Dengan tergopoh-gopoh Elang Sutawinata dalang ke pendopo di mana Sultan
Kanoman telah menunggu dengan wajah bingung atas kejadian yang baru saja
dialaminya.
“Ampun kanjeng Ratu, ada apakah gerangan hamba diminta menghadap Kanjeng
Tuanku?” tanya Elang Sutawinata setelah menyembah hormat pada saudara tua
yang juga sekaligus merupakan iparnya itu.
“Elang Sutawinata! Saat ini penjajah Kumpeni Belanda meminta kita untuk
membayar pajak atas tanah keraton ini. Bagaimanakah pendapatmu?” tanya
Sultan Kanoman Raden Agung Anom Wicaksana itu.
Elang Sutawinata tidak langsung menjawab, keningnya berkerut tanda ia
sedang berfikir keras. Hatinya terbakar setelah mendengar betapa kurang
ajarnya pihak Kumpeni Belanda yang telah lancang hendak memungut pajak atas
tanah keraton yang merupakan lambang kebanggaan leluhur itu.
“Ampun Kanjeng Ratu, menurut pendapat hamba lebih baik paduka jangan
menuruti kehendak penjajah Kumpeni Belanda, dan lebih baik kita diamkan saja
karena tanah keraton ini merupakan lambang kedaulatan kita sebagai bangsa
yang mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri!” jawab Elang Sutawinata
tegas.
“Bagaimana kalau penjajah Belanda dalang menyerang keraton?” tanya Sultan
Kanoman kembali dengan gigi gemeretak menahan amarah.
“Kita lawan penjajah Belanda itu dan minta bantuan pada Kanjeng Sultan
Kasepuhan,” jawab Elang Sutawinata dengan cepat, ia memang belum mengetahui
adanya perbedaan paham yang meruncing antara kedua orang Sultan di daerah
Cirebon tersebut.
Mendengar jawaban Elang Sutawinata sebagai penasehat keraton, wajah Sultan
Kanoman menjadi merah padam. Ia menjadi sangat gusar karenanya. Ternyata
saran dari penasehat utamanya itu justru sependapat dengan Sultan
Kasepuhan.
Hal ini telah membuat Sultan Kanoman menjadi marah bukan kepalang. Elang
Sutawinata sama sekali tak mengetahui hal ini, karenanya ia hanya bisa
memandang tak mengerti saja ketika Sultan Kanoman tiba-tiba meledak marah
terhadapnya.
“Kau sama tololnya dengan Kangmas Kasepuhan! Mulai detik ini juga keluarlah
kau dari tempat ini dan jangan pernah injak tanah keraton ini lagi! Cepat
enyah dan pergi!!!” bentak Sultan Kanoman histeris sambil bertolak pinggang
sambil membuang muka.
“Ampunilah kebodohan hamba, kanjeng Ratu,” kata Elang Sutawinata lirih
dengan wajah tertunduk lesu. Ia tahu betul watak kakak iparnya itu yang tak
pernah mau dibantah.
“Tidak! Tidaaakk.......! Kataku pergi, pergi! Aku sudah muak melihat
wajahmu!” lanjut Sultan Kanoman sambil membelakangi Elang Sutawinata.
Tanpa berkata apa-apa lagi. Elang Sutawinata lalu melangkah gontai
meninggalkan ruangan keraton untuk kembali ke rumahnya. Tinggallah Sultan
Kanoman seorang diri sambil menahan marah dan bingung atas apa yang harus
dilakukannya setelah itu.
Sesampai di rumah, Elang Sutawinata menjumpai istrinya yang sudah menunggu
dengan tatapan mata yang sayu dan hati penuh tanda tanya apakah gerangan
yang telah terjadi pada diri suaminya itu.
Dilihatnya suasana wajah suaminya sangatlah muram dan bertolak belakang
dengan keadaannya kemarin malam.
“Kangmas, apakah yang telah terjadi pada dirimu? Wajahmu tampak muram dan
bersedih,” kata istri Elang Sutawinata sambil menyambut kedatangan
suaminya.
Elang Sutawinata tidak langsung menjawab pertanyaan istrinya, ia hanya diam
tak berkata sepatah pun. Dipeluknya leher istrinya dengan penuh perasaan
haru sehingga debaran dadanya dapat dirasakan oleh Purnamasari, istrinya.
Setelah dapat menenangkan hatinya, barulah Elang Sutawinata dapat
menceritakan kemalangan yang baru saja dialaminya.
“Oh, Kangmas. Kenapa nasib kita jadi begini.......” lirih istrinya berkata
sambil menyandarkan kepalanya di dada Elang Sutawinata. Ia mulai menangis
sesenggukan, sementara Elang Sutawinata dengan penuh kasih sayang membelai
kepala istrinya.
Demikianlah mereka sebagai suami istri hidup dengan penuh saling pengertian
dan saling membagi perasaan. Memang demikianlah semestinya hidup bersuami
istri di mana keterbukaan menjadi faktor yang menentukan bagi kelanggengan
hidup suami istri.
Saling berbagi rasa dan saling menjaga perasaan masing-masing. Setiap pihak
berlaku jujur kepada pasangannya dalam keadaan suka maupun duka.
“Sudahlah, Diajeng,” kata Elang Sutawinata berusaha menenangkan hati
istrinya. “Tak ada yang perlu disesalkan lagi, barangkali memang demikianlah
takdir bagi kita.”
“Apakah Kanjeng Ratu Sultan Kanoman tak mungkin memaafkan dirimu. Kangmas?”
tanya istrinya penasaran di sela isak tangisnya.
“Tidak, Diajeng. Kanjeng Sultan berhati keras, dan kata-katanya tak mungkin
dicabut kembali. Kata-katanya adalah undang-undang, setiap kata-katanya tak
bisa dibantah dan digugat,” suaminya menjelaskan pada istrinya.
“Sudahlah, Diajeng. Mari kita berkemas-kemas sekarang sebelum Kanjeng
Sultan marah untuk kedua kalinya. Justru lebih parah lagi keadaannya bila
hal itu terjadi,” tegas Elang Sutawinata.
Suami istri itu kemudian berkemas-kemas untuk mengumpulkan barang-barang
yang bekal mereka perlukan dalam pengasingan tersebut.
