Setelah itu, ia bisa melarikan diri sambil membawa Roijah dengan lebih
leluasa. Sebab pada kenyataannya, centeng-centeng itu belumlah mampu
mengimbanginya sekalipun menyerang secara berbarengan.
Namun dalam pertarungan itu tadi, Ranti hanya berfikir untuk bisa melarikan
diri. Bahkan karena belum pernah bertarung secara sungguhan, ia menjadi
panik. Ia merasa takut gagal menyelamatkan dirinya dan Roijah.
Kini gadis itu telah memasuki hutan. Sementara musuh-musuhnya masih
mengejar di belakang. Ranti menerjang rerumputan dan semak-semak dengan
berlari sekuat tenaga.
“Bangsat! Sialan! Setan betina itu makin jauh. Ayo, cepat. Kita harus
menangkapnya!” Terdengar teriakan di belakangnya. Makin lama, Ranti makin
jauh masuk hutan hingga akhirnya memasuki kawasan hutan Loyang.
“Stop! Stop!” teriak si Punuk geram. Teman-temannya sesama centeng
berhenti, lalu menghampirinya dengan nafas tersengal-sengal.
“Ada apa? Kenapa kita berhenti?”
“Kita tak perlu mengejarnya lagi. Hutan ini angker, dihuni dedemit yang
buas, dan binatang- binatang berbahaya. Biarlah wanita iblis itu mati
diterkam macan.”
'Ya, kau memang benar. Hutan ini angker. Sejak dari dulu, hanya orang gila
yang mau masuk ke sini. Aku juga takut, sebaiknya kita pulang saja,” sambung
si Gotom yang rupanya hanya kumisnya saja yang panjang tapi nyalinya sangat
kecil.
“Tapi bagaimana nanti nasib kita? Van Eisen tentu akan marah besar, bahkan
pasti akan menghukum kita. Menurut pendapat ku, sebaiknya kita mengejar
monyet betina itu dan harus menangkapnya. Ia tentu tak bisa melarikan diri
jauh-jauh, karena di samping sangat letih, saya yakin ia belum mengetahui
seluk-beluk hutan ini.”
“Ah, biarlah!” kata si Punuk dengan ketus, “Biarlah nanti aku yang
bertanggungjawab. Dalam keadaan malam begini, bagaimana bisa kita
mengejarnya? Kalian lihat sendiri tadi, wanita siluman itu memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Nyawa ku nyaris melayang di ujung senjatanya.”
“Aku sangat setuju. Di samping itu, wanita itu tentu tidak akan bisa
selamat selama berada di tengah hutan angker ini. Kalau tidak diterkam
binatang buas, tentu ia akan dimangsa setan penghuni hutan ini.”
“Tuan Van Eisen sudah memutuskan akan menghukum mati Roijah. Sekarang ia
dibawa kabur. Mungkin nanti kita sendiri yang akan dihukum mati sebagai
gantinya!”
“Kau terlalu khawatir, sobat. Saat ini kita memang gagal menangkapnya.
Tetapi percayalah, cepat atau lambat orang itu pasti tertangkap. Ayo, kita
pulang saja,” kata si Punuk seraya menarik lengan kawannya.
“Ya, baiklah kalau begitu.”
Para centeng penjaga gudang penggilingan Van Eisen itu segera pulang
meninggalkan hutan itu. Tanpa mereka sadari, si Kinong mendengar semua
pembicaraan mereka dari balik pepohonan hanya beberapa meter dari tempat
itu.
Anak kecil yang sangat lincah itu sebenarnya bermaksud mengejar Ranti tadi.
Tetapi karena kalah cepat, Kinong akhirnya jadi tertinggal. Sedangkan para
centeng itu pun semakin dekat, sehingga ia segera bersembunyi di balik
pepohonan.
Kini setelah para centeng bertampang seram itu meninggalkan hutan, Kinong
menjadi gembira. Ia segera keluar dari tempat persembunyiannya, lalu
berjingkrak-jingkrak kegirangan, sambil bernyanyi-nyanyi.
“Jrik pung jrik.
Plang ketimpang plang.
Paling enak siang-siang makan rujak pecel,
dimakannya di bawah pohon aren.
Centeng-centeng itu kayak sambel,
itulah kerbo piaraan Van Eisen......”
Lagu itu dinyanyikannya berulang-ulang, sehingga suaranya terdengar dan
bergema ke sekeliling penjuru hutan. Suara Kinong yang kecil nyaring,
membuat gema suaranya terdengar agak menyeramkan. Seandainya ada yang
mendengarnya, mungkin orang itu akan ketakutan karena mengira suara itu
adalah suara kuntilanak sedang menyanyi.
Sementara itu, si dara tangkas Ranti masih berlari sekencang-kencangnya,
seolah-olah centeng-centeng Van Eisen masih mengejar di belakang. Roijah
yang berada di pundaknya belum juga sadarkan diri.
Agaknya wanita itu menderita luka-luka yang sangat parah. Ia seharusnya
mendapat perawatan yang baik, bukannya dipanggul dengan berlari-lari.
Goncangan-goncangan yang dialaminya karena dibawa berlari-lari tentu akan
membuat luka-lukanya semakin parah.
Tetapi Ranti seperti tidak menyadarinya.
Dara jelita itu terus berlari walaupun kecepatannya mulai berkurang karena
tenaganya semakin terkuras. Ia makin jauh masuk hutan. Pepohonan semakin
tinggi dan rapat dengan akar-akar malang melintang. Ranti menjadi sangat
hati-hati, takut tersandung, atau siapa tahu ada jurang yang tertutup
dedaunan dan semak-semak.
Agaknya, hutan itu belum pernah didatangi manusia. Tak ada tanda-tanda
bahwa hutan itu telah pernah didatangi apalagi dihuni orang. Hal itu membuat
Ranti semakin hati-hati. Tiba-tiba kaki Ranti menginjak rawa-rawa, gelap dan
dingin sekali.
“Aduh! Aku masuk rawa-rawa!” kata gadis itu tanpa sadar.
Karena sudah terlanjur, Ranti meneruskan langkahnya. Makin ke tengah
rawa-rawa itu ternyata semakin dalam hingga sampai sebatas dadanya.
Dasar rawa-rawa itu terlumpur dan sepertinya mengandung tenaga sedotan yang
sangat kuat. Ranti mulai cemas, apalagi karena rawa-rawa itu cukup luas.
Sejenak ia menyesal karena terlanjur masuk ke sana. Tetapi untuk berbalik
lagi juga sudah percuma.
