Jaka Sembung, adalah salah seorang musuh besarnya. Pendekar dari Gunung
Sembung itulah yang telah memberikan kehidupan suram padanya.
Jaka Sembung telah membunuh orang yang dicintainya, gurunya yang bergelar
Bergola Ijo. Bahkan selama ini ia memperdalam ilmunya adalah untuk
membalaskan dendamnya kepada Jaka Sembung.
Ia tahu Jaka Sembung memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itulah ia
menuntut ilmu bertahun-tahun dan melatih tangan kanannya yang cacat menjadi
cakar maut. Barna telah bersumpah akan membalaskan dendam kesumatnya,
melenyapkan Jaka Sembung serta saudara-saudaranya. Sebab hanya dengan cara
itu ia bisa merasa dendamnya terlampiaskan, atau merasa hutangnya
impas.
Dendam memang sering membuat orang menjadi mata gelap. Jika dendam telah
merasuki pikiran dan menguasai hati seseorang, maka orang tersebut tidak
akan pernah merasa tenang sebelum melampiaskan dendamnya. Cara apa pun akan
ia tempuh demi membalaskan dendamnya.
Itulah sebabnya permusuhan di antara sesama pendekar atau para jagoan silat
lainnya sering berkepanjangan dan bahkan bisa menjadi semacam mata rantai
yang berkesinambungan. Seperti si Cakar Rajawali misalnya, ia menaruh dendam
kesumat kepada Jaka Sembung, karena gurunya pernah dirobohkan jagoan dari
Gunung Sembung itu.
Kalau misalnya Parmin juga terbunuh di tangan Cakar Rajawali, kawan-kawan
Parmin pun tentu akan dendam kepada Cakar Rajawali. Demikian seterusnya,
sehingga merupakan lingkaran setan yang tak ada habis-habisnya. Kebanyakan
di antara para pendekar yang kurang bijaksana menilai nyawa harus dibayar
dengan nyawa.
Padahal itu belum tentu merupakan penyelesaian yang baik dan benar.
Kekerasan bukanlah satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan. Ada
kalanya jalan kekerasan harus dihindarkan. Artinya harus mau mengalah untuk
menang.
Sekarang mendengar Ranti mengaku sebagai adik Jaka Sembung, amarah Cakar
Rajawali pun tak terkendalikan lagi. Ia merasa tak perlu berpikir dua kali
untuk membunuh Ranti.
“Hm, jadi si Parmin itu adalah abangmu? Bagus, berarti kau adalah adiknya.
Demi langit dan bumi dan demi arwah guruku, aku telah bersumpah untuk
menumpas Jaka Sembung, termasuk sanak familinya hingga habis dari muka bumi
ini. Dan kau adalah korban yang pertama!” kata Barna dengan suara
meledak-ledak.
Ranti terkejut juga menyaksikan perubahan sikap si Cakar Rajawali. Rupanya
lelaki di hadapannya itu menaruh dendam kesumat kepada Jaka Sembung, bahkan
telah bersumpah akan menumpas habis siapa saja yang punya hubungan
kekeluargaan dengan pendekar Gunung Sembung itu.
Diam-diam Ranti merasa ngeri juga, karena ia tahu si Cakar Rajawali
bukanlah orang sembarangan. Pastilah memiliki kesaktian yang sangat tinggi.
Apalagi saat memperhatikan tangan kanan si Cakar Rajawali yang hitam legam
dan keras bagaikan baja. Tangan itu pastilah sangat berbahaya.
Dulu ayah angkat Ranti, Gembong Wungu telah sering menceritakan tentang
kehebatan-kehebatan para pendekar kesohor. Para jagoan tersebut selalu
memiliki keistimewaan tersendiri, misalnya mempunyai senjata yang tidak
lazim dimiliki orang, atau jurus-jurus langka.
Tetapi Gembong Wungu belum pernah menceritakan adanya jagoan yang memiliki
senjata berupa tangan kanan keras dan bagaikan baja.
Jika bertarung dengan pendekar aneh itu, Ranti tentu akan merasa kikuk
sebab selama hidupnya ia belum pernah berhadapan dengan orang seperti itu.
Selain itu, melihat sikap si Cakar Rajawali, tahulah Ranti bahwa lelaki itu
memiliki tabiat yang sangat ganas dan buas.
Ranti merasa cemas juga. Tetapi ia tak mungkin lagi menghindari pertarungan
dengan musuh yang tangguh.
Maka ia pun segera mencabut senjatanya. Kalau ia memang harus mati,
biarlah. Toh tidak akan ada yang menangisinya. Bukankah ia tidak punya
siapa-siapa lagi?
“Bersiaplah untuk mampus, nona. si Cakar Rajawali akan merobek-robek
tubuhmu sebagai pelampiasan dendamku kepada Jaka Sembung. Akan kucabut
jantung dan hatimu, lalu kuberikan kepada abangmu itu sebagai tanda mata
yang sangat berharga,” kata Barna sambil bersiap-siap untuk menerjang
Ranti.
“Jangan kira aku takut padamu, bangsat! Jika kau telah bersumpah menumpas
Jaka Sembung dan keluarganya, maka aku pun telah bersumpah melenyapkan kau
serta penjahat-penjahat lainnya dari muka bumi ini.”
“Rupanya kau tak berbeda dengan abangmu itu. Mulutmu terlalu besar, nona.
Kau betul-betul tak tahu diri. Ajalmu sudah dekat, tapi kau masih berani
bicara sesumbar seperti itu.”
“Jangan banyak bicara, bedebah!”
“Baiklah, nona sombong. Hadapilah seranganku!”
Usai berkata demikian, si Cakar Rajawali segera menerjang Ranti dengan
dahsyat. Tubuhnya melayang cepat sekali. Kaki kanannya ditekuk dan hampir
menempel ke dada, tangan kirinya terulur ke depan, sedangkan tangan kanannya
yang hitam keras itu ditarik ke belakang, sewaktu-waktu siap melancarkan
serangan maut tak terduga.
Ranti menggeser kaki kanannya ke samping untuk mengelakkan tendangan kaki
lawan. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat, ia mengayunkan pedangnya ke
arah punggung Cakar Rajawali. Orang lain yang ilmunya tak terlalu tinggi
tentu akan gugup diserang secepat itu.
Namun si Cakar Rajawali tampak tetap tenang. Sambil tersenyum mengejek, ia
mengulurkan tangan kanannya menangkis sabetan senjata lawan.