Hari pun telah berganti malam, bulan telah muncul walau masih setengah
ditutupi oleh awan gelap yang seakan-akan turut bersedih dengan keluarga
yang sedang tertimpa musibah tersebut. Elang Sutawinata dan istri bersama
anaknya yang baru berumur dua tahun meninggalkan keraton Kanoman diam-diam
dengan perasaan sedih yang tak terkira.
Dengan seekor kuda dan perbekalan yang diperlukan, mereka memulai
perjalanan yang belum diketahui arah dan tujuannya. Elang Sutawinata
menuntun kuda yang membawa istri dan anaknya. Mereka berjalan gontai dengan
hati pilu dan resah.
Mereka terus berjalan meninggalkan perbatasan keraton Kanoman dan terus
menyusuri jalan yang ada di depan mereka. Bila malam tiba, mereka menginap
dan beristirahat di rumah-rumah yang dijumpai serta bersedia menerima mereka
menginap di situ.
Jika fajar kembali menyingsing, mereka kembali melanjutkan pengembaraan
yang tanpa tujuan, berjalan dan berjalan ke arah Selatan. Hari demi hari,
Minggu demi Minggu mereka terus berjalan, keluar dan masuk kampung menuruti
ke mana langkah kaki membawa mereka.
Akhirnya dengan tak terasa mereka telah sampai di kaki gunung Ciremai yang
berhawa sejuk dengan keindahan alam yang belum terjamah oleh tangan
manusia.
“Akan ke manakah kita, Kangmas?” tanya istri yang masih tetap setia
bertekad akan mengikuti suaminya tercinta. “Apakah kau tidak lelah.
Kangmas?”
Betapa terharunya hati Elang Sutawinata demi mendengar perkataan istrinya
yang masih memperhatikan suaminya walaupun keadaan dirinya sendiri lebih
payah. Sebagai wanita, tentunya Ajeng Purnamasari memiliki kekuatan
terbatas, berbeda dengan Elang Sutawinata.
“Entahlah. Diajeng. Mungkin di puncak Ciremai sana kita bisa memulai hidup
yang tentram,” sahut Elang Sutawinata sambil tangannya menunjuk ke arah
puncak Ciremai yang berdiri kokoh di depan mereka.
“Kangmas, marilah kita beristirahat dulu di bawah pohon itu,” ajak
istrinya. Peluh mulai deras mengalir di kening istri tercintanya.
“Baiklah, Diajeng. Aku pun sudah merasa lelah,” jawab Elang Sutawinata
sambil menuntun kudanya menuju pohon yang rindang di depan mereka.
Keluarga itu lalu berhenti di bawah sebuah pohon yang rindang. Elang
Sutawinata lalu menurunkan anaknya dari gendongan istrinya. Setelah itu
barulah ia membimbing Ajeng Purnamasari dari atas kudanya.
Mereka lalu bersandar di batang pohon itu untuk melepas lelah dengan
pandangan kosong menatap jauh ke puncak gunung Ciremai. Sebersit harapan
yang belum jelas segera membayang.
Suami istri itu lalu membuka bungkusan makanan yang mereka bawa untuk
dicicipi sedikit. Setelah memakan sedikit bekal untuk mengisi perut, mereka
segera membungkus kembali makanan itu untuk bekal di perjalanan
selanjutnya.
Ajeng Purnamasari lalu meraih si kecil yang masih berada dalam gendongan
ayahnya. Si kecil yang diberi nama Parmin itu memang masih belum mengerti
apa-apa. Ia tertidur begitu tenang seolah-olah tak ada persoalan apa pun
bagi dirinya. Kini ia tertidur di pangkuan ibunya dengan damai.
Setelah cukup lama beristirahat, Elang Sutawinata lalu mengajak istrinya
untuk kembali melanjutkan perjalanan. Dengan keyakinan dan doa memohon
perlindunganNya, kedua suami istri yang saling setia itu kembali melanjutkan
perjalanannya untuk mencapai puncak Ciremai yang menjanjikan sedikit harapan
untuk dapat hidup tentram dan damai, jauh dari segala persoalan
manusia.
***
5
Di sebuah hutan yang sangat lebat dan angker, yaitu hutan Geger Pati
terdapat segerombolan perampok yang dipimpin oleh seorang bertubuh tinggi
besar dan kasar. Kumis dan brewoknya tumbuh lebat menutupi sebagian besar
wajahnya.
Tindakan pemimpin gerombolan perampok sangat ganas dan kejam. Tak ada satu
pun anak buahnya yang berani melawan maupun membantah bila diperintah oleh
sang pemimpin. Sepak terjangnya sungguh tak pandang bulu, siapa saja yang
berani melawannya akan dihabisi segera nyawanya tanpa perduli perempuan
maupun anak-anak.
Dengan tubuhnya yang tinggi besar dan kasar serta wajahnya yang seram ia
menjuluki dirinya sendiri Gembong Kuning Pencabut Nyawa.
Di dalam hutan tersebut terdapat sebuah goa tempat para begundal di bawah
pimpinan Gembong Kuning. Dari dalam goa tersebut terdengar gelak tawa yang
tak henti-hentinya.
Kiranya kawanan perampok itu sedang berpesta pora merayakan keberhasilan
mereka setelah beraksi menggondol harta milik saudagar dari desa Lambu
Karang, sebelah Utara hutan Geger Pati itu. Bau minuman keras berbaur dengan
wangi hidangan yang sedang mereka santap.
Di dalam goa sang pemimpin rampok itu sedang menenggak tuak dan membuang
kendi yang sudah kosong. Ia berdiri bertolak pinggang sambil tertawa keras
terbahak- bahak sambil membentak-bentak.
“Ha ha ha....... Japra! Tambah lagi tuakku ini!”
“Baik....... baik tuanku!” jawab Japra cepat. Ia segera bergerak dengan
cepat mengambil apa yang diinginkan oleh majikannya. Sebuah guci besar
berisi tuak segera diserahkannya pada Gembong Kuning.
Tiba-tiba Gembong Kuning berdiri dan tertawa terbahak-bahak dengan
kerasnya. Suaranya menggema ke seluruh sudut ruangan goa dan memekakkan
telinga anak buahnya yang sedang berpesta. Kegembiraan itu terhenti sejenak
karena suara sang Gembong yang mengandung tenaga dalam itu telah memotong
suasana. Ia terus tertawa tiada henti.