Sewaktu kecil, Ranti sudah pernah mendengar cerita bahwa di tengah-tengah
hutan biasanya ada rawa-rawa yang sangat berbahaya. Rawa-rawa seperti itu
bisa menyedot benda apa saja yang masuk hingga tenggelam dan hilang. Karena
hal itu, orang-orang sering bilang di dalam rawa-rawa itu ada makhluk halus
pemangsa manusia.
Akan tetapi Gembong Wungu dahulu menjelaskan kepada Ranti bahwa sebenarnya
di tengah rawa seperti itu tidak ada apa-apa. Adanya daya sedot rawa-rawa
bukanlah karena ada setan dan sejenisnya, melainkan karena adanya pergeseran
air dan lumpur sewaktu terinjak.
Oleh karena itu, jika sudah terlanjur masuk rawa-rawa berbahaya, sebaiknya
jangan panik dan meronta-ronta. Hal itu bukannya bisa memberikan jalan
keluar, malahan akan membuat tubuh lebih cepat terbenam. Demikian pesan
Gembong Wungu.
Untuk membuktikan ucapannya itu, si raja rampok Gembong Wungu pernah
membawa Ranti ke sebuah rawa-rawa di tengah hutan di lereng Ciremai.
Disaksikan oleh Ranti, pendekar bermata satu itu masuk ke dalam rawa-rawa
dan meronta-ronta.
Akibatnya, tubuhnya menjadi terbenam. Jagoan yang memiliki berbagai ilmu
kesaktian itu kemudian memperlihatkan cara yang paling baik untuk
menyelamatkan diri dari dalam rawa-rawa itu.
Ranti teringat pesan ayah angkatnya itu. Ia pun berhenti sejenak sambil
menghela nafas dalam-dalam. Ia memusatkan perhatiannya, lalu mengerahkan
ilmu meringankan tubuh. Tak lama kemudian, Ranti menggerak-gerakkan kedua
kakinya, setengah berjalan dan berenang.
Benar juga pesan Gembong Wungu itu. Tubuh Ranti tidak terbenam lagi. Bahkan
makin lama, ia semakin dekat ke tepi rawa dan akhirnya selamatlah dia
bersama Roijah.
Uh, aku sudah sangat lemah, keluhnya dalam hati. Tetapi kemudian, Ranti
merasa terkejut ketika merasakan benda-benda kecil dan licin merayap di
kedua kakinya. Geli dan terasa menjijikkan. Benda apakah gerangan itu?
Ranti memperhatikan kedua kakinya. Ternyata lintah! Puluhan binatang kecil
penghisap darah itu tampak sedang merayap di kakinya.
Hampir saja Ranti berteriak kaget. Tapi ia segera dapat menguasai diri. Ia
menurunkan tubuh Roijah, lalu berusaha melepaskan lintah-lintah itu.
Kata orang, melepaskan lintah harus memakai air ludah, pikirnya. Lalu ia
membasahi tangannya dengan air ludah. Benar juga, lintah-lintah itu dengan
mudah dapat dilepaskannya.
Lintah-lintah sialan. Kau seperti serdadu Kumpeni Belanda saja, kerjanya
hanya menghisap darah orang! Maki Ranti geram.
Ia lalu mengangkat tubuh Roijah dan melanjutkan perjalanan. Ia mulai
berfikir bahwa tempat itu kurang menyenangkan. Padahal sebenarnya tubuhnya
sudah sangat lelah. Itu sebabnya ia memaksakan diri meninggalkan tempat itu
untuk mencari tempat peristirahatan yang cukup nyaman.
Ranti terus berjalan dengan langkah yang mulai terseok-seok.
Tanpa ia sadari, ada sepasang mata mengawasinya dari atas pepohonan. Ia
seorang wanita berusia tua, mungkin sudah berumur sekitar enampuluh
tahun.
Agaknya wanita berambut putih itu bukanlah orang sembarangan. Ia bukannya
duduk di dahan pohon melainkan bergelantungan dengan posisi kepala ke bawah,
sementara kedua ujung kakinya dikaitkan ke dahan. Kedua tangannya didekapkan
di dada.
Nafasnya terdengar sangat teratur. Posisi seperti itu adalah semedi yang
sangat baik untuk mengatur kelancaran peredaran darah.
Tetapi di kalangan dunia persilatan, semedi dengan posisi tubuh terbalik
seperti itu biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki
kesaktian tinggi. Karena di samping harus mampu menguasai peredaran darahnya
yang jadi terbalik, ia juga harus menumpukan berat badannya hanya pada kedua
ujung kakinya yang terkait ke dahan.
Ranti terus melangkah tanpa menyadari orang aneh yang sedang berada di
atas. Namun baru beberapa meter melewati tempat itu, tiba-tiba terdengar
sapaan yang membuat Ranti terkejut bukan main.
“Tunggu dulu, nona......”
Hah, seperti suara wanita. Apakah aku tidak salah dengar? Jangan-jangan itu
suara kuntilanak, pikir Ranti sambil menggenggam hulu pedangnya.
Ketika Ranti membalikkan tubuh, tampaklah olehnya seorang wanita meloncat
dari atas pohon dan mendarat di tanah dengan sangat ringan sehingga hampir
tak menimbulkan suara. Diam-diam Ranti terkejut juga, karena sebagai orang
yang memiliki ilmu silat kelas tinggi, ia segera dapat melihat bahwa wanita
tua itu bukanlah orang sembarangan.
“Siapakah yang kau gendong itu, nona manis? Hendak kau bawa ke mana dia?”
tanya wanita itu juga.
Ranti tidak segera menjawab. Matanya yang senantiasa berbinar tajam
mengawasi wanita tua di depannya. Rambut wanita itu cukup panjang dan sudah
hampir semuanya memutih, dibiarkan awut-awutan sampai ke pinggulnya.
Ia mengenakan baju dan celana panjang sebatas betis serba hijau dan di
pinggangnya dililitkan ikat pinggang berupa sabuk dari kain berwarna hitam.
Wajah nenek tua itu sudah keriputan terutama di bagian kening dan pipinya.
Kulit tangannya pun sudah mengendur dan tubuhnya kurus.
Akan tetapi sinar mata wanita tua itu tampak masih berbinar tajam, pertanda
ia masih memiliki semangat hidup yang berkobar-kobar. Ranti tidak lupa
memperhatikan senyum di bibir nenek tua itu.
