LIMA
Sebuah gerobak pedati yang ditarik seekor kuda terlihat berlari kcncang
seperti dikejar sesuatu. Kusirnya seorang laki-laki berusia sekitar empat
puluh tahun. Kepalanya botak dan dipenuhi kudis. Tubuhnya kekar dan
bertelanjang dada. Pada wajahnya tampak dipenuhi cambang bauk. Tak salah
lagi. Dialah Kebo Koneng, murid Nini Towok yang sedang mendapat tugas edan
dari gurunya.
Sementara di dalam pedati bergeletakan dua sosok pemuda dalam keadaan tidak
berdaya. Tubuh mereka kekar dan berwajah tampan. Sedangkan wajah Kebo Koneng
tampak gelisah penuh kekesalan. Sambil menengadah menatap langit, sesekali
mulutnya mendesah kesal. Waktunya tidak lama lagi. Sementara dia baru
mendapatkan dua pemuda. Padahal gurunya meminta lima orang pemuda. Dan kalau
kembali tanpa memenuhi syarat itu, jangan harap mendapat ampunan dari
gurunya. Bahkan bisa jadi nyawanya malah terancam.
Tak berapa lama kemudian, Kebo Koneng memasuki sebuah mulut desa. Seketika
laju pedatinya dihentikan dan diamankannya di tempat yang tersembunyi agar
tidak diketahui orang lain. Kemudian, dia berjalan kaki memasuki desa itu,
menyusuri sebuah sungai kering.
Namun belum jauh berjalan, tampak terlihat seorang laki-laki cebol
berjanggut panjang berwarna putih, dengan tenangnya duduk memancing di tepi
sungai. Kebo Koneng melirik sekilas. Tampak orang tua itu meletakkan
umpannya di genangan air yang dangkal sekali. Bahkan dasar airnya pun
terlihat Kebo Koneng jadi geli sendiri, menganggap orang tua cebol itu tidak
waras pikirannya.
“Ssst... Awas, jangan mendekat dulu. Umpanku mengena!” seru laki-laki tua
bertubuh cebol itu sambil meletakkan telunjuk ke bibir.
Dahi Kebo Koneng jad berkerut. Masalahnya, laki-laki cebol itu sama sekall
tidak menoleh kepadanya. Lagi pula, sedikit pun tidak terlihat kalau
umpannya sedang dimakan ikan. Tak lama kemudian, Kebo Koneng berjalan
hati-hati.
“Sial! Dasar tuli...!” maki laki-laki cebol itu.
Kebo Koneng tersentak. Makian orang tua itu pasti ditujukan padanya, karena
tidak ada orang lain lagi selain dirinya.
“He, Orang Tua! Siapa yang kau maki...?!” bentak Kebo Koneng gusar.
“Setan! Betul-betul tuli orang ini. Disuruh diam, malah tambah ribut!”
dengus si cebol, tetap tanpa menoleh sedikit pun. Wajahnya masih cermat
menatap mata kailnya.
“Kurang ajar! He, Cebol! Jangan sembarangan bicara. Atau, kau ingin mulutmu
yang bau itu kurobek..!”
Mendengar bentakan itu, si cebol bukannya menoleh dan menunjukkan
kemarahan, tapi malah tertawa-tawa. Sepertinya, kata-kata Kebo Koneng
dianggapnya sangat lucu. Tentu saja hal itu membuat hati Kebo Koneng semakin
panas. Dihampirinya orang tua itu. Dan dengan geram, ditedangnya sekuat
tenaga.
Wut!
“Sudah tuli, eh, malah kurang ajar lagi! Dasar setan goblok!” bentak
laki-laki cebol itu, seraya menghindari dengan merebahkan tubuhnya.
“Keparat...!” Kebo Koneng semakin geram saja, ketika melihat si cebol
melesat, lalu duduk tenang di sebuah cabang pohon yang berada di
atasnya.
“Mukamu yang keparat, Goblok!” balas si cebol sambil memaki lagi.
Kebo Koneng mendengus geram. Kemarahannya semakin meluap. Mendadak, tangan
kanannya disorongkan ke atas sambil membentak keras. “Mampus...!”
Prasss!
Selarik sinar ungu langsung melesat ke atas, menghantam orang cebol itu.
Akibatnya, cabang pohon yang diduduki hancur berantakan, tapi tubuh si cebol
sendiri telah lenyap entah ke mana.
“He he he...! Ternyata tidak sia-sia si kuntilanak Nini Towok itu
mengajarimu pukulan 'Penghancur Tulang'. Pukulan itu memang hebat, tapi
hanya untuk batang kayu. Tapi kalau untuk tubuhku, kau harus belajar sepuluh
tahun lagi, Bocah....”
Kebo Koneng jadi terkejut dan berbalik ketika tahu-tahu si cebol sudah
berada di belakangnya. Lebih kaget lagi ternyata pukulan yang barusan
dilancarkannya diketahui si cebol. Dipandangrnya orang tua itu tajam-tajam.
Mungkinkah dia teman Eyang Guru...? Tapi, Eyang Guru pernah berkata kalau
tidak memiliki teman seorang pun. Semua tokoh persilatan telah memusuhinya.
Baik dari golongan lurus, maupun dari golongan sesat.
“Hei, Orang Tua Cebol! Siapa kau sebenarnya?! Dan, dari mana kau tahu
pukulan yang kukerahkan tadi...?!” tanya Kebo Koneng dengan suara serak
bernada curiga.
“He he he...! Dasar bocah goblok! Kau pikir di kolong langit ini siapa yang
tidak tahu segala yang dimiliki gurumu, heh?! Ilmu kuntilanak yang haus
perjaka itu bukan rahasia lagi, Tolol!”
“Kurang ajar! Berani kau menghina guruku! Kuhajar kau, Cebol Sial!”
“He he he..! Aku jadi sangsi apakah kau mampu menghajarku, Bocah Tolol! Ayo
ke sinilah kalau ingin kepalamu kukemplang!” sahut orang tua cebol itu,
terus mengejek.
“Keparat! Hiyaaat..!”
“Uts! Seranganmu kurang bermutu. Kau harus belajar sepuluh tahun lagl,”
ledek laki-laki cebol itu, seraya mengelak.
“Phuih! Tutup mulutmu! Sebentar lagi akan kurobek mulutmu!”
“He he he...!”
Berkali-kali Kebo Koneng melepaskan serangan-serangan bertubi-tubi, namun
sedikit pun tidak ada yang membuahkan hasil. Orang tua bertubuh cebol itu
betul-betul membuktikan ejekannya. Bahkan sama sekali tidak memandang
sebelah mata pada serangan maupun pukulan maut yang dilancarkan Kebo Koneng,
Malah, serangan baliknya membuat Kebo Koneng jadi tersentak kaget.
“Huh!” Kebo Koneng mencoba menghindar dari sodokan kaki lawan, dengan
memiringkan tubuhnya ke kiri. Namun laki-laki cebol itu melepaskan sabetan
tangan kiri yang menderu ke arah dada lawan. Tidak ada kesempatan bagi Kebo
Koneng untuk menghindar.
Desss!
“Aaakh...!” Kebo Koneng kontan menjerit kesakitan sambil terhuyung-huyung
ke belakang begitu terhantam pukulan telak.
“Apa kataku? Ilmu yang kau miliki masih mentah, tapi sudah sok jago!” ejek
orang tua cebol itu
Maka semakin gusar saja Kebo Koneng mendengar kata-kata laki-laki cebol
itu. Satu hal yang membuatnya penasaran adalah, bagaimana mungkin lawannya
mampu memasukkan pukulan? Padahal selama ini, dia beranggapan ilmu silatnya
sudah cukup hebat. Betapa tidak...? Sebab, gurunya sendiri yang
mengatakannya. Tapi si cebol ini, sama sekali tidak merasakan kesulitan
menghadapinya. Bahkan terlihat memandang rendah sekali.
“Orang tua! Maaf, aku tidak bisa meladenimu lebih lama. Kalau tidak punya
urusan lain, sudah sejak tadi kepalamu kupecahkan. Kapan-kapan kita teruskan
urusan kita,” kata Kebo Koneng dengan nada mengalah.
“Ha ha ha...! Siapa yang peduli dengan urusanmu? Kau sendiri mengganggu
urusanku!”
“He, urusanmu yang mana yang kuganggu...?”
“Dasar goblok! Hei! Bukankah kau tadi melihat aku sedang apa?” tuding orang
tua cebol itu. Matanya mendelik garang, persis seperti sedang memarahi bocah
yang berbuat salah.
“Orang tua! Mungkin kau telah pikun, atau sudah gila. Mana ada orang
memancing di air yang dalamnya kurang dari sejengkal? Lagi pula, mana ada
ikan di tempat seperti itu? Dan lagi, aku tidak pernah mengganggu urusan
memancingmu, heh...?!” sahut Kebo Koneng merasa menang.
“Dasar tolol! Siapa yang mengatakan kalau aku sedang memacing
ikan...?”
Kebo Koneng tersedak. Seketika kejengkelannya semakin menjadi-jadi
mendengar jawaban ngawur si cebol yang mau menang sendiri saja.
“Orang tua sinting! Siapa pun tahu kalau alat yang kau gunakan itu untuk
memancing, Kalau tidak, apa urusannya kau berada di sini sambil memegang
alat pancingmu...?”
“Dasar otak bebal! Kau sendiri yang mengatakan kalau tempat ini tidak layak
untuk memancing. Jadi, mana mungkin aku memancing ikan seperti yang kau
duga. Aku tidak setolol dirimu, bocah!”
“Jadi apa yang kau kail?” tanya Kebo Koneng, mencoba menahan sabar.
Orang tua cebol itu hanya terkekeh kecil. “Apakah kau tidak melihat, apa
yang kudapat?"
Kebo Koneng jadi mengernyitkan dahinya
“Ha ha ha...! Dasar bocah dungu. Aku sudah mendapat kakap jelek yang
kepalanya botak penuh koreng, dan badannya bau seperti tahi kebo. Nah,
itulah yang kudapatkan,” sahut orang tua cebol itu sambil terkekeh.