Suara Gembong Kuning terus membahana, melengking tinggi menyengat telinga
anak buahnya yang mendengar suara tertawa tersebut. Beberapa anak buahnya
yang tidak memiliki kepandaian apa-apa, kecuali tenaga kasar saja lantas
menggelosor ke lantai tanpa daya.
Sebagian lagi berusaha bertahan dengan menekap telinganya rapat-rapat.
Akibat suara tertawa Gembong Kuning sungguh dahsyat bagi anak buahnya.
Mereka yang tak sanggup mendengarnya langsung jatuh pingsan, sebagian lagi
berteriak-teriak berusaha mengatasi suara tersebut.
Beberapa orang tampak mulai mengeluarkan darah dari telinga dan
hidungnya.
“Aduuuh, toloooooong.......!!”
“Kupingku copot, auuuwwww.......!”
“Ampuuunn, guuusttiiii.......!” jerit si Pincang sambil berguling-gulingan
tanpa memperdulikan lagi kakinya yang pincang.
“Aku tidak tahaaan, hentikkaann…...!” si Picak terkencing-kencing,
sementara telinganya telah mengeluarkan darah tanpa bisa dihentikan.
Suasana di dalam goa menjadi hiruk pikuk dengan jeritan di sana sini,
sementara tubuh mereka lantas menerjang ke sana ke mari dalam upaya
mengatasi rasa sakit dan nyeri karena pengaruh suara yang menghantam
pendengaran mereka tanpa ampun.
Suara kendi-kendi tuak yang jatuh ke tanah, meja-meja yang porak poranda
menambah tidak keruan keadaan. Di sudut kanan goa sudah terlihat lima orang
bertumpang tindih satu dan lainnya dengan hidung dan telinga mengucurkan
darah menahan rasa sakit yang tak terhingga. Di sudut lain yang hanya
diterangi sebuah obor terlihat meja dan kursi serta kendi-kendi tuak sudah
berserakan di lantai dengan orang-orang yang menggelepar gelepar seperti
ikan mabok.
“Maaak, tolooong.......!” suara si Codet meraung-raung berusaha menahan
rasa sakit. Tubuhnya telah beberapa kali menimpa tubuh temannya.
“Hentikaaan....... Aku tak tahaaan.......!” si botak telah meggeliat-geliat
di tanah tak kuat menahan siksaan itu.
Beberapa saat keadaan di dalam goa itu sudah tidak menentu. Kegembiraan
yang semula mereka rasakan sebelumnya, kini menjadi kacau balau setelah
mendengar suara tertawa yang mengandung tenaga dalam begitu tinggi sehingga
melumpuhkan urat syaraf mereka yang mendengarkannya.
Setelah merasa puas mempermainkan anak buahnya. Gembong Kuning segera
menghentikan tawanya dan terdiam sejenak sambil menenggak tuak
sepuas-puasnya.
Dengan berhentinya tawa sang Gembong, berhenti pula siksaan yang mendera
anak buahnya. Teriakan serta jeritan mereka berhenti seketika. Sebagian
besar di antara mereka sudah berada dalam keadaan tak sadarkan diri.
Sebagian lagi berupaya mengembalikan tenaga mereka dengan berbagai
cara.
Beberapa lama kemudian, suasana sudah kembali seperti semula. Mereka
kembali hanyut dengan suasana pesta pora yang sangat meriah, penuh gelak
tawa yang tak berkesudahan. Sepertinya mereka telah melupakan kejadian yang
baru saja mereka alami.
Guci-guci tuak dan kendi-kendi arak telah kembali dikeluarkan. Berbagai
hidangan pun segera disajikan, mereka segera melahapnya dengan penuh nafsu
seperti tak pernah makan sebelumnya.
“Tambah lagi hidangannya!” teriak beberapa orang hampir bersamaan dengan
suara sangat keras.
“Jangan lupa tuaknya!” terdengar suara dari sudut kiri goa yang diterangi
oleh pelita yang terbuat dari minyak jarak, namun mampu menerangi seluruh
isi goa.
“Keluarkan daging kambingnya!” si Buntung tak mau kalah berteriak dari yang
lainnya.
“Jangan lupa penghiburnya!” Lodra ikut berteriak.
Para pelayan itu adalah tawanan yang dijadikan budak dengan tergopoh-gopoh
menyiapkan semua permintaan mereka dengan segera. Budak-budak yang terdiri
dari wanita-wanita cantik itu dengan sangat terpaksa menyediakan makanan dan
minuman kepada para begundal yang berteriak-teriak itu. Mereka pun tak dapat
menghindari tangan-tangan usil mereka.
“Ayo, manis. Temani Kangmas saja di sini!” kata si pitak kepada seorang
pelayan yang lewat di depannya.
“Dengan aku saja tidurnya, ya, manis,” si Bopeng pun tak mau kalah sambil
memegang pipi pelayan yang sedang membungkuk di depannya.
“Aku mau kelonan sama kamu, neng,” sergah si Sumbing sambil meraba budak di
depannya.
Selagi mereka asyik dengan wanita-wanita itu sambil menikmati hidangan
serta minuman keras di hadapan mereka, tiba-tiba terdengar kembali suara
menggeledek yang membuat mereka terpaksa menghentikan tindakannya. Suasana
segera menjadi sunyi seketika.
“Hei, anak buahku! Lihatlah ke mari semuanya!”
Gembong Kuning kembali mengejutkan anak buahnya dengan teriakannya itu.
Mereka menoleh secara bersamaan ke arah suara yang baru datang itu.
Para begundal itu melihat Gembong Kuning berdiri dengan seguci tuak di
tangannya. Diminumnya tuak tersebut langsung dari mulut guci. Untuk sesaat
ia berkumur-kumur, lalu disemburkannya tuak dari dalam mulutnya ke udara.
Sungguh mengagumkan.
Dengan meng gunakan tenaga panas dari dalam tubuhnya. Gembong Kuning telah
menjadikan tuak yang tersembur dari mulutnya itu menjadi api yang
berkobar-kobar sehingga seluruh ruangan goa tersebut menjadi terang
benderang. Kiranya Gembong Kuning kembali memamerkan keahliannya di hadapan
anak buahnya.
