Di saat itu dalam masjid Gunung Sembung, Parmin duduk bersila sendirian seusai berzikir. Sementara orang-orang muslim yang tinggal di sekitar masjid itu mulai banyak berdatangan untuk turut melaksanakan shalat maghrib berjamaah. Tak ketinggalan Kiyai Subekti Achmad yang pertama kali memasuki masjid tersebut. Ia agak terperanjat melihat seorang pemuda duduk bersila dengan tenang tanpa merasa terusik oleh kehadirannya. Dalam hatinya bertanya-tanya, siapa gerangan pemuda pendatang itu? Parmin sendiri merasakan adanya orang-orang yang mulai duduk berjajar membuat saf di sekitarnya.
"Hm... baru sekarang aku bertemu dengan penduduk desa ini. Sejak tadi aku
cuma duduk sendirian saja di sini! Tapi... apakah mereka cuma shalat maghrib
saja? Tadi siang tak kulihat mereka!" tanya Parmin dalam hati.
Kemudian Kiyai Subekti bersama murid kesayangannya melintas di hadapan dan
melirik ke arahnya. Parmin memperhatikan orang tua berjanggut putih itu
dengan seksama. Cara meliriknya terasa tajam seperti menguliti dirinya
bulat-bulat. Langkahnya pelan tapi mantap menandakan ia seorang jago silat
yang berilmu tinggi.
"Guruku, Ki Sapu Angin pernah mengatakan bahwa di daerah Gunung Sembung ada
seorang alim ulama dan guru silat yang sangat termasyur! Aku rasa inilah
orangnya!" gumam Parmin.
Setelah beberapa langkah melewatinya, Parmin diam-diam mendengar bisikan
orang tua itu kepada muridnya.
"Siapakah anak muda yang duduk di belakang itu, Anwar? Tampaknya ia orang
yang berisi!"
"Aku tidak tahu, Pak! Semua penduduk desa ini kukenal satu persatu.
Barangkali ia seorang musafir!" sahut muridnya sambil menatap Parmin. Mereka
berjalan beriringan diikuti oleh para ulama lainnya menuju saf yang
terdepan.
Parmin lalu beringsut dari duduknya turut berjalan mengikuti mereka untuk
membentuk saf demi saf. Ia kagum terhadap orang tua itu karena
penglihatannya sangat tajam. Parmin berdiri di antara deretan jamaah dalam
masjid itu.
"Hm... orang tua dan pemuda itu berdiri tepat di belakang imam. Aku akan
ambil tempat dekat mereka!" ucapnya pelan sambil mengayunkan langkahnya
mengisi tempat yang kebetulan kosong di sebelah kanan Kiyai Subekti.
Shalat maghrib telah dimulai. Suasana hening syahdu menyelimuti mereka.
Masing-masing memusatkan pikirannya ke hadirat Allah penuh kekusyukan.
Tetapi bagi seorang jago silat tentu mempunyai kelebihan naluri untuk bisa
menangkap hal-hal yang terjadi disekelilingnya. Pada saat rakaat kedua
Parmin merasakan adanya gelagat buruk yang akan menimpa mereka. Ketika Kiyai
Subekti mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan takbir yang sengaja
diperkeras. "Allahu Akbar!"
Tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan hijau menyambar orang tua itu dengan
cepat. Tetapi Kiyai Subekti telah melesat lebih cepat dari serangan gelap
itu. Sedangkan muridnya Anwar melejit ke atas dan meliuk ke samping kanan
sambil berteriak. Dan Parmin yang berada di sebelah Kiyai Subekti hanya
mengelak ke samping pilar masjid berlawanan arah dengan arah datangnya
serangan tak terduga itu. Ia menyilangkan tangannya di dada
siap-siaga.
Sementara Kiyai Subekti Achmad dengan kecepatan yang tidak dapat ditangkap
oleh mata orang-orang biasa terbang keluar masjid ke pelataran sambil
bersalto di udara mengalihkan perhatian bayangan hijau agar tidak mengganggu
shalat jamaah lainnya. Begitu cepat kejadian itu sehingga mereka tidak
mengetahui bahwa Kiyai Subekti telah hilang dari tempatnya, kecuali Parmin
dan Anwar.
Parmin hanya memperhatikan semua itu dengan tenang tanpa peduli. Lalu ia
kembali ke dalam saf melanjutkan shalat yang telah dibatalkannya.
Pertarungan itu dilanjutkan di luar pekarangan masjid. Kiyai Subekti
berusaha mengimbangi serangan yang dilancarkan bayangan hijau itu terhadap
dirinya secara beruntun. Dengan satu gerakan yang cepat bayangan hijau itu
melesat ke sana ke mari seperti sebuah meteor. Sinar hijau terlihat
berkelebat kian ke mari menjelajahi pekarangan masjid. Dan Anwar yang
melihat gurunya sedang bertarung menghadapi serangan bayangan hijau itu
segera melompat terjun untuk membantu Kiyai Subekti. Tetapi bayangan hijau
itu melayang lenyap ke dalam semak-semak di sebelah masjid begitu Anwar
mendaratkan kakinya di atas tanah menengahi pertarungan mereka. Hanya bias
warna hijau yang tersisa melintas areal pekuburan itu. Kiyai Subekti hanya
dapat mengikuti arah tubuh itu bergerak hilang dengan pandangan matanya
tanpa dapat mengejarnya.