Bukan main kalapnya Kebo Koneng mendengar kata-kata itu. Jadi, dirinya yang
dimaksud orang tua cebol ini?
“He. Cebol! Apa yang kau inginkan dariku?!” bentak Kebo Koneng
garang.
“Kepalamu yang jelek itu untuk kutendang.” sahut orang tua cebol itu.
“Keparat!”
“Heh! Memakilah sepuasmu....”
“Huh! Rupanya harus kupecahkan dulu kepalamu, sebelum aku pergi!” dengus
Kebo Koneng. Langsung dia melompat dan menyerang orang tua cebol itu.
“He he he...! Berani juga rupanya kau...”
“Yeaaa...!”
Kembali Kebo Koneng menyerang lawannya dengan kalap dan bertubi-tubi.
Agaknya dia bermaksud menghabisi jiwa laki-laki cebol itu dalam waktu
singkat. Tapi, hal itu ternyata tidak mudah. Karena selain gesit dan lincah,
orang tua cebol itu sendiri kelihatan tenang-tenang saja. Sedikit pun tak
terlihat kalau terdesak. Bahkan tampaknya sengaja mempermainkan lawan dengan
terus-menerus mengelak untuk menguras tenaga Kebo Koneng. Dan dia hanya
sekali balas menyerang, untuk membuat lawan terkejut dan jungkir balik
menyelamatkan diri.
“Hiyaaat...!”
Dan ketika Kebo Koneng menyerang dengan melepaskan tendangan setengah
putaran, laki-laki cebol itu memapaknya dengan tangan kanan.
Plak!
Mendapat papakan seperti itu, tubuh Kebo Koneng jadi melintir berbalik. Dan
kesempatan itu tidak disia-siakan si cebol. Dengan gerakan cepat, tubuhnya
melesat sambil melepaskan saatu pukulan keras ke perut.
Diegk!
“Aaakh!”
Kebo Koneng kembali terpekik, ketika perutnya terkena hajaran telak
lawannya. Tubuhnya langsung terhuyung-huyung ke belakang diiringi tawa orang
tua cebol itu.
“He he he...! Ayo, keluarkan segala kemampuan yang kau miliki! Umbarlah
pukulan 'Penghancur Tulang' yang kau miliki itu untuk menghadapiku!” ledek
si cebol.
“Keparat! Kau harus mati. Cebol!” dengus Kebo Koneng cepat kembali
menyerang lawan dengan garang.
“Hup! Bagus..!”
“Yeaaa...!”
“Uts...! Hebat! Pukulan “Penghancur Tulang'mu lagi-lagi hanya mengenai
angin. Kenapa? Apa kau sudah takut menghadapiku? He he he...!”
“Setan!”
“Hei?! Jangan memaki! Lebih baik, pecahkan kepalamu yang bodoh dan jelek
itu!”
“Sial!”
“Ha ha ha...!”
“Hiyeaa…!”
“Hm.... Kini bersiaplah menerima kematianmu!” dengus orang tua cebol itu
sambil memasang wajah bengis. Begitu selesai bicara, laki-laki cebol itu
tampak membuka jurus dan mulai melancarkan serangan cepat bertenaga dalam
kuat ke arah Kebo Koneng
“Yeaaa...!”
“Uts!”
Kebo Koneng langsung jungkir balik menghindari diri dari serangan lawan
yang bertubi-tubi. Dan begitu bangkit kembali, lagi-lagi datang sebuah
serangan. Terpaksa Kebo Koneng harus memapaknya, karena untuk menghindar
sudah tidak mungkin. Maka....
Plak!
Tubuh Kebo Koneng terjajar beberapa langkah begitu tangannya beradu dengan
tangan si cebol. Bahkan tangannya terasa nyeri seperti kesemutan. Dari sini
bisa dilihat kalau tenaga dalamnya kalah jauh.
Sementara itu, begitu melihat lawannya terjajar, si cebol segera berlari
menyusur tanah. Langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada, begitu
dekat dengan lawannya.
Bugk!
“Aaakh...!”
Kembali Kebo Koneng memekik ketika satu pukulan telak bersarang di dadanya.
Tubuhnya langsung terpental dengan isi dada terasa seperti remuk. Tapi
serangan orang tua cebol itu tak berhenti sampai di situ. Sebelum tubuh Kebo
Koneng menyentuh tanah, tubuhnya telah lebih dulu melesat kembali sambil
mengirim serangan susulan. Kali ini, agaknya bisa dipastikan kalau nyawa
Kebo Koneng berada di ambang neraka. Namun, belum juga serangannya mendarat
di tubuh Kebo Koneng, mendadak....
“Ki Dara Pincung, harap kau sudi memberikan kesempatan padaku untuk
menghukum si keparat itu!” Tiba-tiba terdengar bentakan kecil dan
nyaring.
“Siapa?!”
Laki-laki cebol itu seketika menghentikan serangannya. Tiba-tiba saja tidak
jauh dari situ berdiri sesosok laki-laki tua berkumis dan berjanggut panjang
yang telah memutih. Sorot matanya yang lembut, namun menunjukkan kegarangan
dan kebencian yang memuncak terhadap Kebo Koneng. Orang tua gagah bertubuh
agak kurus itu membawa sebilah pedang di punggungnya. Tubuhnya lalu
membungkuk memberi salam penghormatan kepada orang tua cebol yang dipanggil
Ki Dara Pincung
“Oh! Kukira siapa. Tidak tahunya sobatku. Ki Ageng Kunir. Hm.... Ada urusan
apa kau dengan kecoa busuk ini. Ki?” tanya Ki Dara Pincung bernada ramah,
setelah menghentikan serangan mautnya pada Kebo Koneng.
“Mereka sudah menewaskan kedua muridku,” sahut laki-laki tua yang dipanggil
Ki Ageng Kunir geram.
“Hm. Dari mana kau tahu itu?”
“Sebentar lagi, si keparat itu akan mengaku...”
Ki Dara Pincung hanya mendiamkan saja ketika Ki Ageng Kunir mendekati Kebo
Koneng dengan wajah geram.
“He, Keparat! Apa kau tidak mengaku sudah mencelakai dua muridku...?”
bentak Ki Ageng Kunir dengan sorot mata tajam.
“Oh! Siapa... siapa kau...?” tanya Kebo Koneng berusaha bangkit sambil
mendekap dadanya yang terasa sakit bukan main.
“Aku Ki Ageng Kunir. Nah, apakah kau masih mau mengelak...?"
Pada dasarnya Kebo Koneng adalah orang yang tolol dan tidak tahu banyak
seluk-beluk tokoh persilatan. Dia juga tidak punya teman, selain Supit
Gadar. Jadi tidak pernah terpikir dalam benaknya kalau perbuatannya selama
ini berakibat buruk dan ada orang yang menagih hutang nyawa. Maka ketika Ki
Ageng Kunir berkata demikian, dia hanya semakin bingung saja. Sama sekali
tidak dimengerti apa maksud perkataan orang ini
“Keparat! Kau masih pura-pura, heh...?!” geram Ki Ageng Kunir sambil
mengayunkan kaki kanannya.
Tak!
"Akh...!“
Kebo Koneng menjerit keras ketika dagunya dihajar Ki Ageng Kunir. Tubuhnya
sampai terjungkal ke belakang dengan beberapa buah gigi tanggal. Sehingga
mulutnya berlumur darah Ki Ageng Kunir segera mendekati sambil berkacak
pinggang.
“Aku tak peduli kau mampu atau tidak melawanku. Tapi, kau akan mampus kalau
tak mengaku juga!”
“Eh…! Aku…, aku tak tahu apa yang kau maksud..."
“Sial! Hei! Muridku yang laki-laki ditemukan mati dengan muka pucat.
Sedangkan muridku yang perempuan pun demikian, setelah dinodai dengan keji.
Mayat mereka dibuang begitu saja di bawah jurang Hutan Dandaka. Nah, apakah
kau akan mengelak?!"
“Eh! Apa..., apakah murid-muridmu itu adalah pemuda bersenjata kapak dan
gadis bersenjata pedang...?”
“Nah! Ternyata ingatanmu masih baik, bukan? Hih!”
Begkh!
“Akh...!”
Kebo Koneng kembali terkapar di tanah, begitu mendapat hantaman keras. Lagi
pula, Ki Ageng Kunir tak ingin Kebo Koneng mati begitu saja. Dia memang
harus disiksa dulu, dan harus mati pelan-pelan. Rasanya keenakan baginya
bila langsung mati.
“Ayo, bangkit! Lawanlah aku jangan mereka yang bau kencur dan tak tahu
apa-apa! Ayo, lawan gurunya ini!”
Wut!
Des!
Ki Ageng Kunir kembali menghajar Kebo Koneng, namun tidak disertai tenaga
dalam. Dan agaknya dia tak memberi kesempatan sedikit pun kepada Kebo
Koneng. Amarahnya ditumpahkan kepada Kebo Koneng. Dia tak peduli, apakah
Kebo Koneng melawan atau tidak.
Laki-laki berkepala botak penuh koreng itu berkali kali menjerit kesakitan.
Tubuhnya yang memang sejak tadi sudah lemah, semakin tak berdaya saja
“Ayo, lawan! Bangun dan keluarkan seluruh ilmu silatmu yang hanya buat
menakut-nakuti muridku yang masih bau kencur dan tak bisa apa-apa!” teriak
Ki Ageng Kunir jengkel.
Sekujur tubuh Kebo Koneng terasa luluh lantak dan amat tak berdaya. Darah
telah mengucur dari kepala, hidung, mulut, dan telinganya. Jerit kesakitan
seperti tak pernah berhenti keluar dari mulutnya. Namun, belum terlihat
tanda-tanda kalau Ki Ageng Kunir akan menyudahi siksaannya. Agaknya orang
tua itu masih garam bercampur dendam atas kejadian yang menimpa kedua
muridnya.
