembut sekali suara Pendekar Rajawali
Sakti.
Sebentar perempuan tua itu merayapi sekujur tubuh Pendekar Rajawali Sakti,
kemudian membuka pintunya lebar-lebar. Dibiarkannya Rangga masuk ke dalam,
kemudian ditutupnya pintu itu lagi, serta dikunci dengan sebuah papan
tebal.
“Mari ke dalam...,” ajak wanita tua itu.
“Terima kasih, Nyi.”
Rangga mengikuti wanita tua itu melangkah ke bagian tengah rumah ini. Di
sana terlihat dua orang gadis tengah menangis sesenggukan, duduk di atas
balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar lusuh. Seorang anak
laki-laki berusia sekitar lima tahun tampak tertidur di pangkuan salah
seorang gadis itu. Rangga menganggukkan kepalanya sedikit sambil memberi
senyum kecil. Sedangkan kedua gadis itu hanya diam saja memandangi. Dan
perempuan tua itu duduk di sebuah kursi yang kelihatannya sudah lapuk.
Sedangkan Rangga hanya berdiri saja di ambang pintu penyekat ruangan tengah
dengan bagian belakang.
“Silakan duduk, Anak Muda,” kata perempuan tua itu, menawarkan.
“Terima kasih, Nyi...,” sahut Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian duduk tidak jauh, di seberang meja dekat
perempuan tua ini. Sebentar dirayapinya keadaan di dalam ruangan ini. Tidak
ada yang bisa dikatakan. Sebuah rumah yang sangat sederhana dengan segala
perabotan yang kelihatannya sudah tua.
“Maaf, Nyi. Malam-malam aku mengganggumu,” ucap Rangga tetap dengan suara
dan sikap lembut.
“Kau kemalaman, Anak Muda?” tanya perempuan tua itu.
“Benar, Nyi,” sahut Rangga. “Tapi sebenarnya, kedatanganku ke kota ini
memang sengaja.”
“Apa yang kau cari di kota ini, Anak Muda?”
“Maaf, Nyi....”
“Junta.... Orang-orang memanggilku Nyi Junta. Dan mereka anak-anakku. Dewi
dan Ratna. Yang kecil itu cucuku. Namanya, Garda. Dia anaknya Dewi,”
perempuan tua itu mengenalkan diri dan anak-anaknya.
Rangga mengangguk sambil tersenyum manis pada kedua wanita yang masih tetap
duduk di atas balai-balai bambu, tidak jauh di depannya. Sedangkan kedua
wanita anak Nyi Junta itu hanya memandangi saja, tanpa membalas anggukan
ramah Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku dengar tadi di rumah ini ada yang menangis.
Ada apa, Nyi...?” tanya Rangga langsung.
“Kami baru saja terkena musibah, Anak Muda. Suamiku mati dibunuh prajurit.
Sedangkan menantuku ditangkap. Aku sendiri, tidak tahu apa kesalahannya.
Prajurit-prajurit itu seperti gerombolan liar saja. Bukan hanya keluarga ini
saja yang kena, tapi banyak yang lainnya,” jelas Nyi Junta, agak
tersendat.
“Itulah persoalannya, kenapa aku datang ke kota ini malam-malam, Nyi,” ujar
Rangga.
“Oh.... Jadi kau sudah tahu apa yang terjadi siang tadi di sini, Anak
Muda...?” Nyi Junta kelihatan agak terkejut.
“Benar, Nyi. Tapi aku belum tahu, apa persoalan yang sebenarnya. Maka
kedatanganku untuk menyelidiki, kenapa prajurit-prajurit itu sampai
bertindak kasar menyakiti rakyatnya sendiri. Aku ingin tahu, apa ini memang
perintah rajanya, atau hanya perintah panglimanya saja,” jelas Rangga
tentang kedatangannya ke kotaraja ini.
“Gusti Prabu sendiri yang memerintahkannya...!” selak salah seorang gadis
yang bernama Ratna tiba-tiba.
