Parmin menempuh perjalanan melalui pedalaman. Ia tidak mau melalui jalan
yang dibuat sebagai jalan perintis oleh Kumpeni Belanda yang meminta banyak
korban rakyat jelata. Sudah cukup jauh jalan yang ditempuhnya. Sepanjang
jalan hanya pohon-pohon besar dan semak-semak belukar yang ia jumpai.
Sekali-sekali Parmin juga menemui satu dua orang yang sedang menebang pohon
untuk dijadikan kayu bakar. Belum satupun ia menjumpai pondok perkampungan.
Parmin terus berjalan menelusuri hutan sampai akhirnya ia tiba di sebuah
tempat yang terbuka.
Hari itu teramat panas dirasakan Parmin. Apalagi sekarang ia sudah
meninggalkan hutan. Tiada lagi pohon-pohon yang menghalangi sinar matahari
yang menyengat ubun-ubunnya dan sekarang sinar matahari terasa membakar
ubunubunnya. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Rasa haus menggerogoti
kerongkongannya. Parmin ingin sekali beristirahat untuk sekedar membasahi
kerongkongannya yang terasa kering dan ia berharap akan menemukan sebuah
warung.
Dengan sabar Parmin terus berjalan perlahan-lahan dengan harapan ia
menemukan sebuah warung. Akhirnya tak seberapa jauh ia melangkahkan kaki
dari kejauhan terlihat sebuah warung. Parmin segera mempercepat langkahnya
menuju warung itu. Setelah sampai, Parmin langsung duduk sambil melepaskan
capingnya dan ditaruhnya diatas bangku kayu yang terletak didepan warung
itu. Ia menyeka peluh di keningnya dengan kain sarung yang menyilang di
dadanya.
Suasana warung itu benar-benar nyaman dan dikelilingi oleh pohon-pohon yang
besar dan rimbun. Angin bertiup sepoi-sepoi di daerah sekitarnya membuat
orang betah duduk berjam-jam lamanya di warung itu. Pemiliknya seorang
bapak-bapak yang berumur sekitar tujuh puluhan dengan kumis dan jenggot yang
hampir memutih semuanya.
"Pak, apakah ini yang namanya kampung Celancang?" tanya Parmin sambil terus
mengipasi dirinya dengan caping.
"O ya! Ya! Kira-kira satu jam lamanya dengan berjalan kaki." jawab pemilik
warung itu sambil mengaduk kopi.
"Tolong buatkan teh tubruk manis, pak!" pinta Parmin.
"Baik nak." sahut pemilik warung sambil memberikan segelas kopi tersebut
kepada seorang pembeli yang duduk di bangku sebelah kiri meja
dagangannya.
Dari ruang dalam terdengar gelak tawa yang sangat nyaring. Sekelompok orang
laki-laki sedang asyik main domino. Mereka berempat. Dua orang bertampang
seram dan bertubuh tegap mengenakan kain sarung yang menyilang di dadanya.
Satu orang bertubuh gendut memakai belang-belang dan satunya lagi bertubuh
kurus memakai baju putih dengan golok terselip dipinggangnya. Mereka
masing-masing memakai ikat kepala dengan berbagai corak warnanya. "Wah, hari
ini nasibku sedang sial! Aku selalu mati!" teriak si gendut membanting kartu
domino yang berada di tangannya ke atas meja.
"Tentu saja karena kau belum mandi!" ledek si kurus sambil memonyongkan
bibirnya.
Melihat bibir si kurus yang monyong, kontan saja teman-temannya tertawa
terbahakbahak. Demikian juga dengan pemilik warung itu, ia tertawa
terpingkal-pingkal sehingga hampir saja gelas berisi kopi yang dibawanya
hampir tumpah. Parmin hanya tersenyum melihat tingkah laku mereka dan ia
kembali menikmati teh tubruknya.
Sementara itu dari kejauhan terlihat seorang laki-laki berjalan memanggul
sebuah peti yang besar dipundaknya yang terbuat dari kayu jati mendekati
warung tersebut. Peti yang dibawanya kelihatan sangat berat, tetapi ia
tenang saja berjalan seperti membawa peti kertas yang berisi
kapas.
Dengan lirikan matanya, Parmin dapat melihat gerak langkah pemuda itu
sangat ringan tanpa menimbulkan suara!
Orang itu masih sangat muda. Hanya saja ia kelihatan tua karena tubuhnya
kotor tak teru- rus. Rambutnya panjang sebatas pinggang dan sebuah golok
panjang terselip di pinggangnya. Kain sarung menyilang di dadanya yang
bidang. Kepalanya berikat kain yang serupa dengan kain yang menyilang
didadanya. Pakaian yang melekat di tubuhnya sudah sangat kumal. Tatapan
matanya begitu kosong seperti orang yang dilanda kesedihan dan putus
asa.
Parmin agak terkejut ketika ia melihat dengan lirikan mata bagaimana cara
orang itu berjalan tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Pasti ia
memiliki tenaga dalam yang tinggi dan menguasai ilmu silat yang tinggi
pula.
Pemuda pembawa peti itu berhenti sejenak di depan warung kopi.
"Aku haus sekali...! Berilah aku air dingin segelas!!" katanya dengan lirih
kepada pemilik warung itu.
Kemudian ia berjalan menghampiri sebuah pohon yang terletak didepan warung
tersebut. Ia lalu menaruh peti yang dipanggulnya ke atas tanah dan ia
sendiri duduk seenaknya di bawah pohon yang teduh itu.
Selang beberapa saat kemudian terdengar ia mengoceh sendirian dengan suara
yang lirih sambil mengelus-elus peti itu. Ia seperti membelai sesuatu yang
sangat disayanginya dan perkataannya seperti ditujukan kepada isi peti kayu
itu.
"Kita beristirahat dulu ya, sayang? Kita haus sekali, bukan? Bersabarlah
sedikit, aku se- dang memesan segelas air putih. Sepanjang hari ini
tampaknya kau sangat gelisah, mengapa?" katanya dengan penuh kelembutan dan
matanya seakan-akan menembus ke dalam peti kayu itu.
Parmin memperhatikan semua itu. Di hatinya terbersit rasa iba terhadap
pemuda itu.
"Siapakah orang itu, pak? Barangkali bapak kenal?" tanya Parmin.
"Ah, kasihan dia! Biarlah kuberi minum anak muda yang miring otaknya itu!"
kata pemilik warung sambil menuangkan air putih dalam teko ke dalam gelas.
