Matahari telah menampakkan cahayanya, membuat titik-titik embun menguap dan
hilang dari dedaunan. Dengan langkah perlahan namun pasti, Parmin terus
berjalan memenuhi tugas yang diberikan gurunya, Ki Sapu Angin, untuk
mempersatukan para pendekar di seluruh daerah Pasundan guna melawan Penjajah
Kumpeni Belanda.
Beberapa jam kemudian Parmin telah sampai di perbatasan desa Cilimus.
Perutnya pun telah berbunyi minta diisi.
Pemandangan di perbatasan desa tersebut cukup indah dengan batu-batu yang
tersembul dari permukaan tanah. Gundukan-gundukan besar tersusun di kanan
kiri dan pohon-pohon yang rindang dengan daun-daunnya yang berwarna hijau
tumbuh dengan suburnya.
“Aku haus dan lapar! Tetapi di sini orang pendatang tak boleh minum di
sembarang tempat! Semua makanan dan minuman akan dapat menjadi sebab
kematian!
“Aku harus berhati-hati memasuki Desa Cilimus ini. Guruku berpesan bahwa di
sini banyak pendekar yang memiliki ilmu hitam yang berbahaya!!” gumam Parmin
dalam hatinya sambil mengingat-ingat pesan gurunya. Ia melanjutkan
langkahnya dengan tenang.
Sementara itu tanpa disadari oleh Parmin, sepasang mata mengawasi gerak
geriknya dari sela-sela semak-semak pohon dan kemudian sosok tubuh tersebut
menyelinap dengan gerakan yang ringan tanpa mengeluarkan suara. Setelah
beberapa saat menempuh perjalanan, Parmin melihat sebuah warung di tepi
sebuah jalan setapak. Ia pun segera mempercepat jalannya menuju warung
tersebut.
Tetapi warung itu terbuat dari daun tebu yang disusun rapi dan
tiang-tiangnya terbuat dari bambu serta bangku yang hanya satu buah terbuat
dari papan namun terlihat kokoh.
Beberapa saat sebelum Parmin tiba di warung itu, sosok tubuh yang mengintai
gerak gerik Parmin tadi telah terlebih dahulu tiba di warung tersebut.
Orang itu berwajah bengis. Matanya tajam liar serta golok yang sudah
terlepas dari sarungnya mengancam pemilik warung itu dan dengan kasar
memaksa pemilik warung supaya mengikuti semua perintahnya.
Pemilik warung yang sudah tua itu mendadak semakin tua karena ketakutan
yang amat sangat ketika orang yang mengancamnya menempelkan golok ke
lehernya.
“Hai, Pak Tua! Taburkan bubuk ini ke dalam gelasnya bila pendatang beserta
burung Beonya mampir ke sini, mengerti!! Jika kau tidak mau, lehermu aku
bikin putus!!” bentaknya mengancam pemilik warung sambil memberikan
sebungkus bubuk misterius kemudian ia bersembunyi di dalam warung
tersebut.
“Baik, Gan, saya akan laksanakan!” jawab Pak Tua gemetar. Tangannya
mengambil bungkusan itu, lalu ia letakkan bungkusan itu di antara guci-guci
tempat kopi dan gula.
“Assalamualaikum.......” sapa Parmin lembut setelah sampai di warung
tersebut dan melihat ke sekeliling kalau-kalau ada orang mencurigakan dan
Parmin bernapas lega karena di warung itu tidak ada seorang pun yang
duduk.
“Wa'alaikum salam.......! Silahkan duduk, Den! Mau minum kopi, teh manis
atau mau makan, Den!”
“Hm....... teh segelas dengan gula aren, Pak! Kalau ada tolong juga
pisangnya untuk burung kesayanganku ini, Pak!”
“Baik, Den!! Tunggu, akan saya persiapkan!” ujar Pak Tua sambil membalikkan
tubuhnya.
Ia segera membuat air teh yang dipesan Parmin dengan tak lupa mencampurkan
bubuk yang diberikan orang tadi. Sekali-sekali matanya melirik ke arah
Parmin yang sedang duduk menikmati pemandangan alam sekitarnya, kalau-kalau
perbuatannya diketahui oleh Parmin, sang pendatang.
“Silahkan minum, Den! Dan ini pisangnya!” ujar Pak Tua sambil menyodorkan
gelas berisi air teh panas dan sesisir pisang.
Sosok tubuh yang berada di dalam warung itu sedang mengintipnya dari lubang
bilik dengan dada berdebar-debar.
Parmin pun segera mengambil gelas itu dan ketika ia hendak menghirup air
teh itu, tiba-tiba keningnya berkerut dan seketika ia teringat pesan
gurunya.
Jikalau kau sudah memasuki daerah Cilimus hendaknya kau jangan sembarangan
makan dan minum di kedai atau di warung yang kau jumpai, karena di daerah
itu banyak sekali orang-orang yang memiliki ilmu hitam yang sering
mencelakai orang pendatang.
Setelah mengingat pesan gurunya, Parmin segera mengheningkan cipta
mengerahkan konsentrasinya ke dalam gelas itu. Beberapa saat kemudian
terjadilah suatu keajaiban, air teh tersebut perlahan-lahan berubah dan buih
itu semakin banyak.
Parmin terus menyalurkan hawa murni ke tangannya. Karena kuatnya tenaga
yang tersalur, air teh itu menjadi mendidih dan meledaklah gelas yang Parmin
pegang menjadi berkeping-keping dan airnya muncrat membasahi meja.
“Prak!”
“Racun!!” sentak Parmin dengan membeliak dan segera tangannya mencengkeram
pundak sang pemilik warung itu.
“Heh, Pak! Mengapa kau bermaksud membunuhku dengan racun?!” bentak Parmin
geram sambil mengangkat tubuh Pak Tua itu ke atas meja membuat Pak Tua
ketakutan.
“Aa....... am....... pun, Den! Tobat, Den! Aku hanya disuruh.......!”
“Siapa yang menyuruhmu” Cepat, katakan!!”
Belum sempat orang tua itu menjawab, sebuah cahaya meluncur dengan cepat
dan mengenai punggungnya. Sebuah senjata rahasia menghunjam dari arah
belakang.
“Jep.......!”
“Ach!” Dengan suara tertahan orang tua itu menghembuskan nafasnya yang
terakhir dengan mata melotot dan mulut menganga. Kiranya sebuah pisau belati
telah menancap di punggungnya dan tembus ke ulu hatinya menandakan orang
yang melemparkan pisau itu memiliki tenaga dalam yang dahsyat.
