MATAHARI tepat berada di atas kepala. Langit biru, sangat jernih. Hanya di
langit bagian selatan, di atas bukit kelihatan sepotong awan putih bergerak
perlahan ditiup angin. Awan itu melayang berarak, lalu pecah berderai dan
hilang entah ke mana.
Desa Perbutulan, sebuah desa di lereng gunung Ciremai, tampak masih sepi.
Rumah penduduk masih jarang, dan jarak antara yang satu dengan yang lain
cukup jauh. Di belakang perumahan penduduk, tampak rangkaian bukit-bukit
yang memanjang dari timur ke barat.
Hutan di situ tidak terlalu lebat, sehingga dengan jelas terlihat dua pohon
kelapa menjulang tinggi bagaikan tiang bendera. Daun-daunnya melambai-lambai
bagai menari-nari dengan amat riangnya.
Di atas gundukan tanah, akar-akarnya mencengkeram sangat kokohnya membuat
pohon kelapa itu tetap berdiri kokoh walau setiap hari dihembus angin.
Beberapa ekor burung pipit dengan bulu-bulu berkilauan ditimpa sinar
matahari, hinggap di daun pohon kelapa lalu berkicau sepuas-puasnya, mungkin
sedang mengabarkan kegembiraannya di siang hari itu.
Tak jauh dari pohon kelapa yang melambai-lambai itu ada sebuah warung
sederhana, berukuran sekitar lima kali enam meter. Dindingnya terbuat dari
anyaman bambu dan atapnya dari rumbia. Agaknya bangunan itu sudah tua.
Beberapa tiang yang terbuat dari kayu bulat mulai lapuk dimakan usia.
Sekalipun demikian, warung sederhana itu selalu ramai terutama oleh para
penjudi, pemabukan serta jagoan-jagoan desa.
Dari warung itu terdengar suara tawa terbahak-bahak, sambung-menyambung
seperti bunyi bedug. Di ruangan tengah, di atas meja dan kursi kayu,
sekelompok lelaki sedang asyik minum-minum sambil main judi.
Usia mereka rata-rata empatpuluh sampai limapuluh, tapi tak sedikit pun
menunjukkan sikap sebagaimana halnya orangtua yang bijaksana. Selain
bertampang seram, cara duduk maupun bicara mereka juga sangat kasar.
Tetapi karena pengunjung lainnya di warung itu mengetahui kehebatan
kelompok lelaki itu, tak ada yang berani melarang atau menasehati.
“Puaslah aku semalam ini. Uang dapat hiburan pun dapat,” kata salah seorang
di antaranya sambil tertawa terbahak-bahak. Lalu sambil menggebrak meja
kuat-kuat, ia berkata kepada pemilik warung dengan suara membentak.
“Hei, Pak Kastam! Tambahkan lagi kue getuk dan tuaknya ini. Bawa saja
sekalian gentongnya kemari. Cepat! Jangan kelelar-keleler macam keong. Aku
sudah kehausan.”
Dengan langkah tergopoh-gopoh, Pak Kastam mengambil kue getuk beberapa
piring, kemudian menyuguhkan beberapa guci tuak ke meja para jagoan desa
itu.
“Hai, kawan-kawan. Marilah kita minum sepuas hati kita. Kita nikmati
sepuasnya apa saja yang kita hendaki. Hari ini adalah hari yang sangat
menyenangkan, bukan?”
Tiba-tiba seorang lelaki asing masuk ke dalam warung. Seketika tawa dan
suara pembicaraan mereka terhenti. Suasana yang tadinya hingar bingar
berbalik jadi sepi. Lelaki asing itu sejenak berdiri sambil menyapu seisi
ruangan dengan tatapan matanya yang mencorong tajam bagai mata pedang.
Usianya sekitar tigapuluh tahun, tubuhnya kekar dan otot-ototnya berisi.
Sama seperti para pendekar desa Perbutulan, ia pun mengikat rambutnya dengan
sepotong kain.
Pakaiannya serba ungu, dihiasi kain sarung yang dililitkan dari bahu kanan
sampai ke pinggang.
Ada satu hal yang paling menarik pada diri lelaki itu, yakni mata kirinya
ditutupi kain hitam sehingga mirip kaca mata, yang diikat dengan tali ke
belakang kepala. Melihat perawakan serta sinar mata lelaki itu, dapatlah
diterka bahwa ia bukanlah orang sembarangan.
“Hei, pemilik warung. Beri aku nasi lengko satu piring dan sambal yang
banyak serta arak satu kendi,” kata lelaki itu.
