Sementara itu, Pandan Wangi sudah cukup jauh meninggalkan Desa Paranggada.
Lari kudanya baru dihentikan setelah dirasakan cukup jauh. Gadis itu
langsung melompat turun dari punggung kudanya, dan berdiri tegak memandang
ke arah Desa Paranggada, menunggu Rangga yang tadi ditinggalkannya dalam
pertarungan.
“Apa yang kau tunggu, Pandan...?”
“Eh...?!” Pandan Wangi jadi tersentak kaget. Cepat tubuhnya berputar. Dan
seketika kedua bola matanya jadi mendelik lebar, begitu melihat Rangga
tahu-tahu sudah duduk di atas sebatang pohon kayu yang tumbang. Entah kapan
Pendekar Rajawali Sakti ada di sana, sama sekali Pandan Wangi tidak
mendengar suara kedatangannya.
“Setan! Bikin kaget saja...!” dengus Pandan Wangi langsung
memberengut.
“Jangan cemberut begitu, Pandan Wangi. Kau tambah cantik kalau....”
“Sudah...!” Pandan Wangi langsung membentak, membuat godaan Rangga jadi
terhenti.
Tapi senyuman di bibir Pendekar Rajawali Sakti semakin terlihat melebar.
Dan itu membuat Pandan Wangi jadi bersungut-sungut sendiri. Tubuhnya lalu
dihempaskan di atas rerumputan, tidak jauh dari pemuda itu. Sementara,
Rangga sendiri tetap duduk mencangkung di atas pohon tumbang ini. Beberapa
saat mereka jadi terdiam.
“Kau tahu, siapa Ki Marta itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi agak mendengus
terdengar nada suaranya.
“Orang tua yang anaknya terbunuh, kan...?” sahut Rangga bernada
bertanya.
“Benar,” sahut Pandan Wangi. "Tapi, kenapa kita yang dituduh...?”
“Semua orang tua yang anaknya mati terbunuh tanpa diketahui, pasti akan
mencurigai siapa saja yang tidak dikenalnya, Pandan. Kita memang salah,
berada di desa itu selagi keadaan tidak mengizinkan,” kata Rangga
kalem.
“Tapi jangan main tuduh dan keroyok, Kakang. Seharusnya hal itu bisa
ditanyakan baik-baik. Huh! Dasar saja dia yang ingin cari gara-gara!” dengus
Pandan Wangi masih merasa kesal.
“Sudahlah, Pandan. Tidak perlu diperpanjang lagi,” ujar Rangga, mencoba
meredakan kekesalan hati gadis itu.
“Huh...!” Pandan Wangi kembali mendengus.
Rangga melompat turun dari atas batang pohon kayu tumbang itu. Ringan
sekali gerakannya. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya
mendarat di tanah berumput ini. Segera dihampirinya Pandan Wangi dan kembali
duduk di depannya. Diraihnya tangan gadis itu, lalu diremasnya dengan
hangat. Tapi baru saja tangan gadis itu hendak ditarik ke bibirnya mendadak
saja....
“Hmmm....”
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Ssst..!”
Pandan Wangi langsung diam. Namun belum juga bisa mengetahui apa yang
dimaksud Rangga, mendadak....
Wusss...!
“Hup!”
“Ikh...!”
Pandan Wangi jadi terpekik kaget, begitu tiba- tiba saja Rangga mendorong
dadanya hingga terpental ke belakang, dan bergulingan beberapa kali.
Sementara, Rangga sendiri melesat ke belakang sambil mengebutkan tangannya.
Saat itu juga, Pandan Wangi melihat sebuah benda meluncur deras dan langsung
mendapat kebutan tangan Pendekar Rajawali Sakti.
Tap!
“Hap!”
Rangga cepat menjejakkan kakinya kembali di tanah. Sementara tangan
kanannya kini tergenggam sebatang ranting kering sepanjang jengkal.
Sedangkan Pandan Wangi yang juga sudah berdiri, bergegas menghampiri
Pendekar Rajawali Sakti.
“Hih!”
Namun belum juga Pandan Wangi dekat, Rangga sudah cepat memutar tubuhnya.
Dan secepat itu pula, tangan kanannya mengibas ke depan. Maka ranting kering
yang tadi ditangkapnya, langsung meluncur deras bagai anak panah lepas dari
busur.
Wusss...!
Srak!
Ranting itu menembus sebuah semak belukar. Dan pada saat itu, terlihat
sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat keluar dari dalam semak itu.
Dan tahu-tahu, di atas pohon yang berjarak sekitar satu batang tombak dari
kedua pendekar muda itu, sudah berdiri seseorang bertubuh ramping terbungkus
baju merah menyala. Sayang, wajahnya sulit dikenali karena hampir seluruhnya
tertutup sebuah tudung bambu yang cukup lebar di kepalanya.
***
EMPAT
Tapi dari bentuk tubuh dan bibirnya yang terlihat, bisa dipastikan kalau
dia seorang wanita. Dan belum lagi Rangga maupun Pandan Wangi membuka suara,
orang berpakaian serba merah menyala itu sudah meluncur turun dari atas
pohon. Gerakannya begitu ringan bagai kapas. Dan tanpa mengeluarkan suara
sedikit pun, kakinya menjejak tanah, tepat sekitar enam langkah lagi di
depan kedua pendekar muda ini.
“Nisanak, siapa kau? Kenapa menyerang kami?” tanya Rangga mencoba
ramah.
“Jangan tanya siapa aku! Yang penting, kalian cepat minggat dari sini.
Jangan campuri urusanku!” terdengar kasar sekali kata-kata wanita itu.
“Heh...?! Ada apa ini...? Kenapa kau tiba-tiba saja memusuhi kami?” sentak
Pandan Wangi tidak senang.
“Aku memang bisa jadi musuh, kalau kalian usil dengan urusan orang
lain.”