“Oh! Innalillahi.......!” sentak Parmin terkejut dengan sekali gerakan
tubuhnya telah melesat ke atas atap warung itu dan ia segera melihat sosok
tubuh yang melarikan diri dan hilang di balik bebatuan.
“Ilmu larinya boleh juga! Dia tentu bukan orang sembarangan.” gumam Parmin
meloncat turun dan berkelebat mengejarnya.
Tiba-tiba dari arah semak-semak belukar tiga sosok bayangan berlompatan
menghadang pengejarnya, maka dengan segera Parmin menghentikan
larinya.
“Berhenti!” bentak mereka hampir bersamaan.
“Heh, siapakah kalian? Mengapa menghalang-halangiku?”
“Hm....... andakah Pendekar Gunung Sembung yang perkasa dan terkenal itu?
E....... hm, pucuk dicinta ulam tiba! Kami 'Tiga Melati' sedang mencari anda
dan secara kebetulan kita bertemu di sini!” sergah seseorang dari mereka
dengan nada ketus dan bibir tersenyum genit.
Mereka segera mengepung Parmin dengan kuda-kuda kaki depan mereka agak
ditekuk sedikit dan kaki kiri dipentangkan ke belakang.
Parmin bagaikan tersengat lebah terkejut tak percaya pada pandangan
matanya, ketika ia melihat tiga dara kembar yang cantik-cantik telah berada
di hadapannya dan tersenyum penuh arti melihatnya. Parmin menghela napas
dalam-dalam.
Tiga dara yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' memiliki wajah yang sama
bila dilihat sepintas lalu. Mereka seakan-akan sama satu dengan yang
lainnya. Namun bila diteliti dengan seksama ada perbedaan pada wajah
mereka.
Mereka bertiga mengenakan pakaian yang bercorak sama berwarna merah
bergaris-garis berbentuk baju kurung dengan bukaan lebar di depan. Pinggang
mereka ramping dengan lengan panjang tiga perempat, sehingga pergelangan
tangan mereka yang kecil dengan jari tangan yang mungil terlihat
jelas.
Celana pangsi mereka pun sama coraknya dengan baju mereka. Panjangnya
sebatas betis, membungkus ketat kaki mereka sehingga betis mereka yang
bunting padi terlihat manis dipandang mata.
Wajah mereka yang bulat telur dengan dagu agak panjang serta bibir yang
merekah bak buah delima. Hidung yang agak mancung dan pipi yang lesung
pipit, serta bola mata hitam dengan bulu mata lentik dan alis mata kecil
membentuk bulan sabit menambah keelokan wajah mereka.
Rambut mereka terurai sampai punggung, agak berombak dengan ikat kepala
berwarna merah muda dan ikat pinggang yang melilit berwarna merah muda pula
dengan sebilah pedang terselip di pinggang masing-masing. Kulit mereka halus
dan putih bersih.
Di bibir mereka terdapat tahi lalat kecil yang berbeda-beda letaknya, yang
tertua dengan tahi lalat di bibir atas menghiasi wajahnya dan yang kedua
dengan tahi lalat di bibir bawah dan yang nomor tiga dengan tahi lalat
melekat di pinggir sebelah kanan bibirnya sehingga bila mereka tersenyum
menambah kecantikan mereka.
“Adik-adikku! Hari ini kita bertemu dengan dewa silat!” ujar yang tertua
dengan senyum menantang.
“Baiklah, kami memperkenalkan diri! Aku adalah yang tertua di antara kami.
Namaku Riska dan yang kedua ini bernama Risma, serta yang paling bungsu
bernama Rani!” lanjutnya dengan sorot mata tak berkedip menatap wajah Parmin
yang tersipu-sipu melihat senyum mereka yang selalu menggoda.
“Apa maksud kalian bertiga mencegatku?! Aku sedang mengejar seseorang dan
karena kalian aku kehilangan jejak!” sergah Parmin dengan nada agak
jengkel.
“Kami bermaksud mencoba anda! Sampai di mana keahlian orang yang punya nama
masyhur di seantero Pasundan ini!!!” kata Riska sambil menyilangkan kedua
tangannya di dada diikuti oleh adik-adiknya.
“Ada suatu syarat! Bagaimana jika kalian kalah?” tanya Parmin dengan
membentangkan kakinya memasang kuda-kuda sambil tersenyum simpul.
“Kami bertiga rela jadi istri anda dan kami mau melakukan apa saja di bawah
perintah anda!” jawab Riska ketus sambil memberi isyarat kepada adik-adiknya
untuk menyerang Parmin.
Secara serempak, tiba-tiba si Tiga Melati menyerang Parmin dengan senjata
terhunus mengarah bagian leher, dada dan kaki Parmin, namun dengan cepat
tubuh Parmin melentik bagaikan seekor belalang di sela-sela kilatan pedang
dara-dara manis yang menyerangnya dengan ketat.
“Tunggu dulu! Aku tak dapat menerima syaratmu itu, Nona!” bentak Parmin
sambil bersalto menjauhi si Tiga Melati.
Namun belum sampai kakinya menyentuh tanah, kembali si Tiga Dara tersebut
menyerang Parmin dengan sabetan-sabetan pedang sehingga debu-debu
beterbangan terkena angin yang ditimbulkan olehnya dan kembali Parmin
terpaksa berjumpalitan di udara menghindari serangan tersebut.
Tubuh Parmin ringan bergerak bagaikan segumpal kapas tertiup angin.
Tubuhnya ke sana ke mari berjumpalitan menghindar dari babatan dan sabetan
pedang si Tiga Melati yang menyerangnya dengan bertubi-tubi. Namun sampai
detik ini Parmin belum membalas serangan si Tiga Dara cantik dan centil
itu.
Memang dalam hati Parmin ingin benar mengetahui sampai di mana tingkat ilmu
silat mereka dan setelah memasuki jurus yang keduapuluh Parmin mengetahui
bahwa tingkat ilmu mereka cukup lumayan. Tetapi dibandingkan dengan ilmu
yang dimilikinya tentu masih jauh di bawah tingkatannya, dan selanjutnya
Parmin menggunakan jurus 'angin puyuh' yang dengan sengaja membuat gaya
secara demostratif.
“Hiiyaaaaat.......!!” bentak Parmin keras sambil meliuk-liukkan tubuhnya
dengan cepat dan tongkatnya menyambar pedang dara-dara manis itu yang
menjadi terkejut melihat bayangan tubuh Parmin yang begitu cepatnya.
“Trak. Trak! Trak!”
Suara beradu senjata-senjata mereka dengan tongkat Parmin. Seketika telapak
tangan mereka terasa kesemutan disusul pedang yang terlepas dari genggaman
tangan masing-masing.
