Malam pun telah berganti pagi. Sang surya memancarkan sinarnya yang
keperakan menerangi segenap alam raya. Kokok ayam terdengar riuh rendah
menyambut datangnya pagi. Burung-burung berkicauan memperebutkan makanan di
atas sebuah pohon.
Dari jauh bukit Gunung Jati dan Gunung Sembung terlihat berjajar sangat
indah dengan gumpalan awan putih yang bergulung-gulung menyelimutinya.
Daun-daun padi bergerak melambai-lambai bagai tangan seorang penari
mengikuti arah tiupan angin. Gemerisik suara air pancuran bambu yang jatuh
memercik di atas batu menambah suasana pagi yang indah itu. Perlahan-lahan
sang surya bergerak meninggi.
Dari kejauhan terlihat seorang dara berjalan lemah gemulai dengan ayunan
pinggulnya yang ramping sambil memegang sebuah bakul yang berisi makanan.
Tubuhnya yang sintal berlapiskan kain kebaya bercorak kembang-kembang,
berlenggak-lenggok dengan riangnya menelusuri pematang sawah. Jejak kakinya
tak membekas pada pematang sawah yang baru saja selesai dibuat orang karena
ia tak lain dan tak bukan adalah Ratna Zullifah putri tunggal Kiyai Subekti
Achmad.
Ratna berjalan menghampiri seorang pemuda yang bertubuh tegap sedang
mengayunkan cangkulnya di tengah sawah. Tubuhnya yang kekar bermandikan
keringat terlihat legam berkilat ditimpa sinar sang surya yang menyengat.
Otot-otot tubuhnya menonjol gempal ketika ia menancapkan cangkulnya ke
lumpur sawah dengan sepenuh tenaga. Pemuda tegap itu adalah Anwar kekasih
Ratna. Dan Ratna berjalan tenang sambil melantunkan sebuah nyanyian.
Suaranya yang merdu menawan berkumandang dibawah desiran angin yang bertiup
sepoi-sepoi di hamparan sawah.
"Burung elang terbang melayang, datang menyambar ayam gundul... tahukah
kanda, adinda datang harap dikau meletakkan cangkul."
Anwar yang sedang mencangkul itu tiba-tiba berhenti karena merasakan
sesuatu yang merdu merasuk ke dalam telinganya. Ia berdiri tegak menoleh
sambil menarik senyum dan ayunan cangkulnya berhenti di awang-awang. Anwar
lalu membalas nyanyian itu penuh ceria.
"Ayam putih dipatuk elang, elang mati terkena taji... kekasih hati sudahlah
datang, kebetulan kakanda letih dan sunyi."
Kemudian ia meloncat ke pematang sawah dengan sigap. Ia segera mencuci
tangan dan kakinya dengan air yang mengalir masuk ke dalam areal sawahnya.
Lalu Anwar meraih cangkulnya yang tergeletak di tepi pematang dan tersenyum
ceria menyambut kedantangan gadis si jantung hatinya.
"Ah, Ratna! Bisa saja kau membuat aku bertambah cinta kepadamu dan teruslah
kau bernyanyi, sayang! Aku akan bertambah semangat mengayunkan cangkul bila
kau sudi menemaniku di sini! Kebetulan aku sudah merasa lapar!" ujar Anwar
menatap Ratna dalam-dalam yang telah berdiri di hadapannya dengan senyum
termanis. Hari ini ia begitu cantik menawan mengenakan kain kebaya dengan
rambut yang dibentuk membentuk sanggul. Hatinya bangga mempunyai gadis yang
penuh perhatian kepadanya.
Lalu Anwar menggandeng tangan Ratna dengan mesra berjalan ke sebuah pohon
yang rindang untuk berteduh dan membuka isi bakul yang dibawa kekasihnya.
Genggaman tangan keduanya erat sekali. Mereka duduk santai di atas rumput
hijau yang terhampar di bawah pohon itu untuk menyantap makanan. Sementara
Ratna memijit mesra punggung tegap Anwar penuh kasih sayang. Sekali-sekali
dicubitnya manja membuat Anwar menggelinjang kesakitan.
"Aku tak ingin kau terlalu keras membanting tulang, Anwar! Kekayaan mudah
dicari, tetapi aku kuatir kalau-kalau kau jatuh sakit karena terlampau giat
bekerja!" kata Ratna manja sambil membelai bahu kekasihnya dengan
lembut.
"Ah, itu tak jadi soal! Pokoknya asal ada kau yang setiap saat memijitku
seperti ini!" sahutnya sambil mengaduk-aduk air teh dalam gelas keramik
dengan sendok.
"Dasar kolokan, ih!" seru Ratna mencubit pinggang Anwar dengan gemas
sehingga Anwar menggelinjang kegelian. Hampir-hampir menumpahkan isi gelas
yang dipegangnya. Ia membalas mencubit pipi mulus milik kekasihnya dengan
gemas pula.
Ratna cemberut senang diperlakukan seperti itu. Dalam hatinya ia bahagia
mempunyai kekasih seperti Anwar yang suka bercanda. Ratna lalu membelakangi
Anwar sambil menekuk wajahnya.
"Aduh... jangan cemberut seperti itu, sayang." goda Anwar menatap wajah
Ratna dalam-dalam.
Ratna pura-pura bersungut-sungut. Tapi tak lama kemudian mereka tertawa
ceria berbarengan. Lalu Ratna duduk bersebelahan dengan Anwar bergelayut
manja di bahunya. Sepertinya mereka tidak mau dipisahkan oleh siapapun.
Dunia ini seolah-olah milik mereka berdua. Terasa hangat menjalar di bahu
Anwar sesuatu yang menempel hangat dan lunak pada lengan kirinya. Sesuatu
yang tumbuh sebagimana umumnya gadis yang sedang mekar. Seketika itu juga
rasa lelah yang menghantui tubuhnya lenyap tak berbekas sama sekali.
"Ratna, semoga Allah memberkahi kita. Aku berjanji pada diriku sendiri bila
panen nanti hasilnya memuaskan, aku akan datang melamar kepada ayahmu! Kita
segera menikah, sayang!" bisik Anwar sambil mencium lembut kening
Ratna.
"Oh, benarkah itu, Anwar!" tanya Ratna sengit.