“Nisanak! Tolong jelaskan, kenapa kau tidak menginginkan kami berdua ada di
sini?” pinta Rangga masih mencoba untuk ramah, walaupun mendapat sikap yang
bermusuhan.
“Tidak perlu dijelaskan. Sebaiknya kalian cepat pergi, sebelum pikiranku
berubah dan memenggal leher kalian berdua!” dengus wanita itu, dingin.
“Kalau aku tidak mau pergi...?” Pandan Wangi langsung saja mengambil sikap
menentang.
“Kau akan mati!” desis wanita itu semakin terasa dingin nada
suaranya.
“Ha ha ha...!” Entah kenapa, Pandan Wangi jadi tertawa terbahak-bahak
mendengar kata-kata bernada ancaman itu.
Sementara, Rangga hanya diam saja. Memang, sudah dikenalnya betul akan
watak Pandan Wangi. Dan dalam keadaan seperti ini, tidak mungkin lagi bisa
dihalangi. Karena sudah jelas, Pandan Wangi begitu cepat mengambil sikap
menantang. Tampaknya pula, wanita berbaju merah yang mengenakan tudung bambu
itu termakan tantangan si Kipas Maut. Dia mendengus berat. Dan dari balik
tudungnya, jelas sekali kalau tengah menatap Pandan Wangi.
“Sebaiknya kau memang mampus! Hih...!” Cepat sekali wanita berbaju merah
itu mengebutkan tangan kanannya. Dan seketika itu juga, dari balik lipatan
lengan bajunya melesat cepat beberapa buah benda kecil berbentuk jarum ke
arah Pandan Wangi.
“Heh...?! Hup!” Pandan Wangi agak terkesiap juga. Tapi dengan kecepatan
mengagumkan, tubuhnya langsung melenting ke atas. Sehingga, jarum-jarum itu
hanya lewat di bawah telapak kakinya. Tapi belum juga bisa menguasai diri di
udara, mendadak saja wanita berbaju merah itu sudah melesat menyerang si
Kipas Maut.
“Hiyaaat..!”
“Tahan...! Hih!” Rangga cepat-cepat bertindak. Langsung dilepaskannya satu
sodokan kilat ke arah perut wanita itu. Sehingga, wanita itu harus
membatalkan serangan pada Pandan Wangi, dan cepat-cepat memutar tubuhnya di
udara untuk menghindari sodokan tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti.
“Ikh...!”
Tap!
Manis sekali wanita itu kembali menjejakkan ka-kinya di tanah. Dan secara
bersamaan, Pandan Wangi juga menjejakkan kakinya di samping Rangga.
“Huh! Kalian berdua sama saja! Jangan menyesal kalau hari ini tubuh kalian
jadi santapan cacing tanah!” dengus wanita itu dingin, agak bergetar.
Sret!
Cring!
Saat itu juga, wanita bertudung besar ini langsung mencabut pedangnya yang
sejak tadi tergantung di pinggang. Tampaknya, sebilah pedang yang
kelihatannya biasa saja, tanpa memiliki pamor mengiriskan.
“Hiyaaat...!”
Bet!
Begitu cepat wanita itu melompat sambil membabatkan pedangnya ke arah dada
Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap!”
Namun dengan gerakan manis sekali, Rangga cepat berkelit menghindari
serangan wanita ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, arah pedang wanita itu
bisa dibelokkan, hingga tertuju ke leher Pandan Wangi. Begitu cepatnya
gerakan pedang itu, membuat kipas maut jadi terkesiap sesaat. Tapi dengan
cepat sekali, Pandan Wangi mencabut senjata kipasnya, dan langsung
dikebutkan ke depan tenggorokannya.
“Akh...!”
“Pandan...!”
Rangga jadi tersentak kaget. Ternyata tubuh Pandan Wangi terpental, ketika
kipasnya yang melindungi tenggorokan menghantam pedang wanita bertudung ini.
Namun belum juga Rangga bisa bertindak, wanita itu sudah kembali melesat
cepat sambil membabatkan pedangnya tepat mengarah ke leher si Kipas Maut.
Sementara, saat itu Pandan Wangi tengah terhuyung kehilangan keseimbangan.
Dan ini seketika membuat Rangga jadi terkesiap.
“Hup! Hiyaaa...!”
Bagaikan kilat Pendekar Rajawali Sakti melesat. Langsung disambarnya tubuh
Pandan Wangi, tepat di saat wanita berbaju merah dan bertudung bambu itu
membabatkan pedangnya.
Wuk!
Pedang itu ternyata hanya melesat membabat angin. Begitu cepat sekali
tindakan yang dilakukan Rangga, sehingga bisa menyelamatkan leher Pandan
Wangi dari sabetan pedang yang kelihatannya biasa itu. Sementara, Rangga
melenting tinggi ke udara. Lalu dengan manis sekali kakinya bisa dijejakkan
di tanah. Dan Pandan Wangi langsung terhuyung, begitu terlepas dari pelukan
Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau tidak apa-apa, Pandan?” tanya Rangga.
“Ukh, tanganku...,” keluh Pandan Wangi sambil memegangi tangan kanannya
dengan tangan kiri.
Gadis itu merasakan seluruh tulang tangan kanannya seperti remuk, akibat
kipas mautnya membentur pedang wanita yang tidak dikenal itu. Sungguh tidak
diduga kalau pedang yang kelihatannya biasa itu, memiliki kekuatan sangat
dahsyat Bahkan tenaga dalam wanita itu juga sangat tinggi, sehingga membuat
tangan kanan Pandan Wangi jadi terasa remuk.
“Menjauhlah, Pandan,” pinta Rangga.
Kali ini Pandan Wangi tidak membantah. Segera kakinya melangkah mundur
menjauhi tempat itu. Bibirnya masih meringis menahan sakit yang amat sangat
pada seluruh tangan kanannya. Sementara, kipas yang menjadi senjata
kebanggaannya terpental jauh darinya. Dan Rangga sudah melangkah menghampiri
kipas putih senjata Pandan Wangi yang tergeletak cukup jauh darinya.
