Sinar matanya yang tadi cerah, kini berubah jadi muram. Agaknya pemuda
itu sedang gundah gulana. Dan itu kemudian tercermin dari alunan
serulingnya yang terasa menyayat-nyayat hati.
Suara serulingnya kadang-kadang melengking-lengking. Dan apabila angin
berhembus kencang, suara sending itu kadang-kadang hilang dan
kadang-kadang sangat nyata, seolah-olah ditiup di dekat daun
telinga.
Lagu yang dialunkannya adalah sebuah lagu kiser, salah satu jenis lagu
rakyat Cirebon, yang sangat romantis. Rupanya irama lagu itu sangat
menarik perhatian penghuni hutan itu, yang tak lain adalah
monyet-monyet.
Sejak dulu, hutan itu memang hanya dihuni binatang tersebut, tak ada
binatang lainnya. Monyet-monyet itu berloncatan dari atas pohon menuju ke
arah suara merdu itu.
Orang menyebut hutan itu dengan nama 'Plangon'. Dan sampai sekarang hutan
itu masih banyak dihuni monyet dan sering didatangi muda-mudi sebagai
tempat rekreasi.
Parmin, demikian nama lelaki tampan yang sedang meniup seruling itu. Ia
tampak tersenyum melihat monyet-monyet itu mengerumuni dirinya, layaknya
pengagum artis.
Tanpa diduga-duga, monyet-monyet itu berloncatan ke punggungnya. Bahkan
ada pula yang ke kepala, menyibak-nyibak rambut Parmin hendak mencari
kutu. Sementara yang lainnya menyambar topi yang terbuat dari anyaman
bambu milik Parmin, lalu memakainya. Yang lainnya menarik seruling dari
tangan Parmin dan mencoba meniupnya. Parmin betul-betul kewalahan.
Tetapi ia senang. Ia tak henti-hentinya tertawa menyaksikan tingkah laku
monyet-monyet itu. Lalu ketika monyet-monyet itu membawa kabur topi dan
serulingnya, Parmin cuma tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ah,
biarlah mereka bersenang-senang dengan seruling itu. Nanti akan kubikin
lagi seruling yang lebih bagus, kata lelaki itu dalam hati.
Ketika ia berdiri kembali, tubuhnya terasa lebih segar dan ringan. Rasa
penatnya telah hilang, setelah sejak pagi tadi ia menempuh perjalanan yang
sangat jauh. Karena hari masih panas, ingin lah ia mandi di sungai tak
jauh dari tempatnya istirahat tadi. Maka ia pun segera menuruni
tebing-tebing yang cukup terjal.
Suara gemercik air menerpa batu-batu terdengar dari kejauhan seperti
irama lagu yang biarpun monoton namun terasa mengandung suatu keindahan
yang tiada taranya. Air sungai itu sangat jernih, sehingga dasarnya yang
cukup dalam kelihatan dengan nyata.
Beberapa ekor ikan kecil berenang cepat, membentuk lengkungan-lengkungan
cahaya warna-warni bagaikan pelangi di senja hari. Ketika hendak membuka
bajunya, tiba-tiba terkejutlah lelaki itu karena tak jauh di seberang
sungai tampak olehnya seorang wanita.
Parmin tak habis pikir, kenapa ada wanita muda belia dan cantik lagi
berani sendirian di sungai yang sepi itu.
Wanita itu agaknya baru saja selesai mandi. Ia tengah berdandan di atas
batu di tengah kali.
Karena merasa kurang sopan berada di sungai dekat wanita, Parmin
bermaksud meninggalkan tempat itu, mandi di tempat yang agak jauh, di hulu
atau di mudik sungai.
Namun baru beberapa langkah beranjak, tiba-tiba kilatan-kilatan cahaya
menyambar tubuhnya. Parmin merasakan ada senjata rahasia meluncur cepat
sekali ke arah tubuhnya.
Sambil berseru nyaring, ia meloncat tinggi kemudian berjumpalitan di
udara, sehingga senjata-senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil itu tak
berhasil mengenai tubuhnya. Pisau-pisau itu tertancap ke dinding
batu.
Dengan gerakan yang sangat ringan, Parmin kemudian mendarat di atas batu,
sekitar limabelas meter dari hadapan wanita yang sedang berdandan selesai
mandi itu.
“Maafkan aku, nona. Aku tak sengaja melihatmu tadi. Sungguh, nona.
Maafkan kelancanganku ini,” kata Parmin.
