Setelah berpisah dengan saudara angkatnya Si Gila dari Muara Bondet, Parmin
kembali berjalan menuju ke selatan melanjutkan perjalanan tugasnya. Tak lama
kemudian ia sengaja memperlambat langkah kakinya karena daerah tujuannya
sudah di ambang pintu. Apa yang telah dikatakan si pemilik warung di desa
Celancang kemarin ternyata benar.
Perjalanan ke Gunung Jati dengan berjalan kaki memakan waktu sekitar satu jam dan itu telah terbukti ketika Parmin mulai memasuki sebuah bukit yang ditumbuhi dan merupakan tempat pohon-pohon pemakaman yang sangat luas. Pemandangan di sekitar bukit tersebut sungguh menakjubkan dan mempunyai keindahan yang khas. Pohon-pohon jati besar tumbuh di atas bukit itu, bagaikan berbaris teratur.
Di sebelah barat berdiri bukit lainnya, yaitu Gunung Sembung yang bagi Parmin terlihat berada di sebelah kanan Gunung Jati. Awan bergulung-gulung di atas bukit itu. Desiran angin yang bertiup menerpa pohon-pohon jati menimbulkan gemerisik dedaunan yang bergesekan bagai satu rangkaian nyanyian alam. Kicau burung bersahut-sahutan mengiringi suara gemerisik itu dengan riuhnya. Dari kaki bukit sampai ke puncak berjajar makam-makam dengan teratur.
Perjalanan ke Gunung Jati dengan berjalan kaki memakan waktu sekitar satu jam dan itu telah terbukti ketika Parmin mulai memasuki sebuah bukit yang ditumbuhi dan merupakan tempat pohon-pohon pemakaman yang sangat luas. Pemandangan di sekitar bukit tersebut sungguh menakjubkan dan mempunyai keindahan yang khas. Pohon-pohon jati besar tumbuh di atas bukit itu, bagaikan berbaris teratur.
Di sebelah barat berdiri bukit lainnya, yaitu Gunung Sembung yang bagi Parmin terlihat berada di sebelah kanan Gunung Jati. Awan bergulung-gulung di atas bukit itu. Desiran angin yang bertiup menerpa pohon-pohon jati menimbulkan gemerisik dedaunan yang bergesekan bagai satu rangkaian nyanyian alam. Kicau burung bersahut-sahutan mengiringi suara gemerisik itu dengan riuhnya. Dari kaki bukit sampai ke puncak berjajar makam-makam dengan teratur.
Parmin berhenti sejenak. Ia mengamati seluruh keadaan bukit itu dengan
penuh rasa syukur. Nafasnya berhembus kuat-kuat ke dalam rongga dadanya
menikmati udara segar yang menyelimuti daerah tersebut. Bukit inilah yang
dinamakan orang Gunung Jati. Bukit yang penuh dengan makam-makam di mana di
puncaknya terdapat tempat persemayaman terakhir Fatahilah.
Fatahilah atau Falatehan sering disebut-sebut sebagai Sunan Gunung Jati.
Tetapi menurut sumber-sumber yang dapat dipercaya, hal itu tidak benar.
Pasarean atau kuburan Syarief Hidayatullah sebagai Sunan Gunung Jati sendiri
terletak di Gunung Sembung yakni sebuah bukit yang ukurannya lebih kecil,
penuh ditumbuhi pohon-pohon sembung, dan berada di sebelah barat Gunung
Jati. Di antara kedua bukit itu melintang jalan raya perintis yang dibuat
oleh Kumpeni Belanda.
Setelah merasa puas, Parmin segera mengayunkan langkahnya menelusuri jalan
setapak yang melintas di lereng-lereng bukit Gunung Jati sampai ke
puncaknya. Jalan itu terbuat dari batu yang disusun berundak-undak terus
menanjak ke puncak Gunung Jati. Kanan kiri jalan itu ditumbuhi rumput-rumput
liar setinggi betis kaki. Rupanya jalan itu sengaja dibuat oleh penduduk
setempat untuk mempermudah orang-orang yang datang dari seluruh pelosok
daerah berziarah ke pekuburan itu. Sampai sekarang kedua bukit itu menjadi
tempat keramat.