Menurut penilaiannya, senyum itu tulus dan tampaknya wanita itu memiliki
hati yang welas asih dan bersikap lembut. Tetapi dalam keadaan seperti
sekarang ini, Ranti tidak mau percaya begitu saja. Sebab bagaimana pun juga,
orang yang tampaknya baik hati itu belum tentu kenyataannya begitu.
Buah yang dari luar tampak bagus juga belum tentu rasanya enak. Begitu
halnya buah yang kelihatannya jelek, mungkin isinya enak, seperti buah
embacang misalnya. Ranti sudah sering mendengarnya, bahkan membuktikan
sendiri.
“Hai nona manis, kenapa kau diam saja? Siapa yang kau gendong itu dan
hendak mau kau bawa ke mana dia?” tanya wanita tua itu lagi.
“Kenapa kau menanyakannya, nenek tua? Siapakah kau?”
“Tampaknya kau seorang gadis yang galak, padahal wajahmu cantik jelita.
Buat apa kau menanyakan diriku, nona manis?”
“Baiklah kalau begitu. Di antara kita tak ada urusan apa-apa. Harap kau
minggir agar aku melanjutkan perjalanan.”
“He-he-he, tidak semudah itu nona manis. Jawab dulu pertanyaan saya tadi,
baru kau boleh pergi.”
“Dasar nenek peot, tak tahu diri. Kalau kau memang ingin tahu siapa aku,
sebutkan dulu namamu. Jangan kau kira aku takut padamu! Ayo, jangan sampai
aku kehilangan kesabaran.”
“Aduh, galak sekali! Tapi baiklah, aku perkenalkan diriku. Namaku Nyi
Saidah. Cukup, bukan? Sekarang giliranmu memperkenalkan diri, setelah itu
berikan wanita yang kau gendong itu padaku.”
Mendengar ucapan Nyi Saidah yang terakhir tadi, bukan main marahnya Ranti.
Dadanya bagaikan hendak meledak menahan amarah. Ia sudah mempertaruhkan
nyawa untuk membawa Roijah melarikan diri.
Sekarang nenek peot yang mengaku bernama Nyi Saidah itu malah memintanya
dengan sikap seolah-olah sangat pandang remeh pada Ranti. Maka tanpa pikir
panjang lagi, Ranti segera menghunus senjatanya dan bersiap-siap mengadu
nyawa dengan wanita tua di hadapannya.
Dalam pikiran gadis itu, Nyi Saidah adalah antek-antek Kumpeni Belanda yang
sengaja disuruh untuk merebut Roijah kembali. Demi apapun juga, Ranti
bertekad akan mempertahankan Roijah. Bahkan ia rela mati daripada harus
melepaskan Roijah ke pihak musuh.
“Rupanya nenek tua yang sudah hampir masuk liang kubur masih mau jadi
anjing penjajah Belanda. Sekarang terimalah ini, hiaaaat…….!”
Sambil menggendong tubuh Roijah, Ranti meloncat dengan kecepatan tinggi dan
menyabetkan goloknya ke arah pinggang Nyi Saidah. Serangan itu masih cukup
berbahaya dan jika mengenai sasaran niscaya lawan akan rubuh dan tewas
seketika.
Namun dengan gerakan yang sangat ringan, Nyi Saidah meloncat tinggi ke
udara, sehingga sabetan golok Ranti hanya mengenai angin. Sewaktu masih
melayang di udara, tubuh Nyi Saidah berjumpalitan beberapa kali menjauhi
Ranti.
“Tunggu dulu, nona manis. Jangan menyerang aku seperti itu. Apakah kau
tidak kasihan melihat nenek tua seperti aku? Seranganmu sangat ganas, aku
bisa kehilangan nyawa di ujung senjatamu.”
Mendengar ucapan Nyi Saidah, makin panas juga hati Ranti. Sebab gadis itu
menanggapi kata-kata nenek tua itu adalah sindiran, seolah-olah mengatakan
serangan Ranti tidak ada apa-apanya, bahkan jika mau, Nyi Saidah dalam
Sekejap bisa membunuh Ranti.
Sebagai gadis yang sudah terbiasa hidup manja, amarah Ranti lebih cepat
berkobar. Dulu sewaktu masih hidup dalam asuhan Gembong Wungu, tak seorang
pun berani berlaku kasar padanya.
Semua penduduk di desa Perbutulan menghormati dan menakutinya. Selain
karena Ranti memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, penduduk juga sangat
menakuti Gembong Wungu. Sedangkan Ranti sendiri suka mengadu kepada ayah
angkatnya itu.
Dan biasanya Gembong Wungu tidak mau tahu apakah Ranti yang salah atau
benar. Ia langsung saja menghukum orang yang diadukan Ranti, tanpa
memberikan orang itu kesempatan untuk membela diri.
Sekarang mendengar ada orang yang berani mengejek sekaligus merendahkan
dirinya, bukan main geramnya Ranti. Ia kembali berteriak nyaring sambil
menyerang Nyi Saidah, dengan ganas.
Namun kembali wanita tua itu dapat dengan mudah mengelakkan serangan Ranti.
Tubuhnya bagaikan kapas saja melayang tinggi ke udara, kemudian kedua
kakinya mendarat dengan ringan di atas dahan pepohonan.
“Tunggu dulu, nona manis. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Percayalah,
aku tak bermaksud jelek,” kata Nyi Saidah dari atas pohon.
“Tidak! Ayo, turun kau nenek peot. Biar kau tahu, aku lebih baik mati
daripada menyerahkan orang ini padamu. Kalau kau memang menginginkannya,
turunlah.
“Mari kita selesaikan persoalan kita sampai salah seorang di antara kita
mati. Jangan kau kira aku takut padamu, nenek siluman. Akan kucincang
tubuhmu sampai halus.”
“Kau terlalu takabur, nona. Serahkan dia padaku,” bentak Nyi Saidah.
Tubuh wanita tua itu tiba-tiba jungkir balik. Kedua kakinya mengait dahan
pohon sehingga tubuhnya bergayutan seperti seekor monyet. Beberapa detik
kemudian, kedua tangannya mencengkeram ke arah Roijah.
Tentu saja Ranti sangat terkejut melihat kehebatan wanita tua itu. Apalagi
setelah menyaksikan betapa cepatnya gerakan musuh. Ia segera merunduk
sehingga kedua tangan Nyi Saidah tidak berhasil menjangkau tubuh Roijah.
Dengan kecepatan kilat, Ranti lalu menyabetkan pedangnya ke arah perut Nyi
Saidah.