“Cih, laki-laki hidung belang. Tak tahu malu! Apa maksudmu mengintipku
mandi, heh? Kalau ayahku tahu kekurangajaranmu, lehermu pasti dipelintir
sampai buntung, bajingan.
“Rupanya kau belum tahu siapa aku, ya. Akulah putri Gembong Wungu jago
silat tanpa tanding yang kesohor di seluruh lereng Gunung Ciremai.”
Gadis yang tak lain tak bukan Ranti, putri almarhum Gagak Ciremai itu
berkata dengan suara membentak-bentak.
“Ah, sungguh tak dinyana hari ini aku dapat kehormatan besar bertemu
dengan putri pendekar yang sangat sakti itu. Nama ayahmu terkenal sampai
ke pantai utara, tempat asalku, nona.”
“Daerah ini adalah daerah kekuasaan ayahku. Setiap orang asing yang
menginjakkan kakinya di sini harus terlebih dulu meminta izin kepada
ayahku.
“Janganlah kau bertindak seenakmu di daerahku dengan permainan silatmu
yang cuma mainan anak-anak itu. Caramu mengelak seranganku tadi biasa
dilakukan anak-anak di desa kami. Karena itu, sekali lagi kuperingatkan
agar kau jangan coba-coba berbuat seperti ini lagi.”
Terkejut juga Parmin mendengar kata-kata Ranti yang angkuh dan congkak
itu, Wajahnya cantik dan suaranya pun merdu, tapi sikapnya sungguh tidak
bermoral.
Tetapi sebagai orang yang sudah berpengalaman, Parmin merasa tak perlu
meladeni keangkuhan gadis itu. Ia merasa lebih baik secepatnya
meninggalkan tempat itu.
Tetapi ketika hendak berbalik, Ranti membentak.
“Tunggu dulu, bajingan! Kau belum boleh pergi!”
“Ah, nona. Kenapa nona segalak itu? Aku benar-benar minta maaf padamu,
karena tadi maksudku sebenarnya hanya ingin mandi. Tetapi rupanya nona
sudah terlebih dulu berada di sini. Aku melihat nona tanpa sengaja.
“Sekarang aku hendak membuka baju, nona. Harap nona mau bermurah hati
meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan di lain kesempatan kita masih bisa
bertemu lagi.”
“Idih, dasar laki-laki tak tahu malu.”
Gadis itu membuang muka ketika Parmin membuka baju, lalu dengan muka yang
berubah merah padam, ia berkata.
“Tapi baiklah. Saya akan pergi. Tapi ingat, kau masih punya urusan
denganku. Bagaimana pun juga, kelancanganmu ini tidak boleh
didiamkan.”
“Terimakasih atas kemurahan hati nona. Tolong katakan kepada ayahmu,
bahwa ada seseorang yang numpang bermalam di desa ini,” kata Parmin sambil
menatap kepergian gadis itu, yang meloncat dengan gesitnya ke atas
tebing.
Ranti merasa kesal, kecewa, marah dan entah apa lagi. Sesampainya kembali
di rumah, ia duduk termenung di kamarnya. Wajah pemuda yang tadi bertemu
dengannya di sungai kembali terbayang di benaknya.
Tubuh pemuda itu demikian kekarnya, bersih dan berisi. Sinar matanya
tajam dan berbinar-binar. Wajahnya pun tampan dan mencerminkan sesuatu
yang sangat istimewa, yang tak ditemui pada wajah para jejaka di desa
Perbutulan.
Ada perasaan aneh menyelinap ke dalam hati Ranti sebagai seorang gadis
yang telah menginjak dewasa. Tetapi entah perasaan apa, ia sendiri tidak
tahu pasti. Yang jelas, perasaan itu selama ini belum pernah muncul di
dalam hatinya.
Perubahan gadis cantik jelita itu rupanya tidak luput dari perhatian
Gembong Wungu. Tokoh dari kalangan hitam itu menghampiri Ranti.
Ditepuknya bahu Ranti dengan penuh kasih sayang.
“Ranti anakku. Mengapa kau termenung saja sejak tadi? Adakah sesuatu yang
sedang kau pikirkan atau yang membuatmu terganggu? Si Minem sudah
menyiapkan makanan untukmu. Ayo, makanlah, tak baik jika mengurung diri
terlalu lama di kamar. Nanti kau sakit.”
“Aku belum lapar, ayah. Nanti saja.”
“Ah, jangan begitu anakku. Kau kan tahu, ayah sangat sayang padamu. Ayo,
makanlah anakku!”
“Baiklah, ayah!”
