TIGA
Kota Kadipaten Galumbu terasa tampak tenang. Tidak ada lagi yang
membicarakan peristiwa pembunuhan dua anak muda beberapa malam yang lalu.
Ketenangan ini begitu terasa, sehingga Adipati Gadasewu memusatkan penjagaan
di sekitar istana kadipaten saja.
Siang ini udara di Kota Kadipaten Galumbu terasa begitu panas. Matahari
bersinar terik, tanpa terhalang awan di langit sedikit pun. Seakan-akan
sinarnya yang panas menyengat, hendak membakar seluruh permukaan bumi ini.
Musim kering me-memang sudah mulai merambat wilayah Kadipaten Galumbu. Tidak
heran kalau sungai-sungai sudah mulai kelihatan susut Dan debu semakin
banyak bertebaran di sepanjang jalan.
Namun teriknya mentari, tidak menghalangi dua anak muda yang berjalan
mengoyak tanah berdebu sambil menuntun kudanya. Keringat terlihat membasahi
seluruh tubuh mereka, bercampur dengan debu yang mengepul tersapu angin di
jalan tanah ini.
"Matahari sudah ada di atas kepala. Tapi belum juga menemukan sungai..,"
terdengar suara keluhan dari gadis berbaju biru muda yang berjalan sambil
menuntun kuda putih.
Sedangkan pemuda yang berada di sebelah kanannya hanya melirik sedikit
saja. Memang sudah setengah harian ini mereka berjalan, tapi belum satu
sungai pun ditemukan. Padahal, bukan hanya mereka saja yang kepanasan, tapi
kuda-kuda yang dituntun pun juga sudah mendengus-dengus kehausan. Sedangkan
matahari siang ini bersinar begitu terik membuat kulit terasa
terbakar.
"Kakang, kau dengar itu...?"
"Aku sudah mendengarnya sejak tadi."
"Ayo kita ke sana, Kakang. Kuda-kuda ini sudah kehausan sekali."
Kembali pemuda itu hanya tersenyum saja. Sedangkan gadis berwajah cantik
berbaju biru sudah berjalan cepat, setengah berlari sambil menuntun kudanya,
menuju suara air yang didengarnya.
Dan memang, setelah mereka melewati sebuah tikungan jalan ini, terlihat
sebuah mata air yang mengalir dari sepotong bambu yang tertampung pada
sebuah kolam berbatu. Dan kelihatannya, tempat ini begitu sunyi. Tidak ada
seorang pun yang terlihat Padahal tidak jauh dari mata air ini terdapat Kota
Kadipaten Galumbu.
"Pandan, tunggu...!"
Tiba-tiba saja pemuda berbaju rompi putih yang berjalan belakangan berseru
nyaring, begitu gadis yang berjalan bersamanya tadi sudah langsung akan
terjun ke dalam kolam mata air ini Gadis itu jadi berhenti dan berpaling ke
belakang.
"Tunggu dulu, Pandan. Aku periksa, barangkali saja air ini tidak bisa
dipakai," kata pemuda itu setelah dekat.
"Kau terlalu curiga, Kakang."
"Lihat sekelilingmu, Pandan."
Gadis yang dipanggil Pandan itu segera mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Dia memang Pandan Wangi yang di kalangan rimba persilatan,
dikenal sebagai si Kipas Maut. Sedangkan pemuda berbaju rompi putih itu
tidak lain adalah Rangga, yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.
Perlahan Pandan Wangi melangkah mundur sambil tetap memegangi tali kekang
kudanya. Sementara, Rangga sudah melangkah menghampiri kolam mata air itu.
Pendekar Rajawali Sakti berlutut di tepi kolam, lalu mencelupkan ujung jari
tangannya ke dalam kolam. Tidak berapa lama kemudian, ujung jari telunjuknya
sudah diangkat. Beberapa saat, dipandanginya jari telunjuk yang basah oleh
air kolam ini.
"Beracun...?" tanya Pandan Wangi tidak sabar lagi.
"Tidak," sahut Rangga seraya tersenyum dan menggeleng.
Pandan Wangi juga tersenyum. Langsung dihampirinya kolam itu, lalu
dibasuhnya wajah dan lengannya. Setelah tenggorokannya dibasahi air jernih
ini, kudanya segera ditarik ke tepi kolam itu. Sementara Rangga sudah sejak
tadi menyegarkan tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti kini duduk bersandar di
bawah pohon yang cukup rindang, untuk melindungi dirinya dari sengatan
matahari. Pandangannya tidak berhenti memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Kemudian, matanya terpaku pada Kota Kadipaten Galumbu yang perbatasannya
sudah dilewati tadi.
"Sudah hilang lelahmu, Pandan?" tanya Rangga, tanpa sedikit pun memalingkan
perhatiannya dari Kota Kadipaten Galumbu.
"Sebentar lagi," sahut Pandan Wangi terdengar malas suaranya.
Rangga sedikit melirik gadis itu. Dari sudut ekor matanya, Pandan Wangi
terlihat tengah merebahkan tubuh tidak jauh dari kolam batu mata air itu.
Sepertinya, dia juga tengah melindungi diri dari sengatan matahari di bawah
pohon yang cukup rimbun daunnya. Periahan Rangga bangkit berdiri. Tubuhnya
digerak-gerakkan sebentar untuk menghilangkan rasa pegal yang sejak tadi
dirasakan.
"Ayo, Pandan. Kita bisa istirahat lagi nanti di sana," ajak Rangga
lagi.
"Hhh...!"
Sambil mengeluh malas, Pandan Wangi bangun juga. Kemudian diambilnya kuda
tunggangannya dan kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu
dituntunnya kuda-kuda itu mendekati pemuda yang selalu mengenakan baju rompi
putih ini
"Hup!"
Mereka berlompatan naik ke atas punggung kuda masing-masing. Dan sebentar
kemudian, mereka sudah berpacu di jalan tanah yang berdebu ini menuju ke
Kota Kadipaten Galumbu.
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini.
Sementara, Rangga berjalan-jalan menikmati suasana malam di kota yang cukup
besar ini, setelah mendapatkan rumah penginapan. Sedangkan Pandan Wangi
ditinggalkan di sana. Memang, Pandan Wangi merasa malas sekali keluar dari
kamarnya. Gadis itu ingin melepaskan lelah, setelah seharian penuh
terpanggang sinar matahari
Berkerut juga kening Pendekar Rajawali Sakti melihat keadaan kota yang
cukup besar ini begitu sunyi kalau malam. Dan selama berjalan, tidak seorang
pun dijumpai. Begitu sunyi, bagaikan sebuah kota mati yang tidak
berpenghuni. Bahkan rumah-rumah yang ada hanya menyalakan pelita di beranda
depan saja. Pendekar Rajawali Sakti kembab lagi ke rumah penginapan tempat
Pandan Wangi ditinggalkan di sana. Dan seorang laki-laki berusia lanjut yang
merupakan pemilik rumahi penginapan ini menyambutnya di pintu depan.
"Dari mana malam-malam begini, Den?" tegur laki-laki itu mencoba tersenyum
ramah.
"Jalan-jalan, Ki. Melihat keadaan," sahut Rangga.
"Kalau saja tahu, pasti aku sudah melarangmu keluar malam-malam sendirian,"
desah orang tua| itu seakan menyesali perbuatan tamunya ini.
"Kenapa, Ki?" tanya Rangga jadi heran.
"Terlalu berbahaya, Den. Kota ini sudah tidak aman lagi," sahut pemilik
kedai yang biasanya dipanggil Ki Sampan ini. "Apa kau melihat ada orang lain
di luar rumah...?"
