1
Di suatu pagi yang cerah matahari mulai memancarkan sinar keemasannya
menyinari alam sekitarnya. Angin berhembus sepoi-sepoi basah menambah sejuk
udara yang dihirup oleh makhluk-makhluk yang ada di permukaan bumi ini.
Udara yang begitu segar jauh dari polusi.
Nun jauh di sana di kaki gunung Ciremai, di mana mata memandang terlihat
pemandangan yang sangat indah. Para petani begitu asyiknya mencangkul
tanahnya di sawah. Padi-padi yang hijau maupun yang telah menguning dengan
latar belakang Ciremai yang menjulang kokoh ke angkasa raya menambahkan
keindahan alam sekitarnya.
Pemandangan yang begitu indah dan tertata rapi itu seperti goresan lukisan
yang begitu indah dari sang Pencipta. Puncaknya yang perkasa menembus
cakrawala dengan awan bergumpal-gumpal di udara laksana kapas raksasa
mengambang.
Di sana Ciremai berdiri tegak membiru dalam kebisuannya. Semakin kita
telusuri ke dalam, terlihatlah di atas tebing-tebing terjal di sebelah
Utara, suatu benda bergerak merayap, perlahan tapi pasti.
Benda itu sangat kecil bila dibandingkan dengan alam di sekitarnya.
Batu-batu cadas yang besar begitu besar bila dibandingkan dengan benda
tersebut.
Gerakannya seolah-olah ingin menaklukkan gunung perkasa itu dengan jalan
merayap ke puncaknya. Ternyata benda yang sedang merayap naik itu adalah
seorang manusia. Sesosok tubuh manusia berpakaian seperti seorang pendekar
silat dengan ikat kepala yang berwarna sama dengan kain yang melilit di
pinggangnya.
Setiap kali kakinya menginjak tebing, maka setiap kali pula batu-batu
kerikil berguguran ke dasar jurang yang sangat dalam. Apakah sebenarnya yang
mendorong semangatnya untuk bertarung melawan keterjalan lereng gunung
itu?
Barangkali saja apabila ia tergelincir sedikit saja, maka tubuhnya akan
melayang ke dasar jurang nun jauh di bawah sana. Tidak terbayangkan
bagaimana jadinya, sementara batu yang berjatuhan saja hancur di bawah sana,
apalagi tubuh manusia.
Sambil terus merayap, sesekali tampak ia mengusap peluh di tubuhnya.
Manusia itu terus merayap dengan penuh perhitungan.
Selang beberapa saat ia telah sampai di puncak tebing itu. Tampak kemudian
ia mengangkat tangannya seperti sedang mengucapkan syukur kehadirannya atas
keselamatannya sampai di tempat tersebut.
Manusia itu lalu menengok ke bawah sana di mana terlihat sungai-sungai yang
berliuk-liuk seperti seekor naga yang sedang menari, menggeliat lincah ke
sana ke mari dengan airnya yang jernih. Di kejauhan, horison melengkung
menggambarkan langit yang seperti sedang berpelukan dengan bumi bak sepasang
suami istri yang sedang berkasihan.
“Sungguh menakjubkan! Oh……. Yang Maha Pencipta, betapa indah alam yang Kau
ciptakan ini. Semua yang ada di sini adalah untuk umat-Mu. Sungguh Engkau
Maha Pemurah,” gumam orang itu sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
Setelah puas memandang, ia lalu menyandarkan tubuhnya ke sebuah batu besar
untuk beristirahat. Mendadak ia seperti teringat akan sesuatu.
Diambilnya sebuah suling dari bambu itu, maka mengalunlah sebuah irama yang
melantunkan bayangan kerinduan sebuah hati di antara tebing-tebing cadas
yang menyeramkan itu
“Tutuliliut...... Tetiutiut……. tuiiii……....”
“Kasih yang jauh di sana,
Aku selalu terbayang-bayang,
Di kala tidur maupun terjaga,
Engkau selalu hadir sayang........”
Dalam kesendiriannya di puncak tebing itu, tak seorang pun menemaninya,
kecuali seruling bambu satu-satunya yang merupakan pelipur duka hati manusia
tersebut. Siapakah orang itu? Wajahnya begitu simpatik dengan pakaian
bersahaja yang mencerminkan kesederhanaan jiwanya pula.
Dia tak lain adalah Parmin alias si Jaka Sembung! Pendekar dari gunung
Sembung yang terkenal.
Ketika lelahnya telah berkurang banyak dan tenaganya mulai pulih kembali,
tampak Parmin berdiri dan kembali melanjutkan perjalanannya merayapi tebing
Ciremai. Seorang diri ia kembali menanjaki tebing demi tebing untuk mencapai
puncak Ciremai yang sesungguhnya.
Keesokan harinya ketika matahari mulai bergenit kembali dengan sinarnya
yang terang, Parmin telah sampai di sebuah dataran yang dikelilingi
pohon-pohon rindang. Udara sangat sejuk dan nyaman terasa di kulit.
Parmin terus melangkah. Matanya berkeliling mencari sesuatu. Tiba-tiba
langkahnya terhenti dan pandangan matanya tertumbuk pada suatu tempat.
Tempat tersebut sangat bersih dan rapi, seolah-olah ada tangan yang
mengurus dan mengaturnya. Sungguh unik dan fantastis sekali keadaannya.
Sembilan buah batu berkeliling membentuk garis oval, tersusun rapi seperti
diatur untuk mengadakan suatu pertemuan.
“Inikah tempat yang dikatakan guru? Tempat Wali Sanga bermusyawarah?” gumam
Parmin dalam hati.
Pandangan matanya lalu tertuju pada sebuah batu besar di sebelah kanannya.
Parmin lalu mendekati batu besar tersebut. Terlihatlah beberapa baris
tulisan dalam huruf Arab Jawi yang menerangkan nama beberapa orang.
Sunan Gunung Jati pada baris pertama! Sunan Kalijaga pada baris kedua.
Demikian seterusnya sampai jumlah nama tersebut mencapai sembilan
orang.