"Hebat! Hebat! Datang dan pergi seperti kilat menyambar! Aku yang sudah tua
bangka ini sangat kagum dengan ketangkasannya yang luar biasa. Tetapi sangat
disesalkan... ia terlalu licik!" umpat Kiyai Subekti sambil menurunkan kedua
tangannya yang menyilang diatas kepalanya. Ia menghela nafas dan membetulkan
letak kain sarungnya yang miring.
Anwar mendekati gurunya dengan wajah cemas. Keringatnya mengalir membasahi
keningnya. Nafasnya bergemuruh.
"Siapa dia, Pak? Dan mengapa bermaksud membunuhmu?" tanya Anwar sambil
menyeka keringat.
Pak Kiyai memalingkan wajahnya. "Seingatku aku tidak pernah mempunyai
musuh. Mungkin ia seseorang yang datang dari jauh hanya untuk menguji
kemampuan ilmu silatku atau ada alasan lain! Ah... sudahlah. Mari kita
kembali ke dalam masjid!" ucap Kiyai Subekti mengajak muridnya.
Kemudian mereka berdua berjalan untuk mengambil air wudhu lagi melanjutkan
shalat maghribnya yang tadi terputus.
Orang-orang yang berada di dalam seusai shalat berhamburan keluar melihat
apa yang telah terjadi terhadap diri Kiyai Subekti Achmad. Sedangkan Parmin
tetap duduk bersila membaca doa wirid dan tinggal sendirian di dalam masjid.
Dan Kiyai Subekti hanya tersenyum ketika mereka bertanya tentang kejadian
tadi. Ia menjelaskan bahwa ada seseorang yang menginginkan kematiannya.
Tetapi Kiyai Subekti memperingatkan kepada rekan-rekannya agar selalu
waspada terhadap rongrongan yang sewaktu-waktu datang mematahkan semangat
perjuangan mereka.
Dalam malam ini Parmin terpaksa tidur di dalam masjid. Malam berganti pagi.
Sang surya memancarkan cahayanya ke seluruh alam. Cakrawala di kaki langit
sebelah timur berbesit sinar kemerah-merahan. Kokok ayam dan kicau burung
bersahut-sahutan dengan riuhnya menyambut datangnya pagi. Kabut sebagian
menyelimuti daerah Gunung Sembung dan sekitarnya.
Parmin berjalan menyusuri kampung Gunung Sembung mencari sekedar makanan
untuk sarapan pagi. Dalam hatinya timbul niat untuk tinggal beberapa hari
lagi di sini karena ia tertarik pada peristiwa yang telah dialami oleh Kiyai
Subekti yang juga pernah dialaminya kemarin. Parmin merentangkan kedua
tangannya kuat-kuat sambil menghirup udara segar pagi ini. Ia berlari-lari
kecil menelusuri jalan setapak sampai di pinggir kampung mendadak sontak
langkahnya terhenti karena melihat suatu perubahan yang telah terjadi di
kampung tersebut.
"Aneh, hari ini menjadi kebalikan dari hari kemarin! Sekarang orang-orang
justeru banyak berkeliaran di luar rumah! Ada apa gerangan?" tanya Parmin
heran dalam hati.
Ia memperhatikan orang-orang kampung Gunung Sembung berduyun-duyun keluar
dari rumahnya masing-masing bersama sanak keluarganya. Gadis-gadis remaja
berpakaian kebaya berwarna-warni bercanda ria dengan sesama temannya
berjalan beriringan menuju suatu tempat. Sepertinya mereka sedang mengadakan
suatu perayaan. Tua-muda, besar-kecil, semuanya berbaur menjadi satu
membentuk sebuah barisan seperti karnaval.
Parmin mengernyitkan dahinya. "Dan... lihat! Wajah mereka berseri-seri!
Tidak ada rasa takut tergores di wajah mereka seperti kemarin. Aneh!"
Memang seluruh penghuni kampung Gunung Sembung dilanda suka-ria beban yang
telah seakan-akan ini menghimpit mereka akhir-akhir lepas begitu saja pada
hari ini. Dari jauh terlibat gerombolan para pemain gamelan lengkap dengan
pakaian pertunjukkannya turut mengiringi barisan itu dengan meriahnya.
Barisan dipimpin oleh seorang laki-laki tua itu terus berjalan menuju ke
suatu tempat. Sepertinya mereka mengadakan pesta panen padi atau yang
sejenisnya.