Apalagi pada saat bulan Maulud, menjelang tanggal dua belas, tempat itu ramai dikunjungi orang, dari pelbagai daerah. Mereka datang membawa kembang tujuh warna dan kemenyan yang katanya untuk dipersembahkan kepada arwah dalam kuburan itu untuk meminta berkah. Ada juga yang minta panjang jodoh, murah rejeki, panjang umur, dan lain-lain. Suatu kepercayaan yang telah melanggar ajaran agama Islam itu sendiri.
Apalagi pada saat bulan Maulud, menjelang tanggal dua belas, tempat itu ramai dikunjungi orang, dari pelbagai daerah. Mereka datang membawa kembang tujuh warna dan kemenyan yang katanya untuk dipersembahkan kepada arwah dalam kuburan itu untuk meminta berkah. Ada juga yang minta panjang jodoh, murah rejeki, panjang umur, dan lain-lain. Suatu kepercayaan yang telah melanggar ajaran agama Islam itu sendiri.
Parmin terus berjalan menelusuri jalan setapak itu dengan semangat. Cukup
melelahkan juga, karena keadaan jalan itu agak licin dan menanjak. Akhirnya
tak berapa lama kemudian sampailah ia di tepi semak-belukar.
Tiba-tiba Parmin menghentikan langkahnya ketika melihat banyak sekali lalat
berterbangan di sekitar semak-belukar yang berada di hadapannya. "Lalat
bangkai! Pasti ada bangkai di balik semak-semak itu, Hm... baunya menusuk
hidung!" gumam Parmin menahan nafas.
Ia segera menghampiri semak-semak itu lalu disibaknya. Parmin terperanjat
melihat sesosok tubuh seorang laki-laki yang mulai membusuk dan mulai
membengkak. Parmin lalu berjongkok memperhatikan keadaan mayat itu. Ia
mengatur nafas untuk meredam rasa mual yang menyerang perutnya. Kedua mata
mayat itu melotot keluar dengan mulut yang menyeringai seperti menahan rasa
sakit dan takut yang teramat hebat. Tubuhnya berbalut pakaian serba hitam
dengan kain sarung lusuh bercampur tanah menyilang di dadanya. Anggota
badannya terlihat terjulur kaku dengan seluruh tubuh dikeremuni lalat.
"Tangan kanannya masih memegang sebuah golok yang sudah mulai berkarat.
Mungkin sudah beberapa hari terkapar di sini. Agaknya ia seorang jago
silat"
Kemudian Parmin segera menguburkan mayat itu di bawah sebuah pohon yang
rindang dengan sebuah tonggak kayu sebagai nisannya. Hatinya bertanya-tanya.
"Mayat siapakah? Aku akan mencari keterangan orang-orang di desa. Orang itu
tewas terbunuh dengan luka sobekan yang menganga di tenggorokan dan
perutnya. Melihat dari lukanya, pasti pembunuhnya menggunakan senjata
berbentuk pengait. Benar-benar sadis."
Setelah melepaskan lelah sejenak, Parmin lalu kembali mengayunkan
langkahnya menuju perkampungan desa di sekitar Gunung Jati. Pikirannya masih
dipenuhi dengan berbagai pertanyaan mengenai kejadian tadi. "Kurasa alat
semacam itu tidak terdapat dalam dunia persilatan tetapi aku dapat
memastikan bahwa pembunuhnya adalah seorang jago silat yang tinggi!"
Tak terasa ia sudah memasuki mulut desa itu. Tetapi begitu ia jejakkan
kakinya di desa itu, dirasakannya sesuatu yang aneh.
"He, mengapa suasana desa ini sunyi-senyap? Ada apa gerangan?" tanyanya
dalam hati sambil terus melangkah. Parmin mengamati daerah itu dengan
seksama. Tiap rumah penduduk diperhatikannya. Tidak terlihat tanda-tanda
kehidupan. Hanya suara angin yang berhembus kencang dan merontokkan
daun-daun kering sehingga berserakan di pelataran rumah-rumah itu.
Betul-betul sepi!
"He, tak seorangpun penduduk yang menampakkan batang hidungnya! Mungkinkah
desa ini terserang wabah penyakit menular yang sangat ganas? Atau ada suatu
peristiwa yang menghantui mereka sehingga tidak berani keluar dari dalam
rumah? Apakah mereka tidak mengerjakan pekerjaannya sehari-hari di sawah
atau di ladang?" desah Parmin dalam hati.