Waktu pun tak terasa lagi oleh Parmin. Ternyata matahari telah tepat berada
di atas ubun-ubunnya. Parmin lalu segera bergegas melakukan salah satu
kewajiban rukun Islam, yaitu melakukan shalat Dzuhur. Ia segera bertayamum
karena tak ada sumber air di sekitar situ, dan segera melaksanakan
niatnya.
Ketika Parmin telah mencapai tahap akhir shalatnya, tepat di bagian
Tahyatul Akhir, indranya menangkap sesuatu yang tidak beres di sekitarnya.
Tepat ketika ia mengucapkan salam pertama menjelang salam kedua, telinganya
yang sangat terlatih mendengar suara kaki bergeser dengan halus dan mendekat
ke arahnya.
Tiba-tiba secara refleks tubuhnya meletik ke udara bagaikan seekor belalang
ketika empat buah senjata rahasia dengan kilatan cahaya berwarna hijau
meluncur dengan deras ke arahnya.
“Ser...! Seerrrr...! Siuuut...!”
Serangan yang tiba-tiba itu dapat dihindari Parmin dengan manis, namun
belum sempat kakinya menginjak tanah kembali, ia harus jungkir balik lagi
untuk menghindari serangan kedua.
“Hiiiihhh...!”
“Tep!”
Sambil berjungkir balik itu Parmin berhasil menangkap salah satu senjata
rahasia itu dan melontarkannya kembali ke si pemilik yang menyerangnya
secara gelap itu. Parmin berusaha untuk mendarat kembali di tanah setelah
melemparkan senjata rahasia tersebut sebagai serangan balasan. Namun sebelum
kakinya mencapai tanah, kembali seberkas sinar merah menyergap ke
arahnya.
“Wuuussss....... Duaarrr…....!”
Sinar itu meledak di udara dan mengeluarkan asap berwarna hitam
merah.
Senjata rahasia yang tadi dilemparkan Parmin secara jitu berhasil memukul
senjata berupa sinar merah tersebut di tengah jalan. Kembali Parmin terpaksa
berjumpalitan beberapa kali untuk menghindari serangan dan menjaga
kemungkinan serangan berikutnya.
Bersamaan dengan itu melayanglah sesosok tubuh dengan dua bilah pedang di
tangan yang langsung menyerbu ke arah Parmin. Jaka Sembung melompat beberapa
kali ke belakang dan memandang dengan mata membelalak melihat keberingasan
orang menyerbu ke arahnya karena ia merasa tak mengenali siapa penyerangnya
itu.
“Tunggu dulu! Siapakah gerangan anda dan kenapa tiba-tiba anda
menyerangku?” bentak Parmin sambil terus bersiaga terhadap serangan
berikutnya yang sewaktu-waktu menyusul.
Belum habis keheranan Parmin atas serangan bertubi-tubi terhadap dirinya
itu, kini di hadapannya telah muncul seorang dara manis berpakaian ala
pendekar dari daratan Tiongkok. Rambutnya diikat dengan pita merah yang
membelah rambut itu menjadi dua bagian. Pakaian berwarna merah membungkus
ketat tubuh langsing namun berisi dara tersebut.
Seperti kilat, dara itu kembali menyerang bagian-bagian tertentu dari tubuh
Parmin dengan dua buah pedangnya yang dimainkan sekaligus. Sekalipun begitu
berbahaya, namun gerakannya begitu indah dipandang mata seperti sebuah
tarian ballet yang menakjubkan.
Semula Parmin agak kerepotan menghindarinya. Bukanlah Jaka Sembung namanya
kalau tak segera menguasai keadaan. Dengan segera ia dapat membaca
gerakan-gerakan lawan, dan dengan cekatan pula ia dapat menghindar sambil
sesekali melancarkan serangan gertakan terhadap lawan.
“Hmm, gadis asing ini sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk bicara
dengannya,” gumam Parmin dalam hati sambil terus menghindar. “Apakah aku
harus terus menghindar?” tanyanya lagi dalam hati. Di suatu kesempatan yang
baik Parmin melancarkan sebuah serangan balasan.
“Traangg...!” Dua buah senjata beradu sampai mengeluarkan percikan
api.
“Au...!” Si dara berteriak kesakitan lalu melompat ke belakang sambil
memegangi kedua telapak tangannya yang terasa kesakitan sewaktu senjatanya
kena dihantam oleh Jaka Sembung. Bibirnya menyeringai menahan sakit karena
rasa panas di kedua telapak tangannya.
Dengan suatu gerakan manis, Parmin kembali melompat ke udara untuk
menangkap dua bilah pedang yang terlempar dari tangan gadis tersebut, ia
lalu menyerahkan pedang itu kepada pemiliknya.
Tanpa diduganya sama sekali, dara itu justru menyerangnya dengan sebuah
tendangan lurus ke arah ulu hati Parmin.
Dengan sedikit egoskan pinggangnya, Parmin kembali lolos dari serangan yang
dilakukan dari jarak dekat itu.
“Tunggu, nona beri aku kesempatan bicara!” teriak Parmin sambil bersiaga
ketika dilihatnya si dara bersiap menyerangnya lagi.
“Minggirlah Ling Pei! Dia memang bukan tandinganmu!” sebuah suara keras
dari belakang Parmin telah mengejutkannya.
Dara itu segera mundur ke belakang dengan pedang tetap terhunus siap
menyerangnya sewaktu-waktu.
Parmin menoleh ke belakang dengan penuh tanda tanya di kepalanya, ia geser
letak kaki kanannya ke samping untuk berjaga-jaga terhadap serangan dari dua
arah.
“Heh, siapakah anda?” tanya Parmin dengan nada terkejut karena datangnya
orang tersebut. Keningnya berkerut mengingat-ingat siapakah orang yang baru
datang tersebut.
“Hmm, kalau tidak salah, bukankah kau si Dewa Suci Penyebar Bala dari
Tiongkok itu?” sergah Parmin masih bertanya-tanya, ia khawatir dugaannya
keliru dan ia salah mengenali orang.