“Tak ada gunanya menyerang aku, nona!” kata Nyi Saidah sambil mengayunkan
tubuh ke belakang sehingga senjata Ranti kembali gagal mengenai
sasaran.
“Kau pasti mampus di tanganku, nenek peot!” bentak Ranti tak kalah
geramnya.
Pedang ia ayunkan secara beruntun mengincar tubuh lawan. Dengan gerakan
yang sangat cepat tetapi terlihat santai, Nyi Saidah menggoyang-goyangkan
tubuhnya sedemikian rupa sehingga semua serangan Ranti tidak mengenai
sasaran.
Dan sampai sebegitu jauh, Nyi Saidah tidak balas menyerang seolah-olah
sedang memberikan kesempatan kepada lawan untuk mengeluarkan semua ilmunya.
Tak terkatakan betapa kesalnya hati Ranti. Tidak adakah artinya ilmu yang
selama ini ia pelajari?
Masakan hanya menyerang lawan yang sedang bergelantungan di atas pohon saja
dia tidak bisa? Sialnya lagi, Nyi Saidah sama sekali tidak melawan, seperti
hendak mempermainkannya.
Nyi Saidah rupanya sudah bisa membaca pikiran Ranti. Wanita tua itu tetap
bergelantungan dengan posisi terbalik, sehingga makin lama Ranti semakin
penasaran. Serangannya pun semakin ngawur, apalagi dalam kondisi yang sangat
lemah seperti itu, belum lagi karena ia sedang memanggul tubuh seorang
gadis.
Saking kesalnya melihat serangannya tak satu pun berhasil melukai lawan,
Ranti melemparkan pedang persis mengarah ke bagian dada Nyi Saidah. Senjata
itu menyambar sangat cepat sehingga membentuk kilatan cahaya bagaikan
pelangi. Selain itu, Ranti menyambitkan tiga bilah pisau kecil ke arah musuh
yang sangat dibencinya itu.
“Serangan yang sangat berbahaya,” kata Nyi Saidah.
Wanita tua itu lalu melesat ke atas dahan yang lebih tinggi lagi.
Pisau-pisau Ranti lagi-lagi hanya mengenai angin, lalu tertancap di dahan
pohon. Nyi Saidah memang berhasil mengelakkan serangan beruntun dari Ranti,
tetapi ia sempat terdesak dan terpaksa meloncat lebih tinggi lagi.
Kesempatan itu digunakan Ranti untuk melarikan diri dari hutan
tersebut.
Apa boleh buat, aku harus menyingkir dari tempat ini. Tetapi aku tak takut
padanya. Suatu saat nanti, aku pasti akan membuatnya bertekuk lutut di
hadapanku. Akan kurobek mulutnya yang teramat lancang itu. Bahkan bila perlu
akan kucincang tubuhnya, kata Ranti dalam hati.
Setelah memungut pedangnya, Ranti segera mengumpulkan sisa-sisa tenaganya.
Tubuhnya lalu melesat dengan mempergunakan ilmu loncatan 'Kidang Lembayung',
sehingga tubuhnya meloncat sejauh beberapa tombak.
Ranti berlari menembus semak belukar dan berkelebatan di antara pepohonan.
Ranti telah menyadari bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, ia tak
mungkin mampu mengalahkan nenek tua itu. Terlalu memaksakan diri juga tak
ada artinya.
Itu sebabnya Ranti terpaksa pula menekan rasa dongkol dalam hatinya. Ia
masih sangat penasaran dan belum menerima kalah dari nenek tua itu.
Tunggulah nenek sialan. Suatu saat nanti aku akan mencarimu. Akan kucincang
tubuhmu! Aku tidak takut padamu! Ranti memaki-maki di dalam hati. Ia merasa
bahwa hatinya tidak akan pernah lega sebelum membuat Nyi Saidah bertekuk
lutut. Ranti terus berlari, entah sudah berapa jauh.
Ia hampir lupa segala-galanya, sebab ia pikirkan sekarang adalah bagaimana
dapat berlari sejauh mungkin membawa Roijah agar tidak ada yang
mengganggunya lagi.
Putri kandung Gagak Ciremai itu memang memiliki kekuatan luar biasa.
Semangatnya juga masih berkobar-kobar ditambah tekad kokoh bagaikan batu
karang.
Sejak dari desa Kandang Haur sambil menggendong tubuh Roijah ia bertarung
habis-habisan dengan puluhan centeng Van Eisen. Kemudian berlari lagi dan
bertarung dengan Nyi Saidah. Setelah itu berlari lagi dengan mengerahkan
segenap tenaganya.
Sejak kecil, Ranti juga sudah digembleng dengan keras oleh almarhum Gembong
Wungu. Selama latihan, ia sudah terbiasa menguras tenaga. Tetapi bagaimana
juga, gadis itu juga sama seperti manusia lainnya yakni mempunyai kemampuan
yang terbatas.
Orang bisa saja menguasai ilmu kelas tinggi yang mungkin jarang
tandingannya. Boleh memiliki tenaga luar biasa pula, tetapi ada
batasnya.
Ranti seolah-olah lupa akan keadaan dirinya sendiri, sehingga masih terus
memaksakan diri berlari. Tiba-tiba tubuhnya kejang karena terlalu banyak
menguras tenaga. Kakinya terpeleset, kemudian terpelanting beberapa meter
bersama tubuh Roijah.
Sejenak kedua tubuh gadis itu berguling-gulingan, kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi dengan posisi tubuh miring dan saling berdekatan. Ranti
tidak ingat apa-apa lagi.
Di saat Ranti tak sadarkan diri, tiba-tiba Nyi Saidah muncul di tempat itu.
Diam-diam wanita tua itu rupanya mengikuti ke mana Ranti tadi melarikan
diri.
Ketika diserang Ranti dengan pisau, dia terpaksa melompat ke dahan pohon
yang lebih tinggi lagi. Kesempatan itu digunakan Ranti melarikan diri.
Akan tetapi dengan ilmunya yang sangat tinggi, Nyi Saidah dengan segera
dapat menyusul Ranti dan terus membuntuti dari belakang tanpa sepengetahuan
gadis itu. Sebenarnya, wanita berambut putih itu tidak sungguh-sungguh tadi
sewaktu bertarung atau sewaktu diserang Ranti.
Seandainya ia mengerahkan segenap kemampuannya dan jika ia mau, mungkin
keadaannya akan jadi lain. Namun ada satu pertimbangan bagi Nyi Saidah yang
membuatnya merasa tak perlu melayani kekerasan hati Ranti.