Sedangkan wanita bertudung dari bambu itu hanya memperhatikan saja, dengan
pedang tersilang di depan dada. Perlahan Rangga terus melangkah menghampiri
kipas baja putih senjata Pandan Wangi. Dan begitu dekat, Pendekar Rajawali
Sakti berhenti sambil memperhatikan wanita berbaju merah itu. Dalam beberapa
gebrakan tadi, Rangga sudah dapat menilai kalau wanita itu tidak bisa
dipandang enteng. Setiap gerakan yang dilakukan begitu cepat dan sama sekali
tidak terduga.
Perlahan Rangga membungkukkan tubuhnya. Diambilnya kipas baja putih yang
menggeletak ditanah, lalu diselipkan ke balik ikat pinggangnya. Pendekar
Rajawali Sakti kembali berdiri tegak sebentar, lalu melangkah menghampiri
wanita bertudung yang masih tetap diam, berdiri tegak tidak bergeming
sedikit pun juga.
Namun dari balik tudungnya yang cukup besar, Rangga bisa merasakan kalau
sorot matanya yang tajam tertuju kepadanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru
berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah
lagi.
“Kepandaianmu sangat tinggi, Nisanak. Tapi sayang sekali, ilmu yang begitu
tinggi digunakan tidak pada tempatnya...,” ujar Rangga agak datar terdengar
nada suaranya.
“Kau juga ingin menantangku...?!” dengus wanita itu dingin, tanpa
menghiraukan kata-kata Rangga barusan.
“Aku merasa tidak ada pertentangan di antara kita. Jadi sebaiknya tidak
perlu membuka jurang permusuhan,” sahut Rangga kalem.
“Hm.... Kau takut...?” ejek wanita itu memanasi.
Rangga jadi tersenyum tapi terasa begitu kecut. Jelas sekali kalau wanita
ini mencari persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Namun, Rangga
masih berusaha tidak terpancing. Hanya saja hatinya merasa penasaran, kenapa
wanita ini menginginkannya cepat-cepat pergi meninggalkan Desa Paranggada.
Dan belum lama tadi, Ki Marta bersama orang-orangnya juga menyerang. Bahkan
menuduhnya telah membunuh anaknya. Apakah wanita ini juga punya alasan
sama...?
“Nisanak! Kau menginginkan aku pergi dari sini. Kalau boleh tahu, apa
sebabnya...?” Rangga meminta penjelasan lagi.
“Sudah kukatakan, tidak perlu penjelasan! Kalau kau mau selamat, cepat
tinggalkan desa ini. Tapi kalau terus membandel, aku tidak akan segan-segan
lagi memenggal kepalamu!” sahut wanita itu kembali men-gancam.
“Maaf, Nisa....”
“Keparat...! Rupanya kau ingin mampus, heh...?! Hih!”
Bet!
“Hap!”
Rangga cepat-cepat melompat mundur, begitu pedang di tangan wanita
bertudung itu berkelebat begitu cepat ke arah lehernya. Sungguh tidak diduga
kalau akan mendapat serangan yang begitu cepat dan mendadak. Dan belum saja
tubuhnya bisa ditegakkan lagi, wanita bertudung itu sudah menyerang lagi
dengan kecepatan sukar sekali diikuti mata biasa.
“Hih! Yeaaah...!”
Bet!
“Hap!”
Rangga terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan
gencar wanita bertudung ini. Ujung pedang wanita itu bagaikan memiliki mata
saja. Begitu cepat berkelebat, mengikuti setiap gerakan Pendekar Rajawali
Sakti. Beberapa kali ujung pedang itu hampir mengoyak tubuhnya, tapi sampai
saat ini Rangga masih bisa menghindarinya. Jurus demi jurus berlalu
cepat.
Tanpa terasa, masing-masing sudah mengeluarkan lebih dari lima jurus. Tapi,
pertarungan masih terus berlangsung. Bahkan semakin bertambah sengit saja.
Begitu cepat gerakan-gerakan yang dilakukan, sehingga sulit diikuti mata
biasa. Hanya dua bayangan saja yang terlihat berkelebat saling sambar dengan
kecepatan tinggi.
“Hup! Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja mereka sama-sama melenting ke udara. Tampak saat itu, Rangga
mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’. Sementara, wanita
bertudung itu membabatkan pedangnya ke arah kepala, tepat di saat Rangga
merunduk sambil mengibaskan tangan kanannya ke arah perut. Namun tanpa
diduga sama sekali....
Wut!
“Ikh...!”
Rangga jadi terperanjat setengah mati. Ternyata secara tidak terduga,
wanita bertudung itu bisa cepat memutar pedangnya untuk melindungi perut
dari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Maka cepat-cepat Rangga menarik
tangannya pulang, sehingga terhindar dari tebasan pedang itu.
“Hap!”
Secara bersamaan, mereka meluruk turun sambil terus melancarkan
serangan-serangan cepat yang sangat berbahaya. Dan begitu mereka sama-sama
menjejakkan kaki di tanah, saat itu juga....
“Suiiit...!”
“Heh...?!” Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba terdengar siulan panjang
dan melengking tinggi, sehingga membuat telinga jadi terasa sakit. Dan saat
itu juga, wanita bertudung ini melompat mundur keluar dari pertarungan.
Pedangnya langsung dimasukkan ke dalam warangka di punggung.
“Ingat! Aku akan mencarimu. Hati-hati dengan kepalamu, Setan Keparat...!”
desis wanita itu dingin menggetarkan.
Setelah berkata demikian, dengan kecepatan menakjubkan wanita itu melesat
pergi. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya
sudah lenyap tak terlihat.