“Ini arak istimewa, tuan. Sudah tersimpan lama di dalam kendi,” kata Pak
Kastam saat menyuguhkan minuman itu di hadapan tamunya.
“Bagus! Bagus! Kebetulan sekali aku bertemu dengan cakil-cakil ini. Inikah
jago-jago dari desa ini?” tanya si mata satu sambil menatap para pendekar
desa Perbutulan dengan sikap mengejek.
Mendengar ucapan yang bernada ejekan itu, para jagoan desa menjadi
terkejut. Bukan saja karena tak mengira ada orang yang berani bersikap
seperti itu. Tetapi juga karena suara lelaki itu mengandung kekuatan tenaga
dalam yang sangat tinggi, sehingga suara yang berat dan serak itu terasa
menggetarkan dinding dan menegakkan bulu kuduk orang yang
mendengarnya.
Belum hilang rasa terkejut kelompok jagoan desa Perbutulan, si mata satu
telah mencengkeram pundak salah seorang di antaranya.
“Hei, cakil. Berikan semua uang yang ada dalam kantong kalian. Hm,
seharusnya kalian tahu siapa yang datang ini. Kalian harus menghormatiku.
Ayo, kumpulkan uang itu di atas meja!”
Mendengar itu, hilanglah kesabaran para jagoan desa Perbutulan. Bagaikan
dikomando, mereka sama-sama bangkit berdiri dan menatap si mata satu dengan
sinar mata merah bagaikan memancarkan api.
“Bedebah kau! Berani kurang ajar kepada jago-jago desa Perbutulan ini.
Jangan coba-coba unjuk gigi di kandang buaya kalau tak ingin mampus.”
“Ha-ha-ha.......! Buaya-buaya ompong. Kalian belum kenal siapa aku. Jangan
kira aku anak kecil yang bisa digertak orang-orang tolol seperti
kalian.”
“Lemparkan keluar bangsat yang besar mulut itu!”
Bersamaan dengan itu, para jagoan desa segera menghunus pedang dan
mengurung si mata satu. Suasana di dalam warung seketika menjadi tegang.
Sepertinya pertumpahan darah tidak akan terhindarkan lagi.
Sekalipun demikian, si mata satu tetap tenang, bahkan masih sempat
tersenyum sinis. “Kuperingatkan sekali lagi, serahkan semua uang kalian.
Atau kepala kalian akan kubuntungi.”
“Diam kau, bangsat! Serang........!”
Maka terjadilah pertarungan seru di dalam warung yang cukup sempit
itu.
Gelas, piring dan kendi beterbangan, meja dan kursi terbalik menimbulkan
suara gaduh bercampur dengan suara teriakan dan makian. Pak Kastam, pemilik
warung itu lari terbirit-birit menyelamatkan diri karena takut jadi sasaran
amukan para lelaki yang sedang bertarung itu.
Tepat seperti yang diperkirakan para jagoan desa Perbutulan, si mata satu
ternyata bukanlah orang sembarangan.
Di samping memiliki tenaga dalam yang dahsyat, gerakannya pun sangat cepat
dan sukar diikuti pandangan mata. Tak satu pun sabetan pedang lawan mengenai
tubuhnya.
Bahkan hanya dalam beberapa jurus saja, si mata satu berhasil memukul dan
menendang lawan-lawannya hingga terlempar keluar warung. Sesosok tubuh lawan
terpental membobol dinding, sementara seorang lagi melayang membobol atap
warung.
Hanya beberapa menit kemudian, warung itu sepi kembali. Para jagoan desa
Perbutulan tak berdaya sama sekali menghadapi serangan si mata satu yang
luar biasa. Mereka bergelimpangan dengan luka-luka mengucurkan darah
segar.
Dengan sangat tenangnya, si mata satu kembali mereguk minumannya. Ia duduk
sendirian di dalam ruangan warung yang telah acak-acakkan dengan sikap
seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Maka saat itu juga, desa Perbutulan menjadi gempar. Gebrakan lelaki asing
bermata satu itu segera meluas dari mulut-mulut. Para jagoan desa lainnya
maupun penduduk pun bertanya-tanya.
Siapakah gerangan lelaki yang memiliki kesaktian luar biasa itu?
Dari mana asalnya, siapa namanya?
Dan apa maksudnya bikin keonaran di desa Perbutulan?
Sepak terjang si mata satu juga sangat menarik perhatian Gagak Ciremai,
guru silat yang paling kesohor di desa Perbutulan. Ia mendapat laporan dari
muridnya sore harinya bahwa seorang laki-laki asing bermata satu telah
membikin keonaran. Lelaki itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga
hanya dalam beberapa jurus saja, beberapa jagoan desa telah tewas di
tangannya.