Kemudian ia berjalan meninggalkan warungnya dan Parmin yang sedang makan kue
serabi menghampiri anak muda itu.
Beberapa orang anak kecil bertelanjang baju datang mendekati pemuda itu
sambil berolokolok.
"Guik! Guik! Ciluuuuuuuuuuuk.....
Baaaaa!! Orang gila! Pakaian mu bau apek! Weeeeee.....!" teriak salah
seorang anak yang bertubuh kurus sambil menjulur-julurkan lidahnya ke arah
pemuda lusuh yang sedang beristirahat itu.
Seorang anak kecil yang berkopiah membungkukkan tubuhnya memperhatikan peti
kayu yang terletak disebelahnya.
"Apa isi peti itu, hai orang gila? Boleh kutukar dengan singkong
bakar?"
Tapi ia nampak tenang saja seraya tersenyum-senyum tanpa menghiraukan
ocehan anakanak nakal itu. Seorang anak kecil berkepala botak berdiri di
belakang pemuda gila itu sambil memperhatikan semua yang ada pada
dirinya.
"Lihat! Dia bawa pedang! Bagus juga pedangnya. Buat apa, ya?
Idiiiiiiih....!" seru anak itu takut kepada teman-temannya dan ia
menyembunyikan dirinya di balik pohon.
"Oee! Oeee! Jelek! Jelek! Weeee...!" ledek yang satunya sambil terus
menjulur-julurkan lidahnya.
Pemuda itu kembali tersenyum.
Anak-anak kecil itu tiba-tiba dikejutkan oleh datangnya si pemilik warung
yang membawa segelas air putih.
"Hei! Bocah-bocah cilik! Ayo pergi! Pergi semua! Jangan ganggu dia, ayo!
Nanti kalau dia marah, rasain lho!" bentak orang tua tersebut menakut-nakuti
mereka. Anak-anak itu kemudian kabur sambil tertawa cekikikan dan mencari
tempat bermain yang lain.
"Ini air yang kau minta. Jika kau masih haus nanti boleh tambah
lagi!"
Pemilik warung itu mengulurkan tangannya untuk memberikan gelas yang
dipegangnya kepada pemuda gila itu. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan golok
berkelebat menyambar dan gelas tersebut jatuh ke tanah pecah berantakan
menumpahkan air yang berada di dalamnya.
Ketika pemilik warung itu menoleh ke belakang ia terperanjat melihat empat
orang pendekar yang bertubuh kekar dan berwajah bengis te- lah berdiri di
situ. Tanpa banyak bicara lagi ia segera mundur beberapa langkah dan berlari
menuju warungnya dengan wajah diliputi kecemasan. Ia membayangkan peristiwa
keji bakal terjadi.
"Ha ha ha ha ha ha ha! Lihat monyet ini ternyata masih ada di dunia! Aku
telah lama mencarimu untuk kubuat sate!" kata salah seorang di antara mereka
sambil menyarungkan goloknya setelah menyabet gelas, tadi. Ia rupanya
menaruh rasa dendam terhadap pemuda lusuh itu. Di antara mereka agaknya ada
persoalan yang belum terselesaikan.
Si Gila hanya tersenyum menatap orang di depannya.
"He, ayo bangun monyet! Jangan tidur di situ!!" teriak orang itu marah
melihat calon korbannya tak merasa gentar sedikitpun disusul sebuah
tendangan ke wajah pemuda.
Tetapi apa yang terjadi? Seketika terdengar suara kaki yang beradu keras
dengan batang pohon. Ternyata pemuda itu sudah tidak berada di tempatnya.
Begitu gesit gerakannya, hingga tahutahu ia sudah berdiri di belakang
mereka, tanpa mereka sendiri sempat melihat kapan pemuda itu
berkelebat.
Keempat pendekar itu memandang Si Gila setengah heran dan kaget bukan main.
Sementara pemuda itu berdiri tegak memandang mereka dengan sinar mata yang
menyala-nyala.
"Dulu kalian boleh menghinaku seperti anjing kurap!! Karena aku lemah dan
aku bodoh! Te- tapi sekarang jangan coba-coba menganggap remeh orang yang
kelihatan lemah!" katanya dengan lantang.
Mendengar kata-kata yang dilontarkan Si Gila kepada mereka, keempat
pendekar itu seketika menjadi marah bukan main. Agaknya perkataan itu
merupakan suatu tantangan bagi mereka.
Sekilas wajah mereka merah padam. "Bangsat!" teriak pemimpin mereka
dengan
gigi yang gemeretuk.
Kemudian keempat pendekar itu segera mengurung Si Gila dengan cepat dari
segala arah. Masing-masing membentuk kuda-kuda dengan golok yang terhunus.
Sedangkan pendekar yang berkepala botak memutar-mutarkan senjata rante
bandulnya sehingga menimbulkan suara yang menderu-deru seperti angin puyuh.
Tetapi Si Gila tetap berdiri tak bergeming. Sinar matanya yang tajam siap
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
"Siap kawan-kawan!! Aku tidak akan pernah puas kalau belum memusnahkan
bangsat ini! Dialah orang yang menghancurkan semua harapanku!" teriak
seseorang diantara mereka yang bernama Badar dan menjadi pemimpin dari
ketiga orang pendekar lainnya.
Si Gila tetap berdiri tak bergerak. Namun bersikap siap siaga.
"Karena kaulah semua rencanaku menjadi gagal! Kau tikus laknat yang telah
mengacaukan hidupku! Kini terimalah ajalmu, monyet gembel!" serunya sambil
menyilangkan goloknya ke depan siap menyerang. Suaranya menggeram membentuk
raungan akibat dari luapan rasa dendam yang begitu besar memenuhi
dadanya terhadap lawan yang sudah sekian lama dilacak dan diburunya dari
kampung ke kampung.
Si Gila tetap saja berdiri tenang ditengahtengah kepungan mereka. Angin
bertiup menerpa rambutnya yang panjang. Terlihat betapa gagahnya dia!
Wajahnya yang masih belia itu dihiasi bulu-bulu halus yang meremang di atas
bibir dan dagunya.
Di saat-saat seperti itu seakan-akan ia menjelma menjadi seorang pendekar
tangguh yang gagah perkasa dan bukan lagi seorang pemuda yang tidak
waras.
"Bagiku semua ini adalah takdir yang rela kuterima. Semua telah selesai,
Badar! Walaupun hatiku sakit, tapi membalas dendam adalah pantang bagiku!