Sementara, Rangga masih berdiri tegak seperti terpaku melihat kedigdayaan
wanita bertudung tadi. Beberapa saat Rangga masih berdiri tegak, memandang
ke arah perginya wanita bertudung yang tidak dikenalnya. Kemudian tubuhnya
berbalik, dan melangkah menghampiri Pandan Wangi yang kini sudah duduk
bersila dengan sikap bersemadi. Rangga berhenti, setelah dekat di depan
gadis itu. Saat itu juga, Pandan Wangi membuka kelopak matanya yang tadi
terpejam. Langsung kepalanya diangkat, dan menatap wajah tampan di
depannya.
“Bagaimana tanganmu?” tanya Rangga langsung.
“Hhh! Hanya terkena aliran tenaga dalam tinggi, Kakang,” sahut Pandan
Wangi, seraya menghembuskan nafasnya.
Gadis itu kemudian bangkit berdiri. Sebentar tangan kanannya
dihentak-hentakkan, kemudian bibirnya tersenyum. Entah apa yang membuatnya
jadi terse-nyum. Rangga mengambil kipas putih dari sabuk pinggangnya, dan
menyerahkan kembali pada Pandan Wangi. Gadis itu langsung menerimanya, dan
menyelipkan ke balik ikat pinggangnya sendiri.
“Tangguh sekali dia, Kakang. Hampir saja semua tulang tanganku remuk.
Untung aku mengerahkan tenaga dalam tadi,” kata Pandan Wangi agak mendengus
suaranya.
“Kau terlalu gegabah, dan menganggap ringan senjatanya, Pandan,” kata
Rangga menilai.
“Ya! Aku memang tadi sempat memandangnya ringan,” sahut Pandan Wangi
mengakui.
“Itulah kesalahanmu, Pandan. Jangan sekali- sekali memandang enteng lawan
rendah, walaupun kepandaiannya berada di bawahmu. Kau harus menganggap semua
lawan tangguh dan berbahaya. Jadi, tidak sampai kecolongan begitu,” kata
Rangga menasihati.
Pandan Wangi hanya diam saja. Memang, Rangga bukan sekali ini memberi
nasihat. Tapi, memang Pandan Wangi selalu tidak pernah mendengarkan
nasihatnya. Apalagi itu memang sudah jadi wataknya. Dan dia selalu
menganggap dirinya benar saja. Apa yang dilakukan dan dianggapnya benar,
tidak perlu lagi mendapat pertimbangan. Jadi, tidak aneh kalau sering kali
Pandan Wangi kecolongan.
“Ayo, Pandan...,” ajak Rangga.
“Ke mana?” tanya Pandan Wangi seraya melangkah mengikuti Pendekar Rajawali
Sakti yang sudah berjalan lebih dulu menghampiri kuda mereka.
“Ke Desa Paranggada,” sahut Rangga.
“Heh...?!” Pandan Wangi jadi terkejut mendengar jawaban Pendekar Rajawali
Sakti. “Untuk apa ke sana, Kakang...?” tanya Pandan Wangi.
Tapi Rangga sama sekali tidak menjawab, seakan tidak mendengar pertanyaan
si Kipas Maut itu. Pendekar Rajawali Sakti terus saja melompat naik ke
punggung kudanya. Dan Pandan Wangi bergegas mengikuti, naik ke punggung
kudanya sendiri. Dan tidak berapa lama kemudian, kedua pendekar muda dari
Karang Setra itu sudah memacu kudanya kembali, menuju Desa
Paranggada.
***
Hampir menjelang malam, Rangga dan Pandan Wangi baru sampai di Desa
Paranggada. Keadaan di desa itu tidak berubah, sama seperti saat mereka
datang siang tadi. Tidak ada seorang pun yang memperhatikannya. Bahkan semua
orang di desa ini seperti tidak peduli. Tapi begitu mereka melewati sebuah
rumah yang sangat besar dan berhalaman luas, beberapa anak muda yang ada di
sekitar halaman rumah itu memandanginya dengan sinar mata mengandung
kecurigaan.
Pandangan mata pemuda-pemuda itu bukannya tidak diketahui. Tapi memang,
Rangga sengaja tidak mempedulikannya. Bahkan sengaja tidak memberitahukan
Pandan Wangi yang memang tidak tahu kalau sedang diperhatikan beberapa
pemuda yang berada di sekitar halaman rumah besar yang dilewati. Dan rumah
itu memang yang paling besar di antara rumah-rumah lain di Desa Paranggada
ini.
“Sudah hampir malam, Kakang. Apa ada pengina-pan di desa ini...?” ujar
Pandan Wangi seraya berpaling menatap wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti
yang berkuda di sebelahnya.
“Mudah-mudahan saja ada,” sahut Rangga.
“Tidak semua desa ada penginapannya, Kakang. Kalau desa ini tidak ada
penginapan, lalu bagaimana...?” nada suara Pandan Wangi seperti
mengeluh.
Rangga hanya diam saja. Dia tahu, Pandan Wangi sebenarnya sudah jemu,
karena beberapa hari ini terpaksa harus tidur di alam terbuka. Meskipun
Pandan Wangi seorang pendekar, tapi tetap saja wanita yang menginginkan
tempat nyaman untuk melepaskan lelah. Dan meskipun watak Pandan Wangi agak
ugal-ugalan, tapi masih ada sedikit kemanjaan pada dirinya.
Saat itu, mereka sudah sampai di ujung jalan, tepat berada di depan kedai
yang tadi siang dimasuki. Tampak kedai itu sudah tutup. Sedangkan perempuan
gemuk pemilik kedai itu tengah duduk di balai bambu dekat pintu, bersama
seorang gadis yang tadi membantunya melayani kedua pendekar muda ini. Tidak
jauh dari mereka, terlihat bocah kecil yang tadi mengurus kuda kedua
pendekar ini. Rangga dan Pandan Wangi sama-sama menghentikan langkah kaki
kudanya.