Para begundal itu memandangi dengan perasaan kagum, takut, dan juga bangga
terhadap pemimpin mereka. Setelah puas dengan permainannya. Gembong Kuning
kembali berteriak.
“Ayo, anak-anak! Kita rayakan pesta ini sampai pagi!”
Mendengar aba-aba dari sang pemimpin, anak buahnya segera menyambut dengan
teriak-teriakan riuh bersemangat.
“Hidup Gembong Kuning!” teriak si Picak bersemangat.
“Hidup sang pemimpin!” sahut yang lainnya.
“Gembong Kuning tetap jaya!” teriak si Pincang bersemangat sambil menenggak
tuaknya. Ia lupa pada luka di telinganya yang masih mengeluarkan
darah.
Teriakannya segera disambut oleh teman-temannya dengan bersemangat. Mereka
berjingkrak-jingkrak tak keruan seperti orang kehilangan akal sehat.
“Hidup! Hidup! Hidup! Horreeee....... Horrreeee.......!”
Sorak sorai mereka bertambah riuh ketika melihat Gembong Kuning
melambai-lambaikan tangannya menambah semangat.
Sambil menenggak tuak tangan kanan Gembong Kuning mengeloni seorang wanita
cantik yang berada dalam pelukannya. Wanita itu tampak meringis kesakitan
dan juga ketakutan, tetapi ia sama sekali tak berdaya apa-apa.
Melihat kelakuan sang pemimpin, yang kini bertambah gila, anak buahnya ikut
mencontohnya.
Mereka segera meraih budak terdekat. Sungguh malang nasib wanita-wanita
tawanan yang dijadikan budak tersebut. Mereka hanya bisa meronta-ronta dan
berteriak-teriak diperlakukan seperti binatang.
Sementara di tengah maksiat yang tengah berlangsung di ruangan goa itu, ada
sebuah ruangan khusus tertutup di balik dinding goa yang memang disediakan
Gembong Kuning untuk suatu acara khusus yang sengaja ia persiapkan untuk
menyenangkan hati anak buahnya.
Tiga orang wanita penghibur tampak berbincang-bincang dengan genit di
ruangan itu. Wajah yang telah dipoles dengan bedak dan gincu yang tebal
menambah seronok penampilan mereka.
Ketiga wanita itu bertubuh montok yang mampu merontokkan iman lelaki yang
melihatnya. Masing-masing menggunakan kain penutup dengan warna yang
khas.
Salah satu di antara mereka bernama Jamilah. Ia mengenakan kain berwarna
merah menyala. Satunya lagi mengenakan kain berwarna kuning dengan tali
melilit di pinggangnya. Alis matanya dicukur membentuk garis tipis
memanjang. Pinggulnya ramping dengan pinggang yang melebar ke bawah,
kulitnya kuning langsat. Ia bernama Lastri Sari.
Wanita satunya lagi punggungnya bongkok udang. Namanya adalah Anggun Puspa.
Betisnya indah seperti padi bunting, dengan kuku-kuku kaki yang panjang dan
diberi pewarna merah. Rambutnya terurai sebatas pinggang. Seperti kedua
wanita penghibur lainnya, ia pun hanya mengenakan kain berwarna merah
menyala.
Ketiga wanita itu sedang berbincang-bincang tentang apa saja yang akan
mereka lakukan di hadapan begundal-begundal anak buah Gembong Kuning. Mereka
cekikikan sendiri membayangkan apa yang akan mereka lakukan nanti.
“Akan kubuat mereka sampai ileran melihatku,” kata Lastri Sari.
“Kalau aku tak akan memberikan kesempatan untuk mereka bernafas,” sahut
Jamilah tak mau kalah.
“Aku akan bikin mereka menggelosor.” sahut Anggun Puspa sambil tertawa
cekikikan.
Sementara itu di ruangan goa, para begundal anak buah Gembong Kuning
semakin parah keadaannya. Mereka tengah mengumbar maksiat dengan para budak
wanita yang mereka paksa untuk melayani nafsu mereka.
Di salah satu sudut terlihat si Botak yang jalannya sudah goyang karena
terlalu banyak minum tengah merayu seorang pelayan yang lewat di
depannya.
Dengan nafas terengah-engah di Botak meraih pelayan wanita itu. Wanita itu
meronta-ronta tak berdaya. Namun baru saja tangan si Botak meraih apa yang
diinginkannya, tiba-tiba terdengar suara teriakan Gembong Kuning
menghentikan perbuatannya.
“Anak-anak. sekarang kalian dengarkan aku! Sebentar lagi kalian akan
memperoleh pertunjukan yang sangat menarik, nantikanlah. Japra! Cepat
panggil mereka!”
Dengan hati mendongkol si botak terpaksa menghentikan perbuatannya,
sementara budak itu cepat-cepat berlari menyelamatkan diri. Orang yang
dipanggil Japra itu pun segera berlari ke ruangan di balik dinding
tersebut.
Mendengar kata-kata tersebut, semua yang ada di dalam goa tersebut menjadi
girang bukan kepalang. Mereka semua adalah lelaki-lelaki kasar yang setiap
harinya berurusan dengan kekerasan, wajarlah bila mereka jadi haus dengan
bentuk-bentuk hiburan semacam itu. Mereka tahu apa yang dimaksudkan oleh
sang pemimpin, karenanya mereka segera menyambut dengan perasaan yang sangat
gembira.
Terdengar tepukan-tepukan tangan dan suara teriakan serta suit-suitan di
sana sini. Keriuhan itu seolah tak ada henti-hentinya.
Plok........! Ploookk..! Ploook.......!
“Cepat. Japra!”
“Ayo, Japra, segera panggil mereka, aku sudah tak sabar menanti-nanti dari
tadi.......!”
“Cepatlah, manis! Aku sudah tak sabar ingin menelanmu bulat-bulat!”
“Ayolah, manis! Keluarlah segera!”
Teriakan-teriakan itu semakin menjadi-jadi diiringi tepukan-tepukan tangan
ketika tiga orang penari itu ke luar berbaris. Mata mereka melotot seolah
akan ke luar dari tempatnya ketika melihat penari-penari yang dipanggil oleh
Gembong Kuning itu.