***
Sore itu, Parmin mendatangi seorang petani di desa itu. Dengan sikap yang
sopan dan ramah tamah, ia mengutarakan maksudnya hendak mencari pekerjaan,
karena ia sangat memerlukan bekal untuk perjalanan selanjutnya.
“Nama saya Parmin, pak. Saya berasal dari desa Eretan.”
“Wah, kau datang dari jauh, Nak! Baiklah, kebetulan sekali aku sedang
membutuhkan tenaga mengolah sawah. Besok kau sudah boleh bekerja dan boleh
tidur di sini kalau kau suka.”
“Terimakasih, pak.”
“Penghidup petani di desa ini sekarang susah, Nak. Pajaknya yang harus
disetor ke Kotapraja besar sekali. Belum lagi uang jaminan kepada Gembong
Wungu. Jika tak dibayar, anak buahnya pasti berbuat kejam, tak segan-segan
membakar sawah saat padi mulai berbuah.
“O, iya Nak. Kunasehatkan janganlah bertindak sembarangan di desa ini.
Jangan sampai mengganggu gadis cantik putri raja rampok itu. Aku juga
mengerti tentang gejolak hati kaum remaja. Tetapi salah-salah bisa ketiban
pulung.”
“Terimakasih atas nasehat bapak. Saya akan selalu mengingatnya.”
Demikianlah besok harinya ketika ayam mulai berkokok, Parmin sudah
bangun. Segar sekali rasanya udara di pagi itu. Dengan langkah ringan,
pemuda itu berangkat ke sawah, membawa dua ekor kerbau dan bajak.
Dengan bertelanjang dada, ia membajak sawah. Tubuhnya yang kekar
berkilau-kilau dibasahi keringat. Otot-ototnya tampak sangat kekar dan
kuat.
Dalam waktu tiga hari saja, ia sudah hampir selesai mengerjakan sawah
petani desa itu. Sambil memegang bajak di belakang kedua ekor kerbau, ia
sekali-kali berteriak-teriak agar kerbaunya tak malas. Ia sama sekali tak
menyadari ada sepasang mata bening mengawasinya dari balik pepohonan. Mata
itu menatapnya dengan pandangan penuh kekaguman.
Parmin baru menyadarinya ketika gadis yang ternyata putri Gembong Wungu
itu melangkah mendekat. Gadis itu berdiri di pematang sawah sambil menatap
Parmin dengan berbinar-binar.
“Eh, nona. Selamat siang, nona. Mengapa nona berdiri di situ? Lihatlah,
matahari demikian teriknya. Nanti kulit nona menjadi hitam,” ujar Parmin
sambil melirik sejenak pada gadis itu. Setelah itu, ia kembali meneruskan
pekerjaannya.
“Memangnya orang lihat tidak boleh? Kalau kulitku jadi hitam, biar saja.
Apa urusanmu?”
Parmin tersenyum geli mendengar ucapan gadis itu. Enak juga bekerja
dimandori gadis cantik, katanya dalam hati.
“Eh, nona. Selamat siang. Mengapa nona berdiri disitu? Lihatlah, matahari
demikian teriknya. Nanti kulit nona menjadi hitam,” ujar Parmin sambil
melirik sejenak pada gadis itu. Setelah itu, ia kembali meneruskan
pekerjaannya.
“Hei, kamu!” teriak Ranti lagi, “Dengarlah, aku ingin memberi saran
padamu.”
“Saran? Saran apa maksudmu, nona?”
“Dengarlah baik-baik. Daripada kau memeras keringat seperti ini hanya
untuk upah beberapa gulden dan sesuap nasi, lebih baik kau jadi anak buah
ayahku. Ayah pasti senang menerimamu. Ilmu silatmu cukup tinggi.”
“Ah, ilmu silatku hanya sampai tingkat anak-anak kecil di desa
ini.”
“Aku sungguh-sungguh!”
“Terimakasih atas saranmu. Tapi aku tak ingin jadi perampok. Merampok
adalah pekerjaan haram. Aku lebih senang dengan upah kecil asalkan
pekerjaan itu halal.”
“Haram? Apa maksudnya?”
Ah, orang ini benar-benar tak tahu ajaran agama, pikir Parmin
diam-diam.
“Haram artinya sesuatu yang tidak diridhoi Tuhan. Sesuatu yang dilarang
Tuhan. Sedangkan halal sebaliknya, nona.”
“Ayahku tak pernah berkata begitu.”
Ranti kemudian duduk di pematang sawah sehingga pakaiannya berlepotan
lumpur.
“Nona jangan duduk di situ. Nanti pakaian nona jadi kotor.”