Anwar menganggukkan kepalanya. Sinar matanya terasa lembut merasuk dalam
hati Ratna.
"Aku sangat bahagia mendengarnya!" desah Ratna semakin bergelayut erat di
bahu Anwar yang membelai-belai kedua pipinya.
Kemudian mereka mulai menyantap makanan yang terdapat dalam bakul di
hadapan mereka. Ratna sengaja memasak sayur asem kegemaran Anwar kekasihnya.
Lauk ikan asin dan sambal terasi menyemarakkan hidangan mereka hari ini.
Begitu nikmatnya mereka melalap makanan sambil bercanda ria, sampai-sampai
mereka tak memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar membuyarkan suasana itu.
"Ya! Kau akan segera menikah di akhirat sana, Anwar!"
Anwar cepat menoleh mencari datangnya suara tak ramah itu. Terlihat
dibelakang mereka berdua, tiga orang berdiri tegak berkacak pinggang menatap
nanar kepadanya. Tiga orang itu adalah Barna, Warto dan seorang laki-laki
berkepala botak dengan sepasang telinganya yang lebar. Di pergelangan
tangannya terdapat gelang akar bahar. Demikian juga dengan pergelangan
kakinya.
Anwar terperanjat sekali sehingga nasi yang berada di dalam mulutnya
menyembur ke luar. Hatinya terbakar mendengar hinaan yang dilontarkan
Barna.
"Ayo kita kepung! Cari tempat masing-masing kawan! Tapi awas jangan sampai
melukai gadis itu!" teriak Barna keras sambil mencabut golok panjang yang
terselip di pinggangnya.
Sementara kawan-kawannya segera mengambil posisi mengurung lawannya dengan
ketat. Anwar segera meraih cangkul yang ia letakkan di dekat akar
pohon-pohon itu yang menyembul ke luar dengan cepat. Sedangkan Ratna berdiri
siap siaga. Matanya menatap Barna dengan penuh kebencian.
"Barna! Kau memang benar-benar manusia licik! Di mana letak kejantananmu
sebagai laki-laki? Dasar anak dukun kafir!" maki Ratna dengan sengit.
"Diam!! Siapa suruh kau memilih calon suami kuli cangkul, hah! Harta
bapakku cukup untuk dimakan sampai tujuh turunan!" sahut Barna menyombongkan
diri. Matanya tak lepas menatap Ratna.
"Kau mengukur nilai seseorang begitu rendahnya! Tahukah kau, derajad
manusia hanya dapat diukur dengan budi baiknya bukan dengan harta benda!"
sambung Ratna lebih nyaring.
Mendapat jawaban yang terasa menusuk hatinya, seketika darah muda Barna
mendidih naik ke ubun-ubunnya. Matanya merah saga. Nafasnya bergemuruh. Ia
sakit hati dihina di depan banyak orang, terutama di hadapan Anwar
saingannya.
"Persetan! Tidak ada lagi waktu buat main rayu-rayuan! Dan jangan kau
mengajariku! Minggir kau!" bentak Barna menggelegar sambil
mengibas-ngibaskan golok panjangnya yang teracung di atas kepalanya. Dengan
satu teriakan yang melengking ia langsung menerjang Anwar dengan sepenuh
tenaga.
Anwar sudah siap mengayunkan cangkulnya menghadapi serangan mereka.
"Ciaaat...!"
Anwar melejit ke atas menghindari sabetan senjata Barna yang rnenderu-deru
seperti angin beliung mengarah perutnya dengan cepat.
Melihat pemimpinnya mulai melakukan serangan, Warto dan si botak itu
bersiap siaga sambil menghunuskan senjatanya masing-masing. Warto berdiri
agak membungkuk sambil memutar-mutarkan sepasang trisulanya dengan cepat dan
si botak mengayunkan senjatanya yang berbentuk seperti buah duren dengan
tali rantai besi yang panjang menimbulkan suara desingan yang menyakitkan
telinga.
Pada saat Anwar akan menjejakkan kakinya di tanah, kembali sabetan golok
panjang Barna meluncur ke arahnya, maka terpaksa ia harus bersalto di udara
dan langsung melayang menerjang lawannya tepat berada di depannya yang
sedang menunggu. Tubuhnya dengan cepat meliuk-liuk dan membabatkan
cangkulnya menghantam si botak yang tidak sempat mengelak dengan sekuat
tenaga. Terdengar jeritan melengking membelah langit disusul dengan
ambruknya tubuh pendek gemuk dengan punggung yang hampir terbelah dua
menimbulkan suara yang keras bagai gunung runtuh. Si botak berkelejatan
seperti seekor ayam yang dipotong kemudian meregang sejenak dan diam untuk
selama-lamanya. Darah segar berlumuran membasahi rumput di sekitarnya. Barna
menjadi kalap bukan main melihat temannya tewas secara mengerikan terkena
babatan cangkul Anwar. Tanpa bicara lagi ia lantas merangsak Anwar dengan
cepat sekali. Golok panjangnya berkelebat ke sana ke mari membentuk sebuah
gulungan seperti ombak yang datang menghantam karang di tepi pantai. Sinar
kuning memantul akibat kelebatan senjatanya yang begitu cepat.
Anwar meliuk-liukkan tubuhnya di udara sambil berusaha mencari kelemahan
lawannya. Pertahanan Barna cukup ketat sehingga ayunan cangkulnya tidak
dapat menembusnya. Anwar hanya dapat menghindar tanpa dapat membalas
serangan lawannya yang bertubi-tubi. Dengan satu ayunan yang kuat, tiba-tiba
cangkulnya beradu keras golok panjang Barna ketika keduanya meloncat secara
bersamaan sehingga menimbulkan percikan api di udara. Anwar merasakan tangan
kanannya
kesemutan. Tenaga dalamnya kalah setingkat dibandingkan Barna.
Mereka berdua bertarung sudah menghabiskan sekitar tiga puluh jurus silat,
tetapi keadaannya masih seimbang. Masing-masing saling mendesak dengan
mengeluarkan semua ilmu kepandaian yang mereka dapat dari gurunya. Tapi itu
tak berselang lama. Terlihat pertarungan itu mulai pincang. Anwar mulai
kewalahan menghadapi serangan Barna yang semakin bertubi-tubi.