Terdengar suara berdenting ketika senjata Ranti bertemu dengan tangan kanan
lawan, seolah-olah golok itu mengenai benda logam yang sangat kuat. Tak
terlihat si Cakar Rajawali merasa kesakitan, bahkan Ranti sendiri yang
merasa tangannya kesemutan karena kuatnya tenaga dalam lawan. Ketika ia
belum bisa menguasai perasaan kagetnya, tangan maut itu telah terulur
mencengkeram senjata di tangan Ranti.
Sambil berseru kaget, Ranti membanting diri ke samping. Tubuhnya
berguling-gulingan di atas tanah, lalu ia kemudian meloncat jauh ke
belakang.
Gadis itu menenangkan perasaan. Hampir saja tadi, hanya dalam satu gebrakan
saja ia tewas di tangan lawan.
Melihat sikap Ranti, maka si Cakar Rajawali pun tertawa kegirangan. Ia
benar-benar anggap remeh kepada gadis di hadapannya.
“Tak kusangka kepandaian adik Jaka Sembung hanya seperti itu. Rasanya aku
jadi malu jika harus bertarung denganmu. Kalau saja aku belum sempat
bersumpah untuk membunuhmu, aku tidak akan mau bertarung denganmu.
“Tapi walaupun demikian, biarlah aku melanggar sumpahku. Sebaiknya kau
menyerah saja dan mau menjadi istriku. Sayang kalau nona secantik kau mati
dengan sia-sia di tanganku.”
“Bangsat! Kau jangan sombong, monyet!” Ranti segera menerjang dengan
dahsyat.
Sekarang ia telah mengeluarkan ilmu silatnya yang paling tinggi. Pedang
diputar cepat sekali sehingga seolah-olah berubah jadi banyak sekali,
menyerang si Cakar Rajawali dari segala penjuru.
Melihat kecepatan gerak Ranti, agak terkejut juga si Cakar Rajawali dan
diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal kecepatan gerak, Ranti cukup bisa
mengimbanginya. Si Cakar Rajawali pun segera mengeluarkan jurus-jurus
mautnya. Setiap pedang lawan menyambar ke arah tubuhnya, ia langsung
memapakinya dengan tangan bajanya.
Ranti yang sudah mengetahui kehebatan tangan itu terpaksa harus menarik
serangannya, untuk kemudian menyerang dari arah lain. Akibatnya gadis itu
menjadi kerepotan sendiri.
Apalagi karena jurus-jurus yang dikeluarkan si Cakar Rajawali selalu penuh
dengan perkembangan yang tak terduga. Begitu Ranti menarik pedangnya, si
Cakar Rajawali segera balas menyerang dengan gerakan cepat bagaikan
kilat.
Pertarungan yang tak disaksikan siapa-siapa itu berlangsung sampai
berpuluh-puluh jurus. Namun makin lama, perlawanan Ranti makin lemah. Ia
sekarang tak punya kesempatan lagi melakukan serangan balasan, sebab untuk
bertahan pun ia harus berjuang mati-matian.
“Kau akan mampus di tanganku, nona!” teriak si Cakar Rajawali.
Serangan-serangannya makin gencar, mengurung lawan dari segala
penjuru.
Tangan kirinya menyambar ke arah ke dua mata gadis itu dengan kecepatan
yang sukar diikuti pandangan mata. Tak terkatakan betapa terkejutnya Ranti
mendapat serangan seperti itu, karena kalau mengenai sasaran, kedua biji
matanya pasti akan hancur.
Secepat yang bisa ia lakukan, Ranti mundur dengan posisi menyamping.
Serangan tangan kiri lawan bisa ia elakkan, namun pada saat itu cakar maut
lawan menyambar dari arah kanan. Ranti makin terkejut, lalu membanting
tubuhnya ke atas tanah. Tetapi terlambat sudah, cakar maut lawan telah
menyambar tubuhnya.
“Bret!” terdengar suara kain robek di bagian punggung Ranti, sehingga kulit
tubuhnya yang putih mulus kelihatan.
Hal itu rupanya membuat Si Cakar Rajawali menjadi berubah sikap. Murid
Bergola Ijo itu tadinya ingin menghabisi nyawa Ranti secepatnya, tetapi
sekarang ia mengurungkan niatnya, dan ingin mempermainkan gadis itu sepuas
hati sebelum membunuhnya.
“Ha-ha-ha, nona manis. Kulit tubuhmu sangat halus. Hatiku jadi
berdebar-debar melihatnya,” ejek si Cakar Rajawali sambil tertawa
kegirangan. Cakar maut tangan kanannya kembali menyambar baju di bagian bahu
Ranti hingga sobek hampir sebatas dada.
“Bangsat! Kubunuh kau!” bentak Ranti, geram bercampur cemas. Ia kembali
menyerang dengan ganas, tetapi karena tenaganya sudah sangat terkuras,
dengan mudah lawan dapat menghindar.
“Aku senang melihat wanita telanjang menari-nari, nona manis. Ayo, teruskan
seranganmu! Nah, sekarang giliran dadamu itu, nona........”
Benar saja, dengan gerakan cepat dan penuh tipu daya, si Cakar Rajawali
kembali merobek baju di bagian dada Ranti.
Putri Gagak Ciremai itu menjerit. Dadanya hampir terbuka semuanya sekarang.
Sebagai seorang gadis, apalagi yang masih sangat muda belia, ia merasa
sangat malu dan merasa sangat terhina. Ingin rasanya ia menangis saking
kesal dan marahnya.
“Bangsat! Kalau kau bukan pengecut, bunuhlah aku sekarang juga!” teriak
Ranti putus asa.
“Kau pikir aku setolol itu, nona manis? Lelaki mana yang tak tergiur
melihat mulus dan montoknya tubuhmu, nona?”
“Diam kau, bangsat!”
“Kau boleh memaki aku sepuas hatimu, nona. Kau berhak memaki-maki aku, sama
seperti halnya saat ini aku pun berhak menikmati tubuhmu itu.”
Si Cakar Rajawali menghentikan serangannya. Ia mundur beberapa langkah.
Setelah itu, ia menatap tubuh Ranti dari bawah sampai ke atas dengan mata
mendelik.
Kedua mata Ranti memerah menahan air mata. Perasaannya tak menentu
lagi.
Tangan kanannya memegang senjata, sedangkan tangan kirinya didekapkan untuk
menutupi dadanya yang hampir tidak ditutupi pakaian lagi. Pada saat seperti
itu, Ranti merasa lebih baik mati. Ia tak tahan lagi menanggung malu, di
hadapan lawan.
“Mana abangmu si Jaka Sembung itu? Seandainya ia ada di sini, dia tentu
akan senang melihatmu menari-nari seperti sekarang.”
