SATU
“Keparat! Goblok...!”
Brak!
Sumpah serapah terdengar dari dalam sebuah pondok kecil di dalam hutan yang
sunyi ini, diiringi oleh terdengarnya suara benda pecah, seperti terpukul
oleh tangan yang sangat kuat. Dan tak berapa lama, terlihat seorang
laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun tengah tergopoh-gopoh berlari
keluar menerjang pintu yang setengah terbuka.
“Jangan pulang kalau belum bawa kepalanya! Gobloook...!”
Terdengar lagi teriakan memaki dari dalam pondok itu. Sementara, pemuda
yang berlari keluar itu disambut beberapa orang laki-laki bertampang kasar,
yang gagang goloknya menyembul di balik ikat pinggangnya. Sedangkan pemuda
berbaju merah muda yang di pinggangnya bergantung sebilah pedang itu
terengah-engah, seraya menyandarkan punggungnya ke batang pohon. Pipinya
yang tampak memerah dielus-elusnya. Dan dari sudut bibirnya tampak keluar
darah. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang mengalir dari sudut
bibirnya.
“Kelihatannya dia marah besar padamu, Gondang,” ujar seorang laki-laki
bertubuh kekar dan berwajah penuh cambang, seraya menghampiri.
“Bukannya marah lagi. Bahkan malah ingin membunuhku!” dengus pemuda yang
dipanggil Gondang itu kesal.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Gondang?” tanya seorang lagi yang sejak
tadi menggigit-gigit batang rumput.
“Seperti semula,” sahut Gondang lesu.
“Maksudmu...?”
“Apalagi kalau bukan membawa kepala Prabu Gelangsaka!” selak seorang yang
berdiri di belakang Gondang.
“Benar, Gondang...?”
Gondang hanya mengangguk lesu saja. Maka semuanya jadi terdiam. Mereka
semua tahu, siapa Prabu Gelangsaka itu. Dia adalah seorang raja yang
memerintah Kerajaan Jatigelang. Tentu saja tugas itu sangat sulit. Sedangkan
mereka sudah pasti harus berhadapan dengan para prajurit dan
panglima-panglima berkepandaian tinggi yang mengelilingi Raja Jatigelang
itu. Maka mereka kini semua jadi menggerutu dalam hati.
“Gondaaang...!”
Terdengar teriakan keras dari dalam pondok. Seketika semua laki-laki yang
ada di sekitar depan pondok itu jadi tersentak kaget. Terlebih lagi, pemuda
yang bernama Gondang. Wajahnya seketika jadi memucat.
“Kau belum pergi juga, Gondang...?!”
“Aku akan segera pergi, Nyai!” seru Gondang menyahut.
“Ingat, Gondang. Jangan kembali tanpa kepala keparat itu!”
“Baik, Nyai....”
Gondang mendengus dan menggerutu kesal. Sedangkan yang lain hanya diam saja
membisu, memandangi pemuda itu. Entah apa arti pandangan mata mereka.
Sementara, Gondang sudah melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di
bawah pohon.
“Ayo, kalian semua ikut aku,” ajak Gondang, sambil melompat naik ke
punggung kudanya.
Tidak ada seorang pun yang membantah. Walaupun sikap mereka jelas terlihat
enggan, tapi semuanya menghampiri kuda masing-masing. Dan tanpa banyak
bicara lagi, mereka berlompatan naik. Tak berapa lama kemudian, sekitar tiga
puluh orang berkuda itu sudah bergerak meninggalkan pondok kecil di tengah
hutan lebat dan sunyi ini. Tidak ada seorang pun yang membuka suara.
Sementara, Gondang mengendalikan kudanya paling depan. Tampak jelas dari
raut wajahnya, kalau Gondang merasa kesal mendapatkan tugas yang dianggap
sangat mustahil dilakukan. Tapi, pemuda itu tidak bisa menolak lagi. Dia
tahu, apa yang akan terjadi kalau menolak perintah ini.
“Huh! Edan...! Dasar perempuan sableng! Masak memerintah orang seenaknya
saja!” dengus Gondang kesal.
“Tidak perlu mengomel begitu, Gondang. Kalau tidak suka, bukankah ada
kesempatan untuk lari saja...? Semua pasti akan mengikuti jejakmu, Gondang,”
usul laki-laki bertubuh kekar yang berkuda di sebelah kanan Gondang.
Kata-kata itu rupanya langsung disambut yang lain dengan penuh semangat.
Sedangkan Gondang jadi menghentikan langkah kudanya. Dipandanginya mereka
satu persatu.
“Kalian akan tetap mengikutiku?” tanya Gondang seperti ragu-ragu.
“Di antara kami semua, hanya kau yang paling tinggi tingkat kepandaiannya,
Gondang. Maka sudah sepantasnya kau jadi pemimpin kami semua,” kata
laki-laki kekar berbaju warna biru gelap itu tegas.
Gondang jadi terdiam dengan kening sedikit berkerut Kelihatannya keinginan
teman-temannya ini sedang dipikirkannya. Sungguh tidak pernah terlintas
sedikit pun dalam kepalanya, pikiran semacam itu. Tapi, ke mana mereka akan
pergi.,.? Apakah perempuan yang ada di dalam pondok itu tidak akan
mencarinya? Dan kalau dia tahu, apa jadinya nanti...? Segudang pertanyaan
berkecamuk dalam kepala Gondang.
Memang sulit menentukan keputusan saat ini. Tapi mengingat kekesalan
hatinya, agaknya usul laki-laki bertubuh kekar itu bisa juga diterima.
Mereka semua memang sudah tertekan, sejak perempuan yang dianggap edan itu
membunuh pemimpin mereka yang dulu, dan menguasai mereka semua sampai
sekarang. Dan perempuan itu dikenal sebagai Nyai Ramit, seorang tokoh yang
kepandaiannya cukup diperhitungkan dalam rimba persilatan.