Sementara itu melihat kekasihnya terdesak, Ratna segera melompat untuk
turut membantu. Tapi tiba-tiba ia hadang Warto yang menyeringai sinis sambil
menyilangkan kedua trisula di dadanya. Giginya yang kehitam-hitaman terlihat
menjijikan saat ia tertawa.
"Ha ha ha ha ha! Kau benar-benar bandel, Ratna! Jangan turut campur urusan
laki-laki. Aku takut melukaimu!"
Ratna tak tahan lagi membendung amarahnya. Lalu dengan sigap ia meloncat
menyerang Warto yang segera menggeser tubuhnya sedikit, maka serangan Ratna
hanya melukai tempat kosong dengan sia-sia. Gerakannya yang kurang terarah
dan kurang lincah itu disebabkan karena ia mengenakan kain kebaya
sebagaimana layaknya seorang wanita dalam keadaan sehari-hari.
Ratna hanya mengandalkan jurus tengan kosongnya saja tanpa dapat
melancarkan tendangan. Warto cuma mengelak ke kanan dan ke kiri menghindari
pukulan lawannya tanpa membalas serangan, karena ia memang ditugaskan agar
tidak melukai Ratna.
Sementara itu di luar dugaan, Barna melesat cepat melintas di atas kepala
Anwar sambil membabatkan golok panjangnya hingga memutuskan gagang cangkul
yang dipegangnya mencoba melindungi batang lehernya sendiri dengan cangkul
itu. Seketika mata cangkul itu terpelanting jauh dari Anwar. Ia lalu
melempar potongan gagang cangkul itu secara mendadak menghunjam ke arah
Barna yang sudah berdiri siap menyabet punggungnya. Dengan satu gerakan yang
manis Barna menyabetkan senjatanya untuk menangkis potongan gagang cangkul
itu sehingga menjadi potongan-potongan pendek dan berpelantingan jatuh di
atas tanah.
Anwar terpana melihat kehebatan permainan golok panjang milik Barna. Ia
benar-benar terpaku. Melihat semua itu Barna segera mengambil kesempatan
emas itu dengan satu gerakan cepat langsung meloncat menyerang Anwar secara
mendadak.
"Nah, kini terimalah ajalmu, monyet sawah! Akhirnya kau akan tahu siapa aku
! Hiyaaat..!" teriakannya menggelegar merobek-robek udara. Golok panjang di
tangan kanannya mengacung tinggi siap menebas kepala Anwar yang masih diam
terpaku. Ia tak sempat lagi mengelak. Kedua kakinya seakan-akan tak dapat
digerakkan untuk menghindar.
"Allahu Akbar!" ucapannya pasrah.
Di saat yang sama, Warto berhasil mendesak Ratna yang kelihatan tenaganya
mulai mengendor. Ratna terdesak mundur ke belakang menuju sebuah pohon
menghindari babatan sepasang trisula Warto yang bergerak sangat cepat.
Dengan satu lontaran yang kuat, Warto melempar trisulanya yang berada di
tangan kanannya meluncur ke arah Ratna dan menancap pada kain kebayanya
sehingga terpantek di batang pohon yang berada di belakangnya.
"Oh!" Ratna tak dapat bergerak. Tubuhnya terpaku ketat pada batang pohon
itu dan Warto tertawa cengengesan melihatnya.
"Agaknya dengan cara ini aku bisa membuatmu diam. Tak usah kuatir Den Ayu,
cuma baju kebayamu saja yang cacat!" ujar Warto setengah merayu sambil
berkacak pinggang memperhatikan Ratna yang berusaha meronta-ronta melepaskan
diri.
Ternyata trisula itu menancap cukup dalam karena diluncurkan dengan tenaga
dalam yang
sangat kuat sehingga sulit bagi Ratna untuk membebaskan dirinya.
Pada detik yang sama Barna sedang melayang di udara lalu menukik siap
menyambar Anwar seperti seekor burung elang yang sedang mengincar mangsanya.
Dan pada detik-detik kritis itu, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat
menyambar tangan Barna yang sedang mengayunkan senjatanya mengarah tempat di
kepala Anwar.
"Auu....!" teriak Barna kesakitan. Golok panjangnya terpental jauh melejit
ke udara lalu jatuh menancap di atas tanah. Sedangkan tubuhnya sendiri
terjungkal beberapa meter ke belakang. Kemudian disusul dengan munculnya
sesosok tubuh yang tak diketahui dari mana datangnya. Dengan sangat ringan,
orang tersebut menapak di atas tanah langsung membentuk posisi siap-siaga
menghadapi Barna yang terlentang sambil memegangi tangan kanannya yang biru
bengkak akibat pukulan orang itu.
Barna menatap nanar pada orang yang berdiri dihadapannya. Seluruh wajahnya
merah padam menahan rasa sakit dan amarah yang bercampur jadi satu.
"Setan! Siapakah kau? Mengapa mencampuri urusan orang lain? Jawab!" hardik
Barna sambil berusaha bangun dan pasang kuda-kuda.
Sementara Anwar berdiri heran menyaksikan semua itu. Ia segera tahu bahwa
orang yang menolong dirinya tak lain adalah seorang pemuda yang turut shalat
berjamaah di masjid Gunung Sembung. Ia tak menyangka sama sekali bahwa
pemuda pendatang ini ternyata adalah seorang jago silat yang luar biasa. Apa
yang dikatakan gurunya Kiyai Subekti memang benar.
Dan Parmin tersenyum menatap benar. "Aku adalah seorang musafir pembela
yang benar dan menumpas yang jahat!" sahut Parmin tenang. Tapi matanya dapat
menangkap sebuah serangan seseorang yang berada di belakangnya dengan sebuah
senjata trisula yang terhunus siap menghunjam punggungnya.
Tubuh Warto melayang mengancam punggung Parmin. Dengan satu gerakan yang
memukau, Parmin membalikkan tubuhnya setengah jongkok lalu menjambret tubuh
Warto dengan kuat.
"Ciaat!" kedua tangannya memanggul tubuh Warto yang berusaha meronta-ronta
melepaskan diri. Sedangkan senjatanya hilang entah ke mana.