Masing-masing berusaha untuk bisa lebih dekat melihat dan memegang apa saja
dari para wanita itu. Apa saja dari tubuh penari-penari itu langsung menjadi
sasaran tangan-tangan jahil dibarengi dengan teriakan-teriakan manja
menggoda dari wanita-wanita penghibur itu. Suasana yang sudah kacau itu
menjadi semakin kacau, mereka langsung berdesak-desakan satu sama
lain.
“Tenang! Tenang! Beri mereka jalan!” teriak Japra berusaha mengatasi
keadaan. “Minggir! Minggir, biarkan si manis lewat!”
“Beri jalan, hei, beri jalan!” yang lain segera menimpali dengan
berteriak-teriak. Suasana yang sudah kacau itu bertambah kacau dengan adanya
teriakan-teriakan itu. Akhirnya Gembong Kuning sendiri yang berteriak untuk
mengatasinya.
“Minggir semuanya!” bentak Gembong Kuning menggelegar.
Dengan seketika keriuhan itu dapat teredam. Anak buahnya dengan patuh
memberi jalan untuk wanita-wanita penghibur yang berjalan dengan lagak yang
centil dan genit seolah-olah menantang setiap lelaki yang melihatnya.
Dengan berlenggak-lenggok, mereka berjalan melewati para begundal itu dan
langsung menuju ke arah Gembong Kuning yang telah berdiri dengan tangan
terentang seolah akan merangkul mereka bertiga. Ketiga penghibur itu
langsung berdiri berjejer mengapit Gembong Kuning yang bergaya dan berlaku
seolah raja besar saja.
Dua orang budak wanita berdiri di samping Gembong Kuning yang tengah diapit
wanita-wanita penghibur itu. Mereka berdiri sambil memegangi sebuah kipas
bertangkai panjang dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari bulu burung merak
yang indah.
“Kalian semua! Buatlah lingkaran!” kembali terdengar Gembong Kuning memberi
perintah yang segera dipatuhi oleh anak buahnya.
Mereka segera berlarian membentuk sebuah lingkaran besar dengan bagian
tengah kosong, yang akan dipergunakan sebagai panggung nantinya.
Setelah lingkaran itu terbentuk, Gembong Kuning mencium ketiga wanita
penghibur itu. Terakhir tangannya bergerak mendorong ketiga wanita itu.
Mereka lalu berjalan berlenggak lenggok memasuki arena.
Tetabuhan gendang segera terdengar bertalu-talu mengiringi para penari
tersebut. Mula-mula gerakan tarian mereka begitu lemah gemulai dengan
goyangan-goyangan yang menggoda iman.
Ketiga wanita penghibur itu lalu melakukan gerakan-gerakan tari tertentu.
Dari perlahan, gerakan mereka bertambah cepat seiring dengan bertambah
cepatnya irama tabuhan gendang. Mereka lantas berputar-putar dan bergoyang
sambil mengangkat kepalanya tinggi.
Mata para penonton mengikuti gerakan-gerakan para penari tersebut dengan
mulut menganga.
Suasana bertambah riuh ketika para penari itu merubah gerakan tarian
mereka. Ketiga penari tersebut mendadak duduk di lantai goa, mereka lantas
menggoyang-goyangkan tubuh mereka.
Tentu saja hal itu semakin menambah riuh suasana. Teriakan-teriakan segera
terdengar di sana sini ditingkahi suara-suara suitan yang melengking
tinggi.
“Goyang teruuus! Kibul teruuus.......!”
“Oh. surga! Kau begitu dekat, uuu uhhhhhh.......!”
Para penonton yang terdiri dari kawanan rampok tersebut tak henti-hentinya
memberi semangat, sehingga para penari itu semakin bergairah menari seperti
orang kesurupan. Tampak beberapa orang sudah tak dapat menahan lagi, mereka
segera menghampiri penari tersebut.
Para penari itu pun tak tinggal diam, dengan lincahnya mereka bergerak
menghindar. Hal tersebut semakin membuat penontonnya bertambah gemas dan
pusing, tetapi mereka tak pernah berhasil merengkuh para penari
tersebut.
Gembong Kuning memandangi tingkah laku anak buahnya sambil tertawa-tawa
keras. Pesta itu berlangsung sampai pagi, sampai akhirnya mereka kelelahan
sendiri dalam keadaan tak keruan, bergelimpangan di sana sini, baik para
begundal itu maupun wanita yang menjadi korbannya.
***
6
Memasuki Minggu kedua dalam perjalanannya yang tak menentu itu. Elang
Sutawinata dan istrinya tiba di sebuah dataran luas di kaki Ciremai sambil
menggendong anaknya. Terlihat suatu pemandangan indah dataran tersebut, di
kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon besar yang rindang.
Mereka melangkah gontai dengan pakaian lusuh penuh debu. Tidak jauh dari
tempat mereka berjalan, di balik semak-semak terdengar suara orang
berbisik-bisik.
“Lodra, rasanya tak ada gunanya mereka kita begal! Mereka hanya pengembara
gelandangan yang tak punya apa-apa,” suaranya pelan hampir tak
kedengaran.
“Aku tak menghendaki harta bendanya, aku hanya ingin perempuan di atas kuda
itu,” jawab Lodra sambil matanya terus mengawasi calon mangsa di
depannya.
Mereka ternyata adalah anggota kawanan perampok di bawah pimpinan Gembong
Kuning. Wajah mereka tampak amat seram dengan mata yang bersinar
jalang.
“Sudah satu Minggu lebih aku tak melihat perempuan. Bantar, kau hajar
lelakinya sementara aku mengerjai perempuan itu!” kata Lodra pada temannya
yang segera menganggukkan kepala tanda setuju.
Sementara itu Elang Sutawinata dan istrinya terus berjalan menelusuri tanah
berbatu-batu kerikil, sehingga langkah mereka menjadi sangat lambat apalagi
harus menuntun seekor kuda yang ditunggangi oleh anak mereka yang masih
kecil itu.
“Kangmas, tiba-tiba perasaanku tidak enak. Aku takut, Kangmas,” ujar
istrinya dengan sinar mata ketakutan.
“Tenanglah, Diajeng. Berdoalah semoga tak terjadi apa-apa dengan diri
kita,” kata Elang Sutawinata berusaha menenangkan hati istrinya.
“Tapi, Kangmas, aku takut.”