“Apa lagi yang kau pikirkan, Gondang? Kau tidak percaya pada kesetiaan kami
semua...?” desak laki-laki bertubuh kekar itu.
“Aku percaya pada kalian semua. Tapi...,” Gondang tidak meneruskan
kata-katanya.
“Tapi apa lagi, Gondang? Bukankah ini kesempatan baik untuk kita semua agar
terbebas dari perempuan sinting itu...?” desaknya lagi.
“Kalau Nyai Ramit tahu dan mencari kita semua, bagaimana...?” Gondang malah
memberikan pertanyaan.
Tidak ada seorang pun yang bisa menjawab. Mereka hanya saling melempar
pandangan saja satu sama lain. Sementara Gondang merayapi wajah-wajah yang
kelihatan angker itu satu persatu. Memang, mereka semua bertampang angker
dan mengerikan. Hanya Gondang saja yang kelihatan lain. Pemuda ini cukup
tampan. Dan pakaiannya juga kelihatan selalu bersih. Bahkan senjatanya juga
lain sendiri.
“Kami akan menghadapinya, Gondang,” kata laki-laki bertubuh kekar
itu.
Penegasan itu langsung disambut yang lain dengan suara gegap gempita.
“Baiklah kalau begitu. Mulai sekarang, kita harus pergi jauh dari jangkauan
perempuan itu!” ujar Gondang, akhirnya mengambil keputusan. Dan keputusan
Gondang langsung disambut seruan gegap gempita, membuat seluruh isi hutan
ini seakan jadi terbangun. Gondang kini nampak tersenyum.
“Ayo kita pergi!” ajak Gondang, agak lantang suaranya.
“Ke mana, Gondang?”
“Aku tahu ada pengiriman barang untuk kerajaan lewat Hutan Jatiwengker.
Kita cegat dan rampas barang-barang itu,” jelas Gondang.
“Kapan, Gondang?”
“Sekarang.”
“Kalau begitu, jangan buang-buang waktu lagi.”
“Yeaaah...!”
Mereka semua langsung saja menggebah kudanya mengikuti anak muda itu, tanpa
peduli dengan lebatnya hutan ini. Bahkan kuda-kuda itu terus dipacu cepat,
sehingga membuat daun-daun kering beterbangan tersepak kaki-kaki kuda.
***
Hutan Jatiwengker memang kelihatan sangat angker. Tak ada orang yang mau
melewatinya. Bahkan untuk melalui tepiannya saja, jarang yang mau. Kecuali,
kalau memang dalam keadaan terpaksa. Dan itu pun hanya siang hari. Padahal
tidak jauh dari tepian hutan, ada jalan yang cukup besar yang menghubungkan
Kotaraja Jatigelang dengan Kadipaten Alas Gadung. Tapi jalan itu selalu saja
kelihatan sunyi. Dalam satu pekan, paling hanya sekali saja dilewati
orang.
Siang ini udara di sekitar Hutan Jatiwengker terasa begitu panas. Matahari
bersinar sangat terik. Sedangkan langit kelihatan begitu bersih, tanpa awan
sedikit pun berarak di sana. Rerumputan mulai terlihat meranggas,
terpanggang teriknya matahari. Namun panasnya udara siang ini, bukanlah
halangan bagi serombongan orang-orang berkuda yang membawa dua buah gerobak
pedati yang ditarik sapi. Meskipun lambat, tapi rombongan itu terus bergerak
melintasi jalan berbatu yang sunyi dan jarang sekali dilalui orang.
Rombongan itu tampaknya terdiri dari para prajurit Kerajaan Jatigelang. Ini
bisa terlihat dari seragam yang dikenakan. Dan tampak berkuda paling depan
adalah seorang laki-laki berusia setengah baya berpakaian panglima. Dengan
pakaian seperti itu, dia tampak gagah sekali. Semua orang di Kerajaan
Jatigelang mengenalnya sebagai Panglima Wanengpati. Seorang panglima yang
gagah dan menjadi kepercayaan Raja Jatigelang.
“Panglimaaa...!” Seorang punggawa terlihat memacu cepat kudanya,
menghampiri Panglima Wanengpati yang berkuda paling depan. Dilewatinya dua
gerobak pedati. Lalu lari kudanya diperlambat, setelah berada di sebelah
kanan Panglima Wanengpati.
“Ada apa, Punggawa Rakasa?” tanya Panglima Wanengpati seraya melirik
sedikit.
“Maaf, Gusti Panglima. Sebaiknya kita berhenti dulu, menunggu Punggawa
Adiyasa yang memeriksa jalan ini di depan,” ujar punggawa yang ternyata
bernama Rakasa dengan sikap hormat sekali.
“Itu akan memperlambat waktu perjalanan, Punggawa.”
“Tapi, Gusti Panglima. Jalan ini sudah terkenal dengan....”
“Kau takut...?” selak Panglima Wanengpati, memutuskan ucapan
punggawanya.
“Hamba sama sekali tidak takut, Gusti Panglima. Hamba hanya
berpikir....”
Belum lagi Punggawa Rakasa menyelesaikan kata-katanya, mendadak saja
sebatang pohon berukuran empat kali rentangan orang dewasa di depan mereka
tumbang. Untung mereka segera menarik kudanya untuk berhenti, sehingga pohon
itu tidak menghantam mereka.
“Berhenti semua...!” teriak Panglima Wanengpati, terdengar lantang
menggelegar.
Rombongan prajurit Kerajaan Jatigelang itu seketika berhenti, begitu
mendengar teriakan Panglima Wanengpati. Sementara Panglima Wanengpati dan
Punggawa Rakasa sudah turun dari kudanya, dan segera melangkah mendekati
pohon besar yang tumbang melintang di tengah jalan ini, sehingga tak mungkin
dilewati lagi. Padahal, mereka membawa dua pedati yang sarat barang-barang
berharga dari Kadipaten Alas Gadung. Sedangkan satu pedati lagi berisi
wanita yang jumlahnya sekitar sepuluh orang.