“Biar saja kotor. Nanti ada yang mencucikannya. Ayahku punya banyak
pelayan perempuan yang juga memijat ayah bila sedang kecapaian.”
Itu namanya, gundik nona manis, kata Parmin dalam hati. Pemuda itu
kembali meneruskan pekerjaannya, di bawah tatapan sepasang mata Ranti yang
terlalu sukar ditebak maknanya.
Dan sejak itu pula, perasaan aneh di dalam hati Ranti makin menjadi-jadi.
Jika sedang sendirian di rumah, ia merasa tak betah. Malam harinya,
matanya sulit terpejam sebab wajah Parmin selalu terbayang-bayang di
pelupuk matanya.
Ada sesuatu gejolak perasaan tak menentu dalam dirinya jika bertemu
dengan pemuda itu. Dan jika tak ketemu, perasaan itu malah semakin tak
terbendung.
Sebagai gadis yang sudah terbiasa dimanja, Ranti pun tidak mau perduli
sekarang. Pada sangkanya, ia boleh saja berbuat sesuka hati terhadap
Parmin. Bukankah selama ini tak ada yang berani menolak kehendaknya?
Maka saban hari, Ranti selalu mendatangi Parmin. Ada-ada saja yang
dikatakan atau ditanyakannya. Bahkan ketika pemuda itu sedang sembahyang,
Ranti tak segan-segan duduk atau berdiri di dekatnya, sambil bertanya yang
bukan-bukan. Kadang-kadang Parmin jengkel dibuatnya.
“Kenapa kau masuk ke mari tanpa seijin tuan rumah?” tanya Parmin pada
suatu hari. Ucapannya tidaklah berupa pertanyaan, tetapi cenderung teguran
atas kelancangan gadis itu.
“Aku bebas ke mana saja aku suka. Tak seorang pun berani
melarangku.”
“Tapi ini rumah orang. Seharusnya kau tahu sopan santun.”
“Masa orang mau ketemu saja tidak boleh. Waktu aku datang ke sini, petani
tua itu tidak ada. Aku tak mungkin capek-capek mencarinya hanya untuk
permisi. Tapi kalau yang punya rumah ini marah, boleh saja. Besok tentu
dia akan dihajar ayahku sampai mampus.”
“Dengar, nona! Seorang wanita masuk ke kamar laki-laki adalah berbahaya,
apalagi kau seorang perawan.”
Ranti tidak tersinggung mendengar ucapan itu. Ia malah tersenyum manis,
hingga kecantikannya tampak semakin nyata.
“Heh, siapa namamu? Parmin, ya? Parmin! Parmin! Kau suka sembahyang,
bukan? Kau santri. Kata ayahku, orang yang suka sembahyang itu namanya
santri. Tapi ayahku tidak senang melihat santri. Eh, apa sih gunanya
sembahyang itu?”
Mendengar pertanyaan gadis itu, tergerak juga hati Parmin untuk
menjelaskan. Bagaimana pun juga, ia menyadari Ranti jadi begitu hanya
karena pengaruh lingkungan. Orang seperti Gembong Wungu tentulah tidak mau
mengajarinya mengenai agama.
Diam-diam Parmin merasa kasihan juga, karena Ranti, telah terjerumus
dalam kehidupan yang tak baik. Hidup dalam dunia kegelapan.
“Dengarlah, nona. Kau telah diberi mata untuk melihat keindahan. Telinga
untuk mendengar musik yang merdu. Hidung untuk mencium bau yang harum
semerbak. Mulut untuk merasakan lezatnya makanan serta otak untuk
berfikir.
“Kau punya tangan, kaki, rambut yang ikal mayang dan punya tubuh yang
indah molek. Semua itu adalah pemberian Tuhan, yang menciptakan semuanya
itu.”
“Tapi yang menciptakan aku adalah ayah dan ibuku. Kau salah.”
“Bukan, nona. Pernahkan kau melihat seorang anak yang berwajah buruk,
hidungnya pesek, mulutnya monyong, matanya juling serta pipinya tembem?
Semua itu juga pemberian Tuhan.
“Ayah dan ibu si anak tentu tak menginginkan rupa anaknya seburuk itu.
Semua orang tua ingin punya anak yang cantik seperti kau. Tetapi mereka
tidaklah bisa menciptakannya itu. Ayah dan ibu hanya merupakan perantara
untuk melahirkan kita ke dunia ini.”
“Ho-oh. Aku mengerti. Tetapi kalau memang begitu, berarti Tuhan tidak
adil. Kenapa ada yang cantik dan ada yang jelek?”