Sementara, Ki Dara Pincung sandal hanya terkekeh kekeh kecil sambil
menggeleng melihat perbuatan sobatnya. Namun....
“Orang tua busuk, hentikan perbuatanmu! Akulah lawanmu!”
“Hah?!”
Seketika kedua orang tua itu tersentak. Dan begitu mereka berbalik, tampak
laki-laki berambut tipis berwajah penuh cambang bauk sudah berdiri di depan
mereka. Tubuh orang itu bertelanjang dada. Sorot matanya tajam menusuk, dan
hawa amarah terlihat jelas di wajahnya.
“Hm... Kau pasti kawannya juga!” bentak Ki Ageng Kunir garang
“Benar Namaku Supit Gadar!”
***
ENAM
“He he he...! Ini yang namanya ular mendatangi penggebuk!” sahut Ki Dara
Pincung sambil terkekeh-kekeh
Sebaliknya, Ki Ageng Kunir wajahnya tampak semakin kelam dan sorot matanya
bertambah garang. Perlahan-lahan namun pasti, dihampirinya laki-laki yang
baru tiba di tempat itu
“Hm.... Jadi kau pun muridnya si Nini Towok? Bagus!” dengus laki-laki tua
itu dingin
“Dua orang tua bangka busuk! Apakah kalian tak malu mengerubuti seorang
yang telah tak berdaya?!”
“Mana lebih busuk ketimbang dua orang berjiwa binatang yang menewaskan dua
orang muridku yang tak bersalah secara kejam?”
“Apa maksudmu?” tanya Supit Gadar sambil mengerutkan dahi.
“Jangan bertanya! Tapi, akui saja perbuatan biadab kalian!”
“Kisanak! Aku semakin tak mengerti, apa yang tengah kau bicarakan?”
“He he he… Maling biasanya lebih suka lempar batu sembunyi tangan. Tapi bau
busuk yang disembunyikan pasti akan tercium orang lain!” sindir Ki Dara
Pincung acuh tak acuh.
“Orang tua cebol! Apa maksud kata-katamu itu? Yang kutahu kalian hanya dua
orang tua hina yang melakukan pengeroyokan terhadap temanku. Dan kini,
kalian malah mencari alasan untuk memojokkanku! Phuih! Sungguh perbuatan
memalukan!”
“He he he.. ! Pintar kau bicara, Bocah. Tapi lebih banyak busa yang keluar
dari mulutmu yang bercampur bau busuk dan amat menjijikkan” sahut Ki Dara
Pincung tenang
“Kurang ajar! Heh, Orang Tua! Tak usah banyak berbasa-basi segala. Apa yang
kalian inginkan sebetulnya?!” dengus Supit Gadar semakin geram.
“Kalau aku. Ingin langsung mengemplang kepalamu. Dan temanku, barangkali
ingin mengorek jantungmu buat dijadikan kalung di lehernya,” sahut Ki Dara
Pincung masih terus bersikap tenang.
“Setan!”
“Hei! Jangan banyak memaki. Sini kau, biar kukemplang!
Supit Gadar tak bisa menahan amarahnya lagi. Dan begitu kata-kata orang tua
cebol itu selesai, tubuhnya langsung melesat mengirim serangan bertenaga
kuat
“Yeaaa...!”
“Ki Dara Pincung! Biarkan aku yang mengemplang anak sok jago ini!” dengus
Ki Ageng Kunir sambil melompat memapak serangan Supit Gadar
“Hm... Terserah kau saja. Sobat!” Dan...
Plak!
Wut!
Supit Gadar tersentak kaget ketika telapak tangannya beradu dengan tangan
lawan. Terasa perih, dan membuat jantungnya bergetar tak menentu. Memang
masih belum disadarinya, apa yang menyebabkan. Yang jelas dia mulai menduga
kalau lawan memiliki kemampuan yang tak bisa dianggap remeh. Apalagi ketika
orang tua itu bukannya menahan serangannya, tapi malah berbalik ganas
menyerang secara bertubi-tubi.
“Hm… Ilmu silatmu lumayan hebat, Orang Tua. Siapa kau sebenarnya?”
“Siapa yang peduli pujianmu, Kutu Busuk?! Aku hanya peduli nyawamu untuk
menebus kematian kedua muridku yang telah kalian bunuh dengan keji."
“Kedua muridmu...? Ya…, ya. Aku ingat seorang pemuda dan seorang gadis
berwajah manis. Eh! Tahukah kau, Orang Tua? Gadis itu amat menawan dan
membuat gairahku nyaris tak berhenti. Dia cukup memuaskan kami berdua.”
Supit Gadar tersenyum-senyum kecil ketika mengatakan hal itu. Supit Gadar
memang bermaksud memancing kemarahan lawannya yang memang telah memuncak.
Dan kalau sudah begitu, biasanya perhatiannya akan kacau-balau. Tapi,
sebenarnya Supit Gadar salah perhitungan. Meskipun Ki Ageng Kunir semakin
geram mendengar kata-kata Supit Gadar, justru serangan-serangannya semakin
ganas dan berbahaya.
“Binatang keparat! Kau akan mampus lebih dahulu!”
“Uts! “
Supit Gadar memang berhasil mengelakkan satu pukulan tangan kanan lawan.
Namun, ternyata tendangan kaki Ki Ageng Kunir lebih cepat lagi menyambar ke
arah perutnya.
Des!
“Aaakh...!”
Supit Gadar terjajar limbung disertai pekik kesakitan. Sementara itu Ki
Ageng Kunir melompat, tanpa memberi kesempatan kepada lawan.
“Yeaaa…! Uts, Setan!”
Ki Ageng Kunir memaki geram sambil membuang tubuhnya ke samping, ketika
Supit Gadar dalam keadaan bahaya begitu masih sempat melepaskan pukulan
mautnya, ‘Kelabang Api’. Selarik sinar merah kekuningan yang berhawa panas
itu menderu dan nyaris menghantam tubuh Ki Ageng Kunir kalau tak sempat
dihindari.
“He he he...! Hati-hati kau, Kunir. Salah salah kau malah nanti yang
dicundangi bocah itu dengan pukulan picisannya!” teriak Ki Dara Pincung
mengingatkan sambil tertawa-tawa kecil.
“Terima kasih, Pincung! Mudah-mudahan kau sendiri juga tak lengah. Salah
salah pukulan busuknya itu merebus dirimu!” sahut Ki Ageng Kunir tersenyum
lebar.
“Sial!” jawab Ki Dara Pincung menggerutu kesal.
Ki Ageng Kunir terkekeh kecil. Tapi tiba-tiba....
“Akh...!“
“Hah?!”
Mendadak mereka semua yang ada di situ di kejutkan oleh jerit tertahan Kebo
Koneng. Dan ternyata seseorang telah muncul di tempat itu, dan langsung
memancung leher Kebo Koneng yang telah tak berdaya dengan bengis.
Supit Gadar tersentak kaget. Padahal walaupun terkejut, saat itu juga Ki
Ageng Kunir melancarkan serangan pukulan maut berisi tenaga dalam penuh.
Maka....
Begkh!
“Aaakh!”
Tak ayal lagi, Supit Gadar memekik kesakitan dengan tubuh terjungkal
menyemburkan darah segar dari mulutnya. Dada kirinya seperti remuk dan
jantungnya pecah terkena hantaman lawan. Begitu jatuh di tanah, tubuhnya
menggelepar-gelepar sesaat, kemudian diam tak bergerak gerak lagi.
Mati.
“Bidara Condong! Hm... kukira siapa,” sahut Ki Dara Pincung bernada datar,
ketika melihat kehadiran seorang laki-laki berambut gondrong dengan dahi
lebar dan ubun-ubun botak. Pedang besarnya masih berlumur darah. Dan matanya
tajam memandang kedua orang tua itu sekilas.
“Aku tak peduli siapa kalian. Tapi, siapa pun yanq berurusan dengan Nini
Towok, mesti mampus di tanganku!” sahut laki-laki berpakaian serba hitam dan
kalung penuh kepala tengkorak yang dipanggil Bidara Condong. Setelah berkata
demikian. Bidara Condong langsung pergi meninggalkan mereka.
“Manusia aneh tak beradat!” umpat Ki Dara Pincung.
Ki Ageng Kunir hanya tersenyum kecil. “Ki Dara Pincung, terima kasih atas
bantuanmu Maaf, aku harus pergi ke Hutan Dandaka sekarang juga untuk meminta
pertanggungjawaban Nini Towok,” ucap Ki Ageng Kunir bersiap pergi.
“He, tunggu dulu!”
“Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan, Ki?”
“Sial! Memangnya kau saja yang berurusan dengan kuntilanak itu? Ayo,
berangkat!” sahut orang tua cebol itu sambil melesat pergi.
Ki Ageng Kunir menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, mengikuti orang tua
cebol di sampingnya.
***
Sementara di tempat lain, Nini Towok tengah memandang Pandan Wangi sambil
menyeringai kecil. Suasana ruangan itu agak temaram. Dan satu-satunya cahaya
yang menerangi hanya obor kecil yang tergantung di dinding pondok. Sehingga,
perempuan tua itu tak terlalu memperhatikan perasaan geram yang terbias di
wajah Pandan Wangi. Gadis itu memang sudah siuman, namun masih dalam keadaan
tertotok.
“He he he...! Sebentar lagi kekasihmu akan datang ke sini...!”
“Huh! Jangan terlalu yakin! Dia tak peduli sama sekali!”
“Hm, begitu? Kalau sampai besok dia tak datang, kau akan kuserahkan pada
kedua muridku!” sahut Nini Towok dingin.
Pandan Wangi bergidik ngeri mendengar kata-kata Nini Towok. Betapa tidak!