Si Cakar Rajawali kembali menyerang Ranti. Karena tak bisa lagi menguasai
perasaannya, Ranti tidak berpikir lagi untuk menyerang. Makin lama
pakaiannya makin habis tersobek-sobek oleh cakar maut lawannya. Dan
akhirnya, dara itu benar-benar hampir tidak berpakaian lagi.
Sambil menjerit, Ranti berlari menyembunyikan diri ke balik batang pohon
kelapa yang banyak tumbuh di sekitar pantai. Ia menangis sedih dan geram. Ia
ingin dibunuh secepatnya dan jika ia masih dibiarkan hidup, suatu saat nanti
ia bersumpah akan membunuh si Cakar Rajawali.
Ranti tak dapat membayangkan betapa besarnya aib yang akan menimpa dirinya
jika si Cakar Rajawali memperkosanya. Ia sedih dan putus asa, juga geram,
dan entah apa lagi sehingga perasaannya tidak berbentuk lagi.
“Bunuhlah aku! Oh, jangan siksa aku seperti ini. Bunuhlah, bajingan!”
teriak Ranti, dengan air mata menetes membasahi wajahnya.
Si Cakar Rajawali tertawa tergelak-gelak, sambil melangkah ke arah pohon
kelapa tempat Ranti menyembunyikan dirinya. Lelaki itu tampak merasa semakin
puas melihat Ranti menangis ketakutan dan merintih-rintih meminta dirinya
agar segera dibunuh.
“Sabarlah sedikit, nona manis! Sebentar lagi permintaanmu itu akan
kupenuhi. Sayang sekali gadis cantik dan molek seperti kau harus tinggal
jadi tumpukan daging yang tak laku dijual. Tetapi perlu kau ketahui bahwa
ini merupakan langkah awal bagiku untuk membalaskan kesombongan pendekar
dari Gunung Sembung.”
“Jangan banyak omong kau! Bunuhlah aku! Bedebah kau!” teriak Ranti
lagi.
“Baiklah, agaknya kau memang tidak sabar lagi untuk segera meninggalkan
dunia ini.”
Si Cakar Rajawali segera mempersiapkan jurus mautnya. Ia membungkukkan
badan dengan posisi kaki kanan di depan. Tangan kirinya dilipatkan di dada,
sedangkan tangan kanannya yang merupakan cakar maut itu diangkat
tinggi-tinggi. Ia telah siap merobek-robek tubuh Ranti dengan cakar
mautnya.
“Tunggulah abangmu si Jaka Sembung di pintu akherat.......” kata Si Cakar
Rajawali dengan suara bergetar akibat nafsu membunuh yang tak terkendalikan
lagi.
Tetapi di saat yang sangat genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat. Begitu cepatnya bayangan itu sehingga Si Cakar Rajawali tidak
sempat menghindar ketika dadanya dipukul.
Tak ayal lagi, tubuhnya terlempar ke belakang beberapa meter. Ketika ia
bangkit kembali, tampaklah seorang pemuda berdiri di tempat itu, yang tak
lain tak bukan adalah Si Gila Dari Muara Bondet.
◄Y►
9
Setelah berhasil menyelamatkan Ranti dari pusaran arus air di muara
Cimanuk, dan Ranti pergi setelah menuduhnya telah berbuat kurang ajar,
perasaan Karta menjadi hancur luluh.
Ia tidak menyangka gadis cantik jelita yang suaranya mirip dengan mendiang
kekasihnya sampai hati menuduhnya seburuk itu. Padahal ia telah
mempertaruhkan nyawa menyelamatkan gadis itu. Karta sangat kecewa.
Ia memang dapat memahami perasaan Ranti yang tampaknya sedang mengalami
pukulan batin yang sangat berat. Jadi kalau sikapnya kurang simpatik,
bolehlah dianggap wajar.
Tetapi saat itu, Karta segera memutuskan untuk tidak mau lagi mendekati
Ranti. Hati gadis itu terlalu keras. Karta takut jika pertemuannya dengan
Ranti akan menambah penderitaannya selama ini.
Maka pendekar itu pun segera melangkah meninggalkan tebing di pinggir muara
kali Cimanuk. Langkahnya terasa goyah. Berkali-kali ia memaki dirinya
sendiri karena tidak bisa melupakan Ranti.
Karta mengingat saat Ranti menuduhnya telah berbuat kurang ajar, atau telah
merusak kesucian gadis itu sewaktu tergeletak dalam keadaan tak sadarkan
diri. Bahkan kata-kata itu sangat jelas terngiang-ngiang di telinga Karta.
Entah apa alasan Ranti hingga sampai hati menuduhnya seperti itu.
Karta terus melangkah, tanpa tujuan pasti. Ia hanya mengikuti langkah
kakinya, dan tidak menyadari bahwa ia sedang melangkah menyusuri pantai laut
Jawa.
Angin kencang mengiringi langkah kakinya yang tak pasti. Rambut dan ikat
kepalanya melambai-lambai, sepertinya sedang mengucapkan selamat tinggal
dunia cinta. Oh, cinta! Engkau yang memberiku kebahagiaan dahulu kala, namun
kemudian engkau juga yang memberikan kegersangan hidup bagiku, keluh hati
pemuda itu.
Ketika sedang melangkah dengan pikiran yang hanyut di dalam kesedihan,
tiba-tiba telinga Si Gila Dari Muara Bondet mendengar suara orang sedang
bertempur. Ia segera berlari ke arah suara itu dan semakin terkejutlah ia
ketika menyadari bahwa suara itu suara seorang perempuan yang tampaknya
sedang bertarung dengan seorang lelaki.
Setelah berada tak jauh dari arena pertarungan itu, alangkah terkejutnya
Karta menyaksikan yang sedang bertarung itu adalah Ranti sendiri.
Celakanya lagi, saat itu Ranti dalam keadaan hampir tidak berpakaian dan
menyembunyikan dirinya di balik pohon kelapa. Sementara seorang laki-laki
tak dikenal sudah bersiap-siap menyerangnya dengan dahsyat.
Maka tanpa pikir panjang lagi, Karta segera menerjang Si Cakar Rajawali.
Tubuhnya melesat dan berkelebat bagaikan anak panah. Karena saat itu Si
Cakar Rajawali kurang waspada, ia tak menyadari bahwa seseorang sedang
menerjangnya. Ia pun terpental terkena hantaman lawan.
“Bangsat! Kau berani menyerang aku, ya? Siapa kau, hah?” bentak Si Cakar
Rajawali sambil melompat berdiri. Wajahnya merah padam bagaikan terbakar
api, dan sepasang matanya mencorong tajam seolah-olah hendak menelan Karta
hidup-hidup.