“Aku di sini, Nona! Ambillah kembali pedang-pedang kalian! Nona bertiga
kalah, tetapi aku tetap tak mau menerima syarat itu!!” ujar Parmin sambil
menyodorkan tongkat besi beraninya yang ditempeli oleh tiga buah pedang
milik si Tiga Melati.
Si Tiga Melati terkejut melihat kenyataan itu dengan mata melotot dan mulut
terbuka dengan decak kagum mereka segera mengambil pedang masing-masing dan
menyarungkannya kembali di balik ikat pinggangnya.
“Syarat lain kami tak punya! Kami tak punya apa-apa sebagai barang taruhan.
Kami masing-masing hanya mempunyai sekujur badan ini!” jawab Risma.
“Anda jangan ragu-ragu, Pendekar! Kami bertiga rela hidup bersama anda ke
mana anda pergi dan ketahuilah bahwa kami bertiga merupakan perawan yang
baru mekar!
“Aku saja baru berumur limabelas tahun sedangkan kakakku berumur enambelas
tahun dan kakakku yang tertua berumur tujuhbelas tahun! Apakah kami bukan
sebagai buah yang sedang ranum?” tantang si Bungsu yang bernama Rani dengan
ketus sambil mengerdipkan matanya sebelah mengandung arti.
***
4
Parmin melihat gelagat itu segera menarik napas dalam-dalam, dan dengan
tenang ia kemudian berbicara seperti seorang bapak menasehati anaknya.
“Kalian telah membuat suatu lelucon yang tidak lucu buatku! Aku akan
meneruskan perjalananku yang masih jauh! Selamat berpisah!
“Hanya kuharap kalian bertiga bisa menjadi pendekar yang mengabdi kepada
kebenaran dan keadilan! Tuhan telah menentukan jodoh bagi setiap insan,
begitu juga halnya dengan kalian bertiga.......!
“Bersabarlah! Jodoh tidak bisa diburu atau dipertaruhkan, jika sudah
waktunya asam di gunung garam di laut pun bisa bertemu dalam belanga!
Ingatlah itu baik-baik, Riska, Risma dan Rani!”
Parmin menasehati dara-dara manis yang masih muda belia itu. Dengan sorot
mata tajam mereka mengikuti sang pendekar dari Gunung Sembung itu
melangkahkan kakinya meninggalkan mereka. Kini tinggallah mereka pergi
dengan kesan yang melekat di dalam hati masing-masing setelah menyaksikan
kehebatan pendekar pujaannya yang terkenal itu.
“Dia sama sekali tidak tertarik kepada kita!” ujar Riska dengan nada
seperti orang yang berputus asa dan bibirnya cemberut tanda kecewa.
“Kita harus belajar ilmu silat yang lebih tangguh dari dia! Jika dia kalah
tentu dengan sendirinya ia akan menerima syarat kita!” kata si Bungsu yang
bernama Rani dengan ketus sambil matanya terus memandang Parmin yang hampir
menghilang di belokan jalan.
Beberapa saat kemudian mereka dengan lesu meninggalkan tempat tersebut
dengan suatu tekad akan membantu pendekar kesayangannya mereka dalam suka
dan duka, maka dengan langkah pasti mereka segera mengikuti arah perjalanan
Parmin.
Tatkala bergegas mengejar, angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka bertiga
sehingga rambut mereka yang dibiarkan terurai bergerai tertiup angin dan
membuat wajah mereka menjadi semakin cantik mempesona. Baiklah kita
tinggalkan dulu dara-dara manis yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' yang
sedang mengejar langkah Parmin si Jaka Sembung.
<>
Sekarang kita ikuti perjalanan pendekar kita Parmin, alias si Jaka Sembung
itu sendiri. Parmin terus melangkahkan kakinya menuju ke tengah-tengah Desa
Cilumus. Matahari telah hampir condong ke Barat membuat bayangan-bayangan
memanjang.
Parmin mengayunkan langkahnya perlahan namun pasti. Angin yang berhembus
sepoi-sepoi basah menerpa wajahnya dan dedaunan yang bergoyang terkena
hembusan angin membuat daun-daun kering yang sudah tua berguguran.
Awan hitam di langit sana mulai tampak bergumpal-gumpal memayungi Desa
Cilumus saat itu dan kilatan-kilatan petir menyambar kian ke mari menandakan
hujan akan segera turun. Penduduk Desa Cilumus yang masih berada di luar
rumahnya bergegas memasuki rumah masing-masing. Sementara anak-anak kecil
bersorak-sorai menantikan hujan, namun orang tua mereka segera menyuruh
anaknya untuk memasuki rumah.
Tidak berapa lama kemudian air hujan mulai menetes satu per satu membasahi
bumi. Parmin mempercepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh, tetapi
tanpa sepengetahuan Parmin sepasang mata yang mencorong mengikuti gerak
geriknya.
Sosok tubuh itu dengan wajah bengis dan golok yang terselip di pinggangnya
berhenti di balik sebuah batang pohon besar sehingga tubuhnya terhalang oleh
batang pohon tersebut. Parmin pun berteduh di samping rumah seorang
penduduk.
“Kurang ajar! Gembel busuk itu bisa lolos dari racun itu! Aku harus segera
lapor kepada Pak Kiyai!” gumamnya dalam hati dengan gigi gemerutuk menahan
marah.
Hujan yang rintik-rintik kemudian menjadi besar disusul dengan curahan yang
menderas diselingi guntur yang menggelegar memecahkan kesunyian di Desa
Cilumus yang penduduknya telah memasuki rumahnya masing-masing.
Hujan deras itu tak henti-hentinya sampai matahari lenyap ke permukaan bumi
dan alam yang sudah gelap kini menjadi kian pekat. Udara malam yang dingin
kini semakin dingin disertai angin kencang. Genangan air hujan telah
membentuk kubangan dan membuat tanah menjadi becek.
Dari celah-celah derasnya air hujan serta angin kencang yang membuat badan
menjadi menggigil terlihat Parmin dan sahabatnya yang setia si Burung Beo
sedang berteduh. Kaki serta pakaiannya telah basah terkena cipratan air
hujan.
“Kau kedinginan, Beo? Masuklah berlindung dalam kain sarungku.” ujar Parmin
hampir tak terdengar di sela-sela gemuruh suara hujan yang semakin
deras.
Tiba-tiba telinganya mendengar sayu-sayup suara percakapan penghuni rumah
tempat ia berteduh.
“Mini, oh. Mini anakku yang malang....... Mengapa sampai terjadi semua ini?
Siapa.......? Siapa? Katakanlah kepada ibu siapa yang telah menodaimu?”
tanya ibunya dengan lirih melihat anaknya kini sedang hamil dan perutnya
yang kian membesar.