“Ah, kau telah salah paham nona. Pernahkah kau lihat orang yang wajahnya
buruk tapi perangainya baik, punya wajah cantik tapi perangainya jelek?
Pasti pernah. Itulah keadilan Tuhan. Tuhan maha adil.
“Karena itu nona tidak boleh memandang orang dari segi luarnya saja. Rupa
itu hanyalah pembungkus yang kelak pasti akan hancur dimakan tanah.”
“He-em. Aku mengerti. Kau betul. Lalu apa hubungannya dengan
sembahyang?”
“Kita telah diciptakan Tuhan seadil-adilnya. Tuhan mencintai umat-nya,
Maha Penyayang dan Pengasih. Oleh karena itu, kita wajib berterimakasih
dan membalas kasih sayangnya dengan sembahyang dan mematuhi semua
perintahNYA.
“Merampok adalah pekerjaan yang dilarang Tuhan, karena perbuatan itu
merampas hak orang lain, menyiksa orang lain. Suatu saat, Tuhan akan
menghukum orang yang berbuat demikian.”
Ranti tampaknya belum memahami sepenuhnya kata-kata Parmin yang mirip
khotbah itu. Tetapi ucapan itu menambah rasa kagum di hatinya.
Kadang-kadang, gadis itu membuntuti Parmin tanpa sepengetahuannya. Atau
kadang-kadang ia mencegat di tengah jalan. Seperti di siang hari bolong
itu, ketika Parmin berjalan sendirian di hutan sambil membawa sekeranjang
pisang dan kacang tanah.
“Hei, buat apa kau bawa pisang dan kacang tanah?” tanya Ranti setengah
berteriak.
“Buat kawan-kawanku.”
“Kawan-kawanmu? Bolehkah aku ikut? Aku ingin tahu siapa kawan-kawanmu
itu. Boleh, kan?”
“Kenapa nona selalu mengikuti aku? Aku takut terjadi apa-apa. Nanti aku
pula yang disalahkan.”
“Betul, Parmin. Terus terang saja, sejak ayah tahu kita telah berkenalan,
ayah merasa tak senang padamu. Alasannya karena kau selalu sembahyang.
Kata ayah itu tidak baik.
“Tapi aku senang bersahabat denganmu. Kau baik hati, dan sikapmu lain
dari pemuda-pemuda di desa ini.”
Parmin manggut-manggut mendengar ucapan gadis itu.
Tak lama kemudian, kedua insan berlainan jenis itu sampai ke
Plangon.
“Hei, kawan-kawan. Silakan turun. Aku membawa oleh-oleh untuk kalian!”
seru Parmin sambil menatap ke sekelilingnya.
Sekejap kemudian, monyet-monyet berloncatan dari balik pepohonan, dan
langsung mengerumuni Parmin.
Ranti terkejut bukan main, manusia bisa bersahabat dengan binatang,
pikirnya.
“Lihatlah mereka, nona. Mereka hidup rukun, tidak saling merebut hak
kawannya. Sebuah contoh yang baik bagi manusia.”
“Apakah setiap hari kau melakukannya terhadap binatang-binatang ini? Dan
apakah hanya untuk mereka pula kau memeras keringat setiap hari? Apa
gunanya berkawan dengan monyet?”
“Oh, kau jangan salah mengerti nona. Aku bekerja bukan untuk mereka, tapi
untuk diriku sendiri. Bersahabat dengan mereka tentu ada gunanya. Karena
binatang lebih tahu membalas budi kepada kita.”
“Aku jadi tak mengerti.”
“Mungkin karena nona belum membuktikan sendiri. Tapi sebagai orang baik,
kita harus menyayangi binatang, karena mereka pun adalah makhluk ciptaan
Tuhan. Kita tak boleh menyiksa binatang apalagi menyiksa manusia.
“Kita tidaklah boleh membunuh makhluk di bumi dengan seenaknya saja tanpa
rasa perikemanusiaan. Karena itu dapatlah kau bayangkan, betapa jahat dan
terkutuknya perbuatan para perampok.”
“Lihatlah mereka, nona. Mereka hidup rukun tidak saling merebut hak
kawannya. Sebuah contoh yang baik bagi manusia.”
Ranti tersentak mendengar kata-kata itu. Perampok! Hatinya berulang kali
membisikkan kata-kata itu. Bukankah ayahnya Gembong Wungu adalah perampok,
bahkan rajanya perampok?
Kalau memang apa yang diucapkan Parmin, berarti ayahnya adalah orang yang
tidak baik. Tetapi selama ini ayahnya selalu berbuat baik padanya, selalu
memanjakan dan menyayanginya.