Tak ada gunanya dan tak akan merubah jiwaku yang sudah hancur! Juga tidak
akan membuat kekasih-ku Nuraini hidup kembali!" katanya lirih.
"Aku enggan meladenimu, Badar! Biarlah kuterima semua penghinaanmu, karena
aku memang dilahirkan ke dunia sebagai orang yang hina-dina. Biarlah aku
berlalu membawa duka hatiku..." lanjut Si Gila. Namun ucapan yang penuh
keikhlasan dan kerendahan diri itu justru membuat hati Badar seperti
tersundut api. "Eiiiiiiit... kau menghinaku, monyet! Tahukah kau? Aku tidak
akan bisa hidup tenang jika golokku ini belum bermandikan darahmu
bangsat...!!" teriak Badar dengan napas yang memburu.
Sementara itu mendengar ribut-ribut di luar, orang-orang yang berada dalam
warung itupun segera berhamburan keluar untuk menyaksikan perkelahian
tersebut. Mereka rela meninggalkan permainan dominonya yang asyik. Demikian
juga dengan Parmin. Ia segera berdiri dan meninggalkan bangku tempat
duduknya beberapa langkah ke depan untuk menyaksikan perkelahian itu lebih
dekat. Entah mengapa nalurinya menyatakan simpati kepada pemuda yang
dijuluki Si Gila dari Muara Bondet itu.
"Hei, lihat ! Itu bukankah Si Gila yang sering luntang-lantung di desa ini?
Si Gila dari Muara Bondet!! Mengapa orang-orang itu memusuhinya?" tanya
salah seorang yang berada didepan warung kepada teman-temannya sambil
bersandar tangan pada tiang penyangga warung. Tapi rupanya tiang itu sudah
rapuh ikatannya dan ia terjengkang bersama robohnya tiang tersebut.
Segera Badar mengisyaratkan kepada kawan-kawannya agar serempak menyerang! Dengan satu teriakan yang keras dan panjang, keempat pendekar itu terbang berbarengan menyerang Si Gila dengan senjatanya masing-masing.
Segera Badar mengisyaratkan kepada kawan-kawannya agar serempak menyerang! Dengan satu teriakan yang keras dan panjang, keempat pendekar itu terbang berbarengan menyerang Si Gila dengan senjatanya masing-masing.
"Sikaaaaaaaaaat!!"
"Oh, kalian mencari mati? Maaf, ini bukan salahku!" gumam Si Gila di sela
teriakan keempat pendekar itu.
Tubuh Si Gila dari Muara Bondet dengan lincahnya menghindari serangan
senjata rantai bandul itu.
Tiba-tiba secepat kilat Si Gila mencabut pedang dari sarungnya membabat
perut dari dua orang penyerang itu dengan satu gerakan yang tak terduga.
Kedua orang itu memekik keras dan langsung roboh ke tanah dengan isi perut
yang berhamburan keluar. Kemudian Si Gila melesat ke atas menghindari
serangan rante bandul si botak yang selalu mengikuti kemana tubuhnya
bergerak.
Baru saja ia hendak menginjakkan kakinya di atas tanah, kembali rante
bandul itu menyongsongnya. Dengan bersalto di udara Si Gila segera melesat
kearah Badar yang sedang mengibasngibaskan golok dengan kelebatan sinarnya
membentuk perisai di depan tubuhnya. Dengan satu sabetan yang cepat Si Gila
menembus pertahanan Badar, langsung menebas lehernya. Badar memekik
tertahan. Dari lehernya yang hampir putus menyembur darah segar ke segala
penjuru dan tubuhnya terjungkal ke balik Semak-semak menggelepar-gelepar
seperti seekor ayam yang disembelih kemudian diam tak berkutik untuk
selama-lamanya.
Melihat teman-temannya tewas secara mengerikan ditangan Si Gila, si botak
menjadi kalap bukan main. Ia memutar-mutarkan senjatanya menyerang Si Gila
secara membabi buta, udara di sekitar pertarungan itu menjadi panas akibat
desingan yang ditimbulkan oleh rante bandulnya yang membelah udara dengan
disertai tenaga dalam yang cukup tinggi.
"Ha ha ha ha ha ha! Mungkin kau bisa mengalahkan tiga orang murid dari
perguruan silat Ori Malang. Tetapi kau tak dapat mengalahkan aku si rante
bandul! Terimalah seranganku, hiaaaaat...!" teriak si botak nyaring seraya
meluncurkan senjatanya ke arah Si Gila dengan cepat.
Si Gila melesat menghindari senjata si botak yang seolah-olah mempunyai
mata. Tetapi terhadap Si Gila serangan itu selalu mengenai tempat kosong
alias terkena angin belaka tanpa dapat melukai tubuh Si Gila. Pohon-pohon
kecil banyak yang tumbang akibat terkena hantaman senjata aneh dan
mengerikan itu.
Tubuh Si Gila meliuk-liuk di udara menghindari gempuran senjata si botak.
Begitu ringan ia melakukan gerakan itu bagaikan segumpal kapas yang
melayang. Namun sejauh itu ia belum dapat membalas serangan.
Sementara itu Parmin memperhatikan jalannya pertarungan itu dengan seksama
dan perasaan kagum. Ternyata pemuda tak waras itu memiliki ilmu meringankan
tubuh yang setingkat berada di atas ilmu meringankan tubuhnya.
"Memang hebat si rante bandul ini! Tetapi aku berani bertaruh bahwa Si Gila
akan bisa menyelesaikannya dalam satu atau dua jurus lagi!"
Pertarungan itu sudah berlangsung cukup lama dan menelan puluhan jurus
silat. Mereka mengerahkan semua ilmu yang mereka miliki si botak ternyata
mulai kelihatan kewalahan menghadapi serangan balasan yang dilancarkan Si
Gila. Melihat Si Gila semakin gencar melancarkan serangan, si botak
mengeluarkan jurus andalannya membentuk lingkaran yang melindungi dirinya
dari sambaran pedang Si Gila. Putaran rante bandul demikian cepatnya,
sehingga dari jauh kelihatan seperti membentuk lapisan cahaya yang
membungkus seluruh tubuhnya bagaikan sebuah selimut logam yang begitu ketat
membentengi dirinya. Tetapi tiba-tiba dengan satu teriakan histeris, Si Gila
berhasil menyusup ke dalam desingan rante bandul si botak dan membabatkan
pedangnya membobol perut lawannya.