“Di antara kami berempat hanya sayalah yang kebetulan lolos dari pedang
mautnya. Karena saya saat itu pingsan ditendang. Saya rasa dia datang dari
sebelah selatan gunung Ciremai, Pak Guru.”
“Hm....... datang dari jauh untuk mengacau rasanya tidak mungkin. Pasti ada
suatu maksud tertentu. Dalam dunia persilatan, jika seseorang sampai begitu
jauh menempuh perjalanan dan sengaja membuat kerusuhan di suatu tempat,
biasanya dia bermaksud balas dendam.
Tetapi seingatku sejak masa muda aku belum pernah memusuhi orang lain.
Apalagi ketika kau sebutkan ciri-cirinya. Seingatku belumlah pernah
berurusan dengan pendekar bermata satu seperti dia.”
“Kalau begitu apakah gerangan maksudnya, Pak Guru?”
“Entahlah, aku sendiri belum bisa menerkanya. Tapi kuperingatkan kepada
kalian, jangan sampai lebih dahulu mencari permusuhan dengan orang asing
mana pun yang datang ke desa ini. Barangsiapa di antara murid-muridku yang
melanggar peraturan ini, pasti akan dihukum. Mengerti?”
“Mengerti, Guru!”
Setelah muridnya itu pergi, Gagak Ciremai termenung. Hatinya masih penuh
tanda tanya dan otaknya berpikir keras mengingat-ingat barangkali pada waktu
dulu ia pernah berurusan dengan lelaki bermata satu.
Tapi rasanya belum pernah sampai usianya yang sekarang telah hampir
limapuluh tahun. Gagak Ciremai diam-diam merasa tidak enak, sebab firasatnya
mengatakan lelaki bermata satu itu pastilah hendak berurusan dengannya
hingga datang ke desa Perbutulan.
Istri Gagak Ciremai rupanya cukup jeli memperhatikan perubahan suaminya.
Tak salah lagi, pastilah ada sangkut pautnya dengan kedatangan si mata satu
ke desa mereka. Dan itu kemudian ia katakan kepada suaminya.
“Sejak kedatangan orang asing itu, kau tampak selalu resah. Saya rasa ia
akan segera meninggalkan desa kita.”
“Pirasatku berkata tidak, istriku. Ia pasti tidak akan angkat kaki dari
sini sebelum maksudnya tercapai. Barangkali kau beranggapan ia hanya seorang
pengembara yang terpaksa merampok karena kehabisan bekal. Tidak, istriku.
Secara tidak langsung, ia telah menantang aku sebagai guru silat di desa
ini.”
“Jadi........”
Gagak Ciremai meraih anaknya yang baru berusia satu tahun, dan sambil
menggendong buah hatinya penuh kasih sayang, guru silat itu berkata.
“Seorang jago silat harus mempunyai dasar batin yang baik, agar menjadi
seorang jago bersifat kesatria. Sebaliknya jika batin itu buruk, jago silat
akan menggunakan ilmunya secara sewenang-wenang.
“Ia akan menjadi seorang jagoan sombong, brutal, membunuh orang seperti
menepuk lalat. Ia tidak segan-segan membunuh hanya karena uang beberapa
gulden saja. Atau melakukan pembantaian hanya untuk membakar amarah
musuhnya.
“Itulah makanya perlu kita ajarkan perintah Tuhan kepada murid-murid di
perguruan silatku. Ilmu tanpa agama akan runtuh, membuat orang mau berbuat
kotor hanya untuk memuaskan nafsu setannya.”
Bisikan Gagak Ciremai ternyata kemudian terbukti juga. Beberapa hari
kemudian, tepatnya siang hari, segerombolan lelaki warga desa Perbutulan
sedang asyik mengadu ayam, hobby mereka yang tradisional.
Para laki-laki itu saling berteriak-teriak menjagokan ayam kesayangannya.
“Ayo, patok merah. Habisi si hitam itu. Jangan kasih hati.”
“Jangan takut, hitam. Hajar si merah sampai mampus,” teriak yang lainnya
tak kalah serunya. Mereka semakin terlena dalam ketegangan menyaksikan dua
ayam jago itu beradu.
Apalagi pada saat kedua ayam itu sama-sama melayang tinggi ke udara untuk
saling menyerang, para penonton menahan nafas. Tetapi tiba-tiba terlihat
kilatan cahaya ke tengah arena. Dan apa yang terjadi kemudian sungguh sangat
di luar dugaan.
Kedua leher ayam jago itu sama-sama putus sebatas leher, lalu menggelinding
di atas tanah. Sedangkan tubuh ayam yang sudah buntung itu sama-sama
berkelojotan dengan darah memancar dari lehernya yang telah putus, kemudian
diam tak bergerak-gerak lagi.