Melihat kedua pendekar muda itu datang lagi, perempuan gemuk itu bergegas
turun dari balai bambu di samping pintu kedainya. Dengan tergopoh-gopoh,
dihampirinya Rangga dan Pandan Wangi, diikuti gadis manis dan bocah
laki-laki yang sejak siang tadi bertelanjang dada ini. Sikap mereka begitu
ramah, menyambut kedua pendekar muda ini. Rangga dan Pandan Wangi segera
turun dari punggung kudanya.
“Maaf, Nyi. Apakah ada penginapan yang terdekat di sini?” tanya Rangga
langsung.
“Penginapan...? Rasanya tidak ada penginapan di desa ini, Den,” sahut
wanita gemuk itu. "Tapi kalau Raden dan Nini suka, bisa bermalam di sini.
Tapi, hanya ada satu kamar kosong.”
“Biar kakak tidur denganku saja, Mak,” selak gadis manis di belakang wanita
gemuk itu.
"Oh, iya.... Bisa..., bisa. Biar Nini tidur dengan anakku ini,” kata wanita
gemuk itu.
“Terima kasih, Nyi. Jadi merepotkan saja,” ucap Rangga merasa tidak enak
atas keramahan ini.
“Ah, tidak.... Raden juga sudah begitu baik. Belum pernah kami mendapatkan
tamu sebaik kalian berdua. Mari..., biar kuda-kudanya diurus Randika.
Rangga tidak bisa lagi menolak, begitu wanita gemuk itu menarik tangannya.
Sementara, bocah kecil yang bernama Randika sudah mengambil kuda-kuda
mereka. Pandan Wangi mengikuti saja dari belakang, bersama anak gadis
pemilik kedai itu.
“Siapa namamu, Dik?” tanya Pandan Wangi ramah.
“Randini, Kak,” sahut gadis itu.
“Nama yang cantik, secantik orangnya,” puji Pandan Wangi.
“Ah, tidak secantik Kakak,” ujar Randini, jadi tersipu.
Mereka kemudian masuk ke dalam rumah yang berada di samping kedai. Rumah
Nyi Gembur, begitu orang-orang desa memanggil perempuan gemuk pemilik kedai
ini. Entah, apa nama aslinya. Tapi tampaknya, perempuan gemuk itu tidak
keberatan dipanggil Nyi Gembur. Dan memang, nama itu cocok sekali dengan
bentuk tubuhnya yang gemuk dan subur.
Tapi anehnya, kedua anaknya tidak ada yang bertubuh gemuk. Terlebih lagi
Randini. Tubuhnya sangat ramping. Malah kulitnya pun putih, tidak seperti
ibunya yang agak hitam. Sedangkan Randika juga kurus. Hanya kulitnya saja
yang sedikit hitam, karena tidak pernah memakai baju.
“Ngobrol dulu dengan Randini. Aku akan menyiapkan makan buat kalian,” kata
Nyi Gembur, setelah mereka berada di dalam.
“Ah, tidak perlu repot-repot, Nyi,” ujar Pandan Wangi.
“Tidak apa-apa, Kak. Kami semua juga belum ada yang makan,” celetuk Randika
yang tahu-tahu sudah berada di ambang pintu.
“Hush, Randika...!” sentak Nyi Gembur.
“Tapi memang benar kok, Mak. Randika sudah lapar dari tadi...,” Randika
agak merengek.
“Iya, sebentar. Mak panaskan dulu sayurnya.”
“Cepat, Mak.”
“Iya...!”
Rangga hanya tersenyum saja mendengar semua itu. Sementara Pandan Wangi
sudah terlibat obrolan yang entah menjurus ke mana bersama Randini.
Kelihatan menarik sekali obrolan mereka, sehingga Rangga jadi tidak mau
mengganggu. Pendekar Rajawali Sakti malah melangkah mendekati jendela, dan
membukanya lebar-lebar. Angin senja yang bertiup lembut, langsung menghantam
wajahnya. Begitu sejuk membuatnya terasa segar saat itu juga.
“Randika, nyalakan lampu...!” Terdengar teriakan Nyi Gembur dari
belakang.
“Iya, Mak. Sebentar...!” balas Randika, tidak kalah kerasnya.
Rangga hanya melirik sedikit saja dan tersenyum melihat Randika begitu
cekatan melaksanakan perintah ibunya. Sementara, Pandan Wangi dan Randini
sudah menghilang entah ke mana. Mungkin, mereka masuk ke dalam kamar gadis
itu. Dan Rangga tidak peduli lagi, karena tengah begitu menikmati udara
segar di Desa Paranggada ini.
***
LIMA
Malam terus merayap semakin larut. Namun Rangga belum juga bisa memejamkan
mata dalam kamarnya yang disediakan Nyi Gembur. Entah kenapa, pikirannya
terus menerawang, mengulang kembali cerita Nyi Gembur mengenai beberapa
pembunuhan aneh yang terjadi dalam beberapa hari di Desa Paranggada
ini.
Dan sebenarnya, kedatangannya ke desa ini juga sedang mengejar seorang
pembunuh keji, yang telah membantai hampir habis penduduk sebuah desa yang
disinggahinya. Rangga sendiri belum bisa menduga, apakah orang yang sekarang
berkeliaran mencari korban itu adalah orang yang sama dengan yang dikejarnya
kini.
Hanya saja dari cara korbannya tewas, Rangga jadi ragu-ragu. Namun
mengingat begitu banyak cara membunuh, keraguannya jadi menipis juga.
Meskipun masih ada keraguan, tapi Rangga berharap di desa ini bisa bertemu
buronannya.
“Kakang....”
“Ohhh...?!” Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba terdengar suara yang
sangat lembut dari belakang. Cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan saat itu
juga, keningnya jadi berkerut. Ternyata Randini tahu-tahu sudah berdiri di
ambang pintu kamar ini. Sungguh tadi suara langkah gadis itu tidak didengar.