Parmin segera berbaur ke dalam barisan itu mengikuti arus manusia entah ke
mana. Di dalam otaknya penuh oleh seribu pertanyaan. Melihat dari dandanan
para gadis desa dan segala jenis makanan berhias yang dibawahnya agaknya
mereka menuju ke suatu perayaan perkawinan. Tetapi Parmin tetap tidak
mengerti.
"Aneh sekali kelakuan penduduk desa ini! Bukankah mereka kemarin seperti
berkabung. Tapi hari ini mereka malah mengadakan pesta Apa artinya semua
ini?"
Parmin lalu memperlambat langkahnya agar dapat mengikuti barisan itu dari
belakang, dan pada persimpangan jalan ia sengaja menyelinap memotong jalan
meninggalkan barisan itu. Pemuda itu segera memasuki suatu daerah di dalam
hutan dan di sana Parmin lebih heran lagi menyaksikan suatu pemandangan yang
terpampang di hadapannya.
Di sebuah pohon beringin yang sangat besar dengan akar-akar gantungnya
menjuntai sampai ke bawah, terlihat orang-orang berkumpul membakar kemenyan
dan meletakkan berbagai macam sesajian. Dari mulai kembang tujuh warna
sampai ayam panggang tersedia rapi dipenuhi hiasan dan buah-buahan. Mereka
semuanya bertelanjang dada duduk bersila dengan teratur dengan kain lurik
membalut tubuhnya dengan perut sampai ke lutut yang mempunyai satu lipatan
tepat didepan pangkal pahanya masing-masing. Kepala mereka semuanya diikat
dengan kain yang serupa.
Parmin berjalan mendekati orang-orang itu dan memperhatikan segala
perbuatan mereka.
"Apa-apaan ini? Mereka menyembah pohon! Gila!" kutuknya pelan sambil
berdiri tegak di belakang mereka.
Tiba-tiba salah seorang pimpinan mereka menaburkan bubuk kemenyan di atas
pedupaan yang sudah dipenuhi bara api. Asap mengepul dari pedupaan itu
menyebarkan aroma kemenyan menyelimuti udara disekitarnya. Tubuh orang itu
bergetar hebat. Sepertinya ia kesurupan. Matanya mendelik. Giginya gemeretuk
keras. Suaranya menggeram. Seluruh wajahnya merah padam. Setelah sekian lama
dalam keadaan begitu, perlahan-lahan orang itu lemas sambil menundukkan
kepalanya terdiam. Kemudian tegak kembali. Matanya terpejam. Kedua tangannya
dirapatkan menempel pada dadanya. Mulutnya bergerak komat-kamit membaca
mantera. Dan para pengikutnya di belakang turut merapatkan tangannya di
dadanya masing-masing sambil memejamkan mata memusatkan pikiran.
"Gusti Bergola Ijo, ampunilah kami yang terlambat mengadakan pesta dan
mempersembahkan sesajian ini!" kata orang itu sambil menaburkan bubuk
kemenyan ke dalam pedupaan di sebelah kanannya. Asap kemenyan kembali
mengepul. "Kini permintaan gusti telah kami penuh semuanya. Semoga gusti
tidak murka lagi dan mohon berkah untuk kami sekalian!" lanjutnya sambil
membaca mantera.
Kepala orang itu terangguk-angguk diikuti oleh para pengikutnya.
Parmin menggeleng-gelengkan kepalanya. "Masya Allah! Mereka menempuh jalan
sesat!"
Tanpa bicara sepatah katapun, ia langsung menganyunkan langkah menuju
tempat di mana suara gamelan berkumandang meninggalkan orang-orang sesat
itu. Dari jauh terlihat kerumunan orang banyak memenuhi alun-alun. Suara
gamelan terdengar keras seperti mengiringi suatu pertunjukan. Parmin segera
mendekat. Ternyata para penduduk sedang menikmati sebuah pertunjukan wayang
kulit. Dengan dalangnya yang sangat terkenal di daerah Cirebon dan
sekitarnya yakni Ki Dalang Ambet.
Para penduduk berjubel saling berdesak-desakan ingin menyaksikan
pertunjukan itu dari dekat, karena pesta yang demikian jarang sekali di
selenggarakan sehingga mereka bersemangat untuk saling berebut tempat orang
menonton di barisan paling depan. Sebagaimana dikatakan orang bahwa wayang
kulit adalah suatu kesenian yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga sebagai alat
untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, maka setiap ajaran-ajaran Islam
selalu diselipkan dalam setiap pertunjukkan wayang kulit.
Parmin berdiri agak ke tengah-tengah kumpulan orang-orang. Ia juga sangat
menyukai pagelaran wayang kulit. Tabuhan gamelan mulai perlahan-lahan
berkumandang menandakan bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Dalang Ambet
melagukan tembang pembuka dengan manis sekali membuat penonton seolah-olah
terpaku tanpa bergerak sedikit pun mendengarkan tembang itu.