"Lihat, kawanmu ini bisanya cuma membokong lawan dari belakang dan tukang
racun seperti pantasnya menjadi umpan buaya-buaya di sungai Pekik ini! Nah,
pergilah ke sana!" teriak Parmin sambil melemparkan tubuh Warto ke dalam air
sungai Pekik yang banyak dihuni buaya-buaya.
"Aaaa...!" teriak Warto menggema ke seluruh hamparan sawah. Tubuhnya
melayang deras ke tengah-tengah sungai dengan posisi kepala berada di
bawah.
"Tolooooong!" Warto melengking menyayat hati. Air sungai yang semula
tenang, tiba-tiba menggelegak memercikkan airnya ke udara. Air sungai itu
seketika berubah menjadi merah oleh darahnya sendiri. Tubuh Warto
menggelepar-gelepar di bawah taring seekor buaya yang sedang kelaparan dan
melahapnya dengan buas. Tangannya menggapai-gapai meminta pertolongan.
Tubuhnya timbul tenggelam dipermainkan amukan buaya-buaya itu. Lalu tubuhnya
hilang ke dalam air sungai Pekik meninggalkan gelembung-gelembung buih di
atasnya. Satu orang kaki tangan Bergola Ijo kini telah tewas menyusul
temannya yang lainnya.
Ratna menutup wajahnya tak tahan menyaksikan peristiwa yang sangat
mengerikan itu. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Anwar melihat itu
langsung menghampirinya dan mencabut trisula yang memakai baju kebaya
kekasihnya. Ratna lantas menjatuhkan kepalanya di dada bidang Anwar
menumpahkan rasa takut yang menjalar dalam dirinya. Mereka saling berpelukan
dengan erat.
Barna menyaksikan temannya tewas secara mengerikan, seketika darahnya
mendidih deras. Ia menjadi kalap bukan main dan langsung menerjang Parmin
secara membabi buta. Dengan mengandalkan pukulan tangan kosongnya Barna
mencoba merangsak Parmin sekenanya, sehingga murid Ki Sapu Angin ini hanya
dengan menggeser-geser tubuhnya mengelak dari serangan itu. Hawa nafsu
membunuh yang menggebu-gebu telah menutup hati Barna sehingga setiap pukulan
yang dilancarkannya selalu mengenai tempat kosong. Pada satu kesempatan,
tiba-tiba Barna menjatuhkan dirinya untuk meraih golok panjangnya yang
tertancap di tanah tepat berada beberapa langkah didepannya. Tetapi usaha
itu kalah cepat karena Parmin sudah terlebih dahulu mengetahui siasat buruk
itu. Maka dengan satu gerakan cepat tubuhnya meloncat dan menginjak tangan
kanan Barna yang hendak menggapai senjatanya.
"Aaaaaow!" teriak Barna kesakitan. Tangan kanannya berderak remuk. Ia
menggeliat-geliat di tanah menahan sakit yang luar biasa sambil mengurut
tangannya. Sakit dan malu ia dipecundangi seperti itu, apalagi oleh orang
yang tak dikenalnya sama sekali.
Parmin menyaksikan Barna sambil tetap berdiri siap siaga. "Dosamu tidak
terlalu besar untuk kutangani! Kau hanya diperbudak oleh rasa dendam cinta!"
kata Parmin mengingatkan.
Sebenarnya ia merasa kasihan melihat pemuda segagah Barna berbuat pengecut
dalam persoalan cinta. Mungkin karena jiwa pemuda itu masih terlalu mentah
dan kebetulan pula mendapat seorang guru seperti Bergola Ijo. Parmin tak
perlu menyingkirkan Barna karena pemuda saingan Anwar ini tak terlibat dalam
permasalahan yang dilakukan Bergola Ijo akhir-akhir ini.
"Pulanglah! Sampaikan kepada gurumu bahwa aku menunggunya di tepi sungai
Pekik ini nanti malam! Jika dia benar-benar seorang jagoan, tentu akan
datang menyambut tantanganku!" perintah Parmin.
Barna diam saja dan dengan perlahan-lahan ia beringsut sambil tetap
memegangi tangan kanannya yang sudah lumpuh itu. Matanya menatap Parmin
sejenak seakan-akan ingin menyatakan rasa terimakasih kepada Parmin yang
membiarkan dirinya tetap hidup. Ia juga menoleh kepada Anwar yang berdiri di
samping Ratna seperti ingin mengucapkan perasaan bersalah dan minta maaf.
Namun kedua bibirnya terkatup rapat. Tetapi mereka mengerti.
Kemudian Barna berjalan terseok-seok sambil menundukkan kepalanya. Wajahnya
merah padam menahan malu dipecundangi oleh seorang musafir apalagi di
hadapan Ratna, gadis yang dicintainya selama ini.
Parmin memandangi punggung Barna sampai menghilang dari pandangannya. Ia
bersyukur dalam hati dapat membuat Barna menyadari kekeliruannya. Lalu ia
segera mendekati Anwar dan Ratna yang sedang bergandengan tangan dengan
mesra. Sepasang merpati itu mengangguk hormat kepada pemuda pendatang yang
telah menolong mereka. Parmin mengembangkan senyumnya menyapa mereka.
"Assalamualaikum! Anda berdua baik-baik saja, bukan?"
"Waalaiukum salam! Kami mengucapkan banyak terima kasih atas keringanan
tangan anda untuk menolong jiwa kami! Dan kami sangat mengagumi anda!" ucap
Anwar dengan bahasa pujian.
"Ah, itu adalah kewajiban kita menolong sesama manusia! Secara kebetulan
tadi aku lewat ke sini dan melihat anda berdua dalam keadaan terdesak oleh
berandal-berandal itu!" sahut Parmin merendah.
"Kami merasa senang jika anda sudi kiranya mampir ke pondok kami nanti!"
sambung Anwar dengan penuh harap.
"Insya Allah! Dan terima kasih atas undangan anda kepada musafir yang hina
seperti aku. Dan sudilah anda sampaikan salamku kepada Kiyai Subekti Achmad.
Aku sangat mengagumi perjuangan beliau! Sampai jumpa lagi!" kata Parmin
melesat hilang di balik semak-semak.