“Perintahkan prajurit untuk bersiaga, Punggawa Rakasa,” perintah Panglima
Wanengpati.
“Baik, Gusti,” sahut Punggawa Rakasa.
Punggawa Rakasa langsung berteriak memerintahkan seluruh prajurit untuk
bersiaga. Maka, seketika semua prajurit segera meloloskan pedangnya, dan
segera berjaga-jaga di sekitar pedati yang masing-masing ditarik dua ekor
sapi. Sementara, Panglima Wanengpati terus mengamati pohon yang tumbang
melintang di tengah jalan.
“Hm.... Pohon ini pasti sengaja ditumbangkan,” gumam Panglima
Wanengpati.
Dan belum lagi panglima itu bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja puluhan
anak panah meluncur deras dari atas pohon dan semak belukar, bagaikan hujan
saja. Seketika itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi
dari para prajurit yang tertembus anak panah mendadak itu. Panglima
Wanengpati jadi tersentak kaget.
“Cepat berlindung...!” seru Panglima Wanengpati.
Tapi seruannya memang sudah terlambat. Sebentar saja, sudah setengah
prajuritnya menggeletak tertembus anak panah. Sementara, sisa prajurit
lainnya sudah berlindung. Sedangkan Panglima Wanengpati berdiri tegak di
depan salah satu pedati yang berisi penuh peti dari kayu jati. Dan baru saja
pandangannya beredar ke sekeliling....
“Seraaang...!”
Bersamaan terdengarnya teriakan keras menggelegar, dari balik semak dan
pepohonan bermunculan orang-orang bertampang kasar, bersenjatakan golok
terhunus di tangan. Gerakan mereka begitu cepat, hingga membuat para
prajurit jadi terperangah. Saat itu juga, Panglima Wanengpati berteriak
lantang menggelegar.
“Sambut mereka! Seraaang...!”
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Pertempuran memang tidak bisa terelakkan lagi. Teriakan-teriakan keras
menggelegar terdengar saling sambut, ditingkahi denting senjata beradu. Dan
saat itu pula, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking yang
saling susul. Tampak beberapa prajurit mulai berjatuhan berlumuran darah.
Sementara orang-orang yang menyerang itu kelihatan ganas sekali, tanpa
memberi kesempatan pada para prajurit. Sedangkan Panglima Wanengpati
berlompatan menerjang, melindungi dua pedati dan para prajuritnya. Pedang
yang tergenggam di tangan kanannya berkelebatan cepat, menghajar para
penyerangnya.
“Kau lawanku, Panglima...!”
“Heh...?!”
Panglima Wanengpati agak terkejut juga, begitu tiba-tiba di depannya sudah
berdiri seorang pemuda berwajah cukup tampan, menggenggam pedang di tangan
kanan. Entah kapan datangnya, tahu-tahu sudah berada di depan Panglima
Wanengpati.
“Dengar, Panglima. Kau dan sisa prajuritmu boleh pergi, asalkan kedua
pedati itu dan semua isinya ditinggalkan,” tegas pemuda itu.
“Phuih! Tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh pedati itu!” dengus
Panglima Wanengpati.
“Kalau begitu, terpaksa kepalamu harus kupenggal, Panglima.”
“Setan alas! Hiyaaa...!”
Panglima Wanengpati memang terkenal sebagai orang yang tidak pernah
menyerah begitu saja. Terlebih lagi, kalau berhadapan dengan perampok
seperti ini. Tanpa banyak bicara lagi, pedangnya segera diacungkan ke atas
kepala. Lalu diterjangnya pemuda yang menantangnya ini dengan sebuah
kelebatan mengiriskan.
“Haiiit...!”
Wut!
Namun, tentu saja pemuda itu tidak membiarkan kepalanya tertebas pedang
Panglima Wanengpati. Maka, cepat-cepat pedangnya digerakkan ke atas kepala
dari bawah ke atas. Dan....
Trang!
Dentangan keras terdengar begitu pedang mereka beradu tepat di atas kepala
pemuda ini. Begitu kerasnya, hingga menimbulkan percikan bunga api yang
menyebar ke segala arah. Sementara, pemuda berwajah cukup tampan itu segera
melompat ke belakang sambil melintangkan pedangnya di depan dada.
“Hiyaaat...!”
Dan Panglima Wanengpati tidak mau lagi memberi hati. Maka langsung saja dia
melompat menyerang sambil membabatkan pedangnya, disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi. Namun mendapat serangan gencar dan dahsyat seperti ini, pemuda
itu hanya meliuk-liukkan tubuhnya, menghindari setiap serangan.
Sementara pertarungan antara prajurit melawan para perampok terus
berlangsung sengit. Teriakan-teriakan keras pertempuran terus terdengar,
berbaur menjadi satu dengan jeritan melengking mengiringi kematian. Dan
tubuh-tubuh bersimbah darah semakin sering berjatuhan. Sebentar saja, sudah
tidak terhitung lagi tubuh yang bergelimpangan saling tumpang tindih
berlumur darah.
Dan di lain tempat, terlihat Panglima Wanengpati masih terus mencoba
mendesak pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya ini. Jurus-jurus cepat dan
sangat berbahaya terus dikeluarkan, tapi tampaknya kepandaian yang dimiliki
pemuda ini mampu mengimbanginya. Beberapa kali pedang mereka berbenturan,
dan menimbulkan percikan bunga api.
“Hiyaaat! Yeah!”
“Hup! Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja, pemuda berwajah tampan itu melenting ke udara, tepat di
saat Panglima Wanengpati membabatkan pedangnya ke arah kaki. Dan pada saat
itu juga....
“Hiyaaa...!”
“Heh...?!”
Panglima Wanengpati jadi terperanjat setengah mati. Tanpa diduga sama
sekali, pemuda itu melepaskan satu tendangan setengah berputar yang sangat
cepat luar biasa. Akibatnya, Panglima Wanengpati tidak sempat lagi
menghindar. Dan....