Orang yang diajak bicara itu bertengger di atas sebuah batu besar dengan
kaki terbuka dan terpentang lebar sambil bertolak pinggang. Pakaiannya
tampak seperti pakaian pendekar dari daratan Tiongkok. Tubuhnya gemuk pendek
dengan kepala plontos yang ikut bergoyang-goyang sewaktu tertawa.
“Ha ha ha...! Ha ha ha... Betul! Bettuuull... Agaknya ingatanmu masih cukup
baik, haiyaa...!” katanya dengan aksen Cina yang kental. “Dunia belum
kiamat, dan secara kebetulan kita bertemu lagi di tempat yang jauh dan sunyi
ini. haiyyya........” sambungnya lagi.
Dengan wajah serius, Parmin memperhatikan sikap di Dewa Suci Penyebar Bala
yang terus saja berbicara.
“Tentu anda masih ingat perhitungan kita beberapa waktu yang lalu di desa
Kandang Haur! Setahun sudah cukup bagi Dewa Suci untuk memperdalam
ilmunya.
“Demi nama leluhurku, akan kubuktikan bahwa ilmu silat kami lebih unggul
dibanding orang-orang di tanah Jawa ini. Kami akan menebus kembali kekalahan
yang pernah dialami oleh nenek moyang kami, Sam Poo Toa Lang yang gugur di
tanah Jawa beberapa waktu berselang!”
Nama Sam Poo Toa Lang yang baru saja disebut si Dewa Suci Penyebar Bala
adalah seorang pendekar pengembara Tiongkok yang legendaris. Ia pernah
datang ke tanah Jawa dan kemudian dikenal dengan nama Dampo Awang. Niatnya
adalah hendak menguasai tanah Jawa, namun berhasil dikalahkan oleh para
pendekar di tanah Jawa.
Sam Poo Toa Lang mengira ilmunya tak mungkin dikalahkan oleh
pendekar-pendekar pribumi, namun ternyata ia salah perhitungan. Karena
kegagalannya itulah, maka Dewa Suci Penyebar Bala lantas berusaha menebus
kekalahan yang merupakan legenda tersebut.
“Dewa Suci! Bangsa kami adalah bangsa yang cinta damai, tetapi juga lebih
mencintai kemerdekaan,” Parmin berkilah.
“Nenek moyangmu datang ke tanah Jawa dengan maksud menguasai dan menjajah
kami, maka sudah kewajiban pula bagi kami untuk menumpasnya!” sahut Parmin
kembali sambil berusaha menekan emosi di dadanya mendengar kesombongan
lawan.
Dewa Suci Penyebar Bala yang berwajah bundar dengan mata sipit tersembunyi
di antara pipinya yang tembem dan hidung yang pesek terus tertawa. Matanya
yang sipit itu kelihatan seperti orang tertidur.
“Ha ha ha...! Ha ha ha...! Bangsamu adalah bangsa yang suka merendah dalam
berkata-kata, tetapi di balik kata-kata halus itu tersembunyi senjata tajam
yang mematikan lawan. Sudahlah, kita tak perlu banyak bicara lagi. Mari kita
buktikan siapa yang lebih unggul!” lantang Dewa Suci sambil menyunggingkan
senyum sinis.
Bersamaan dengan selesainya kata-katanya. Dewa Suci melesat seperti
gumpalan batu yang melesat dari kawah gunung berapi yang sedang meletus.
Tubuh si Dewa Suci langsung menyergap Parmin yang telah siap siaga sejak
tadi.
“Haiiiayaaat...!” bentaknya mengguntur.
“Hup!” Parmin telah bersiap dengan tenaga dalamnya.
“Gedebruuuk...!”
Terdengar suara benturan yang cukup keras. Tubuh Parmin yang kekar
terpental jauh ke belakang menghantam sebuah batu besar di belakangnya. Batu
besar itu hancur berkeping-keping, Parmin meringis menahan rasa sakit di
sekujur tubuhnya. Dalam segebrakan tadi Parmin telah dapat mengukur tenaga
dalam lawannya.
Sengaja ia hanya menerima serangan, dan dengan demikian diketahuinya bahwa
kepandaian lawan telah jauh meningkat dibanding setahun lalu ketika keduanya
bentrok di Kandang Haur, sewaktu Parmin berusaha menyelamatkan Bajing Ireng
dari cengkeraman pendekar Tiongkok itu.
“Hebat juga tenaga dalam si botak ini,” gumam Parmin dalam hatinya. Ia
segera bangkit memusatkan konsentrasi. Tangannya menyilang di depan dada,
kaki kirinya digeser ke depan sedikit.
Kuda-kuda yang kokoh itu disertai tatapan matanya yang tajam menatap setiap
gerakan Dewa Suci. Kedua orang perkasa itu melangkah perlahan melingkar
dengan posisi kuda-kuda yang berbeda. Masing-masing berusaha mengukur gerak
tipu dan tenaga dalam lawannya.
Tiba-tiba dengan teriakan keras yang merobek kesunyian di tempat itu,
keduanya meloncat bersamaan.
“Heaaat...!”
“Ciaatt...!”
Bentrokan tenaga dalam terjadi di udara. Parmin menyalurkan hawa panas ke
tangannya. Demikian pula yang dilakukan oleh Dewa Suci Penyebar Bala. Bahkan
tak kalah hebat, tangannya sampai mengeluarkan asap berwarna putih.
“Braaakkk...!”
Keduanya terpental jauh ke belakang. Tubuh Parmin jatuh berdebam menimpa
tanah, persis seperti nangka matang yang jatuh dari atas pohon.
“Weesss...”
Rumput di tanah yang tertimpa tubuh Parmin langsung menghitam hangus karena
dahsyatnya pengaruh pukulan Dewa Suci Penyebar Bala. Sementara itu tubuh
Dewa Suci pun terpental jauh sampai menerobos semak-semak di belakangnya dan
kemudian berhenti ketika sebuah pohon sebesar dua pelukan orang dewasa
menahannya.
“Krosssaaakkk... Bukk!”
Dewa Suci Penyebar Bala merasakan dada dan punggungnya sesak dan remuk,
kepalanya berkunang-kunang. Pendekar Tiongkok itu segera bersila menghimpun
pernafasannya untuk mengusir rasa sakit tersebut.