Apalagi ketika Ranti menuduhnya anjing Belanda yang hendak merebut Roijah,
diam-diam Nyi Saidah merasa geli juga sekaligus gemas. Tetapi tadi, Ranti
tidak mau memberinya kesempatan menjelaskan siapa dia sebenarnya.
Melihat Ranti terjatuh tadi, tahulah Nyi Saidah bahwa gadis itu sudah
pingsan. Ia segera menghampiri tubuh Roijah dan mengurut-urut tubuh gadis
itu dengan maksud untuk mengembalikan daya guna urat syaraf Roijah.
Nyi Saidah tampak menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika
memperhatikan luka-luka di bagian punggung Roijah. Untuk Roijah segera bisa
tertolong. Kalau tidak, luka-luka bekas cambukan di tubuhnya bisa berakibat
fatal.
Sambil mengurut-urut tubuh Roijah, mulut nenek tua yang sudah ompong itu
tak henti-hentinya mengunyah-ngunyah daun-daunan untuk dijadikan obat
mengobati luka-luka di sekujur tubuh gadis itu. Ramuan itu kemudian
dioleskan ke luka-luka di tubuh Roijah.
Sehabis mengobati Roijah, Nyi Saidah segera meninggalkan tempat itu.
Mungkin wanita tua itu hendak mencari ramuan obat yang lebih baik lagi. Atau
mungkin juga sengaja merahasiakan kehadirannya entah dengan maksud
apa.
Malam sudah berganti pagi. Embun turun membasahi bumi.
Udara di pagi itu dipenuhi bunyi kicauan burung-burung, seolah-olah
menciptakan nada-nada yang sangat ceria, datang dari jarak berbeda-beda.
Jarak seluas udara itu seolah-olah menunjukkan sebuah kehidupan.
Oh, alangkah senangnya hidup. Alangkah indahnya kalau bisa hidup dan
mencintai hidup.
Dan jika hidup itu sendiri tidak menjanjikan penderitaan dan perpisahan
yang sangat menyakitkan, terutama dengan orang-orang yang dicintai. Tetapi
adakah hidup yang hanya menjanjikan keindahan? Di mana gerangan ada
kehidupan seperti itu?
Ranti sudah sering memikirkannya, namun belum pernah menemukan jawabannya.
Ia sekarang sudah bangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa lebih segar setelah
istirahat dan tidur entah berapa jam lamanya.
Sinar mentari pagi menerobos dari celah-celah dedaunan, menerpa wajahnya,
seolah-olah menyuruh Ranti untuk segera bangkit. Ketika Ranti
menggosok-gosok matanya, Roijah pun terbangun. Ia masih tidur menelungkup,
karena sekujur punggungnya yang penuh luka cambuk masih nyeri. Ia melirik ke
sekelilingnya, hanya pepohonan dan semak-semak.
Roijah merasa sangat asing, atau apakah ia sedang bermimpi? Seingatnya, ia
berada di dalam penjara gudang penggilingan padi milik Van Eisen. Tetapi
kenapa ia sekarang berada di tengah hutan? Apakah ia benar-benar telah
terbebas dari sekapan serdadu penjajah?
“Oh, di manakah aku sekarang?” ujar Roijah dengan suara setengah
merintih.
Ranti melirik ke arah Roijah dengan girang.
“Kau sudah terbangun, kak Roijah?”
Roijah menatap Ranti. Tak terkatakan betapa terkejutnya gadis itu ketika
menyadari bahwa gadis yang kini berada di dekatnya sama sekali tak ia kenal.
Seumur hidupnya rasanya ia belum pernah melihat wajah itu.
Lama juga Roijah mengingat-ingat, sebab siapa tahu ia telah lupa. Tetapi ia
kembali merasa yakin bahwa ia belum pernah bertemu dengan wanita di
sampingnya.
Akan tetapi kenapa wanita cantik di dekatnya itu mengetahui namanya? Bahkan
wanita itu menyebut namanya dengan sikap akrab seolah-olah mereka sudah
cukup lama saling kenal.
“Kenapa kau diam saja, kak Roijah?” tanya Ranti membuat lamunan Roijah
buyar.
“Aku...... aku tak tahu. Di manakah aku sekarang? Kenapa ada di tengah
hutan ini? Apakah aku sedang bermimpi? Siapakah kau sebenarnya? Aku......”
kata Roijah tergagap.
Ranti tersenyum manis. Ia bisa memaklumi sikap Roijah. Bahkan seandainya ia
sendiri yang mengalami nasib seperti Roijah, sikapnya pun pasti seperti itu.
Ya, siapa pun tentu akan heran sekaligus cemas jika tanpa sadar telah berada
di tengah hutan bersama seseorang yang tak dikenal.
Roijah sama sekali belum kenal kepada Ranti. Dan apa maksud gadis itu belum
diketahui? Ranti bisa saja bermaksud baik padanya, tetapi juga tak tertutup
kemungkinannya sebagai orang jahat yang bermaksud buruk padanya.
Sedangkan saat ini, kondisi Roijah masih sangat lemah, luka-lukanya pun
masih sangat nyeri. Jadi seandainya nanti Ranti hendak mencelakakan dirinya,
tak ada kemungkinan baginya untuk menyelamatkan diri.
“Tenanglah, kak Roijah. Tetaplah berbaring. Tubuhmu masih sangat lemah,
luka-lukamu masih sangat parah. Jangan banyak bergerak nanti keadaanmu
tambah parah.”
“Apakah kau yang menolongku? Siapakah kau sebenarnya?”
“Ah, kak Roijah. Sebaiknya kau bisa agak bersabar sejenak. Saat ini
sebaiknya kau tak perlu tahu siapa aku sebenarnya. Nanti aku akan
menjelaskan semuanya.”
“Aku masih penasaran,” ujar Roijah sambil berusaha bangkit.
Tetapi tiba-tiba, tubuhnya jatuh lemas kembali. Luka-lukanya terasa semakin
nyeri. Bahkan karena terlalu memaksakan diri bergerak tadi luka cambuk di
tubuhnya sebagian mengeluarkan darah kembali.
“Aduh......” rintih Roijah hampir tak terdengar.
“Apa kubilang, kak Roijah? Sebaiknya kau tenang-tenang saja dulu. Tetaplah
berbaring seperti tadi.”