Terbayang sesuatu pengalaman nista yang akan dialaminya. Terbayang dalam
ingatannya ketika bola mata Supit Gadar yang rakus menjilati seluruh
tubuhnya dari kepala hingga kaki. Padahal, melihat wajah jelek dan
menakutkan itu saja, perutnya sudah mual. Apalagi kalau setan itu sampai
menggerayangi tubuhnya. Mungkin Pandan Wangi akan pingsan, karena tak kuat
menahan amarah dalam ketidakberdayaannya
Nini Towok sendiri agaknya perempuan cerdik. Dia tahu Pandan Wangi hanya
ditotok oleh Supit Gadar. Meskipun totokan itu kuat, namun gadis itu bukan
wanita sembarangan. Tenaga dalamnya cukup kuat, sehingga bisa jadi akan
mampu melepaskan diri secara diam-diam. Dia berpura-pura tetap tidak
berdaya, kemudian membokong di saat lengah. Itulah sebabnya, gadis ini
diikat dalam sebuah tonggak. Kedua tangan dan kaki Pandan Wangi diikat
kuat-kuat dengan tambang dari oyot-oyot pohon yang lentur dan tidak mudah
putus.
“Hi hi hi.! Kenapa kau diam? Takut...?” ejek Nini Towok sambil terkikik
pelan.
“Phuih! Apa yang kutakutkan padamu?”
“O, tentu.... Tentu saja kau tidak takut padaku. Aku percaya. Tapi ketika
dua muridku menggerayangi tubuhmu, apa kau masih tidak takut juga ? Hi hi
hi..."
“Perempuan setan! Kau benar-benar terkutuk. Manusia binatang...!” maki
Pandan Wangi geram.
Nini Towok hanya terkikik mendengar makian yang dilontarkan Pandan Wangi.
Dan sebenarnya, dia tidak tahu kalau kedua muridnya tak akan muncul lagi di
hadapannya.
“Hi hi hi..! Memakilah sepuasmu, sehingga akan semakin membuatku
senang.”
“Dasar binatang!”
“He?! Kau akan lihat sendiri, apa kekasihmu itu lebih baik
dariku...?”
“Huh! Mudah-mudahan kau akan mampus ditangannya.”
“Hi hi hi..! Begitukah kau menilaiku? Nini Towok bukanlah orang
sembarangan, Cah Ayu. Dan kekasihmu hanya kelinci nakal yang akan memuaskan
rasa laparku saja. Apa susahnya menangkap seekor kelinci...?”
“Kau terlalu sombong, Perempuan tua. Kau belum mengenal Pendekar Rajawali
Sakti.”
“Hm, kenapa tidak? Aku sudah banyak mendengar cerita mengenai kekasihmu.
Bahkan aku pernah melihatnya juga. Tapi ya.... tentu saja dia tidak
mengenaliku. Karena saat itu, aku tidak memperkenalkan diri.”
“Apa kau tak malu pada dirimu sendiri?”
“Malu...? Kenapa harus malu?” Nini Towok malah balik bertanya.
“Berkacalah di mata air sana. Dan kau akan melihat kulit-kulit tubuhmu yang
sudah keriput dimakan usia. Sangat tidak pantas perempuan seusiamu mempunyai
pikiran kotor pada pemuda-pemuda belia. Kau bukan saja berpikiran kotor,
tapi perbuatanmu amat menjijikkan. Tidakkah terbersit dalam hatimu untuk
menyadari kekeliruanmu? Atau, barang kali memang kau gila dan memiliki
kelainan...?”
Nini Towok memandang tajam ke arah Pandan Wangi. Wajahnya yang tadi cerah,
tiba-tiba berubah tegang. Bahkan menakutkan. Tanpa sadar, Pandan Wangi jadi
bergidik ngeri membayangkan wajah perempuan tua yang mengerikan itu.
“Hm... Kau tahu apa tentang kehidupan Cah Ayu..? Hidupmu hanya dipenuhi
kesenangan dan kemewahan belaka. Pernahkah kau merasakan kesengsaraan.
dijauhi semua orang, dan hidup dalam penderitaan lahir batin? Coba bayangkan
dan pikir, apa kira-kira yang akan kau lakukan bagi kehidupanmu sendiri dan
bagi orang lain yang memusuhimu?” tanya Nini Towok dingin.
Pandan Wangi terdiam. Dipandangnya perempuan tua itu sekilas. Kemudian,
kepalanya menunduk lesu. Kata-kata perempuan tua itu dikeluarkan lewat nada
yang pahit dan getir. Tapi sebenarnya apa yang dituduhkan perempuan tua ini
terhadap Pandan Wangi tidak semuanya benar. Dan mungkin Pandan Wangi bisa
menyadari, kalau penderitaan yang pernah dialaminya, tidak setara dengan
penderitaan Nini Towok. Tapi benarkah begitu? Paling tidak bisa dirasakannya
lewat nada suara dan sorot mata perempuan tua itu.
“Hhh ... itu masa lalu. Dan setiap orang mempunyai masa lalu yang
berbeda.'' lirih sekali suara Nini Towok meneruskan kata-katanya.
Pandan Wangi semakin merasakan kegetiran yang dialami perempuan tua itu
lewat helaan napas dan nada suaranya.
“Sudahlah. Ada baiknya kau bersiap-siap, Cah Ayu,” mendadak Nini Towok
berdiri tegak
Pandan Wangi merasakan kalau perempuan tua ini sedang menunggu seseorang.
Atau, mungkin beberapa orang. Mungkin juga kedua muridnya. Dan...
“Nini Towok! Keluar kau, Perempuan Jalang!”
Pandan Wangi tersentak dan mengangkat kepala ketika terdengar bentakan dari
luar. Namun, perempuan tua itu malah tampak tersenyum. Kemudian sambil
memandangnya sekilas, dia berjalan menuju pintu.
“Mereka telah datang...."
“Siapa mereka?” tanya Pandan Wangi.
Nini Towok diam membisu.
Pandan Wangi tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Lewat celah-celah
dinding, yang terlihat hanya suasana gelap di luar yang berubah terang.
Sementara di luar, beberapa orang tampak membawa obor. Senja memang baru
saja berlalu. Namun, suasana di hutan ini seperti malam pekat
Nini Towok menyeringai dingin di depan pintu sambil memandangi mereka satu
persatu. Tampak lebih dari sepuluh tokoh persilatan sudah mengepung
pondoknya rapat-rapat. Wajah mereka tampak garang dan penuh amarah, yang
terlihat oleh cahaya obor.
“Nini Towok! Tidakkah kau merasa jera akibat perbuatanmu di masa lalu?! Dan
kini, kau bersama kedua muridmu membuat kekacauan di mana-mana. Hm.... Kami
tidak bisa mendiamkan begitu saja. Dan kau akan menerima hukumannya!” kata
salah seorang pembawa obor itu dengan suara lantang.
“Sudira! Apakah aku pernah berjanji pada kalian untuk mengaku kalah? Hm...
Kalian terlalu gegabah memasuki wilayahku. Pulanglah kalian semua, sebelum
aku bertindak tegas!”
“Perempuan hina! Apa kau pikir kami takut oleh ancamanmu itu? Kau dan
murid-muridmu adalah pengacau dan patut dilenyapkan dari muka bumi ini.
Suruh kedua muridmu itu menyerahkan diri, juga kau...!” sahut laki-laki yang
tadi dipanggil Sudira.
“Hm.... Tidak semudah apa yang kau katakan itu, Sudira. Kau boleh
menangkapku dan juga kedua muridku, setelah melangkahi mayatku. Kali ini,
aku tidak akan lari begitu saja dari kalian. Siapa yang ingin mampus lebih
dulu, silakan maju!” tegas Nini Towok bernada mengancam.
“Kurang ajar...!”
“Sudira! Sudah jangan banyak mulut lagi. Biar kami yang akan meringkus
kuntilanak keparat ini!” sungut salah seorang dengan geram. Orang itu
langsung melompat ke arah Nini Towok. Sedangkan golok besar di tangannya
cepat diayunkan, mengincar tubuh perempuan tua itu.
“Cokro! Hati-hati kau...!” teriak Sudira memperingatkan.
“Jangan khawatir, akan kupersembahkan kepala kuntilanak ini pada kalian!”
kata laki-laki yang baru saja menyerang, dan ternyata bernama Cokro.
“Hi hi hi...! Bukankah kalau kepalamu saja yang lebih dulu kutendang?”
sambut Nini Towok sambil menghindar dan balas menyerang, dengan ayunan
kakinya yang menendang kepala lawan.
Wut!
Bet!
“Uts..! Shaaa!”
Laki-laki bertubuh besar bernama Cokro itu mengelak dengan gesit. Lalu
langsung dibalasnya serangan Nini Towok dengan ayunan golok besarnya ke arah
kaki lawan. Namun, Nini Towok lebih cepat lagi menarik kakinya. Dan dengan
tubuh berputar, dia melompat melewati kepala lawannya, bermaksud menghajar
ubun-ubun.
“Yeaaah...!”
“Hup!”
Melihat serangan itu, Cokro cepat berkelit ke samping sambil membabatkan
goloknya ke atas. Tapi siapa sangka kalau sabetannya hanya membelah angin
belaka, karena lawan sudah lenyap entah ke mana. Cokro celingukan
mencari-cari, seperti orang kebingungan. Namun mendadak....
Des!
“Aaakh...!”
Tiba-tiba satu tendangan keras menghantam ulu hatinya. Laki-laki bertubuh
besar itu kontan memekik kesakitan. Tendangan yang dilakukan ujung kaki
perempuan tua itu keras bukan main, sehingga membuatnya terjungkal. Namun
belum lagi Cokro sempat memperbaiki keadaan, tendangan selanjutnya yang
tidak terduga sama sekali tidak mampu dielakkan lagi. Maka....
“Yeaaah...!”
Diegh.... Krek!
“Aaa...! “
“Cokro...!”
Ujung kaki Nini Towok tepat mendarat telak pada tulang lehernya, hingga
terdengar tulang berderak patah. Tubuh Cokro terlempar dan persis jatuh di
depan orang-orang itu, dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Sudira dan yang
lainnya berseru kaget dan menghampin Cokro.