Belum hilang rasa terkejut para penonton, tiba-tiba terdengar suara serak
dan berat dari arah belakang mereka.
“Maafkan, aku telah mengganggu kalian.”
Bersamaan dengan itu mendadak muncul seorang lelaki asing, si mata
satu!
“Jadi....... jadi kaukah yang telah membunuh ayam jagoanku? Huh, bangsat
tengik. Apa maksudmu, hah?”
“Kau sudah tahu, kenapa masih bertanya? Aku hanya ingin menolong ayam itu
agar tidak tersiksa demi memuaskan hati kalian,” kata si mata satu
seenaknya.
“Bangsat, picak! Rupanya kau memang coba-coba ingin bermain api dengan
jagoan desa Perbutulan. Sekarang aku akan membuat lehermu buntung seperti
ayam itu.”
“Ha-ha-ha.......! Kalian tak ubahnya anak-anak ayam yang mencoba melawan
elang perkasa. Rupanya kalian tidak sayang nyawa. Aku bisa merobohkan kalian
sekejap dengan mata terpejam. Sebaiknya kalian panggil guru kalian untuk
menghadapi aku. Kalian dengar itu?”
“Bacotmu terlalu besar, manusia iblis. Langkahilah mayat murid-muridnya
lebih dulu. Ayo serbu.......!”
Para lelaki yang tadi asyik menonton adu ayam itu kini menyerang dengan
senjata golok di tangan. Tampaknya mereka benar-benar marah sehingga
serangannya sangat ganas dan mematikan.
Sabetan-sabetan golok mereka mengarah kepada bagian tubuh yang sangat vital
bagi lawan. Namun rupanya ucapan si mata satu bukanlah sekadar bualan
belaka.
Semua serangan lawan-lawannya dengan mudah dapat dielakkannya. Bahkan
kemudian, dengan golok mautnya ia balas menyerang dengan gerakan yang
teramat sulit diikuti mata saking cepatnya. Satu per satu, lawannya
bergelimpangan bersimbah darah dengan tubuh terkena sabetan golok.
Dalam beberapa gebrakan, si mata satu menghabisi nyawa lawannya, kecuali
satu yang memang sengaja ia biarkan hidup.
“Aku sengaja membiarkan kau hidup, tikus kecil. Pulanglah sekarang juga dan
beritahu kepada gurumu bahwa aku menunggunya di lembah Cadas Kuriling. Ayo,
cepat!”
Lelaki yang memang murid Gagak Ciremai itu langsung terbirit-birit
meninggalkan tempat itu. Ia segera melaporkan peristiwa itu kepada
gurunya.
“Guru, si mata setan itu kembali menebar maut. Ampunilah kami guru, karena
kami tak mampu menghadapi pengacau itu. Ia juga berpesan agar guru
menemuinya di lembah Cadas Kuriling.”
“Pulanglah, Warso. Aku akan menerima tantangannya.”
Sambil menatap kepergian Warso, Gagak Ciremai menghela nafas dalam-dalam.
Keningnya tampak berkerut-kerut, sementara matanya menatap lurus ke luar
melalui jendela.
Tak salah lagi, ilmu pedangnya memang luar biasa. Barangkali aku pun tidak
akan mampu menghadapinya. Tetapi sebagai guru silat di desa ini dan sebagai
seorang pendekar yang gagah perkasa, aku tak mungkin menolak tantangannya.
Akan kuhadapi dia, semoga Tuhan melindungiku. Gagak Ciremai berguman dalam
hati.
Kemudian ia menuju ke halaman belakang, menemui pesuruhnya Kosim yang saat
itu sedang bercanda ria bersama Ranti.
“Kosim, ibu si Ranti tampaknya belum pulang juga. Mungkin dia agak lama
pulangnya. Jagalah anakku baik-baik. Aku akan pergi sebentar ke lembah Cadas
Kuriling untuk menemui seseorang.”
“Baik, den. Den Ranti akan saya jaga baik-baik. Apakah aden akan lama
pulangnya? Kalau ada pesan akan kusampaikan kepada den Ajeng.”
“Oh, tidak. Aku hanya sebentar saja. Mungkin sebelum beduk lohor aku sudah
pulang.”
Sehabis berkata begitu, Gagak Ciremai memeluk Ranti. Dibelai-belainya
rambut anaknya itu dan diciuminya sepuas-puas hati. Buah hatiku, doakanlah
ayahmu....... bisiknya dalam hati.