Si botak memekik keras. Perutnya berhamburan darah segar dan isi yang
berada didalamnya. Untuk beberapa saat lamanya ia masih tegak berdiri
memegang senjatanya dengan gigi yang gemeretak menahan sakit yang teramat
hebat. Tubuhnya bergetar. Dan secara tidak terduga ia meloncat kembali
menyerang Si Gila yang sudah siap dengan jurus barunya menyambut si botak.
Tetapi di tengah langkahnya tiba-tiba si botak ambruk seperti sebuah nangka
busuk yang jatuh ke tanah sebelum dapat menyentuh kulit Si Gila, tewas
menyusul teman-temannya.
Si Gila menghela napas panjang sambil menyarungkan pedangnya.
Semua mata melotot kagum! Betapa tidak, orang yang kelihatan lemah, berotak
miring dan menjadi bahan ejekan anak-anak ternyata ia adalah seorang jago
silat yang luar biasa. Hanya Parmin yang bersikap tenang. Semua orang dalam
warung itu diam tak bergeming menyaksikan seluruh kejadian itu dimana Si
Gila dalam sekejap mata menghabisi musuh-musuhnya.
"Sungguh hebat! Siapakah pemuda gila itu? Mungkin jarang ada seorang jago
silat seperti dia!" desis Parmin kagum.
Si Gila memandangi mayat keempat pendekar itu dengan perasaan menyesal.
Wajahnya tertunduk dan suaranya terdengar parau.
"Aku menyesal mengapa kalian tetap saja membandel? Selamat tidur
kawan-kawan yang malang...! Sekali lagi maaf...!" katanya sambil membalikkan
tubuh menuju pohon rindang itu. Kemudian ia menghenyakkan tubuhnya di
samping peti kayu jati yang selama ini selalu dibawanya kemana pergi.
Dari balik semak-semak keluarlah suara kagum bercampur takut dari anak-anak
kecil yang tadi memperolok-olok Si Gila.
"Hiiiiiii...orang gila itu membunuh orang seperti membabat rumput saja!
Hiiii!" teriak salah seorang anak yang bertubuh gendut sambil menyembunyikan
wajahnya di balik rerimbunan pohon.
Jari-jari tangannya menutup muka, sementara tanah di bawah kedua kakinya
banjir oleh air kencingnya sendiri.
"Hiiiiii...! Aku takut!!" teriak anak-anak itu gemetaran. Mereka
bergerombol seperti anakanak tikus yang saling berpelukan karena takut
melihat seekor kucing.
Si Gila lalu mengangkat peti kayu jati itu dan dengan tenang memanggulnya
ke atas pundak sambil mengayunkan langkahnya berlalu.
Seakan-akan barusan tidak terjadi sesuatu terhadap dirinya.
"Pantas kau merasa gelisah saja, sayang? Rupanya kau mendapat firasat buruk
bahwa kita akan bertemu dengan orang yang membenci kita!" katanya lirih
berbisik kepada peti itu.
Si Gila berhenti sejenak seolah-olah ia sedang mendengarkan sesuatu dari
dalam peti kayu itu. Lagaknya persis seseorang yang sedang mendengarkan
orang lain bicara dari dalamnya.
"Ya, ya! Mari kita pergi! Kita cari tempat yang tenang, bukan? Di mana-mana
selalu saja ada perusuh!" sahut Si Gila. Wajahnya bersungut-sungut dan
kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti semakin jauh meninggalkan pohon
rindang itu. Ia berjalan perlahan-lahan meneruskan perjalanannya entah
kemana. Peluh membasahi sekujur tubuhnya akibat pertarungan tadi.
Anak-anak kecil yang sedang bersembunyi di balik semak-semak, segera lari
tungganglanggang melihat Si Gila berjalan menuju dekat persembunyian
mereka.
"Lari! Lariiii...! Nanti kita dibunuhnya kalau tidak cepat lari...!!"
teriak mereka semrawut sam- bil berlari seperti sedang dikejar-kejar setan.
Salah seorang dari mereka melorot celananya ketika berlari, sehingga ia
menjadi repot sambil berusaha memegangi celananya terus mempercepat
langkahnya menerobos kebun jagung yang berada didepannya. Berkali-kali ia
terjatuh.
Si Gila tersenyum melihatnya.
Lalu ia kembali berjalan menelusuri pinggiran belukar kian jauh
meninggalkan perkampungan itu.
Sementara itu Parmin segera membayar minuman dan makanan tanpa menghiraukan
si pemilik warung yang tegak mematung karena masih terhanyut dalam peristiwa
yang baru saja dilihatnya.
Ketika ia tersadar, segera ia memberikan uang kembalian tetapi Parmin sudah
lebih dulu melesat menuju hutan mengejar Si Gila. Pemilik warung itu hanya
menggaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Hari ini ia telah bertemu
dengan seorang pembeli yang tiba-tiba saja menghilang dari pandangan seperti
asap.
Parmin mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya menyusul Si Gila dan langsung
bersembunyi di balik sebuah pohon sambil terus memperhatikan Si Gila dengan
cermat. Ia berusaha sedapat mungkin supaya tidak mengejutkan pemuda aneh
itu.
Sementara Si Gila melangkahkan kakinya dengan tenang. Kepalanya menunduk
lesu. Dari mulutnya keluar kata-kata yang aneh. Agaknya ia sedang
bercakap-cakap dengan seseorang yang sangat disayanginya. Kadang-kadang ia
tersenyum dan tertawa sendiri. Dia terus berjalan menuju arah selatan.
Dia terus berjalan dan terus berjalan.....
Seakan-akan tak peduli walau sampai ke ujung dunia sekalipun.
***
Parmin berjalan mengendap-endap di balik semak-semak terus membayangi Si
Gila dari jauh. Ia berusaha agar dirinya tak terlihat oleh pemuda itu.
"Aku harus tahu siapakah pemuda itu sebenarnya? Aku harus hati-hati
membuntutinya jangan sampai ketahuan!"
Tak terasa mereka telah jauh menyusup kedalam hutan. Udara sejuk dirasakan Parmin. Angin bertiup dengan lembutnya. Riak-riak dedaunan terdengar begitu merdu di telinga seperti merdunya irama kehidupan. Burung-burung berkicau dan berlompatan kesana-kemari menambah indah suasana dalam hutan itu. Sinar matahari telah mulai menyongsong senja penuh rona ceria.
Semua itu kurang dinikmati oleh Parmin karena matanya terus mengawasi
gerak-gerik Si Gila.