Dalang Ambet selain dikenal sebagai dalang, ia juga dikenal sebagai seorang
alim ulama yang disegani. Oleh karena itu dalam setiap lakon yang
didalanginya selalu bernilai unsur-unsur keagamaan dan keTuhanan sesuai
dengan ajaran agama Islam. Banyak orang menyukai pertunjukannya sehingga
mereka yang tinggal jauh dari tempat pertunjukan itu rela menempuh
perjalanan jauh untuk menyaksikannya.
Tak berapa lama kemudian Dalang Ambet sudah mulai menggelarkan lakon wayang
kulitnya dengan semangat. Tangan kanannya memegang tokoh Arjuna sedangkan
tangan kirinya memegang tokoh Kresna. Ki Dalang tak henti-hentinya bersuluk
dengan bahasa Jawa kuno yang merupakan syair pengantarnya. Ia lalu
menancapkan kedua tokoh wayang itu di kedebok pisang yang terpampang di
depannya, saling berhadap-hadapan dimana Kresna berdiri tegak sedangkan
Arjuna dalam posisi agak condong ke depan merendah. Terdengar Ki Dalang
Ambet bercerita disusul dengan dialog.
"Wahai adikku Dipati Arjuna, camkanlah dalam sanubarimu bahwa tiada Tuhan
yang wajib disembah melainkan Allah!" kata Ki Dalang sambil mengaungkan
tangan tokoh Kresna seakan-akan sedang memberi petunjuk.
"Janganlah engkau menyembah pohon-pohon, gunung, laut, bumi, bulan,
matahari, jin ataupun manusia! Karena semua itu diciptakan oleh Allah.
Kakanda merasa sedih dan prihatin terhadap manusia didunia ini yang telah
mulai mengingkari agama Tuhan. Mereka semua sekarang menyembah seorang jin
yang mereka menamakan Bergola Ijo!" ujar Ki Dalang Ambet berapi-api.
Secara tak langsung ia telah mengingatkan para penduduk akan kemungkaran
yang telah mereka lakukan selama ini.
Belum habis Sang batara Kresna memberi wejangan kepada Adipati Arjuna,
tiba-tiba wajah Ki Dalang Ambet berubah menjadi biru mengerikan menahan rasa
sakit yang meletup-letup dari dalam tubuhnya. Bibirnya bergetar kuat.
Matanya melotot.
"Hoak...!"
Dari mulutnya menyembur darah kental kehitam-hitaman membasahi wayang kulit
yang berdiri tegak di hadapannya. Tubuhnya berkelejat-kelejat dan langsung
ambruk menimpa peralatan gamelan di belakangnya. Tangannya mengejang keras
sambil memegangi perutnya. Sekujur tubuhnya meregang sejenak dan akhirnya
diam tak berkutik untuk selama-lamanya.
Seketika itu juga orang-orang menjadi panik bukan main. Para pemain gamelan
berhamburan di atas panggung menabrak segala peralatannya sehingga
menimbulkan suara yang gaduh semrawut. Orang-orang yang menyaksikan
pertunjukan itu berlarian ke sana ke mari menyelamatkan diri masing-masing
karena mereka percaya kutukan Sang Bergola Ijo menjadi kenyataan dan mereka
tidak mau jadi korbannya.
Sedangkan Parmin sendiri langsung melesat hilang kembali ke masjid.
Mau tidak mau pertunjukkan wayang kulit itu terpaksa dihentikan. Jenazah Ki
Dalang Ambet kemudian dibawa ke madrasah Kiyai Subekti Achmad untuk diurus.
Para ulama lainnya datang berkumpul di dalam madrasah menyatakan rasa bela
sungkawa. Mereka duduk bersila mengelilingi jenazah Ki Dalang Ambet yang
sudah ditutupi sehelai kain putih.
"Innalillahi wainnailaihi rojiun! Semoga arwah almarhum mendapatkan tempat
yang layak di alam baka. Almarhum telah menunaikan kewajiban suci! Almarhum
telah mati syahid!" kata Kiyai Subekti memimpin doa bagi arwah Ki Dalang
Ambet.
Mereka semalaman melaksanakan tahlil, setelah sore itu juga jenazah Ki
Dalang Ambet dikebumikan. Satu lagi korban telah jatuh akibat ulah Bergola
Ijo. Mereka telah kehilangan seorang alim ulama yang cukup disegani dan
selalu berjuang menyebarkan agama Islam melalui wadah keseniannya. Daerah
Gunung Sembung dan Gunung Jati telah kehilangan seorang seniman besar. Namun
kematian Ki Dalang Ambet justru membuat para alim ulama semakin bertekad
untuk menegakkan ajaran agama. Satu hilang esa terbilang.
Sejak peristiwa mengerikan itu, rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya
semakin takut kepada Bergola Ijo. Sebaliknya para pengikut Bergola Ijo
semakin bertambah jumlahnya. Mereka menjadi kafir dan murtad! Kematian Ki
Dalang Ambet telah membuktikan bahwa barang siapa menentang Sang Bergola Ijo
akan bernasib seperti itu.