Entah kenapa kali ini perasaannya sangat terharu. Hampir saja airmatanya
jatuh berderai membasahi pipinya. Tetapi sebagai seorang pendekar yang telah
puluhan tahun malang melintang di dunia persilatan, ia masih mampu menahan
perasaan.
Gagak Ciremai kemudian menyerahkan Ranti kepada Kosim, lalu beranjak
meninggalkan rumah, diiringi pandangan mata Kosim yang keheranan.
Seakan-akan firasat pesuruh itu membisikkan sesuatu yang tidak
baik.......
Matahari mulai bergulir ke arah barat ketika Gagak Ciremai tiba di lembah
Cadas Kuriling. Lembah itu sangat sepi, tak ada suara hiruk pikuk orang
mengadu ayam atau suara anak-anak yang sedang bermain-main, atau suara
teriakan murid-murid Gagak Ciremai saat latihan jurus-jurus ilmu
silat.
Di lembah itu ada dataran kecil mirip lapangan. Di pinggirnya, berdiri
seorang lelaki, tegak dan tak bergerak-gerak hingga mirip patung.
Itulah dia si mata satu! Pendekar yang dalam beberapa hari ini membuat desa
Perbutulan gempar, menatap lurus ke depan.
Matanya yang merah bagaikan memancarkan api hampir tak berkedip. Bibirnya
terkatup rapat. Dari wajahnya yang dingin itu terpancar kebengisan dan hawa
nafsu membunuh yang sepertinya tak mampu dikekang lagi.
“Ayah, bertahun-tahun aku menuntut ilmu, kemudian mengembara mengelilingi
lereng-lereng gunung Ciremai ini. Hari inilah aku akan menebus dendam
patimu. Semoga terwujud sumpah yang pernah kuucapkan di hadapan jenazahmu!”
Si mata satu berguman di dalam hati.
Tak lama kemudian, Gagak Ciremai tiba di tempat itu. Guru silat yang
kesohor itu melangkah perlahan, kemudian berhenti di ujung dataran kecil
itu, sementara di ujung yang satu lagi berdiri pula si mata satu. Kedua
pendekar itu saling bertatapan.
“Ha-ha-ha, aku sangat gembira melihat kedatanganmu. Benar juga dugaanku,
orang yang selama ini kucari-cari bukan pengecut. Kau telah datang ke sini
memenuhi tantanganku. Apakah kau sudah siap?” tanya si mata satu sembari
mencekal hulu pedangnya.
“Aku datang untuk menyaksikan permainan golokmu yang luar biasa. Mungkin
inilah kesempatan yang pertama kali bagiku menyaksikan ilmu golok luar
biasa.
“Akan tetapi sebelumnya perkenankanlah aku bertanya, kesalahan apakah yang
telah kulakukan hingga Anda mau bersusah payah menyusuri lereng gunung
Ciremai ini hanya untuk bertemu dengan aku yang bodoh ini? Siapakah Anda
sebenarnya?”
“Hm, rupanya kau telah lupa dengan hutang pati yang telah kau lakukan,”
bentak si mata satu dengan sikap yang tiba-tiba saja berubah jadi
beringas.
“Tapi baiklah. Aku pun tidak akan puas sebelum kau mengetahui siapa aku
sebenarnya. Orang-orang di lereng selatan menyebutku Gembong Wungu.
Kedatanganku ke lereng gunung ini untuk menebus hutang nyawamu, Gagak
Ciremai.”
“Gembong Wungu, aku tak mengerti maksudmu.”
“Jangan berlagak pilon, Gagak Ciremai. Ingatkah kau seorang lelaki bernama
Gembong Kuning yang kau robohkan limabelas tahun lalu di lereng selatan? Aku
adalah anak tunggalnya yang saat itu masih ingusan.”
Gagak Ciremai tertegun sejenak.
Ia kembali mengingat-ingat pengalamannya semasa muda, saat itu sering
mengembara ke seluruh pelosok Jawa Barat, untuk memperdalam ilmunya,
termasuk pula menumpas kaum hitam yang sering membuat penduduk sengsara dan
tersiksa.
“Ya, aku ingat. Aku ingat, Gembong Wungu. Tapi kau harus mengerti duduk
persoalannya. Ayahmu seorang perampok yang selalu mengancam keamanan
penduduk desa di lereng selatan. Karena itu saya harap kau tidak termakan
emosi.
“Maksudmu membalas dendam tidak baik, bisa menimbulkan kesan bahwa kau
menegakkan kebathilan bukannya kebaikan. Dan perlu kau tahu, saat itu aku
sebenarnya tak bermaksud membunuh ayahmu.
“Aku memberinya kesempatan untuk bertobat, tetapi nyatanya ia tetap bandel.