“Tenanglah. Diajeng.”
Memang hati Elang Sutawinata pun merasakan akan datangnya bahaya.
Telinganya lapat-lapat menangkap suara daun-daun yang tergeser oleh benda
bergerak dengan cepat.
“Apa boleh buat! Barangkali mereka hendak membegalku. Rawe-Rawe rantas,
malang-malang putung!” desah Elang Sutawinata pada dirinya sendiri.
Bersamaan dengan itu berkelebatlah dua sosok bayangan dari semak-semak
belukar yang langsung menghadang langkah Elang Sutawinata.
“Heyaaaah....... Berhenti!” bentak Lodra keras, sementara Bantar telah siap
siaga dengan golok di tangan kanannya.
“Oh, awas Kangmas! Mau apa orang-orang ini?” tanya istrinya dengan perasaan
terkejut dan khawatir.
“Hai, apa yang kalian kehendaki!” tanya Elang Sutawinata tegas sambil
menatap kedua orang itu dengan tatapan penuh selidik.
“Ha ha ha....... Perempuan itu cantik dan manis, persis seperti buah yang
ranum. Agaknya keturunan orang keraton,” kata Lodra sambil melangkah
menghampiri Ajeng Purnamasari.
Berbarengan dengan selesainya Lodra bicara, Bantar pun segera menerjang
Elang Sutawinata tanpa banyak bicara. Goloknya membabat kaki Elang
Sutawinata, tetapi dengan gerakan cepat Elang Sutawinata melompat ke
belakang untuk menghindar.
“Yeeaahh.......!” Elang Sutawinata bersalto beberapa kali sehingga tali
kuda yang dipegangnya terlepas dan kuda itu pun meringkik sambil mengangkat
kedua kaki depannya ke atas. Hal tersebut mengakibatkan anaknya, Parmin yang
baru berumur dua tahun menangis ketakutan.
“He he he....... Mari manis. Mari sayangku.......!” kata Lodra sambil
berusaha memeluk Ajeng Purnamasari yang membelalak ketakutan melihat
kejadian di depan matanya itu.
“Tolong! Jangan sentuh aku, bajingan!” teriak Ajeng Purnamasari
meronta-ronta dari pegangan tangan Lodra yang tengah memeluk tubuhnya dengan
pegangan yang kuat dan kokoh.
“Binatang kau! Jahanam, lepaskan aku.......!” jerit Ajeng Purnamasari
mengumpat begundal itu, ia terus berusaha melepaskan diri dari pelukan
Lodra. Suatu ketika tangannya berhasil mencakar wajah Lodra sehingga pelukan
penjahat itu sempat terlepas beberapa saat.
Lodra memegangi wajahnya yang berdarah.
“Adddaaauuuww.......! Galak betul kau!” teriak Lodra berusaha menahan
sakit.
Tetapi luka di wajahnya itu tak membuatnya surut, ia malah semakin bernafsu
mengejar Ajeng Purnamasari yang saat itu telah berlari menjauhinya.
Pada saat yang sama tampak Elang Sutawinata sedang sibuk bertarung dengan
Bantar yang terus saja mencecarnya dengan golok di tangan. Ia memberikan
perlawanan dengan gigih terhadap lawan, sekalipun tangannya sama sekali tak
bersenjata.
“Ciaaattt.......!”
“Moddiaarrrr kau.......!” maki Bantar sambil mengayunkan goloknya dengan
keras ke arah Elang Sutawinata.
“Haaaiiit.......!” Elang Sutawinata tak menjadi gugup karenanya. Ia
bungkukkan tubuh sedikit ke depan, kemudian kakinya bergerak mengirim
tendangan keras mengarah ke dada Bantar yang tak terjaga.
“Buk…..!” Kaki Elang Sutawinata mendarat tepat di dada Bantar. Seketika itu
juga Bantar terpental beberapa langkah ke belakang sementara dari mulutnya
menetes darah segar.
Beberapa detik lamanya Bantar berkonsentrasi untuk membersihkan darah yang
masih meleleh di bibirnya akibat tendangan Elang Sutawinata tadi. Bantar
lalu memandang musuhnya dengan sorot mata tajam, ia kembali menyerang dengan
sabetan-sabetan goloknya yang disertai nafsu membunuh yang sangat
besar.
“Mampus kau, monyet!” bentak Bantar dan goloknya membabat pinggang serta
kaki Elang Sutawinata yang terus menghindar dengan lompat-lompatan dan
sekali-sekali membalas dengan tendangan-tendangan maut. Setiap kali Bantar
membabatkan goloknya yang terkena hanyalah dahan dan ranting pohon di
sekitarnya saja, karena Elang Sutawinata mampu menghindar dengan
cepat.
Dengan bernafsu Bantar terus menyerang Elang Sutawinata dengan keinginan
membunuh yang sangat besar. Serangan yang gencar itu menimbulkan suara
berkesiutan yang nyaring ditingkahi teriakan dan bentakan Bantar.
Hal itu mampu membuat Elang Sutawinata bergidik diam-diam. Elang Sutawinata
kewalahan menghadapi serangan-serangan yang dilontarkan Bantar secara
bertubi-tubi, sementara konsentrasinya pun harus terpecah mendengar
teriakan-teriakan istrinya yang berteriak minta tolong karena perbuatan
Lodra yang benar-benar tak berperikemanusiaan.
Saat itu Lodra sedang bergumul untuk melampiaskan nafsu setannya, sementara
Ajeng Purnamasari berusaha untuk mempertahankan dan melepaskan diri.
Dengan nafsu yang telah merasuki jiwanya, Lodra berhasil menyibak kain
Ajeng Purnamasari dan hampir berhasil melampiaskan nafsu iblisnya.
Namun sedetik lebih cepat dari tindakannya, tiba-tiba tubuh Lodra terpental
sambil mengeluarkan suara rintihan. Ia terus menggelepar, menggeliat
dibarengi darah yang menyembur dengan deras dari batok kepalanya yang
retak.
“Ehhk.......! Eechk.. Ehhkkk.......!” terdengar suara Lodra tertahan-tahan
dalam keadaan sekarat. Sejenak kemudian tampak ia memegangi kepalanya
sendiri, untuk kemudian terpaksa melepaskan nyawanya pergi begitu
saja.