Mungkin karena seluruh perhatian dan pikirannya terlalu terpusat pada si
pembunuh aneh, sehingga sampai tidak mendengar suara langkah kaki
Randini.
“Oh.... Ada apa, Randini? Kenapa malam- malam datang ke sini?” tanya Rangga
jadi tergagap.
“Maaf, Kakang. Aku hanya ingin bicara sebentar denganmu. Penting...,” ujar
Randini.
“Duduklah...,” pinta Rangga seraya merentangkan tangannya sedikit menunjuk
kursi di sebelahnya.
Randini melangkah masuk ke dalam kamar yang tidak begitu besar ini, lalu
duduk di kursi rotan yang ditunjuk Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti
sendiri tetap berdiri membelakangi jendela yang sedikit terbuka. Sehingga
dinginnya angin malam begitu terasa membelai punggungnya.
“Apa yang ingin kau ceritakan, Randini?” tanya Rangga melihat gadis itu
hanya diam saja, dengan kepala sedikit tertunduk.
Sejenak Rangga memperhatikan raut wajah gadis itu saat kepalanya terangkat.
Tampak jelas dari sinar matanya, kalau raut wajahnya seakan-akan begitu
takut. Malah, tubuhnya mendadak saja jadi bergidik seperti kedinginan. Dan
Rangga jadi mengerutkan keningnya melihat sikap gadis anak pemilik kedai
ini.
“Ini penting, Kakang. Tapi kau harus janji...,” kata Randini pelan, seakan
takut ada orang lain yang mendengar.
“Janji...?” Rangga jadi mengeratkan keningnya.
“Iya, janji jangan katakan pada orang lain.”
“Baiklah. Aku janji,” ujar Rangga jadi geli sendiri dalam hati.
Walaupun geli, Pendekar Rajawali Sakti juga terus bertanya-tanya, apa yang
akan dikatakan gadis berusia delapan belas tahun ini. Dan Rangga masih bisa
bersabar dan menahan diri untuk tidak terus mendesak. Bisa terlihat dari
raut wajah dan sorot matanya, kalau Randini kelihatan begitu takut. Pendekar
Rajawali Sakti menduga pasti sesuatu yang akan dikatakannya amat rahasia.
Buktinya gadis itu tampak begitu ketakutan.
“Nah! Katakan sekarang, apa yang ingin kau sampaikan padaku,” ujar Rangga
lembut.
“Kakang masih ingat cerita Emak ku tadi...?”
Rangga hanya mengangguk saja sedikit.
“Sebenarnya, aku lebih banyak tahu daripada orang lain, Kakang. Aku tahu,
apa yang terjadi sebenarnya di desa ini.”
Kali ini Rangga benar-benar terkejut mendengarnya. Sungguh tidak disangka
kalau Randini akan berkata seperti itu. Padahal dinilainya, gadis berusia
sekitar delapan belas tahun ini begitu polos. Bahkan mungkin tidak tahu
apa-apa yang terjadi di luar kehidupannya. Tapi, ternyata Randini malah tahu
banyak.
“Kau tahu banyak mengenai pembunuh-pembunuh itu, Randini...?” tanya Rangga
seperti ingin memastikan.
“Lebih dari yang orang lain ketahui, Kakang. Bahkan aku tahu siapa
pelakunya,” sahut Randini mantap, tapi terdengar pelan sekali
suaranya.
“Ah.... Kau jangan main-main, Randini.”
“Aku tidak main-main, Kakang. Aku sungguh-sungguh...,” tegas Randini,
berusaha meyakinkan.
Rangga jadi tertegun beberapa saat. Sorot matanya terlihat begitu tajam
merayapi wajah gadis manis itu. Rasanya, ingin dicarinya kesungguhan dari
raut wajah dan sinar mata gadis itu. Dan yang ditemukan, Randini memang
kelihatan tidak sedang bermain-main. Rangga jadi menghela napas
panjang-panjang.
“Baiklah, Randini. Katakan, apa saja yang kau ketahui...,” ujar Rangga
akhirnya ingin tahu juga.
Cukup lama juga Randini terdiam membisu, mencari kekuatan dan keberanian
untuk menceritakan apa saja yang diketahuinya mengenai pembunuhan-pembunuhan
aneh yang terjadi di Desa Paranggada ini. Sementara, Rangga menunggu hampir
tidak sabar, tapi tetap mencoba menunggu. Beberapa kali Randini menarik
napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
“Semua orang di desa ini memang tidak ada yang tahu, Kakang. Hanya aku
sendiri yang tahu. Dan sebenarnya, juga aku sudah berjanji untuk tidak
bercerita pada orang lain. Tapi...,” Randini tidak meneruskan.
“Teruskan, Randini,” pinta Rangga.
“Aku merasa ikut bersalah kalau terus diam saja, Kakang. Bahkan jadi takut
sendiri kalau-kalau dia datang dan membunuhku...,” sambung Randini kembali
terputus.
“Hm.... Kau tahu betul, siapa orangnya?” tanya Rangga langsung. Randini
mengangguk. “Siapa...?”
“Lestari.”
“Lestari...?! Siapa dia?” tanya Rangga merasa tidak mengenal nama yang
disebutkan Randini barusan.
“Putri Ki Rapala, kepala desa yang ikut menjadi korban.”
“Eh...?!” Rangga benar-benar tersentak kaget setengah mati kali ini. Begitu
terkejutnya, sampai-sampai terlompat mendekati Randini yang masih tetap
duduk di kursi rotan ini. Dicekalnya tangan gadis itu erat-erat, sehingga
membuat Randini jadi meringis. Rangga buru-buru melepaskannya, dan kembali
mendekati jendela kamar ini. Pendekar Rajawali Sakti kini membelakangi
Randini, menatap jauh keluar, membelah kegelapan malam.