“Kau keterlaluan, sobat! Sikapmu ini tidak akan bisa dibenarkan siapa pun
juga,” kata Karta dengan tenang.
Pendekar Muara Bondet itu sebenarnya sangat marah melihat Ranti
diperlakukan seperti itu. Namun sebagai pendekar yang telah bertahun-tahun
melanglang buana dalam dunia persilatan, ia merasa lebih baik bersikap
tenang.
Lain persoalannya kalau misalnya si Cakar Rajawali tetap ngotot bersikap
keras. Bagaimana pun bagi pendekar seperti Karta, mencari musuh itu adalah
pantangan. Tetapi jika bertemu musuh, artinya ditantang, ia pantang
mundur.
“Bedebah kau! Berani kau mencampuri urusanku! Rupanya belum tahu siapa aku.
Akulah si Cakar Rajawali, jagoan tanpa tanding di pantai Cirebon ini. Siapa
pun yang berani menantang aku, berarti ia sudah bosan hidup! Atas
kelancanganmu ini, maka aku tidak akan memberikan ampun lagi bagimu!”
“Sahabat yang baik hati, sungguh merupakan kehormatan bagiku dapat bertemu
dengan pendekar gagah perkasa seperti si Cakar Rajawali. Saya yakin kau
adalah seorang pendekar kesatria, yang tidak akan mau berbuat kejam pada
orang lain tanpa ada alasannya. Jika boleh aku tahu, kesalahan apakah
gerangan yang dilakukan sahabatku itu hingga kau memperlakukannya seperti
itu?”
“Oh, jadi kau adalah temannya? Bagus kalau begitu. Berarti kau pun termasuk
orang yang harus kulenyapkan dari permukaan bumi ini.
“Ketahuilah, perempuan jalang itu telah menghabiskan ikan rebusku. Tetapi
bukan itu yang membuatku harus mencabut nyawanya, melainkan karena dia
adalah adik si Jaka Sembung.
“Aku telah bersumpah akan melenyapkan Jaka Sembung dan semua keluarganya
dari muka bumi ini! Kau pun termasuk salah seorang di antaranya.”
Diam-diam Karta terkejut juga mendengar kata-kata si Cakar Rajawali.
Rupanya lelaki itu pun menaruh dendam kesumat kepada Jaka Sembung. Tetapi
apakah memang betul Ranti adalah adik pendekar dari Gunung Sembung
itu?
Sejak tadi, Karta telah memperhatikan tangan kanan si Cakar Rajawali, yang
hitam legam dan keras bagaikan baja. Agaknya kehebatan tangannya itulah yang
membuatnya dijuluki si Cakar Rajawali. Karta mereka-reka dalam hati sambil
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Sebab melihat sikap dan perkataan si Cakar Rajawali, dapatlah dipastikan
bahwa lelaki itu pastilah tidak akan mau mengurungkan niatnya apa lagi untuk
berdamai.
“Maafkan saya, pendekar Cakar Rajawali. Agaknya kau punya persoalan pribadi
yang sangat serius dengan pendekar Jaka Sembung. Tetapi kalau yang berbuat
salah hanyalah Jaka Sembung, kenapakah yang lain harus ikut jadi korban?
Saya rasa itu bukanlah sikap yang bijaksana.”
“Jangan banyak bacot kau, bedebah! Sekarang sebutkan namamu, agar kau tidak
mati penasaran di tanganku. Selain itu, aku pun enggan membunuh orang yang
belum kuketahui namanya.”
“Baiklah sobat. Namaku adalah Karta. Tetapi orang sering menyebut diriku
sebagai Si Gila Dari Muara Bondet.”
“Oh, pantas saja kata-katamu seperti orang gila. Rupanya pikiranmu tidak
waras lagi. Baiklah, sekarang bersiap-siaplah untuk mampus di
tanganku!”
“Pendekar Cakar Rajawali, aku sebenarnya tak ingin bertarung denganmu,
karena selama ini di antara kita tidak ada persoalan apa-apa. Tetapi karena
tampaknya kau tetap memaksaku, aku akan menerima tantanganmu. Kita sama-sama
laki-laki. Kau boleh menyerang aku sekarang, aku sudah siap!”
“Mampus kau, bangsat!” Si Cakar Rajawali tiba-tiba meloncat tinggi ke arah
Karta. Serangannya persis seperti ketika ia tadi menyerang Ranti. Tangan
kirinya dilipat di dada sedang tangan kanannya di angkat tinggi, siap
melancarkan serangan maut.
Melihat serangan lawan, Karta menjadi terkejut karena serangan itu sangat
berbahaya. Lengah sedikit saja nyawa bisa melayang. Karta pun segera
menghunus goloknya, lalu memapaki tubuh lawan dengan sabetan senjata dengan
gerakan kilat.
Si Cakar Rajawali tidak mengelak. Ia mengulurkan tangan kanannya menangkis
sabetan senjata lawan. Akibatnya, Karta menjadi terkejut sekali, karena
goloknya tidak mempan melukai tangan lawan. Bahkan senjata di tangannya
terasa ditolak tenaga dalam luar biasa, hingga nyaris terpental dari
genggaman tangannya.
Karta terpaksa meloncat jauh ke belakang untuk mempersiapkan serangan baru.
Kali ini, ia sendiri yang mulai menyerang. Ia meloncat tinggi ke udara, dan
sewaktu tubuhnya meluncur turun, goloknya diayun-ayunkan menyerang lawan
dari segala penjuru.
Pertarungan sengit pun terjadi. Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu
silat tinggi itu saling mengeluarkan segenap kemampuan untuk merubuhkan
lawan. Ranti menyaksikan pertarungan itu dari balik batang pohon
kelapa.
Diam-diam ia merasa kagum juga menyaksikan bahwa Karta memiliki ilmu pedang
yang sangat tinggi. Tetapi si Cakar Rajawali pun tidak kalah hebatnya.
Tangan kanannya yang luar biasa itu berulangkali merepotkan Karta.
Setiap kali diserang, ia selalu menangkis dengan tangan kanannya itu. Ranti
menjadi cemas, karena kalau Karta sampai kalah, maka tiada harapan lagi
baginya untuk bisa lolos dari maut.
Agaknya Karta pun menyadarinya. Pendekar itu mengeluarkan segenap
kemampuannya untuk bertahan menghadapi gempuran lawan, karena ia sadar saat
ini ia bukan hanya mempertahankan nyawanya sendiri, tetapi juga nyawa Ranti.
Sadar atau tidak sadar, ia sudah bertekad untuk melindungi Ranti sekalipun
terpaksa harus mengorbankan nyawa.