Bersamaan dengan itu sesosok bayangan tampak melayang seakan-akan turun
dari langit. Bayangan itu begitu ringan menjejakkan kakinya ke tanah tanpa
mengeluarkan suara apa pun. Bahkan tak ada bekas debu beterbangan karena
kedatangannya saking ringannya ia turun.
Sementara itu Elang Sutawinata masih sibuk melayani Bantar yang terus
menyerang dengan membabi buta. Suatu ketika, karena berulangkali didesak
tanpa kesempatan membalas, apalagi ia tak bersenjata. Elang Sutawinata
terpojok.
Keadaannya sungguh kritis, ia tak dapat berbuat apa-apa lagi untuk
menghindar, nyawanya sudah berada di ujung golok Bantar. Tepat pada saat itu
bayangan tadi kembali berkelebat dengan disusul jeritan tertahan dari
Bantar.
“Akkh.......!” Tubuh Bantar pun ambruk ke tanah dengan balok kepala retak.
Tubuhnya kaku tak bernyawa setelah itu, menyusul temannya yang telah mati
lebih dulu.
“Oh, siapakah yang telah menolong jiwaku?” gumam Elang Sutawinata menyadari
bahwa nyawanya telah diselamatkan oleh orang lain.
Bayangan itu kembali menjejakkan kakinya setelah bersalto beberapa kali di
udara, ia kini telah berada di hadapan Elang Sutawinata yang masih berdiri
keheranan.
“Kangmas kau tidak apa-apa?” sapa Ajeng Purnamasari yang telah membereskan
pakaiannya dan menurunkan anaknya dari atas punggung kuda yang
membawanya.
“Tidak, Diajeng. Bagaimana dengan kau, tidak apa-apakah kalian?” tanya
Elang Sutawinata dengan nada khawatir sekali pun ia melihat sendiri bahwa
istri dan anaknya memang tak kurang suatu apapun. Ia kembali menengok kepada
sang penolong yang masih berdiri tegak di hadapannya.
Orang itu bertelanjang dada, dengan demikian tampaklah dadanya yang bidang,
ia hanya mengenakan celana pangsi berwarna hitam sebatas betis dengan kaki
beralaskan terompah tipis. Sehelai kain sarung berwarna hitam dengan
garis-garis putih melilit di lehernya.
Rambutnya terurai sebatas bahu dengan kumis tipis yang terawat rapi,
menyatu dengan jenggot yang sudah memutih pula. Rambutnya yang dibiarkan
terurai serta kain sarung yang melilit di lehernya itu berkibar-kibar
tertiup angin.
Sekalipun kulitnya telah menunjukkan keriput ketuaan, namun jalur-jalur
otot di lengannya masih kukuh menampakkan diri. Sorot matanya tajam menatap
Elang Sutawinata dan istrinya, tetapi di balik ketajaman pandangan itu
terselip keramahan dan kebajikan yang tersembunyi.
“Terima kasihku yang tak terhingga, tuan pendekar. Kalau tak karena
pertolongan tuan, tentunya kami sudah jadi korban keganasan para perampok
itu,” ujar Elang Sutawinata memberi hormat.
“Ah, anda terlalu berlebihan,” jawabnya merendah. “Berbahaya sekali
menempuh perjalanan di tempat seperti ini,” sambungnya mengingatkan.
Elang Sutawinata bersikap sangat hormat sambil membungkukkan badan seperti
layaknya adat dan tata cara orang Keraton.
“Terima kasih, pendekar. Kami memang sedang berkelana tanpa tujuan. Lantas
dengan apa kami dapat membalas budi baik yang telah tuan pendekar berikan
pada kami. Kami sungguh tidak tahu, nama saya Elang Sutawinata dan ini istri
serta anak saya.”
“Hmmm, jika anda berkenan, bolehkah kami tahu siapa gerangan tuan pendekar
ini?” tanya Elang Sutawinata lagi.
“Hmm, orang biasa memanggilku Ki Sapu Angin,” jawabnya singkat. Kalimat
berikut yang diucapkannya sungguh mengejutkan suami istri itu.
“Ah, sejak tadi aku tertarik pada si kecil ini! Sangat berbahaya menempuh
perjalanan di gunung bersama dengan seorang anak seusia dia. Oleh karena
itu, lebih baik berikanlah dia padaku. Aku akan mendidiknya menjadi seorang
pendekar pilih tanding kelak.”
“Oh.......!” seru Ajeng Purnamasari terkejut.
Beberapa saat lamanya kedua suami istri itu saling memandang seakan-akan
mereka sedang berunding untuk mengambil satu keputusan. Ajeng Purnamasari
hanya terdiam saja memandang suaminya, pertanda bahwa ia menyerahkan segala
keputusan di tangan suaminya.
Akhirnya dengan berat hati sekali suami istri itu melepaskan anaknya dan
menyerahkannya pada Ki Sapu Angin dengan rasa percaya yang besar bahwa anak
mereka akan tumbuh selamat dan aman di tangan pendekar tersebut. Ki Sapu
Angin terus berlalu seperti angin, sesuai dengan nama kependekarannya. Apa
boleh buat! Barangkali memang sudah suratan takdir bahwa mereka harus
berpisah dengan anaknya.
Belajarlah berpisah dengan kecintaanmu, karena suatu ketika ini pasti
terjadi di dalam hidupmu, bertemu dan berpisah. Itulah roda kehidupan yang
akan terus berputar.
Elang Sutawinata meneruskan ceritanya. Parmin, Sri Ayu dan Kaswita tetap
mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Kemudian kami terus mengembara sampai ke puncak Ciremai ini. Selama
duapuluh tiga tahun kami mengasingkan diri dari dunia ramai dan segala
urusan duniawi. Kami pun tak pernah lagi mendengar kabar tentang keadaan
keraton Kanoman. Kemudian di puncak Ciremai ini kami kembali dikaruniai dua
orang putra dan putri, yaitu Sri Ayu dan Kaswita.”
“Sayang istriku telah berpulang ke Rahmatullah ketika anak-anak menginjak
usia remaja. Tetapi hari ini adalah saat penuh kegembiraan melihat
kembalinya anakku yang pertama,” Elang Sutawinata berhenti sesaat sambil
memandangi Parmin.