***
Hari mulai gelap. Bulan bersinar redup seolah-olah turut berduka cita
terhadap kematian seorang ulama. Suasana desa Gunung Sembung terlihat
sunyi-senyap. Tak ada seorangpun penduduk yang berani menampakkan diri di
luar. Mereka lebih suka berdiam diri di dalam rumah. Rasa takut akan kutukan
Sang Bergola Ijo yang setiap saat mengancam telah tertanam kuat dalam dalam
keyakinan mereka. Hanya kelelawar yang berani muncul terbang di udara dengan
kepak sayapnya yang terdengar menyeramkan dan tembang serangga-serangga
malam selalu setia menemani tugas sang bulan di langit.
Dalam malam ini adalah malam yang kedua Parmin menginap di masjid Gunung
Sembung. Sampai saat ini belum berhasil memecahkan misteri yang sedang
menyelubungi desa Gunung Sembung dan sekitarnya.
Pada malam itu ia sedang duduk merenung sendirian bersandar dengan kedua
tangan dilipat sebagai bantalan kepala di sebuah pilar dalam masjid itu.
Kakinya ia rentangkan lurus-lurus. Matanya memandang ke atas langit-langit
masjid seakan-akan ia coba bertanya kepada saksi-saksi bisu yang ada di
sekitarnya. "Aku tak habis pikir terhadap penduduk desa ini, mengapa begitu
mudah dipengaruhi faham asing? Mungkinkah semua umat manusia akan berubah
menjadi kafir? Ah, tidak! Tidak! Tidak ada kekuatan apapun yang mampu
menentang kekuasaan Tuhan! Allahu Akbar! Tuhan Maha Besar! Maha Kuasa!" ucap
Parmin memuji kebesaranNya.
Berdasarkan rangkaian peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ia dapat
menarik kesimpulan bahwa antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang
lainnya saling berkaitan. Semunya hampir memiliki persamaan yaitu menyangkut
Bergola Ijo yang mereka sebut-sebut sebagai jin penguasa desa Gunung Sembung
dan sekitarnya.
Sementara itu malam semakin larut. Kabut mulai turun perlahan-lahan
menyelimuti kaki bukit Gunung Sembung. Para penduduk desa telah tertidur
dengan lelap dibuai mimpi. Angin bertiup kencang membawa embun malam yang
membuat ngilu tulang-tulang sum-sum. Tapi hal itu sama sekali tak dirasakan
Parmin yang sedang tenggelam dalam pikirannya. Tiba-tiba ia tersentak dari
lamunannya. Ia mendengar langkah-langkah halus di belakang masjid. Parmin
segera memusatkan panca inderanya.
"Suara orang berjalan di belakang masjid. Sangat mencurigakan! Aku harus
melihatnya!" desahnya sambil meningkatkan pendengarannya menangkap sumber
suara itu.
Secepat kilat Parmin melompat keluar dari masjid dan melesat tanpa
menimbulkan suara menuju datangnya langkah-langkah itu. Ia bersembunyi di
balik sebuah pohon besar di tengah pekuburan. Maka terlihat olehnya dua
orang berjalan di antara nisan-nisan kuburan sambil berbisik- bisik.
"Pekerjaanmu tadi siang berhasil memuaskan, Warto! Majikan kita Bergola Ijo
pasti merasa senang dan itu berarti hadiah satu hektar sawah untukmu!"
"Ya, waktu ada perayaan aku berpura-pura jadi tukang antar minuman. Dan
racun itu kutuangkan ke dalam gelas minuman Dalang Ambet sial itu!"
Kedua orang itu ternyata adalah kaki tangan Bergola Ijo. Seorang laki-laki
tua dengan sorot mata yang tajam memandang puas pada Warto temannya yang
bermulut monyong dengan kumis lebatnya yang tumbuh menutupi kedua bibirnya
yang tebal.
Laki-laki tua itu rupanya tak lain adalah orang yang kemarin bertemu Parmin
di pelataran masjid saat ia sedang mengambil air wudhu siang hari. Parmin
memperhatikan keduanya dengan geram. Tak terasa tangannya mengepal
keras.
"Hm, ternyata mereka adalah manusia-manusia licik dan keji!" maki Parmin
dalam hati dan tak ia sadari dahan pohon di dekatnya patah oleh remasan
tangannya.
Setelah menyeberangi jalan perintis buatan Kumpeni Belanda, kedua orang itu
berjalan menuju Gunung Jati yang letaknya berada di sebelah timur Gunung
Sembung dan Parmin terus mengikutinya tanpa suara.
"Ah, satu hektar sawah itu tak seberapa! Kau tentunya lebih kaya karena
kepandaianmu sebagai dukun palsu penyambung lidah Bergola Ijo! Ya,
kan?"
"Huh, apaan! Satu kali aku pura-pura kesurupan dan mengoceh makan asap
pedupaan serta menelan setengah kilo kemenyan, upahku cuma dua ekor kerbau.
Sial!"