Parmin berusaha untuk bangkit kembali dari jatuhnya dan bersiap memasang
kuda-kuda. Ketika ia berdiri, dirasakannya perutnya seolah akan meledak.
Rasa mual berontak ke atas. Parmin merasakan hal yang tidak beres, ia pun
segera bersila mengheningkan nafas untuk memusatkan tenaganya.
Perlahan Parmin mulai mempersiapkan jurus Wahyu Taqwa yang menjadi
andalannya. Sebuah jurus maut dari ilmu silat gunung Sembung ciptaan Ki Sapu
Angin guru si Jaka Sembung. Jurus itu hanya dipergunakan Parmin pada
saat-saat terdesak.
Kakinya terpentang lebar membuat kuda-kuda. Tangan kirinya ditekuk sedikit
di depan dada sedang tangan kanannya sejajar dengan daun telinga sebelah
kanan.
Melihat hal itu, tahulah Dewa Suci Penyebar Bala bahwa lawan tengah
menyiapkan sebuah ilmu andalan, ia pun segera memasang kuda-kuda dengan kaki
membentang, kedua tangannya terangkat sebatas muka dengan jari-jari
terpentang seolah akan menerkam. Dewa Suci Penyebar Bala telah menyiapkan
jurus Naga Liar Menerkam Bumi. Salah satu jurus yang sangat
diandalkannya.
Kedua seteru itu mulai bermandikan keringat karena pengaruh ilmu yang
mereka amalkan. Butir-butir keringat sebesar biji jagung menetes di kening
mereka. Suasana tegang mencekam dan menyelimuti puncak Ciremai dalam
kebisuannya. Rumput ilalang di sekitar mereka pun ikut tegang.
Ling Pei yang sedari tadi memperhatikan hal itu menjadi ikut tegang dan
was-was. Ia sadar bahwa kedua orang di hadapannya itu telah langsung
mengeluarkan jurus-jurus andalan yang tentunya sangat berbahaya buat
keselamatan jiwa mereka.
Suatu perasaan aneh berdesir dalam hatinya. Di satu sisi ia mengkhawatirkan
keselamatan jiwa ayahnya, tetapi di lain sisi ia pun merasa sayang jika
pemuda berwajah tampan yang menjadi lawan ayahnya itu akan tewas di tangan
ayahnya, ia menahan nafas ketika tubuh kedua orang itu melesat di udara
dalam waktu bersamaan.
“Heeeaaatttt...!” teriak mereka berbarengan.
“Plak! Tak! Duaaarrr...” Beberapa kali terdengar bunyi pukulan beradu
dengan diakhiri oleh sebuah suara ledakan yang sangat keras.
Ling Pei tercengang ketika melihat asap putih membumbung ke udara sewaktu
telapak tangan kedua orang itu beradu. Ling Pei yang melihat hal itu menjadi
tegang.
Tubuh Parmin yang tepat berada di pinggir jurang tadi terpental kehilangan
keseimbangannya. Tubuhnya mental dan langsung jatuh ke jurang yang sangat
dalam itu.
Sebaliknya tubuh si Dewa Suci sendiri terus terpental jauh ke belakang dan
kembali menerabas semak serta akhirnya berhenti di sebuah batu besar
berwarna hitam yang menahan daya luncur tubuhnya yang telah tak
terkendalikan itu. Kali ini Dewa Suci merasakan akibat yang jauh lebih parah
dibanding tadi.
Ia segera memusatkan perhatian penuh untuk membantu memulihkan tenaganya
sekaligus menghilangkan rasa sakit yang menyergapnya. Dari jubahnya keluar
asap, sementara pakaiannya robek-robek tak keruan lagi bentuknya.
“Ayaah...!” Ling Pei segera memburu tubuh ayahnya dengan perasaan penuh
kekhawatiran dan haru.
Sementara itu tubuh Parmin terus meluncur ke dasar jurang yang
terjal.
“Aaaaaa.....!” menggema suaranya.
Dalam kecepatan tinggi, tubuh Parmin terus meluncur tak terkendali ke bawah
jurang yang sangat dalam. Sejenak ia seperti kehilangan semangat dan
kesadarannya.
Untunglah ia sempat menguasai kembali dirinya. Matanya yang tajam menangkap
bayangan sebuah pohon yang tumbuh di permukaan tebing. Parmin berusaha
mengerahkan ilmu peringan tubuhnya untuk menggaet dahan pohon
tersebut.
“Hait! Hup!”
Dengan tepat, tangan Parmin menggaet dahan pohon tepi tebing itu untuk
kemudian bergelantungan. Cepat ia pergunakan tenaga penahan dari dahan pohon
tersebut, kemudian dengan meminjam daya penahan itu, ia angkat tubuhnya ke
dataran yang terdapat di pinggir tebing tersebut.
“Alhamdulillah, Tuhan masih menyelamatkan jiwaku,” gumam Parmin mengucapkan
syukur ke hadiratNya atas keselamatan yang diperolehnya sampai saat itu.
“Aku harus berhati-hati untuk mencapai tempat itu kembali,” gumam
Parmin.
Dewa Suci Penyebar Bala telah berhasil mengatasi luka dalam yang
dideritanya. Ia segera melangkah menghampiri tepi tebing untuk melihat ke
bawah di mana Parmin terjatuh.
“Aku rasa ia masih dapat menyelamatkan dirinya.” katanya perlahan.
“Ling Pei, mari kita berangkat sekarang. Mungkin di lain saat kita dapat
bertemu lagi dengannya,” kata si Dewa Suci kepada putrinya.
“Dia belum mati, ayah?” tanya Ling Pei dengan satu kekhawatiran yang tak
dapat dimengertinya segera, ia sendiri heran kenapa di hatinya muncul
sedikit kekhawatiran tentang nasib pemuda itu.
“Belum,” jawab ayahnya singkat.
“Ling Pei, mari kita tinggalkan tempat ini segera. Kulihat ada tanda-tanda
akan datangnya halimun maut di tempat ini,” sambung Dewa Suci Penyebar Kulit
sambil beranjak meninggalkan tempat itu.