Dua sejoli itu saling berpandangan heran. Di dalam benak mereka penuh
dengan berbagai macam pertanyaan. Pemuda pengembara yang selama ini tak
menarik perhatiannya selama satu dua kali shalat berjamaah di masjid Gunung
Sembung justru sekarang sudi mengulurkan tangannya dan berhasil
menyelamatkan mereka berdua. Siapa dia sebenarnya? Dengan ilmu setinggi itu
siapakah gurunya? Untuk tujuan apakah dia mengembara sampai ke Gunung
Sembung ini? Rasanya mustahil kalau dia cuma hendak berziarah ke makam Sunan
Gunung Jati! Mereka berdua diam sejenak.
"Eh, dia menantang guru si Barna! Mungkin dia sengaja datang dari jauh
untuk menyelesaikan urusannya!" kata Ratna memecah suasana hening itu.
"Hm...boleh jadi! Tetapi siapakah guru silat si Barna itu?" tanya Anwar
sambil melemparkan pandangannya ke arah hamparan sawah-sawah di
depannya.
"Mungkin si Barna berguru di desa lain! Kalau dari permainan ilmu silatnya
tadi, tentu gurunya sendiri bukan orang sembarangan! Setidak-tidaknya ia
setingkat dengan ayahmu, Ratna!" ujar Anwar membuyarkan lamunan Ratna yang
diam terpaku. Agaknya ada sesuatu hal yang membuat kekasihnya melamun. Entah
apa, Anwar sendiri tidak tahu. Ia lalu menatap mata kekasihnya penuh
selidik.
"Eh...iya! Tak kusangka dia menaruh dendam kepadamu, Anwar!" sahut Ratna
berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Perasaan seorang gadis yang
tentunya bangga kalau dirinya sampai diperebutkan oleh pemuda-pemuda yang
gagah.
Kemudian Anwar menggandeng tangan kekasihnya dengan mesra kembali ke tempat
mereka tadi berteduh untuk meneruskan santapan siang. Tak terasa matahari
sudah berada tepat di atas kepala mereka di tengah-tengah lengkungan langit.
Sinarnya memancar sangat terik membuat tenggorokkan menjadi kering.
Ratna membenahi sisa makanan ke dalam bakulnya untuk segera pulang. Ia
ingin menceritakan seluruh kejadian tadi kepada ayahnya. Sedangkan Anwar
kembali menceburkan diri ke tengah sawah melanjutkan pekerjaannya mencangkul
sawah dengan penuh semangat sambil bersiul-siul kecil.
Sementara itu Parmin telah kembali ke masjid Gunung Sembung untuk
beristirahat dan melaksanakan shalat zuhur. Sepanjang perjalanan, hatinya
tergugah memikirkan kecantikan Ratna yang hampir mirip dengan raut wajah
Roijah kekasihnya. Dari mulai rambutnya yang panjang hitam legam sampai
bibirnya yang tipis merekah. Hanya ada perbedaannya tentu. Roijah adalah
seorang gadis yang penuh kelembutan, sedangkan Ratna agak bersifat
kelaki-lakian. Ingatannya kembali melayang pada peristiwa-peristiwa lalu
ketika saat pertama kali ia berjumpa dengan Roijah kekasihnya alias Si
Bajing Ireng. Pada waktu itu ia menolong Roijah yang sedang terancam jiwanya
di tangan pendekar botak yang berjulukan Dewa Suci Penyebar Bala. Pertemuan
yang singkat itu ternyata membuat hatinya terpateri kepada anak gadis kepala
desa Kandang Haur itu dan membuat dirinya tidak dapat mencintai gadis
lain.
Parmin tersenyum-senyum sendirian. Karena terbuai oleh lamunan indahnya,
tak terasa dirinya telah sampai di depan pintu gerbang masjid Gunung
Sembung. Parmin tersentak kaget lalu segera bergegas menuju ke serambi
masjid untuk mengambil air wudhu. Wajahnya terasa segar terkena siraman air
yang memancur dari guci keramik itu. Pikirannya kembali menjadi jernih. Di
dalam shalatnya ia berdoa mohon petunjuk dan kekuatan kepada Allah untuk
memusnahkan Sang Angkara Murka yang telah menyebarkan ajaran-ajaran kafir
dan telah menimbulkan serangkaian pembunuhan di kawasan Gunung Sembung dan
Gunung Jati. Dan seusai melalukan shalat zuhur, Parmin merebahkan dirinya
beristirahat untuk memulihkan tenaganya dalam menghadapi pertarungan nanti
malam.
***
Hari mulai malam. Bulan purnama memancarkan sinarnya yang keemasan
menerangi seluruh jagat raya. Sinarnya memantul ke permukaan air sungai
Pekik yang begitu tenang tak beriak, namun di balik ketenangan itu tersimpan
sesuatu misteri. Desiran angin berhembus pelan membuat suasana malam itu
semakin indah. Suara serangga-serangga malam berkumandang dengan riuhnya
berbaur dengan suara nyanyian kodok-kodok sawah yang bersahut-sahutan.
Gemerisik batang-batang padi yang saling bergesekan di tiup angin yang
kadang-kadang berhembus dengan kencang terdengar seperti iringan gamelan di
malam hari.
Tiba-tiba suara riuh serangga-serangga malam terhenti karena permukaan air
sungai Pekik yang tadinya tenang menghanyutkan seketika beriak-riak.
Terlihat menyembul berpuluh-puluh ekor buaya cukup besar, berjajar seperti
potongan balok-balok kayu yang mengapung-apung di permukaan air. Hanya
sepasang matanya saja yang memancarkan cahaya berwarna kuning terlihat jelas
sehingga dari jauh seolah-olah berpuluh-puluh kunang-kunang sedang
beterbangan di permukaan air sungai Pekik.
Pemandangan malam itu sesuai dengan satu bait syair lagu yang menyatakan,
"Terang bulan terang di kali, buaya timbul disangka mati."
Buaya-buaya itu benar-benar sedang menikmati keindahan sinar bulan purnama
yang memberikan rangsangan bagi mereka untuk melakukan perkawinan sehingga
mereka berperilaku sangat ganas. Dan malam itu merupakan malam yang sangat
indah bagi buaya-buaya penghuni sungai Pekik.