◄Y►
10
Makin lama, pertarungan itu makin menegangkan. Memasuki jurus yang
keenampuluh, terlihatlah bahwa ilmu silat Karta masih berada di bawah
kehebatan Si Cakar Rajawali. Perlawanan pendekar dari muara Bondet itu makin
lama makin lemah, bahkan akhirnya hanya bisa bertahan.
“Kau akan mampus di tanganku, Gila!” teriak Si Cakar Rajawali dengan suara
mengejek.
“Kaulah yang akan mampus, bangsat!”
Sambil tertawa mengejek, si Cakar Rajawali menerjang Karta dengan jurus
mautnya. Diawali tendangan kaki kanan mengarah ke pusar, tangan kirinya
kemudian menyambar ke arah ulu hati lawan dengan kecepatan luar biasa.
Karta sangat terkejut menyadari betapa berbahayanya serangan lawan.
Buru-buru ia menggeser kakinya ke sebelah kanan, sehingga serangan kaki dan
tangan kiri lawan dapat ia hindarkan.
Tetapi tanpa di duga-duga, tangan kiri Si Cakar Rajawali tetap
mengikutinya, meluncur ke arah samping dengan posisi menukik bagaikan burung
camar menyambar ikan di laut.
Tiada jalan lain bagi Karta selain membantingkan tubuhnya ke sebelah kanan.
Sambaran tangan kiri lawan pun lolos, namun pada saat yang hampir bersamaan,
tangan kanan Cakar Rajawali menyambar dahsyat ke arah leher Karta.
“Buk........!”
Sambaran cakar maut itu mendarat telak. Akibatnya, tubuh Karta terpental
beberapa meter. Bagian lehernya mengeluarkan darah kental kehitam-hitaman.
Dan ketika tubuh pendekar itu terbanting ke tanah, darah segar yang juga
berwarna kehitam-hitaman tersembur dari mulut serta hidungnya.
Ranti yang menyaksikan keadaan itu menjadi terkejut. Gadis itu ingin
meloncat dari balik pohon kelapa untuk menolong Karta tetapi ia mengurungkan
niatnya karena menyadari dirinya dalam keadaan berpakaian tidak
beres……..
“Mampus kau, bangsat!” bentak Si Cakar Rajawali sambil menerjang Karta dari
arah belakang.
Dengan sisa-sisa tenaganya, Karta yang baru saja bangkit berdiri segera
menunduk kemudian menangkap tangan lawan yang saat itu mengincar lehernya.
Hanya karena kebetulan saja Karta berhasil menangkap tangan lawan karena
mungkin Cakar Rajawali mengiranya tak berdaya lagi.
Ketika Cakar Rajawali masih berada di atas punggungnya, ia membantingkan
tubuh pendekar sakti itu ke laut. Sebelum Si Cakar Rajawali muncul di
permukaan air laut, Karta sudah menerkamnya.
Terjadilah pertarungan sengit di dalam laut, saling banting-membanting,
saling menerkam dan saling berusaha membenamkan lawan.
Makin lama tubuh kedua pendekar yang sedang mengadu nyawa itu makin jauh ke
tengah laut. Keduanya hanya kadang- kadang saja muncul ke permukaan, tetapi
hanya beberapa saat kemudian sudah terbenam kembali bersama ombak yang
datang bergulung-gulung.
Pada pertarungan di dalam laut itu, cakar maut si Cakar Rajawali ingin
mencekik Karta hingga tewas. Namun berkat kegigihan Karta, ia berhasil
melepaskan diri walaupun lehernya menjadi terluka.
Setelah itu, sambil mengerahkan segenap sisa kekuatannya, Karta muncul ke
permukaan air untuk menarik nafas.
Sementara tangan dan kakinya tetap menjepit lawan hingga tetap terbenam di
dalam air. Di sinilah terlihat bahwa ilmu berkelahi dalam air Karta lebih
unggul di banding Si Cakar Rajawali. Sejak lama Karta sudah terbiasa
bermain-main dengan derasnya air kali Bondet.
Sedikit banyaknya kebiasaan itu telah memberinya kepandaian yang sangat
membantunya sekarang, dalam menghadapi lawan.
Sedangkan Si Cakar Rajawali sendiri, sekalipun selama ini berlatih di
pinggir pantai, ia agak jarang bermain-main dengan derasnya ombak lautan.
Makin lama, perlawanannya pun makin lemah, sebab nafasnya mulai hampir
putus. Bahkan perutnya terasa mulai kembung karena air laut makin banyak
masuk perutnya, tanpa bisa dicegah.
Barangkali ini memang hanya suatu keberuntungan belaka bagi Karta. Ia
sendiri harus mengaku bahwa sewaktu bertarung di darat tadi, ia hampir tak
bisa memberikan perlawanan berarti lagi bahkan jika pertarungan itu masih
berlanjut, tipis harapan baginya untuk memenangkannya.
Makin lama, perlawanan Si Cakar Rajawali makin lemah. Tubuhnya
menggeliat-geliat beberapa saat. Setelah itu, jagoan cakar maut itu diam.
Sekujur tubuhnya telah lemas dan tidak mempunyai kekuatan lagi untuk
menyelamatkan diri. Setelah tubuhnya berkelojotan, nyawanya pun
melayang.
Karta pun sebenarnya hampir tidak mempunyai tenaga lagi. Ia nyaris turut
tenggelam dalam keadaan lemas. Namun tatkala teringat bahwa di darat masih
ada Ranti, ia memaksakan diri untuk berenang.
Sewaktu berada di pinggir pantai, ia hampir tak sadarkan diri lagi.
Tubuhnya limbung dan nyaris terjatuh ke laut. Tetapi ia tetap memaksakan
diri, tidak mau menyerah pada nasib.
Akhirnya dengan langkah sempoyongan, ia berhasil sampai di pantai. Ia
menatap Ranti dengan mata mengabur.
“Karta,” kata Ranti dengan suara bergetar. Seandainya tidak dalam keadaan
hampir tidak berpakaian, ia pasti sudah berlari menyongsong pemuda itu,
kemudian memeluknya erat-erat.
Karta melangkah lebih dekat ke arah gadis itu. Lalu ia membuka kain
sarungnya. Diulurkannya kain sarung itu dan sambil memalingkan muka, Karta
berkata.
“Maafkan aku, dik Ranti. Jika kau sudi, pakailah kain sarung ini!”
Setelah kain sarung itu berpindah tangan, Karta melangkah agak menjauh dari
pohon kelapa itu. Tubuhnya masih limbung, dan hanya karena ketabahannya saja
ia masih bisa berdiri.