Ling Pei hanya menganggukkan kepalanya saja untuk kemudian mengikuti
langkah ayahnya. Tak lama kemudian terlihat dua bayangan tubuh melesat
dengan cepatnya bagaikan kijang dan kemudian lenyap di balik kesunyian
tebing cadas. Mereka menuruni lembah tersebut dengan cepat.
***
2
Parmin masih berjuang melawan keterjalan tebing menuju tempat di mana tadi
ia terjatuh. Parmin terus merayap ke atas dengan langkah pasti.
Dengan susah payah disertai keringat yang menggeros keluar dari tubuhnya
dengan deras, akhirnya ia sampai ke tempatnya semula. Tempat itu telah sepi
kembali. Dewa Suci Penyebar Bala dengan putrinya telah lama meninggalkan
tempat itu.
Parmin menemukan kembali sarung dan serulingnya yang tadi tertinggal. Hari
telah sore, ia segera mencari sumber air di sekitar tebing itu untuk
membersihkan tubuhnya dan melakukan shalat Ashar yang telah tiba
waktunya.
Selesai shalat, Parmin berdoa memohon lindunganNya dalam menunaikan tugas
suci yang sedang diembannya. Tujuannya masih sangat jauh di atas sana.
Puncak Ciremai belum digapainya. Namun belum jauh kakinya melangkah, seekor
burung kecil berwarna ungu menyambar-nyambar di sekitarnya.
“Hmm, menurut guru, burung kecil itu memberi tanda kepada manusia bahwa
akan datang halimun yang mengerikan dan membahayakan jiwa manusia,” gumam
Parmin sambil mengingat kembali pesan Ki Sapu Angin, gurunya.
Benar saja, dalam waktu singkat segumpal awan tebal telah datang
menghampiri tempat tersebut.
Parmin segera merasakan rasa dingin yang menyergap sekujur tubuhnya. Kabut
berwarna kelabu yang datang dari lembah sebelah Barat itu hampir menutupi
seluruh kawasan lereng Ciremai.
Pendekar dari gunung Sembung itu berusaha sekuat tenaga untuk mengatasi
rasa dingin yang mulai membekukan tubuhnya itu. Ia merasakan dadanya mulai
sesak karena kekurangan udara segar.
“Aduh, dadaku sesak,” keluh Parmin dalam hati. Ia berdoa memohon kebesaran
Yang Maha Kuasa.
Segera Parmin memusatkan perhatiannya untuk mengerahkan tenaga dalamnya dan
mengatur pernafasannya untuk menghasilkan hawa panas dari dalam tubuhnya
guna mengusir hawa dingin yang semakin membekukan tubuhnya itu. Sekuat
tenaga Parmin berkonsentrasi menyalurkan hawa panas ke seluruh
tubuhnya.
Sementara ia menggigil hebat, tampaknya kekuatan tubuh Parmin belum dapat
melawan dingin yang disebabkan oleh halimun (kabut yang sangat tebal)
tersebut. Dinginnya menyusup sampai ke tulang sumsum.
Dingin yang disebabkan oleh halimun tersebut memang sangatlah dingin,
sampai jauh di bawah titik beku. Tak heran jika sampai saat ini banyak
pendaki gunung yang hilang dan di kemudian hari baru ketahuan mati beku oleh
tim pencari dan penyelamat.
Demikian pula yang terjadi pada diri Parmin. Sekalipun ia telah mengerahkan
seluruh kepandaiannya, namun tetap saja kekuatannya tak mampu menandingi
kekuatan alam yang sangat dahsyat.
Parmin segera merasakan pandangannya berkunang-kunang. Nafasnya mulai
sesak, dadanya seperti hendak pecah. Sementara telinganya didera oleh suara
seribu air terjun yang jatuh berbarengan.
Parmin tak kuat lagi menahan kebekuan yang mengungkung dirinya, ia tak
dapat bertahan lebih lama lagi. Tak lama kemudian ia jatuh tak sadarkan diri
dalam kondisi kaku dan posisi kuda-kuda jurus Hening Cipta ajaran
gurunya.
Demikian dahsyat pengaruh halimun yang datang itu. Dalam kesamaran halimun
yang pekat itu mendadak terlihat sesosok bayangan melayang ke arah Parmin.
Wajah orang itu kurang jelas terlihat, tetapi ia sepertinya tak terpengaruh
oleh rasa dingin yang menggila itu. Dengan santai bayangan tubuh itu lantas
menghampiri Parmin.
“Kasihan! Kasihan kau, anak muda yang belum berpengalaman, begitu berani
menentang bahaya,” desahnya dalam hati sambil meraba tubuh Parmin.
Orang yang baru datang itu berpakaian serba putih dengan ikat kepala berupa
kain putih menutupi seluruh rambutnya. Di tangannya terlihat sebatang
tongkat besi untuk menyanggah tubuhnya yang tua itu.
“Kasihan! Sungguh kasihan, ia masih hijau dan memerlukan banyak
pendidikan,” gumam orang itu sambil mengangkat tubuh Parmin yang berdiri
kaku lalu meletakkannya di atas pundak.
Orang itu mengangkat Parmin seperti mengangkat sekarung kapas saja, begitu
ringan ia melangkah. Hawa dingin di sekitarnya sama sekali tak berpengaruh
terhadap dirinya.
Bisa dibayangkan bahwa ia merupakan orang yang memiliki ilmu dalam yang
sempurna. Beberapa saat kemudian sampailah sudah ia di kediamannya, sebuah
lembah yang terletak di lereng Ciremai itu.
Tubuh Parmin lalu diletakkannya di sebuah dipan, kemudian orang itu membuat
api unggun untuk menghangatkan suasana. Malam telah menyelubungi seluruh
alam, langit berwarna pekat.
Malam merambat terus merangkak dan merayap menuju dinihari. Langit di
sebelah Timur lembah berwarna lembayung ketika Parmin siuman.
“Uhh, di mana aku? Ya Allah, ya Rabbi....... apa yang terjadi.......?”
Parmin berkata pelan seperti kepada dirinya sendiri ketika sadar.