Plak!
“Akh...!”
Begitu keras tendangan pemuda itu, dan tepat menghantam kepala Panglima
Wanengpati. Akibatnya, panglima itu terpental ke belakang dengan tubuh
berputar beberapa kali, disertai jerit kesakitan.
Bruk!
Keras sekali Panglima Wanengpati jatuh menghantam tanah. Beberapa kali
tubuhnya bergelimpangan di jalan yang berbatu ini. Namun, dia cepat melesat
bangkit berdiri. Dan belum lagi bisa berdiri tegak....
“Hiyaaat...!”
Pemuda berbaju merah muda ini sudah melompat dengan kecepatan sangat
tinggi, hingga membuat Panglima Wanengpati jadi terperangah.
“Haps!”
Cepat-cepat Panglima Wanengpati mengebutkan pedangnya ke depan, berusaha
menghalau serangan anak muda ini. Tapi tanpa diduga sama sekali, pemuda
berwajah cukup tampan itu meliukkan tubuhnya ke bawah, dan secara tidak
terduga pula, dilepaskannya satu tendangan menggeledek setengah berputar.
Begitu cepat serangannya, sehingga Panglima Wanengpati tidak sempat lagi
menghindarinya.
Diegkh!
“Akh...!”
Kembali Panglima Wanengpati memekik, begitu dadanya terkena tendangan keras
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dari pemuda lawannya. Dan tubuhnya
kembali terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dan pada saat itu, pemuda
berbaju merah muda ini sudah melesat cepat luar biasa, hingga sulit diikuti
mata biasa.
“Hiyaaat...!”
Bet!
Secepat kilat pula, pemuda itu membabatkan pedangnya, tepat mengarah ke
leher Panglima Wanengpati. Sedangkan saat itu, Panglima Wanengpati masih
belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Maka....
Crang!
“Aaa...!”
Panglima Wanengpati jadi menjerit melengking, begitu pedang anak muda
lawannya membabat tepat di bagian tenggorokannya. Tampak Panglima Wanengpati
berdiri tegak dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar. Sementara
sekitar enam langkah di depannya, pemuda berbaju merah muda ini berdiri
tegak dengan pedang berlumuran darah tergenggam di tangan kanan.
Bruk! Tanpa dapat bersuara lagi, Panglima Wanengpati ambruk menggelimpang
di jalan tanah berbatu ini. Dan kepalanya langsung terpisah dari leher.
Darah seketika menyembur dari leher yang sudah buntung itu.
“Ha ha ha...!”
Pemuda itu tertawa terbahak-bahak. Sementara kematian Panglima Wanengpati
begitu cepat diketahui. Dan ini membuat hati para prajurit yang masih hidup
jadi gentar, hingga mudah sekali para perampok membantainya. Jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi seketika terdengar saling sambut. Dan dalam waktu
tidak berapa lama saja, tidak ada seorang prajurit pun yang kelihatan masih
bisa berdiri.
Sementara pemuda berwajah cukup tampan berbaju merah muda itu menghampiri
satu pedati yang berisi wanita-wanita muda berwajah cantik yang tampak
ketakutan sekali. Terlebih lagi, pedatinya kini sudah dikelilingi
orang-orang bertampang kasar menyeramkan, dengan seringai membelah bibir.
Sorot mata mereka begitu liar, seakan-akan mata serigala yang melihat domba
gemuk penuh daging.
“Bawa pedati barang itu, dan biarkan perempuan-perempuan ini pergi!”
perintah pemuda berbaju merah muda ini.
“Heh...?! Kenapa kau lepaskan mereka...?” sentak seorang laki-laki bertubuh
kekar, tidak mau menerima perintah itu.
“Mereka hanya akan membuat susah. Dan, bukan mereka yang kita butuhkan
sekarang.”
“Tapi....!"
“Sudah! Ikuti saja perintahku!” Meskipun dengan hati mendongkol, tidak ada
seorang pun yang berani membantah. Kini orang- orang bertampang kasar itu
menggeret gerobak pedati yang berisi peti-peti barang berharga. Sementara
satu pedati lainnya yang berisi wanita, dibiarkan begitu saja.
***
DUA
Siapa yang tahu kalau gerombolan perampok yang menjegal pasukan prajurit
Kerajaan Jatigelang ternyata dipimpin oleh Gondang. Dia memang telah
memutuskan untuk memimpin anak buahnya lari dari Nyai Ramit, pemimpin mereka
yang sekarang. Mereka kini cepat meninggalkan jalan itu, setelah mendapatkan
satu pedati penuh berisi barang emas yang sangat berharga.
Kekecewaan anak buah Gondang yang mengharapkan wanita-wanita yang ada di
dalam pedati lainnya, bisa terobati setelah mengetahui pedati yang dibawa
penuh berisi barang yang tidak ternilai harganya. Namun belum begitu jauh
mereka pergi, mendadak saja sesosok tubuh ramping sudah menghadang di tengah
jalan. Kemunculan yang begitu tiba-tiba, membuat mereka jadi terkejut.
Gondang yang sudah diangkat menjadi pemimpin, melangkah maju beberapa
tindak dengan sikap dibuat garang. Cukup sulit mengenali orang yang
menghadang ini, karena memakai tudung bambu yang cukup lebar. Hingga,
sebagian besar wajahnya tertutupi. Hanya bagian bibir dan dagu saja yang
terlihat. Namun dari bentuk tubuh dan bibirnya yang merah, sudah bisa
dipastikan kalau orang itu wanita. Tubuhnya yang ramping, terbungkus baju
cukup ketat berwarna hijau muda. Sementara sebilah pedang tergenggam di
tangan kanannya.
“Nisanak, menyingkirlah. Biarkan kami lewat,” kata Gondang dibuat ramah
suaranya.
“Kalian boleh lewat, asal tinggalkan pedati itu,” tegas sekali suara wanita
bertudung ini.