“Ratna...!” sentak Nyi Junta kaget. “Jangan bicara sembarangan. Dari mana
kau tahu kalau Gusti Prabu sendiri yang memerintahkannya...?”
“Kakang Rambika yang mengatakannya, Mak,” sahut Ratna dengan suara
terdengar kesal.
“Siapa itu Rambika, Anak Manis...?” tanya Rangga lembut.
Namun belum juga Ratna bisa menjawab.... “Kakang....”
“Eh...?!” Nyi Junta dan kedua anaknya jadi terkejut, begitu tiba-tiba saja
terdengar suara agak berbisik dari luar, tepat di balik jendela yang ada di
ruangan ini. Suara yang berbisik perlahan, namun terdengar begitu
jelas.
“Tenang, Nyi. Itu adikku,” kata Rangga langsung menenangkan.
Memang, wanita-wanita di dalam rumah ini terkejut sekali begitu tiba-tiba
terdengar suara dari balik jendela. Dan setelah Rangga menjelaskannya,
mereka baru bisa bernapas lega. Sementara, Rangga sudah bangkit berdiri dari
kursi yang didudukinya. Tapi belum juga membuka jendela, mendadak telinganya
yang tajam mendengar suara yang dirasakannya aneh.
Tring!
“Pandan...!” desis Rangga jadi tersentak.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti membuka jendela. Dan kedua bola matanya
jadi terbeliak lebar, begitu melihat Pandan Wangi tengah menghadapi
keroyokan lima orang prajurit bersenjata tombak. Maka seketika itu pula
tubuhnya melesat ke luar menerobos jendela. Begitu sempurna ilmu meringankan
tubuhnya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berada di luar. Namun
begitu kakinya menjejak tanah, pertarungan sudah selesai. Tampak lima orang
berseragam prajurit sudah bergelimpangan berlumuran darah. Sedangkan Pandan
Wangi berdiri tegak di antara kelima orang prajurit itu dengan kipas
terkembang di depan dada. Tubuhnya lalu berbalik begitu mendengar suara
langkah kaki menghampiri.
“Kenapa kau bunuh mereka, Pandan...?” tegur Rangga langsung.
“Terpaksa, Kakang. Mereka begitu ganas,” sahut Pandan Wangi memberi
alasan.
Rangga tidak bisa lagi berkata-kata. Bergegas dihampirinya lima orang
prajurit yang sudah tidak bernyawa lagi. Lalu dipanggulnya dua orang
prajurit di pundaknya. Dan seorang lagi dikepit dengan tangan kanan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menatap Pandan Wangi.
“Ayo bantu aku. Singkirkan mereka semua dari sini,” pinta Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangkat pundak sedikit, kemudian mengepit dua orang
prajurit di tangan kanan dan kirinya. Dengan mempergunakan tenaga dalam, dua
tubuh yang pasti sangat berat itu bagaikan segumpal kapas saja di tangan
gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini. Dan tanpa bicara lagi, mereka
langsung melesat cepat bagai kilat membawa lima orang prajurit yang sudah
tidak bernyawa lagi.
Sementara semua yang dilakukan kedua pendekar muda itu terus diperhatikan
oleh Nyi Junta dari dalam rumah. Perempuan tua itu sampai terlongong bengong
melihat kedua anak muda itu lincah sekali berlari secepat kilat, sambil
membawa beban yang tidak akan mungkin bisa dilakukan orang biasa. Begitu
terkagumnya, sampai perempuan tua itu tidak menyadari kalau terus berdiri di
depan jendela yang terbuka cukup lebar.
“Mak....”
“Oh...?!” Nyi Junta baru tersadar saat anak gadisnya memanggil. Cepat
tubuhnya berbalik. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi sudah tidak terlihat
lagi bayangannya. Entah pergi ke mana kedua pendekar muda itu.
“Jendelanya, Mak...,” Ratna mengingatkan.