Ranti segera melilitkan kain sarung itu ke tubuhnya sebatas dada. Ia merasa
seperti lepas dari neraka. Baru sekarang ia sadari bahwa kalau sedang dalam
keadaan hampir tidak berpakaian bukan main tersiksanya perasaan.
“Karta.......” kata gadis itu sambil melangkah malu-malu ke arah Karta yang
saat itu sedang membelakanginya.
Karta membalikkan badan. Maka tampaklah oleh Ranti bahwa dada dan leher
pendekar itu masih mengeluarkan darah akibat luka cakar dari lawannya
tadi.
“Ah, kau kembali telah menyelamatkan nyawaku,” ujar Ranti dengan perasaan
tak menentu. Wajahnya masih bersemu merah, karena teringat bahwa tadi Karta
pun telah mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan hampir tidak
berpakaian.
“Tidak apa-apa. Dan syukurlah kalau kau tidak kurang suatu apapun,” ujar
Karta dengan suara hampir tak terdengar.
“Tapi tampaknya kau sedang mengalami luka yang cukup parah,” kata Ranti
cemas.
“Ah, hanya luka kecil saja. Nanti juga akan sembuh sendiri. Aku tidak
apa-apa.”
“Pendekar budiman, berilah aku kesempatan untuk membalas budi baikmu.
Tapi...... aku…... ah, maafkanlah kesalahanku karena aku telah terlanjur
menuduhmu yang bukan-bukan. Sebenarnya aku tidak bermaksud........”
“Sudahlah, dik Ranti. Lupakan saja,” sela Karta pelan.
“Tapi aku…....”
“Maafkan aku, dik. Aku harus pergi. Selamat tinggal........” Setelah
berkata begitu, Karta melangkah meninggalkan Ranti.
Namun baru beberapa langkah, tubuhnya limbung dan ambruk ke tanah dalam
keadaan tertelungkup. Ranti segera menubruk tubuh pemuda itu. Alangkah
cemasnya hati gadis itu manakala menyadari bahwa Karta sedang dalam keadaan
tak sadarkan diri.
Rupanya di samping sangat kelelahan, Si Gila Dari Muara Bondet itu juga
menderita keracunan yang sangat berbahaya. Tubuhnya membiru, terutama di
bagian dada dan lehernya yang terkena cakaran Si Cakar Rajawali.
“Oh, maafkanlah semua kesalahanku…...” bisik Ranti sambil membopong tubuh
Karta ke bawah pohon rindang tak jauh dari pantai. Ia membaringkan tubuh
pemuda itu dengan posisi kepala tersandar pada batang pohon kelapa.
Melihat keadaan tubuh Karta, tahulah Ranti bahwa pemuda itu sedang
keracunan yang sangat berbahaya.
Sewaktu kecil ia sudah sering mempelajari berbagai jenis racun dari ayah
angkatnya Gembong Wungu. Sebagai tokoh sesat, si raja rampok itu pun
mengetahui banyak sekali tentang racun.
Ranti pun mempelajari sedikit cara-cara pengobatan terhadap orang yang
keracunan. Rupanya cakar maut itu mengandung racun, pikir Ranti sambil
berharap agar ia dapat mengobati luka yang diderita Karta,
Tanpa merasa sungkan-sungkan lagi, Ranti segera menempelkan bibirnya kepada
luka cakar di bagian leher Karta. Lalu ia menyedotnya, sehingga darah
semakin banyak mengucur masuk ke mulut gadis itu.
“Aku akan menyembuhkanmu, pendekar budiman!” bisik Ranti sambil
menyemburkan darah yang telah disedotnya itu ke tanah. Setelah itu ia
kembali menyedot darah dari luka-luka yang diderita Si Gila sampai menurut
perkiraannya racun itu tidak terlalu berbahaya lagi.
Ranti lalu berlari-lari kecil ke pinggir hutan untuk mencari daun-daunan
yang bisa diramu jadi obat, baik berupa obat yang dioleskan maupun yang
diminumkan. Ramuan obat dari daun-daunan itu dioleskan ke semua luka-luka di
tubuh Karta. Sehabis itu, ia membalut luka Karta dengan kain baju pemuda itu
sendiri.
Selama merawat luka pemuda itu, sadarlah Ranti bahwa Karta sebenarnya
adalah pendekar yang sangat baik hati. Karta telah dua kali menyelamatkan
nyawanya. Ingat akan kekasaran dan kata-katanya yang keterlaluan, maka
penyesalan pun makin menjadi-jadi di dalam hati Ranti.
Saat itu juga, makin sadar juga Ranti bahwa ia mulai merasakan bahwa ia
sangat membutuhkan Karta. Diam-diam hatinya tak ingin lagi berpisah dengan
pemuda itu.
Tetapi hal itu sekaligus membuatnya cemas. Karena bagaimana kalau misalnya
tidak mau memaafkan lagi?
Tadi pendekar itu tampaknya benar-benar telah bertekad bulat untuk
meninggalkan Ranti, kalau saja tubuhnya tidak limbung kemudian tak sadarkan
diri akibat pengaruh racun di tubuhnya. Biarlah nanti, setelah ia siuman,
aku akan minta maaf padanya. Mudah-mudahan saja hatinya masih terbuka
menerima perkataan maaf dariku, kata hati gadis itu penuh harap.
Tiba-tiba terdengar suara jeritan panjang seorang lelaki tak jauh dari
tempat itu. Ranti menjadi terkejut dan buru-buru bangkit dari duduknya,
berpaling ke arah asal suara itu.
Tetapi pandangan matanya masih terhalang oleh batang pohon kelapa yang
banyak tumbuh di pantai. Siapakah gerangan lelaki yang menjerit itu tadi?
Agaknya ia berada di pinggir pantai, pikir Ranti hati-hati.
Siapa tahu di sekitar tempat itu masih ada orang lain yang bermaksud jelek
terhadap dirinya atau Karta.
Ranti bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dan sudah siap
mengorbankan nyawanya sekalipun jika seandainya ada yang bermaksud
mencelakakan Karta.
Perlahan-lahan Ranti melangkah ke arah asal suara itu tadi. Matanya menatap
liar ke sekelilingnya.
Kemudian ia menyaksikan seorang lelaki tua menggelepar-gelepar di atas
pasir pantai. Seekor ular belang sebesar jari kelingking menempel di lengan
kanannya. Agaknya lelaki tua itu dipatuk ular berbisa hingga membuatnya
menderita keracunan yang sangat berbahaya.