Rasa pedih yang disebabkan oleh lambatnya tubuh beradaptasi dari dingin
yang membekukan ke udara hangat yang terhembus dari api unggun orang itu
terasa menyengat di sekujur tubuhnya. Bola matanya bergerak ke sana ke mari
memperhatikan keadaan sekelilingnya.
“He he....... Syukurlah kau telah sadar!” terdengar sebuah suara lembut
menyapanya.
Parmin menoleh dan melihat seorang tua dengan wajah lembut mengulurkan
sebuah mangkuk berisi air hangat ke wajahnya.
“Kau berada di tempat yang aman, anak muda,” katanya kemudian dengan nada
penuh kasih sayang, kentara sekali sikap bijak dan arif yang
dimilikinya.
“Minumlah ramuan ini, buatanku sendiri untuk menyegarkan kembali
pembuluh-pembuluh darahmu yang membeku. Kau akan segera merasakan kehangatan
yang segar setelah meminumnya.” Orang tua itu menjelaskan apa yang
diberikannya pada Parmin.
“Siapakah engkau orang tua? Anda begitu baik hati, mau menolongku,” tanya
Parmin sambil menerima mangkuk tersebut.
Ia teringat bahwa beberapa saat yang lalu sepertinya ia sedang bergulat
dengan kematian yang diantarkan oleh kebekuan udara yang disebabkan
datangnya halimun tadi. Orang tua yang kulitnya sudah keriput dan giginya
tinggal dua serta alis mata dan jenggot yang sudah memutih itu tidak segera
menjawab.
Diperhatikannya wajah Parmin dengan seksama. Perlahan ia menarik nafas,
untuk kemudian tertawa kecil. Suaranya merdu didengar.
“He he he....... Orang menjuluki aku dengan nama Begawan Sokalima, mungkin
karena rupaku yang buruk ini mirip dengan penggambaran Begawan Dorna dalam
cerita pewayangan itu. Aku tak menolak julukan tersebut, bahkan senang
karenanya,” jawabnya merendah.
“Terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan hati anda,” sahut Parmin
hormat, ia lalu menenggak habis isi ramuan yang diberikan orang tua itu
tanpa ragu karena telah melihat sikap orang yang menyenangkan hatinya.
“Kau, anak muda, boleh juga memanggilku dengan sebutan itu, he he
he.......” kata Begawan Sokalima seraya tersenyum lembut. “Siapakah namamu,
anak muda?” tanyanya lagi.
“Parmin,” jawab Parmin singkat dan sopan. Tangan kirinya mengulurkan
kembali mangkuk minumannya.
Suasana hening sejenak. Begawan Sokalima menatap Parmin dengan tajam
seolah-olah akan menelan habis tubuh pemuda itu. Yang ditatap tetap tenang
sekalipun ia tahu orang tengah mengawasi dirinya.
“Parmin? Hmmm, aku sudah lama sekali berkeinginan untuk mengangkat murid,
namun kiranya baru hari ini keinginanku terkabul. Aku sudah tua, sayang
sekali bila ilmu yang kumiliki ini tak bisa kuturunkan kepada siapapun,”
katanya tiba-tiba sambil memegang pundak Parmin erat-erat. Sikapnya seolah
meminta kesediaan Parmin untuk menjadi muridnya.
“Terima kasih atas kebaikan orang tua, tetapi saya telah mempunyai seorang
guru. Tentunya tidak baik bila saya harus menerima ilmu dari orang lain
tanpa sepengetahuan beliau,” kata Parmin takut membuat Begawan Sokalima
kecewa mendengar jawabannya.
Ia pun sebenarnya tertarik untuk menjadi murid Begawan Sokalima. Cuma
perasaan hormatnya terhadap Ki Sapu Angin membuatnya tak enak bila
sembarangan memperoleh ilmu dari orang atau cabang lain.
“Aku mengerti kekhawatiranmu itu. Katakanlah siapa gurumu yang telah
beruntung memperoleh murid sepertimu?” tanya Begawan Sokalima setelah
meneliti bakat yang terpendam dalam diri Parmin, yang terlihat dari sorot
mata dan bentuk tulangnya.
“Guruku dikenal orang dengan sebutan Ki Sapu Angin dari Ciremai.......”
jelas Parmin yang disambut dengan senyum gembira di wajah Begawan
Sokalima.
“He he he bagus, bagus....... Kau murid Ki Sapu Angin, berarti bukan orang
lain bagiku. Gurumu adalah sahabat dekatku, dan ilmu yang kami miliki
sama-sama berasal dari satu sumber. Bagus. Kalau kau murid Ki Sapu Angin,
berarti tak perlu berizin-izin segala. Dia pasti mau mengerti, he he.......
Beruntunglah aku, ilmuku jatuh tak jauh dari sumbernya.”
Orang tua itu tampak senang sekali mendengar nama guru Parmin. Melihat
sikap orang yang tampak seperti orang senang dan kangen, Jaka Sembung dapat
mempercayai ucapan orang. Dalam hatinya ia berkata bahwa tak ada salahnya ia
menerima ilmu dari orang yang merupakan sahabat gurunya, tentunya hal itu
bukan berarti ia telah berkhianat terhadap perguruan maupun gurunya.
“He he he, tapi kau juga harus melewati ujianku dulu sebelum kuterima
sebagai muridku. Nah, bersiaplah untuk esok pagi. Kau harus bertempur di
lembah Banyu Panas. Sanggupkah kau?” tanya Begawan Sokalima yang memperoleh
jawaban berupa anggukan kepala tanda setuju dari Parmin.
“Kalau kau berhasil lulus, aku akan mengajarkanmu ilmu tongkat yang sangat
ampuh untuk menandingi jago-jago kebatilan yang selalu membuat rusuh dunia
ini! Kau tak bisa hanya mengandalkan ilmu silat dengan golok pendek yang kau
miliki itu!” Begawan Sokalima berkata-kata sambil mengelus-elus jenggotnya
yang berwarna putih.
Parmin memperhatikan dengan serius apa yang diucapkan Begawan Sokalima.