Sunyi lengang keadaan yang menyelubungi desa itu. Jangankan seorang
penduduk yang tampak, hewan piaraan pun tidak ada juga yang tampak
berkeliaran di luar. Semua pintu rumah tertutup rapat. Tidak terdengar suara
sedikitpun dari tiap rumah yang dilalui Parmin dan agaknya rumah-rumah itu
sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya masing-masing. Parmin hanya berdiri
terpaku tepat di tengah-tengah jalan desa itu. Matanya menyapu ke segala
penjuru. Alisnya mengernyit karena merasa heran. "Aneh bin ajaib! Desa ini
betul-betul seperti desa mati!"
Kemudian ia mengayunkan langkahnya perlahan-lahan memusatkan seluruh
panca-inderanya mencari segala kemungkinan adanya sesuatu yang dapat
dijadikan petunjuk untuk menyingkap tabir yang menyelimuti desa itu. "Hm....
di mana aku bisa mencari keterangan? Baiklah, aku akan mencoba mengetuk
pintu salah satu rumah! Mudah-mudahan...!" gumamnya penuh harap sambil
berjalan, menghampiri sebuah rumah penduduk yang berada tepat di samping
kanannya.
Terlihat sampah berserakan di pelataran rumah tersebut. Dari luar, rumah
itu terlihat gelap tanpa ada sepercik cahaya matahari yang menerobos masuk
meneranginya. Parmin mengetuk pintu papan rumah itu.
"Asalamualaikum....!" Ia diam sejenak menunggu sahutan dari dalam, tetapi
tak terdengar. Dicobanya sekali lagi, tetap saja ia tak memperoleh jawaban.
Dicobanya lagi berulang-ulang, hasilnya tetap saja sama.
Kemudian dengan hati kesal Parmin segera meninggalkan rumah tak berpenghuni
itu. Kepalanya menengadah ke atas. Terlihat matahari mulai meninggi.
"Sudah waktunya shalat zuhur!" ujarnya pelan sambil menghapus keringat yang
mengalir di keningnya. Ia lalu melangkah menjauhi desa mati itu mencari
masjid yang terdekat dari sana.
Sementara itu dari balik sebuah pohon beringin yang terletak tidak jauh
dari rumah yang diketuknya, berdiri sesosok tubuh tinggi besar mengintai.
Kepalanya gundul plontos. Ia mengenakan pakaian serba hijau yang menutupi
seluruh tubuhnya yang berkulit hitam. Kumisnya melintang lebar di bawah
hidungnya yang mancung besar. Sinar matanya memancarkan gejolak membunuh
yang sangat besar sehingga tubuhnya yang berkulit hitam itu lambat laun
berubah menjadi hijau legam. Tangan kanannya terbuat dari besi berbentuk
tabung yang ujungnya dilengkapi dengan sebuah senjata pengait yang sangat
tajam, untuk menggantikan telapak tangannya yang buntung. Begitu hebat ilmu
yang dimilikinya hingga Parmin sendiri tidak mengetahui keberadaan sosok
tubuh hijau itu yang nyaris sama dengan warna daun-daun pohon di sekitarnya.
Sorot matanya tak lepas dari segala gerak-gerik Parmin. Ia memutar tubuhnya,
terus memandangi punggung Parmin sampai menghilang dari pandangannya.
Kemudian sosok tubuh hijau itu keluar dari tempat persembunyiannya dan
berdiri tegak tersenyum penuh arti. Ia lalu melejit entah kemana.
Siapakah sosok tubuh hijau itu? Mengapa ia mengintai Parmin secara
diam-diam? Dan apa yang selanjutnya akan diperbuat terhadap diri
Parmin?
***
Parmin mulai memasuki kawasan masjid yang terletak di kompleks Pasarean
Sunan Gunung Jati di Gunung Sembung. Masjid itu berpagar tembok dengan dua
gapura berdiri kokoh sebagai pintu gerbangnya. Di setiap tembok yang
mengelilingi tempat itu terdapat piring-piring keramik Cina yang ditempelkan
dengan jarak tertentu. Hanya sayang di sana-sini di tumbuhi lumut sehingga
terlihat agak dekil.