Ranti melangkah lebih dekat untuk meneliti wajah lelaki itu sekaligus untuk
memastikan apakah ia mengenalnya atau tidak. Ranti tidak mengenal laki-laki
tua bertubuh kurus kerempeng itu.
Melihat keadaannya yang sangat tidak terawat, Ranti menduga lelaki itu
adalah gelandangan yang sedang menderita penyakit yang entah bagaimana bisa
sampai ke pantai. Di dekat lelaki itu ada bekas-bekas sisa udang hidup.
Agaknya lelaki itu sendirilah yang nekad memakannya karena sangat
kelaparan.
“Oh, kasihan,” kata Ranti bergumam. Tubuh lelaki itu mulai membiru
kehitam-hitaman. Matanya terbalik sehingga yang kelihatan hanya bagian mata
yang putih saja, sedangkan mulutnya mengeluarkan busa.
Diam-diam Ranti bergidik ngeri menyaksikan betapa berbahayanya racun ular
yang menjalar di tubuh lelaki itu.
Hanya beberapa saat kemudian, tubuh laki-laki itu tidak bergerak-gerak
lagi. Denyut nadinya pun diam, beku dan mati. Setelah mengerang perlahan,
lelaki itu menghembuskan nafas terakhir.
“Sungguh malang nasibmu,” bisik Ranti prihatin melihat nasib tragis lelaki
itu Ranti sama sekali tidak tahu bahwa lelaki yang baru saja menemui ajalnya
itu adalah ayah Barna yang merupakan ayah si Cakar Rajawali.
Seandainya Ranti tahu, entah bagaimana sikapnya. Entah ia akan memaki-maki
sambil tersenyum puas atau tetap merasa prihatin.
Tadi ketika orang tua itu sedang merangkak-rangkak mencari udang di pasir
pantai, tiba-tiba seekor ular belang mematuk tangannya. Bisa ular yang
sangat berbahaya itu segera menjalar ke sekujur tubuhnya, masuk ke dalam
jantungnya.
Ular belang-belang itu sebenarnya tidak terlalu banyak berkeliaran di
sekitar pantai laut Jawa. Tetapi penduduk terutama para nelayan, mengetahui
bahwa ular itu sangat berbahaya.
Jika sudah digigit, korbannya dalam waktu yang tidak terlalu lama akan
meninggal. Itulah sebabnya ular tersebut sangat ditakuti orang, karena
dianggap merupakan binatang yang paling berbahaya di sekitar pantai.
Maka berakhirlah sudah riwayat salah seorang kaki tangan dari tokoh sesat
Bergola Ijo, menyusul anaknya Si Cakar Rajawali yang memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Takkan terdengar lagi sepak terjang mereka yang sangat kejam
dan menggegerkan dunia persilatan di tanah Cirebon.
◄Y►
11
Si Cakar Rajawali selama bertahun-tahun memperdalam ilmu terutama kehebatan
cakar maut tangan kanannya. Semua itu ia lakukan demi melampiaskan dendam
kesumatnya terhadap lawan-lawannya.
Namun sebelum dendamnya terbalaskan, si Cakar Rajawali telah meninggal.
Bahkan setelah memperdalam ilmu silatnya, ia tidak sempat bertemu dengan
musuh besarnya, Jaka Sembung.
Si Cakar Rajawali hanya sempat bertemu dengan Ranti, kemudian si Gila Dari
Muara Bondet. Dan dari pertarungan itu terbuktilah bahwa jerih payah si
Cakar Rajawali selama bertahun-tahun ini tidak sia-sia.
Jangankan Ranti, Karta sendiri pun nyaris kehilangan nyawanya di tangan si
Cakar Rajawali. Mungkin ini sudah takdir, atau merupakan kehendak Tuhan
sendiri untuk menunjukkan bahwa ilmu yang dikuasai bukan satu-satunya faktor
penentu kemenangan. Tetapi juga kejujuran dan kebaikan hati!
Ranti telah kembali duduk di sisi Karta. Gadis itu tak henti-hentinya
menatap wajah Karta yang pucat. Tampaknya pendekar itu masih sangat lemah.
Namun melihat pernapasannya sudah mulai teratur, legalah perasaan Ranti
bahwa kesehatan pemuda itu dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan
sembuh seperti sedia kala.
“Cepatlah sembuh, pendekar budiman!” bisik Ranti sambil membelai rambut
Karta dengan penuh kasih sayang.
Agaknya bisikan dan sentuhan yang lembut itu membuat Karta terbangun. Ia
membuka kedua kelopak matanya dan mencoba menatap ke sekelilingnya dengan
pandangan mata yang masih kabur.
“Oh, di manakah aku sekarang…...?” bisik Karta hampir tak terdengar karena
sangat pelan.
“Oh, kau sudah sadar kembali, pendekar budiman? Syukurlah. Aku sangat cemas
melihatmu tadi,” kata Ranti gembira melihat lelaki itu telah siuman.
“Kau……. kau Ranti, bukan?”
“Ya, aku Ranti. Tapi tunggulah sebentar. Jangan terlalu banyak bergerak.
Kau masih sakit. Aku akan mengambil obat untukmu,” kata Ranti.
Lalu dengan terburu-buru ia meramu obat jamu yang berkhasiat untuk
memulihkan tenaga dan mematikan sisa-sisa racun di tubuh Karta.
Dara jelita itu ternyata cukup cekatan juga membuat jamu obat. Tadi ia
sudah mencuci mangkok milik si Cakar Rajawali yang terletak tak jauh dari
tempat itu. Jamu obat hasil ramuannya di tampung dalam mangkok, lalu
disuguhkannya kepada Karta.
“Pendekar budiman, minumlah jamu ini, agar kau cepat segar dan tenagamu
pulih kembali!”
“Terima kasih,” kata Karta lalu meneguk jamu itu sampai habis masuk ke
dalam perutnya. Tenggorokan dan dadanya terasa lebih hangat dan lega,
membuat Karta merasa sangat berterima kasih kepada gadis di
hadapannya.
Tetapi ketika ia teringat kembali akan kata-kata Ranti yang keterlaluan,
menjadi patahlah semangatnya kembali. Ranti menuduhnya telah berbuat kurang
ajar, telah menodai gadis itu sewaktu dia dalam keadaan tak sadarkan
diri.
“Dik Ranti, kenapa kau menolongku? Bukankah........”
“Oh, tidak apa-apa,” sela Ranti cepat. “Kau sendiri telah beberapa kali
menolong bahkan menyelamatkan nyawaku. Aku pun merasa wajib menolongmu.
Bukankah manusia harus saling menolong? Manusia tidak bisa hidup sendiri,
harus mempunyai kawan.”