“Kita hajar kuntilanak itu sama-sama!” teriak Sudira memberi perintah,
begiru telah memastikan kalau Cokro telah tewas.
“Hancurkan perempuan Iblis itu...!”
“Yeaaa...!”
“Hiyaaa...!”
Nini Towok hanya mendengus meremehkan melihat mereka maju berbarengan.
Bahkan dia masih tampak tenang-tenang saja ketika serangan lawan dekat. Baru
ketika hampir menyambar tubuhnya, dia melompat ke atas dan langsung
berputaran beberapa kali. Dan dengan gerakan manis sekali, dia sudah
mendarat di belakang barisan orang-orang itu. Dan langsung dihajarnya salah
seorang yang berada di dekatnya.
Begkh!
“Akh!”
“Sial..!”
“Hati-hati! Kuntilanak ini semakin lihai saja...!”
Pertarungan yang tidak seimbang pun berlangsung sengit. Namun Nini Towok
sama sekali tidak memperlihatkan kegentarannya. Malah dengan bengis dan
kejam sekali, dihajarnya lawan satu persatu tanpa kenal ampun.
***
TUJUH
Hari telah menjelang senja. Kegelapan mulai menyergap sekitar pinggiran
Hutan Dandaka. Pada saat ini, tampak Pendekar Rajawali Sakti bersama seorang
prajurit dari Kerajaan Pandarakan sudah tiba di pinggiran hutan ini. Tempat
Pandan Wangi dan Panglima Sura Darma serta pasukannya menunggu. Namun
suasana terlihat sepi dan tidak seorang pun terlihat.
“Apakah kau yakin mereka berada di sini?” tanya Rangga cemas.
“Aku yakin sekali.”
“Lalu, ke mana mereka sekarang?”
Prajurit itu tidak mampu menjawab, dan hanya mencari-cari lewat pandangan
matanya.
“Cobalah, ingat-ingat. Barangkali kau lupa,” ujar Rangga lagi.
“Tidak. Aku yakin di sinilah mereka akan menunggu kita"
“Hm....” Rangga bergumam pelan.
“Aku.... Aku tidak berdusta. Kisanak”
“Ya, ya. Aku mengerti. Mungkin mereka sudah berpindah. Dan sebaiknya kita
cari di sekitar sini,” sahut Rangga sambil menarik tali kekang kudanya. Dan
mereka kini berkeliling, memutari tempat itu
“Lihat..! Ada apa di sana?!” tunjuk prajurit itu ketika melihat banyak
sekali burung pemakan bangkai yang beterbangan di depan.
Melihat itu, dada Rangga jadi berdebar-debar tidak menentu. Jantungnya
berdetak lebih kencang lagi. Dia memang mengkhawatirkan nasib Pandan Wangi.
Harapannya, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada gadis itu.
“Haaa..! Ayo, Dewa Bayu. Bawa kami ke sana secepatnya!” teriak Rangga
sambil menepuk leher kudanya.
Kuda berbulu hitam itu melesat cepat bagai kilat. Dan sebentar saja, mereka
sudah berada di tempat itu. Prajurit itu langsung tersentak kaget ketika
melihat seluruh prajurit kerajaan yang menyertai Panglima Sura Darma telah
tewas tanpa nyawa lagi. Rangga buru-buru melompat turun dari punggung
kudanya, dan mencari-cari kalau-kalau Pandan Wangi ikut menjadi
korban.
“Tidak ada. Ke mana dia...?” dests Rangga.
“Ada apa, Kisanak?” tanya prajurit itu.
“Pandan Wangi. Dia tidak ada di antara mayat-mayat ini,” sahut
Rangga.
“Apakah kemungkinan dia ... dia diculik?”
“Apa...?! Keparat!”
Prak!
Prajurit itu terlonjak kaget ketika Rangga menghantamkan sebuah batu yang
ada di dekatnya hingga hancur berantakan. Wajahnya tampak menyiratkan
kegeraman yang memuncak.
“Tunjukkan padaku, di mana mereka berada,” pinta Rangga.
“Mereka...?”
“Kedua orang itu!” bentak Rangga kesal.
“Eh...! Me..., mereka pasti berada di dalam Hutan Dandaka,” sahut prajurit
itu dengan tubuh gemetar dan suara tercekat di tenggorokan.
“Mari kita berangkat,” ajak Rangga, sambil melompat ke punggung
kudanya.
“Ta... tapi...”
“Tapi apa? Apa kau akan mendiamkan saja semua ini terjadi? Sebagai seorang
prajurit sejati sudah selayaknya kau membela kebenaran. Mereka semua mati
demi menjalankan tugas. Lalu apa yang kau ragukan lagi? Ayo Ikut!”
“Di... di sana tempat tinggal Nini Towok.”
“Siapa Nini Towok?”
“Guru kedua buronan itu.”
“Huh! Siapa yang peduli padanya...?”
“Dia kejam dan berilmu sangat tinggi. A.... aku....”
“Hm.... Kau takut...? Nah, kau boleh pergi. Tapi, tunjukkan padaku letak
Hutan Dandaka dan di mana persisnya sarang mereka.”
“Eh! Hutan Dandaka berada di depan mata kita, Kisanak. Tapi sarang mereka
aku tidak tahu. Mungkin di dalam hutan itu.”
Rangga memandang ke depan. Tampak tidak jauh dari tempatnya berdiri, Rangga
melihat segerumbulan pepohonan besar yang lebat dan gelap. Pendekar Rajawali
Sakti mendesah pelan dan diam-diam menggerutu kesal. Hutan itu begitu luas,
dan tanpa petunjuk jelas. Mau tidak mau, dia harus menjelajahinya.
“Betul kau tidak mau ikut?”
“Eh! Aku..., harus melaporkan hal ini ke kerajaan,” sahut prajurit itu
menemukan alasan
“Baiklah. Kau boleh kembali dengan berjalan kaki,” kata Rangga.
“Berjalan kaki?” tanya prajurit itu terperanjat.
Jarak yang mereka tempuh dengan berkuda saja, sudah begitu jauh. Apalagi
sepanjang perjalanan tidak terlihat sedikit pun ada mata air. Tanah-tanah
retak dan pepohonan gundul. Dan dia kini harus berjalan di malam hari.
“Ya, berjalan kaki.” tegas Rangga.
Setelah berkata begitu, Rangga langsung saja memacu kudanya
kencang-kencang.
“Kisanak, tunggu dulu...! Aku ikut saja!” teriak prajurit itu.
Tapi Rangga sudah melesat jauh. Dan seandainya mendengar, Pendekar Rajawali
Sakti mana mau peduli lagi? Dia memang paling tidak suka pada orang penakut
yang hanya mementingkan keselamatan sendiri. Padahal jelas sekali kalau
tugas menangkap kedua buronan itu terletak di tangannya. Dan dia adalah
salah seorang prajurit di bawah pimpinan Panglima Sura Darma yang masih
tersisa.
***
Mencari sarang dua buronan yang sebenarnya telah tewas di hutan luas ini,
bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan Dewa Bayu tidak bisa membantu banyak, sebab
banyak sekali cabang serta ranting pohon rendah yang mengganggu perjalanan.
Sehingga tidak jarang Pendekar Rajawali Sakti harus turun, lalu memilih
berjalan kaki sambil menuntun kudanya.
Sudah sejauh ini Pendekar Rajawali Sakti berjalan, namun tidak terdengar
tanda-tanda akan terlihat sarang kedua buronan itu. Udara malam semakin
dingin. Dan kegelapan menyelimuti tempat itu. Malah Rangga harus mengerahkan
indera pendengarannya yang tajam untuk mengawasl keadaan sekitarnya.
“Hieeeh...!”
Mendadak saja, Dewa Bayu meringkik, Rangga menajamkan pendengarannya sambil
menepuknepuk leher kuda hitamnya. Memang, telinga Pendekar Rajawali Sakti
mendengar ribut-ribut seperti orang tengah bertarung.
“Ya! Aku juga mendengarnya, Dewa Bayu.” ujar Rangga sambil mengikuti sumber
suara yang didengarnya.
Tidak berapa lama Rangga berjalan, terlihat cahaya terang di ujung jalan.
Dan sambil mengendap-endap, Rangga segera menuju sebuah pertarungan yang
memang terjadi. Tampak seorang perempuan tua bertubuh kurus tengah
dikerubuti beberapa orang. Namun perempuan tua itu tampak tidak terdesak
sama sekali. Bahkan dari beberapa sosok mayat yang bergelimpangan di dekat
pertarungan, Rangga bisa menduga kalau perempuan tua itu berada di atas
angin. Diakah yang bernama Nini Towok?
“Hi hi hi…! Sudira! Sebentar lagi, kau dan anak buahmu akan mampus di
tanganku!”
“Kuntilanak keparat! Kau boleh berkata apa saja. Tapi, jangan harap kami
akan melepaskanmu!”
“Hi hi hi...! Boleh juga semangatmu, Sudira! Yeaaah...!”
Perempuan yang yang memang Nini Towok itu langsung melepaskan pukulan jarak
Jauh andalannya yang bernama pukulan 'Penghancur Tulang'. Sementara, Sudira
memang bisa menghindar. Namun....
Plak!
Plak!
“Akh...!”
Beberapa orang kontan memekik kesakitan dengan tubuh terhuyung-huyung
begitu terhantam pukulan jarak jauh Nini Towok. Dan mereka langsung ambruk
ke tanah dalam keadaan tubuh mengerikan. Sekujur kulit tubuh mereka hancur
menjadi kecil-kecil, itulah akibat menggiriskan dari pukulan maut yang
disertai aji 'Penghancur Tulang' yang dilancarkan Nini Towok.
“Perempuan iblis! Kau kira kami takut dengan ajianmu itu?! Huh...!” dengus
Sudira. kembali berniat melancarkan serangan lewat jurus andalannya.