Kewajiban seorang pendekar adalah menumpas kejahatan dan menegakkan
keadilan. Tuhan selalu berdiri di pihak yang benar, Gembong Wungu.”
“Aku tak butuh ocehanmu gagak pikun. Bagaimana pun, kau telah membunuh
ayahku. Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa. Cabutlah senjatamu, kita
selesaikan persoalan kita sampai salah seorang di antara kita menghadap
akherat.”
“Baiklah, Gembong Wungu. Aku sebenarnya tak ingin berkelahi apalagi adu
nyawa denganmu. Tapi karena kau memaksa, aku pun tidak menolak tantanganmu.
Aku sudah siap. Majulah Gembong Wungu!”
Kedua pendekar dari lereng utara dan lereng selatan itu sama-sama menghunus
senjata. Melihat golok di tangan Gembong Wungu diam-diam terkejut juga Gagak
Ciremai.
Golok itu sepintas lalu kelihatannya hanyalah sebatang golok biasa. Namun
sebagai pendekar yang sudah cukup banyak makan garam dunia persilatan,
tahulah Gagak Ciremai bahwa golok lawan merupakan golok pusaka yang sangat
kuat dan berbahaya.
Sambil berteriak dengan suara mengguntur, Gembong Wungu menyerang dengan
ganas. Golok pusakanya diayunkan cepat sekali hingga membentuk sinar
bagaikan pelangi mengarah ke arah dada Gagak Ciremai. Dengan gerakan yang
juga sangat cepat, guru silat desa Perbutulan itu berkelit ke samping, lalu
balas menyerang dengan pedangnya.
Pertarungan dua jago silat itu berlangsung sangat cepat. Golok mereka
diputar sangat cepat hingga membentuk gulungan sinar kemerah-merahan,
kadang-kadang terlihat bagaikan membungkus kedua tubuh pendekar sakti
itu.
Tetapi pada saat-saat tertentu, sinar itu mencelat mengincar tubuh lawan.
Suara golok beradu dan teriakan nyaring memenuhi lembah Cadas Kuriling.
Kedua tokoh dunia persilatan yang sama-sama memiliki ilmu kesaktian tinggi
itu mengeluarkan segenap kemampuan untuk melumpuhkan lawan.
Tubuh mereka berkelebatan menyerupai bayang-bayang, sehingga orang-orang
biasa atau yang ilmu silatnya rendah pastilah sulit mengikuti gerakan
Gembong Wungu dan Gagak Ciremai.
Sampai jurus yang ketujuhpuluhan, pertarungan maut itu masih berimbang.
Gagak Ciremai masih mampu mengimbangi serangan lawan dengan jurus-jurus
andalannya. Namun setelah itu, mulai terlihat Gagak Ciremai agak
keteter.
Diam-diam ia harus mengakui bahwa tenaga lawan lebih kuat dari tenaganya.
Selain itu, jurus-jurus Gembong Wungu sangat berbahaya dan sangat tidak
terduga.
Jagoan bermata satu itu sering terlihat menyerang secara ngawur, tetapi di
saat lawan lengah, tiba-tiba ia menyerang dengan jurus-jurus mematikan.
Untunglah Gagak Ciremai selalu hati-hati hingga sampai saat ini masih bisa
bertahan.
Memasuki jurus yang kedelapanpuluh, pada saat Gagak Ciremai makin terdesak,
tiba-tiba Gembong Wungu menyerang dengan jurus mautnya. Tangan kirinya
membentuk cengkeraman menyambar ke arah ubun-ubun lawan sementara pada saat
yang hampir bersamaan, kakinya terangkat dengan gerakan kilat menyambar
pusar lawan.
Serangan itu begitu berbahaya, kalau mengenai sasaran niscaya lawan akan
terkapar. Diam-diam Gagak Ciremai terkejut bukan main. Dengan gerakan
secepat yang bisa ia lakukan, ia menggeser kakinya, berkelit ke kanan hingga
dua serangan itu tidak mengenai tubuhnya. Namun pada saat itu juga ujung
golok Gembong Wungu menyambar perut Gagak Ciremai dengan telak.
Disertai jeritan panjang, tubuh guru silat desa Perbutulan itu ambruk ke
tanah. Darah segar memancar dari luka menganga di bagian perutnya.
Sejenak tubuh itu menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih, lalu
kemudian diam tak bergerak. Maka tamatlah riwayat guru silat yang luhur budi
itu di ujung golok seorang tokoh hitam dari lereng selatan.