"He... hei, jangan berkata begitu! Nanti kau jadi korban tajamnya senjata
pengait Bergola Ijo, baru tahu rasa kau!"
Suasana hening sejenak. Kedua orang itu terus saja berjalan menelusuri
jalan berundak-undak dengan hamparan kuburan berderet-deret dikiri-kanannya,
menuju ke puncak Gunung Jati. Nafas mereka terdengar ngos-ngosan karena
menempuh jalan menanjak dan berliku-liku sedemikian rupa.
Parmin mengendap-endap di sela-sela pekuburan sambil terus mengikuti
mereka. Sekali-sekali suara cicit kelelawar mengejutkan ke dua orang itu dan
pendekar muda dari pantai Eretan itu.
"Seorang telah mampus! Yang lainnya tentu menunggu giliran untuk menyusul!"
seru Warto memecah kesunyian itu sambil mendengus.
"Dengan matinya Dalang Ambet, maka tinggal seorang lagi musuh berat gusti
Bergola Ijo yakni Kiyai Subekti!" sahut laki-laki tua itu meringis.
Pembicaraan itu membuat Parmin mengerti akan duduk persoalan yang selama
ini masih melekat dalam otaknya. "Oh, rupanya orang yang berpakaian serba
hijau itulah yang mereka sebut sebagai Bergola Ijo!"
Sampai di puncak bukit Gunung Jati, dua sosok tubuh itu lenyap begitu saja
dari pandangan Parmin. Ia lalu segera memburu mereka. Parmin kehilangan
jejak. Matanya mengamati seluruh tempat ketika kedua orang tadi
lenyap.
"He, kemana mereka? Apakah mereka mempunyai ilmu sihir sehingga dapat
lenyap dari pandangan mata? Ah, tidak mungkin! Tapi... apakah itu?
Sepertinya sebuah lubang gua. Mungkin mereka masuk ke dalamnya!" ujar Parmin
penuh harap.
Tanpa pikir panjang lagi ia segera merosot turun menghampiri mulut sebuah
gua yang letaknya tersembunyi dengan semak-semak yang tumbuh hampir menutupi
mulut gua tersebut. Akar-akar pohon menjuntai ke bawah menghalangi pintu gua
itu. Parmin lantas menyibak semak-semak yang sebagian berduri itu dengan
perlahan-lahan. Matanya tetap memantau tempat itu dengan cermat untuk
menjaga kemungkinan adanya perangkap rahasia yang mungkin sengaja dipasang
di mulut gua tersebut.
Merasa aman, Parmin mulai memasuki mulut gua itu. Lubang gua itu ternyata
kecil sekali, hanya dapat dimasuki seorang saja dan ia terpaksa harus
berjongkok untuk menelusurinya. Dinding gua penuh ditumbuhi lumut basah
sehingga lorongnya menjadi licin. Parmin melangkah dengan hati-hati
sekali.
"Hm... biarlah aku terus masuk ke dalamnya! Mungkin di sinilah sarang
Bergola Ijo itu! Dua orang tadi tentunya pembantu yang bertindak sebagai
perantara untuk mengelabui penduduk desa. Sungguh licin cara penipuan
mereka! Tetapi atas dasar apa mereka melakukan semua itu? Harus kuselidiki!"
gumam Parmin sambil bergerak maju terus menjajaki lorong gua itu.
Setibanya di dalam, gua itu semakin lebar. Tanpa mengenal lelah Parmin
terus merayap semakin jauh ke dalam. Udara mulai terasa hangat. Berarti di
dalam gua ini terdapat sumber api.
"Betul! Seperti ada cahaya api dari dalam sana! Aku harus berhati-hati
jangan sampai tertangkap basah!" desahnya sambil terus merayap.
Dalam keremangan cahaya yang terpancar dari sebuah tempat, di sekitar
lantai gua itu terlihat pemandangan yang sangat menyeramkan. Tengkorak
kepala manusia banyak berserakan di atas batu-batu runcing yang berlumut. Di
langit-langit dan di dasar gua terdapat stalagnit dan stalagtit yang
menambah suasana seram dalam gua tersebut.
Parmin terus menelusuri liku-liku gua itu mendekati arah datangnya cahaya
yang memancar. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang yang bernada
berat dan serak menggema ke seluruh relung gua. Terlihat seorang laki-laki
bertubuh tinggi besar duduk bersila di atas sebuah batu pipih yang berbentuk
altar dengan angkuhnya sambil menatap kedua orang yang tadi dikuntitnya,
duduk berhadapan dengan orang tersebut. Ditengah-tengah mereka menyala
kobaran api besar dari dalam sebuah kuali yang terbuat dari kuningan
berukir. Di sebelah orang yang bertubuh besar itu duduk seorang pemuda
dengan kumis tipis di atas bibirnya. Alisnya tebal dan mengenakan ikat
kepala kain putih. Wajahnya cukup tampan. Sepertinya ia murid Bergola
Ijo.