“Oh, ibu....... Kang Wangsa....... ampunilah aku! Ampunilah aku! Oh, Tuhan
kutuklah aku!” ujar Mini dengan tangis terisak penuh penyesalan.
“Katakanlah, Nak.......! Katakanlah!” desak ibunya penasaran.
“Kiyai....... Kiyai....... Subeni!” jawab Mini terputus-putus sambil
menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya dan menangis meraung-raung
sangat memilukan hati.
“He.......? Hah?” sentak ibu dan Wangsa hampir bersamaan seperti disambar
petir mendengar nama Kiyai Subeni disebut.
“Kiyai Subeni yang menodaimu, Mini? Masya Allah, Ki Subeni guru ngajimu
itu?” Desak ibunya karena tidak percaya sambil mengerutkan dahinya dan
terlihat wajahnya semakin tua.
“Kurang ajar! Keji! Murtad! Lagi-lagi perbuatan Kiyai cabul itu!!” bentak
Wangsa sebagai tunangan gadis bernama Mini itu dengan suara keras. Tangannya
dikepal menahan amarah, membuat Parmin yang berada di luar tersentak
kaget.
“Hh!! Hachh!! Sudah berapa perawan yang ia rusak bedebah! Semua orang
mendiamkan tingkah laku keparat itu! Mereka penakut semua! Apa yang
ditakutkan? Aku tidak takut!!
“Akan kubunuh iblis murtad itu! Persetan dengan ilmu sihir dan guna-guna
yang dimilikinya! Tunggulah ajalmu Kiyai Iblis!!!” bentaknya keras mencaci
maki sepuasnya, disertai loncatan menerjang daun pintu yang terbuat dari
bilik bambu dan ia melompat ke luar.
Di tengah-tengah derasnya hujan dan petir serta guntur yang menggelegar
sang tunangan yang malang itu berlari-lari dengan golok telanjang menuju
rumah Kiyai Subeni. Namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh sesosok
manusia yang berwajah beringas.
“Berhenti! Mau ke mana, Kunyuk?!” bentak orang itu keras dengan mata yang
menyiratkan nafsu ingin membunuh.
“Siapa kau?! Heh, Ki Burik, tangan kanan si Subeni! Bagus! Mampuslah
anjingnya dulu! Hiiyaaaaat!!” bentak Wangsa keras sambil menyabetkan
goloknya mengarah pinggang si Burik dengan cepat.
Namun dengan sekali menggerakkan tubuhnya Burik telah melesat ke atas dan
lolos dari serangan Wangsa.
Wangsa terus merangsek Ki Burik yang masih berjumpalitan dengan goloknya
yang tajam seperti pisau cukur. Tetapi Ki Burik dengan mudah menghindari
serangan-serangan tersebut dan dalam jurus yang ketiga sebuah tendangan
berat yang mengandung tenaga dalam menimpa dada Wangsa.
“Buk!”
“Hkh.......” suara tendangan itu disertai pekik tertahan dari Wangsa yang
seketika tubuhnya terjerembab kegenangan air.
Ketika tubuh Wangsa hendak bangkit kembali tiba-tiba dadanya terasa
terbongkar disusul dengan tersemburnya darah segar dan setelah menggeliat
beberapa kali untuk meregang nyawa. Tubuh Wangsa tak berkutik lagi.......
biru mengejang dan nyawanya lepas entah ke mana. Darah membasahi tubuhnya
dan air di sekitarnya menjadi merah karena darahnya sendiri.
Ki Burik melihat korbannya mati dengan sekali gebrakan dengan serta merta
tertawa terbahak-bahak sambil berkacak pinggang. Tetapi sedetik kemudian
berkelebatlah bayangan Parmin menyerang tubuh Ki Burik yang sedang tertawa
dengan babatan tongkat besi beraninya disertai tenaga dalam mengarah leher
Ki Burik.
Tawa Ki Burik dengan seketika terhenti dan tubuhnya melejit ke belakang
menghindari serangan Parmin. Namun sebelum kakinya menyentuh tanah kembali
Parmin menyerang dengan tendangan kakinya mengarah selangkangan Ki
Burik.
Tetapi dengan jeli Ki Burik melentikan tubuhnya dan menjauhi Parmin hendak
melarikan diri. Namun kembali Parmin menyerang dengan totokan
tongkatnya.
“Hek!” suara Ki Burik tertahan dan dengan tubuh sempoyongan ia melompat ke
semak belukar. Seketika terjadilah kejar mengejar yang seru di bawah siraman
hujan yang semakin deras dengan kilat menyambar dan guntur yang
menggelegar.
“Tak salah lagi! Dia tentu orang yang menyuruh pelayan warung itu untuk
meracuniku!” gumam Parmin dalam hati sambil mempercepat larinya. Tetapi
tubuh Ki Burik telah menghilang ditelan kegelapan malam.
Tinggallah Parmin seorang diri di atas bubungan rumah penduduk sambil
termangu-mangu dan sesaat kemudian ia telah kembali ke tempat di mana mayat
Wangsa tergeletak dan dengan perasaan terenyuh dibopongnya mayat Wangsa yang
berlumuran darah ke tempat di mana Parmin tadi berteduh.
Setelah memberitahukan kepada si pemilik rumah, Parmin segera berlalu dari
tempat itu dan segera melangkah dengan cepat menuju ke kediaman Kiyai Subeni
tanpa menghiraukan hujan yang turun dengan deras membasahi tubuhnya. Sungguh
ia sangat menyesal terlambat bertindak sehingga pemuda yang malang itu sudah
tewas di tangan seseorang yang berjiwa keji.
Sementara itu di suatu tempat dengan pekarangannya yang luas dipagari
batang-batang bambu setinggi pinggang berdiri sebuah bangunan cukup megah
dengan tiang-tiang terbuat dari kayu jati berukir.
Bangunan panggung tersebut memiliki anak tangga yang terbuat dari kayu jati
dan berlantai kayu yang mengkilap. Di sudut kiri kanan terdapat kendi besar
terbuat dari tanah liat berukir berbentuk burung elang sedang mematuk seekor
ular.
Sayup-sayup terdengar alunan suara yang merdu mengalunkan ayat-ayat suci Al
Qur'an seakan menembus derasnya hujan.
Di ruang dalam terdapat beberapa orang dara cantik sedang mengaji dengan
khusu' dan tertib di bawah bimbingan seorang Kiyai. Dara-dara cantik itu
memakai pakaian kain kebaya dengan kerudung menutupi kepalanya.