“Oh.... Eh, iya....” Nyi Junta jadi tergagap. Buru-buru tubuhnya diputar
lagi, dan hendak menutup jendela. Tapi belum juga bisa menutup jendela itu,
mendadak saja Rangga dan Pandan Wangi sudah berdiri di depan jendela itu.
Akibatnya, Nyi Junta jadi terpekik kaget.
“Oh.... Maaf, Nyi,” ucap Rangga buru-buru, seperti tidak sadar kalau
kemunculannya mengejutkan perempuan tua itu. Nyi Junta menarik napas
panjang-panjang.
“Ayo cepat, masuk...,” kata Nyi Junta setelah bisa tenang. Kedua pendekar
muda itu segera berlompatan masuk ke dalam rumah.
Nyi Junta bergegas menutup jendela kembali. Kemudian nyala api pelita di
dalam ruangan ini dikecilkannya. Sementara Pandan Wangi mengedarkan
pandangan ke sekeliling, kemudian melangkah menghampiri dua orang wanita
muda yang duduk di atas balai-balai bambu. Gadis itu langsung mengenalkan
diri dengan senyum dibuat sangat ramah.
“Maaf, Anak Muda. Sebenarnya siapa kalian ini...?” tanya Nyi Junta, setelah
cukup lama tidak ada yang membuka suara.
Pandan Wangi yang sudah membuka mulutnya hendak menjawab, langsung
mengatupkannya kembali begitu melihat lirikan mata Rangga yang sangat tajam.
Dan gadis itu lalu duduk di tepi balai-balai bambu beralas tikar lusuh, di
sebelah kanan Ratna. Sedangkan Rangga kembali duduk di kursi yang tadi
didudukinya.
“Kami berdua bukan siapa-siapa, Nyi. Kami....”
“Kau jangan berdusta, Anak Muda. Suamiku dulu juga orang persilatan. Dan
sedikitnya, aku mengetahui dunia persilatan. Kau pasti datang dari sana,”
potong Nyi Junta cepat, memutuskan ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya diam saja. Matanya lalu melirik sedikit pada Pandan Wangi yang
juga hanya diam membisu, berpura-pura tidak mendengarkan pembicaraan itu.
Memang kalau Rangga sudah melarang dengan lirikan saja, Pandan Wangi tidak
akan membuka mulut.
“Anak muda! Aku sudah puluhan tahun tinggal di kotaraja ini. Dan aku tahu
betul kalau tidak ada satu padepokan pun yang berdiri di sekitar kota ini,”
kata Nyi Junta lagi. “Jadi, kau tidak perlu menyembunyikan diri dariku.
Katakan saja yang sebenarnya. Kalau kau memang bertujuan baik, sudah tentu
aku juga tidak akan membiarkanmu begitu saja. Dan aku akan membantumu,
semampuku.”
“Terima kasih, Nyi,” ucap Rangga pelan, sambil menghembuskan napas
panjang.
Sejenak Pendekar Rajawali Sakti terdiam, lalu melirik Pandan Wangi lagi.
Tapi begitu dilirik, Pandan Wangi langsung memandang ke arah lain, seakan
tidak ingin membantu Rangga yang sedang kelabakan ditodong dengan kata-kata
yang tidak mungkin bisa dielakkan lagi. Rangga hanya dapat menghela napas
panjang saja.
Sikap Pandan Wangi seperti itu, memang diperlukan. Tapi, terkadang juga
sangat menjengkelkan. Dan Rangga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Pertanyaan
Nyi Junta harus dijawab seorang diri. Sedangkan Pandan Wangi seakan sudah
tidak mau peduli lagi.
Rangga memang tidak punya pilihan lain lagi. Semula, dia dan juga Pandan
Wangi ingin merahasiakan diri. Demikian pula keberadaannya di Kotaraja
Jatigelang ini. Dan setelah Nyi Junta mendesak dengan kata-kata dan
pertanyaan memojokkan, Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi berbuat
apa-apa. Maka mau tak mau dijelaskanlah dirinya yang sebenarnya, serta
keberadaannya di kota ini.