“Jangan bermain-main, Nisanak. Kami tidak ingin menyakiti wanita.
Menyingkirlah, sebelum anak buahku merajang tubuhmu,” kata Gondang, mulai
bangkit amarahnya.
“Aku hanya berkata sekali. Tinggalkan pedati itu, atau kalian semua akan
merasakan akibatnya!”
Gondang jadi menggereng geram mendengar kata-kata wanita bertudung ini.
Wajahnya langsung saja memerah. Tapi belum juga pedangnya dicabut, dua orang
anak buahnya sudah melangkah maju mendekati.
“Biarkan kami berdua yang menghajarnya, Gondang,” kata salah seorang yang
berbaju hitam. Bagian dadanya tampak terbuka lebar, memperlihatkan
bulu-bulunya yang cukup lebat.
“Hm...,” Gondang hanya menggumam perlahan saja. Dan Gondang lalu melangkah
ke belakang beberapa tindak.
Sementara dua orang yang sudah berusia setengah baya itu melangkah maju
beberapa tindak dan langsung menghunus golok. Sedangkan wanita bertudung ini
hanya diam saja, tanpa bergeming sedikit pun juga. Seakan tidak
dipedulikannya dua orang yang sudah berada begitu dekat, di kanan dan
kirinya.
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, dua orang itu langsung saja melompat
menyerang sambil membabatkan golok ke arah kaki dan kepala wanita bertudung
ini. Tapi hanya sedikit saja menarik kakinya ke belakang sambil merunduk,
serangan dua orang ini berhasil dihindari. Bahkan tanpa diduga sama sekali,
wanita bertudung bambu itu melakukan gerakan berputar yang begitu cepat. Dan
pada saat itu juga, dilepaskannya dua kali pukulan.
“Hih! Yeaaah...!”
Begitu cepatnya serangan balik yang dilancarkan wanita bertudung ini,
sehingga dua orang anak buah Gondang tidak dapat lagi menghindarinya.
Plak!
Duk!
“Ugh...!”
“Aaakh...!”
Dan mereka kontan terpekik, begitu pukulan wanita bertudung ini mendarat
telak di dada. Kedua orang itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap
dada. Tampak dari mulut mereka menyemburkan darah kental agak kehitaman.
Hanya sebentar saja mereka masih bisa berdiri terhuyung, karena tak lama
kemudian langsung jatuh menggelepar ke tanah. Sesaat mereka mengejang, lalu
diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.
Melihat dua orang anak buahnya ambruk hanya sekali gebrak saja, bola mata
Gondang jadi mendelik. “Setan alas...!” geram Gondang berang.
Wajah pemuda itu kembali memerah menahan marah, melihat anak buahnya
menggeletak tak bernyawa lagi.
Sret! Gondang langsung mencabut pedangnya. Maka seketika semua anak buahnya
juga segera menghunus golok. Tanpa diperintah lagi, mereka langsung
menyebar, mengepung wanita berbaju hijau muda yang kepalanya memakai tudung
bambu lebar, sehingga menutupi wajahnya. Namun wanita bertudung itu
kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak mempedulikan keadaannya yang
sudah terkepung cukup rapat ini.
“Cincang dia...!” teriak Gondang lantang menggelegar.
“Hiyaaat...!”
“Yeaaah...!”
Begitu mendapat perintah, mereka yang sudah mengepung langsung saja
berlompatan menyerang. Tapi sungguh di luar dugaan, tepat di saat
orang-orang ini berlompatan menyerang, wanita bertudung itu tiba-tiba
melesat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di atas dahan
pohon. Tentu saja hal ini membuat Gondang dan anak buahnya jadi terlongong
bengong. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau gerakan wanita bertudung
itu demikian cepat. Malah lesatannya saja sulit diikuti pandangan mata
biasa.
“Panah...!” seru Gondang memberi perintah. Sepuluh orang anak buah Gondang
yang membawa panah, langsung memasang anak panahnya pada busur. Dan begitu
anak-anak panah dilepaskan, seketika itu pula berhamburan ke arah wanita di
atas pohon.
“Hup! Hiyaaat...!”
Tapi, begitu cepat wanita bertudung ini melesat, membuat anak-anak panah
itu tidak sempat mengenai sasaran. Dan sebelum ada yang sempat menyadari,
wanita bertudung ini berkelebat begitu cepat sambil mencabut pedangnya.
Lalu....
“Yeaaah...!”
Bet!
Wuk!
Bagaikan kilat, wanita bertudung itu membabatkan pedangnya beberapa kali.
Begitu cepat sabetannya, sehingga lima orang anak buah Gondang tidak dapat
lagi menghindar. Seketika, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking
saling sambut, disusul ambruknya lima orang dengan tubuh terbelah
mengucurkan darah segar.
“Keparat...!” desis Gondang geram. “Hiyaaat...!”
Gondang tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Dengan kecepatan bagai
kilat, dia melompat menerjang wanita bertudung ini. Pedangnya yang sudah
tercabut sejak tadi, langsung dibabatkan ke arah kepala wanita itu.
“Hiyaaa...!”
Bet!
“Hap!”
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, wanita bertudung itu bisa
menghindari sabetan pedang Gondang. Dan dengan kecepatan yang sulit diikuti
mata biasa, tubuhnya berputar sambil melepaskan satu tendangan berputar
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Yeaaah...!"
“Heh...?!”
Gondang jadi terbeliak kaget setengah mati. Cepat-cepat pemimpin begal ini
melompat ke belakang, menghindari serangan balasan wanita bertudung itu. Dan
pada saat itu, satu orang anak buah Gondang yang berada di belakang wanita
bertudung ini sudah melompat sambil menebaskan golok ke arah punggung.
“Haiiit...!”
Tapi wanita bertudung itu rupanya sudah mengetahui bokongan lawan. Maka
dengan gerakan berputar cepat, pedangnya dikebutkan dengan tangan terentang
lurus.
Wuk!
Cras!