Di hadapan mereka duduk bersila sang Kiyai dengan pandangan mata tajam
menatap wajah mereka satu persatu membuat yang dipandang menundukkan kepala.
Orang tersebut yang tak lain adalah Kiyai Subeni dengan sosok tubuh gemuk
serta pipinya yang tembem membuat hidungnya yang pesek menjadi semakin
pesek.
Ia memakai baju koko bersulam benang emas di leher bajunya dan memakai pici
berwarna putih yang dililit dengan sorban putih serta sehelai kain bercorak
kotak-kotak diletakkan di pundak kirinya dan kain sarung yang dipakainya
berwarna putih bergaris hitam.
“Si Zaitun kurang fasih dalam mengucapkan lafalnya! Mulai Jum'at besok kau
harus mengaji sendirian sebagai pelajaran tambahan!” tegur Kiyai dengan
suara berat namun tegas dengan mata yang menyiratkan sesuatu.
“Aku tak bisa datang ke mari sendirian, Kiyai! Biarlah kekurangannya akan
kupelajari sendiri di rumah. Ayah dan ibu mungkin bisa memberi petunjuk!”
sanggah Zaitun pelan sambil menundukkan kepalanya.
“Jangan bicara sebodoh itu, Zaitun! Ayah dan ibumu telah mempercayakan
semua ini kepadaku!!!” bentak Kiyai Subeni agak keras dan disambut oleh
Zaitun dengan tarikan napas panjang.
“Aku adalah gurumu, guru ngaji kalian! Kalian sebagai murid harus taat pada
perintah dan ucapan guru! Kalau kalian membandel akan celakalah dan tiada
bermanfaat ilmu yang kalian pelajari!
“Bagaimana Zaitun! Masihkah kau membantah? Pengajianmu banyak ketinggalan
dari kawan-kawanmu!!” bentak Kiyai dengan suara keras memperingati Zaitun
serta murid yang lainnya.
Semua murid yang berada di situ tidak ada yang berani bersuara apalagi
menggerakkan badannya. Semua diam dengan kepala tertunduk. Begitu pun Zaitun
murid yang tercantik itu menjadi lemas sendi-sendinya.
Apa yang harus diperbuat? Ia tertunduk sayu di bawah sorotan mata Kiyai
Subeni yang bagaikan bisa menembus sampai ke lubuk hatinya dan memancarkan
suatu tenaga gaib yang menghanyutkan.
“Bagaimana, Zaitun?” tanya Kiyai Subeni dengan mata memaksa dan sorot mata
tajam menatap Zaitun.
Suasana di ruangan itu menjadi sunyi namun menegangkan. Akan tetapi
ketegangan itu tiba-tiba terpecah dengan datangnya Ki Burik dengan sekujur
badan yang basah kuyup.
“Ki.......! Kiyai! Celaka, Ki! Pendekar Gunung Sembung itu sudah sampai di
sini dan sedang mengejarku!” ujar Ki Burik pelan dengan tubuh gemetar.
“Apa, hah?” bentak Kiyai Subeni kaget mendengar nama tersebut sambil
menatap tajam ke arah Ki Burik.
Sementara itu hujan di luar belum juga ada tanda-tanda reda. Beberapa detik
kemudian berkelebatlah tubuh Parmin melompati pagar bambu dan berdiri tegak
di tengah pekarangan pesantren milik Kiyai Subeni.
“Kiyai Subeni! Sebagai tamu, aku sangat menghargai kekuasaan tuan rumah.
Maka aku tak hendak masuk rumahmu dan memaksa anda untuk keluar. Tetapi anda
pun harus keluar untuk mengulangi penyambutan anda yang telah gagal!!” ucap
Parmin keras mengalahkan bunyi hujan yang semakin deras.
Parmin teringat peristiwa tadi siang di perbatasan Desa Cilumus, di warung
itu, di mana ia hampir saja minum air teh yang berisi racun dan kiranya
Kiyai Subenilah dalangnya. Hujan yang turun terus menerus itu menggigilkan
tubuh Parmin dan agaknya Kiyai Subeni tahu akan hal itu dan sengaja
membiarkan penantangnya berdiri di luar sampai kaku.
Tetapi Jaka Sembung yang telah dididik oleh gurunya yang kedua Begawan
Sokalima di Puncak Ciremai melalui latihan melawan hawa yang sangat dingin,
dengan tenang tetap berdiri di bawah curahan hujan dan dengan tubuh basah
kuyup.
“Aku tahu akal bulus Kiyai murtad ini! Baik! Aku harus mengejeknya supaya
ia keluar!” gumam Parmin dalam hati.
“Hai, Subeni! Bandot tua bermata keranjang! Memang enak cuaca dingin begini
mengerami muridmu yang cantik-cantik!! Ha.... ha.... ha.... ha...!” Tantang
Parmin dengan lantang dan mengandung ejekan yang sangat pedas.
Betul juga dugaan Parmin, karena tiba-tiba daun pintu bergerak dan sesosok
tubuh bulat gempal melompat ke luar dan langsung menyerang Parmin yang
memang sudah siap-siaga. Kiyai Subeni dengan cengkeraman mautnya yang
disertai tenaga dalam yang sempurna menimbulkan hawa panas dari telapak
tangannya.
Namun Parmin dengan sangat cekatan melayani serangan itu sambil mengerahkan
tenaga dalamnya. Melihat musuhnya tidak memakai senjata, Parmin segera
melempar tongkat besi beraninya sambil berjumpalitan menghindari cengkeraman
tangan Kiyai Subeni yang mengarah ke perut.
“Oh, inikah tampang Kiyai yang menghalalkan maksiat untuk memuaskan nafsu
iblisnya?! Manusia seperti inilah penghuni neraka jahanam yang paling
bawah!!!” ujar Parmin dengan lugasnya sambil bersalto ke belakang guna
mengambil jarak.
“Tutup rapat-rapat bacotmu, Monyet gelandangan! Hiiiich.......! Mampus!!”
bentak Kiyai Subeni sambil menyerang Parmin secara bertubi-tubi.
“Kau menodai kesucian agama! Copotlah kedok Kiyai mu itu, hai gadungan!!!”
bentak Parmin keras dan dengan cepat menyerang Ki Subeni.
Mereka berdua mengeluarkan jurus-jurus maut dari ilmu silat tinggi sehingga
tubuh mereka hanya terlihat seperti gulungan sinar dan gulungan sinar itu
saling silang satu dengan yang lainnya dengan gerak yang begitu cepat.
Beberapa saat kemudian gulungan sinar itu berubah langkah dan kini saling
menyongsong dengan kecepatan tinggi. Teriakan mereka hampir bersamaan
memecahkan suara derasnya hujan karena disertai tenaga dalam, sehingga Ki
Burik yang menyaksikan jalannya pertempuran itu segera bersemedi mengusir
suara keras yang masuk ke telinganya.