Begitu tahu kalau pemuda itu adalah seorang pen-dekar pengembara, seketika
raut wajah Nyi Junta yang tadi terselimut mendung, jadi bercahaya penuh
harapan. Walaupun nyawa suaminya yang mati dibunuh para prajurit tidak bisa
dikembalikan, tapi setidaknya ada harapan kalau menantunya bisa kembali
berkumpul di rumah ini.
“Jadi, kau di sini tidak hanya berdua, Rangga?” ujar Nyi Junta setelah
Rangga menyelesaikan bicaranya.
“Ya! Semula ada empat orang lagi. Tapi sekarang aku tidak tahu di mana
mereka berada. Kami berpisah setelah terjadi keributan dengan para
prajurit,” jawab Rangga.
“Kota ini memang sudah berubah jauh, tidak seperti dulu. Prajurit-prajurit
dan panglimanya tidak lagi menjadi pelindung rakyat, tapi sudah seperti
gerombolan liar saja. Kau sudah melihat perbuatan mereka, Rangga. Memang
seperti inilah keadaannya sekarang. Kehidupan kami semua jadi semakin sulit
Dan kalau terjadi sesuatu sedikit saja, tidak sedikit rakyat yang menjadi
korban,” keluh Nyi Junta.
“Sudah berapa lama keadaan seperti ini berlangsung, Nyi?” tanya Pandan
Wangi, yang sejak tadi diam saja membisu.
“Sejak Gusti Prabu Gelangsaka naik takhta,” sahut Nyi Junta pelan.
“Benar, Kak...,” selak Ratna. “Dulu tidak begini. Sejak Gusti Prabu
Gelangsaka naik takhta, semua prajurit dan panglimanya jadi liar.
Pajak-pajak juga dinaikkan. Dan yang tidak bisa bayar, harta benda yang
dimiliki langsung dirampas. Kalau sudah tidak ada lagi barang berharga yang
bisa dirampas, prajurit-prajurit itu menangkapnya. Kalau sudah begitu,
kabarnya tidak akan pernah terdengar lagi.”
“Benar, Rangga. Aku jadi khawatir terhadap keselamatan menantuku. Padahal,
kau lihat sendiri. Cucuku masih kecil. Dan aku tidak punya anak laki-laki.
Lalu, dari mana kami bisa hidup kalau begini terus keadaannya...?” keluh Nyi
Junta lagi.
“Dan yang lebih aneh lagi, sebenarnya bukan Prabu Gelangsaka yang naik
takhta. Tapi, Gusti Putri Rara Ayu Diah Arimbi,” sambung Ratna.
“Siapa itu Rara Ayu Diah Arimbi?” tanya Pandan Wangi.
“Putri tunggal Gusti Prabu Anom Kusuma. Raja yang terdahulu, yang sekarang
sudah mangkat,” jelas Ratna lagi.
“Lalu, Prabu Gelangsaka itu...?” tanya Pandan Wangi lagi, semakin ingin
tahu.
“Prabu Gelangsaka tadinya seorang patih. Waktu Gusti Prabu Anom Kusuma
mangkat, Putri Rara Ayu Diah Arimbi belum cukup usia untuk naik takhta. Dan
yang menjadi kepercayaan Gusti Prabu, hanya Patih Gelangsaka yang sekarang
menjadi raja. Tidak ada yang tahu, kenapa bisa begitu...,” jelas Ratna
gamblang.
“Hm.... Dari mana kau tahu semua ini, Ratna?” tanya Rangga jadi tertarik
juga.
“Aku tahu semua dari Bibi Layung.”
“Siapa itu Bibi Layung?” desak Pandan Wangi.
“Adik kandung suamiku,” sahut Nyi Junta. “Dia menjadi emban pengasuh Putri
Rara Ayu Diah Arimbi. Sedangkan tadinya, suamiku seorang punggawa. Tapi dia
sudah berhenti, setelah Prabu Anom Kusuma mangkat. Dan sampai sekarang, aku
tidak pernah lagi mendengar kabar Layung. Juga, Putri Rara Ayu Diah Arimbi.