Ketika Parmin masuk melewati gapura itu terlihat makam-makam yang berdiri
teratur di seputar halamannya dengan pohon-pohon beringin yang tumbuh
sebagai pelindung. Angin bertiup sepoi-sepoi bertiup menyapu tempat itu
menimbulkan suasana sejuk dan nyaman di pelataran masjid itu. Parmin lalu
berjalan menapak di atas jalan yang terbuat dari anyaman batu bata sebagai
penghubung antara pintu gerbang menuju ke pintu masuk masjid. "Aku ingin
bertemu dengan juru kunci Pasarean ini! Mudah-mudahan aku bisa mendapat
keterangan!" gumam Parmin dalam hati sambil melepaskan kain pengikat
kepalanya dan kain sarung yang menyilang di dada, yang kemudian
diletakkannya di lantai dekat pintu masjid. Ia berjalan menuju tempat air
wudhu yang terletak di samping masjid di bawah sebuah pohon beringin. Parmin
menggulung celana pangsinya sampai batas lutut. "Bismillah...!" ucapnya
sambil menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan air yang memancur dari
sebuah guci keramik yang besar dan berukir.
Ketika sedang membasuh wajahnya dengan air itu, tiba-tiba Parmin merasakan
adanya kehadiran seseorang di belakangnya.
"Siapa kau anak muda? Mataku yang sudah rabun ini merasa bahwa kau bukan
penduduk asli desa ini, bukan? Dari manakah asalmu, Nak?" tanyanya pelan
dengan suara agak parau memecah kesunyian.
Parmin melihat sekilas. Ternyata ia seorang lelaki tua yang sudah berumur
kira-kira tiga perempat abad dengan kumis dan jenggot yang hampir memutih
semuanya. Melalui cara ia berjalan agaknya bapak itu memiliki ilmu silat
yang cukup tinggi. Parmin tersenyum penuh hormat.
"Betul Pak! Aku datang dari pantai Eretan. Apakah Bapak juru kunci Pasarean
ini? Kalau benar, dapatkah Bapak memberikan keterangan mengapa desa ini
seperti desa yang mati?" tanya Parmin berharap sambil membersihkan sela-sela
jari kakinya dengan air padasan itu.
"Entahlah! Tetapi aku hanya memberi saran, berhati-hati dengan dirimu,
Nak!"
Parmin agak terperanjat mendengar jawaban lelaki tua itu, singkat dan
tegas. Setelah berkata begitu orang tua itu segera berlalu dengan
tergopoh-gopoh meninggalkan Parmin yang belum selesai melakukan wudhunya.
Wajahnya terbersit rasa takut yang sangat besar. Mungkin ia tidak mau
menanggung resiko apabila banyak bercerita kepada orang yang belum
dikenalnya tentang segala sesuatu yang menyangkut keadaan desa Gunung
Sembung.
Parmin menoleh memanggil orang tua itu. "Hei, Pak! Tunggu dulu! Aku mau
bertanya lagi! Tunggu...!"
Tetapi ia tak mengindahkan teriakan Parmin yang memanggilnya, ia terus saja
melangkah keluar dari pelataran masjid sampai menghilang dari
pandangan.
"Hm... aneh sekali orang itu! Ada apa sebenarnya yang terjadi di daerah
ini? Aku tak habis pikir!"
Kemudian setelah Parmin mengangkat kedua tangannya untuk berdoa sehabis
wudhu, ia lalu berjalan masuk ke dalam ruangan masjid untuk menunaikan
kewajibannya sebagai seorang muslim. Seusai shalat zuhur, Parmin
menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar dalam ruangan itu dengan
santai.
Pilar-pilar yang terdapat dalam masjid Gunung Jati berjumlah sembilan buah
yang berdiri kokoh menyangga bangunan itu. Pilar-pilar tersebut berhiaskan
ukiran-ukiran yang sangat indah dan piring-piring keramik Cina yang menempel
pada tembok ruangan tersusun sedemikian rupa dari ukuran yang terkecil
dikombinasikan dengan ukuran yang besar.
Mihrab masjid dihiasi bingkai berhias kaligrafi yang berisi kalimat-kalimat
suci Al Qur'an, dengan warna kombinasi hijau, kuning dan hitam. Lantainya
terbuat dari batu pualam yang mengkilap. Bila sinar matahari memancar ke
dalam ruangan masjid maka lantai pualam itu memantulkan cahaya yang terang
namun menyejukkan suasana dan jika kita melihatnya dari kejauhan, lantai itu
seakan-akan seperti hamparan air telaga yang jernih.