“Buk! Hk!”
Terdengar suara tertahan disusul oleh tubuh Parmin yang terlempar ke
belakang beberapa depa dan tubuhnya menabrak sebuah pohon besar membuat
ranting dan daun kering berguguran.
Parmin merasa bumi yang dipijaknya berputar-putar, kepalanya pening dan
dadanya sesak terkena gedoran tangan Ki Subeni yang mengandung tenaga dalam.
Parmin berusaha untuk bangkit, tetapi pandangan matanya menjadi gelap
berkunang-kunang dan dadanya terasa hendak meledak.
“Hoak!” darah segera keluar dari mulutnya membasahi genangan air di
sekitarnya yang seketika berubah menjadi merah dan tubuhnya ambruk
bermandikan darahnya sendiri.
“Nah kini terimalah ajalmu gembel busuk!!!” teriak Ki Subeni keras dengan
geraman nafsu ingin membunuh dan tubuhnya melesat cepat dengan kaki mengarah
ke depan dengan pasti hendak menghabisi riwayat Jaka Sembung.
Pada saat kritis itu tiba-tiba bcrkelebat tiga bayangan menyambar tubuh
Parmin yang sudah tak berdaya itu. Tanah becek tempat Parmin tergeletak
meledak seperti kena bom, ketika kaki maut Ki Subeni itu berdebam menemui
tempat kosong dan melihat tubuh musuhnya yang sudah tak berdaya itu melesat
dibawa lari oleh tiga dara manis yang kini menyerangnya dengan pedang
telanjang mengarah pinggangnya.
Mereka ternyata si Tiga Melati yang selama ini mengikuti perjalanan Parmin.
Dua orang gadis di antaranya yang tak lain adalah Risma dan Rani segera
melesat sambil membopong tubuh Parmin yang terluka parah dan menghilang
dikegelapan malam.
“Cepat kita lari! Biarlah Kak Riska meladeni orang gemuk!” sergah Risma
kepada adiknya Rani dan segera lari.
Sementara itu Riska dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya meliuk-liuk ke
sana ke mari sambil sekali-sekali coba menusuk atau membabatkan
pedangnya.
“Siapa kalian, heh? Kenapa ikut campur?” ujar Ki Subeni dengan kesal sambil
mengirim serangan maut.
“Kami adalah bidadari-bidadari penolong dari kahyangan! Aku tak ingin
lama-lama meladenimu bercanda, Kiyai gendut!” sergah Riska sambil bersalto
menjauhi Ki Subeni ke semak-semak belukar dan menghilang di telan kegelapan
malam.
“Bebel sial! Awewe jurig!!!” bentak Ki Subeni kesal setelah melihat
musuhnya telah lenyap. Tinggallah Ki Subeni seorang diri dan dengan wajah
kesal memasuki rumahnya dan segera memerintahkan Ki Burik untuk melakukan
pengejaran.
“Burik cepat kumpulkan kawan-kawanmu dan segera bawa ke mari bangsat
Sembung itu!!!” ujarnya keras dengan nada kesal.
“Baik, Pak Kiyai!” jawab Ki Burik dan segera meninggalkan tempat itu untuk
mengumpulkan kawan-kawannya.
Riska dengan ilmu larinya yang sempurna segera dapat menyusul adik-adiknya
yang masih membopong tubuh Parmin di celah-celah hujan yang deras itu.
“Terus ke lembah sebelah Timur itu di sana ada sebuah goa! Si gemuk gendut
itu pasti tak mengejar kita! Ia lebih senang mengerami murid-muridnya yang
cantik-cantik!” ujar Riska memberi petunjuk kepada adik-adiknya.
Beberapa lama kemudian mereka sampai pada sebuah goa di balik bukit dan
segera tubuh Parmin dibaringkan di lantai batu yang beralas ilalang
kering.
Sang waktu terus merambat pada jalurnya dengan pasti dan hujan diluar telah
lama reda.
“Lihat! Dadanya terbakar kena pukulan 'Samber Nyawa' Ki Subeni!” sentak
Riska setelah memeriksa dada Parmin yang membekas berbentuk telapak tangan
Ki Subeni. Dada Parmin hangus membiru terkena gedoran pukulan Ki Subeni yang
amat dahsyat.
“Kalian tak perlu cemas Pendekar Gunung Sembung tidak mati....... dia
sedang melawan racun pukulan itu dengan tenaga dalamnya. Sebentar lagi tentu
bangun,” ujar Riska setelah meraba dada Parmin dan telapak tangannya
merasakan ada denyutan perlahan.
Kokok ayam jantan saling bersahut-sahutan menyambut sang fajar yang
tersembul dari balik bukit dengan sinar emasnya. Burung-burung pun bernyanyi
menyambut pagi dengan irama merdu pertanda masih ada kehidupan.
Parmin belum sadarkan diri. Tubuhnya masih terbaring di atas tumpukan
ilalang rumput kering dan dijaga oleh tiga dara manis yang menamakan dirinya
'si Tiga Melati' dengan sabar.
“Rani! Coba kau carikan air! Air pegunungan yang dingin cukup membantu
pernapasan dan kelancaran peredaran darah dalam tubuhnya, sementara itu aku
membantu dengan mengurutnya!” ujar Riska menyuruh si Bungsu.
“Aku saja yang kau suruh-suruh, coba sekali-sekali si Risma itu!” bantah
Rani sambil cemberut.
“Sudah! Jalankan perintah! Aku adalah saudaramu yang tertua berhak mengatur
dan semua ini demi untuk kepentingan bersama!” bentak Riska tegas sambil
melotot matanya.
Matahari telah mulai meninggi sehingga membuat hawa di sekitar goa menjadi
hangat dan selang beberapa lama kemudian Parmin telah sadar dan segera
menyandarkan dirinya ke dinding.
“Oh, terima kasih....... kaliankah yang telah menolongku? Riska, Risma dan
Rani semoga Tuhan membalas kebaikan hati kalian!” ujar Parmin pelan sambil
mendekap dadanya dan memijit kepalanya yang masih agak pusing.
“Mengapa Tuhan yang membalas?” tanya Riska berpura-pura tidak mengerti apa
yang diucapkan Parmin. “Kami ingin kau sendiri yang membalas kebaikan hati
kami, kami bertiga bersedia ikut ke mana kau pergi. Jadikanlah kami bertiga
istri-istrimu!” sela Rani ketus dengan senyum dibuat-buat agar Parmin
tergugah hatinya.