Sementara dari kejauhan terlihat sesosok tubuh berdiri tegak di tepian
sungai Pekik memandang lepas ke permukaan air yang mengalir beriak-riak
dihempas gerakan seekor buaya-buaya yang ada di dalamnya. Sebuah pohon yang
besar dan rindang dengan batangnya menjorok ke tengah-tengah sungai itu
melindungi dirinya dari pancaran bulan purnama. Ia adalah Parmin, seorang
musafir pembela kebenaran dan keadilan.
"Aku telah menunggunya di sini sejak tadi! Tetapi belum juga tampak batang
hidung manusia kafir itu! Kalau begitu ia memang benar-benar seorang
pengecut yang hanya berani membunuh dari belakang!" umpat orang-orang Parmin
dalam hati.
Tetapi matanya tetap memantau seluruh penjuru di sekitar sungai Pekik itu.
Tak berapa lama kemudian, di seberang sungai tempatnya berdiri terlihat
kelebatan sebuah bayangan hijau dan langsung berpijak di atas tanah dengan
mantap seperti sebuah meteor yang jatuh ke bumi. Biasan sinar hijau itu
masih dapat terlihat walaupun sumber cahayanya sudah sampai di tanah
menandakan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sudah
sempurna.
"Nah, itulah dia! Dan kuharap ini adalah malam yang terakhir aku menginap
di desa Gunung Sembung!" gumam Parmin menatap lurus-lurus ke seberang sungai
Pekik di mana Sang Bergola Ijo berdiri tegak sambil berkacak pinggang.
Tubuh orang itu terlihat dari jauh menyala-nyala seperti sebongkah bara api
berwarna hijau. Mereka berdua saling bertatapan tak bergerak sedikitpun.
Keduanya masing-masing memusatkan pikiran dan tenaganya. Tercipta suasana
yang hening tapi menegangkan. Masing-masing belum mau membuka
serangan.
Tiba-tiba terdengar suara berat parau menggelegar merobek-robek kesunyian
malam itu.
"Ha ha ha ha ha! Janganlah kau merasa bangga dapat mengalahkan muridku
Barna yang tolol itu, hai monyet kecil! Aku telah bertualang ke seluruh
benua Asia belum pernah kutemui manusia bermulut besar seperti kau!" teriak
Bergola Ijo dengan lantang. Suaranya menggetarkan pohon-pohon di sekitar
tempat itu.
Seketika juga suara nyanyian kodok-kodok di sawah terhenti. Daun-daun
kering berguguran dari cabangnya tak sanggup menahan getaran yang
ditimbulkan oleh suara itu. Betapa dasyat tenaga dalam yang dimiliki Bergola
Ijo. Gaungnya terasa menusuk-nusuk telinga Parmin. Tapi ia segera mengatur
nafasnya dengan cepat meredam kekuatan gaung itu. Matanya terpejam dengan
kedua telapak tangannya merapat keras di depan dada. Kepalanya agak
tertunduk. Tak lama kemudian Parmin kembali berdiri tegak dan membuka
matanya perlahan-lahan.
"Sejak lahir ke dunia akupun baru menemui seorang jin yang doyan makan nasi
seperti manusia! Aku kagum dengan segala tipu muslihatmu sebagai seorang
penjilat penjajah bangsaku, hai Tuhan gadungan yang gundul!" ledek Parmin
dengan sengit. "Dan jangan kau coba-coba melawan kekuasaan Ilahi! Lawanlah
aku, makhluknya terlebih dahulu!" lanjutnya menantang Bergola Ijo.
"Ha ha ha ha ha! Bacotmu ternyata sama lebarnya dengan moncong-moncong
buaya ini! Dan tahukah kau, bahwa sebentar lagi buaya-buaya ini akan
berpesta pora memperebutkan bangkaimu?" sahut Bergola Ijo menggelegar sambil
menunjuk-nunjuk buaya-buaya yang tetap mengambang tenang hilir mudik
berenang tanpa merasa terusik dengan kehadiran kedua pendekar yang saling
melancarkan perang saraf dari tepi sungai yang berlawanan.
Parmin membalas ancaman lawannya dengan sindiran yang tajam. "Bangkaiku
atau bangkai busukmu?"
Seketika wajah Bergola Ijo berubah menjadi merah menyala, matanya nanar.
Tangan kanannya yang bersenjatakan sebuah pengait bergetar hebat. Giginya
yang besar-besar bergemeretuk keras. Dan secara tiba-tiba dengan satu
teriakan yang melengking melumpuhkan urat-urat saraf dan memekakan telinga
bagi yang mendengarnya, melompat ke tengah-tengah sungai Pekik untuk
menerjang Parmin. Tubuhnya besar dan tinggi itu meluncur cepat menggunakan
punggung buaya-buaya itu sebagai batu-batu loncatan untuk menyeberang.
Tangan kirinya menyiku di dada dan tangan kanannya yang bersenjata pengait
mengacung tinggi siap merobek-robek tubuh lawannya.
Parmin menahan nafas siap dengan jurus silatnya. Bergola Ijo membabatkan
senjatanya sekuat tenaga ke arah leher Parmin yang secara bersamaan
melenting ke atas untuk mengelak sehingga senjata Bergola Ijo hanya mengenai
batang pohon di belakang Parmin dan merobek kulit batang pohon
tersebut.
Parmin melejit sambil bersalto ke udara ke tengah-tengah sungai Pekik.
Sebelum kakinya menginjak di punggung salah satu buaya Bergola Ijo kembali
menyerangnya dengan ganas sambil mengayun-ayunkan senjatanya. Ia segera
melesat lagi sambil mencabut goloknya yang terselip di pinggangnya untuk
menangkis kilatan senjata lawannya yang bertubi-tubi mencerca
tubuhnya.
"Trang!" terdengar suara nyaring berdenting dari dua buah senjata logam
yang berisi dengan tenaga dalam masing-masing. Akibatnya mereka berdua
terjungkal dan secara berbarengan membuat gerakan salto ke belakang
mengimbangi tubuh agar tidak jatuh ke sungai kembali ke tempatnya semula
berseberangan.