“Aku masih sangat penasaran. Tolong katakan, siapa kau sebenarnya? Jika kau
adalah orang-orang dari pihak Kumpeni Belanda, tolong jangan biarkan aku
hidup lebih lama lagi. Bunuhlah aku sekarang juga daripada harus diserahkan
kembali kepada Kumpeni Belanda.”
“Ah, kak Roijah. Apakah tampangku memang mirip anjing Belanda atau adakah
alasan bagimu mencurigaiku seperti itu?”
“Kalau begitu, siapakah kau sebenarnya?”
“Nanti aku akan menceritakannya, kak Roijah. Sekarang berbaringlah dengan
tenang agar luka-lukamu lebih cepat sembuh. Aku akan menyiapkan sarapan pagi
kita.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Roijah segera berbaring.
Ranti membalikkan badan, lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak
segera mencari sarapan pagi, melainkan terlebih dulu mandi di sebuah kolam
kecil berupa mata air yang sangat jernih dan sejuk sekali.
Tadi Ranti sebenarnya kebetulan saja lewat dari tempat itu ketika sedang
mencari makanan sekadar mengganjal perut. Tanpa pikir panjang lagi, gadis
itu segera menanggalkan semua pakaiannya. Lalu ia berendam sepuas
hati.
Sambil berendam di air sejuk dan jernih, Ranti teringat akan perkenalannya
dengan Parmin beberapa waktu lalu. Saat itu Ranti masih dalam asuhan si raja
rampok Gembong Wungu dan sama sekali belum mengetahui bahwa jagoan bermata
satu itu bukanlah ayah kandungnya.
Ketika itu, Ranti mandi di kali di hutan sepi tak jauh di belakang desa
Perbutulan. Ketika sedang menyisir rambut sambil berjemur di atas sebongkah
batu, tiba-tiba ia melihat Parmin tak jauh dari tempatnya mandi.
Ranti geram bukan main, karena mengira lelaki itu sedang mengintipnya
mandi. Tanpa memberikan Parmin kesempatan membela diri, Ranti segera
menyerang dengan ganas.
Seandainya Parmin tidak memiliki ilmu silat tinggi, besar kemungkinan ia
akan mati di tangan Ranti. Sebab saat itu Ranti masih sangat kolokan dan
siapa saja yang dianggap berani lancang berbuat kotor padanya harus diserang
tanpa tanggung-tanggung.
Dan jika orang itu misalnya mati, itu dianggap hukuman setimpal. Ayahnya
Gembong Wungu pun tidak akan menyalahkan, bahkan pasti membelanya dan
membenarkan sikapnya itu. Melirikan mata sedikit saja kepada Ranti sudah
dianggap sangat kurang ajar, apalagi kalau sampai mengintipnya mandi.
Tetapi ternyata, Parmin bukanlah orang sembarangan. Pemuda itu selain
memiliki wajah tampan dan sikap yang simpatik, juga memiliki ilmu yang
sangat tinggi. Kemudian Ranti mengetahui pula bahwa Parmin adalah pendekar
sakti yang namanya tersohor ke seluruh lereng Ciremai, yakni pendekar Jaka
Sembung.
Di kalangan dunia persilatan, nama itu telah bagaikan suatu perlambang
kehebatan dan kesatriaan seorang pendekar. Karena Jaka Sembung tidak pernah
menggunakan ilmunya untuk menyusahkan orang, bahkan senantiasa membela yang
baik dan orang-orang dalam kesusahan.
Pendekar itu juga berupaya keras mengusir kaum penjajah dari bumi nusantara
tercinta. Bukan seperti tokoh lainnya, seperti Gembong Wungu misalnya,
malahan menambah penderitaan rakyat yang tadinya sudah sengsara lantaran
kejamnya pemerintahan Kumpeni Belanda.
Ranti tidak terlalu mempersalahkan diri sendiri karena terlanjur mencintai
Parmin. Bahkan menurut perkiraannya, siapa pun pasti menaruh perasaan yang
sama jika punya pengalaman yang sama sewaktu bertemu dengan lelaki perkasa
itu.
Dulu Ranti hampir selalu bisa memiliki apa saja yang ia inginkan. Sebab apa
saja yang ia minta, pastilah akan dikabulkan Gembong Wungu.
Tetapi sekarang, gadis itu menyadari bahwa dalam hidup ini tidaklah semua
keinginan itu bisa dipenuhi. Seandainya pun dia masih hidup bersama Gembong
Wungu seperti dulu, ayahnya itu tentulah tidak akan bisa memberikan atau
merampas cinta dari hati Parmin untuk diberikan padanya.
Manusia bisa diperbudak, bisa ditaklukkan dengan berbagai cara dan usaha.
Tetapi hati nuraninya tetaplah miliknya, tidak bisa di kuasai orang lain.
Itu sebab jasad manusia bisa dijajah, namun tidaklah demikian dengan hati
sanubarinya.
Dalam kehidupan sekarang ini, orang-orang masih banyak yang kurang
menyadarinya. Anak-anak orang kaya misalnya bisa saja meminta keinginannya
kepada orang tuanya.
Tetapi jika meminta cinta tentulah tidak akan bisa diberikan. Sebab cinta
lahir sendiri, tanpa disadari dan tanpa direncanakan. Dan cinta itu tidaklah
bisa dipaksakan.
Seseorang bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu, tetapi ia tak mungkin bisa
dipaksa mencintai seseorang. Di sinilah terlihat, bahwa di dalam hidup ini
semuanya serba terbatas. Dan harta duniawi bukanlah jaminan bagi orang untuk
meraih kebahagiaan.
Jadi jika ada yang beranggapan bahwa yang bahagia itu hanyalah orang kaya,
itu bukanlah anggapan yang benar. Kurang apa rupanya Ranti sewaktu di dalam
asuhan Gembong Wungu? Tetapi ia kemudian merasa hidupnya gersang, setelah
jatuh cinta kepada Parmin. Ia merasa dalam hidupnya ada yang kurang, bahkan
terasa ada yang hilang.
Setelah usai mandi, Ranti mulai menyusuri hutan itu mencari apa saja yang
bisa dijadikan sarapan pagi. Rupanya di hutan itu jarang sekali ada pohon
yang buahnya bisa dimakan. Hanya pohonnya saja yang besar dan tinggi,
buahnya tak ada gunanya!
Gadis itu bersungut-sungut dalam hati. Jangan-jangan aku mati kelaparan di
tengah hutan ini, pikirnya kesal. Tetapi tiba-tiba telinganya mendengar
suara gemerisik dedaunan kering, pasti itu binatang. Tanpa menimbulkan suara
mencurigakan, Ranti mendekat ke arah suara itu dan mengintip dari balik
semak-semak.
Seekor rusa jantan yang beranjak dewasa tampak sedang memakan rumput dengan
lahap, sama sekali tak menyadari ada sepasang mata sedang mengawasi. Pucuk
dicinta ulam tiba. Ini kesempatan baik, tak boleh dilewatkan begitu
saja.
Ini makanan yang amat lezat, pikir Ranti sambil memungut batu yang sedikit
lebih besar dari kepalan tangannya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, Ranti
menyambitkan batu itu ke arah rusa jantan yang sedang merumput. Batu itu
menyambar cepat sekali.
“Tak!” Dengan sangat telaknya, batu itu menghantam tepat bagian batok
kepala rusa jantan itu. Demikian kuatnya sambitan batu itu hingga kepala
rusa itu pecah. Sambil mengoek, tubuh rusa itu ambruk.
Darah segar bercampur benak berhamburan dari kepalanya yang telah
berantakan.
“Ha-ha-ha...... dapat makanan yang enak aku hari ini. Roijahpun tentu akan
senang nanti,” gumam Ranti sambil melangkah menghampiri rusa itu.
Dibelai-belainya bulu binatang bertanduk itu dengan lembut. Sayang,
pikirnya, binatang seelok engkau harus mati di tanganku. Tapi mungkin sudah
takdirmu, mungkin jika tidak begini engkau pun akan dimangsa macan. Bukankah
lebih baik aku yang memakanmu daripada macan?
Sambil tersenyum-senyum, Ranti memanggul tubuh rusa bernasib malang itu.
Tetesan darah dari bagian kepala binatang itu tidak di perdulikan Ranti,
sehingga bajunya basah dan merah.
Ranti benar-benar girang, sewaktu berjalan pulang ke tempatnya tadi tidur
bersama Roijah, ia bernyanyi-nyanyi kecil.
Ternyata Roijah sudah duduk bersandar pada batang pohon besar di tempat
itu. Wajahnya tidak sepucat tadi lagi. Sepasang matanya mulai
bersinar-sinar, menatap ke arah Ranti yang sedang membawa seekor rusa
jantan.
“Hai, apakah yang kau bawa itu? Dapat dari mana kau rusa sebesar itu?”
tanya Roijah terheran-heran.
“Tenanglah, kak Roijah. Kita akan makan besar hari ini. Orang Belanda yang
paling kaya pun belum tentu mampu makan menjangan seperti ini.”
“Kau selalu menyebut-nyebut Belanda. Apakah kau punya hubungan dengan
penjajah itu?” tanya Roijah sambil mengerenyitkan kening hingga tampak
berkerut-kerut.
“Ya,” sahut Ranti seenaknya.
“Kau tentu kenal baik bangsat-bangsat sialan itu. Bahkan bisa jadi......
maaf, orang-orang kita pun banyak yang mau jadi anjing mereka. Bahkan kaum
perempuan kita tidak sedikit yang jadi gundik serdadu penjajah
itu......”
“Ya, kau benar!” sahut Ranti tanpa melirik kepada Roijah.
Gadis itu meletakkan rusa di atas tanah. Setelah itu, ia mengumpulkan
dedaunan dan ranting-ranting kering. Dua buah bongkah batu cadas ia adukan
disertai tenaga dalam hingga menimbulkan percikan api.
Dengan cara kuno seperti itu, Ranti dapat menyalakan api. Dalam sekejap,
api sudah menyala-nyala. Ranti lalu menguliti dan memotong-motong daging
rusa itu dan menusuknya dengan ranting-ranting kayu.
“Hari ini kita akan makan daging panggang sepuas-puas hati. Kau tentu
senang, bukan?”
Roijah memperhatikan ketrampilan Ranti dengan pandangan rasa kagum.
Diam-diam, ia merasa bersyukur juga, karena dalam keadaan seperti itu ada
orang yang mau menolongnya, biarpun di dalam hati ia yakin bahwa di balik
kebaikan Ranti, pasti ada maksud tertentu. Entah apa!
“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi,” ujar Roijah.
“O, iya! Aku lupa. Kak Roijah menanyakan apa tadi?” tanya Ranti ternyata
melirik wanita itu sejenak. Lalu ia mulai memutar-mutar daging rusa yang
telah dipotong-potongnya di atas api.
“Itu tadi, masalah gundik Belanda. Bukankah tadi kau pun mengakui bahwa
gadis-gadis kita banyak yang jadi gundik penjajah itu adik yang
manis?”
“Iya, ya. Memang banyak gadis kita seperti itu. Maksud kakak sebenarnya
apa? Apa maksudnya menanyakan masalah gundik Belanda?”
“Kau tadi bilang punya hubungan dengan Belanda. Tapi...... saya tak berani
mengatakan jika seandainya adik yang demikian muda dan cantik jelita adalah
wanita seperti itu.”
Ranti tertawa ngakak sehingga suara tawanya bergema sampai ke seluruh
penjuru hutan belantara itu. Ia merasa sangat geli mendengar ucapan Roijah.
Tetapi ia sama sekali tidak tersinggung, sebab ia yakin Roijah sengaja
memancingnya untuk menceritakan siapa sebenarnya dirinya.
“Jadi kak Roijah menuduh saya ini gundik Belanda?”
“Ah, aku tidak menuduh seperti itu. Aku hanya bertanya saja. Adik jangan
salah paham.”
“Aku tidak salah paham. Tapi kalau memang aku ini adalah gundik Belanda,
kak Roijah mau apa? Itu hak ku, bukan? Aku kira kak Roijah tak berhak
melarangku bersenang-senang dengan para serdadu penjajah itu.”
“Jadi......?” seru Roijah tercekat.
Ranti tampak tak acuh. Sambil tersenyum, ia memanggang daging lainnya. Bau
sedap daging panggang itu memenuhi sekitar hutan.
Roijah diam-diam merasa sangat lapar. Tetapi ia masih sangat penasaran
karena Ranti tadi sepertinya telah mengakui dirinya adalah gundik
Belanda.
“Adik yang baik hati, bolehkah aku tahu namamu? Dari mana asalmu?”
“Tunggulah, kak Roijah. Tak baik membicarakan hal-hal serius dalam keadaan
lapar. Kata temanku dahulu, jika bicara selagi lapar lidah kita bisa
keseleo.”