Tiba-tiba Gembong Wungu menyerang dengan jurus mautnya. Tangan kirinya
membentuk cengkeraman menyambar ke arah ubun-ubun lawan sementara pada saat
yang bersamaan, kakinya terangkat dengan gerakan kuat menyambar pusar
lawan.
***
Pada saat yang bersamaan, dengan tangan gemetar, istri Gagak Ciremai
membaca secarik kertas yang ditinggal suaminya di atas meja. Isi surat itu
singkat saja, namun cukup membuat istri Gagak Ciremai menjadi pucat pasi
dengan dada berdebar-debar tak karuan.
Istriku, sayang.
Bukan aku hendak mendahului kehendak yang Maha Kuasa. Kurasa tindakan yang
paling tepat adalah menerima tantangan si durjana ini. Bila aku tidak
kembali, janganlah kau menangis, tetapi berdoalah. Karena semua ini adalah
takdir.......
“Oh, tidak! Tidak........!” jerit istri Gagak Ciremai.
Dengan perasaan tak menentu, wanita itu berlari-lari ke Cadas Kuriling. Ia
tak memperdulikan apa-apa lagi. Ia mengerahkan segenap kemampuannya berlari
secepat mungkin agar bisa sampai secepatnya ke lembah Cadas Kuriling.
Sambil berlari-lari, wanita itu tak henti-hentinya menangis dan
menyebut-nyebut nama suaminya. Sesampai di lembah itu, maka terhenyaklah
istri Gagak Ciremai karena jenazah suaminya sudah dikebumikan dua orang
murid suaminya itu.
Ia menubruk gundukan tanah merah itu sambil meratap sejadi-jadinya.
Perpisahan itu sungguh tak pernah diharapkannya, tetapi kini sudah jadi
kenyataan. Lelaki yang sangat dicintainya dengan segenap jiwa raganya telah
pergi untuk selamanya. Tiada lagi, semuanya telah hancur. Maka pupus pulalah
harapan istri Gagak Ciremai.
Wanita itu menjerit-jerit histeris bagaikan orang yang telah kehilangan
kewarasan. Ia bangkit meninggalkan kuburan suaminya dan berlari ke arah
semak-semak belukar di tempat itu.
Dua murid Gagak Ciremai terpaku bagai kena sihir. Keduanya hanya melongo
saja, dan ketika tubuh istri Gagak Ciremai telah lenyap di balik belukar,
mereka tersentak tersadar lalu sama-sama mengejar. Namun tubuh wanita itu
benar-benar lenyap entah ke mana.
Tamatnya riwayat Gagak Ciremai di tangan Gembong Wungu ternyata menjadi
awal malapetaka bagi penduduk desa Perbutulan.
Jagoan bermata satu dari lereng selatan itu ternyata tidaklah meninggalkan
desa itu setelah berhasil melampiaskan dendam kesumatnya kepada musuhnya.
Tokoh hitam itu melangkah dengan sikap bengis di antara rumah-rumah penduduk
dengan sikap siap sedia membunuh siapa saja yang tampak oleh batang
hidungnya.
Sambil membusungkan dada, Gembong Wungu melangkah ke rumah Gagak Ciremai.
Ia langsung menendang daun pintu rumah guru silat itu hingga jebol. Kosim
yang saat itu meringkuk ketakutan sambil mendekap Ranti semakin ketakutan
lagi. Sekujur tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi seolah-olah tak dialiri
darah lagi.
“Siapa kau, kunyuk? Heh, anak siapa itu? Bawa anak itu ke mari. Ayo, jangan
merondok saja di situ!” bentak Gembong Wungu sambil berkacak pinggang.
“Ja....... jangan, tuan. Jangan....... oh, ampun tuan. Dia tidak berdosa.
Jangan membunuhnya!”
“Ke sini, kataku. Aku senang dengan mata si mungil yang bening menantang
bagaikan bintang kejora itu. Mari, sayang. Jangan takut, ya........”
Lalu dengan suara yang kembali kasar ia bertanya kepada pesuruh Gagak
Ciremai. “Hei, tolol. Siapa namamu?”
“Ko....... Kosim, tuan.......”
“Ha-ha-ha....... Kosim. Saksikanlah. Mulai detik ini si mungil ini menjadi
anak angkatku. Akan kudidik dia menjadi seorang pendekar yang gagah berani,”
kata Gembong Wungu sambil menimang-nimang anak itu.
Sejak saat itu pula, Gembong Wungu mengangkat dirinya sebagai pengganti
kedudukan Gagak Ciremai. Namun banyak di antara penduduk desa yang menolak
jadi muridnya, lalu melarikan diri ke desa lain.