“Dia....... dia kini telah menjadi seorang pendekar perkasa dan shaleh
sesuai dengan janji Ki Sapu Angin dulu. Aku sangat berterima kasih terhadap
pendekar tersebut. Dia telah menggembleng anakku, anakku yang berusia dua
tahun itu kini telah dewasa dan kembali kepadaku.
“Dia adalah....... Parmin Sutawinata. Sayang istriku tidak dapat melihat
kembalinya anak yang selama duapuluh tiga tahun dirindukannya. Hmmm, sayang
sekali.
“Tetapi aku bersyukur ke hadirat Ilahi dengan pertemuan ini, aku bangga
melihatnya,” ucap Elang Sutawinata mengakhiri cerita masa silamnya.
“Jadi....... jadi bapak adalah.......?” sergah Parmin dengan terputus-putus
menahan rasa gembira, haru, dan juga bangga bercampur menjadi satu.
“Parmin, anakku!” seru Elang Sutawinata tak tahan lagi menahan
kerinduannya.
“Ayaah.......!” seru Parmin menubruk kaki Elang Sutawinata memberi hormat,
memberi sembah sebagaimana layaknya seorang anak terhadap orangtuanya.
Air mata keharuan tertumpah seakan-akan berhasrat menyaingi tumpahnya air
hujan, suasana di rumah itu menjadi haru dan penuh kegembiraan. Parmin pun
segera memeluk adik-adiknya dengan kegembiraan dan keharuan yang
meluap-luap. Tangis keharuan yang bercampur kegembiraan terdengar membahana
mewarnai suasana yang tercipta dalam pertemuan anak beranak dan saudara
itu.
“Ohh, kakang....... Maafkanlah kelakuan kami tadi terhadapmu,” kata Sri Ayu
dan Kaswita hampir berbarengan di antara isak tangis kegembiraan
mereka.
“Ah, tak apa-apa, adikku. Kakang malah bangga punya adik-adik tangkas dan
gesit seperti kalian. Apalagi kalian punya sifat saling membela,” sahut
Parmin sambil memeluk erat-erat kedua adiknya.
Malam pun merambat semakin kelam, tetapi gelak tawa yang terdengar dari
pondok tersebut terus saja membahana.
Agaknya mereka menyelingi pertemuan tersebut dengan cerita-cerita lucu.
Keesokan harinya di tepi kepundan Ciremai yang sangat indah berdiri tafakur
ketiga orang kakak beradik yang tengah menekuri sebuah nisan.
“Ibu, semoga ibu dapat beristirahat dengan tenang. Anakmu datang
mengunjungi dengan panjatan doa ke hadirat Ilahi. Semoga Allah menerima ibu
di sisiNya dan memberi pula rahmat bagi yang ditinggalkan....... Aamiiin!”
Parmin menundukkan kepalanya di makam ibunya, ia lalu berdiri menghampiri
adik-adiknya.
“Adik-adikku, kalian lebih beruntung dapat melihat wajah ibu sampai akhir
hayatnya. Aku hanya bisa membayangkan samar-samar wajah ibu duapuluh tiga
tahun yang lalu.”
Setelah seminggu lamanya Parmin menetap bersama ayah dan adik-adiknya yang
baru saja ia ketemukan, Parmin merasa sudah tiba saatnya baginya untuk
meneruskan perjalanan menyelesaikan tugas mulia dari Ki Sapu Angin. Ia pun
segera minta diri dari hadapan orang tua dan adik adiknya.
“Tugasmu itu sungguh mulia, anakku. Berangkatlah dan jangan merasa berat
hati meninggalkan kami karena tugas ini menyangkut kepentingan bangsa.
Ayahmu pun dulu pergi dari keraton Kanoman karena tak setuju dengan
penjajahan itu!” Elang Sutawinata menghapus keraguan Parmin dengan ucapannya
yang mengandung semangat patriot itu.
“Ananda pamit, ayah,” ujar Parmin sambil berdiri mencium tangan
ayahnya.
“Doaku selalu mengiringi perjalananmu, anakku!” sahut Elang Sutawinata
penuh haru.
Parmin meninggalkan ayah dan adik-adiknya dengan langkah mantap diiringi
pandangan bangga dari mereka.
Sri Ayuningrum dan Kaswita mengamati Jaka Sembung sampai ke lereng kepundan
Ciremai, di mana terlihat jauh di bawah sana daerah Kuningan, daerah yang
paling dekat dengan tempat itu.
“Sudahlah adik-adikku, kurasa kalian cukup mengantar sampai di sini saja.
Selamat tinggal, adik-adikku. Patuhilah segala nasehat ayahanda. Jika tiba
waktunya kalian berdua tentu diizinkan turun gunung pula.”
“Adikku, Sri Ayu. Kau adalah pengganti ibu kita, rawatlah ayahanda
baik-baik. Kita beruntung masih memiliki seorang ayah,” ucap Parmin memberi
pesan kepada adik-adiknya, ia lalu mencium kening Sri Ayuningrum yang tampak
menangis sedih.
“Selamat tinggal, adik-adikku. Sampai bertemu lagi, sayang.”
“Selamat jalan, Kakang Parmin. Berhati-hatilah di jalan! Jaga diri
baik-baik,” kata kedua adiknya.
Parmin lalu melangkah meninggalkan adik-adiknya yang memandangi dengan
perasaan bangga, haru dan juga sedih karena harus berpisah dengan kakak yang
baru saja mereka ketemukan lagi setelah sekian tahun mereka tak tahu bahwa
mereka masih memiliki kakak. Betapa bangganya mereka memiliki kakak seperti
Parmin alias Jaka Sembung yang merupakan seorang pendekar gagah dan shaleh,
yang saat ini tengah memperjuangkan kemerdekaan bangsanya yang sedang
terjajah oleh bangsa asing.
Jaka Sembung terus melanjutkan perjalanannya menuruni lereng Gunung Ciremai
sebelah Selatan untuk menuju tanah Pasundan. Peristiwa apa lagi yang akan
dialaminya?
Keganasan gerombolan pendekar sesat siap menghadang perjalanannya, mampukah
ia menghadapinya?!
Nantikan judul serial Jaka Sembung selanjutnya yang berjudul: MENUMPAS
GEROMBOLAN LALAWA HIDEUNG
T A M A T
Emoticon