Suasana yang hening dan nyaman serta hembusan angin yang menyapu seluruh
ruangan masjid itu, tiba-tiba mendatangkan rasa kantuk Parmin yang sedang
menikmati keindahan hasil karya arsitektur yang sangat indah namun sangat
unik tersebut. Berkali-kali ia menguap, pikirannya tetap melekat pada
peristiwa yang baru saja dialaminya tadi.
"Oahmmmm... aneh! Sampai mereka pun tak melakukan shalat berjamah di masjid
ini karena mungkin penduduk desa ini dicekam rasa takut keluar rumah...
Oahmm!! Biarlah aku berbaring-baring sejenak!" ucapnya pelan sambil
merobohkan diri di lantai dekat pilar itu. Tangan kanannya dilipat menjadi
tumpuan kepala dan kirinya berpangku pada kedua kakinya yang menekuk.
Parmin tidur seperti seekor kucing. Agaknya posisi tubuh seperti itu
berguna untuk dapat bergerak cepat bila sewaktu-waktu terdapat serangan
gelap yang datang mendadak. Dan tak lama kemudian Parmin memejamkan matanya.
Enak betul ia tidur. Seperti tak terjadi sesuatu yang baru dialaminya.
Sementara di atas atap masjid sayup-sayup terdengar suara halus, seperti
suara langkah kaki orang yang sedang berjalan. Suaranya sangat lembut hampir
menyatu dengan suara angin yang berhembus saat itu, menandakan ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sudah sempurna.
Orang tersebut bertubuh tinggi besar, langkahnya terhenti di saat mencapai
pinggiran atap tepat di atas pintu masuk masjid Gunung Sembung. Ternyata tak
lain dan tak bukan adalah orang yang berpakaian serba hijau tadi. Dan secara
tak terduga dan sangat cepat, bayangan hijau itu melesat menyambar tubuh
Parmin yang sedang tertidur lelap.
Tetapi rupanya Parmin sudah terlatih dalam menghadapi segala bentuk
serangan lawan secepat apapun. Tubuhnya langsung melejit ke atas menghindar
dari sabetan yang mengancam
jiwanya dan hanya kain sarungnya saja yang ia gunakan sebagai selimut tidur
tadi, tercampak di atas lantai.
"Traak!!" sabetan itu hanya mengenai pilar di dekat Parmin.
Tubuh hijau itu lantas meliuk-liuk di udara dan mendarat kakinya dengan
mantap, dihadapan Parmin yang sedang menghimpun tenaga melalui pernafasan.
Kedua tangannya tertentang diatas kepala, kemudian menyilang ke atas
ubun-ubunnya.
"Tunggu dulu! Siapakah kau dan apa maksudmu!" seru Parmin siap siaga,
tetapi tubuh tinggi besar itu tak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan
kanannya yang bersenjatakan pengait sambil menggeram keras.
"Hiaaaat...!" tubuhnya lantas melesat ke arah Parmin yang lebih dahulu
melejit ke atas. Senjatanya kembali menemui sasaran lain.
"Traak!" lagi-lagi pilar dalam masjid itu yang tergores. Ukiran yang
menghiasi tiang-tiang itu hancur berkeping-keping mengotori lantai.
"Hei, kau tidak menghargai sama sekali tempat suci ini! Sebutkan nama dulu,
kawan! Dan mengapa kau hendak membunuhku!"
Sampai kali inipun bukan jawaban yang diterima Parmin, tetapi serangan
kilat kembali menerjang dirinya.
"Wess..."
Parmin segera bersalto di udara untuk menghindar dengan gerakan yang sangat
mengagumkan.
"Hm... manusia macam apa ini? Gerakannya demikian gesit! Sebelum aku
menginjak ke tanah, ia sudah menyerangku lagi!"
Bayangan hijau itu terus-menerus mencecar Parmin. Rupanya ia penasaran,
karena setiap serangan luput tak mengenai sasaran. Sedangkan Parmin hanya
dapat menghindar dan tak punya kesempatan untuk membalas serangan itu.