Sementara sang Begawan berbalik untuk menambahkan kayu bakar ke api unggun
yang mulai meredup nyalanya. Ia lalu menambahkan lagi.
“Jangan kaget, Parmin. Aku bisa menebak ilmu silat yang kau miliki ketika
melihat kau berdiri dalam keadaan beku di atas sana. Caramu melakukan jurus
Hening Cipta itu segera memperlihatkan siapa dan darimana asal
ilmumu.”
Orang tua itu menghembuskan nafas panjang sejenak, lalu berkata lagi dengan
perhatian serius dari Parmin.
“Aku tahu ilmu Gunung Sembung merupakan ilmu silat yang sangat ampuh,
tetapi pelaksanaan dan penghayatan ilmu tersebut harus disertai dengan
penyempurnaan yang tidak tanggung-tanggung,” jelas Begawan Sokalima memberi
petunjuk pada Parmin.
Jaka Sembung sama sekali tidak tersinggung karena ilmu silat perguruannya
dinilai orang tua itu, justru ia merasa bahwa matanya baru terbuka sekarang
dengan adanya petunjuk dari Begawan Sokalima. Ia mengangguk tersenyum
mendengarkan ucapan Begawan Sokalima untuk menyatakan kesediaannya menjadi
murid orang tua yang bermata awas dan memiliki wawasan yang cukup luas
itu.
“Istirahatlah dulu kau, besok pagi kau harus sudah bersiap. Atur
pernafasanmu perlahan-lahan, jangan di paksakan apabila tidak kuat,” kata
Begawan Sokalima lagi sambil berbalik meninggalkan Parmin.
“Baik, guru,” sahut Parmin.
Pagi-pagi sekali di lembah Banyu Panas telah terlihat dua sosok tubuh
saling berhadapan dan berdiri tegak di tengah-tengah lembah yang penuh asap
belerang dan air mendidih di sekitarnya. Bau belerang yang tidak enak itu
membuat dada serasa sesak dan susah bernafas.
“Sudah siap kau, Parmin?” tanya Begawan Sokalima.
“Siap, guru!” sahut Parmin cepat.
Bersamaan dengan selesainya perkataan Parmin, entah dari mana datangnya
tiba-tiba sebuah rajawali besar melayang menghampiri dan kemudian bertengger
di pundak sebelah kanan Begawan Sokalima dengan enaknya seolah terbiasa
berlaku seperti itu.
“He he he....... Parmin. Lihatlah di sekelilingmu, sedikit saja kau salah
langkah, tak ayal lagi kau pasti jadi daging rebus di bawah sana!” tegur
Begawan Sokalima memperingatkan.
Parmin berdiri tegak dengan penuh konsentrasi bersiap menghadapi segala
kemungkinan.
“Kau lihat rajawali di tanganku ini? Burung ini pernah mentotol mata
seorang raja rampok sakti yang coba-coba menggangguku,” jelas Begawan
Sokalima.
Burung rajawali itu lantas mengkepak-kepakkan sayapnya pertanda mengerti
bahwa orang tengah membicarakan dirinya.
“Pernahkah engkau mendengar tentang seorang perampok yang kejam dan ganas
bernama Gembong Wungu”!” tanya Begawan Sokalima yang membuat hati Parmin
terkejut juga mendengar nama itu.
“Orang itu sudah mati!” jawab Parmin cepat.
“He he he, sudah mati? Bagus! Berarti satu lagi jenis manusia pembawa
malapetaka tersingkir dari muka bumi ini,” kata Begawan Sokalima dengan
wajah lega.
Parmin hanya terdiam saja, ia terus memusatkan perhatiannya.
“Baik! Sekarang bersiaplah kau,” sentak sang Begawan. Tiba-tiba mata sang
Begawan memancarkan sinar merah dan melotot tajam ke arah Parmin.
“Sekarang....... mulai!” seru Begawan Sokalima dengan suara keras.
Rajawali itu segera melesat bak peluru dari pundak Begawan Sokalima
langsung menuju tempat di mana Parmin berdiri.
“Ayo, terkam dia rajawaliku!” Begawan Sokalima berteriak memberi perintah.
Ternyata rajawali itu tak langsung menyerbu, ia justru membumbung tinggi ke
angkasa dan berputar-putar di atas kepala Parmin.
“Yak, habisi dia!” Terdengar kembali Begawan Sokalima berseru.
Parmin yang berada di bawah terus mengikuti gerak rajawali tersebut.
Tubuhnya ikut berputar dengan penuh kesiagaan untuk menjaga segala
kemungkinan.
“Rajawali ini tak dapat dipandang ringan! Betapa tidak, perampok tangguh
macam Gembong Wungu saja dapat dipecundangi oleh rajawali ini. Rupanya
itulah sebabnya Gembong Wungu menjadi buta sebelah!” Parmin bergumam sambil
terus mengawasi rajawali tersebut.
Tiba-tiba burung rajawali tersebut menukik keras ke bawah dengan cepat
seperti luncuran sebuah meteor, kedua cakarnya mengembang di muka. Parmin
segera memasang kuda-kuda dengan kedua tangan di depan untuk melindungi
mukanya.
“Swiiingggg.......! Brett.......!”
Baju Parmin robek di bagian pundak kanannya. Sekalipun Parmin sempat
mengelakkan serangan rajawali tersebut, namun tetap saja pundaknya kena
tersambar. Burung perkasa itu kembali melesat ke udara untuk kemudian dengan
cepat berbalik menukik dan mengancam Parmin lagi.
Untunglah Jaka Sembung cukup lincah mengelak ke sana ke mari. Rajawali itu
terus terbang dan menyambar-nyambar berulang kali. Parmin kewalahan juga
pada akhirnya. Seberapapun cepatnya ia bergerak menghindar, tetap saja
bajunya kena tersambar. Masih untung ia dapat menyelamatkan bagian wajahnya
dari cakaran rajawali tersebut.
Kelihatannya rajawali itu sangat terlatih untuk bertempur. Ia terus
mendesak Parmin ke tempat-tempat yang sangat berbahaya. Sementara harus
menghindarkan serangan-serangan maut si rajawali itu, uap belerang semakin
menyengat hidung Parmin. Semakin lama ia semakin terdesak ke pinggir
jurang.