Dan untuk beberapa saat, mereka jadi terdiam membisu. Perlahan Rangga
memutar tubuhnya, dan kembali menatap Randini yang masih tetap duduk di
kursi. Gadis itu juga terdiam memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan
Rangga menghembuskan nafasnya panjang-panjang.
“Bagaimana kau bisa menceritakan semua itu, Randini?” tanya Rangga seakan
tidak percaya.
“Aku tahu betul, Kakang. Sejak kecil, aku dan Lestari sudah bersahabat.
Bahkan di antara kami tidak ada rahasia sedikit pun juga.”
“Hm...,” Rangga menggumam kecil. “Ceritakan, Randini. Kenapa dia sampai
bisa begitu?”
Sebentar Randini terdiam. “Waktu berumur sepuluh tahun, aku dan Lestari
sering main ke hutan. Waktu itu, aku menemukan sebuah goa dan langsung
kuberitahukan pada Lestari. Dia minta agar masuk ke dalam goa itu. Semula
aku takut, tapi Lestari terus memaksa. Dan akhirnya, kami berdua masuk ke
dalamnya. Tidak ada apa-apa di dalam goa itu. Dan kami berdua jadi sering
datang ke sana, sehingga goa itu seperti rumah kami saja. Beberapa hari yang
lalu, ketika kami terakhir ke sana, goa itu sudah tidak lagi seperti
biasanya. Dan begitu sampai di sana, kami menemukan seorang perempuan tua.
Aku begitu ketakutan, tapi Lestari tidak sama sekali. Ternyata orang tua itu
menderita sakit yang sangat parah. Dia meminta aku dan Lestari mendekat. Aku
tidak mau, tapi Lestari mendekati juga. Dan...,” Randini memutuskan
ceritanya.
“Apa yang terjadi, Randini?” tanya Rangga semakin ingin tahu.
“Perempuan tua itu lantas memegang wajah Lestari. Entah kenapa, tahu-tahu
Lestari jadi berteriak. Tapi hanya sebentar saja, karena kemudian jatuh
lemas. Dan tiba-tiba perempuan tua itu tertawa terbahak-bahak, sehingga aku
semakin ketakutan. Lalu, dia menuangkan cairan merah seperti darah ke dalam
mulut Lestari. Kemudian.... Ihhh...!” Randini tiba-tiba saja jadi
bergidik.
“Kemudian apa yang terjadi, Randini?”
“Seluruh tubuh Lestari hancur, menyatu dengan tanah dalam goa itu. Aku jadi
semakin ketakutan, dan terus saja lari keluar. Dan aku masih mendengar suara
tawa perempuan tua itu, sebelum jatuh pingsan. Aku tidak tahu lagi, apa yang
terjadi. Dan begitu sadar, aku sudah berada di rumah.”
“Kejadian itu tidak kau ceritakan pada orang lain?” tanya Rangga. Randini
hanya menggeleng saja. “Kenapa?”
“Waktu aku sadar, Lestari ada di kamarku. Hanya dia saja sendiri.”
“Oh....”
“Aku juga terkejut waktu itu, Kakang. Langsung saja kutanyakan, apa yang
terjadi padanya di dalam goa. Tapi Lestari hanya mengatakan kalau perempuan
tua itu sebenarnya seorang dewi yang memberi sebuah ilmu padanya. Aku tak
tahu, ilmu apa yang dimaksud. Tapi beberapa hari setelah kejadian itu, aku
lihat Lestari membunuh seorang anak gembala, dengan memenggal lehernya
sampai hampir buntung. Kemudian dia melakukan perbuatan yang seharusnya
tidak boleh dilakukannya. Lestari tahu kalau aku melihat, sehingga dia
mengancam akan membunuhku jika sampai menceritakannya pada orang lain. Aku
sama sekali tidak berani cerita, Kakang. Aku tahu ancamannya benar-benar
dibuktikan.”
“Apa yang dilakukannya?”
“Menggauli mayat anak gembala itu.”
“Apa...?!”
“Bukan hanya anak gembala itu saja korbannya. Aku sering melihat Lestari
membunuh dan menggauli korbannya. Bahkan seperti sengaja mengajakku untuk
menyaksikannya. Aku benar-benar takut, Kakang. Tapi, aku tidak berani
menolak. Lestari selalu mengancam akan membunuhku dan semua keluargaku,
kalau tidak mau ikut dengannya mencari korban,” sambung Randini.
“Hm,” Rangga menggumam pendek.
“Beberapa hari yang lalu, semua orang kaget karena kekasih Lestari
ditemukan mati terbunuh. Lehernya hampir buntung, dan tidak memakai pakaian
sama sekali. Bahkan hari itu juga, Ki Rapala tewas dibunuh orang, juga
dengan leher hampir buntung. Dan selang beberapa hari, anak Ki Marta juga
mati terbunuh yang kemudian terus disusul beberapa pembunuhan lainnya.
Semuanya yang mati dengan leher hampir buntung adalah laki-laki. Dari luka
di lehernya, aku tahu kalau Lestari yang melakukan itu semua. Dia tidak akan
memilih-milih korbannya. Bahkan ayahnya sendiri ikut menjadi korban. Semakin
hari, dia semakin haus darah. Dan aku jadi takut untuk bertemu lagi
dengannya, Kakang,” kata Randini lagi.
Rangga hanya diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepalanya saat ini.
Memang terasa sangat aneh, semua orang diceritakan Randini barusan. Lestari
seperti bukan lagi manusia. Dan semua itu terjadi setelah masuk ke dalam goa
di dalam hutan. Sementara, Randini juga tidak meneruskan ceritanya. Dia
terdiam dengan wajah kelihatan tenang, seakan sebagian beban yang selama ini
disandangnya sudah terlepas dari pundaknya. Dan malam terus merayap semakin
bertambah larut.
“Kembalilah ke kamarmu, Randini. Sudah terlalu malam. Tidak enak nanti
kalau ibumu tahu,” kata Rangga lembut.