“Aaa...!”
Jeritan panjang kembali terdengar melengking. Maka seketika pembokong itu
langsung ambruk menggelepar dengan dada terbelah mengucurkan darah.
“Setan...! Serang! Bunuh dia...!” seru Gondang menggeram berang.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Kembali anak buah Gondang yang masih mengepung berlompatan begitu mendengar
perintah pemimpinnya.
“Hup! Hiyaaat...!”
Namun bagaikan kilat, wanita bertudung bambu itu memutar tubuhnya sambil
mengebutkan pedangnya di tangan kanan. Kemudian tubuhnya melesat menghajar
para pengeroyoknya. Maka dalam beberapa gebrakan saja, kembali terdengar
jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi, disusul ambruknya anak buah
Gondang dengan tubuh bersimbah darah. Dan dalam waktu tidak berapa lama
saja, sudah setengah lebih anak buah Gondang yang ambruk tidak bernyawa
lagi.
Sementara, wanita bertudung itu terus berkelebatan dengan kecepatan luar
biasa sekali. Begitu cepat gerakannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan
bayangan hijau dan keperakan saja yang menyambar anak buah Gondang.
Jeritan-jeritan menyayat mengiringi kematian pun terus terdengar saling
susul.
“Phuih! Kubunuh kau, Perempuan Keparat! Hiyaaat...!”
Gondang semakin bertambah geram saja, melihat anak buahnya terus berjatuhan
berlumuran darah dan tidak bangkit-bangkit lagi. Sambil memaki dan berteriak
lantang, Gondang melesat menerjang wanita bertudung itu.
“Hiyaaat...!”
Bet!
“Haiiit...!”
Tepat di saat Gondang menyabetkan pedangnya, wanita bertudung itu cepat
menggerakkan pedangnya pula untuk menangkis serangan. Begitu cepat gerakan
yang mereka lakukan, sehingga benturan keras tidak dapat terelakkan
lagi.
Trang! Bunga api terlihat memercik, saat dua pedang itu beradu keras
sekali. Dan pada saat itu, terlihat wanita bertudung ini melesat ke belakang
sambil menyabetkan pedangnya dua kali. Maka dua orang yang berada paling
dekat dengannya langsung menjerit dan bergerak limbung sambil mendekap
dadanya yang terbelah.
“Hih! Yeaaah...!”
“Awaaas...!”
Gondang berteriak keras, begitu melihat wanita bertudung itu melepaskan
senjata rahasianya yang berbentuk sekuntum bunga mawar dari perak. Namun,
teriakan Gondang terlambat. Beberapa senjata rahasia wanita itu ternyata
sudah menghantam dada anak buah Gondang.
Crab!
Jleb!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi dan saling
sambut, ketika senjata rahasia itu menghantam sasarannya. Saat itu juga,
terlihat anak buah Gondang berjatuhan. Maka dalam waktu tidak berapa lama
saja, tidak ada seorang pun yang masih berdiri, kecuali Gondang saja. Dan
dia juga tadi tidak luput dari serangan-serangan senjata rahasia wanita
bertudung ini. Namun berkat kepandaiannya paling tinggi, keselamatannya
masih menyertainya.
“Kau juga harus menyusul yang lain, Gondang...!” desis wanita bertudung
ini, menggereng geram.
“Heh...?! Kau tahu namaku...?” Gondang jadi terkejut.
Wanita itu tidak menyahut. Tudungnya diangkat, hingga raut wajahnya
terlihat jelas. Seketika, kedua bola mata Gondang jadi terbeliak lebar. Dan
saat itu juga, nafasnya terasa seperti jadi berhenti mendadak.
“Kau... kau...,” Gondang jadi tergagap.
“Aku tidak suka melihat caramu yang seperti ini, Gondang. Kau tahu, apa
akibatnya kalau tidak menuruti perintahku. Kau harus mati, Gondang,”
terdengar dingin sekali suara wanita berwajah cantik itu.
“Phuih! Apa yang aku takutkan darimu, Nyai Ramit?! Aku memang telah muak
denganmu!” Gondang menyemburkan ludahnya dengan sengit.
Perlahan, kakinya ditarik ke kanan. Memang tidak ada pilihan lain lagi,
wanita ini harus dihadapinya. Sementara wanita bertudung bambu itu tetap
berdiri tegak, mengikuti gerak langkah yang dilakukan pemuda di
depannya.
“Mampus kau! Hiyaaat...!”
Sambil membentak keras menggelegar, Gondang langsung saja melompat
menerjang. Pedangnya berputar begitu cepat, hingga bentuknya menghilang tak
terlihat lagi. Hanya kilatan cahaya saja yang terlihat bergulung-gulung,
mengurung wanita bertudung bambu ini. Namun sampai sejauh ini, sedikit pun
tidak terlihat kalau wanita bertudung ini terdesak. Dan semua serangan yang
dilakukan Gondang, mudah sekali dapat dihalau. Bahkan ketika pedang Gondang
menyabet ke arah kaki, cepat sekali wanita bertudung itu melesat ke atas.
Dan dengan satu gerakan yang sukar diikuti pandangan mata biasa, wanita
bertudung itu melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras,
mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Yeaaah...!”
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan wanita bertudung bambu ini,
sehingga Gondang tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Plak!
“Akh...!”
Gondang jadi menjerit, begitu tendangan wanita bertudung ini tepat
menghantam kepalanya. Pemuda itu jadi terpental ke belakang, dan
terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya. Tampak darah mengucur keluar
dari pelipisnya yang robek, akibat terkena tendangan bertenaga dalam tinggi
itu.
“Saatmu sudah tiba, Gondang! Hiyaaat...!” Sambil berteriak keras
menggelegar, wanita bertudung bambu itu melompat cepat bagai kilat. Lalu,
seketika dilepaskannya satu pukulan dahsyat, disertai pengerahan tenaga
dalam penuh. Sementara, Gondang sudah tidak mungkin lagi menghindarinya.