“Asap belerang ini menyesakkan nafasku dan juga melemahkan
gerakan-gerakanku,” desah Parmin khawatir.
Rajawali itu terus menyerang dan berhasil menyudutkan Parmin ke sudut yang
berbahaya. Lama-lama Parmin kehilangan kesabarannya pula, ia segera
berteriak kepada Begawan Sokalima.
“Begawan Sokalima,” Parmin memanggil sang Begawan dengan sebutannya, bukan
dengan panggilan guru karena rasa kesalnya telah memuncak. “Apakah kau
menginzinkan ku untuk membunuh rajawalimu?” teriak Parmin dengan suara
lantang.
“He he he....... Parmin, berbuatlah sesuka hatimu. Kalau kau tidak mau
membunuh rajawali itu, akhirnya engkau sendiri yang akan dibunuhnya!” sahut
sang Begawan mengancam. Ia tertawa bangga atas kehebatan rajawalinya.
“Hmm, dia terus menyambarku dari belakang. Aku bisa menghantamnya dengan
berpura-pura lengah. Kesempatan baik buatku,” pikir Parmin. Ia terus
mengawasi dengan ekor matanya ke setiap gerakan rajawali itu.
“Keeaakk.......!”
Terdengar seruan rajawali itu diiringi sambaran mautnya ke arah tengkuk
Parmin yang saat itu tengah berdiri membelakanginya. Ia telah membayangkan
sekumpulan urat nadi yang empuk di leher Parmin itu.
Ketika jarak burung itu semakin dekat dengan dirinya, tiba-tiba Jaka
Sembung miringkan tubuhnya ke kiri dan tangan kanannya bergerak dengan
kecepatan yang sulit dilihat mata biasa. Leher rajawali tersambar tepat di
bagian yang diincar Parmin.
“Beuuuttt.......! Kraaak.......! Kek.......!”
Sambaran tangan Jaka Sembung berhasil menyambar leher burung tersebut tepat
di bawah paruhnya. Tangannya segera bergerak kilat mematahkan leher burung
tersebut dalam sekali puntir.
Ia lalu membanting tubuh rajawali itu ke tengah-tengah telaga yang mendidih
airnya. Rajawali itu mati seketika ketika lehernya dipatahkan Parmin,
tubuhnya melayang tak berdaya ke telaga itu dan dalam waktu singkat menjadi
matang karena panasnya air telaga tersebut.
“He he he....... bagus! Kau ternyata cukup tangkas dan cerdik, Parmin.
Meskipun aku merasa sayang kehilangan rajawali yang telah sangat berjasa
dalam hidupku itu, tetapi aku bangga mendapat murid sepertimu. He he
he....... Marilah, anak muda. Hari ini juga akan kuajarkan jurus pertama
dari serangkaian ilmu tongkatku!” ajak Begawan Sokalima dengan hati
gembira.
“Alhamdulillah,” gumam Parmin bersyukur.
Demikianlah setelah melewati ujian itu dan berhasil. Parmin lalu diangkat
sebagai murid oleh Begawan Sokalima sesuai dengan janji yang telah
diucapkannya.
Sejak saat itu Begawan Sokalima menurunkan ilmu tongkat yang dimilikinya
kepada Parmin dan pemuda itu menerimanya dengan sepenuh hati. Dalam hatinya,
Jaka Sembung telah berjanji untuk mempelajari ilmu itu dengan
sungguh-sungguh dan akan mengamalkannya demi kebaikan.
Begawan Sokalima segera memperagakan jurus yang sangat diandalkannya itu.
Ia menggunakan sebatang tongkat sebagai senjata andalannya.
“Lihat! Tangan kanan digunakan sebagai sumbu putar atau semacam engsel dan
tangan kiri kita pergunakan sebagai alat kemudinya. Kuda-kuda yang mesti kau
lakukan adalah seperti ini,” Begawan Sokalima memberi petunjuk yang diamati
oleh Jaka Sembung dengan serius.
“Heaat.......!” Kuda-kuda yang digambarkan oleh Begawan Sokalima adalah
mementang kaki lebar dengan lutut sebelah kanan hampir menyentuh tanah,
sementara lutut kiri ditekuk sedikit sejajar dengan pangkal paha. Tubuh
Begawan Sokalima miring sedikit ke kiri dengan sebatang tongkat besi
menyilang depan dada.
Setelah memberikan peragaan tersebut. Begawan Sokalima mempersilahkan
Parmin untuk memulai latihan. Ia sendiri lantas meloncat ke atas sebuah batu
besar berwarna hitam yang dilapisi lumut berwarna hijau tua sekali. Batu itu
sangatlah licin, kalau tak memiliki keseimbangan tubuh dan kepandaian
meringankan tubuh yang tinggi, pasti akan terpeleset berdiri di atas batu
tersebut.
Parmin lantas mengikuti contoh gerakan yang telah diperlihatkan oleh
Begawan Sokalima. Dengan penuh semangat serta keseriusan yang tinggi, dengan
dukungan bakat serta kecerdasan yang dimiliknya, Parmin dengan cepat dapat
memahami segala perintah dan petunjuk yang datang dari sang guru Begawan
Sokalima yang dikerjakannya dengan bersungguh-sungguh.
Begawan Sokalima pun sangat bangga dengan kesungguhan anak asuhnya itu
mempelajari ilmu yang diberikannya. Ia memperhatikan dengan seksama apa yang
diperlihatkan Parmin di awal latihannya.
Setelah melihat kesungguhan dan kecerdasan Parmin, Begawan Sokalima tak
sungkan-sungkan lagi untuk menurunkan seluruh ilmu yang dimilikinya. Ilmu
silat gunung Sembung yang dimiliki Parmin sangat mirip dengan ilmu silat
yang diajarkannya, oleh karena itu Parmin tak banyak mengalami kesulitan
dalam menyerapnya. Hari demi hari, minggu demi minggu, dan beberapa bulan
berlalu.
Emoticon