Rangga hanya menggeleng saja.
"Sudah beberapa hari ini, tidak ada seorang pun yang berani keluar
rumah."
"Kenapa begitu, Ki?" tanya Rangga jadi ingin tahu.
Ki Sampan tidak langsung menjawab. Matanya lantas melirik ke kanan dan ke
kiri, seakan takut ada orang lain yang mendengar. Kemudian cepat-cepat
dibawanya Pendekar Rajawali Sakti masuk Rangga hanya mengikuti saja dengan
wajah mencerminkan keheranan. Ki Sampan menutup pintu, laki menguncinya
dengan palang. Kemudian diajaknya Pendekar Rajawali Sakti duduk di sebuah
balai-balai bambu, beralaskan selembar tikar daun pandan yang dianyam
halus.
"Kau tahu, Den. Sudah beberapa hari ini ada Dara Iblis berkeliaran,"
terdengar begitu pelan suara Ki Sampan.
"Dara Iblis...?"
"Betul. Semua orang mengatakan, dia itu si Dara Iblis yang berkeliaran
mencari korban setiap malam. Siapa saja yang dijumpai, pasti mati dibunuh.
Bahkan Gusti Adipati sendiri hampir terbunuh waktu hendak menangkapnya.
Tapi, untung saja saudara angkatnya cepat datang menolong Sejak saat itu,
tindakan si Dara Iblis semakin bertambah liar. Dia tidak peduli lagi. Siapa
saja yang berhadapan dengannya, langsung dibunuh."
"Hm.... Jadi itu sebabnya tidak ada seorang pun yang berani keluar
rumah...?" gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
"Bukan hanya malam saja, Den. Siang juga tidak ada yang berani jauh-jauh
meninggalkan rumahnya. Dara Iblis itu sekarang sudah berani muncul siang
hari."
"Bukankah kadipaten ini punya pasukan prajurit, Ki. Kenapa tidak dikerahkan
saja untuk meringkusnya...?"
"Percuma saja, Den. Dara Iblis itu sangat tangguh. Entah sudah berapa orang
prajurit yang tewas di tangannya. Bahkan Gusti Adipati yang berilmu tinggi,
hampir tewas terbunuh."
"Sudah berapa lama keadaan seperti ini terjadi, Ki?" tanya Rangga jadi
tertarik mendengarnya.
"Sudah hampir satu purnama, Den. Dan sudah tidak terhitung lagi, orang yang
mati dibunuh Dara Iblis itu. Bahkan dalam sehari bisa lima orang, yang
terbunuh," sahut Ki Sampan, masih terdengar pelan suaranya.
Saat itu tiba-tiba saja terdengar lolongan anjing yang sangat panjang di
kejauhan. Dan tak berapa lama kemudian, terdengar ringkikan kuda. Rangga
melihat wajah Ki Sampan seketika itu juga jadi pucat pasi dengan tubuh
menggeletar seperti terserang demam.
"Dia..., dia datang...," desis Ki Sampan bergetar perlahan.
"Hm...."
Rangga langsung saja turun dari balai-balai bambu itu. Tapi belum juga
melangkah, Ki Sampan sudah mencekal pergelangan tangannya. Terpaksa Rangga
tidak jadi melangkah mendekati pintu.
"Jangan, Den. Jangan keluar. Kau bisa mati dibunuhnya," cegah Ki Sampan
ketakutan.
"Tenang saja, Ki Aku hanya ingin melihat rupanya saja," kata Rangga sambil
melepaskan cekalan tangan orang tua itu dengan halus.
"Den...." Suara Ki Sampan jadi tercekat di tenggorokan.
Sementara Rangga sudah melangkah mendekati pintu. Hati-hati sekali palang
pintu itu dibuka. Lalu dengan perlahan juga, dibukanya pintu depan rumah
penginapan ini. Sementara, Ki Sampan masih tetap duduk di balai-balai bambu
itu dengan wajah terlihat semakin pucat.
Sedangkan Rangga sudah melangkah ke luar rumah dengan ayunan kaki begitu
tenang. Ki Sampan bergegas turun dari balai-balai bambu ini, dan
tergopoh-gopoh mendekati pintu. Buru-buru ditutupnya pintu, walaupun tidak
penuh. Dan dia segera mengintip keluar. Tampak pemuda yang menjadi tamunya
itu berdiri tegak di tengah-tengah halaman rumah penginapannya. Jelas sekali
kalau sikap Pendekar Rajawali Sakti seperti menantang, ingin bertemu orang
yang dijuluki si Dara Iblis.
"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"
Wajah Ki Sampan seketika jadi memucat bagai mayat, begitu tiba-tiba
terdengar tawa terkikik mengerikan. Seluruh tubuhnya jadi bergetar lemas.
Dan belum juga suara terkikik itu menghilang dari pendengaran, terlihat
sebuah bayangan hitam berkelebat begitu cepat di depan Pendekar Rajawali
Sakti. Dan tahu-tahu, di depan pemuda ini sudah berdiri seorang gadis
berwajah cantik. Bajunya hitam pekat, menyandang pedang bergagang berbentuk
bintang emas di punggungnya.
"Hm...."
"Hik hik hik..! Rupanya ada juga orang yang bernyali besar di sini.
Bagus...! Aku memang sudah kesal. Mereka semua pengecut! Juga, Gadasewu
pengecut itu!"
Terdengar begitu dingin nada suara gadis ini. Sedangkan Rangga hanya diam
saja memandangi dari ujung kepala hingga ke ujung jari kakinya. Seakan-akan
Pendekar Rajawali Sakti sedang menilai, sampai di mana tingkat kepandaian
yang dimiliki wanita yang dijuluki Dara Iblis ini.
"Anak muda, siapa kau?! Hm.... Apa kau sudah bosan hidup, hingga berani
menantangku disini...?" ketus sekali suara si Dara Iblis ini.
"Aku Rangga yang memang ingin menghentikan perbuatan terkutukmu itu,
Nisanak," sahut Rangga tegas.
"Hi hi hi...! Berani kau berkata begitu padaku, heh...?! Kau tahu, siapa
aku?! Akulah yang dijuluki Dara Iblis! Huh! Aku tidak peduli dengan nama
itu. Dan yang penting, aku ingin membunuh habis semua orang di sini."
"Kau tentu punya alasannya."
"Phuih! Ada atau tidak, itu bukan urusanmu!"
"Hm...."
"Bersiaplah untuk menjemput kematian, Kisanak!"
Rangga hanya diam saja, tapi sudah siap kalau Dara Iblis itu melakukan
serangan. Sementara si Dara Iblis juga terdiam memandangi Pendekar Rajawali
Sakti ini. Sorot matanya begitu dalam sampai menusuk bola mata Rangga.
Perlahan langkah kakinya berkeser ke kanan tiga langkah, kemudian.
"Hiyaaaat...!"
Sret!
Cring!
Wut!
"Haiiiit...!"
Rangga jadi terkesiap juga sejenak, melihat kecepatan gerak Dara Iblis
dalam mencabut pedangnya. Sambil melompat, pedang itu langsung dibabarkan ke
arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gerakan manis sekali, pemuda
tampan berbaju rompi putih itu menghindarinya. Akibatnya, ujung pedang
berwarna kuning keemasan itu hanya lewat di bawah kakinya.
"Bagus! Rupanya kau punya simpanan juga, Kisanak! Terimalah seranganku ini.
Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Bet!
Kembali gadis itu menyerang, membabatkan pedangnya ke arah dada. Tapi, kali
ini Rangga tidak hanya menghindar saja. Dan begitu ujung pedang Dara Iblis
lewat di depan dadanya, secepat kilat tubuhnya berputar sambil melepaskan
tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap!"