Dengan satu sentakan ia melejit keluar mengalihkan serangan lawannya agar
tidak merusak pilar-pilar dalam masjid itu. Parmin menghendaki pertarungan
itu dilanjutkan di pekarangan masjid, tetapi ternyata bayangan hijau
tersebut tidak mau terpancing dan meladeni kehendak Parmin. Ia tak mengejar,
melainkan menghilang entah kemana. Parmin menjejakkan kakinya dengan menatap
di tengah-tengah areal pekuburan. Kelebatannya yang cepat merontokkan
daun-daun kering di sekitar tempat itu. Ia langsung memasang kuda-kuda siap
menghadapi serangan berikut. Tetapi bayangan hijau itu tak kunjung muncul
kembali. Gerakan orang itu teramat cepat sehingga tak dapat ditangkap oleh
mata Parmin. Tubuhnya seolah-olah ditelan perut bumi.
Parmin melemparkan pandangannya ke segala penjuru tempat itu mencari jejak
lawannya, tetap saja bayangan hijau itu tak menampakkan batang hidungnya
lagi. Rupanya ia tahu bahwa Parmin bukanlah orang sembarangan seperti
korban-korbannya yang terdahulu. Jangankan melukai tubuh, menyentuh
sedikitpun belum terlaksana walaupun serangannya dilakukan secara mendadak
dan bertubi-tubi.
Parmin menghela nafas panjang. Matanya tetap memantau ke segala arah. Hanya
suara desiran angin yang dapat dirasakannya. "Hm... licik!" gerutu murid
tunggal Ki Sapu Angin.
Perlahan-lahan ia kembali masuk ke dalam masjid melanjutkan tidurnya yang
terganggu. Ternyata dari atas sebuah pohon beringin sepasang mata merah
memandang Parmin dengan penuh geram. Tubuhnya seakan-akan berasap karena
keringatnya yang menguap pertanda ia menahan dendam yang sedang berkecamuk
di dalam dirinya. Lalu ia melesat hilang ke dalam hutan.
Sementara itu di dalam sebuah madrasah, berkumpul para alim ulama setempat.
Mereka sedang mengadakan rapat tertutup. Ada suatu peristiwa yang teramat
penting yang harus segera mereka selesaikan. Para alim ulama itu terdiri
dari enam orang yang rata-rata sudah tua. Masing-masing duduk bersimpuh di
atas tikar anyaman daun pandang saling berhadapan.
Di tengah-tengah mereka tersedia seperangkat peralatan minum lengkap dengan
isinya. Madrasah itu terbuat dari bilik anyaman bambu dengan tiang-tiang
kayu yang berdiri kokoh menumpu bangunan itu. Di salah satu sudut ruangan
madrasah terdapat sebuah rak kayu yang berisikan kitab-kitab suci Al-Quran
dan kitab-kitab hadits yang tersusun rapi.
Di dekat salah satu tiang itu terdapat sebuah rak sebagai tempat untuk
menyimpan payung dan tombak-tombak berjajar. Pada kayu-kayu penguat bilik
terpajang berbagai macam jenis senjata tajam. Sedangkan pada setiap
tiang-tiang kayu, terukir motif hiasan yang menggambarkan daun-daun sembung
yang merupakan ciri atau lambang daerah Gunung Sembung.
Disamping sebagai tempat pengajian, madrasah itu juga berfungsi sebagai
perguruan silat. Orang-orang dari berbagai pelosok daerah datang menuntut
ilmu agama dan ilmu silat untuk bekal hidup sebagaimana layaknya orang-orang
pada jaman itu, sehingga anggota madrasah tersebut kian hari kian bertambah
banyak jumlahnya. Sedangkan yang menjadi pemimpin madrasah itu adalah Kiyai
Haji Subekti Achmad yang sekaligus pula sebagai guru silat di Gunung Sembung
dan daerah sekitarnya.
Suasana rapat itu hening sejenak. Setelah menghela nafas panjang dan
mengucap salam, Kiyai Subekti mulai angkat bicara yang didengarkan oleh
rekan-rekannya dengan penuh perhatian.
"Seperti anda ketahui bahwa rakyat Gunung Sembung dan sekitarnya sekarang
telah mengingkari agamanya sendiri dan berpaling dari kaidah Islam! Mereka
tidak lagi menyembah Allah, tetapi menyembah iblis yang menamakan dirinya
Bergola Ijo?" suaranya terdengar berat memecah keheningan suasana dalam
ruangan madrasah.