Maka....
Diegkh!
“Hegkh...!”
Gondang hanya dapat mengeluh sedikit, begitu pukulan wanita ini menghantam
tepat pada bagian tengah dadanya. Dari mulutnya kontan menyembur darah
kental. Tampak pada bagian tengah dada pemuda itu tergambar telapak tangan
berwarna hitam yang mengepulkan asap. Kedua bola mata Gondang jadi terbeliak
lebar. Darah terus mengalir keluar dari mulut dan hidungnya. Beberapa saat
tubuhnya masih bisa berdiri limbung, kemudian ambruk ke tanah di antara
mayat anak buahnya. Dan seketika itu juga, nyawanya melayang.
Sementara wanita bertudung itu berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang
bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Terdengar dengusan
nafasnya yang begitu berat. Sedikit tudung bambu yang menutupi kepalanya
diangkat dengan ujung jari telunjuk. Sehingga, terlihatlah seraut wajah
cantik dengan pipi putih agak kemerahan. Bola matanya tampak bundar
bercahaya, indah bagai bintang di langit. Namun sorot matanya terlihat
begitu tajam. Dan bibirnya yang merah, sedikit pun tidak mengembangkan
senyum.
“Hhh! Sudah terlalu lama aku di sini. Sebaiknya aku kembali saja sebelum
terjadi sesuatu lagi yang tidak aku inginkan,” gumam wanita itu. Cepat
sekali tubuhnya melesat pergi, meninggalkan lawan-lawannya yang sudah
bergelimpangan jadi mayat. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap
mata saja sudah lenyap dari pandangan mata tanpa meninggalkan bekas sedikit
pun. Dan belum begitu lama wanita bertudung itu lenyap, dari arah jalan
terlihat dua orang penunggang kuda menuju tempat pertarungan tadi ini. Dan
tampaknya, kedua penunggang kuda itu sudah melihat mayat-mayat yang
bergelimpangan, hampir memenuhi jalan tanah berbatu ini. Maka, segera mereka
memacu kudanya lebih cepat lagi.
“Hooop...!”
“Hup!”
Kedua penunggang kuda itu langsung berlompatan turun, begitu sampai di
tempat mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih. Mereka tampak
begitu terkejut sekali. Salah seorang dari penunggang kuda itu memeriksa
mayat Gondang. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan, dengan rambut
panjang terikat pita putih. Sedangkan seorang lagi adalah gadis berwajah
cantik, berbaju biru agak ketat. Dan dia hanya memandangi saja, apa yang
diperbuat pemuda itu.
“Kelihatannya mereka baru saja meninggalnya, Kakang,” ujar gadis cantik
berbaju biru ketat itu, agak menggumam.
“Hm....” Pemuda berbaju rompi putih dengan pedang bergagang kepala burung
tersampir di punggung itu hanya menggumam saja sedikit. Perlahan pemuda itu
bangkit berdiri, dan kembali mendekati gadis cantik yang juga membawa pedang
bergagang kepala naga berwarna hitam pekat di punggungnya. Tampak pada
lipatan sabuk yang membelit pinggangnya, terlihat sebuah kipas berwarna
putih keperakan.
“Tidak ada yang terluka akibat senjata tajam. Mereka tewas, akibat terkena
pukulan bertenaga dalam tinggi,” jelas pemuda itu pelan, seakan bicara pada
diri sendiri.
Sedangkan gadis cantik berbaju biru di sebelahnya hanya diam saja.
Pandangannya tertuju pada sebuah pedati yang ditarik dua ekor sapi putih,
tidak jauh dari mayat-mayat ini. Gadis itu jadi tertarik, lalu melangkah
menghampiri pedati itu. Dan pemuda berbaju rompi putih ini juga segera
melangkah mengikuti.
“Penuh berisi peti kayu, Kakang,” kata gadis itu memberi tahu, tanpa
berpaling sedikit pun. Beberapa saat mereka mengamati pedati ini.
“Kakang, kau kenali lambang ini...? Seperti lambang sebuah kerajaan,” kata
gadis itu lagi, sambil menunjuk ke arah gambar yang tertera pada kain tebal
penutup pedati.
“Lambang Kerajaan Jatigelang...,” gumam pemuda berbaju rompi putih,
langsung bisa mengenali gambar itu. Sesaat mereka jadi terdiam.
“Ayo, Pandan. Kita tinggalkan saja tempat ini,” ajak pemuda itu.
“Eh...?!” Tapi belum juga gadis cantik yang dipanggil Pandan bisa
berbicara, pemuda berbaju rompi putih ini sudah cepat menariknya, langsung
kembali menghampiri kudanya.
Tanpa bicara lagi, pemuda berbaju rompi putih itu langsung melompat naik ke
punggung kuda hitam tunggangannya yang bernama Dewa Bayu. Sedangkan gadis
cantik yang dipanggil Pandan itu masih tetap berdiri memegangi tali kekang
kuda putihnya. Gadis cantik itu memang Pandan Wangi. Dan di kalangan rimba
persilatan julukannya adalah si Kipas Maut, karena kedahsyatan senjatanya
yang berbentuk sebuah kipas putih keperakan. Sedangkan pemuda tampan berbaju
rompi putih yang kini sudah berada di atas punggung kuda hitamnya, tidak
lain adalah Rangga. Dan dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti.
“Ayo, Pandan,” ajak Rangga lagi tidak sabar.
“Kenapa harus pergi, Kakang...?”
“Nanti akan kujelaskan. Sebaiknya, cepat naik ke kudamu. Kita pergi dulu
dari sini.”
Meskipun masih belum mengerti, Pandan Wangi naik juga ke punggung kudanya.
Dan tidak berapa lama kemudian, kedua pendekar dari Karang Setra itu sudah
memacu kudanya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan tempat itu. Debu
langsung membubung tinggi ke angkasa, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu
cepat bagai dikejar setan.