“Tidak bisa! Ketahuilah oleh kalian, aku sudah punya kekasih di Desa
Kandang Haur!” jawab Parmin cepat dan mengaku dengan jujur.
“Kekasihmu itu tentu seorang gadis yang cantik sekali....... ya?” ujar
Risma sambil menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Parmin.
“Pendekar Gunung Sembung! Biarlah kami menjadi istrimu atau menjadi
selir-selirmu! Bukankah agama kita mengijinkan seorang laki-laki mempunyai
istri lebih dari satu orang?” ujar Riska sambil tangannya bergelayutan di
pundak Parmin, namun dengan halus Parmin menepiskannya.
“Itu memang dibenarkan oleh agama, tetapi dengan syarat. Pertama harus bisa
membagi rata kasih sayang, kedua harus berbuat adil dengan nafkah harta
maupun nafkah bathin. Pada kenyataannya manusia tidak bisa memenuhi
syarat-syarat tersebut, tak terkecuali juga aku sendiri!
“Sekarang begini, bagaimana jika kita bersahabat saja? Hubungan sebagai
kawan adalah lebih baik, karena tak dikotori oleh rasa cemburu! Dan
bagaimana pendapat kalian untuk menyingkirkan Ki Subeni?”
“Ia ditakuti karena punya anak buah yang memiliki kekuatan ilmu hitam dan
ilmu silat yang tinggi!” ujar Riska memperingatkan.
“Gampang! Kita bakar kemarahan penduduk desa ini! Kurasa di antara mereka
ada yang memiliki kepandaian silat yang cukup, cuma mereka takut bertindak
sendiri-sendiri,” potong Rani ketus sambil mengepalkan tangannya.
“Bagaimana caranya baiklah kuserahkan kepada kalian! Aku sendiri akan
mencoba nasib sekali lagi melawan Ki Subeni!”
“Jangan khawatir pendekar! Kami akan membantumu sampai titik darah yang
penghabisan!” sergah Risma bersemangat dengan mata berbinar-binar.
“Ya pendekar, kami akan membakar semangat penduduk untuk menumpas Kiyai
murtad itu!” ujar Riska lebih bersemangat dan menggebu-gebu.
Parmin yang mendengar semua itu tersenyum bangga dalam hati. Andai kata
para pendekar di seluruh nusantara tercinta ini memiliki semangat seperti si
Tiga Melati ini niscaya penjajah Kumpeni Belanda akan musnah dari bumi
pertiwi!
“Nah sekarang kembalilah kalian ke desa! Hindari bentrokan dengan para
begundal Ki Subeni! Laksanakan tugas mulia ini, semoga Tuhan bersama kita!”
ujar Parmin pelan namun berwibawa.
Si Tiga Melati dengan langkah pasti meninggalkan Parmin yang memandangi
mereka dengan rasa kagum. Tak lama kemudian ketiga gadis kembar itu
menghilang di balik bukit.
Matahari telah membuat bayangan-bayangan memanjang, angin pun berhembus
sepoi-sepoi menerpa dedaunan membuat daun-daun kering berjatuhan dan
tunas-tunas baru tumbuh menggantikan. Burung-burung dengan kicauan-kicauan
merdu saling bersahut-sahutan kembali ke sarangnya masing-masing.
Tinggallah Parmin seorang diri di dalam goa. Namun tak lama kemudian ia pun
meninggalkan tempat itu. Parmin terus berjalan melewati bukit bebatuan untuk
mencari tempat yang aman guna penyembuhan lukanya.
Di tengah perjalanannya itu Parmin mendengar suara yang khas dimiliki
sahabatnya, si Beo yang tiba-tiba tampak datang dengan terbang rendah dan
kemudian hinggap di pundak Parmin sebelah kiri dengan lunaknya.
“Hm....... aku sudah cemas kehilangan kau, Beo!” ujar Parmin tersenyum
gembira dan disambut oleh si Beo dengan mengibaskan sayapnya yang sebelah
kanan mengusap pipi Parmin.
“Kau tentu lapar, Beo! Nah mari kita cari tempat istirahat sambil mencari
makanan!” lanjut Parmin sambil mengelus kepala si Beo dan si Beo pun
memejamkan matanya dengan manja.
<>
Kita tinggalkan dahulu Parmin dan sahabatnya yang setia dan selalu
menemaninya dalam suka dan duka itu. Di suatu senja dengan anginnya yang
semilir membuat awan tipis di udara bergerak berarak-arak dan pohon-pohon
yang tumbuh dengan daun-daunnya yang lebat dan rindang bergoyang-goyang
sehingga menimbulkan gerak bagai seorang penari yang lemah gemulai dan
meliuk-liuk.
Di suatu tempat, di antara rumah-rumah penduduk Desa Cilumus terlihat dara
manis yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' sedang berteriak-teriak keras
penuh semangat.
“Haayooo! Haayooo!! Kalian semua keluar, keluar! Kami ingin bicara!” teriak
si tiga dara cantik itu bersama-sama dengan penuh semangat, sehingga
suaranya berkumandang ke segenap pelosok desa.
Mendengar suara teriakan-teriakan itu semua penghuni rumah ke luar memenuhi
halamannya masing-masing sehingga dalam sekejap mereka sudah
berkumpul.
“Heii, ayo berkumpul semua! Jangan berdiam diri saja! Dengarlah baik-baik!
Kalian selama ini membiarkan seseorang yang berkedok Kiyai, tetapi ternyata
melakukan praktek-praktek mesum!” ujar Riska bersemangat dengan suara
lantang untuk membakar hati penduduk Desa Cilumus.
Mereka semua yang mendengar menjadi heran tercengang-cengang. Tiga orang
dara muda belia begitu beraninya dan dengan terang-terangan menyinggung
seseorang yang selama ini mereka segani dan paling mereka takuti di Desa
Cilumus ini.
Pada sore hari ini mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala mereka
masing-masing bagaimana tiga dara manis dengan semangat menggebu menentang
dan mencaci maki orang tersebut. Dengan semangat yang berapi-api si Tiga
Melati terus membakar semangat penduduk Cilumus yang mulai tergugah dan
menyadari diri.
“Setiap muslim tentu merasa tercoreng oleh tindakan semena-mena dan
menginjak-injak kesucian agama Islam!” teriak Risma sambil mengangkat
tangannya tinggi-tinggi mengepal.
“Orang itu berlagak sebagai Kiyai alim, tetapi sesungguhnya adalah iblis
yang paling murtad!!!” sambung Rani tak kalah keras dengan mata
berbinar-binar.