Kata-kata Parmin itu menjadi bahan pemikiran bagi Ranti pada hari-hari
selanjutnya. Kisah menarik selama limabelas tahun terakhir ini tidak hanya
terpaku pada Ranti, putri almarhum Gagak Ciremai yang dididik serta
dibesarkan Gembong Wungu.
***
Masih di lereng Ciremai, cukup jauh dari tempat pembicaraan Parmin dan
Ranti, ada sebuah hutan yang juga hampir tak pernah didatangi
manusia.
Hutan itu sangat lebat dan banyak dihuni binatang buas. Tetapi sebenarnya
bukan binatang-binatang berbisa dan buas itu yang membuat orang tak mau
menginjakkan kakinya di hutan itu. Ada sesuatu di hutan itu, yang
misterius sekaligus menyeramkan yang dari tahun ke tahun menjadi buah
bibir dan semacam legenda.
Di hutan itu berkeliaran berbagai jenis makhluk halus seperti jin, hantu,
mambang, peri, siluman, setan dan entah apa lagi. Seribu satu macam
dedemit yang kabarnya tak kenal kompromi dengan manusia.
Sebagian penduduk malah percaya hutan itu adalah tempat perkumpulan
segala jenis makhluk halus. Karena itu, penduduk tidak berani pergi ke
hutan itu, sebab mereka percaya setiap orang yang berani menginjakkan
kakinya di situ, pastilah akan menemui ajalnya di mangsa para dedemit
itu.
Orang tua misalnya jika sedang memarahi anaknya, sering menyebut-nyebut
hutan itu. Kukirim kau ke hutan dedemit itu, biar tahu rasa kamu. Dan
biasanya, si anak langsung ketakutan dan tidak mau lagi melawan orang
tuanya.
Walaupun demikian, jika misalnya ditanya apakah sudah ada yang pernah
membuktikan kebenaran adanya makhluk-makhluk halus itu, mungkin semuanya
akan menggelengkan kepala.
Di sinilah terlihat tidak sedikit manusia yang demikian mudahnya termakan
hasutan. Kadang-kadang, orang juga suka mengada-ada mengatakan yang tidak
ada itu ada.
Karena orang yang mendengarnya mudah terpengaruh, maka langsung saja
percaya biarpun belum membuktikan sendiri. Pada satu sisi, manusia bisa
diperbudak khayalan buruk yang tercipta karena mendengar cerita-cerita
menyeramkan.
Di sebuah tempat yang agak lapang di tengah hutan angker itu, terdapat
air terjun yang menurut kepercayaan orang adalah tempat para jin itu
mandi.
Air terjun itu cukup tinggi, sekitar limabelas meter dan airnya pun cukup
besar sehingga tekanannya cukup kuat. Itu terbukti oleh suara air
menghantam bebatuan terdengar sampai ratusan meter. Dasar air terjun itu
juga selalu mengepulkan uap mirip asap, padahal airnya sangat
dingin.
Di dekat air terjun itu, di atas sebongkah batu tampak sesosok tubuh
bergerak-gerak. Kadang-kadang lambat, kadang-kadang cepat sekali hingga
sukar diikuti pandangan mata biasa. Sosok tubuh itu rupanya sedang
memainkan jurus-jurus ilmu silat tinggi. Apakah ada jin atau setan sedang
berlatih silat?
Tidak! Sama sekali tidak. Sosok tubuh itu adalah manusia biasa, tepatnya
wanita. Wajahnya sudah cukup tua, mungkin sudah enampuluh tahun.
Atau mungkin lebih muda sebenarnya, tetapi karena rambutnya awut-awutan
dan pakaiannya pun compang-camping, ia tampak lebih tua dari usia
sebenarnya. Di wajahnya, terutama di bagian dahinya terlihat kerut-kerut
yang nyata. Tidak hanya mencerminkan ketuaan, tetapi juga penderitaan
bathin yang teramat sangat.
Wanita tua itu memainkan jurus-jurus ilmu pedang yang teramat dahsyat.
Pedangnya diputar cepat sekali membentuk gulungan sinar kemerah-merahan,
menandakan betapa cepatnya gerakan pedangnya.
Kadang-kadang ia meloncat tinggi ke udara, lalu meluncur bagaikan burung
rajawali dengan gerakan menyambar ke bawah. Pedangnya menusuk sementara
kedua kakinya menendang ke arah kiri dan kanan. Pada saat yang bersamaan,
tangan kirinya membentuk cengkeraman meluncur juga dengan kecepatan luar
biasa dan mengandung tenaga dalam yang teramat dahsyat.