"Hm, itulah orang yang pernah coba-coba membunuhku di dalam masjid!" gumam
Parmin menggeser kaki kanannya yang mulai terasa kesemutan karena berdiri
dengan posisi kaki yang setengah berlutut.
Rupanya Sang Bergola Ijo sedang mendengarkan kerja kedua orang pembantunya.
Ia tersenyum lebar. Giginya yang besar berderet tampak menyeringai
seram.
"Bagus! Bagus! Rancana kita hampir berhasil! Pemerintah Kumpeni Belanda
akan memberikan penghargaan kepada kita! Ha ha ha ha!" suara tawanya
menggaung menggetarkan seluruh dinding gua itu.
Parmin mengatur nafas menahan getaran tenaga dalam yang merasuki telinganya
yang terpancar melalui suara tawa itu. Batu-batu kecil rontok dari atas
dinding karena tidak kuat menahan getaran tersebut.
Tiba-tiba Bergola Ijo menghentikan tawanya. Seluruh tubuhnya seketika
berubah menjadi hijau. Matanya merah saga menahan amarah yang sedang
bergejolak di dalam tubuhnya. Kumisnya bergerak-gerak mengikuti gerak
mulutnya yang menggeram dengan suara gigi yang menggerutuk keras.
Satu-persatu pembantunya ditatap dengan sorot mata yang tajam. Mereka tak
berani membalas tatapan majikannya yang terkenal sangat ganas dan tak
segan-segan membunuh bagi siapa saja yang membangkangnya. Kedua orang itu
harus menundukkan kepalanya karena mereka ngeri terhadap Sang Bergola
Ijo.
"Orang-orang berotak cerdik dan kuat keagamaannya seperti Dalang Ambet
harus mampus terlebih dahulu! Sayang Kiyai Subekti Achmad belum berhasil
kukirim ke akhirat! Tetapi aku bersumpah suatu saat nantinya dia pasti
menyusul Dalang itu!" dengus Bergola Ijo. Tangan kanannya yang berbentuk
senjata pengait diacung-acungkannya.
"Tahukah kalian, mengapa orang-orang seperti itu harus dilenyapkan dari
muka bumi ini? Karena mereka merupakan otak dan panutan bagi masyarakat di
sekitarnya. Otak yang seperti itulah yang kelak menjadi pemimpin dan memupuk
serta mengobarkan semangat jiwa patriot rakyat agar bersatu untuk
memberontak terhadap Pemerintah Kumpeni Belanda. Ini yang harus kita cegah
mulai sekarang! Dan atas perjuangan saudara-saudara. Pemerintah Kumpeni
Belanda akan memberikan imbalan berupa harta kekayaan dan pangkat jabatan
untuk saudara-saudara!" sambung Bergola Ijo membesarkan hati para
pembantunya agar tetap bersemangat mengadakan infiltrasi dan
agitasinya.
Maka semangat mereka pun kembali berkobar-kobar seperti kobaran api di
dalam anglo besar di hadapan mereka.
"Dan tahukah kalian! Bahwa daerah Gunung Sembung Dan Gunung Jati adalah
daerah yang akan menjadi pelopor pemberontakan di karesidenan Cirebon ini?
Karena Pemerintah Kumpeni Belanda tahu bahwa seluruh rakyat Gunung Sembung
adalah pemeluk agama Islam yang sangat kuat! Disinilah tempat berkumpulnya
para alim ulama sejak abad kelima belas dan jalan satu-satunya untuk
melemahkan semangat persatuan dan jiwa kepahlawanan itu ialah dengan jalan
merontokkan iman mereka dan mengikis kepercayaan mereka terhadap agama. Dan
lihatlah, kita telah berhasil! Mereka sebagian besar kini menyembah Bergola
Ijo! Menyembah aku! Ha ha ha ha ha ... mereka sekarang menjadi kafir!"
Bergola Ijo tertawa bangga. Suara tawanya yang mengandung tenaga dalam yang
besar kembali menggetarkan seluruh isi gua itu. Terdengar bergemuruh seperti
hendak menggetarkan seluruh isi gua itu.
Sementara itu Parmin terus mendengarkan pembicaraan tersebut dengan
seksama. Hatinya terbakar dan jiwa kesatriannya bergejolak. "Bangsat! Kini
aku tahu betapa busuknya rencana mereka! Semuanya ternyata penipu jahanam!
Bergola Ijo pantas saja dapat bergerak dengan leluasa melebarkan sayapnya
karena di belakangnya berdiri Pemerintah Kumpeni Belanda! Orang seperti dia
memang pantas menjadi makanan golokku!" geram Parmin.
Beberapa saat kemudian rapat rahasia itu dinyatakan bubar oleh Bergola Ijo.
Tiba-tiba seorang pemuda yang sejak tadi duduk berdiam diri saja di samping
Bergola Ijo beringsut menghadap gurunya duduk bersimpuh membuka suara.
Bergola Ijo dapat menangkap gelagat perasaan muridnya.