Yaaah..., semua ini sudah berlangsung tiga tahun.”
Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Dan mereka semua jadi terdiam
membisu, membuat suasana di dalam ruangan ini jadi sunyi. Saat itu,
terdengar suara langkah-langkah kaki di depan rumah ini. Seketika tidak ada
seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka jadi saling melemparkan
pandangan, begitu suara langkah kaki yang terdengar dari luar itu berhenti,
tepat di depan rumah ini. Rangga segera bangkit berdiri, lalu berjalan
meninggalkan ruangan tengah ini menuju ruangan depan. Tapi tidak lama
kemudian, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali lagi.
“Panglima Sela Gading dan prajurit-prajuritnya,” ujar Rangga memberi tahu
dengan berbisik pelan.
“Mau apa mereka ke sini...?” tanya Nyi Junta seperti untuk diri
sendiri.
Tapi belum ada yang menjawab pertanyaan perempuan tua itu, sudah terdengar
ketukan di pintu beberapa kali. Dan mereka seketika jadi saling berpandangan
lagi. Nyi Junta bergegas bangkit berdiri, dan melangkah ke ruangan depan
setelah menatap Pendekar Rajawali Sakti sebentar. Sekilas saja, Nyi Junta
sudah menghilang di ruangan depan. Dan tak lama, terdengar suara pintu
dibuka.
“Malam-malam begini, kau belum juga tidur, Nyi?” Terdengar suara berat
seorang laki-laki. Jelas sekali terdengar dari suaranya kalau orang itu
Panglima Sela Gading.
“Belum,” sahut Nyi Junta terdengar malas suaranya.
“Anakmu Dewi, apa sudah tidur?” tanya Panglima Sela Gading lagi.
“Sudah,” sahut Nyi Junta pendek.
“Tidurlah, Nyi. Tutup semua pintu dan jendela. Ada pembunuh berkeliaran.
Baru saja ada laporan, lima orang prajuritku ditemukan mati di pinggiran
kota. Aku hanya memeriksa saja, Nyi. Yah.... Barangkali saja kau melihat ada
orang tidak dikenal di sekitar rumahmu ini,” kata Panglima Sela Gading,
terdengar berat sekali nada suaranya.
“Tidak ada apa-apa di sini, Gusti Panglima.”
“Baiklah, Nyi. Aku permisi saja. Maaf sudah mengganggumu
malam-malam.”
Nyi Junta hanya mengangguk saja.
“Oh ya, Nyi. Salam untuk Dewi.”
Lagi-lagi Nyi Junta hanya menganggukkan kepala saja. Dan tidak lama
kemudian, terdengar pintu ditutup, lalu terdengar suara langkah-langkah kaki
menjauh disertai hentakan kaki kuda. Nyi Junta kembali lagi ke ruangan
tengah, tapi tidak lagi menjumpai Rangga dan Pandan Wangi di ruangan
ini.
“Di mana mereka?” tanya Nyi Junta sambil memandangi kedua anak
perempuannya.
“Pergi, lewat pintu belakang,” sahut Dewi.
“Kenapa dibiarkan...?”
“Katanya, akan menghadang Panglima Sela Gading,” sahut Dewi lagi.
“Edan...! Panglima Sela Gading bukan orang sembarangan. Dia membawa banyak
prajurit...!” desis Nyi Junta, terperanjat.
“Biar saja, Mak. Aku senang kalau Panglima Sela Gading mati malam ini. Aku
benci melihatnya,” dengus Dewi.