Dalam hatinya ia bertanya.
"Apakah isi peti yang dibawanya itu? Dan mau dibawa kemana peti itu? Dia
manusia yang luar biasa pertama kujumpai!"
Tiba-tiba suara kicauan burung-burung diatas dahan pohon berhenti,
seolah-olah mereka mengisyaratkan sesuatu pada Parmin. Tempat itu menjadi
begitu sunyi. Hanya suara derit pohon bambu yang bergesekan dan riak-riak
ranting pohon yang tertiup angin mewakili detak jantung dan urat nadi. Sunyi
mencekam.
Parmin merasakan suatu firasat buruk yang akan terjadi di hutan ini. Ia
segera memusatkan panca inderanya memantau seluruh keadaan hutan ini.
Demikian juga halnya dengan Si Gila. Ia memusatkan pikirannya terhadap
isyarat alam yang didengarnya. Mulutnya tetap berbicara aneh kepada peti
kayu yang dipanggulnya. Sekan-akan ia membisikkan suasana yang ia rasakan
kepada seseorang di dalamnya.
Tiba-tiba berkelebat sebuah benda meluncur secepat kilat membelah dan
menyambar ke arah Si Gila. Dengan satu gerakan yang memukau ia meloncat
menghindari serangan yang tak terduga itu. Tubuhnya bergerak ringan dan
lincahnya seperti tak membawa apa-apa di atas pundaknya.
Benda gelap itu tak mengenai sasarannya, dan menancap pada batang pohon di
dekatnya. Ternyata benda itu adalah sebuah kapak besi. Kapak itu hampir
seluruhnya menancap ke dalam batang pohon. Berarti orang yang melemparkan
senjata tersebut memiliki tenaga dalam yang he- bat. Bayangkan kalau saja
kapak itu mengenai tubuh Si Gila!
Dari balik semak-semak melompat sesosok tubuh tinggi besar dengan brewok
yang menghiasi wajahnya tertawa terbahak-bahak. Ia tegak berdiri menghadang
Si Gila sambil memegang sebuah kapak besi di tangan kirinya, tangan kanannya
menyilang di dadanya yang berbulu. Kepalanya memakai ikat dari kulit ular.
Kedua kakinya mantap berpijak di atas tanah.
"Kalau kau ingin tetap memiliki nyawamu, serahkan peti itu kepadaku! Tentu
di dalamnya berisi emas atau perhiasan berharga yang kau curi dari
orang-orang Kumpeni Belanda! Cepat!!" teriak laki-laki itu dengan keras.
Suaranya membuat unggas-unggas dalam hutan itu terbang ketakutan.
Si Gila memasang kuda-kudanya dengan sigap menjaga kalau-kalau ada serangan
mendadak yang ditujukan kepadanya. Merasa orang itu bermaksud merampas peti
yang disayanginya, maka Si Gila segera menaruh peti kayu itu di bawah pohon
dan ia mencabut pedangnya membuka jurus untuk meladeni laki-laki bertampang
angker itu.
"Tapi bila kau membandel, ketahuilah bahwa sepasang kapak mautku siap
membikin tubuhmu menjadi perkedel!" ancam pendekar sepasang kapak maut itu
dengan pasti kepada Si Gila. Napasnya terdengar bergemuruh akibat dari nafsu
membunuhnya yang meluap-luap. Parmin terkejut melihat orang itu. Ia ingat
pesan gurunya agar berhati-hati bila melewati daerah sekitar sungai bondet,
karena disitu bercokol seorang begal yang berilmu tinggi dan sangat
ganas.
Si Gila marah mendengar ancaman begal itu.
"Peti ini sama harganya dengan nyawaku!
Kalau kau menginginkan peti ini berarti kau harus melangkahi mayatku
dahulu!" sahut Si Gila mengibaskan pedangnya.
Merasa ditantang begitu si begal brewok menjadi marah bukan kepalang.
"Aha! Rupanya kau sudah bosan hidup, ya baiklah aku tidak usah lama-lama
lagi berbicara. Sekarang yang penting terimalah seranganku ini.
Ciaaaaaaaaaat!!" teriak si begal menggelegar merangsak Si Gila. Kapak
besinya berputar-putar mencecar tubuh Si Gila dari segala penjuru. Si Gila
berkelit kian-kemari menghindari serangan yang bertubi-tubi itu. Sampai
suatu saat ia meloncat melewati kepala si begal dan mendarat di belakangnya.
Ternyata si begal sengaja mendesak Si Gila agar dapat mengambil kapak besi
satunya lagi yang tertancap pada batang pohon tadi. Tepat ketika Si Gila
melesat ke belakang melewatinya dengan cepat ia meraih kapak besi tersebut
dan mencabutnya.
Si Gila dari Muara Bondet berkelit dan sepasang kampak maut itu menghantam
pohon besar itu. "Tak seorangpun bisa lolos dari si dua sejoli kapak mautku
ini dan sudah berpuluh-puluh nyawa orang yang melewati daerah ini kucabut!!
Dan sekarang giliranmu...!" pekik si begal kembali menyerang Si Gila dengan
cepat.
Parmin mengawasi pertarungan itu dari balik sebuah pohon yang besar.
Diameter pohon itu menelan sosok tubuhnya dari pandangan orang lain.
"Dua senjata dimainkan sekaligus! Hebat! Sepasang senjata silat yang
berbahaya! Aku sangsi apakah Si Gila mampu mengalahkannya. Aku membantu Si
Gila bilamana perlu! Aku tak boleh membiarkan begal itu melukainya!" gumam
Parmin.
Wajahnya cemas menyaksikan pertarungan tersebut. Ia merasa dirinya berada
pada posisi Si Gila dari Muara Bondet.
"Ilmu silat mereka sebanding! Tetapi ada keunggulan sedikit pada si begal.
Ia bertenaga besar dan menggunakan dua buah senjata! Sedangkan Si Gila telah
kehabisan tenaga sehabis bertarung dengan keempat pendekar di kampung itu,
walaupun jurus-jurus pedang Si Gila sangat cepat dan aneh! Tetapi sepasang
kapak itu sepertinya menyerang Si Gila dari segala penjuru!" desis
Parmin.