Sebaliknya, di desa Perbutulan semakin banyak penjahat, tokoh-tokoh dari
dunia hitam. Sebab kemudian ternyata Gembong Wungu bukannya menjadi pemimpin
yang baik seperti almarhum Gagak Ciremai, tapi menjadi gembong komplotan
garong dan rampok.
Desa Perbutulan yang dulu aman tenteram, kini berubah jadi angker. Penduduk
makin hari makin tersiksa oleh kekejaman Gembong Wungu dan pengikutnya. Di
sana sini terjadi perampokan, pemerasan, perkosaan dan kejahatan lainnya.
Penduduk yang mencoba menentang langsung ditumpas tanpa ampun.
Maka makin banyak jua lah korban yang jatuh di ujung pedang si mata satu
serta pengikutnya. Kini tiada lagi penduduk yang bisa hidup dengan
tenang.
Siang dan malam mereka tertekan, tersiksa dan selalu diburu kecemasan akan
kejamnya penjahat di desa mereka. Keganasan Gembong Wungu serta pengikutnya
ternyata tidak hanya di desa Perbutulan saja, tetapi juga merembet sampai ke
kota praja.
Ganasnya sepak terjang Gembong Wungu dan pengikutnya sampai pula ke telinga
para pejabat pemerintah Kompeni Belanda. Pemerintah penjajah ini pernah
mengirimkan bala tentara menumpas komplotan Gembong Wungu. Tetapi dengan
mudah, pasukan pemerintah Belanda itu ditumpas pasukan Gembong Wungu.
Pemerintah Belanda akhirnya merasa kewalahan juga. Di samping itu, mereka
juga punya perhitungan lain, karena berbagai pertimbangan dan alasan mereka
akhirnya merasa tak perlu menumpas komplotan penjahat itu, yang penting anak
buah Gembong Wungu tidak mempengaruhi hasil pajak yang dipungut dari
daerah-daerah.
Lagi pula Gembong Wungu bertindak hanya terbatas pada kejahatan biasa untuk
kepentingan pribadi atau kelompok kecil. Tidak ada tanda-tanda persatuan
untuk menjadi pemberontak terhadap penjajah.
***
Waktu pun berputar, biar lambat namun pasti. Berbagai kejadian telah
tercatat dalam sejarah, tersimpan dalam ingatan orang dan yang kelak menjadi
kenangan. Hari berganti hari kemudian minggu bulan dan tahun pun silih
berganti.
Limabelas tahun telah berlalu sejak tewasnya Gagak Ciremai di tangan
Gembong Wungu. Selama itu pula penduduk desa Perbutulan hidup tersiksa di
bawah kejamnya tangan pendekar bermata satu itu. Bahkan komplotan yang
terdiri dari tokoh-tokoh dunia hitam itu kini sudah membentuk negeri kecil,
hidup di balik tembok yang kuat, sebuah negeri rampok.
Selama limabelas tahun itu pula, kedudukan Gembong Wungu makin kuat, tak
ubahnya seorang raja. Setiap kata yang keluar dari mulutnya merupakan
undang-undang tak tertulis bagi pengikutnya dan berlaku dalam lingkungan
desa perampok itu.
Ranti, putri tunggal almarhum Gagak Ciremai itu pun kini sudah menjadi
seorang dara jelita yang tangkas. Sejak anak itu pintar berjalan, ia telah
digembleng ayah angkatnya.
Rambutnya yang hitam panjang dikuncir ke belakang dengan pita emas.
Bibirnya tipis dan merah merekah, sehingga jika mengulum senyuman maka
terciptalah keindahan yang mampu menggoda siapa pun yang melihatnya.
Namun karena perlakuan Gembong Wungu, jadilah gadis itu menjadi seorang
wanita yang bersikap manja tetapi berwatak keras. Semua kemauannya harus
dituruti!
Dan sekalipun ia cantik jelita bagaikan bidadari yang turun dari langit,
tak seorangpun lelaki di desa itu berani menggodanya, apalagi bersikap
kasar. Para lelaki itu hanya bisa mengagumi kecantikan Ranti secara
diam-diam.
Hari itu matahari mulai condong ke barat. Udara mulai menyejuk. Di sebelah
selatan desa Perbutulan ada sebuah hutan yang letaknya lebih tinggi di
lereng gunung Ciremai.
Angin yang berhembus sepoi-sepoi menyibak rambut seorang pemuda yang sedang
duduk sendirian di hutan itu. Ia masih muda, baru berusia sekitar duapuluh
tahun, namun sinar matanya tampak memancarkan kedewasaan yang mengagumkan.
Wajahnya tampan dan tampak selalu simpatik dan ramah. Tetapi kini, ia duduk
termenung.
Emoticon