Namun tanpa diduga sama sekali, gadis itu malah menghentakkan tangan
kirinya. Langsung disambutnya serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti ini.
Dan itu tentu saja membuat Rangga jadi terhenyak tidak menyangka. Tapi,
untuk menarik kembali tendangannya sudah terlambat. Dan....
Plak!
"Ikh...!"
"Ups!"
Mereka sama-sama terpental ke belakang begitu tendangan Rangga menghantam
tangan Dara Iblis. Meskipun tendangannya disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi, tapi sedikit pun tidak ada pengaruhnya pada tangan gadis itu. Dan
ini membuat Rangga jadi berpikir. Memang, gadis ini tidak bisa dipandang
ringan. Apalagi, kekuatan tenaga dalamnya sungguh luar biasa.
Sementara si Dara Iblis tampaknya juga tidak lagi bisa memandang rendah
pemuda berbaju rompi ini. Tendangan yang diberikan Rangga tadi, sempat juga
membuat jantungnya bergetar. Malah sempat juga tulang tangannya terasa
nyeri. Untung saja serangan itu tadi ditangkis dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi, sehingga tidak mengakibatkan luka sedikit pun juga.
"Apa mungkin desa kadipaten ini memiliki pemuda yang tangguh...?" Gumam
Dara Iblis bertanya sendiri dalam hari.
Sejenak ditatapnya Rangga dengan sinar mata sangat tajam menusuk, seperti
ingin menembus jantung pemuda ini. Kemudian kakinya bergeser ke kanan
perlahan sambil menyemburkan ludahnya. Sementara, Rangga masih tetap berdiri
tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggang. Sorot matanya juga
terlihat begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan gerakan kaki
gadis cantik berbaju hitam ketat ini.
"Hap! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Dara Iblis kembali melesat bagai kilat
dengan ujung pedang tertuju lurus ke tenggorokan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, Rangga sendiri hanya diam menunggu serangan lebih dekat lagi. Dan
begitu ujung pedang berwarna kuning keemasan itu hampir saja menembus
tenggorokannya, mendadak...
"Hats! Yeaaa...!"
Sambil mengegoskan kepalanya ke kanan, secepat kilat Pendekar Rajawali
Sakti melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat Dara Iblis jadi
terperangah tidak menyangka.
"Hap!"
Namun dengan gerakan indah sekati, gadis itu meliukkan tubuhnya. Sehingga,
pukulan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti dari jurus 'Pukulan Maut
Paruh Rajawali' tidak sampai mengenai dadanya.
"Hap! Yeaaah...!"
Dara Iblis kembali melenting ke udara. Dan pada saat itu juga pedangnya
dibabarkan ke arah kepala pemuda ini. Tapi hanya sedikit saja mengegoskan
kepala, Pendekar Rajawali Sakti berhasil menghindar. Hanya sedikit saja mata
pedang berwarna kuning keemasan itu berkelebat menyambar di atas kepala
Rangga.
"Hih! Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat-cepat melesat ke udara.
Langsung kedua . tangannya direntangkan. Bagaikan kilat, kedua tangan
Pendekar Rajawali Sakti bergerak cepat bergantian, membabat ke arah bagian
tubuh Dara Iblis yang mematikan.
"Setan! Ikh...!"
Wuk!
Untuk kedua kalinya Dara Iblis terhenyak. Maka cepat-cepat pedangnya
diputar untuk melindungi diri dari serangan dahsyat pemuda ini. Dari
gerakan-gerakannya, sudah bisa diketahui kalau Rangga mengerahkan jurus
'Sayap Rajawali Membelah Mega' tingkat terakhir. Gerakan kedua tangan
Pendekar Rajawali Sakti begitu cepat, sampai kedua tangannya bagaikan
berubah menjadi ribuan jumlahnya. Dan memang, Rangga bukan hanya mengerahkan
jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' saja, tapi juga dipadukan dengan jurus
'Seribu Rajawali'.
***
EMPAT
Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Sementara bukan hanya
Ki Sampan saja yang menyaksikan pertarungan itu. Dari jendela kamar
penginapan Ki Sampan ini, Pandan Wangi juga menyaksikan. Sementara, terlihat
juga kepala-kepala menyembul dari balik jendela dan pintu rumah-rumah yang
tidak jauh dari rumah Ki Sampan.
Pertarungan memang membuat semua penduduk kota Kadipaten Galumbu ini jadi
terbangun dari buaian mimpi. Dan mereka tidak ingin melewatkan pertarungan
menarik antara pemuda yang sore tadi menginap di rumah Ki Sampan, dengan
Dara Iblis. Mereka semua berharap, pemuda itu bisa mengalahkan perempuan
berbaju hitam itu. Bahkan melenyapkan untuk selama-lamanya. Dan saat itu
juga, terlihat dari ujung jalan ke istana kadipatenan, serombongan prajurit
mendatangi tempat pertarungan di halaman rumah Ki Sampan ini. Cahaya api
obor mulai terlihat menerangi sekitar tempat ini.
Sementara pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Dara Iblis
semakin berlangsung sengit. Masing-masing sudah mengerahkan jurus-jurus
dahsyat. Sehingga, gerakan-gerakan mereka begitu sulit diikuti mata biasa.
Begitu cepatnya, sampai yang terlihat hanya kelebatan bayangan-bayangan
putih dan hitam yang saling sambar.
"Phuih! Sial! Tempat ini sudah dipenuhi orang. Huh...! Aku tidak boleh mati
konyol di sini, sebelum yang kuinginkan terkabul!" dengus si Dara
Iblis.
Mengetahui keadaannya tidak lagi menguntungkan, gadis cantik yang dijuluki
Dara Iblis itu mulai mencari celah untuk melepaskan diri dari pertarungan.
Dan kesempatan itu pun datang, saat Rangga menyepakkan kakinya dengan
gerakan berputar ke arah kaki gadis ini. Saat itu juga....
"Hup! Yeaaah...!"
Kesempatan yang sangat sedikit ini, tidak disia-siakan Dara Iblis Dengan
kecepatan bagai kilat, tubuhnya melesat tinggi ke udara dan langsung melunak
deras ke atas atap rumah Ki Sampan. Dan sebelum Rangga sendiri sempat
menyadari, mendadak saja tanpa memutar tubuhnya gadis berbaju hitam itu
melepaskan beberapa buah anting-anting emas ke arah Pendekar Rajawali
Sakti.
Wus!
Siap!
"Haiiit...!"
Cepat-cepat Rangga melenting dan berputaran di udara, menghindari serangan
anting-anting emas itu. Dan begitu kakinya menjejak tanah, Dara Iblis sudah
tidak terlihat lagi di atas atap rumah Ki Sampan ini.
"Heh! Ke mana dia...?! Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melesat naik ke atas atap.
Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekali lesatan
saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak di atas atap rumah ini.
Sebentar pandangan-, nya beredar ke sekeliling. Tapi Dara Iblis itu tidak
juga terlihat. Bahkan bayangannya pun juga sudah tidak terlihat lagi.
"Hhh! Cerdik sekali dia...," dengus Rangga.
Dara Iblis itu memang sudah tidak terlihat lagi. Entah ke mana perginya.
Rangga hanya bisa menghela napasnya panjang-panjang, kemudian kembali
melompat turun. Ringan sekali gerakannya, hingga sedikit pun tidak
menimbulkan suara saat kedua kakinya menjejak tanah.
Dan baru saja kakinya menjejak tanah, Ki Sampan sudah datang menghampiri
bersama Pandan Wangi. Saat itu juga, terlihat Adipati Gadasewu didampingi
Rondokulun dan Ki Jalaksena datang menghampiri, diiringi sekitar tiga puluh
orang prajurit yang membawa tombak. Ki Sampan segera' berlutut sambil
memberi sembah hormat, begitu melihat Adipati Gadasewu datang. Sedangkan
Rangga dan Pandan Wangi hanya berdiri saja memandangi. Mereka tahu, yang
datang itu adalah orang utama di Kadipaten Galumbu ini.
"Kisanak. Aku melihat pertarunganmu tadi dengan si Dara Iblis. Hm....
Sungguh menakjubkan. Kau mampu menandingi kepandaiannya," ujar Adipati
Gadasewu langsung, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
'Terima kasih. Hanya kebetulan saja aku tadi bertemu dengannya," sambut
Rangga merendah.
"Kisanak, gadis itu sudah sering kali menjarah kadipaten ini Dan selama
ini, belum ada seorang pun yang sanggup menandinginya. Tapi kulihat malam
ini, dia mendapat lawan yang seimbang. Hm.... Jika Kisanak tidak keberatan,
aku mengundangmu datang ke kadipatenan," kata Adipati Gadasewu lagi.
Rangga tidak langsung menjawab. Dan matanya langsung melirik Pandan Wangi
sebentar, kemudian menatap Ki Sampan yang berada agak ke belakang di sebelah
kanannya. Laki-laki tua itu hanya diam saja dengan kepala tertunduk. Rangga
tahu, Ki Sampan tidak berani membuka suara di depan adipatinya
sendiri.
"Maaf, Gusti Adipati. Bukannya menolak. Tapi, aku sudah menyewa rumah Ki
Sampan ini untuk bermalam. Tapi kalau Gusti Adipati menginginkan aku
mengusir gadis itu, dengan senang hati akan kulakukan," kata Rangga menolak
halus.
"Aku mengerti, Kisanak. Baiklah. Kau boleh tinggal di rumah Ki Sampan.
Tapi, kuminta datanglah mengunjungiku di kadipatenan besok pagi. Aku ingin
mengenalmu lebih jauh lagi. Terus terang, aku kagum sekali melihat
kepandaian yang kau miliki," kata Adipati Gadasewu, bisa. mengerti.
"Mudah-mudahan besok pagi tidak ada halangan, Gusti Adipati," ujar Rangga
tidak bisa lagi menolak
Adipati Gadasewu kemudian berpamitan, dari segera pergi diiringi para
pengawalnya. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi tetap berdiri memandangi.
Tampak beberapa orang berada di depan rumahnya, memandangi Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi setelah Adipati Gadasewu tidak terlihat .lagi, mereka bergegas
masuk ke dalam rumahnya.
"Ayo, Ki. Kita ke dalam lagi," ajak Rangga.
"Baik, Den. Terima kasih, Raden masih mau tinggal di gubukku yang reyot
ini."
"Oh, sudahlah. Aku lebih senang bermalam di sini, daripada di
istana."
"Aku tidak menyangka, Raden begitu murah dan rendah hati. Padahal ilmu yang
Raden miliki sangat tinggi. Bahkan bisa menandingi si Dara Iblis."
Rangga hanya tersenyum saja mendapat pujian seperti itu. Sedangkan Pandan
Wangi sejak tadi hanya diam saja. Dan mereka kemudian masuk ke dalam.
Merasa di rumahnya ada seorang pendekar tangguh dan digdaya, Ki Sampan
tidak lagi merasa takut. Malah pelita di ruangan depan rumahnya dinyalakan
besar-besar, sehingga mampu menerangi sekitarnya. Rangga hanya menggelengkan
kepala saja melihat tingkah Ki Sampan.
Pagi-pagi sekali, di saat matahari belum lagi menampakkan diri, Rangga dan
Pandan Wangi sudah keluar dari rumah penginapan Ki Sampan. Laki-laki tua
pemilik penginapan itu mengantarkan kedua pendekar muda ini sampai di depan
rumahnya. Dengan menunggang kuda, mereka menuju Istana Kadipaten
Galumbu.
Begitu sunyi pagi ini. Kabut masih terlihat cukup tebal menyelimuti seluruh
wilayah Kota kadipaten ini. Dan memang, matahari belum lagi menampakkan
diri. Hanya kokok ayam jantan dan kicauan burung-burung saja yang menandakan
kalau fajar sebentar lagi akan menyingsing.
Baru sampai di depannya saja, Rangga sudah kagum melihat kemegahan istana
kadipaten ini.. Begitu megah, seperti sebuah istana kerajaan saja. Dan
memang, Kadipaten Galumbu ini sangat besar wilayahnya.
"Kenapa berdiri saja, Kakang? Bukankah kedatangan kita ke sini memenuhi
undangan Adipati Gadasewu...?" tegur Pandan Wangi, melihat Rangga hanya
berdiri saja mematung memandangi bangunan kadipatenan itu.
Mereka memang sudah turun dari kudanya. Rangga melirik sedikit pada gadis
cantik di sebelahnya ini, lalu sedikit memberi senyum manis sekali.
"Indah sekali istana ini, Pandan. Tidak kalah dengan Istana Karang Setra,"
gumam Rangga seakan-akan bicara untuk diri sendiri.
"Kau ingat tanah kelahiranmu, Kakang?" ujar Pandan Wangi jadi
tersenyum.
Dan Rangga hanya diam saja memandangi bangunan megah di depannya ini Entah
kenapa, Pendekar Rajawali Sakti jadi ingat tanah kelahirannya, Karang Setra.
Memang sudah cukup lama mereka tidak kembali ke Karang Setra. Entah apa yang
terjadi di sana. Mungkin sudah banyak sekali perubahannya.
"Setelah dari sini, ada baiknya juga kalau kita kembali ke Karang Setra,
Kakang. Terus terang, aku juga sudah rindu sekali," kata Pandan Wangi,
seakan bisa membaca perasaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ya..., kita memang sudah terlalu lama meninggalkan Karang Setra," desah
Rangga pelan.
"Kakang.... Lihat itu. Rondokulun sudah keluar," kata Pandan Wangi memberi
tahu.
Dari gerbang bangunan megah itu, memang terlihat Rondokulun keluar.
Langsung dihampirinya kedua pendekar muda yang masih tetap berdiri
memandangi kemegahan bangunan istana kadipaten ini Rondokulun menjura
memberi hormat, setelah dekat di depan kedua pendekar muda dari Karang Setra
ini.
"Kenapa berdiri saja di sini? Langsung saja masuk. Gusti Adipati sudah
menanti kedatangan kalian," kata Rondokulun ramah.
"Aku benar-benar mengagumi istana ini," ujar Rangga berterus terang.
"Istana ini memang megah. Bahkan tidak kalah megahnya dari istana kerajaan
sendiri," kata Rondokulun juga memuji.
Mereka kemudian melangkah bersama-sama menuju istana kadipatenan ini.
Rondokulun berjalan di sebelah kanan Rangga. Sedangkan Pandan Wangi berjalan
di sebelah kiri sambil menuntun kudanya sendiri.
Seorang prajurit menghampiri, begitu ketiga orang itu melewati pintu
gerbang yang dijaga empat orang prajurit bersenjatakan tombak. Prajurit itu
mengambil kuda kedua pendekar muda ini. Sedangkan Rondokulun terus
mempersilakan mereka, meniti anak-anak tangga yang menuju bagian dalam
istana.
Dua orang prajurit yang menjaga pintu depan membungkukkan tubuhnya, memberi
hormat saat ketiga orang ini melewatinya. Rangga jadi berdecak kagum begitu
berada di dalam bangunan istana ini. Begitu megah, sampai kekagumannya tidak
lagi disembunyikan.
Dan sampai di ruangan tengah yang luas, mereka langsung disambut Adipati
Gadasewu dan Ki Jalaksena. Rupanya Adipati Gadasewu memang sudah
mempersiapkan penyambutan pada kedua pendekar ini. Di tengah-tengah ruangan
ini terlihat sebuah meja yang sangat besar, dengan beberapa kursi berukir
dari kayu jari berbaris di setiap sisinya. Tampak prajurit-prajurit
bersenjata tombak mengelilingi ruangan ini.
"Mari, Pendekar. Silakan duduk," sambut Adipati Gadasewu dengan sikap
sangat ramah.
"Terima kasih," ucap Rangga membalas keramahan ini
Mereka kemudian duduk di satu meja. Hanya Rondokulun saja yang tetap
berdiri di belakang Adipati Gadasewu. Sedangkan Ki Jalaksena duduk
bersebelahan dengan Pandan Wangi Rangga sendiri diberi tempat di sebelah
lori Adipati Gadasewu. Dan belum lama mereka duduk, muncul gadis-gadis muda
berparas cantik membawa baki berisi penuh makanan dan buah-buahan, serta
beberapa guci arak
Rangga jadi agak tertegun juga melihat penyambutan yang begitu mewah.
Sungguh tidak disangka kalau Adipati Gadasewu sudah mempersiapkannya begitu
matang. Entah apa jadinya kalau sampai tadi kedua pendekar muda ini tidak
datang. Pasti akan sangat kecewa hatinya.
"Mari silakan.... Hanya ini yang bisa kupersembahkan pada kalian berdua,"
kata Adipati Gadasewu tetap ramah.
Rangga hanya tersenyum saja, tidak bisa lagi berkata-kata. Entah apa yang
ada dalam hati Pendekar Rajawali Sakti ini. Sedangkan beberapa kali Pandan
Wangi melirik Rangga yang kelihatan lain. Pandan Wangi sendiri tidak bisa
menebak isi hati Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dari sorot matanya, Pandan
Wangi mulai khawatir juga. Hanya saja, entah apa yang dikhawatirkannya saat
ini.
Rangga dan Pandan Wangi tidak bisa menolak permintaan Adipati Gadasewu yang
ingin memperlihatkan setiap bagian istananya yang megah ini. Seharian penuh
kedua pendekar muda itu berada dalam Istana Kadipaten Galumbu ini. Dan
setelah matahari benar-benar condong ke arah barat, mereka baru meninggalkan
bangunan istana yang megah itu. Namun sebelum mereka pergi, Adipati Gadasewu
meminta Rangga untuk meringkus Dara Iblis. Dan adipati itu juga menjanjikan
hadiah sangat besar bagi Pendekar Rajawali Sakti. Namun semua itu hanya
dibalas senyuman yang sangat sulit diartikan.
"Kakang...," ujar Pandan Wangi setelah mereka cukup jauh berkuda
meninggalkan Istana Kadipaten Galumbu.
"Hm...," Rangga hanya menggumam sedikit saja.
"Maaf, kalau aku berkata lancang padamu," ucap Pandan Wangi agak
berhati-hati.
"Hm.... Apa yang akan kau katakan, Pandan?"
"Sejak tadi, kuperhatikan kau banyak diam. Terus terang, aku khawatir kau
tidak menyukai cara penyambutan Adipati Gadasewu tadi," kata Pandan Wangi
berterus terang.
Rangga hanya diam saja. Ditariknya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya
kuat-kuat. Sementara Pandan Wangi yang berkuda di sebelahnya, melirik
sedikit ke wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Dan hatinya terus
menduga-duga, apa sebenarnya yang saat ini tengah bergelut dalam kepala
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi memang sulit mencari jawabannya. Sementara,
Rangga hanya diam saja, seakan enggan membicarakannya.
"Kakang...," tegur Pandan Wangi lagi.
"Hm.... Ada apa, Pandan?" Rangga hanya sedikit saja melirik si Kipas Maut
ini.
"Sudah cukup lama aku berjalan denganmu. Aku tahu, ada yang membuat hatimu
resah. Kalau masih mempercayaiku, kenapa tidak kau utarakan Kakang? Apa kau
sudah menganggapku tidak ada gunanya lagi...?"
Sengaja Pandan Wangi membuat hatinya seakan-akan kesal atas sikap Rangga
yang hanya diam saja, seperti tidak memperdulikannya. Dan kata-kata Pandan
Wangi barusan rupanya membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak juga.
Langkah kaki kudanya dihentikan, dan berpaling menatap wajah si Kipas Maut
dengan sorot mata cukup dalam.
"Kenapa kau berkata seperti itu, Pandan?" terdengar begitu dalam nada suara
Rangga.
"Kau sendiri, kenapa diam saja?" balas Pandan Wangi.
"Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya panjang-panjang.
Sedangkan Pandan Wangi terdiam, tapi tetap menatap wajah Pendekar Rajawali
Sakti itu dengan bola mata tidak berkedip sedikit pun.
Beberapa saat lamanya, mereka terdiam membisu. Seakan-akan mereka sibuk
dengan pikiran sendiri-sendiri. Dan perlahan Rangga menghentakkan tali
kekang, hingga kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu kembali berjalan
perlahan-lahan. Pandan Wangi masih tetap diam sambil memandangi beberapa
saat, kemudian menghentakkan kudanya menyusul Pendekar Rajawali Sakti.
Kembali langkah kaki kudanya disejajarkan di samping Dewa Bayu.
"Ayo kita keluar dari kota ini, Pandan," ajak Rangga tiba-tiba.
"Mau apa di...?"
"Hiyaaa...!"
Belum lagi Pandan Wangi menyelesaikan pertanyaannya, Rangga sudah
menghentakkan tali kekang kudanya. Sehingga, kuda hitam itu melesat cepat
bagaikan anak panah terlepas dari busur. Sesaat Pandan Wangi jadi tertegun,
namun cepat menggebah kudanya.
"Hiyaaa...!"
Debu seketika mengepul, membubung tinggi ke angkasa saat dua ekor kuda yang
ditunggangi kedua pendekar dari Karang Setra itu berpacu cepat menuju timur.
Sementara matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Hanya cahaya merah
Jingganya saja yang menyemburat dari balik sebuah bukit di sebelah barat
Kota Kadipaten Galumbu ini.
Kedua pendekar itu terus memacu kudanya dengan kecepatan sangat tinggi.
Hingga sebentar saja mereka sudah melewati perbatasan kota yang tidak dijaga
seorang prajurit pun. Gerbang perbatasan yang ditandai dua buah bangunan
batu berbentuk puri itu kelihatan sunyi, tanpa seorang pun terlihat di sana.
Namun kedua pendekar dari Karang Setra itu terus saja memacu kudanya.
Dan kalau sudah berpacu begini, Pandan Wangi jadi kesal. Masalahnya, tidak
mudah untuk bisa mengejar Dewa Bayu. Bahkan untuk mensejajarkannya saja,
kuda putih tunggangannya ini bisa mati kehabisan tenaga. Hingga kini, jarak
mereka semakin bertambah jauh saja. Sementara, kerimbunan pepohonan sebuah
hutan yang cukup lebat sudah tampak di depan mata. Namun kedua pendekar muda
itu masih saja terus memacu cepat kudanya.
"Hooop...!"
Setelah sampai di tepian hutan, Rangga menghentikan lari kudanya. Dan
Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat turun, bersamaan terdengar
ringkikan Dewa Bayu yang mengangkat kedua kaki depannya. Dan tidak berapa
lama kemudian, Pandan Wangi sudah sampai. Gadis itu menghentikan lari
kudanya perlahan-lahan, kemudian melompat turun dengan gerakan indah dan
ringan sekali. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu mendarat tepat
sekitar tiga langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada yang menarik perhatianmu di sini, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Tempat ini lebih cocok untuk bicara secara pribadi daripada di rumah Ki
Sampan," ujar Rangga tanpa mempedulikan kata-kata Pandan Wangi
barusan.
"Hm...." Kening Pandan Wangi jadi berkerut.
"Dengar, Pandan. Aku akan memberimu tugas. Dan ini sangat penting," kata
Rangga, dengan mimik wajah sungguh-sungguh.
"Tugas...? Tugas apa, Kakang?!" tanya Pandan Wangi jadi penasaran.
"Kau harus memata-matai Adipati Gadasewu. Bahkan kalau perlu harus
mengetahui latar belakang kehidupannya."
"Heh, apa...?!"
***
LIMA
Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati mendengar kata-kata Rangga yang
sama sekali tidak diduga. Sungguh tidak disangka kalau Rangga justru
mencurigai Adipati Gadasewu. Padahal, sikap adipati yang masih muda usianya
itu sama sekali tidak menunjukkan kecurigaan apa-apa. Bahkan begitu ramah
dan dihormati seluruh rakyat Kadipaten Galumbu ini Tentu saja keinginan itu
membuat Pandan Wangi jadi tidak mengerti jalan pikiran Pendekar Rajawali
Sakti.
"Kakang! Adipati Gadasewu begitu ramah dan dihormati seluruh rakyatnya.
Bagaimana mungkin aku bisa memata-matainya...?" ujar Pandan Wangi
mengemukakan penilaiannya.
"Aku tidak ingin kau ikut terbius dan buta oleh penampilannya yang begitu
ramah, Pandan. Justru keramahan yang berlebihan membuatku menaruh curiga,"
tegas Rangga.
"Tapi, Kakang. Adipati Gadasewu sendiri pernah bertarung melawan si Dara
Iblis. Bahkan hampir saja mati terbunuh. Mana mungkin dia berada di balik
semua peristiwa ini...?" bantah Pandan Wangi lagi
"Aku tidak mengatakan kalau dia ada di belakangnya, Pandan."
"Lalu, apa yang membuatmu curiga?" tanya Pandan Wangi, ingin tahu.
"Hubungannya dengan si Dara Iblis," sahut Rangga tetap tegas nada
suaranya.
"Maksudmu...?" Pandan Wangi jadi semakin tidak mengerti.
"Dengar, Pandan. Dalam setiap kerusuhan yang terjadi di sebuah desa atau
kadipaten, tidak terlepas dari keterlibatan pemimpinnya. Dan aku begitu
yakin, Adipati Gadasewu terlibat di dalamnya," Rangga mencoba menjelaskan
jalan pikirannya
"Aku masih tidak mengerti, Kakang."
"Memang sulit dimengerti, Pandan. Tapi inilah kenyataannya. Wanita yang
dijuluki Dara Iblis itu sengaja mengacaukan keadaan kadipaten ini. Tapi
tujuan yang sebenarnya justru pada Adipati Gadasewu sendiri," lagi-lagi
Rangga mencoba menjelaskan.
"Maksudmu, nyawa Adipati Gadasewu terancam?" tebak Pandan Wangi.
"Ya, belum pasti, Pandan. Tapi menurutku, Adipati Gadasewu perlu mendapat
perhatian yang tidak kecil. Mungkin saja Dara Iblis itu mengincar nyawanya.
Tapi ada kemungkinan juga, menginginkan yang lain dari Adipati
Gadasewu."
"Bagaimana mungkin kau bisa menarik kesimpulan seperti itu, Kakang?"
"Mudah saja, Pandan. Dari sikap dan keramahannya. Juga, dari kata-katanya
tentang Dara Iblis itu, aku merasa kalau Adipati Gadasewu mengenalnya. Atau
paling tidak, ada kaitannya yang sangat berhubungan erat Pandan, kau
perhatikan pengawalnya yang diakui sebagai saudaranya itu...?"
"Rondokulun maksudmu, Kakang?"
"Benar."
"Ada apa dengan Rondokulun?"
"Semalam, Ki Sampan bilang padaku kalau Rondokulun belum lama berada di
Kadipaten Galumbu ini. Dan kedatangannya langsung disambut dan diakui
sebagai saudara oleh Adipati Gadasewu. Padahal, tidak seorang pun yang
pernah mengenalnya. Dan semua orang tahu kalau Adipati Gadasewu tidak
memiliki seorang saudara pun. Dan lagi, kedatangan Rondokulun juga bersamaan
dengan munculnya si Dara Iblis."
"Hm.... Jadi, itu yang membuatmu curiga, Kakang?" Pandan Wangi mulai
mengerti.
"Bukan hanya itu saja, Pandan."
"Ya, aku mengerti sekarang. Jadi menurutmu, perhatian kita jangan terpusat
pada si Dara Iblis saja. Tapi, juga pada Adipati Gadasewu sendiri dan
Rondokulun. Begitu kan, Kakang..?"
"Tepat, Pandan. Untuk itu, kita harus membagi tugas. Kau mengawasi Adipati
Gadasewu dan Rondokulun. Sedangkan aku tetap berusaha menemukan si Dara
Iblis. Barangkali saja rahasianya yang tersimpan bisa terungkap."
Pandan Wangi mengangguk-angguk, sudah mengerti apa yang ada dalam kepala
Pendekar Rajawali Sakti. Dan gadis itu juga sudah merasakan kalau persoalan
yang sedang dihadapi seluruh rakyat Kadipaten Galumbu ini tidak ringan.
Bahkan bisa membuat kehancuran kadipaten ini.
"Sudah hampir malam, Pandan. Sebaiknya kita kembali ke rumah Ki Sampan,"
ajak Rangga.
Kembali Pandan Wangi mengangguk Dan tidak lama kemudian kedua pendekar muda
dari Karang Setra itu sudah berada di atas punggung kuda masing-masing. Kali
ini, mereka tidak tergesa-gesa dalam mengendalikan kudanya. Sementara,
matahari semakin tenggelam ke belahan bumi bagian barat Tidak lama lagi,
seluruh permukaan bumi Kadipaten Galumbu akan terselimut kegelapan. Dan
sepanjang jalan, sudah tidak ada lagi orang yang terlihat berada di luar
rumah. Begitu sunyi terasa, seakan-akan kota kadipaten ini berubah menjadi
kota mati yang tidak berpenduduk lagi.
Malam ini Rangga sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Sengaja
Pendekar Rajawali Sakti duduk di beranda depan rumah Ki Sampan. Sementara
Pandan Wangi sudah sejak tadi mengamati sekitar istana kadipatenan.
Sedangkan Rangga sendiri, sengaja berada di luar rumah menunggu kedatangan
si Dara Iblis. Tapi sudah jauh malam, gadis berbaju hitam itu belum juga
kelihatan batang hidungnya.
"Hm.... Apakah dia malam ini tidak muncul...?" gumam Rangga bicara pada
diri sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti melangkah ke halaman depan rumah Ki Sampan. Tidak
ada seorang pun yang terlihat. Malam begitu sunyi. Tapi Rangga tahu,
berpasang-pasang mata terus mengawasinya dari rumah-rumah yang ada di
sekitar rumah Ki Sampan ini. Rangga tahu, semua penduduk Kota Kadipaten
Galumbu ini ingin menyaksikannya dalam meringkus si Dara Iblis.
Slap!
"Heh...?!"
Tiba-tiba saja Rangga jadi tersentak, begitu merasakan desir angin yang
terasa dingin menerpa tubuhnya. Cepat tubuhnya diputar. Dan pada saat itu
juga, matanya menangkap satu kelebatan bayangan hitam di atas atap rumah Ki
Sampan.
"Hup!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat
naik ke atas atap. Lalu tubuhnya kembali melesat dengan hanya menotokkan
sedikit ujung jari kakinya di atas atap rumah penginapan ini. Sekilas Rangga
masih sempat melihat bayangan hitam itu berkelebat begitu cepat menuju arah
Istana Kadipaten Galumbu.
"Hup!"
Dengan mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuh, Pendekar
Rajawali Sakti terus mengikuti bayangan hitam yang berkelebatan begitu cepat
dari satu atap ke atap rumah lainnya. Dan begitu berada di samping kanan
Istana Kadipaten Galumbu, bayangan hitam itu lenyap tak terlihat lagi.
Rangga langsung menghentikan larinya, dan cepat berlindung di balik sebatang
pohon beringin yang cukup besar batangnya. Rimbunnya daun pohon ini membuat
tubuh Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat
"Hm..."
Sedikit Rangga menggumam, saat melihat sesosok tubuh ramping berbaju hitam
yang cukup ketat sedang mengendap-endap. Begitu rapat tubuhnya pada dinding
tembok yang tinggi mengelilingi bangunan istana ini. Bulan yang tertutup
awan hitam, membuat keadaan sekitarnya jadi gelap. Dan Rangga terpaksa harus
menggunakan aji 'Tatar Netra' agar dapat melihat lebih jelas lagi.
"Dara Iblis...," desis Rangga dalam hati, begitu mengenali orang yang
mengendap-endap di pinggiran tembok benteng istana ini.
Pendengaran Rangga yang tajam, mendengar suara ayunan langkah kaki yang
begitu halus dari sebelah kirinya. Dan saat berpaling ke kiri, tiba-tiba
saja....
Plak!
"Akh...!"
Hanya sedikit saja Rangga terpekik, begitu tiba-tiba sebuah pukulan yang
sangat keras menghantam bagian belakang kepalanya. Seketika itu juga,
pandangan matanya jadi mengabur. Tubuhnya lalu jadi limbung, kemudian ambruk
menggeletak tanpa dapat dikuasai lagi. Dan belum juga Pendekar Rajawali
Sakti bisa menghilangkan rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang
kepalanya, satu hantaman yang sangat keras kembali menerpa kepalanya.
"Ugkh...!"
Hanya sedikit saja keluhan yang keluar dari bibir Pendekar Rajawali Sakti,
karena mendadak saja pandangannya jadi gelap. Lalu, pendengarannya pun mulai
berkurang. Dan saat berikutnya, Rangga sudah tidak tahu apa-apa lagi.
Kesadarannya seketika lenyap, setelah mendapatkan satu pukulan lagi di
bagian belakang kepalanya.
Menjelang matahari terbit, Pandan Wangi sudah kembali ke rumah penginapan
Ki Sampan. Gadis itu hanya melihat Ki Sampan duduk terkantuk-kantuk di
ruangan tengah. Dan laki-laki tua itu hanya melirik saja saat Pandan Wangi
masuk, dengan mata begitu berat
"Oh...?! Maaf, aku tidak tahu kalau kau ada di sini, Ki," ujar Pandan
Wangi.
"Aku memang menunggu kalian pulang," sahut Ki Sampan dengan suara lesu
karena mengantuk
"Memangnya Kakang Rangga belum kembali, Ki?" tanya Pandan Wangi.
"Semalam, dia ada di depan. Tapi, terus pergi. Aku tidak tahu, ke mana
perginya. Dan sampai sekarang, dia belum juga kembali," kata Ki Sampan
memberi tahu.
"Mungkin di kamarnya, Ki. Biasanya Kakang Rangga memang begitu. Bisa ada di
mana saja tanpa diketahui," kata Pandan Wangi tanpa ada pikiran
apa-apa.
"Tidak ada, Nini. Aku sudah melihat kamarnya. Kosong," sahut Ki
Sampan.
Kening Pandan Wangi jadi berkerut juga. Semalam, sebelum mereka menjalankan
tugas masing-masing, Rangga sudah meminta agar sebelum pagi bertemu di
ruangan depan rumah penginapan ini. Tapi, kenapa sampai sekarang Rangga
belum juga kembali...? Pandan Wangi mulai berpikir macam-macam. Tapi gadis
itu tidak mau menduga kalau Rangga mengalami sesuatu yang menyulitkan
dirinya. Keyakinannya begitu kuat, kalau Pendekar Rajawali Sakti mampu
mengatasi segala kesulitan yang dihadapi.
"Ah.... Sudahlah, Ki. Nanti juga dia kembali. Aku akan istirahat dulu.
Nanti kalau Kakang Rangga sudah datang, beri tahu ya, Ki," kata Pandan Wangi
mencoba menenangkan diri.
"Baik, Nini," sahut Ki Sampan sambil terkantuk-kantuk.
Pandan Wangi langsung saja melangkah ke dalam, meninggalkan orang tua
pemilik rumah penginapan ini. Ki Sampan baru membaringkan tubuh di atas
balai-balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar, setelah Pandan Wangi
menghilang di balik dinding penyekat ruangan depan ini dengan ruangan
dalam.
Sementara di luar, ayam jantan sudah sejak tadi memperdengarkan suaranya.
Dan burung-burung pun sudah mulai berkicauan. Tampak di ufuk timur, rona
merah Jingga mulai terlihat memancar 'di balik kabut yang masih terlihat
tebal. Dan Pandan Wangi sudah membaringkan tubuhnya di dalam kamar, namun
matanya tak dapat dipejamkan sedikit pun. Dia memikirkan Rangga yang belum
juga kembali. Padahal sebentar lagi matahari sudah naik.
"Hm..., ke mana Kakang Rangga? Apa terjadi sesuatu padanya...?" gumam
Pandan Wangi bertanya-tanya sendiri. "Ah, nanti juga kembali."
Pandan Wangi mencoba memejamkan matanya. Tapi entah kenapa, hatinya jadi
begitu gelisah. Sehingga, dia sulit untuk beristirahat. Padahal rasa kantuk
dan lelah sudah menghinggapinya. Gadis itu hanya membaringkan tubuh saja,
menelentang memandangi langit-langit kamar penginapan ini. Dan pikirannya
terus menerawang jauh, memikirkan Rangga yang belum juga kembali. Sementara,
pagi terus merayap naik semakin tinggi. Dan matahari juga sudah menampakkan
diri. Cahayanya menerangi seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Namun
Pandan Wangi masih tetap berbaring di ranjangnya dengan mata menerawang
memandangi langit-langit kamar ini.
"Hhh...! Ke mana Kakang Rangga, ya...?" desah Pandan Wangi seraya bangkit,
dan duduk di tepi pembaringan.
Memang tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi pada diri
Pendekar Rajawali Sakti semalam. Bahkan sampai tengah hari, Rangga belum
juga kembali ke rumah penginapan ini. Tentu saja hal ini membuat Pandan
Wangi jadi gelisah tidak menentu. Sementara Ki Sampan sendiri, tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Bahkan kelihatan gelisah seperti Pandan Wangi.
Mereka hanya bisa menunggu, tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak juga kunjung
datang. Kegelisahan Pandan Wangi semakin bertambah, saat siang sudah
berganti senja, karena Rangga belum juga kelihatan batang hidungnya.