Serangan yang sangat mematikan. Dapat dipastikan, pendekar silat yang
memiliki ilmu biasa-biasa saja, akan tewas oleh serangan itu.
“Ciaaat.......!” Wanita itu berteriak nyaring sambil mengerahkan tenaga
dalam hingga tempat itu terasa bergetar. Bersamaan dengan itu, tubuhnya
mendarat ringan di atas bongkahan batu. Pergelangan tangan kanannya
diputar, sehingga pedangnya yang tadinya menusuk berubah menjadi
membabat.
“Mampus kau, laknat! Mampus kau. Mampus.......!” teriak wanita itu dengan
beringas.
Tetapi kemudian, tiba-tiba ia menjatuhkan diri menelungkup di atas batu
sambil menangis tersedu-sedu.
“Kakang, oh kakang. Betapa beratnya penderitaan bathinku. Tapi akan
kubalaskan dendam pada si laknat itu. Waktu itu akan segera tiba kakang.
Si bangsat itu pasti mati di tanganku.......”
Mendadak, ia bangkit lagi, Matanya yang masih basah kini berubah merah
bagaikan memancarkan api. Rupanya dalam keadaan sedih ia tetap
waspada.
Pendengarannya yang sangat tajam menangkap suara mendesis-desis di atas
pohon. Sewaktu ia mengangkat wajah, tampaklah olehnya seekor ular
belang-belang sebesar paha orang dewasa melingkar di dahan pohon,
sementara mulutnya terbuka, siap mematuk mangsa yang lewat di bawah.
“Kebetulan aku sudah lapar sekali. Sejak tadi perutku keroncongan,”
ujarnya setengah bergumam.
Secepat kilat wanita itu meloncat. Seberkas cahaya menghantam leher ular
itu, hingga putus seketika oleh pedang di tangan wanita itu.
Wanita itu kemudian menarik tubuh ular yang panjangnya lebih sepuluh
meter. Dipotongnya tubuh ular itu menjadi tiga bagian sambil tak
henti-hentinya terkekeh-kekeh.
“He-he-he.......! Makan besar aku hari ini. Kupotong menjadi tiga. Yang
paling besar ini buat kau, kakang. Yang tengah untukku dan ekornya buat
anak kita.”
Lalu dilahapnya daging ular mentah itu. Darah segar menetes dari
mulutnya. “Enak........ enak sekali. Puas, puas rasanya sekarang. Kakang,
lihat tetangga kita juga merasakannya.......”
Malam harinya, wanita itu menanggalkan semua pakaian yang melekat di
tubuhnya, lalu duduk bersila di tengah-tengah air terjun yang deras dan
penuh gemuruh itu. Tak terlihat bahwa wanita itu terganggu oleh derasnya
air terjun yang menimpa tubuhnya.
Ia juga tak merasa kedinginan sedikit pun juga. Suatu pertanda betapa
hebatnya tenaga dalam wanita itu. Siapakah sebenarnya wanita itu?
Tak ada yang mengetahuinya. Sebab jangankan menjenguknya ke hutan angker
itu, membicarakan hutan itu saja orang sudah pada takut. Orang mungkin per
nah mendengar suaranya jika kebetulan agak dekat ke hutan itu. Tetapi
orang yang mendengarnya tentulah menjadi ketakutan karena mengira suara
itu adalah suara para dedemit.
Suatu malam ketika rembulan sedang bersinar dengan terangnya. Angin
bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan bergoyang-goyang berkilau-kilau ditimpa
sinar rembulan. Suasana sangat sepi, karena penduduk sudah tidur lelap di
bawah selimut.
Hanya beberapa orang saja penjaga di sekitar rumah Gembong Wungu masih
berjaga-jaga. Tetapi tanpa sepengetahuan para penjaga itu, wanita penghuni
hutan angker telah menyelinap masuk ke halaman rumah.
Dengan gerakan ringan bagaikan kapas, wanita itu meloncat ke atas
genteng. Ia melangkah sambil mengendap-endap lalu mengintip ke bawah.
Sebentar kemudian, wanita itu melayang turun ke halaman rumah.
Seorang penjaga yang berdiri terkantuk-kantuk di dekat jendela kamar
Ranti masih belum menyadari kehadiran orang asing di tempat itu.
Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, wanita itu menghantam tengkuk
penjaga hingga roboh seketika. Suara jerit tertahan yang keluar dari
mulutnya rupanya sempat menarik perhatian penjaga lainnya. Namun penjaga
yang satu itu pun tak luput dari sasaran hantaman wanita misterius
itu.