Pertarungan itu telah berlangsung berpuluh-puluh jurus. Keduanya saling
melancarkan serangan dengan gencar. Suara bentrokan dua senjata yang terbuat
dari logam itu antara kapak si begal dengan golok panjang milik Si Gila
terdengar nyaring membelah udara dan menimbulkan bunga-bunga api. Si begal
meliuk-liukkan kapaknya seperti kincir angin terus mendesak Si Gila. Ia
semakin gencar melancarkan serangannya ketika Si Gila mulai terlihat
melemah. Tenaga dalamnya dilipat gandakan. Itu bisa dilihat dari otot-otot
tubuhnya yang kencang menegang dan kulit wajahnya yang semakin memerah
beringas.
Tetapi didalam keadaan terdesak, Si Gila masih sempat membalas serangan.
Dalam suatu kesempatan ia dapat membabatkan pedangnya merobek baju si begal.
Melihat bajunya terkena babatan pedang Si Gila, ia segera mengeluarkan jurus
andalannya dengan memutar-mutarkan kapaknya mencerca tubuh Si Gila dari atas
sampai ke bawah berulang-ulang dalam tempo yang sangat cepat dan secara
bersamaan.
Benar-benar pengerahan tenaga dalam yang berlipat ganda. Si Gila tampak
kepayahan menghadapi si begal. Ia kalah napas dan mulai kelelahan.
Tak lama kemudian terdengar satu teriakan yang keras, dan kapak si begal
merobek dada Si Gila tanpa ampun. Darah mengucur deras dari luka yang
menganga di dadanya akibat serangan pada jurus kesepuluh dari rangkaian
jurus maut si begal. Si Gila terhuyung-huyung ke belakang meringis kesakitan
sambil mendekap dadanya.
"Mampus kau setan alas! Sekarang terimalah ajalmu...!" teriak si begal
sambil meloncat ke atas seperti burung elang yang akan menyambar mangsanya
dengan kapak besi yang siap membelah kepala Si Gila.
Seketika Parmin terkesiap dan keluar dari persembunyiannya.
"Si Gila dalam keadaan bahaya! Aku harus cepat bertindak...!" Parmin
melihat saat-saat kritis itu. Maka dengan satu sentakan yang kuat Parmin
melesat menyambar kapak besi yang dipegang si begal hingga terpental sebelum
menghantam batok kepala Si Gila yang sudah terpojok tak berdaya.
"He!!" pekik si begal terkejut dan kapak besinya meluncur jauh hilang
dibalik semak-semak. Disusul oleh kelebatan sesosok tubuh seorang
pemuda.
Parmin berpijak diatas dengan ringannya dan pasang kuda-kuda siap
menghadapi si begal yang masih terkejut.
"Eiiiiiitt! Siapakah kau monyet busuk! Menyerang secara sembunyi-sembunyi!
Apa hubunganmu dengan gembel yang hampir mampus ini? Apakah kau juga
menginginkan isi peti kayu itu?" bentak si begal dengan lantang. Napasnya
ngosngosan dengan urat leher menyembul keluar. Sepasang matanya merah
seperti saga, sedangkan butir-butir keringat sebesar biji jagung membasahi
keningnya yang sebagian tertutup ikat kepala.
"Si Gila minggirlah anda! Hei, begal! Akulah lawanmu yang sebenarnya!" seru
Parmin menatap si begal dengan pandangan yang menantang. Sementara Si Gila
mengangkat kepalanya sebentar memperhatikan dengan pandangan yang penuh
tanda tanya mencoba menerka siapa gerangan orang yang tiba-tiba muncul dan
membela dirinya? Tangan kirinya tetap memegangi dadanya yang terus-menerus
mengeluarkan darah, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat pedangnya
yang digunakan untuk menyanggah tubuhnya yang semakin melemah. Ia
perlahanlahan beringsut menggerakkan langkahnya yang terseok-seok menjauhi
pertarungan menuju peti kayu miliknya.
Tantangan Parmin membuat darah si begal mendidih naik ke ubun-ubunnya dan
biji mata yang sudah merah semakin membara.
"Coba katakan namamu, anak muda! Sebelum kepalamu yang besar itu
menggelinding kubabat dengan kapakku!!" bentak si begal.
"Aku adalah pembela kaum yang lemah tanpa mengharapkan balas jasa!" sahut
Parmin seenaknya. Si begal menggeram merasa tersinggung mendengar perkataan
Parmin yang bernada ejekan sengaja menusuk perasaannya. Ia mendengus sengit
seraya merangsak Parmin dengan bengis. Jari tangannya diarahkan ke leher
Parmin dan kapak besi yang dipegangnya mengarah ke perutnya. Serangan itu
sangat cepat dan tak terduga. Parmin melejit ke atas berkelebat menghindari
serudukan si begal yang sangat berbahaya itu dan pada saat yang sama ia
mengirimkan tendangan ke bahu si begal sehingga terjungkal be- berapa tombak
ke belakang. Dengan sigap si begal kembali berdiri langsung membuka jurus
baru.
"Oh...boleh juga! Boleh! Ilmu silatmu lebih tinggi dari gembel itu! Siapa
gurumu, hei? Rasarasanya aku kenal dengan gaya silatmu!" tanya si begal
merentangkan tangannya sebagai tanda untuk memberi kesempatan bicara kepada
lawannya sekaligus mencari kemungkinan untuk menyerang lagi.
"Guruku adalah Ki Sapu Angin! Tahukan kau? Kata guruku dulu kau hampir
mampus ketika kau coba-coba membegal guruku! Agaknya kau belum kapok juga!"
sambut Parmin dibarengi dengan gerakan tangannya membentuk jurus baru. Kaki
kirinya agak menekuk dan kaki kanannya diayunkan ke depan berpijak dengan
mantap di atas tanah.
Mendengar Ki Sapu Angin adalah guru lawannya, si begal tertawa
terbahak-bahak sekuat tenaga hingga merontokkan daun-daun kering disekitar
tempat itu. Dan Si Gila yang sedang duduk terkulai segera mengatur napasnya
ketika suara tawa dahsyat itu menerpa telinganya.
"Ya benar! Ha ha ha ha ha ha ha! Aku ingat!" seru si begal terbahak tapi
lantas wajahnya segera berubah bengis dan seram. Matanya berpijar
mencerminkan dendam yang membusuk dalam dadanya.
"Tapi itu lima tahun yang lalu, bukan? Kini suruh gurumu datang melawan aku
kembali. Pasti akan kutebus kekalahanku dulu!" "Mulutmu terlalu besar,
begal! Hadapi saja muridnya dulu..." ejek Parmin dengan senyum sinis sengaja
membangkitkan amarah lawannya.
Begal seketika mendengus keras. Wajahnya merah tembaga. Ia merasa
diremehkan oleh pemuda ingusan dihadapannya.
"Bangsaaaaaaat!!"
Ia segera menghujamkan kapaknya mendesak Parmin dengan napas yang
bergemuruh ke perut lawannya. Tangan kanannya menyabet celah-celah paha
Parmin seperti seekor babi hutan yang menyeruduk mangsanya. Parmin melesat
sambil membabatkan goloknya membelah dada si begal dengan sekuat tenaga dan
secepat kilat tanpa dapat ditangkis oleh lawannya. Parmin kemudian salto di
udara dengan gerakan yang sangat indah dan menjejakkan kakinya di atas tanah
begitu ringan, berdiri tegak seraya memasukkan golok kembali ke
sarungnya.
Sementara itu si begal memekik keras dalam posisi membelakangi Parmin.
Darah lukanya menetes jatuh ke tanah membasahi rumputrumput di ujung
kakinya. Tubuhnya bergetar hebat. Tak lama kemudian tubuh tinggi besar itu
roboh ke bumi seperti gunung gugur. Tanah di sekitarnya ikut bergetar
menahan guncangan yang ditimbulkan olehnya. Napasnya terdengar menggeros
seperti seekor kerbau yang sedang sekarat. Kemudian beku tak berkutik
lagi.
Maka tamatlah riwayat seorang begal yang ganas dan sangat kejam yang
menjadi momok ba- gi orang-orang yang melewati daerah Celancang dan daerah
sekitarnya. Bagi Parmin sendiri kematian begal brewok adalah termasuk suatu
rangkaian tugas yang telah dipesankan oleh gurunya Ki Sapu Angin.
Parmin menarik napas panjang.
"Dosamu sebagai begal sudah terlalu banyak dan golokku hanya diperuntukkan
bagi orang-orang yang tidak bisa diinsyafkan lagi!" gumam Parmin menatap
mayat si begal yang berkubang darah dengan hati lega.
Sedangkan Si Gila duduk bersandar pada sebuah pohon dengan tubuh yang
lunglai menatap Parmin kagum. Sinar matanya sudah mulai meredup dan wajahnya
terlihat pucat pasi karena banyak mengeluarkan darah dari luka didadanya
yang menganga.
Parmin segera menghampiri Si Gila yang mulai kepayahan itu.
Si Gila mengangkat wajahnya.
"Aku tak bisa membalas apa-apa untukmu!" desahnya pelan.
Parmin tersenyum kepada Si Gila seraya membuka baju pemuda itu
perlahan-lahan untuk melihat luka yang dideritanya. Sekali-sekali Si Gila
meringis kesakitan karena secara tak sengaja bajunya yang dibuka Parmin
bergesekan dengan lukanya.
"Aku hanya menunaikan kewajibanku terhadap sesama manusia. Kau adalah orang
yang baik. Mari kuperiksa lukamu. Untung tak terlalu dalam dan tidak sampai
melukai jantungmu, tetapi mungkin beberapa tulang rusukmu ada yang putus!"
kata Parmin sambil meletakkan baju Si Gila di atas akar pohon yang menyembul
dari dalam tanah.
Si Gila hanya tertunduk diam. Parmin mengerti apa yang hendak disampaikan
Si Gila melalui sorot matanya yang sayu.
Parmin bergegas ke dalam hutan untuk mencari tanaman sebagai bahan ramuan
obat yang diperlukan untuk luka bacok itu secepatnya dan sebagai seorang
jago silat ia mempunyai ilmu pengobatan yang didapat dari gurunya sebagai
bekal untuk menjaga kesehatan tubuhnya sendiri. Setelah sekian lama mencari,
akhirnya Parmin menemukan tanaman itu.
"Daun-daun ini bisa ditumbuk halus lalu dicampur sedikit air, dan luka Si
Gila pasti bisa kering dalam tempo singkat!" gumamnya sambil memetik
daun-daun itu secukupnya. Lalu ia bergegas ke sungai untuk mengambil air.
Daun talas hutan dipergunakan untuk menampung air sungai dan ia segera
menemui Si Gila yang masih duduk terkulai bersandar pada batang pohon itu.
Parmin menumbuk daun-daun yang sudah dicampur dengan air itu di atas sebuah
batu. Dalam beberapa saat ramuan tersebut telah siap dipakai. Kemudian
Parmin melumuri dan menutup luka Si Gila yang menganga dengan ramuan itu
seluruhnya.
Ia merawat Si Gila dengan cermat dan pe- nuh rasa kasih sayang sebagai
sahabat.
"Jangan banyak bergerak dulu! Tetaplah bersandar di bawah pohon ini.
Mudah-mudahan besok pagi luka anda berangsur-angsur sembuh. Daun-daun ini
sangat mujarab untuk mengobati luka-luka bacokan!" ujar Parmin sambil
memborehi luka itu dengan lembut.
Si Gila hanya diam saja.
Ia memandang jauh menembus dalam hutan. Sinar matanya agak ceria.
Sebentar-sebentar matanya melirik peti kayu jati yang terletak di
sebelahnya.
Sinar matahari mulai meninggalkan bumi. Cahayanya yang keemasan tampak
berkilauan di ufuk barat menyongsong sang rembulan yang tersenyum menyembul
ke bumi. Burung-burung sudah enggan bernyanyi dan kembali ke sarangnya
masing-masing. Hanya serangga-serangga malam yang begitu gembira menyambut
datangnya malam. Angin bertiup lembut menyapu dedaunan sehingga menimbulkan
suara berirama seperti senandung musik malam hari.
***
Parmin menguburkan mayat si begal. Peluh bercucuran di seluruh wajahnya
yang tampan. Kemudian ia mengayunkan langkahnya menuju sungai untuk
mengambil air wudhu menunaikan khodo sholat maghrib yang disambung dengan
sholat isya. Rupanya pertarungan sengit yang ba- ru saja berlalu telah
menelan waktu cukup panjang. Malam ini ia terpaksa menginap di dalam hutan
menemani Si Gila. Selesai melakukan sholat Parmin melipat kain sarung yang
digunakan sebagai sajadah. Si Gila memperhatikan semua yang dilakukan Parmin
sambil bertanya-tanya dalam hati. Agaknya ia sedang mempertanyakan untuk apa
orang itu begitu patuh melakukan sholat lima waktu?