Karta menghela nafas mendengar kata-kata gadis itu. Manusia memang harus
berkawan, tidak bisa hidup menyendiri, pikirnya. Tapi dalam keadaan seperti
itu, apakah masih terbuka kemungkinan baginya untuk berkawan dengan
Ranti?
Karta terkenang lagi kepada Nuraini, mendiang kekasihnya yang lembut dan
penuh kasih sayang. Seandainya gadis itu masih hidup atau sekarang berada di
sisinya, Karta tentu akan merasa terhibur. Ia bahkan kemungkinan tidak akan
merasakan sakit sekarang.
“Mengapa kau diam saja?” tanya Ranti.
“Tidak apa-apa.”
“Kau tentunya masih marah karena sikapku kemarin. Maafkanlah aku, pendekar
budiman. Aku telah menuduhmu yang bukan-bukan. Padahal kau tidak berbuat
apa-apa, bahkan telah menyelamatkan nyawaku. Sungguh, aku sangat menyesali
keterlanjuranku.”
“Jadi kau tidak menuduh aku lagi seperti itu, dik Ranti?”
Ranti tidak segera menyahut. Sebetulnya, walau pun mulutnya berkata seperti
itu pada waktu lalu, hatinya tidaklah berkata demikian.
Semua itu hanyalah karena tekanan batin yang masih membekas dalam hatinya
akibat kegagalan cintanya terhadap Parmin serta lantaran ia merasa sangat
kesepian. Sedangkan pada saat ia bertemu dengan Karta dan setelah melihat
keperkasaan dan sifat kesatria lelaki itu timbullah rasa simpatik dan kagum
dalam hatinya.
Namun ia khawatir jika kemudian ia jatuh cinta, tetapi Karta tidak merasa
demikian, dalam arti kata akan menolak cintanya seperti halnya Parmin.
Mengalami kegagalan sekali saja Ranti sudah merasa sangat tersiksa, apalagi
kalau sampai dua kali. Sesungguhnya itulah yang membuat sikap Ranti tidak
menentu terhadap Karta.
“Dik Ranti, kenapa kau diam saja?” tanya Karta membuat gadis manis itu
tersentak dari lamunannya.
“Aku tidak apa-apa. Tapi aku masih sangat berdosa padamu. Aku malu pada
diriku sendiri, juga terhadap dirimu. Tapi…... sebenarnya tak ada niat di
hatiku untuk menyakitimu. Ah, aku tak tahu harus berkata apa lagi padamu.
Biarlah semuanya kusimpan saja di dalam hati.”
Ranti menatap Karta dengan tatapan sendu. Bola matanya tampak berkaca-kaca
bagaikan kristal-kristal ditimpa sinar rembulan. Dari situ terpancar sinar
redup cinta berpadu dengan keputus- asaan. Atau mungkin ada perasaan lain,
hanya gadis itulah yang tahu.
Karta terkejut juga menyaksikan perubahan sikap gadis itu. Ia merasa
dadanya berdebar tak karuan manakala disadarinya bahwa dari sinar mata Ranti
terpancar sesuatu yang selalu ia temukan dari sinar mata Nuraini.
Apalagi ketika mendengar suara gadis itu mirip sekali dengan suara Nuraini,
maka makin tak karuanlah perasaan si Gila Dari Muara Bondet. Ia hampir saja
tak bisa menahan diri, dan hendak memeluk gadis itu erat-erat seperti ketika
ia mendekap Nuraini pada waktu silam.
“Dik Ranti, kenapa kau masih juga diam?” tanya Karta sambil berusaha agar
suaranya tetap kedengaran wajar.
“Entahlah, aku tak tahu. Tapi semuanya terserah padamu saja. Aku sudah
menyatakan penyesalanku. Kalau kau masih tetap tidak mau memaafkan aku,
biarlah. Mungkin aku akan mengalami perpisahan yang menyakitkan lagi.......”
Dan setelah itu, meneteslah air mata Ranti, jatuh satu per satu membasahi
pipinya.
Jiwa Karta seakan-akan melayang-layang mendengar ucapan dara jelita itu. Ia
merasa dirinya dibawa terbang oleh malaikat-malaikat ke masa silam, ke taman
harum wangi penuh kembang mekar berseri.
Seolah-olah dalam mimpi, pendekar gagah perkasa itu menyeka air mata Ranti.
Kemudian dibelai-belainya rambut gadis itu dengan segenap perasaannya.
“Jangan menangis, dik Ranti!” bisiknya.
Ranti juga merasa seperti tak sadar ketika menjatuhkan dirinya ke dada
Karta yang bidang. Dan tangisnya pun semakin menjadi-jadi.
Setelah kedua insan itu sama-sama bisa menguasai perasaan, maka bertanyalah
Karta tentang keheranannya tadi mendengar kata-kata Si Cakar Rajawali ketika
mereka belum bertarung.
“Dik Ranti, tadi si Cakar Rajawali mengatakan kau adalah adik Jaka Sembung.
Apakah memang benar demikian?”
“Tidak. Antara aku dan dia sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa. Tapi aku
sudah menganggapnya saudara sendiri. Ketika si Cakar Rajawali mengatakan aku
harus membayar ikannya dengan imbalan tidur bersamanya, aku sangat marah dan
tanpa sadar menyebutkan nama Jaka Sembung.”
Karta manggut-manggut mendengar penjelasan Ranti. Sebagai pendekar gagah
perkasa yang sering melanglang buana, Jaka Sembung pun pasti dimusuhi oleh
banyak jagoan-jagoan dari dunia hitam. Karena pendekar itu selalu membela
kaum lemah dari penindasan para penjahat, mau pun kaum penjajah.
Dan itu memang merupakan tantangan yang harus selalu dihadapi para
pendekar, termasuk Karta sendiri. Namun sejak dulu, pemuda itu tidak pernah
gentar. Apalagi sekarang Ranti telah berada di sisinya.
Esok harinya, ketika matahari mulai bersinar cerah di ufuk timur, Karta dan
Ranti meninggalkan pantai laut Jawa. Keduanya melangkah beriringan ke arah
barat daya. Ketika mereka memasuki hutan, terdengar burung-burung berkicau
merdu seolah-olah sedang mendendangkan tembang nan syahdu.
Semilir angin menyambut kedua insan itu, sejuk dan lembut. Dan daun-daun
pun melambai-lambai, seakan-akan mengucapkan selamat jalan kedua pendekar;
selamat menunaikan tugas bagi nusa dan bangsa.
T A M A T
Nantikan judul serial Jaka Sembung selanjutnya yang berjudul: LAGU RINDU DARI PUNCAK CIREMAI
Emoticon