“Hi hi hi..! Sudira! Kau goblok sekali berani mengandalkan pukulan tidak
berguna itu,” ejek Nini Towok sambil tertawa nyaring
“Yeaaah...!”
Sudira tidak mempedulikan ocehan perempuan tua itu. Disertai bentakan
nyaring, dilepaskannya pukulan-pukulan mautnya lewat Jurus 'Pukulan Kembang
Merah' berkekuatan tenaga dalam tinggi.
Pada saat yang bersamaan pula beberapa orang anak buah Sudira segera
menggabungkan kekuatan menjadi satu. Namun dengan gerakan lincah sekali.
Nini Towok berkelit menghindar. Bahkan kembali melepaskan pukulan jarak
jauhnya.
“Hiyaaat...!”
Nini Towok menyentakkan kedua tangannya ke depan. Maka seketika meluruk
secercah cahaya kuning dari kedua tangannya. Sinar kurang itu terus meluruk,
dan...
Pras!
“Aaa...!”
Kembali beberapa orang kontan terpekik dan ambruk di tanah terkena pukulan
jarak jauh yang dilancarkan perempuan tua itu. Mereka berkelojotan sesaat,
lalu diam tak berkutik lagi. Sudira menggeram sengit. Kini, jumlah mereka
tinggal bertiga. Dia tidak yakin, apakah mampu mengalahkan lawannya yang
tangguh ini.
“Kenapa, Sudira? Kau mulai takut setelah kehilangan anak buahmu...?” ejek
Nini Towok.
“Huh! Siapa yang takut menghadapimu? Aku akan mengadu jiwa denganmu, Nini
Towok!” dengus Sudira geram. Bersamaan dengan itu, Sudira bersiap-siap
melancarkan serangan. Kemudian sambil membentak nyaring, tubuhnya melesat
cepat ke arah lawan diikuti dua orang temannya.
“Hiyaaat..!”
“Hm.... Manusia-manusia tidak berguna! Kalian memang lebih baik mampus
saja!” dests perempuan tua itu dengan wajah menyiratkan kebengisan.
“Yeaaah...!”
Nini Towok kembali melepaskan pukulan jarak jauhnya, yang disusul
meluncurnya dua buah sinar berwarna kuning dari kedua tangannya yang
dihentakkan, tak ada yang tahu kalau Nini Towok melepaskan dua ajian
sekaligus. Aji Penghancur Tulang dan aji Kelabang Api. Maka...
Prak!
Plak!
“Aaah...!”
Kejadian itu cepat sekali. Dan tahu-tahu, terdengar keluh kesakitan dari
ketiga lawannya. Tubuh mereka langsung ambruk ke tanah tanpa nyawa lagi. Dua
orang kepalanya pecah terkena aji Penghancur Tulang. Sedangkan Sudira
sendiri hangus terbakar terkena hantaman pukulan jarak jauh yang disertai
aji Kelabang Api yang sangat dahsyat itu.
“Chuih! Orang-orang tidak berguna seperti kalian memang harus mati!” dengus
Nini Towok sambil meludah dan berkacak pinggang.
“Ya! Mereka memang layak mampus, seperti juga kau...!”
“Heh...?!”
Nini Towok tersentak kaget dan berbalik, ketika tiba-tiba ada yang
menyahuti ucapannya. Matanya jadi menyipit dan menyorot tajam ke arah
laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun berpakaian serba hitam yang sudah
berdiri di belakangnya. Wajah orang itu lebar dan hidungnya bulat. Rambutnya
panjang dan acak-acakan, seperti tak pernah diurus. Di lehernya terdapat
untaian kalung dari tengkorak kepala manusia. Dengan pedang besar di
pinggangnya, laki-laki itu tampak lebih menyeramkan. Apalagi saat mendengus
geram seperti saat ini.
“Bidara Condong! Ada maksud apa kau jauh-jauh datang ke tempatku ini?”
tanya Nini Towok dingin. saat mengenali orang yang baru datang itu.
“Untuk meminta kepalamu!”
“Hi hi hi..! Kau sekarang terlihat makin galak saja. Apalagi dalam keadaan
menggeram begitu. Mana rasa sayangmu yang dulu? Apakah sekarang kau tidak
menyayangiku lagi?” suara Nini Towok terdengar merdu merayu
Tapi laki-laki bernama Bidara Condong itu tidak tersenyum sedikit pun.
Bahkan di wajahnya terbias perasaan geram yang memuncak.
“Perempuan liar! Jangan kau sebut-sebut lagi soal itu. Tidak cukupkah kau
menewaskan kakakku?! Kau bujuk dan kau jerat dia, hingga kau berpaling
dariku. Kemudian setelah itu, dia kau jadikan korbanmu. Dan kini, kau
coba-coba merayuku. Phuih! Tua Bangka Keparat! Cobalah berkaca. Tubuhmu
sudah peot dan wajahmu telah berkeriput. Meskipun kau masih semuda dulu.
jangan harap bisa membujukku lagi. Apalagi dengan keadaanmu sekarang”
“Hi hi hi..! Sifatmu sejak dulu tak pernah berubah, Bidara. Kau tetap tegas
dan gagah. Tapi, kenapa baru sekarang kau menginginkan kematianku? Kenapa
tidak sejak dulu...?” sindir Nini Towok.
“Kalau dulu, itu kuanggap persoalan kalian. Lagi pula, aku masih sakit hati
pada Kakang Narasoma. Tapi kini, persoalan menjadi lain. Seorang anakku
diculik, saat aku tidak berada di rumah. Dan ketika kutahu kalau kedua
penculik itu muridmu, tahulah aku kalau kaulah penyebabnya! Kaulah yang
memerintahkan kedua muridmu untuk menculik anakku, sekadar pemuas nafsu
iblismu. Dan setelah itu, dengan seenak udelmu mayatnya kau buang begitu
saja. Hhh! Kau harus mampus, di tanganku, Perempuan Jahanam!” geram Bidara
Condong. Suaranya terdengar bergetar menahan geram. Malah giginya terlihat
bergemeretuk.
Setelah berkata begitu, Bidara Condong langsung mencabut pedangnya yang
besar. Langsung diserangnya perempuan tua ini. “Mampus kau!
Hiyaaat..!”
“Hup!”
Nini Towok cepat menghindar dengan gerakan lincah. Disadari betul kalau
lawannya kali ini bukanlah orang sembarangan. Bidara Condong memiliki tenaga
dalam kuat. Itu dapat terlihat dari angin serangannya yang menimbulkan
hantaman kuat. Bahkan mampu membuat lawan sedikit bergetar, meskipun tidak
mengenal sasaran.
Maka, Nini Towok merasa perlu berhati-hati menghadapinya. Dia tidak berani
mengadu tenaga secara langsung, kalau tidak ingin celaka. Sebab kalau
ternyata tenaga lawan lebih tinggi, dialah yang akan rugi. Tapi bila
dibandingkan Bidara Condong, ilmu meringankan tubuhnya lebih tinggi
setingkat. Sehingga, setiap serangan lawan mampu dihindari dengan
gesit.
“Hm. Setelah sekian lama, ternyata kemajuanmu sangat pesat. Perempuan
Keparat. Dan yang pasti, itu hasil perbuatan keji. Kau pandai menyerap semua
ilmu korban-korbanmu'“ kata Bidara Condong sambil menghentikan
serangannya.
“Hi hi hi... Kau sungguh bodoh, Bidara. Itu namanya kecerdikan! Bukan
licik.”
“Tapi bukan berarti kalau aku tidak mampu mengalahkanmu.”
“Hm. Kenapa banyak mulut? Kalau memang mampu, buktikanlah.”
“Apa susahnya? Buktinya kedua muridmu sudah mampus. Dan sekarang tinggal
kau sendirian.”
“Apa katamu...?!” tanya Nini Towok, kaget
“Kedua muridmu sudah mampus!”
“Bangsat! Kau yang membunuh mereka?”
“Sayang, hanya seekor bagianku.” sahut Bidara Condong kalem.
Bidara Condong berkata demikian dengan harapan perempuan tua ini akan
marah. Apalagi menggunakan sebutan seekor. Dan berarti sudah penghinaan yang
kelewatan sekali. Sementara, Nini Towok memang kelihatan marah sekali. Tapi
bukan karena makian kata-kata seekor itu, melainkan...
“Setan! Berani benar kau mendahului aku!”
Dan kini gantian Bidara Condong yang merasa terkejut. Guru macam apa
perempuan ini? Mendengar muridnya tewas dan disamakan dengan binatang, tapi
malah menjawab seperti itu. Seolah dia tidak rela kalau orang lain yang
menghukum kedua muridnya, karena memang bermaksud menghukumnya sendiri.
Bidara Condong jadi heran. Apakah di antara mereka memang tidak sejalan?
Bidara Condong buru-buru menepiskan pertanyaan terakhirnya. Dia tahu betul,
perempuan tua ini sangat licik.
“Yeaaah...!”
Kini terlihat, serangan Nini Towok semakin gencar dan hebat saja. Segenap
kecepatan geraknya dikerahkan untuk menghajar lawan. Akibatnya, Bidara
Condong jungkir balik dibuatnya. Bahkan dalam satu kesempatan dia nyaris
terkena hajaran perempuan tua itu kalau tidak buru-buru menjatuhkan diri ke
bawah.
Belum juga Bidara Condong bangkit, perempuan tua itu sudah menyusuli dengan
serangan selanjutnya. Maka sambil bergulingan. Bidara Condong buru-buru
melepaskan ajiannya yang bernama Klambang Mekar. Ajian mengandung hawa
dingin yang mampu membuat tubuh lawan membeku dan pembuluh darahnya pecah
itu ternyata dihadapi Nini Towok dengan pukulan jarak jauh Penghancur Tulang
disertai kekuatan penuh. Maka....
Glarrr...!
Sebuah ledakan dahsyat terdengar ketika dua ajian berbeda jenis itu beradu
pada satu titik. Kemudian....
“Akh!”