"Dan yang masih tetap beriman kepada Allah kini dapat dihitung dengan jari
saja!" sinar mata Kiyai Subekti berubah tajam dan penuh selidik terhadap
para ulama lainnya yang duduk berderet di sekelilingnya satu-persatu.
Ditatap seperti itu oleh Kiyai Subekti, mereka menjadi kikuk dan serba
salah. Apakah orang yang paling mereka segani seperti Kiyai Subekti Achmad
kini mulai meragukan dan mulai curiga terhadap keimanan para
pengikutnya?
"Ini adalah suatu hal yang sangat menyedihkan dan merupakan kewajiban kita
sebagai kaum muslimin untuk menentang kemusrikan yang sudah merajalela di
kalangan masyarakat. Seperti anda ketahui bahwa hari ini menjelang waktu
zuhur, rakyat Gunung Sembung tidak ada yang berani keluar pintu rumah.
Mereka percaya kepada sang dukun yang kesurupan roh Bergola Ijo yang
mengatakan bahwa pada hari ini Bergola Ijo akan meminta korban nyawa manusia
lagi! Calon korbannya adalah orang-orang yang keluar rumah di saat menjelang
waktu zuhur! Masyarakat percaya akan hal itu, karena memang telah terbukti
sejak beberapa minggu ini banyak mayat bergelimpangan di tengah jalan dengan
bekas luka yang sama!" Kiaya Subekti berhenti sejenak menarik nafas. Jelas
tergurat pada wajahnya yang keriput rasa kecewa yang sangat dalam.
"Kita sekalian bertekad untuk menghancurkan kemunkaran itu! Kita berjuang
sampai titik darah penghabisan menentang orang-orang yang telah ingkar. Bila
perlu kita gunakan kekerasan! Semoga Allah selalu melindungi hamba-Nya yang
beriman!" lanjut Kiyai Subekti berapi-api, disambut dengan ucapan amien dari
semua rekannya.
Kiyai Subekti mengakhiri pembicaraannya dengan pembacaan doa diikuti oleh
para ulama lainnya sehingga terciptalah suasana sakral yang membuat
keyakinan masing-masing menjadi lebih dalam dan bertekad untuk
memperjuangkan ajaran-ajaran agama Islam secara benar. Mereka rela mati
syahid demi mempertahankan agama.
Matahari mulai tergelincir ke kaki langit sebelah barat. Adzan ashar baru
saja menggema ke seluruh pelosok Gunung Sembung dan Gunung Jati yang
merupakan sepasang bukit kembar berdiri berdampingan sebagai kawasan
penguburan. Burung-burung mulai enggan bernyanyi. Dan para penduduk desa
masih belum berani juga menampakkan dirinya. Mereka tidak mau mati konyol
karena mereka percaya bahwa iblis pencabut nyawa itu masih berkeliaran di
luar untuk mencari mangsa.
Tetapi di ruangan lain dalam madrasah seusai rapat tadi, berkelebat-kelebat
dua sosok tubuh saling terjang-menerjang. Gerakan kedua orang itu terlihat
lincah dan mantap.
"Awas kaki! bagus, loncatanmu cukup gesit!" teriak seorang pemuda bertubuh
tegap sambil melancarkan pukulannya menyambar-nyambar seorang gadis yang
sedang meliuk-liuk tubuhnya di udara mengelak dari serangan yang tertuju
kepadanya. Rambutnya yang panjang hitam legam terurai sebatas pinggang turut
melambai-lambai mengikuti gerak tubuhnya lincah. Lalu ia menghenyakkan
kakinya dengan mantap di atas lantai sambil merentangkan kedua tangannya
membentuk jurus baru.
"Ayo serang kau lagi!" serunya penuh semangat. Nafasnya terdengar
ngos-ngosan kelelahan. Tapi sorot matanya yang tajam namun bening pertanda
rasa percaya diri yang tak mudah goyah dalam pribadi pendekar wanita
itu.
Sementara lawan latihnya hanya berdiri tegak sambil berkacak pinggang
memperhatikan tersenyum bangga.
"Sudah! Kali ini latihan kita cukup sekian!" katanya menggelenggelengkan
kepalanya sebagai tanda pujian terhadap kemajuan-kemajuan yang telah
berhasil dicapai oleh adik latihnya.
"Mhm.. tak sia-sia ayahmu menggemblengmu setiap hari. Aku sudah kewalahan
melawanmu. Benar-benar pesat kemajuan yang kau capai selama ini!"
Pipi gadis itu bersemu merah mendapat pujian dari laki-laki yang telah
membantu melatihnya. Tapi ia segera mengalihkan perasaannya dengan mengambil
peragaan jurus-jurus lanjutan.
"Aku belum puas! Ayolah kita mulai lagi beberapa jurus saja!" pintanya
merajuk.
Pemuda itu menghela nafas dan berusaha mencari alasan. "Agaknya kau tidak
mendengar beduk magrib berbunyi? Nanti saja sehabis shalat isya kita
lanjutkan lagi!" ujarnya sambil menyambar kopiah hitam yang disangkutkan di
paku yang menancap pada tiang penyangga itu.
Tapi gadis itu masih penasaran. Ia terus saja membentuk jurus baru dengan
gerakan yang lebih semangat. Kakinya bergerak perlahan menyiku di atas
lantai dengan kedua tangan yang bergerak seperti kepak sayap burung rajawali
melambai-lambai, tetapi pemuda itu tetap tak peduli.
"Ah, sudahlah Ratna!" katanya sambil membetulkan letak kain sarung yang
melilit melingkar di pinggangnya. Ia menoleh sebentar ke arah Ratna yang
masih memasang kuda-kuda.
"Dan lain kali harus kau ingat, jika latihan lagi nanti rambutmu yang
panjang dan indah itu hendaknya diikat agar jangan awut-awutan seperti
kuntilanak yang sedang terbang!" ledeknya sambil tertawa renyah.
"Ah, bisa saja kau!" sahut Ratna dengan kesal tapi manja. Ia lalu mencubit
pinggang pemuda itu dengan gemas.
"Ih!" "Aduh! Sakit ah!" teriak pemuda itu sambil berusaha menghindar dari
cubitan Ratna. Tanpa sengaja tangannya memegang tangan halus Ranta yang
berusaha mencubitnya lagi.
Sejenak mereka diam terpaku dan saling bertatapan mata. Pemuda itu menatap
wajah gadis di hadapannya yang bundar dengan dua lesung pipi bila ia
tersenyum, penuh gelora asmara. Ratna membalas tatapan itu dengan perasaan
yang tak menentu. Tangan mereka saling menggenggam dengan mesra. Pemuda itu
mengembangkan senyumnya, demikian halnya si gadis. Ia memandangi bibir Ratna
yang tipis seakan-akan ia ingin segera mengecup bibir yang rekah menantang
itu. Kemudian pemuda itu mendekatkan wajahnya perlahan-lahan, sedangkan
Ratna memejamkan mata menunggunya.
Tetapi di saat wajah mereka mulai dekat, tiba-tiba pemuda itu menarik
kembali wajahnya dengan cepat karena adzan maghrib yang masih berkumandang
membuat ia sadar akan perbuatannya.
"E.... aku ke masjid dulu!" ujarnya agak gugup sambil melepaskan genggaman
tangannya. Sedangkan Ratna membuka matanya perlahan. Hatinya kecewa. Ia
hanya dapat menganggukkan kepalanya.
Tanpa menoleh lagi pemuda itu ke luar meninggalkan madrasah itu berjalan
menuju masjid untuk segera menunaikan shalat maghrib. Ratna memandangi
punggung lelaki yang dicintainya dari balik pintu dengan perasaan bangga. Ia
memuji dalam hati. Ia bersyukur bahwa Anwar, kekasihnya tidak melanjutkan
niatnya tadi. Hal itu menandakan bahwa keimanan pemuda pujaannya masih cukup
kuat untuk menanggulangi godaan.
Siapakah kedua remaja itu? Yang dipanggil Ratna itu atau nama lengkapnya
Ratna Zullifah adalah putri tunggal Kiyai Subekti Achmad dan pemuda yang
bertubuh tegap itu adalah murid kesayangan Pak Kiyai sendiri. Tampak di
antara mereka telah terjalin benang cinta kasih.
***
Emoticon