Padahal, itu belum pernah dilakukan Pendekar Rajawali, Sakti selama
ini.
Apa sebenarnya yang terjadi pada diri Pendekar Rajawali Sakti...? Di dalam
sebuah ruangan yang sempit dan gelap, tampak Rangga berdiri terentang dengan
kedua tangan dan kaki terbelenggu rantai baja hitam yang sangat kuat.
Kepalanya terkulai lemas. Dan matanya terpejam rapat Tampak dari bagian
belakang kepalanya mengalir darah yang sudah mengering. Entah sudah berapa
lama Pendekar Rajawali Sakti tidak sadarkan diri. Plak! Tiba-tiba saja
sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di wajah pemuda ini, membuat
kepalanya langsung terdongak ke atas. Saat itu juga Rangga membuka kelopak
matanya, dan langsung terkejut mendapati dirinya sudah terbelenggu di dalam
sebuah ruangan sempit yang cukup gelap ini. Sesaat pandangannya diedarkan ke
sekeliling. Dan tatapan matanya kemudian bertumpu pada seseorang yang
berdiri cukup dekat di depannya. Seluruh kepala dan wajahnya terselubung
kain hitam. Hanya dua lubang pada bagian matanya saja yang terlihat
"Di mana ini...?" lirih sekali suara Rangga.
"Kau ada di tempatku, Pendekar Rajawali Sakti."
"Siapa kau?" tanya Rangga.
"Tidak perlu tahu, siapa aku."
Rangga menggeleng-gelengkan kepalanya yang masih terasa pening. Pandangan
matanya juga belum begitu jelas. Rasa sakit pada bagian belakang kepalanya
begitu terasa. Sedangkan di depannya masih berdiri seseorang berbaju warna
hitam pekat, dengan seluruh kepala terselubung kain hitam. Sulit sekali
untuk mengenalinya, karena hanya pada bagian matanya saja yang
terlihat
Sebentar kemudian Rangga sudah bisa menyadari, apa yang terjadi pada
dirinya. Dicobanya untuk mengingat-ingat kejadian semalam, sampai berada di
tempat seperti ini dalam keadaan terbelenggu rantai baja hitam. Pendekar
Rajawali Sakti tahu kalau dirinya sudah tertangkap. Dan yang membuatnya
terkejut ternyata pedang pusakanya tidak lagi bertengger di
punggungnya.
"Jangan terlalu cemas, Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan kubebaskan setelah
urusanku selesai. Kau terlalu berbahaya. Maka terpaksa untuk sementara kau
harus dilumpuhkan," kata orang itu dengan suara berat sekali.
Rangga hanya diam saja. Kesadarannya sudah berangsur pulih. Bahkan masih
bisa bernapas lega, setelah memeriksa seluruh tubuhnya dengan penyaluran
hawa murni. Tidak ada satu totokan pun di tubuhnya. Hanya pada bagian
belakang kepala saja yang terasa nyeri. Dia tahu, kepala bagian belakangnya
terluka dan mengeluarkan darah akibat tiga kali pukulan yang
diterimanya.
"Dengar, Pendekar Rajawali Sakti! Tidak ada kesempatan sedikit pun untuk
meloloskan diri. Ruangan ini berada di bawah tanah, dan seluruh dindingnya
terbuat dari batu yang dilapis baja. Juga, sekitar ruangan ini sudah
terpasang banyak senjata rahasia yang bisa mencincang tubuhmu. Jadi
kuperingatkan, agar kau tidak berlaku macam-macam," kata orang itu lagi
sedikit mengancam.
Namun Rangga hanya tetap diam saja.
"Karena masih ada yang harus kuselesaikan, maka aku pergi dulu. Beberapa
hari lagi, aku akan melihatmu di sini."
Setelah berkata demikian, orang itu langsung saja berbatik dan pergi
meninggalkan Pendekar Rajawali Sakti di dalam ruangan sempit ini. Rangga
hanya memandangi saja sampai orang itu lenyap tak terlihat lagi di balik
pintu besi, yang kemudian tertutup rapat.
Cring!
Rangga menggerak-gerakkan tangan dan kakinya yang terbelenggu rantai baja
hitam. Kemudian kembali pandangannya beredar ke sekeliling.
Gelap dan pengap sekali mangan ini. Bau lumut terasa menyengat hidung.
Kembali kedua tangannya yang terentang terikat rantai yang menyatu dengan
dinding digerak-gerakkan. Tampaknya memang sangat kokoh.
"Hhh...!"
Rangga berusaha melepaskan belenggu ini dengan menghentakkan tangan
kanannya, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi Tapi, mulutnya jadi
meringis. Tangannya jadi terasa sakit, sedangkan rantai ini tidak juga
putus.
"Hhh! Kuat sekali rantai ini Hhh.... Mungkin dengan cara lain, aku bisa
bebas dari belenggu ini. Mudah-mudahan saja orang itu tidak cepat kembali.
Hm.... Tapi, siapa dia...?" gumam Rangga lagi, bicara pada diri
sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti mencoba lagi mematahkan rantai yang membelenggunya
ini, dengan menghentak-hentakkan kedua tangannya disertai pengerahan tenaga
dalam tidak penuh. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti terdiam. Kedua kelopak
matanya terpejam rapat, dan mulai mengatur jalan pernapasannya. Beberapa
saat kemudian....
"Hih!"
Rangga mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah berada pada
tingkat sempurna. Otot-otot kedua tangannya seketika bersembulan. Lalu
dicobanya menarik rantai itu sekuat tenaga. Terdengar suara desisan keluar
dari celah-celah bibirnya. Rangga terus berusaha memutuskan rantai itu
dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
"Hih...!"
Cring!
Trak!
"Phuih!"
Rangga langsung menghembuskan napas panjang, begitu rantai yang membelenggu
kedua tangannya terputus. Pendekar Rajawali Sakti langsung duduk, kemudian
mencoba memutuskan rantai yang membelenggu kakinya. Kembali seluruh
otot-otot di tubuhnya bersembulan keluar. Keringat telah membanjiri
tubuhnya, sehingga membuat seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti jadi
berkilat.
"Hih!"
Trak!
Rangga cepat bangkit berdiri begitu semua rantai yang membelenggunya sudah
terlepas. Dia ingin melangkah mendekati pintu. Tapi baru saja kaki kirinya
bergerak maju, langsung diurungkan kembali. Pendekar Rajawali Sakti langsung
teringat kata-kata orang berpakaian serba hitam tadi. Ruangan ini sudah
dipasangi puluhan jebakan yang bisa membuat tubuhnya tercincang.
Dipandanginya pintu besi baja yang berada sekitar tujuh langkah di
depannya.
"Haaap...!"
Rangga menarik kedua tangannya, kemudian merapatkannya di depan dada.
Sebentar napasnya ditahan. Lalu....
"Yeaaah...!"
Begitu kedua tangannya terhentak ke depan, seketika itu juga selarik sinar
merah melesat dari kedua telapaknya yang terbuka itu. Dan....
Glarrr!
Satu ledakan dahsyat tiba-tiba saja terdengar, begitu sinar merah dari
telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti menghantam pintu besi ruangan ini.
Tampak pintu itu jebol seketika.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat melompat keluar dari dalam
ruangan ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun
tidak menimbulkan suara pada gerakannya. Bahkan ketika kakinya menjejak
lantai batu di depan ruangan kecil itu, juga sedikit pun tidak terdengar
suara.
mm.. Ternyata sebuah lorong..., gumam Rangga pelan. Pendekar Rajawali Sakti
cepat berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Hup!
***
Emoticon