Bidara Condong tiba-tiba memekik kesakitan. Tubuhnya yang memang sudah
berada di tanah langsung terpental sambil memuntahkan darah segar. Bukan
saja karena pukulannya tidak mampu melukai lawan, tapi justru ajiannya
sendiri malah berbalik menyerangnya. Sambil menjerit-jerit kesakitan. Bidara
Condong menggelepar di tanah. Tapi, Nini Towok tidak memberi kesempatan
sedikit pun. Bahkan tubuhnya sudah melompat sambil berputar, dan kembali
menghantamkan pukulan mautnya.
“Yaaah...!“
Pratt
Bidara Condong tak bersambat lagi ketika tubuhnya remuk tak berbentuk.
Kulit tubuh dan tulang-tulangnya hancur dihantam pukulan maut lawannya.
Nyawanya kontan terlepas dari badan.
“Hhh! Pukulan maut yang hebat. Sayang, Bidara Condong sangat gegabah dan
menganggap enteng...”
Tiba-tiba terdengar suara bernada mengejek. Nini Towok melirik garang.
Memang sudah disadarinya kehadiran dua sosok tubuh itu, saat tadi bertarung
melawan Bidara Condong. Namun karena mereka tidak bertindak apa-apa, dia
mendiamkan begitu saja. Dan kini jelas bisa diketahui, siapa mereka.
“Dara Pincung dan Ageng Kunir! Mau apa kalian datang ke sini?” tanya Nini
Towok.
“Meminta pertanggungjawabanmu...!” Ki Ageng Kunir yang menyahuti
“Hm... Dan kau, Kakek Cebol?”
“Aku? Hm Aku hanya rindu saja padamu. Telah lama kita tidak bertemu.
Beginikah sikapmu pada kenalan lama...?”
“Huh, Cebol Licik! Kau pikir aku tidak tahu maksudmu dengan berpura-pura
baik begitu?!”
“Hm.... jadi. kau tahu maksudku yang sebenarnya? Baguslah...” sahut orang
tua bertubuh cebol itu.
“Bukankah kau ingin membalaskan sakit hatimu karena muridmu tergila-gila
padaku?” ejek Nini Towok sambil tersenyum sinis.
“Kau salah, Kuntilanak. Bukan dia, melainkan kaulah yang tergila-gila
padanya. Dan karena memang gila, kau perkosa dan kau bunuh bocah bau kencur
itu.”
“Hm... Siapa bilang dia bau kencur? Dia pemuda hebat yang luar
biasa.”
“He he he.. ! Dasar perempuan iblis, ya tetap iblis. Hari ini kau tidak
akan bisa lari lagi dari tanganku!”
“Hi hi hi..! Akan kulihat sampai di mana kehebatanmu, Tua Bangka
Cebol!”
***
DELAPAN
Ki Dara Pincung sudah bersiap membuka jurus. Namun....
“Sobat! Biar aku yang lebih dulu menghajar perempuan iblis ini,” cegah Ki
Ageng Kunir.
“Huh! Apa pedulinya...? Kau mau maju menggepruknya sekalian pun aku tidak
peduli. Yang jelas, dia musti mampus di tanganku!” sahut orang tua cebol itu
tanpa tedeng aling-aling lagi.
“Tapi, Sobat...”
“Heh! Kau ingin mengatakan itu tidak adil? Persetan dengan keadilan. Kalau
kau juga ikut menggepruk perempuan sial ini, silakan saja!”
Ki Ageng Kunir jadi ragu-ragu bergerak. Meskipun dia urakan, tapi masih
memegang peraturan pokok kalau mengeroyok lawan bukanlah perbuatan terpuji.
Tapi belum lagi orang tua cebol itu bergerak menyerang lawan, tiba-tiba saja
terdengar satu suara dari ambang pintu pondok gubuk Nini Towok.
“Kisanak, apakah tidak lebih baik kalau kita undi saja siapa yang lebih
berhak menggepruk perempuan itu...?”
“Siapa kau?!” bentak Ki Dara Pincung garang.
Tampaklah seorang pemuda tampan berambut panjang. Bajunya rompi berwarna
putih. Di punggungnya tersampir sebuah gagang pedang berbentuk kepala
burung. Dan di sebelahnya, terlihat seorang gadis cantik berbaju biru muda.
Dia memang Pendekar Rajawali Sakti bersama Pandan Wangi.
Memang, ketika Nini Towok tengah bertarung malawan Sudira, diam-diam Rangga
mendatangi pondok yang dilihatnya. Pendekar Rajawali Sakti memang curiga
terhadap pondok itu, dan langsung memeriksanya. Ternyata di situ dia
mendapatkan Pandan Wangi dalam keadaan terikat dan tertotok di tiang. Maka
langsung dibebaskannya gadis itu.
Nini Towok yang melihat, mendadak saja wajahnya jadi kelihatan geram. Dan
buru-buru tangannya berkacak pinggang sambil melotot garang. “Bocah sial!
Jadi kaukah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti..?!” tanya Nini
Towok.
“Begitulah orang-orang memanggilku.” sahut pemuda berbaju rompi putih itu,
merendah.
“Bagus. Akhirnya kau datang juga. Tapi sungguh gegabah perbuatanmu dengan
melepaskan tawananku. Maka, kaulah yang akan menggantikannya sekarang juga!”
sambung Nini Towok sambil melompat menyerang pemuda itu.
“Sial! Kau pikir aku ini apa, heh...?!” bentak Ki Dara Pincung tiba-tiba,
merasa tidak dipedulikan perempuan tua itu.
Tidak peduli kalau saat ini Nini Towok tengah menyerang Pendekar Rajawali
Sakti, langsung diserangnya perempuan tua itu dengan gencar. Akibatnya,
perhatian Nini Towok jadi terpecah menjadi dua. Dan hal itu tidak bisa
diabaikan begitu saja. Apalagi Ki Dara Pincung adalah tokoh tersohor yang
memiliki kepandaian tinggi.
Dulu saja, kepandaiannya sudah sedemikian tinggi. Entah saat ini. Dan
sifatnya yang ugal-ugalan, sering membuat Nini Towok keteter. Dia memang
tidak peduli sopan santun segala macam. Maka begitu dianggap remeh, tidak
menyambut tantangannya, langsung dihajarnya perempuan tua itu
habis-habisan.
Akan halnya Pendekar Rajawati Sakti, dia langsung menghentikan serangannya
ketika Ki Dara Pincung ikut membantu. Padahal hatinya geram dan amarahnya
memuncak karena perlakuan kedua murid perempuan tua itu terhadap Pandan
Wangi. Dan Pendekar Rajawali Sakti hanya menunggu kesempatan saja, bila Nini
Towok tak bisa dikalahkan.
Berkali-kali Nini Towok dibuat jatuh bangun oleh serangan Ki Dara Pincung
yang berkepandaian tinggi. Laki-laki cebol itu tidak memberi kesempatan
sedikit pun. Namun sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi. Nini Towok
masih mampu membebaskan dari tekanan lawan. Tubuhnya tiba-tiba melenting ke
atas dan berputaran beberapa kali. Kemudian tubuhnya meluruk turun dan
mendarat manis di tanah, langsung memasang kuda-kuda. Ditatapnya tajam-tajam
Ki Dara Pincung dalam jarak dua tombak.
“Mau memamerkan pukulan mautmu itu, heh...?!” ejek Ki Dara Pincung, ketika
Nini Towok hendak melepaskan pukulan Penghancur Tulang yang sangat
dibanggakannya. Rupanya laki-laki cebol itu sudah bisa membaca gerakan
lawan.
“Hih!” Nini Towok tidak mempedulikan ejekan Ki Dara Pincung. Kedua telapak
tangannya yang terbuka, cepat dihentakkan ke depan. Maka seketika meluruk
cepat secercah sinar kuning dari kedua telapak tangannya, ke arah laki-laki
cebol itu.
“Uts!” Namun dengan manis sekali, Ki Dara Pincung menghindar. Lalu langsung
dibalasnya serangan itu dengan pukulan maut yang mengeluarkan cahaya
kebiru-biruan bagai nyala api hendak menyambar.
Werrr!
Glarrr!
Sebuah ledakan dahsyat terdengar begitu dua buah sinar beradu pada satu
titik. Nini Towok terperanjat kaget ketika tubuhnya terjajar beberapa
langkah. Ajian lawan memang nyaris membuatnya tewas. Untung saja tenaga
dalamnya sudah cukup tinggi. Namun saat itu juga tubuh Ki Dara Pincung
terjengkang ke belakang dengan mulut meringis. Rupanya tenaga dalamnya kalah
sedikit di banding Nini Towok.
“Ayo, hadapi aku lagi. Perempuan jalang!” bentak Ki Dara Pincung, begitu
berhasil menguasai keseimbangannya.
“Cebol keparat! Kau akan mampus di tanganku!” bentak Nini Towok geram,
setelah berhasil mengatur jalan napasnya.
“Jangan banyak bicara! Ayo, buktikan...!” sambut Ki Dara Pincung tidak
kalah garangnya.
“Yeaaah...!”
Orang tua cebol itu tersentak kaget ketika Nini Towok kembali gencar
menyerang. Agaknya, Nini Towok menyadari kalau sudah dikelilingi lawan-lawan
tangguh yang siap menunggu giliran. Maka tanpa membuang-buang kesempatan
lagi, seluruh kemampuan yang dimiliki dikerahkan untuk menekan
habis-habisan. Sehingga tidak heran kalau dalam beberapa saat saja, Ki Dara
Pincung mulai terdesak hebat. Dan ketika Nini Towok mengibaskan tangan yang
mengancam kepala. Ki Dara Pincung cepat memapaknya.
Plak!
Namun, Ki Dara Pincung salah perhitungan. Dikira sehabis mengibaskan
tangan, Nini Towok akan melepaskan tendangan setengah lingkaran.
Ternyata....
Des!
“Aaakh...!”