“Bila perlu aku tidak akan makan. Jangan kira aku mau makan-makanan anjing
Belanda. Lebih baik aku mati kelaparan.”
Ranti tidak menyahut lagi. Daging panggangnya sudah matang. Ia
meletakkannya di atas dedaunan dan kemudian menyuguhkannya di hadapan
Roijah.
“Sayang tidak ada garam dan cabe. Daging panggang ini pasti semakin lezat.
Tapi tak apalah, tanpa apa-apa juga enak, bukan? Ayo, kita makan saja.
Makanlah sebanyak-banyaknya biar kesehatanmu cepat pulih kembali.”
Roijah menatap Ranti dengan sinar mata yang terlalu sukar di mengerti
maknanya. Ada keraguan terpancar dalam sinar mata gadis itu, ada rasa tak
senang dan entah apa lagi. Ia memperhatikan Ranti yang sedang makan daging
panggang dengan sangat lahapnya.
“Hei, kenapa kak Roijah diam saja? Ayo, makanlah, kak. Jangan diam saja.
Ingat, kakak sedang sakit. Jika tak makan banyak, penyakit kakak pasti susah
sembuhnya.”
“Aku tak mau makan sebelum kau mengakui siapa sebenarnya dirimu.”
“Ah, kak Roijah tampaknya terlalu sulit percaya pada orang. Padahal kakak
adalah seorang pendekar yang dikagumi orang. Sekalipun misalnya ada alasan
bagi kakak untuk mencurigai saya, apakah sikap seperti itu baik?”
“Ah, adik yang manis. Saya jadi merasa tak enak. Tapi baiklah sekarang aku
akan makan bersamamu.”
Roijah lalu makan dengan lahap seperti halnya Ranti. Sambil
mengunyah-ngunyah daging panggang itu, Roijah memperhatikan wajah Ranti.
Sungguh sangat cantik dan cerdas pikirnya. Tetapi tampaknya gadis di
hadapannya itu agak kolokan dan tidak begitu perduli akan perasaan orang
lain.
Melihat gerak-gerik Ranti, yakin pulalah Roijah bahwa gadis itu bukan orang
sembarangan. Pastilah pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi.
Kalau tidak demikian, mustahil Ranti bisa membawanya kabur dari tahanan
gudang Van Eisen, kemudian melarikannya sampai ke tengah hutan ini. Entah
siapa sebenarnya gadis di hadapannya itu dan dari golongan mana pula,
sehingga mau menyelamatkannya.
Sejenak Roijah agak ragu juga mengenai kecurigaannya terhadap Ranti. Sebab
menurut pikiran Roijah, kalau misalnya Ranti bermaksud jelek padanya bisa
saja gadis itu membunuhnya sewaktu ia sedang tak sadarkan diri. Tapi siapa
tahu, Ranti memang ingin menangkapnya hidup-hidup. Bukankah orang-orang
Kumpeni Belanda suka berbuat seperti itu?
“Adik yang manis,” ujar Roijah setelah beberapa saat terdiam dan termenung,
“Saya sebenarnya sangat berterima kasih padamu terutama atas keberanianmu
menyelamatkan aku dari penjara Van Eisen. Saya tak tahu bagaimana caranya
membalas budi baikmu ini.
“Sekalipun misalnya adik bermaksud jelek padaku, tapi sedikitnya untuk saat
ini saya bisa menikmati udara bebas. Sekarang kalau adik tidak keberatan,
tolonglah katakan, siapa sebenarnya adik ini?”
“Kak Roijah, sebaiknya kita selesai makan dulu. Ayah ku...... eh, maksudku
temanku dulu sering bilang tidak baik bicara kalau lagi makan. Nanti
sajalah, kak. Percayalah, saya akan menceritakan semuanya.”
Mereka makan kembali dengan lahapnya. Ranti makan dengan sikap yang santai
dan tidak malu-malu. Mulutnya tampak terbuka lebar-lebar di kala mengunyah
makanan dan menimbulkan bunyi menciplak keras.
Lain halnya dengan Roijah, tampak agak hati-hati dan makan dengan mulut
kebanyakan tertutup kalau sedang mengunyah, karena ia memang seorang anak
bangsawan. Melihat cara makan kedua gadis itu, bisa diterka keduanya
mempunyai sifat yang agak berbeda.
Ranti lebih supel dan terbuka dan tampak lebih ceria dan lincah. Ia tidak
terlalu pintar menyembunyikan isi hatinya, karena cenderung bicara
ceplas-ceplos.
Lain halnya dengan Roijah, selain tampak jauh lebih dewasa dari Ranti,
gadis ayu itu kelihatannya punya sifat yang agak hati-hati dan perasa pula.
Di samping itu, Roijah tampaknya kurang ceria dan suka termenung.
Ranti sendiri tidak terlalu memperdulikan sikap Roijah. Sebab selama ini ia
memang sudah terbiasa tidak mau perduli akan perasaan orang. Ranti sekarang
datang ke kawasan Kandang Haur bukan karena ia seorang pejuang yang ingin
bahu membahu dengan pendekar lainnya untuk mengusir penjajah.
Selama ini malah hampir tidak pernah memikirkan masalah penjajahan dan
bagaimana mengusir Belanda dari bumi nusantara tercinta. Ia mempunyai maksud
lain yang sifatnya sangat pribadi dan hanya perlu diketahui Roijah
sendiri.
Demikian bergejolaknya hasrat di hati Ranti untuk mengatakannya kepada
Roijah, sehingga ia menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan jalan kaki
dari desa Perbutulan ke desa Kandang Haur. Ia berlari dan berjalan masuk
keluar hutan kurang lebih dari satu minggu, sebelum sampai di desa Kandang
Haur.
Namun tadinya, Ranti sama sekali tidak menyangka bahwa Roijah akan
mengalami musibah ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh pemerintah
Kumpeni Belanda. Untunglah ia segera tiba di desa itu dan berhasil
menyelamatkan Roijah.
Seandainya tidak, barangkali Roijah tidak akan bisa hidup lebih lama
lagi.
Seusai makan, Ranti segera membenahi sisa-sisa makanan mereka dan menyimpan
daging rusa yang tersisa. Ia lalu mengambil air minum dari mata air jernih
dan sejuk tak jauh dari tempat itu dengan dedaunan, kemudian memberikannya
kepada Roijah.
“Minumlah, kak. Tentunya kau sudah haus setelah makan panggang tadi.”
“Terimakasih, dik. Kau sangat baik.”
“Terimakasih juga atas pujian kakak.”
Emoticon