Suara berisik itu rupanya tak luput dari perhatian Ranti. Sebagai
pendekar yang sejak kecil telah digembleng untuk selalu waspada, ia segera
terbangun dari tidurnya. Dengan gerakan yang sangat ringan dan cepat, ia
meloncat ke luar dari jendela.
Persis ketika ia menginjakkan kakinya di tanah, sesosok tubuh penjaga
yang dilemparkan meluncur ke arahnya. Ranti terpaksa membuang diri ke
samping hingga tidak terjadi tabrakan. Ketika ia berdiri kembali, maka
tampaklah olehnya seorang wanita berdiri tegak sambil menghunus sebilah
pedang di hadapannya.
“Heh, siapa kau? Saya akan menghajarmu, berani datang ke mari membikin
keonaran. Sebutkan namamu!” bentak Ranti geram.
Wanita asing itu tiba-tiba tersenyum. Di bawah sinar rembulan terlihat
senyumnya itu begitu lembut dan penuh kasih sayang, tidak sinis. Beberapa
saat, Ranti merasa terpukau melihatnya. Dadanya berdebar tidak karuan,
entah karena apa.
“Oh, Ranti. Ranti, kau sudah besar, cantik jelita dan gagah
perkasa.”
Alangkah terkejutnya Ranti mendengar orang itu menyebut namanya dengan
sikap yang sangat akrab dan lembut, seolah-olah sebelumnya sudah kenal
padanya
“Kau tahu namaku? Siapa kau sebenarnya? Apa maksudmu datang ke sini dan
membunuh orang-orangku?”
“He-he-he.........! Mereka yang lebih dulu menyerangku, anak manis. Aku
datang ke mari untuk mencari Gembong Wungu, Di mana dia?”
“Oh, jadi kau ingin menghadapi ayahku? Kalau begitu hadapilah aku lebih
dulu!” bentak Ranti sambil menghunus pedangnya.
Namun tiba-tiba, Kosim pembantunya yang sangat setia datang ke tempat
itu. Dengan sangat terburu-buru dan agak gugup, pelayan tua itu menarik
tangan Ranti.
“Aduh, tobat. Tunggu dulu, den. Sabar, den. Sabar.” Kosim kemudian duduk
bersimpuh sambil memeluk kedua kaki Ranti.
Ranti terkejut, karena tak biasanya pelayannya yang setia itu bersikap
demikian.
“Heh, Pak Kosim. Apa artinya semua ini? Kenapa sikapmu jadi
begini?”
“Ampun, Den. Jangan, jangan hadapi dia. Aku....... oh, lebih baik bunuh
saja aku lebih dulu. Tolonglah, simpan pedang itu kembali. Ampun, Den. Ya,
Allah........”
“Apa maksudmu, Pak Kosim? “Mengapa semua ini bisa terjadi” Aku sungguh
tak mengerti.”
Tiba-tiba wanita itu tertawa cekikikan sambil menatap Ranti dan Kosim
bergantian dengan tatapan aneh.
“Baiklah anak manis. Aku pergi dulu. Katakan kepada Gembong Wungu aku
ingin bertemu dengannya kapan saja ia mau........”
Sebelum Ranti dapat menguasai kebingungannya, sosok tubuh wanita itu
melesat seperti seekor burung walet terbang ke pohon.
“Katakan kepada Gembong Wungu, aku selalu menantinya di Cadas
Kuriling.......” kata wanita itu sambil berlalu. Tubuhnya hilang di balik
pepohonan.
Ranti tertegun beberapa saat.
Perasaannya semakin tak menentu dan otaknya pun penuh tanda tanya. Dan
sinar mata wanita tua itu, kenapa membuat dadanya berdebar tak
karuan?
“Pak Kosim,” kata Ranti kemudian, “Mengapa wanita itu mencari ayahku? Dia
bahkan menantangnya untuk bertarung di Cadas Kuriling. Siapakah dia, Pak
Kosim? Tampaknya kau mengenalnya. Katakanlah padaku.”
“Saya....... saya tidak tahu, Den. Sungguh saya tidak tahu. Aku hanya
khawatir tadi terhadap keselamatan aden, karena ayah aden tidak ada di
rumah,” kata Kosim gugup.
“Kau jangan bohong, Pak Kosim.”
“Ah, buat apa saya berbohong, Den? Saya sungguh tak mengenalnya. Permisi,
Den. Saya harus bekerja sekarang.” Lelaki itu segera berlalu dari hadapan
Ranti.
Emoticon