Nyi Junta hanya diam saja. Dia tahu, sudah sejak lama Panglima Sela Gading
ingin memperistri anak perempuannya ini. Walaupun Dewi sudah punya anak
satu, tapi Panglima Sela Gading seperti tidak peduli. Bahkan terus saja
mengejar, membuat Dewi jadi muak melihatnya. Apalagi, Panglima Sela Gading
sudah lima orang istrinya. Maka semakin muak saja melihatnya. Memang,
kegemarannya adalah berburu wanita-wanita, tidak peduli yang sudah punya
anak dan suami.
“Mudah-mudahan saja anak-anak muda itu bisa mengatasinya...,” desah Nyi
Junta perlahan.
***
ENAM
Malam terus merayap semakin larut. Saat itu, Panglima Sela Gading bersama
sekitar lima puluh orang prajurit dan lima orang punggawa tengah
mengelilingi kotaraja ini, mencari orang yang telah menewaskan lima orang
prajuritnya. Semua rumah digeledah, dan semua penghuninya ditanyai. Sampai
akhirnya, mereka tiba di pinggiran kota yang sudah begitu jarang sekali
terlihat rumah berdiri. Keadaan sekitarnya begitu sunyi dan gelap.
Malam ini bulan memang tidak bersinar penuh. Langit tampak menghitam kelam,
tanpa satu bintang pun menghias. Malam ini memang tidak seperti malam-malam
sebelumnya. Angin berhembus begitu dingin menusuk tulang, membuat tubuh jadi
menggigil. Dan kesunyian begitu terasa, sampai binatang malam pun seakan
enggan memperdengarkan suaranya. Panglima Sela Gading memerintahkan
prajuritnya untuk berhenti. Kemudian, dia sendiri melompat turun dari
punggung kudanya. Namun baru saja kakinya menjejak tanah,
tiba-tiba....
Wusss...!
“Heh?! Ups...!”
Cepat-cepat Panglima Sela Gading memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu
terlihat sebuah benda berwarna kuning keemasan meluncur deras ke arahnya.
Maka benda kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada
Panglima Sela Gading yang miring ke kanan, dan langsung menghantam dada
seorang prajurit yang berdiri tepat di belakangnya.
Jleb!
“Aaa...!”
Jeritan panjang yang melengking tinggi, membuat semua prajurit yang berada
di belakang Panglima Sela Gading jadi terperanjat kaget. Tanpa diperintah
lagi, mereka langsung saja menghunus senjata.
“Setan keparat! Keluar kau...!” teriak Panglima Sela Gading lantang
menggelegar.
Namun, jawaban yang datang justru adalah benda-benda berwarna kuning
keemasan yang meluncur cepat bagai kilat, berhamburan menghujani
prajurit-prajurit itu. Dan seketika itu juga, kembali terdengar
jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul berjatuhannya
Prajurit-prajurit Kerajaan Jatigelang. Sedangkan Panglima Sela Gading
terpaksa harus berlompatan sambil cepat membabatkan pedangnya, menghalau
benda-benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan
itu.
“Hap!”
Tap!
“Yeaaah...!”
Begitu berhasil menangkap sebuah benda yang menghujaninya, dengan kecepatan
bagai kilat, Panglima Sela Gading melemparkannya ke arah datangnya.
Srak!
Slap!
Tepat di saat benda bulat kecil berwarna kuning keemasan itu menembus
semak, terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat begitu cepat ke luar dari
dalam semak. Dan bersamaan dengan itu, serangan benda-benda kecil berwarna
kuning keemasan juga berhenti. Namun, sudah lebih dari setengah jumlah
prajurit yang bergelimpangan saling tumpang tindih tak bernyawa lagi.
“Hiyaaat...!”
Panglima Sela Gading langsung melesat tinggi ke udara, mengejar bayangan
hijau itu. Dan bagaikan kilat, pedangnya dibabatkan ke arah bayangan hijau
yang masih berada di udara.
Wuk!