Malampun tiba. Bulan mengambang di angkasa yang kelabu. Angin bertiup
sepoi-sepoi. Mendesir membelai hati yang rindu terhadap sang kekasih. Bisu
dalam kenikmatan. Kumandang burung hantu menambah suasana malam itu menjadi
kian beku. Perasaan itu menghantui kedua pendekar muda itu.
Parmin duduk dibawah pohon menatap indahnya bulan purnama. Ia teringat
kepada Roijah, si Bajing Ireng kekasihnya, membuat hatinya ingin melantunkan
lagu kiser kesayangannya. Ia mengeluarkan seruling bambu dari balik bajunya.
Kemudian ditiupnya seruling dengan irama yang mendayu-dayu. Rasa rindunya
kepada Roijah yang datang merasuk kalbunya membuat irama seruling yang
dialunkan Parmin betul-betul meresap ke dalam hati setiap orang yang
mendengarkannya. Apalagi bagi mereka yang sedang dimabuk asmara. Parmin
tidak mengetahui bahwa lagu yang dibawakannya membuat Si Gila teringat
kembali kepada kekasihnya Nuraini yang telah tiada. Tak terasa air mata
meleleh membasahi ke- dua pipinya. Mengalir seperti air dari cucuran atap
jatuh ke pelimbahan.
Parmin semakin tenggelam dalam senandung lagunya. Ia mencoba membunuh rasa
rindunya lewat seruling bambu itu dan Si Gila juga semakin hanyut dalam
kenangan masa lalunya yang begitu pahit dan menyedihkan. Rasa sakit yang
baru dialaminya sama sekali tak dirasakannya. Yang ada hanya kesedihan
berkepanjangan dan duka nestapa yang mewarnai hidupnya selama ini. Sebuah
sisa hidup yang tak berarti lagi baginya.
Parmin sempat melirikkan matanya ke arah Si Gila. Ia dapat merasakan
kesedihan yang sedang dirundungnya. Seketika serulingnya berhenti dan Parmin
segera melompat berdiri tersentak tatkala terdengar olehnya isak tangis Si
Gila yang tersedu-sedu seperti anak kecil yang kehilangan barang mainannya.
Lalu ia menghampiri Si Gila yang mengelamkan kepalanya di balik kedua
kakinya yang menekuk menghimpit kepalanya.
"U...uh...uuh...h! Mengapa aku tidak kau biarkan mati saja di tangan begal
itu?" ratapnya penuh penyesalan.
"Kadang-kadang aku merindukan kematian! Ohhh...Nuraini!" teriaknya
tersendat-sendat sambil mengangkat kepalanya menengadah ke atas seakan-akan
mengadu pada sang rembulan. Tapi pada penglihatannya ternyata bulan hanya
diam membisu. Parmin mendekati Si Gila. Lalu berlutut di sebelahnya. Ia
merasa berdosa telah membuat Si Gila larut dalam masa lalunya akibat irama
seruling yang dimainkannya.
Si Gila memalingkan wajahnya ketika dirasakan Parmin duduk di
sebelahnya.
"Oh, untuk apakah aku hidup? Aku tak ingin hidup lagi!" desahnya lirih.
Seluruh wajahnya basah oleh keringat dingin dan deraian air mata.
Parmin memegang bahu Si Gila. "Tenanglah, kawan! Sudilah kau menceri-
takan apa yang telah jadi beban pikiranmu? Ceritakanlah!" pinta Parmin
berharap dapat meringankan penderitaan jiwa yang dialami Si Gila.
Si Gila kembali menatap begitu sedihnya sambil menelungkupkan dirinya di
atas peti kayu jati yang dibawanya. Air mata membasahi peti itu. Parmin
hanya bisa memandangi punggung Si Gila dengan perasaan iba dan turut
berduka. Ia melihat betapa masalah asmara merupakan segalagalanya bagi
kehidupan orang muda seusia Si Gila dari Muara Bondet ini. Lenyaplah sudah
sifat gagah seorang jago silat.
Si Gila begitu melankolis, cengeng dan ra-
puh!
"Oh, Nuraini! Mengapa kita harus berpisah,
sayangku? Mengapa hidup ini cuma sebagai mimpi? Lenyap begitu saja seperti
dipupus oleh angin?" Si Gila kembali meratapi kekasihnya yang telah tiada
dan ia mengadu pada isi peti kayu itu seperti berdialog langsung
dengan orang yang di- cintainya.
Parmin diam terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa.
Lalu ia menghela napas dan berlalu meninggalkan Si Gila yang masih
meratap.
"Biarlah ia memuaskan tangisnya! Hanya itu satu-satunya jalan yang terbaik.
Dia tadi menyebut-nyebut nama seorang wanita? Aku harus mengetahui rahasia
apa yang menyelubungi dirinya dan darimana ia memperoleh ilmu pedang yang
hebat itu!" gumam Parmin dalam sambil menyandarkan tubuhnya ke batang pohon.
Ia sebenarnya ingin bertanya pada Si Gila lebih jauh tetapi di saat ini
tidak mungkin untuk menanyakan hal itu kepadanya.
"Biarlah ia menumpahkan segala perasaannya!" desah Parmin seraya berjalan
mencari tempat untuk memejamkan matanya yang mulai diserang kantuk.
Dan malam semakin larut. Bulan dengan setia menyinari alam seluruhnya dan
malam itu kedua pendekar muda itu tidur bertikar rumput beratap langit
dibuai oleh nyanyian seranggaserangga malam.
Karena lelah menempuh perjalanan sehari suntuk Parmin akhirnya tertidur
juga. Tetapi sebagai seorang jago silat nalurinya tetap bekerja memantau
daerah sekitar hutan itu menjaga kemungkinan yang dapat saja terjadi
mengancam jiwa mereka berdua.
Ia dapat melihat juga Si Gila gelisah dan sering mengigau dalam
tidurnya.
"Peti kayu itu sebentar-sebentar dipeluknya. Apakah takut dicuri orang?
Apakah di dalamnya berisi emas permata seperti kata si begal tempo hari,
atau...apa?" Parmin bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Akhirnya ia tak
tahan lagi melawan rasa kantuk yang kembali menghantui dirinya. Tak lama
kemudian Parmin dapat memejamkan matanya dan tertidur lelap.
Sementara itu di lain fihak Si Gila duduk terpaku menatap sang rembulan
yang seolaholah tersenyum simpul kepadanya. Pikirannya menerawang. Dan malam
terus berputar seiring detak jantungnya mengikuti perjalanan sang
waktu.
***
Emoticon