Masing-masing menapakkan kakinya dengan menatap di tanah. Bergola Ijo
memasang jurus-jurusnya lebih handal dan sementara Parmin di seberangnya
sedang memasang kuda-kuda sambil memutar-mutarkan goloknya. Mereka
menghimpun tenaga dalam. Lalu keduanya melesat bersamaan ke tengah-tengah
dan seketika terjadi bentrokan di udara disusul dengan terdengarnya bunyi
berdenting dua senjata tajam yang berbenturan menimbulkan percikan
bunga-bunga api. Tubuh keduanya melesat ke di atas punggung buaya. Dari sela
bibir mereka meleleh darah segar. Tenaga dalam mereka ternyata setara.
Sementara dari jauh di balik semak-semak mengintai sepasang mata liar
menyaksikan pertarungan itu. Berkali-kali ia berdecak kagum terhadap kedua
pendekar itu. Sekali-sekali ia meringis kesakitan karena udara yang bertiup
malam itu sangat dingin menusuk-nusuk luka yang dideritanya. Pergelangan
tangan kanannya terlihat di keremangan sinar bulan, agak kehitaman-hitaman
seperti dilumuri oleh ramuan obat-obatan. Ia adalah Barna murid Sang Bergola
Ijo.
Telah berpuluh-puluh jurus mereka sudah kerahkan dalam pertarungan itu
tetapi masing-masing belum berhasil mendesak lawannya. Tubuh keduanya basah
bermandikan keringat. Mereka masih seimbang. Sekarang keduanya telah berdiri
tegak berseberangan. Bergola Ijo mengangkat senjata ke atas kepalanya
perlahan-lahan sambil menggeram dengan tangan kirinya menyiku di depan
dadanya. Sedangkan Parmin memusatkan pikirannya untuk mengerahkan jurus
andalannya yakni jurus "Hening Cipta" dengan golok yang menyilang di
dadanya. Matanya terpejam.
Sesaat kemudian mereka berdua melesat berbarengan ke tengah-tengah sungai
dan bentrok di udara. Maka pada kesempatan itulah saat yang paling baik
untuk membabatkan senjatanya masing-masing.
"Hiyaaat...!"
Teriak keduanya menggema ke seluruh tempat itu. Tiba-tiba terdengar jerit
yang menyeramkan dari sosok tubuh tinggi besar berwarna hijau yang meluncur
ke permukaan sungai Pekik.
"Aaaaaaa...!"
Air sungai Pekik memercik tinggi ke udara tatkala tubuh Bergola Ijo amblas
ke dalamnya, yang langsung disambut oleh para penghuni sungai tersebut.
Terdengar bunyi gemeretak taring-taring tajam buaya mencabik-cabik tubuh itu
dengan buas menimbulkan riakan air yang seketika menjadi merah. Dalam
sekejap tubuh Bergola Ijo lenyap berkeping-keping masuk ke dalam perut
buaya-buaya sungai Pekik yang selalu tidak pernah merasa kenyang.
Tak lama kemudian permukaan air sungai itu kembali tenang seperti sedia
kala dan Parmin menjejakkan kakinya dengan mantap di tepi sungai sambil
menyarungkan goloknya yang berlumuran darah Bergola Ijo. Rupanya pada saat
keduanya perpapasan di udara tadi, golok Parmin terlebih dulu bersarang dan
membabat perut Bergola Ijo hingga seluruh isi perutnya terburai keluar tanpa
sempat mengadakan serangan balasan.
"Alhamdulillah! Akhirnya aku berhasil memusnahkan setan laknat itu!" ucap
Parmin sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangannya merasa
bersyukur.
Tiba-tiba ia tersentak kaget mendengar suara manusia berkata pelan memecah
keheningan.
"Allahu Akbar! Tuhan telah menumpas orang-orang kafir dan murtad melalui
perantara seorang musafir muda yang gagah perkasa. Kami mengucapkan syukur
yang sebesar-besarnya kepadamu, ya Allah!! Amin Ya Robal Alamin!"
Parmin menoleh mencari datangnya suara itu. Ternyata di belakangnya telah
berdiri Kiyai Subekti Achmad beserta para ulama lainnya yang menatapnya
dengan penuh rasa kagum dan suka-cita. Wajah mereka penuh keceriaan.
Kemudian Kiyai Subekti Achmad melangkah ke depan dan berdiri berhadapan
dengan Parmin. Sepasang bola matanya berkaca-kaca.
"Ternyata mata tuaku yang sudah rabun ini tak menduga adanya penipuan yang
direncanakan untuk menghancurkan keyakinan terhadap ajaran Allah, yang
terjadi di sekitarku! Kini kami tahu semua persoalan ini dan kami telah
menyaksikan pertarungan dahsyat tadi! Kami sangat berterima kasih dan
mengagumimu, pendekar muda!" kata Kiyai Subekti sambil memeluk tubuh Parmin
erat-erat, airmatanya berlinang mengalir di pipinya dan jatuh menetes di
bahu Parmin yang juga turut merasa haru.
Kiyai Subekti lalu melepaskan pelukannya dan kembali menatap seluruh wajah
Parmin dalam-dalam. Senyumnya mengembang sambil meremas bahu murid Ki Sapu
Angin itu kuat-kuat. Parmin merasa risih di perlakukan terlalu istimewa oleh
Kiyai Subekti Achmad, seorang ulama besar yang terkenal ke seluruh pelosok
tanah Cirebon.
Kemudian para ulama lainnya secara bergantian memeluk Parmin mengucapkan
selamat dan turut berbangga atas kemenangan yang besar itu.
Sementara awan di langit mulai bergerak sehingga bulan tampak timbul
tenggelam di angkasa. Disusul dengan tiupan angin yang berhembus kencang
menyapu daerah itu seakan-akan turut mengucapkan selamat kepada Parmin
dengan tertumpasnya Sang Angkara Murka. Lalu mereka berjalan beriringan
meninggalkan tempat itu menuju ke tempat kediaman Kiyai Subekti Achmad,
sebuah madrasah yang telah kesohor di seluruh pelosok tanah Cirebon dan
seantero tanah Pasundan.
Hati mereka terasa lega karena salah satu rintangan yang menghalangi
perjuangan agama Islam telah musnah.
Di lain tempat tak jauh dari tempat itu, muncul dari balik semaksemak
seorang pemuda menatap mereka sampai menghilang di kegelapan malam.