Namun sabetan pedang Panglima Sela Gading hanya mengenai udara kosong saja,
karena bayangan hijau itu sudah demikian cepat meluruk ke bawah. Panglima
Sela Gading bergegas turun. Dan begitu kakinya menjejak tanah, sekitar satu
batang tombak di depannya sudah berdiri seorang wanita berbaju ketat warna
hijau muda. Kepalanya mengenakan tudung bambu lebar, sehingga menutupi
sebagian besar wa-jahnya.
“Siapa kau?!” bentak Panglima Sela Gading langsung bertanya.
“Aku pencabut nyawamu, Pengkhianat!” sahut wanita itu, dingin
menggetarkan.
“Heh...?!” Panglima Sela Gading jadi terperanjat mendengar jawaban atas
pertanyaannya tadi. Begitu terkejutnya, sampai-sampai dia terlompat dua
langkah ke belakang. Dicobanya untuk melihat wajah di balik tudung bambu
itu. Malam yang gelap, dan wajah yang hanya bagian bibir serta dagunya saja
terlihat, memang sulit sekali untuk bisa mengenali wanita ini.
“Siapa kau, heh...?!” bentak Panglima Sela Gading lagi.
“Sudah kukatakan, aku pencabut nyawamu, Panglima Sela Gading!” sahut wanita
itu, terdengar bernada kesal.
“Setan...! Berani kau menghinaku, heh...!”
“Tidak ada yang ditakutkan pada pengkhianat sepertimu, Panglima Sela
Gading. Yang pantas untukmu, hanya lubang kubur!”
“Keparat! Kurobek mulutmu, Perempuan Setan! Hiyaaat...!”
Panglima Sela Gading tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Sambil
menggeram dahsyat, langsung saja panglima itu menyerang dengan kecepatan
tinggi sekali. Pedangnya seketika berkelebat berputar begitu cepat, langsung
mengurung seluruh tubuh wanita bertudung bambu ini.
“Hup! Yeaaah...!”
Namun wanita bertudung bambu ini begitu gesit gerakannya. Sehingga, tebasan
pedang Panglima Sela Gading tidak satu pun yang mengenai sasaran. Sementara
prajurit-prajurit yang mengiringi panglima itu sudah bergerak rapat
mengepung. Mereka memang tinggal menunggu perintah saja dari
panglimanya.
“Hup...!”
Tiba-tiba saja Panglima Sela Gading melompat ke belakang, langsung
menghentikan pertarungannya. Begitu ringan gerakannya. Sehingga ketika kedua
kakinya menjejak tanah, sedikit pun tidak menimbulkan suara. Sementara,
wanita bertudung bambu itu berdiri tegak dengan sikap menantang, siap
bertarung.
“Seraaang...!” Panglima Sela Gading memberi perintah dengan suaranya yang
lantang menggelegar, bagai guntur membelah angkasa.
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Seketika itu juga, para prajurit yang memang sejak tadi tinggal menunggu
perintah, langsung berlompatan menyerang wanita bertudung bambu ini.
“Hap! Hiyaaat...!”
Sret!
Cring!
Menghadapi keroyokan yang begitu banyak, tampaknya wanita ini tidak mau
mengambil akibat yang lebih parah. Dengan cepat, pedangnya dicabut. Langsung
saja tubuhnya berlompatan membabatkan pedangnya dengan cepat, menghajar para
prajurit. Dalam beberapa gebrakan saja, sudah terdengar jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi, disusul ambruknya tiga orang prajurit secara
bersamaan.
“Hup! Hiyaaat...!”
Wanita bertudung bambu itu tidak berhenti sampai di situ saja, setelah
merobohkan tiga orang prajurit secara bersamaan. Sambil berteriak nyaring,
cepat dia melompat ke kanan sambil memiringkan tubuhnya sedikit. Dan
pedangnya seketika berkelebat begitu cepat membabat dada seorang prajurit
yang berada dekat dengannya. Begitu cepat sabetannya, sehingga prajurit itu
tidak dapat lagi menghindar.
Cras!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, diiringi ambruknya
seorang prajurit dengan dada terbelah menyemburkan darah segar.
“Hup! Yeaaah...!”
Emoticon