“Kakang..., kau janji tidak akan mengatakannya pada orang lain,” ujar
Randini meminta kepastian.
Rangga tersenyum dan mengangguk.
“Terima kasih, Kakang. Hanya padamu ini semua kuceritakan. Karena aku tahu,
kau adalah pendekar digdaya.”
“Kau bisa mempercayai aku, Randini.”
Randini tersenyum, kemudian bangkit berdiri. Lalu dia melangkah keluar dari
kamar ini. Tapi baru saja kakinya sampai di ambang pintu, mendadak
saja....
Wusss...!
“Heh?! Awas...! Hup!”
Rangga cepat melompat begitu melihat sebuah benda meluncur cepat bagai
kilat, menerobos dari jendela. Sigap sekali Pendekar Rajawali Sakti menubruk
tubuh Randini, hingga mereka jatuh bergulingan bersama-sama.
“Akh...!” Randini jadi terpekik.
Tubuh mereka yang terus bergulingan, hingga punggung Rangga sampai menabrak
meja hingga hancur berantakan.
“Hup...!” Rangga cepat melompat bangkit berdiri. Dan suara gaduh itu
rupanya mengagetkan semua orang yang ada di rumah ini. Dan di saat Rangga
melompat mendekati jendela, Pandan Wangi muncul, diikuti Nyi Gembur.
“Ada apa...?” seru Pandan Wangi bertanya.
“Randini...?!” Nyi Gembur tersentak kaget melihat anak gadisnya tergeletak
meringis di lantai, di antara pecahan meja kayu yang tadi terlanda punggung
Rangga.
“Pandan, kau jaga mereka,” kata Rangga.
“Hup...!”
“Heh...?!”
Pandan Wangi jadi tersentak kaget tidak mengerti. Tapi baru saja membuka
mulutnya, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat, keluar dari kamar
ini melalui jendela. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap saja
bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi. Sementara, Pandan Wangi
jadi termangu sesaat, tapi cepat menghampiri Randini yang tengah berusaha
berdiri dibantu ibunya.
“Aduh...,” Randini mengeluh, merasakan sakit pada pinggangnya. Memang keras
sekali Randini jatuh tadi. Tulang-tulang pinggangnya terasa remuk. Pandan
Wangi bergegas membantu Nyi Gembur memapah Randini, kemudian membaringkannya
ke tempat tidur kayu di kamar ini. Randini masih meringis merasakan sakit.
Dan Pandan Wangi segera memeriksa tubuh gadis ini. Ternyata yang didapat
luka memar di bagian belakang pinggang Randini, dan tidak ada luka lain yang
mengkhawatirkan.
“Tidak apa-apa, Nyi. Berikan saja obat balur. Besok juga sudah sembuh,”
jelas Pandan Wangi tentang keadaan Randini.
“Apa yang terjadi, Randini? Kenapa kau malam-malam ada di kamar ini...?”
tanya Nyi Gembur langsung meminta penjelasan.
“Sudahlah, Nyi. Biarkan Randini istirahat dulu,” ujar Pandan Wangi mencoba
menengahi.
Nyi Gembur kelihatan tidak puas. Tapi perempuan gemuk itu menurut saja,
saat Pandan Wangi mengajaknya keluar dari kamar ini, setelah menutup
jendelanya. Sementara, Randini masih terbaring di atas ranjang kayu ini.
Gadis itu kelihatan seperti tidur pulas, setelah Pandan Wangi memberi satu
totokan di bagian atas dadanya. Tidak lama Pandan Wangi kembali ke kamar
itu, dan langsung membebaskan totokannya.
“Oh....” Randini mencoba bangkit duduk, tapi jadi meringis. Pandan Wangi
membantu gadis itu duduk bersandar di pembaringan, lalu kemudian duduk di
tepi ranjang ini.
“Masih terasa sakit?” tanya Pandan Wangi.
“He-eh...,” sahut Randini sambil meringis.
“Mana yang sakit?”
“Ini..., pinggangku.”
“Hanya luka memar. Besok juga sudah sembuh.”
Randini hanya mengangguk saja.
“Randini, apa yang terjadi? Kenapa kau sampai jatuh tadi?” tanya Pandan
Wangi lembut.
“Aku..., oh! Tidak..., tidak apa-apa. Tadi, aku hanya terpeleset,” sahut
Randini agak tergagap.
“Lalu, kenapa kau ada di sini?”
“Aku..., aku tadi ke belakang sebentar. Lalu, aku melihat Kakang Rangga
belum tidur dan akan menanyakannya, tapi....”
“Sudahlah, Randini. Sebaiknya kau istirahat saja dulu. Baringkan tubuhmu.
Biar kupijat bagian yang sakit,” kata Pandan Wangi langsung bisa
mengerti.
Tapi pengertian Pandan Wangi lain. Rangga memang tampan, sehingga sudah
tidak heran lagi kalau gadis-gadis ingin dekat dengannya. Terlebih lagi,
gadis muda seperti Randini ini. Pandan Wangi memang tidak tahu kejadian yang
sebenarnya. Dan dia hanya menduga kalau Randini ingin mengenal Rangga lebih
dekat lagi, hingga malam-malam mendatangi kamarnya. Tapi begitu melihat meja
yang hancur, Pandan Wangi jadi berkerut juga keningnya.
“Hm.... Apa yang terjadi sebenarnya...? Mustahil kalau Kakang Rangga
tergoda dan ingin.... Ah, tidak! Tidak mungkin...,” Pandan Wangi bicara
sendiri dalam hati. Berbagai macam dugaan berkecamuk dalam kepala si Kipas
Maut. Namun dugaan-dugaan buruk itu berusaha diusirnya. Pandan Wangi hanya
bisa berharap Rangga mau menjelaskannya nanti kalau sudah kembali.
***
Emoticon