Perlahan-lahan Barna mengayunkan langkahnya menuju ketepi sungai Pekik. Ia
berdiri tegak memandang tempat di mana guru Bergola Ijo tewas di makan
buaya-buaya sungai Pekik, matanya terus memandangi air sungai itu dengan
nanar. Tak terasa air matanya meleleh jatuh menetes ke atas tanah. Ia merasa
kehilangan orang yang membimbingnya hidup walaupun gurunya merupakan musuh
bagi para ulama di daerah Gunung Sembung dan Gunung Jati. Tubuhnya bergetar
hebat. Di dalam hatinya mengalir darah dendam kepada Parmin. Ia bersumpah di
depan sungai Pekik, pada suatu saat membalas sakit hati dan kematian gurunya
terhadap murid Ki Sapu Angin. Dendam yang sangat besar yang tengah
berkecamuk di dalam dirinya membuat rasa sakit di pergelangan tangan
kanannya seketika hilang tak berbekas.
Setelah cukup lama Barna berdiam diri sambil memandang lepas ke
tengah-tengah sungai Pekik, perlahan-lahan langkahnya mengayun meninggalkan
tempat itu pergi entah kemana. Seiring dengan suara adzan yang berkumandang
dari masjid Gunung Sembung menggema ke seluruh pelosok.
Keesokkan harinya, Kiyai Subekti Achmad beserta para alim ulama lainnya dan
sejumlah penduduk desa Gunung Sembung, mengadakan acara sederhana sebagai
tanda syukur atas kemenangan umat Islam dalam menghadapi kekuatan Sang
Kafir. Di dalam ruangan madrasah ditengah-tengah mereka, terhidang nasi
tumpeng lengkap dengan segala lauk-pauknya dan kue-kue khas daerah itu.
Parmin duduk bersebelahan dengan Kiyai Subekti Achmad sebagai tamu
terhormat. Sebenarnya ia malu diperlakukan seperti itu, tapi demi
menghormati Kiyai Subekti terpaksa ia lakukan semua itu.
Tiba-tiba suasana dalam madrasah yang tadinya agak riuh, berubah menjadi
hening ketika Kiyai Subekti Achmad terbatuk-batuk memulai acara tersebut.
"Kami sebagai orang tertua di Gunung Sembung ini menyatakan penghargaan
setinggi-tingginya atas jasa-jasa anda sekalian dalam perjuangan agama
Islam! Terutama kepada Parmin sebagai wakil dari kaum muda pendekar bangsa
yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap agama, bangsa dan tanah
air tercinta! Maka dengan ini perkenankanlah kami memberikan gelar atau nama
kependekaran baginya yakni JAKA SEMBUNG!" kata Kiyai Subekti Achmad penuh
semangat.
Ia lalu memerintahkan seorang ulama untuk membawakan sebuah kotak kayu jati
yang berukir ke hadapannya. Kiyai Subekti perlahan-lahan membuka kotak itu
dan mengambil sebuah kalung yang terletak di dalamnya, lantas berdiri
diikuti oleh para ulama lainnya dan sejumlah penduduk menyaksikan Kiyai
Subekti yang tengah berhadapan dengan Parmin.
"Dan terimalah kalung yang bertuliskan kalimat syahadat ini sebagai tanda
kenangan dari kami. Kalung ini adalah harta yang paling berharga yang kami
punyai! Dahulu kalung ini adalah hadiah dari Sunan Gunung Jati kepada
kakekku karena jasa beliau dalam penyebaran agama Islam!" kata Kiyai Subekti
Achmad sambil menyematkan kalung itu di leher Parmin yang tak kuasa
menolaknya.
Peristiwa itu terasa sangat sakral. Kemudian Kiyai Subekti memeluk Parmin
erat-erat diikuti oleh para ulama lainnya yang hadir di sana. Dan acara
selanjutnya ditutup dengan pembacaan doa oleh salah seorang ulama penuh
kekusukan.
Selesai memanjatkan doa, secara serempak mereka menyantap hidangan yang
tersedia sambil berbincang-bincang penuh suka-cita. Suasana gembira
menyelimuti madrasah Kiyai Subekti Achmad. Dan pada hari itu juga rakyat
desa Gunung Sembung mengantarkan kepergian Parmin yang sekarang bergelar
Jaka Sembung dengan penuh keharuan yang mendalam. Mereka berbondong-bondong
melepas Jaka Sembung sampai di perbatasan desa. Banyak di antara mereka yang
mengucurkan air mata menghadapi perpisahan tersebut, tak terkecuali Ratna
puteri tunggal Kiyai Subekti Achmad. Gadis pendekar yang cantik itu mengusap
air matanya dengan sehelai sapu tangan. Sementara pemuda idamannya berdiri
di sampingnya memandang kepergian Parmin sampai menghilang di balik
pepohonan di kelokan jalan.
"Dia layak mendapat penghargaan dan nama julukan Jaka Sembung itu!" ujar
Anwar memancing perasaan Ratna.
"Ya, dia seorang pemuda yang gagah perkasa. Kita sangat merasa kehilangan
atas kepergiannya. Andai saja agak lebih lama dia menetap bersama kita..."
jawab Ratna tertahan.
"Kita...?" tukas Anwar dengan nada agak cemburu. Agaknya kehadiran Parmin,
murid tunggal Ki Sapu Angin di Gunung Sembung, diam-diam membuat murid Kiyai
Subekti itu merasa takut kekasihnya sampai jatuh hati.
"Ya, kita! Aku, kau dan seluruh masyarakat di daerah Gunung Jati dan Gunung
Sembung ini!" jawab Ratna mengejutkan lamunan Anwar.
"Bukan kau?" kembali Anwar bertanya karena penasaran.
"Heh, kau tak usah cemburu, sayang! Parmin bukan jenis pemuda mata
keranjang yang tega merebut kekasih temannya sendiri dan kalau memang aku
menyukai dia, aku juga tidak mau bertepuk sebelah tangan!" jawab Ratna
menggoda.
Sementara Kiyai Subekti Achmad beserta para ulama lainnya telah kembali ke
tempat tinggalnya masing-masing. Demikian juga dengan para penduduk desa
Gunung Sembung. Anwar dan Ratna masih berdiri di antara yang mulai
melangkah. Orang-orang pulang satu-persatu. Agaknya perpisahan itu
menimbulkan hikmah yang sangat besar di antara mereka.
SEKIAN
Emoticon