"Apa yang hendak kau katakan, Barna?" tanyanya sambil menggeser tangan
kirinya menumpu di atas pahanya.
"Pak Guru! Kiranya sudah tepat waktu bagiku untuk melampiaskan dendam
kepada Anwar murid Kiyai Subekti itu, Pak Guru!" pinta Barna berharap.
Bergola Ijo mengernyitkan dahinya sejenak untuk berpikir. Ia melihat sinar
mata muridnya mengharapkan izin darinya.
"Hm...baiklah, kuijinkan! Kepandaianmu sudah cukup untuk menandingi orang
yang menjadi sainganmu dalam memperebutkan cinta. Tapi ingat, jangan kau
ceritakan kepada orang-orang, siapa gurumu, mengerti? Aku datang jauh-jauh
dari seberang lautan bukan cuma untuk membela kepentingan pribadimu! Aku
bersedia mengajarkan sedikit kepandaianku hanya karena kau bersedia menjadi
mata-mataku, mengerti kau, Barna?"
"Segala perintah Guru akan kujunjung tinggi, asalkan aku bisa mendapatkan
anak gadis Kiyai Subekti itu!" sahutnya dengan mata yang berbinar-binar
sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada orang yang bertubuh
besar dihadapannya. Hatinya lega karena kini dapat restu dari gurunya.
Ternyata antara Barna dan Anwar terlihat masalah pribadi. Mereka berdua
mencintai Ratna Zullifah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan Barna
mengaku kalah dalam mendapatkan cinta Ratna yang lebih menyukai Anwar yang
pendiam dan taat beribadah sesuai ajaran agama dibandingkan dengan dirinya
yang bersifat berandalan dan selalu mengganggu anak gadis orang. Timbul rasa
dendam yang membara dalam dirinya terhadap Anwar sehingga ia rela menjadi
budak Sang Bergola Ijo. Sekarang saat balas dendam itu telah tiba!
Tiba-tiba Bergola Ijo menggeram keras memecah kesunyian dalam gua itu. Para
pembantunya pun terperanjat. Keringat dingin mengucur membasahi kening
mereka. Dalam hati mereka berdua menduga-duga tentu ada sesuatu yang membuat
majikannya menggeram seperti itu. Pasti menyangkut masalah penting.
"Aku mau bertanya! Apakah kalian tahu siapa pemuda yang menginap di masjid
akhir-akhir ini? Apakah dia termasuk dalam kelompok musuh kita? Jawab!
Kalian harus tahu bahwa dia bukan orang sembarangan, mengerti?!" bentak
Bergola Ijo pada kedua pembantunya.
Sementara itu Parmin sendiri terkesiap ketika dirinya disebut.
"Pak Guru, aku mengenal semua orang yang tinggal di Gunung Sembung dan
Gunung Jati ini. Kurasa ia hanya seorang musafir yang kebetulan singgah
untuk berziarah ke makam Sunan Gunung Jati atau makam pemuka agama lainnya,
guru! Sepertinya dia tidak mempunyai hubungan terhadap persoalan kita!"
sahut Barna penuh keyakinan diri.
Bergola Ijo percaya dengan keterangan yang diberikan oleh muridnya. Luapan
amarahnya berangsur-angsur mereda. Demikian juga dengan Parmin, ia merasa
lega karena dirinya tidak dicurigai oleh Bergola Ijo dan para
pengikutnya.
"Syukurlah jika demikian. Itu berarti dia tidak akan merepotkan
kita!"
"Ya, gusti! Dan menurut perkiraan kami besok atau lusa dia sudah berlalu
dari sini!" ujar Warto dengan wajah berseri-seri. Hatinya lega, karena ia
kuatir bila Bergola Ijo murka terhadap mereka apabila hasil kerjanya tidak
berhasil. Majikannya tak segan-segan membunuh orangnya sendiri bila
mengecewakan.
Untuk sementara Parmin segera meninggalkan gua itu karena ia tidak ingin
tertangkap basah pada saat ia sedang mengintai. Parmin kembali ke masjid
untuk melepaskan lelah. Sampai di sana ia langsung menyandarkan tubuhnya
pada salah satu pilar yang berdiri kokoh tepat di tengah-tengah ruangan
masjid dengan santai. Sebagian tubuhnya terbungkus kain sarung karena udara
malam mulai terasa menusuk sendi-sendi tulangnya. Pikirannya masih dipenuhi
oleh peristiwa yang baru saja dialaminya.
"Rencana Bergola Ijo itu bertentangan dengan tekad bangsaku! Maka merupakan
tugasku untuk merintanginya. Tunggulah saat kehancuranmu!" ancam Parmin
dalam hati.
Satu tugas lagi harus diselesaikannya. Dan tak terasa tubuhnya melorot dari
sandarannya karena tak kuat menahan rasa kantuk yang menyerang dirinya. Tak
lama kemudian terdengar suara dengkuran halus Parmin yang sudah tertidur
pulas.
***
Emoticon