Ki Dara Pincung menjerit kesakitan begitu satu pukulan Nini Towok telak
menghantam dadanya, sehingga membuatnya terjungkal. Rupanya bukan tendangan
yang hendak dilancarkan Nini Towok, tapi sebuah sodokan tangan kiri yang
dilepaskan sambil berputar. Untung saja, dia masih sempat membuat beberapa
lompatan. Tapi, Nini Towok sudah mengejarnya dengan serangan susulan.
Terpaksa Ki Dara Pincung bergulingan untuk menyelamatkan selembar
nyawanya.
“Yeaaah...!”
Ki Dara Pincung terus bergulingan, tanpa mempunyai kesempatan membalas.
Pada saat yang sama, Nini Towok terus melancarkan pukulan jarak jauh dengan
tenaga dalam penuh. Selarik sinar kuning terus meluruk cepat secara beruntun
memburu tubuh Ki Dara Pincung. Namun tokoh tua bertubuh cebol itu memang
bukan tokoh kemarin sore. Maka dengan gerakan mengagumkan, tubuhnya
melenting ke atas, ketika Nini Towok baru saja melepaskan pukulan lewat aji
Penghancur Tulang.
Namun baru saja kakinya mendarat, kembali secercah cahaya kuning meluncur
deras ke arahnya. Tak ada kesempatan bagi Ki Dara Pincung untuk menghindar,
kecuali memapaknya. Maka...
Cras!
Glarrr!
Seketika terdengar ledakan berdentam dahsyat begitu kedua pukulan andalan
mereka beradu. Tak lama kemudian, terdengar jeritan pendek salah seorang di
antara mereka. Mereka tampak sama-sama terlempar ke belakang.
Namun, nasib malang menimpa Ki Dara Pincung. Dia tewas seketika dengan
tubuh hancur dan berceceran di tanah. Sementara, Nini Towok sendiri mendapat
luka cukup parah. Dari mulutnya darah tidak henti-hentinya mengalir. Bola
matanya yang sayu diusahakan untuk segera menatap tajam ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Tubuhnya yang terlempar dan limbung ketika adu kesaktian
terjadi, diusahakan untuk berdiri tegak.
“Apakah kau ingin membalaskan sakit hatimu? Silakan. Aku sudah siap,”
tantang perempuan tua itu dengan suara bergetar.
Rangga tersenyum pahit melihat keadaan lawannya. Di satu pihak,
kejengkelannya belum terobati. Namun di pihak lain, dia tidak mungkin
berhadapan dengan lawan yang sudah tidak berdaya. Bagaimana mungkin Pendekar
Rajawali Sakti bisa membunuh lawan dalam keadaan demikian...?
“Ayo! Apa kau takut menghadapiku...? Huh! Tidak kusangka ternyata Pendekar
Rajawali Sakti hanya julukan kosong belaka. Kau tidak lebih dari seorang
pengecut!” teriak Nini Towok dengan suara parau dan diapaksakan untuk tetap
tegar.
“Nini Towok! Kau bukanlah lawanku.” sahut Rangga pelan.
“Chiuhhh! Omong kosong! Itu hanya untuk menutupi kepengecutanmu! Ayo! Cabut
pedangmu, dan hadapi aku!” bentak Nini Towok keras sambil meludah.
Rangga hanya menggeleng lemah dan berbalik sambil menggandeng Pandan Wangi.
Mereka berjalan pelan meninggalkan tempat itu.
“Bocah sial! Apa kau pikir aku tidak mampu menghadapimu? Huh! Terimalah
kematianmu...!” bentak Nini Towok sambil melompat bermaksud menyerang. Tapi
di tengah jalan, malah tubuh Nini Towok sendiri yang terhempas sambil
memuntahkan darah segar.
“Hoeeekh!”
Rangga memandang sekilas, kemudian melihat Ki Ageng Kunir juga tidak
bertindak apa-apa. Bisa dirasakan kalau orang tua itu juga mempunyai dendam
yang hebat pada Nini Towok. Tapi, dia berusaha menahan diri karena melihat
keadaan lawan yang sudah terluka dalam yang amat parah.
“Keparat! Ayo lawan aku! Lawan aku!” jerit Nini Towok keras-keras dengan
sesekali memuntahkan darah kental.
Agaknya perempuan tua itu merasa tersinggung betul, karena dianggap rendah
oleh Pendekar Rajawali Sakti yang tidak meladeni bertarung dan
meninggalkannya begitu saja. Dan hal itu sudah merupakan penghinaan yang
hebat dirasakan Nini Towok. Dalam kemarahan dan jengkel, luka dalam yang
dideritanya semakin bertambah parah saja.
Sementara itu, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Wajahnya
segera dipalingkan pada perempuan tua itu. “Nini Towok! Tanpa bertarung
denganku pun, nyawamu sudah tidak akan tertolong lagi. Perbuatanmu sungguh
keji dan nista. Jadi, sudah sepatutnya kau menerima siksaan seperti ini.
Membunuhmu lebih cepat hanya akan meringankan penderitaanmu saja. Dan kau
memang harus merasakan sakitnya dosa yang sudah kau perbuat selama ini,”
kata Rangga kalem, seraya berbalik bersama Pandan Wangi.
“Ke..., keparat! Keparat kau ! Hoeeekh!”
Tanpa diketahui Rangga dan Pandan Wangi, sebuah bayangan berkelebat ke arah
Nini Towok. Lalu....
Bles!
“Aaa..!”
“Heh?!”
“Tidak baik membiarkan penderitaan orang yang sedang sekarat...” gumam Ki
Ageng Kunir sambil mencabut pedangnya dari tubuh Nini Towok. Rupanya orang
tua itu tidak sampai hati membiarkan Nini Towok tersiksa di ambang
kematiannya. Kemudian, Ki Ageng Kunir memberi salam penghormatan dan
langsung meninggalkan tempat itu.
Rangga hanya menggeleng saja begitu menyadari apa yang dilakukan orang tua
itu. Memang, tanpa basa-basi lagi dia tadi langsung menghunjamkan pedangnya
ke punggung kin Nini Towok, dan tepat menembus jantung. Kini Nini Towok
sudah terbebas dari siksaan. Tubuhnya yang sejak tadi tertelungkup, diam
tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
“Kakang, tindakan orang tua itu kejam sekali,” desks Pandan Wangi.
“Kenapa? Kau tidak setuju?'' tanya Rangga,
“Nini Towok bukan binatang”
“Berarti kau membelanya? Padahal, dia sudah menahanmu.”
“Sebelum semuanya tiba di sini, dia bercerita mengenai kepahitan hidup yang
dialami. Hatiku tersentuh. Aku menduga, pastilah segala kejahatan yang
dilakukannya sekadar pelampiasan hidupnya yang selama ini tidak pernah
bahagia.”
“Nini Towok itu seorang penjahat licik. Dan lebih dari itu, sifatnya aneh
dan menjijikkan. Orang seperti itu tidak layak dipercaya,” sergah
Rangga.
“Tapi aku menganggap kesungguhan di wajahnya saat menuturkan ceritanya,
Kakang.”
“Orang seperti itu memang pandai bersandiwara. Apa anehnya...?”
“Aku juga mengerti itu, Kakang. Tapi sepintar-pintarnya orang berbicara,
sinar matanya justru akan berbicara lain. Dan aku wanita, sama seperti
dirinya. Bisa kurasakan, apa yang diceritakannya padaku,” Pandan Wangi tetap
membela pendapatnya.
“Sudahlah, Pandan. Tidak baik membicarakan orang yang telah mati,
kan...?”
“Aku hanya tidak menyetujui cara orang tua itu tadi.”
“Lalu, apa itu berarti kau setuju dengan caraku?”
“Membiarkan keadaannya tersiksa begitu, padahal kita tahu kalau usianya
tidak akan bertahan lama? Hm itu tindakan yang lebih kejam lagi.” sahut
Pandan Wangi.
“Lalu apa yang kau inginkan? Membiarkannya hidup dan membuat kerusuhan di
mana-mana?”
“Ya, tidak...”
“Lalu?”
“Mestinya ada cara lain untuk menyadarkan perbuatannya.”
“Berarti kau tidak pernah mendengar cerita tentang kehidupannya. Nini Towok
itu sudah pernah membuat kekacauan beberapa puluh tahun lalu, sehingga
diserbu banyak tokoh persilatan. Sampai akhirnya, dia melarikan diri. Dalam
pelarian, seharusnya dia bertobat. Tapi, ternyata tidak. Bahkan malah
berusaha bangkit lagi dan mendidik dua orang murid yang sama bejatnya. Nah!
Orang seperti itukah yang diharapkan bisa sadar dan bertobat...?”
“Iya, iya… Kau memang selalu tidak mau kalah kalau bicara denganku,” sungut
Pandan Wangi.
“Selagi bicaramu tidak benar, masak aku mesti mengalah.”
“Dasar mau menang sendiri!” Pandan Wangi meninju pundak kekasihnya.
Tapi Rangga cepat menangkap, dan menariknya. Dalam sekejap saja gadis itu
sudah berada dalam dekapannya.
“Dasar jahil!” dengus Pandan Wangi sambil melepaskan pelukan Pendekar
Rajawali Sakti.
Rangga hanya terkekeh saja. Kemudian, dia bersuit kecil. Tidak berapa lana
terlihat seekor kuda hitam yang tadi disembunyikan di tempat yang agak jauh
datang menghampiri.
“Ayo, cepat kita tinggalkan tempat ini. Kita cari kudamu, Pandan.” ajak
Rangga.
“Astaga…! Aku baru ingat. Si Putih ke mana, Kakang?”
“Nanti kita cari sama-sama. Nanti juga ketemu. Aku yakin Dewa Bayu bisa
mendapatkan si Putih untukmu lagi,” sahut Rangga.
Tidak berapa lama, kuda hitam Dewa Bayu sudah berpacu membawa kedua
pendekar muda itu. Larinya demikian kencang bagaikan angin. Pandan Wangi
memeluk erat-erat pinggang Pendekar Rajawali Sakti, bila tidak ingin
terlempar jatuh.
“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon