Ribut-ribut kecil seperti yang terjadi malam itu sebenarnya adalah hal
biasa bagi penduduk desa Perbutulan. Dan biasanya kalau hal seperti itu
terjadi dengan cepat dilupakan orang. Tetapi kejadian malam itu, diam-diam
menarik perhatian petani tua di mana Parmin bekerja.
Malam itu, ketika keduanya makan bersama-sama, petani tua itu
membicarakan kedatangan wanita asing tersebut.
“Parmin, orang-orang di desa ini sebenarnya menyimpan suatu rahasia. Kau
dengar kejadian malam itu? Tentu kau tahu, bukan? Ah, kasihan si Kosim
itu. Dia selalu dicekam ketakutan, sehingga tidak pernah berani
menceritakan hal-hal yang sebenarnya.”
“Kosim yang mana maksud bapak?”
“Pelayan Ranti sejak kecil. Dia seorang lelaki yang sangat setia kepada
juragannya.”
“Rahasia apakah yang bapak maksud?”
“Nanti kau akan mengetahuinya,” kata petani tua sambil menghela nafas
panjang-panjang. Wajahnya tampak muram, seperti sedang memikirkan sesuatu
yang sangat rumit.
Adapun Ranti sendiri masih tetap penasaran. Nalurinya mengatakan bahwa
Kosim mengenal wanita asing itu. Kosim memang tidak mengakuinya, tetapi
bisikan nalurinya tidak bohong.
Apalagi sejak kejadian itu, Kosim tampak berubah, sering termenung
sendiri dengan wajah muram.
“Pak Kosim, kaulah yang mengasuh aku sejak kecil. Kau selalu baik dan
menyayangiku. Sekarang aku minta kau berterus terang padaku.
“Sejak kedatangan pendekar wanita itu, kau tampak jadi berubah. Aku yakin
kau pasti sedang menyembunyikan sesuatu. Katakanlah, siapa sebenarnya
wanita itu?” kata Ranti pada hari berikutnya.
“Den Ranti, sudah kubilang aku tidak mengenalnya. Kenapa pula Den Ranti
beranggapan seperti itu?”
“Firasatku berkata begitu, Pak Kosim. Terus-terang saya sendiri merasa
aneh melihat wanita itu. Ketika dia tersenyum manis padaku, dadaku terasa
berdebar tak karuan. Heran, tak biasanya aku merasa begitu.”
“Mungkin Den Ranti kurang sehat.”
“Ah, tidak mungkin. Kau jangan mengada-ada, Pak Kosim. Katakanlah
sejujurnya apa yang kau ketahui. Aku mempercayaimu, Pak. Karena itu, kau
juga harus mempercayaiku.”
“Ah, Den Ranti.......” keluh Kosim dengan suara serak dan hampir tak
terdengar.
Wajahnya semakin murung lagi. Teringat dia akan masa silam, suatu masa
yang tak pernah lepas dari ingatannya. Dan sejak masa itu hingga sekarang,
Kosim menyimpan atau terpaksa memendam sebuah rahasia.
Sering dadanya hendak meledak, bibirnya ingin berteriak mengungkap tabir
tersebut. Tetapi ada suatu pertimbangan baginya, yang membuatnya tak
berani membeberkannya.
Tanpa terasa air mata lelaki tua itu menetes satu per satu membasahi
wajahnya yang mulai keriputan.
Sekarang, ia merasa diri seperti tak berarti karena selama ini tak berani
mengungkapkan keadaan yang sebenarnya. Ia tak ingin bersikap seperti itu
lagi terus-terusan.
Ia tak ingin membiarkan Ranti hidup lama-lama di dalam kegelapan. Maka
dia pun duduk bersimpuh di hadapan Ranti. Dicekalnya kedua lengan gadis
itu dengan air mata makin deras membasahi pipi.
“Den Ranti, maafkan aku........”
“Jangan bersikap begitu, Pak Kosim. Jangan menangis, aku jadi ikut sedih.
Sekarang katakanlah keadaan yang sebenarnya.”
“Den Ranti, aku sebenarnya takut mengatakannya.......”
“Kenapa harus takut? Siapa yang kau takuti? Kau tak perlu takut. Aku akan
melindungimu. Katakanlah, Pak Kosim!”
“Beliau....... beliau adalah ibu kandung Den Ranti sendiri.......”
“Hah, ibuku? Betulkah itu, Pak Kosim? Tapi ayahku mengatakan bahwa ibu
meninggal ketika aku berumur satu tahun,” ujar Ranti terkejut bukan
main.
“Benar, Den Ranti. Beliaulah ibu kandung Den Ranti sendiri. Beliau
menghilang sekitar limabelas tahun yang lalu.......”
“Saya tak mengerti. Bagaimana semua ini bisa terjadi?”
“Baiklah, Ranti. Aku akan menceritakan semuanya. Tetapi sebelumnya aku
minta maaf, karena semua ini mungkin sangat mengejutkan Den Ranti.
“Saya sudah mengikuti ayah dan ibumu sejak aden belum lahir. Ayahmu
bukanlah seorang perampok, melainkan seorang guru silat yang arif
bijaksana. Sedangkan Gembong Wungu sendiri bukan.......”
Tiba-tiba tiga kilatan cahaya keputih-putihan meluncur dari balik
dinding. Kilatan itu adalah tiga senjata rahasia berupa pisau kecil.
Tanpa sempat mengelak, tubuh Kosim pada bagian punggungnya tertancap
pisau-pisau tersebut.
“Akh.......” jerit lelaki tua itu. Bersamaan dengan itu, tubuhnya
ambruk.
Darah segar membasahi sekujur tubuhnya. Beberapa saat kemudian, di situ
telah muncul Gembong Wungu. Raja rampok itu berdiri sambil menatap tubuh
Kosim dengan mata merah.
“Ayah!?” seru Ranti terkejut, “Kenapa kau membunuhnya? Apa salahnya? Oh,
kau sungguh kejam, ayah!”
“Diam! Penghasut itu harus lenyap dari muka bumi ini. Aku dengar semua
omongannya. Aku tak segan-segan mencopot batang leher setiap Penghasut
yang ada di desa ini.”
“Jika demikian berarti Kosim benar. Kau telah berbohong. Katakan siapa
ibuku!” kata Ranti setelah berteriak. Dan sambil berkata begitu, ia
menatap ayahnya dengan sinar mata merah bagaikan memancarkan api.
Seolah-olah ia hendak menelan Gembong Wungu hidup-hidup.
“Heh, anak manis. Sejak kapan kau berani menatap aku seperti itu,
heh?”
“Aku tak percaya lagi padamu. Ayo, mengakulah sekarang juga.”
Gembong Wungu marah bukan main mendengar ucapan Ranti. Wajahnya merah
padam. Bahkan sekujur tubuhnya gemetar menahan gejolak emosi.
Tetapi ia tak ingin menyakiti Ranti. Ia tak mau melampiaskan kekesalannya
kepada gadis manis itu. Sambil berteriak nyaring, lelaki bermata satu itu
menghunus goloknya. Ia lalu meloncat tinggi kemudian membabat tiang-tiang
kandang ayam.
“Akan kulenyapkan orang-orang yang mencoba mengusik kehidupan kita.
Ciaaat........!” Gembong Wungu membabat dan menendang kandang ayam.
Demikian marah dan kesalnya jagoan itu, sehingga dalam sekejap saja,
kandang ternak itu telah ambruk.
“Siapa yang mau membalas dendam kepadaku? Ayo, siapa? Gembong Wungu tidak
gentar sedikit pun juga. Aku adalah raja di seputar lereng Ciremai. Siapa
berani menantangku, berarti maut akan menjemputnya!”
Setelah itu, Gembong Wungu menghampiri Ranti yang sedang tersedu-sedu
meratapi nasib malang yang menimpa Kosim. Lelaki tua itu selama ini selalu
menyayanginya. Selalu memperhatikan dan mengurus segala
keperluannya.
Semua kebaikan Kosim, tak mungkin hapus begitu saja dari hati sanubari
Ranti. Lelaki itu sudah bagaikan orang tua sendiri bagi Ranti. Tidaklah
mengherankan, jika ia sangat terpukul melihat kenyataan lelaki yang
disayanginya itu sudah tergeletak tanpa nyawa.
“Ranti, kau tak perlu meratapi bangkai anjing penghasut itu. Tinggalkan
dia, cepat!”
Ranti tak menyahut, Ia tetap menangis sesunggukan di depan tubuh
pelayannya yang setia itu. Ia benar-benar merasa sangat kehilangan. Dan
entah mengapa, tiba-tiba saja timbul rasa benci terhadap lelaki yang
selama ini menjadi ayahnya.
Melihat Ranti tidak mau beranjak, Gembong Wungu semakin kesal lalu
secepatnya meninggalkan tempat itu. Di depan kandang ayam itu kini berdiri
dua lelaki lain, menatap Ranti dan jenazah Kosim dengan tatapan penuh
keprihatinan.
“Innalillahi! Iblis itu tak egan-segan membunuh. Kasihan si Kosim. Yah,
semua orang di desa ini tak berani membuka rahasia karena nasib seperti
inilah yang akan menimpa mereka,” ujar lelaki tua yang kini sedang berdiri
bersama Parmin.
Ranti agak terkejut juga mendengar ucapan petani tua itu. Dengan airmata
masih berurai membasahi pipi, ditatapnya kedua lelaki itu. Lalu dengan
suara parau, gadis itu berkata.
“Apakah kalian juga mengetahui rahasia tentang diriku? Benarkah aku bukan
anak Gembong Wungu? Kalau memang benar, siapa ibuku, siapa ayahku?”
“Ranti, Tuhan maha Pengasih dan Penyayang. Sekarang duduklah dan
tenangkan perasaanmu. Hapus airmatamu, jangan menangis lagi. Kita doakan
saja semoga arwah Kosim diterima di sisi Tuhan yang Maha Esa,” kata petani
tua itu dengan sikap lembut.
Dan setelah Ranti duduk dengan sikap yang lebih tenang, petani tua itu
melanjutkan.
“Ranti, ayahmu yang sebenarnya adalah Gagak Ciremai. Ia gugur di ujung
pedang Gembong Wungu dalam pertarungan di lembah Cadas Kuriling limabelas
tahun silam.”
“Jadi........?”
“Aku bersama kawanku yang menguburkan jenazah ayahmu saat itu. Sedangkan
ibumu sendiri, sejak saat itu menghilang entah ke mana.
“Kemudian kau dipungut anak oleh Gembong Wungu, selanjutnya menggantikan
kedudukan ayahmu. Sayang si Kosim sudah lebih dulu menghadap Tuhan hingga
tidak bisa bercerita tentang semua peristiwa itu.”
“Aku adalah salah seorang pengikut ayahmu yang masih mau bertahan di desa
terkutuk ini. Karena aku yakin dan ingin menyaksikan bahwa suatu saat
kezaliman ini akan berakhir.”
Oh, benarkah itu? Benarkah? Hati Ranti bertanya-tanya dan berkecamuk
hebat. Samar-samar terlintaslah bayang-bayang limabelas tahun lalu.
Ia melihat dirinya masih kecil, berusia satu tahun. Ia digendong seorang
wanita dan seorang laki-laki. Itukah gerangan ayah dan ibunya?
Tetapi bayangan itu sangat samar-samar dan timbul tenggelam di dalam
benaknya. Tetapi sepertinya bayangan wanita itu mempunyai persamaan dengan
wajah pendekar wanita berambut awut-awutan yang beberapa malam lalu
membunuh penjaga.
Dan kalau memang benar bayangannya itu tidak meleset, pastilah ada
hubungannya dengan pendekar wanita itu. Siapakah dia sebenarnya? Apakah
itu adalah ibunya yang dikabarkan menghilang limabelas tahun lalu?
Secara tiba-tiba, Ranti bangkit dari duduknya dan tubuhnya melesat cepat
ke arah rumahnya. Sambil berteriak histeris, ia menendang pintu hingga
terpental. Seorang pelayan wanita di rumah itu menjadi terkejut, lalu
sujud gemetar di hadapan Ranti.
“Mana majikanmu Gembong Wungu, hah? Mana dia? Ayo, jawab!”
“Oh, bibi tidak tahu, Den Ranti. Sungguh, bibi tidak tahu kemana juragan
pergi.......”
Ranti mendengus kesal. Ia lalu berlari-lari seperti orang kesetanan.
Wajah dara jelita itu merah padam, matanya bagai memancarkan api.
Setibanya di gerbang desa, Ranti dihadang para penjaga. Namun dengan
kasar, Ranti membentak. “Buka pintunya, cepat! Katakan padaku ke mana
Gembong Wungu pergi!”
“Maaf, den Ranti. Ayahmu memerintahkan kami untuk melarang Aden keluar
dari lingkungan desa ini,” kata penjaga.
“Apa? Ayahku katamu? Gembong Wungu itu bukan ayahku. Cepat buka pintunya,
atau nyawa kalian akan melayang di ujung pedangku!”
“Maaf, Den Ranti. Kami hanya menjalankan perintah. Kawan-kawan kepung
dia. Jangan sampai keluar dari desa ini.”
“Bagus kalau begitu. Jangan salahkan jika aku terpaksa menurunkan tangan
kejam.”
“Tangkap dia!”
Dengan serempak, para penjaga gerbang menerkam tubuh Ranti. Melihat itu,
Ranti tersenyum sinis. Ia sengaja tidak segera mengelak seolah-olah
membiarkan dirinya ditangkap. Namun ketika tangan para lelaki itu
menyentuh tubuhnya, Ranti meloncat tinggi.
“Trok........!” Kepala para penjaga itu saling beradu dengan kerasnya.
Sambil menjerit kesakitan, tubuh para penjaga itu terlempar dan
bergulingan di atas tanah.
Kesempatan itu digunakan Ranti meloloskan diri. Sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh, ia meloncat tinggi ke atas pintu gerbang. Hanya
beberapa detik kemudian, tubuhnya telah melesat cepat meninggalkan
desa.
Sambil berlari-lari, gadis itu teringat pesan pendekar wanita yang
menyatakan ingin bertemu Gembong Wungu setiap saat di lembah Cadas
Kuriling. Gembong Wungu yang sangat dibencinya itu sekarang pastilah
berada di sana untuk memenuhi tantangan lawan.
Dugaan Ranti memang benar juga. Gembong Wungu pergi ke Cadas Kuriling,
bahkan kini sedang berhadap-hadapan dengan pendekar wanita. Kedua pendekar
itu kini siap mengadu nyawa. Pedang telah dihunus di tangan, kuda-kuda
telah dipasang. Siap menyerang dan diserang.
“Hi-hi-hi.......! Aku gembira karena kau ternyata mau memenuhi
tantanganku, bangsat keji. Limabelas tahun yang lalu, suamiku kau robohkan
di sini. Sekarang aku datang untuk menagih janji, mencabut nyawamu,
bangsat tengik!” seru pendekar wanita itu.
“Kalau begitu susullah suamimu ke akherat, wanita iblis. Aku Gembong
Wungu takkan tergeser dari muka bumi ini!”
“Tutup mulutmu, bangsat! Hiyaaat.......!” Wanita itu berteriak
nyaring.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke arah Gembong Wungu. Sementara
ujung pedangnya membentuk sinar-sinar bagaikan kilat mengarah ke tubuh
lawan.
Gembong Wungu segera memutar goloknya. Maka tampaklah sinar golok dan
pedang bergulung-gulung membentuk semacam tembok pertahanan yang sangat
kokoh.
Pada jurus-jurus berikutnya, Gembong Wungu balas menyerang. Ia sangat
geram sekarang ditantang seorang wanita yang menurutnya sinting. Ditambah
lagi rasa kesalnya dari rumah lantaran kata-kata Ranti yang mengatakan
tidak mau percaya lagi padanya. Maka dalam menyerang, Gembong Wungu tidak
mau tanggung-tanggung.
Pendekar bermata satu itu mengeluarkan ilmu pedang andalannya “Grojogan
Sewu”. Jurus-jurus ilmu pedang ini sangat cepat dan mengandung tenaga
dalam yang luar biasa, sehingga pendekar yang tingkat ilmu belum tinggi
benar, tidak bisa menguasainya.
Demikian cepatnya gerakan pedang Gembong Wungu, sehingga golok atau
pedang pusaka di tangannya seolah-olah berubah jadi banyak sekali,
mengincar tubuh lawan dari segala penjuru. Batu-batu beterbangan bercampur
debu terkena hantaman tenaga dalam kedua jagoan itu.
Pendekar wanita itu terpaksa harus berjuang mati-matian menghindari
serangan lawan. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir mencapai
kesempurnaan, ia berkelit di sela-sela ujung senjata lawan.
Diam-diam Gembong Wungu merasa kagum juga melihat kemampuan lawan
menghadapi ilmu pedang “Grojogan Sewu” andalannya.
Dahulu Gagak Ciremai sendiri dapat dirobohkannya tanpa mengeluarkan ilmu
tertinggi yang dimilikinya itu. Jelaslah sudah bahwa kesaktian pendekar
wanita itu lebih tinggi daripada suaminya.
Nafas Gembong Wungu menggeros-geros dan peluh bercucuran membasahi
sekujur tubuhnya. Sejenak ia meloncat ke belakang untuk mengatur
pernafasan dan mempersiapkan jurus baru.
“Ha-ha-ha.......” Wanita pendekar itu tertawa mengejek, “Tidak percuma
selama limabelas tahun ini aku berlatih siang dan malam, di lembah
dedemit. Tunjukkan kemampuanmu, Gembong Picak.”
“Wanita sundal! Awas serangan........!”
Dengan teriakan menggeledak menggetarkan tebing-tebing, Gembong Wungu
kembali menyerang. Kali ini ia mengeluarkan jurus inti ilmu pedang
Grojogan Sewu, yakni jurus “Dewa Bayu Nitis”.
Jurus itu boleh dikatakan tidak lumrah dikuasai manusia. Karena selain
sangat cepat hingga yang tampak hanya bayangan, juga karena mempunyai
perkembangan yang sangat tak terduga sekaligus amat berbahaya.
Selama melalang buana di dunia persilatan, pendekar mata satu hampir tak
pernah mengeluarkan jurus itu. Atau kalaupun terpaksa mengeluarkannya,
lawan pastilah tidak akan bisa menyelamatkan diri.
Gembong Wungu meloncat tinggi ke udara. Tangan kirinya dibuka
mengeluarkan pukulan jarak jauh.
Hawa panas yang teramat dahsyat menyambar ke arah tubuh lawan. Kaki kiri
Gembong Wungu dilipat siap menendang ke arah ulu hati pendekar wanita itu,
sedangkan pedangnya diangkat tinggi siap untuk menikam atau
membabat.
Semakin terkejutlah istri almarhum Gagak Ciremai menghadapi serangan
lawan yang teramat dahsyat dan mematikan itu. Secepat kilat ia mengelak ke
kanan, menghindari pukulan jarak jauh lawan. Namun pada saat bersamaan,
kaki kiri Gembong Wungu menendang dengan tenaga luar biasa ke arah ulu
hati lawan.
Dalam keadaan terdesak, pendekar wanita itu masih sempat berkelit ke
sebelah kanan. Maka luputlah tendangan Gembong Wungu yang mengandung maut
itu.
Namun saat itu juga, pedang pusaka pendekar bermata satu itu menghujam ke
arah perut lawan.
“Crob!” Dengan sangat telaknya, pedang itu merobek kulit perut pendekar
wanita.
Disertai jerit panjang yang sangat memilukan, tubuh pendekar wanita itu
ambruk ke bumi. Darah segar memancar deras dari luka menganga itu.
Sejenak, tubuh itu menggelepar-gelepar bagaikan ayam disembelih. Lalu
kemudian diam, tak bergerak-gerak lagi.
“Mampus kau wanita iblis.......!” kata Gembong Wungu sambil menyarungkan
pedangnya yang masih berlepotan darah. Setelah itu, ia mengempos tenaga,
melesat bagai anak panah meninggalkan tempat itu.
Hanya beberapa detik kemudian, Ranti tiba di lembah Cadas Kuriling.
Dadanya berdegup kencang, dan matanya nanar melihat tetesan darah di
sekitar tempat itu. “Ibu........!” Gadis itu berteriak sambil berlari
menghampiri tubuh yang sedang terkapar berlumuran darah itu.
Didekapnya tubuh itu erat-erat dan diciuminya, hingga darah wanita itu
pun membasahi pakaian Ranti.
“Ibu.......! Ibu, jangan tinggalkan aku. Tidak. Tidak, Bu. Jangan
tinggalkan aku. Ibu.......” jerit gadis itu sekuat-kuat tenaga. Dan Tuhan
memang maha Pemurah.
Tiba-tiba wanita itu membuka kelopak mata. Tatkala ia menatap wajah
Ranti, maka seulas senyum manis menghiasi bibirnya. Menandakan betapa ia
sangat bahagia sekarang menyaksikan buah hatinya berada di dekatnya.
“Ranti, anakku. Kau datang, Nak.......” ujar wanita itu
tersendat-sendat.
“Ibu, ibu....... kau harus sembuh, Bu.......”
“Tenanglah, anakku. Dekatlah kemari, Nak. Ibu ingin mengusap
wajahmu....... ibu ingin memelukmu. Selama limabelas tahun itu memendam
rasa mengekang rindu ingin membelaimu. Setiap malam ibu menengokmu tanpa
sepengetahuan Gembong Wungu. Tapi selama itu pula kasih ibu tak sampai.
Ibu tak berdaya, anakku.......”
“Kuatkan hatimu, Bu. Maafkan anakmu yang tak tahu diri ini.”
“Jangan berkata begitu, anakku. Semua ini sudah takdir. Manusia telah
mempunyai garis kodrat hidup masing- masing. Tapi sekarang ibu sangat
bahagia, di saat-saat terakhir ini kau datang. Ibu bahagia karena membela
almarhum ayahmu, walaupun dendam pati ayahmu belum terbalas. Itu sudah
kewajibanku, anakku.......”
Sejenak wanita itu berhenti, seolah-olah sedang mengumpulkan sisa-sisa
tenaganya. Setelah itu, ia melanjutkan dengan suara tersendat-sendat dan
hampir tak terdengar.
“Ranti, anakku. Maafkan ibumu, sayangku. Rasanya waktu ibu telah tiba.
Ibu akan menyusul ayahmu.
“Pesanku....... janganlah kau bermaksud membalaskan dendam, karena kutahu
engkau bukanlah tandingan raja rampok itu. Cukuplah kau gunakan
kepandaianmu itu untuk perikemanusiaan dan kebajikan. Biarlah Tuhan yang
kelak menjatuhkan hukuman kepada bajingan itu. Ranti, selamat tinggal
anakku.......”
Seusai mengucapkan kata-kata itu, kepala wanita itu terkulai. Detak
jantungnya terhenti, diam dan mati. Ia telah menghembuskan nafas terakhir,
hilang bersama angin yang berhembus sepoi- sepoi. Ia telah pergi untuk
selama-lamanya tanpa pernah kembali.
“Ibu.......!” Ranti kembali menjerit histeris di atas jenazah
ibunya.
Tak terkatakan betapa hancurnya perasaan gadis itu sekarang. Baru bertemu
dengan ibunya sudah langsung berpisah. Sungguh sangat menyakitkan karena
pertemuan itu ternyata juga sekaligus perpisahan. Maka patahlah segala
harapan yang ada dalam hati Ranti.
Pupus gairah hidupnya. Dan mataharinya pun telah tenggelam, dan ia hanya
bisa meratapinya. Ketika Ranti meratapi jenazah ibunya, seorang lelaki
melangkah sambil menunduk. Wajahnya muram, karena sangat terharu
menyaksikan tragedi berdarah yang menimpa keluarga Ranti.
Pemuda yang tak lain tak bukan adalah Parmin itu berusaha menghibur
Ranti. Dibelai-belainya rambut gadis itu, dihapusnya airmata yang
membasahi pipi Ranti dengan penuh persahabatan.
“Jangan menangis lagi, Ranti. Semua ini sudah takdir. Berdoalah agar
arwah ibumu tenang di peristirahatannya yang terakhir.”
Menjelang senja, Parmin menguburkan jenazah ibu Ranti. Ranti belum juga
mau berhenti menangis. Ia memeluk tanah merah itu dan meraung-raung hingga
suaranya semakin parau.
“Sudahlah, Ranti. Jangan terlalu sedih. Toh semuanya sudah terjadi.......
Ayo, sebaiknya kita segera pulang.”
“Tidak! Aku tidak mau pulang. Aku akan membalaskan kematian ibu dan
ayahku. Aku tak takut pada Gembong Wungu. Akan kutebas batang lehernya dan
kuminum darahnya!”
“Jangan, nona Ranti.......” kata Parmin sambil menarik tangan gadis
itu.
“Jangan halangi aku. Aku harus membunuh bajingan itu sekarang
juga.”
“Tenang, nona Ranti. Apakah kau telah lupa akan pesan ibumu? Pesan ibumu
itu harus kau patuhi. Dan ketahuilah, pembelaanmu nanti pasti sia-sia.
Gembong Wungu adalah jagoan silat yang sangat jarang tandingannya.”
“Aku sudah hidup sebatangkara. Apa gunanya hidup lagi?”
“Jangan putus asa, nona! Di dunia ini banyak sekali orang hidup
sebatangkara. Bahkan banyak yang lebih sengsara darimu. Percayalah!
Pembalasan akan segera datang, walaupun bukan dengan perantaraan tangan
nona.”
“Bajingan si Gembong Wungu. Bedebah.......!” Saking kesalnya, Ranti
menancapkan pedangnya ke batu karang sekuat tenaga sehingga amblas sampai
ke hulu.
Tiba-tiba terdengar gelak tawa, menggelegar dan sambung-menyambung di
atas tebing. Parmin dan Ranti terkejut, lalu serempak memutar tubuh,
menatap ke arah asal suara itu.
Di atas tebing tampak oleh mereka sejumlah lelaki, mungkin lebih dari
tujuh orang. Para lelaki itu rata-rata bertampang seram. Semuanya
bersenjatakan golok dan pedang. Melihat tingkah laku dan ciri-ciri mereka,
maka tahulah Parmin bahwa kelompok orang itu adalah anak buah Gembong
Wungu.
Salah seorang di antaranya, yang agaknya merupakan pemimpin komplotan itu
menatap Parmin dengan sinar mata mencorong tajam dan terasa sangat sinis.
Sambil menuding Parmin dengan pedang di tangan kirinya, pria itu
berkata.
“Hei, santri! Jangan coba-coba mempengaruhi Ranti untuk balas dendam pada
Gembong Wungu. Bagaimana pun juga, selama ini Gembong Wungu telah merawat,
mendidik dan membesarkan Ranti dengan penuh kasih sayang sebagai
ayah.”
Setelah berkata begitu, lelaki itu memberi isyarat melalui gerakan tangan
kanan dan kepalanya. Maka berloncatanlah sekitar tujuh lelaki dari balik
tebing dan langsung mengepung Parmin dan Ranti.
“Hei, kau! Kedatanganmu ke desa ini hanya membuat kekacauan. Selama ini
desa kami aman tenteram, tak pernah terjadi keributan seperti ini.
“Dengan kepintaranmu bersilat lidah, kau membujuk-bujuk orang. Karena
pergaulanmulah makanya Ranti akhir-akhir ini jadi berubah. Den Ranti jadi
bandel, bahkan telah berani menentang ayahnya.”
“Apakah kau tidak salah bicara, sahabat?” ujar Parmin tenang.
“Diam kau, bedebah! Orang-orang semacam kau dan petani tua itu harus
lenyap dari desa ini. Kalian tidak boleh lagi hidup di desa ini, karena
kalian hanya menghasut orang-orang saja. Kalian akan menjadi perintang
yang semakin lama semakin kuat karena kepintaran kalian membujuk-bujuk
orang.”
Setelah berkata demikian, lelaki berkumis tebal itu berpaling kepada
teman-temannya yang sebagian lagi masih berada di balik tebing.
“Hai, kawan-kawan. Seret ke mari keledai tua itu. Hari ini akan kita
bikin pesta perkedel!”
Dari balik bebatuan, keluarlah beberapa orang laki-laki sambil menyeret
petani tua tempat Parmin bekerja. Kakinya diikat begitu juga kedua
tangannya diikat ke belakang.
Dari kedua tangan itu kemudian diulur tali untuk menyeret tubuh lelaki
tua bernasib malang itu, dengan posisi menelungkup.
Terdengar suara tulang berdetak-detak akibat tubuh yang beradu dengan
batu-batu di atas tanah. Baju dan celana petani tua itu sobek dan kulit
tubuhnya terkelupas hingga mengeluarkan darah.
“Pak.......?” seru Parmin terkejut.
“Ha-ha-ha.......! Lihat, si tua bangka yang keras kepala ini. Ia berlagak
sebagai pahlawan kebenaran. Sekarang rasakan betapa enaknya diseret
seperti gedebog pisang.......”
Melihat perlakuan yang tidak berperikemanusiaan itu, tubuh Parmin
menggigil, darahnya pun mendidih hingga ke ubun-ubun, menahan amarah
melihat kekejian anak buah Gembong Wungu.
Bagaimana pun juga, petani tua itu telah berjasa padanya, dan selama ini
selalu bersikap baik. Sekalipun mereka baru kenal, petani itu seolah-olah
telah merupakan saudara sendiri bagi Parmin.
“Ha-ha-ha keledai tua! Siapa yang akan menolongmu? Siapa? Kau akan segera
mampus sekarang. Tadi kau bilang Tuhan akan menolongmu dan
melindungimu........”
“Ya, Tuhan selalu melindungiku.......” kata petani tua itu
tersendat-sendat.
“Bangsat, berani ngomong lagi!” bentak anak buah Gembong Wungu sambil
menginjak dada petani tua itu.
“Mana pertolongan Tuhanmu? Mana? Omong kosong kau! Nyawamu sekarang
berada di tanganku, bukan di tangan Tuhan seperti yang kau bilang. Akulah
yang berkuasa sekarang atas nyawamu!”
Melihat perlakuan yang sudah sangat di luar batas itu ditambah lagi oleh
ucapan yang sangat kurang ajar, maka habislah kesabaran Parmin. Ia merasa
tak mungkin lagi diam. Ia harus segera bertindak. Maka dicabutnya sebuah
golok yang disembunyikan di balik bajunya.
“Ciaaat.......!” Pemuda itu berteriak nyaring, sambil meloncat tinggi ke
arah anak buah Gembong Wungu. Golok di tangannya ia putar cepat sekali
membentuk sinar kemilau dan langsung mengincar dada lawan.
“Bet! bet!”
“Augh.......!” Tanpa sempat mengelak, dua anak buah Gembong Wungu
terjungkal terkena sabetan pedang Parmin.
Kedua tubuh pria sejenak berkelojotan dengan darah menyembur dari luka
menganga di bagian dada. Setelah itu, nyawa keduanya pun melayang.
“Hai, orang-orang murtad. Tindakan kalian sudah melewati batas. Bukalah
mata kalian lebar-lebar. Tuhan telah menolong orang tua itu dengan
perantaraan tanganku.”
“Jangan kira kami takut padamu, santri tak tahu diri. Bersiaplah untuk
mampus!” Anak buah Gembong Wungu menyerang Parmin dari segala
penjuru.
Pedang di tangan mereka berkelebatan mengincar tubuh lawan. Namun dengan
sangat tenangnya, Parmin mengelak kemudian balas menyerang dengan
jurus-jurus mautnya.
Ternyata, Parmin bukanlah tandingan para anak buah Gembong Wungu. Hanya
dalam beberapa gebrakan saja, Parmin dapat menumbangkan lawan-lawannya,
hingga yang masih hidup tinggal seorang saja.
“Aku sengaja membiarkan kau hidup untuk memberimu kesempatan bertobat.
Sekarang enyahlah dari sini. Dan jangan lupa, beritahukan kepada Gembong
Wungu bahwa aku menunggunya di hutan Plangon!” Dengan tubuh gemetaran,
lelaki itu berlari meninggalkan tempat itu.
Ranti segera berlari menghampiri Parmin. Dicekalnya lengan pemuda itu,
lalu berkata dengan agak terburu-buru.
“Oh, jadi kau menantang Gembong Wungu? Aku sangat senang mendengarnya.
Kau pasti menang! Kau hebat, Parmin! Kau mau membalas dendam atas kematian
ayah dan ibuku, bukan?”
“Nona Ranti,” ujar Parmin sambil tersenyum bijaksana, “Aku bukan mau
membela atas kepentingan seseorang. Aku berjuang atas nama kebenaran,
keadilan, perikemanusiaan dan ketuhanan.”
“Jadi........?”
“Sudahlah. Sekarang kita harus merawat orangtua itu. Tentunya kau
mengetahui jenis daun-daunan untuk obat lukanya. Aku minta kau mau
mengambilnya. Sementara itu, aku akan menolong pernafasannya agar ia sadar
kembali.
“Baiklah, Parmin. Tapi kupikir, kita harus mengungsikannya ke desa lain.
Karena tidak mustahil Gembong Wungu telah memasang jebakan untuk
kita.”
“Baiklah kalau begitu.”
Kedua pendekar muda usia itu segera mengangkat tubuh petani tua ke desa
lain. Di tempat itu, mereka menumpang di rumah seorang petani untuk
merawat luka-luka yang diderita pria tua bernasib malang itu.
Kejadian tersebut benar-benar telah mengubah pikiran Parmin. Karena
sebenarnya, pemuda itu sedang dalam perjalanan jauh yang sangat
penting.
Dan kehadirannya di desa Perbutulan pada waktu itu hanya karena kebetulan
saja. Pendekar itu kehabisan bekal sehingga terpaksa menunda perjalanan
dengan maksud mencari upah kepada petani di desa itu.
Akan tetapi sekarang, melihat sepak terjang Gembong Wungu dan anak
buahnya, ia merasa tak boleh tinggal diam lagi. Darah kependekaran yang
mengalir dalam tubuhnya segera bergejolak, bahwa ia harus segera
bertindak.
Kesewenang-wenangan itu harus segera dihentikan. Kalau tidak, Gembong
Wungu pasti akan semakin menjadi-jadi. Penduduk yang tadinya sudah
tersiksa akan semakin tersiksa lagi.
Maka tanpa pikir panjang lagi, pendekar dari pantai utara itu segera
memutuskan bahwa ia harus menantang Gembong Wungu. Biarpun secara
diam-diam ia sendiri harus mengakui bahwa ilmu Gembong Wungu mungkin
berada di atasnya.
Atau kalaupun misalnya setingkat, ia masih kalah dalam hal pengalaman.
Apalagi tokoh dunia hitam seperti Gembong Wungu, tentulah tidak akan
segan-segan berbuat licik demi hasratnya melenyapkan orang-orang yang
berani menentangnya. Tapi sebagai pendekar yang gagah perkasa, Parmin
merasa tak punya alasan untuk mundur.
Ia bahkan merasa lebih baik mati daripada harus bersikap pengecut. Maka
ketika matahari mulai condong ke arah barat, pemuda itu melangkah ke tepi
hutan Plangon. Angin yang berhembus cukup kencang menyambutnya,
seolah-olah mengatakan selamat datang wahai pendekar muda yang gagah
perkasa.
Di sebuah dataran yang cukup luas, pendekar dari pantai utara itu berdiri
tegak menunggu lawan. Dari sekelilingnya terdengar suara monyet-monyet,
yang mungkin masih kenal kepadanya, lalu mengucapkan selamat bertemu
kembali.
Parmin tidak terlalu lama menunggu, sebab tak berapa lama berselang,
muncullah Gembong Wungu di tempat itu. Pendekar bermata satu itu berjalan
tegak, bibirnya mengulum senyum sinis seolah-olah tidak memandang mata
sebelah pun terhadap calon lawannya.
Sejenak ia menatap Parmin dengan mata tak berkedip dari bawah sampai ke
atas, lalu turun lagi. Ia lalu tertawa terbahak-bahak sambil
berkata.
“Rupanya kambing kacang semacam inilah yang bermulut lebar
mengembik-embik menantang macan dari lereng Ciremai.”
“Selamat datang, Gembong Wungu. Saya ucapkan terimakasih atas
kejantananmu datang ke tempat ini.”
“Ha-ha-ha....... santri! Jangan kau kira kau dapat mempengaruhi anak
buahku dengan segala ajaranmu itu. Apa sebenarnya yang mendorongmu berani
berkaok-kaok dihadapanku? Apakah kau sudah bosan hidup? Sekarang
sebutkanlah namamu sebelum lehermu kubuntungi!”
“Namaku? Ah, tentunya kau sudah tahu, Gembong Wungu. Namaku Parmin. Tapi
orang-orang sering menyebutku dengan nama Jaka Sembung.......!”
“Oh, rupanya beginilah rupa pahlawan santri dari Gunung Sembung itu.
He-he-he....... namaku tentu akan semakin termasyhur setelah melenyapkan
kau dari muka bumi ini.”
Tak terkatakan betapa marahnya Parmin mendengar kata-kata Gembong Wungu.
Pantaslah selama ini sangat banyak korban yang menemui ajal di ujung golok
jagoan bermata satu itu.
Rupanya Gembong Wungu adalah iblis berdarah dingin yang seolah-olah
mempunyai prinsip, makin banyak membunuh adalah makin baik. Terutama jika
yang dibunuh itu adalah pendekar yang sudah kesohor. Kebiadaban seperti
ini harus dihentikan, pikir Parmin geram.
“Dosamu sudah bertimbun-timbun, Gembong Wungu. Kau selalu mengancam
ketenteraman dan kedamaian di daerah ini. Kau memperbudak penduduk dan
menjadikannya sebagai sapi perahan.
“Nyawa manusia tak kau hargai sedikit pun juga. Kau betul-betul biadab,
kau menambah derita bangsa kita yang sedang terjajah. Orang semacam kau
seharusnya tak perlu dilahirkan ke dunia ini!”
“Aku tak butuh kotbahmu, monyet sembung!”
“Ingat, Gembong Wungu! Kezaliman pasti akan segera berakhir!”
“Tutup bacotmu, bedebah.......!”
Gembong Wungu tiba-tiba mengayunkan tangan kirinya. Maka tampaklah
kilatan-kilatan cahaya menyambar ke arah dada dan pusar Parmin. Dengan
sikapnya yang sangat licik, pendekar bermata satu itu menyerang Parmin
dengan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil.
Untunglah pendekar yang dijuluki Jaka Sembung itu selalu waspada. Dengan
gerakan yang sangat cepat, yang juga disertai teriakan nyaring, ia
meloncat menghindari senjata rahasia lawan.
Namun begitu ia menginjakkan kakinya di tanah, sudah menyusul lagi
serangan Gembong Wungu. Goloknya ia ayunkan membabat ke arah kedua kaki
Parmin.
Terpaksa pendekar muda usia itu meloncat lagi dan bergelantungan ke dahan
pohon. Setelah itu ia melompat jatuh ke belakang, mempersiapkan diri
menghadapi serangan Gembong Wungu selanjutnya. Ia mencabut goloknya, lalu
memasang kuda-kuda dari ilmu silat andalannya.
“Kau pasti mampus di tanganku, Jaka Sembung.......” teriak lelaki bermata
satu itu geram. Ia kembali menyerang dengan ganas.
Diam-diam Parmin merasa terkejut juga menyaksikan betapa hebat dan
dahsyatnya serangan lawan. Jurus-jurus yang dikeluarkan gembong Wungu
selalu mengandung maut dan mempunyai perkembangan yang sulit
diterka.
Nyatalah sudah, jagoan bermata satu itu mempelajari ilmu silat kelas
tinggi secara sesat. Tak ada jurusnya yang tidak ganas dan penuh tipu
daya, sehingga kalau lawan lengah sedikit saja pastilah terjungkal atau
tewas seketika.
Maka Parmin segera mengeluarkan jurus-jurus yang sangat baik untuk
bertahan. Gulungan sinar goloknya membentuk benteng pertahanan yang sangat
kokoh bagaikan tembok batu karang. Dan sekali-kali sinar mata goloknya
mencelat mengincar tubuh lawan dengan serangan yang juga berbahaya.
Pertempuran itu makin lama makin seru dan menegangkan. Jurus demi jurus
berlalu begitu cepat. Rumput-rumput laksana tercabut dari akar-akarnya dan
daun-daunan rontok berguguran terkena sambaran tenaga dalam kedua jagoan
yang sedang bertarung mengadu nyawa itu.
Sepuluh, duapuluh, tigapuluh, empatpuluh jurus berlalu dengan keadaan
yang cukup berimbang. Serangan golok Gembong Wungu tampak lebih cepat dan
berbahaya, sebaliknya Parmin memiliki kelincahan gerak yang sedikit lebih
unggul dari lawan.
Memasuki jurus yang kelimapuluh, Gembong Wungu mengeluarkan jurus “Angin
Beliung”, yang merupakan puncak dari ilmu pedang andalannya “Dewa Banyu
Nitis”.
Begitu menghadapi jurus maut itu, Parmin merasa sangat kewalahan.
Nafasnya hampir putus karena harus melakukan jungkir balik beberapa kali
di udara tanpa mendapat kesempatan menginjak tanah.
Ketika serangan Gembong Wungu agak mengendur, Parmin meloncat jauh ke
belakang, mengatur nafas mempersiapkan jurus baru.
“Ha-ha-ha.......! Cuma sampai disinikah kepandaian pendekar yang
diagung-agungkan rakyat Gunung Sembung? Kurasa si Subekti itu terlalu
mengobral julukan,” kata Gembong Wungu mengejek.
Parmin tidak memperdulikan sindiran lawan. Ia mulai tenang kembali.
Setelah konsentrasi sejenak, ia mulai mempersiapkan jurus ampuh dari ilmu
silat “Gunung Sembung” yaitu jurus yang kesembilanpuluh sembilan dengan
sebutan jurus “Wahyu Taqwa”.
Guruku bilang jurus ini belum pernah dilumpuhkan oleh cabang persilatan
mana pun di tanah Pasundan ini, pikir Parmin.
Disertai teriakan mengguntur, Parmin menyerang Gembong Wungu. Tubuhnya
melayang di udara, mempersiapkan serangan maut dari kedua tangan dan
kakinya.
Melihat serangan itu, terkejut juga Gembong Wungu, karena tak dapat
dipungkiri lagi, serangan itu sangatlah berbahaya. Ia mengelakkan
tendangan kaki Parmin, kemudian mengerahkan segenap tenaga dalamnya
menangkis sabetan senjata lawan.
“Trang........!” Kedua senjata itu beradu keras.
Bunga-bunga api bertebaran, karena kerasnya pertemuan kedua senjata itu.
Kedua tubuh pendekar itu sama-sama terdorong mundur beberapa meter
pertanda tenaga dalam mereka cukup berimbang.
Dan apa yang telah terjadi benar-benar mengejutkan kedua pendekar itu.
Golok di tangan Parmin terpental jauh, sedangkan golok Gembong Wungu patah
pada bagian ujungnya.
Hal itu membuat raja rampok itu sangat geram. Dengan raungan bagai
harimau lapar, ia menyerang Jaka Sembung dengan golok buntungnya.
“Kau akan segera mampus, monyet sialan.......!” bentaknya.
Tetapi tiba-tiba pedang di tangannya terhenti di tengah jalan dan ia
berteriak kaget ketika seekor monyet menerkam lengannya. Dengan perasaan
semakin geram, Gembong Wungu menyabetkan senjatanya dan hewan kecil itu
memekik. Tubuhnya melambung ke udara dalam keadaan terbelah dua.
Rupanya kejadian itu membuat monyet-monyet lainnya menjadi marah.
Bagaikan hujan yang turun dari langit, berpuluh-puluh bahkan mungkin
ratusan jumlahnya, monyet-monyet berloncatan dari pepohonan menyerbu
Gembong Wungu, dari segala penjuru.
Dalam beberapa gebrakan, pendekar bermata satu itu memang bisa membunuh
beberapa bahkan puluhan monyet yang menyerangnya. Namun karena hewan itu
sangat banyak, ia akhirnya kewalahan juga.
Bahkan tak lama kemudian, ia benar-benar tak berdaya. Monyet-monyet itu
menggigiti sekujur tubuhnya, bagaikan semut menggerogoti bangkai
tikus.
“Aduh....... tolong........ tolong.......!” teriak Gembong Wungu
kesakitan.
Tubuhnya menggelepar-gelepar dan bergulingan ke sana kemari dengan tubuh
penuh bekas gigitan dan cakaran monyet. Karena sangat panik dan kesakitan,
Gembong Wungu kemudian berlari-lari tak tentu arah karena matanya yang
tinggal satu itu juga sudah luka dicakar monyet.
Ia terus berlari sambil melolong-lolong menjauhi tempat itu. Nasib naas
rupanya telah tiba bagi jagoan sakti itu. Ia justru berlari ke arah jurang
yang sangat dalam yang dasarnya penuh batu cadas runcing.
Sambil menjerit panjang, tubuh Gembong Wungu terhempas dan
melayang-layang ke dalam jurang, bersama monyet-monyet yang
mengerubutinya.
Sambil menghela nafas dalam-dalam, Parmin melangkah perlahan ke pinggir
jurang. Ia mencoba melihat ke dasar jurang. Tetapi dia tidak bisa melihat
apa-apa, karena dasar jurang itu gelap. Tidak terdengar lagi suara jeritan
Gembong Wungu. Tak terlihat lagi sepak terjangnya yang sangat ganas.
“Parmin.......” tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya.
Manakala Parmin menoleh ke belakang, tampaklah olehnya Ranti berdiri
sambil menatapnya dengan airmata berlinang-linang.
“Parmin, terimakasih.......” ujar gadis itu lirih.
“Bukan aku yang membunuhnya, nona Ranti. Dia terlalu hebat untuk
kukalahkan. Aku hampir saja tewas di tangannya. Tuhanlah yang menghendaki
kematiannya.
“Sayang, selama ini ia mempergunakan kehebatannya untuk memerangi bangsa
sendiri. Dia menutup mata dari kenyataan bahwa bangsanya sangat menderita
karena penjajah,” kata Parmin sedih.
Ranti tidak menyahut. Air matanya makin deras membasahi wajahnya.
“Nona Ranti,” kata Parmin lagi, “Semuanya telah berlalu. Bimbinglah sisa
anak buah Gembong Wungu ke jalan yang benar. Tanamkan ke dalam jiwa mereka
tentang kesadaran bertanah air. Engkaulah pemimpin mereka di desa ini. Dan
kau boleh minta nasehat kepada Pak Tani tua jika hendak memutuskan
sesuatu.”
“Kurasa aku tak mampu. Kaulah yang lebih pantas memegang kedudukan itu.
Kau merupakan malaikat penolong bagi desa ini, bahkan di seluruh lereng
Ciremai ini.”
“Perjalananku masih jauh, Ranti. Aku harus menghubungi pendekar di
seluruh daerah selatan ini. Berjanjilah, Ranti. Kita saling bahu-membahu
mengusir penjajah dari bumi nusantara ini. Aku segera melanjutkan
perjalanan setelah Pak Tani itu sembuh dari lukanya.”
***
Malam itu terang bulan. Angin bertiup lembut mengusap bumi persada.
Bintang-bintang bertaburan bagaikan zamrud mutu manikan. Bertebaran di
atas permadani biru lazuardi. Semua itu melambangkan perdamaian di desa
Perbutulan.
Dan nun di sana, sayup-sayup terdengar alunan seruling dengan nada rindu.
Suara merdu seruling itu terhenti ketika Ranti muncul di hadapan Parmin si
Jaka Sembung.
“Jadikah kau berangkat besok?” tanya gadis itu.
“Ya, nona Ranti.”
“Aku kesepian tanpa kau. Aku ingin ikut bersamamu ke mana pun kau pergi.
Aku....... aku mencintaimu, Parmin.......”
“Nona Ranti, semua orang tentu tertarik padamu karena engkau sangat
cantik. Tetapi aku tak boleh ingkar janji. Aku telah berjanji dengan
seorang gadis yang setiap saat kurindukan. Seorang lelaki tak boleh
mengingkari janjinya, Ranti. Kudoakan semoga engkau memperoleh jodoh yang
lebih berarti dariku kelak.”
Esok harinya, Jaka Sembung meninggalkan desa Perbutulan, diantarkan Ranti
dan Petani Tua itu. Ia terus menuju selatan. Di sana puncak Gunung Ciremai
menjulang megah, seakan-akan menantang minta ditaklukkan. Sedang pada
wajah yang ditinggalkan terlukis perasaan berlainan.
Petani Tua itu terharu, sedang pipi Ranti basah oleh airmata menyaksikan
keberangkatan pendekar yang dikaguminya, Pendekar Jaka Sembung, yang di
pundaknya kini terletak tugas yang sangat penting, demi tanah air
tercinta. Bagaimanakah nasib Ranti, gadis pendekar anak angkat Gembong
Wungu setelah kepala rampok dari lereng utara Gunung Ciremai itu tewas di
tangan Jaka Sembung?
Apa yang ia lakukan dengan dendam cinta tak terbalas? Tak mungkin ia
menyerah begitu saja, karena sifat manja dan keras kepala akibat
salah-asuh akan mendorongnya untuk berbuat sesuatu diluar dugaan.
S E L E S A I
Tunggulah episode yang berjudul: “AIR MATA KASIH TERTUMPAH DI KANDANG HAUR”
Emoticon