“Sudah berapa banyak anak perawan yang dinodai? Apakah kalian akan terus
membiarkan begitu saja? Apakah kalian merasa takut dengan kekuatan sihir Ki
Subeni?! Cuiih!! Mari kita angkat senjata! Kita enyahkan iblis itu!!!” ujar
Riska bersemangat sambil mengacungkan goloknya ke atas.
Maka dengan cepat penduduk yang berada di situ berteriak menyambut himbauan
si Tiga Melati.
“Betul! Ayo, kita serbu!!!” teriak seseorang dengan penuh semangat.
“Hancurkan Kiyai cabul itu!!” ujar si kumis melintang sambil menguak
kerumunan dan maju ke depan sehingga si Tiga Melati melihat dengan
jelas.
“Kepruk saja kepalanya, kita jadikan perkedel!!!” seru orang yang brewok
sambil melemparkan goloknya ke udara dan disambutnya kembali goloknya itu
dengan sigap sehingga seketika tepuk tangan bergemuruh dari mereka yang
menyaksikan demonstrasi tersebut.
“Sudah tiba saatnya kita menumpas Kiyai iblis itu!!!” teriak seorang wanita
muda dengan suara melengking dan wajahnya menjadi merah padam menahan amarah
yang sudah sekian lama terpendam. Agaknya mungkin ia merupakan salah seorang
korban Kiyai Subeni juga.
“Tuummpaass!! Serbuuuu!! Ganyaaanngg!!” teriak mereka bersahut-sahutan
sehingga suasana di tempat tersebut hiruk pikuk tak menentu, membuat si Tiga
Melati menjadi kerepotan mengaturnya.
“Tenang saudara-saudara!! Teenaangg!!!” teriak si Tiga Melati hampir
bersamaan dengan suara keras sekali sambil memberi aba-aba dengan tangannya
supaya penduduk tenang. Dengan seketika suara yang hiruk pikuk tersebut
menjadi berhenti dan mereka memperhatikan si Tiga Melati berbicara.
“Tenang saudara-saudara! Belum tiba saatnya bagi kita untuk menyerang!
Tunggulah dalam beberapa hari ini! Bila pendekar kita Jaka Sembung telah
memberi komando untuk menyerang baru kita menyerang!!
“Janganlah kalian bertindak sendiri-sendiri! Ingatlah bersatu kita teguh
bercerai kita runtuh!!!” ujar Riska lantang memperingatkan penduduk yang
kini telah terbakar semangatnya.
Setelah memberikan petunjuk kapan saat memulai pergerakan, si Tiga Melati
segera meninggalkan tempat tersebut untuk menemui Parmin di tempat yang
telah ditentukan.
***
Di suatu tempat dengan pekarangannya yang luas terlihat beberapa orang
sedang berjaga-jaga di sekitar bangunan yang cukup besar sambil
berbincang-bincang menikmati kopi hangat yang telah tersedia.
Udara di sore hari itu cukup sejuk dengan angin bertiup kencang dan awan di
udara bergumpal-gumpal kehitaman pertanda hujan akan segera turun dan guntur
yang bergemuruh memecahkan kesunyian menjelang malam yang sebentar lagi
tiba.
Para begundal Ki Subeni dengan asyiknya menikmati kopi hangat sambil
bermain kartu domino di teras rumah tersebut dengan tertawa-tawa.
Wajah-wajah mereka menyeramkan dan bengis dengan mata yang
berbinar-binar.
“Ayo Kupret! Angkat kakimu dari sini, uangmu sudah habis!” ujar si Brewok
dengan bibir mencibir mengejek.
“Sialan! Lagi-lagi aku sial!!!” sentak Kupret kesal sambil berdiri dan
membanting kartu yang dipegangnya ke atas meja dan berlalu diiringi gelak
tawa teman-temannya.
Suasana di luar rumah tersebut sangat kontras dengan keadaan di ruangan
dalam di mana dua sosok manusia sedang berhadap-hadapan dengan ketegangan
masing-masing.
“Rokhimah! Duduknya jangan jauh-jauh, suaramu tidak kedengaran!” perintah
Ki Subeni dengan sorot mata tajam memandangi muridnya yang sedang membaca
ayat suci Al Qur'an.
“Pak Kiyai hari sudah malam dan hujan pun segera turun! Bolehkan saya
pulang?” tanya Rokhimah sambil membetulkan kerudungnya hingga menutupi
sebagian dahinya.
“Tidak Rokhimah! Kamu jangan takut, setelah selesai kau boleh pulang dan
nanti kau diantar oleh orang-orangku!” ujar Ki Subeni sambil menggeser
duduknya lebih dekat dengan sorot mata tetap memandang wajah Rokhimah yang
menjadi gemetar dan keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
“Te....... ta....... pi....... biarlah dilanjutkan besok sore saja, Kiyai!”
sanggahnya pelan hampir tak terdengar karena menahan takut yang amat sangat
melihat guru ngajinya kian mendekati dirinya dengan sorot mata yang
mengeluarkan sinar menembus lubuk hatinya.
“Rokhimah.......! Rokhimah! Pandanglah ke mari, Anak manis!!” ujar Ki
Subeni pelan namun berwibawa dengan napas yang memburu dan tangannya telah
membelai pundak Rokhimah.
“Ja....... jangan, Kiyai!!” sergah Rokhimah terputus-putus dan tanpa sadar
memandang mata Kiyai Subeni yang mengandung magnit itu, dan seketika
tubuhnya menjadi lemas tak berdaya.
Kemudian tangan jahil itu mulai beraksi di tubuh Rokhimah yang telah
terhipnotis.
Binatang-binatang malam tidak ada yang berani keluar, semuanya berlindung
di sarangnya masing-masing hanya suara katak yang bersahut-sahutan
seakan-akan memanggil hujan agar segera turun. Tak lama kemudian hujan
rintik-rintik turun membasahi bumi, dedaunan serta tanah yang dengan
seketika menjadi basah tergenang air hujan.
Udara pun bertambah dingin dan para begundal Ki Subeni yang sedang
tertawa-tawa sambil bermain domino seakan-akan mengiringi sang iblis yang
telah merasuki jiwa Kiyai Subeni untuk merusak akhlak manusia yang kurang
imannya dan udara yang dingin itu justru menambah gejolak di dalam tubuh
manusia yang telah dirasuki nafsu iblis tersebut.
Demikian yang terjadi diri Kiyai Subeni yang telah lupa akan dirinya dan
nafsu setannya yang telah terlaksana. Hujan yang rintik-rintik seakan-akan
tak mau reda mengiringi tangis terisak dari seorang gadis yang bernama
Rokhimah, namun apa daya ia hanyalah makhluk lemah tak berdaya.
***
Emoticon