Dan saat kedua pendekar itu sudah tidak terlihat lagi, dari arah jalan
lain, terlihat sebuah pedati bergerak perlahan mendekati tempat ini. Pedati
itulah yang berisi para wanita yang dikawal prajurit Kerajaan Jatigelang,
yang dirampok kelompok Gondang tadi. Mereka kini terpaksa menjalankan
pedatinya sendiri, setelah ditinggalkan oleh para perampok.
Wanita-wanita di dalam pedati itu jadi menjerit terpekik, begitu melihat
mayat-mayat bergelimpangan menghadang jalan. Kemudian, salah seorang wanita
di dalam pedati itu bergegas turun, dan langsung menghampiri pedati yang
berisi penuh peti-peti kayu berukir. Dan tidak lama kemudian, wanita itu
kembali lagi ke pedati yang masih berisi wanita-wanita muda berwajah cantik
ini.
“Kanjeng Putri..., semua barang di dalam pedati masih lengkap,” lapor
wanita itu.
Dan dari dalam pedati, menyembul sebuah kepala dengan raut wajah cantik
sekali. “Kau bisa bawa pedati itu, Dayang Sambi?” lembut sekali suara wanita
yang disebut Kanjeng Putri itu.
“Bisa, Kanjeng Putri.”
“Bawalah. Ikuti pedati ini dari belakang. Lebih baik, kita kembali dulu ke
kerajaan. Sebaiknya urusan pernikahan ini memang dibatalkan dulu.”
“Baik, Kanjeng Putri.” Wanita yang dipanggil Dayang Sambi itu bergegas
menghampiri pedati berisi penuh peti kayu, yang di dalamnya terdapat
barang-barang berharga. Sigap sekali dia naik ke atas pedati itu. Sementara,
pedati yang sarat berpenumpang wanita-wanita ini, sudah bergerak lagi, tanpa
mempedulikan mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi jalan.
***
TIGA
Kedatangan dua pedati yang masing-masing hanya berisi wanita serta
peti-peti kayu berisi emas tanpa seorang pun prajurit pengawal, tentu saja
membuat seluruh penghuni Istana Kerajaan Jatigelang jadi gempar. Terlebih
lagi, di antara wanita itu terdapat Rara Ayu Endang Witarsih, putri tunggal
Prabu Gelangsaka. Memang perjalanan Rara Ayu Endang Witarsih sebenarnya
adalah menuju Kerajaan Soka, untuk menemui calon suaminya di sana. Dan anak
Raja Soka memang telah dijodohkan dengan Rara Ayu Endang Witarsih.
Sudah menjadi kebiasaan bagi para raja, bila ingin berkunjung ke kerajaan
lain akan selalu membawa oleh-oleh berupa emas dan barang-barang berharga
lainnya. Maka tak heran kalau Rara Ayu Endang Witarsih harus dikawal
sepasukan prajurit kerajaan. Dan begitu mereka berada di Balai Sema Agung,
Rara Ayu Endang Witarsih menceritakan semua yang terjadi di perjalanan.
Prabu Gelangsaka jadi menarik napas lega, karena akhirnya Rara Ayu Endang
Witarsih selamat. Namun demikian masih tersirat pada raut wajahnya, kalau
dia menyimpan kemurkaan atas tewasnya Panglima Wanengpati di tangan para
perampok itu.
“Aku sendiri juga bingung, Ayah. Pemimpin perampok itu sama sekali tidak
mengganggu kami. Malah meninggalkan begitu saja. Yang diambil hanya pedati
yang berisi barang-barang emas saja,” jelas Rara Ayu Endang Witarsih
lagi.
“Mereka tidak tahu kalau kau ada di antara dayang-dayangmu, Anakku?” tanya
Prabu Gelangsaka.
“Tidak, Ayahanda Prabu. Aku berada di tengah-tengah. Dan tidak ada seorang
pun dari mereka yang memeriksa ke dalam pedati,” sahut Rara Ayu Endang
Witarsih.
“Lalu apakah kau tahu, siapa yang membasmi perampok-perampok itu?” tanya
Prabu Gelangsaka lagi.
Rara Ayu Endang Witarsih hanya menggeleng saja, menjawab pertanyaan ayahnya
ini. Sedangkan semua dayang yang duduk bersimpuh di belakang Rara Ayu Endang
Witarsih juga menggelengkan kepala, saat Prabu Gelangsaka memandanginya satu
persatu. Seakan-akan meminta jawaban dari pertanyaannya tadi.
“Tapi, Ayahanda Prabu...,” ujar Rara Ayu Endang Witarsih bernada
terputus.
“Ada apa, Witarsih?”
“Aku melihat ada bekas tapak kaki kuda di antara mayat-mayat perampok
itu.”
“Hm...,” Prabu Gelangsaka jadi menggumam pelan.
"Tapi tadi kau mengatakan, perampok- perampok itu semuanya menunggang
kuda....”
“Benar, Ayah. Tapi jejak kaki kuda yang kulihat, justru arahnya menuju ke
sini. Ke kotaraja ini...,” sahut Rara Ayu Endang Witarsih.
“Oh..., apa mungkin ada di antara mereka yang menyelusup ke sini...?” nada
suara Prabu Gelangsaka seperti bertanya pada diri sendiri.
“Mungkin, Ayah,” ujar Rara Ayu Endang Witarsih.
“Kalau begitu, mereka harus segera ditangkap,” kata Prabu Gelangsaka, agak
mendesis suaranya. “Berapa orang mereka, Witarsih?”
“Hanya dua orang.”
“Dua orang...,” gumam Prabu Gelangsaka perlahan.
Beberapa saat Raja Jatigelang yang berusia enam puluh tahun itu terdiam
dengan kening berkerut. Sedangkan Rara Ayu Endang Witarsih juga terdiam
membisu.
“Beristirahatlah dulu, Anakku. Perjalananmu pasti sangat melelahkan,” ujar
Prabu Gelangsaka.
“Baik, Ayahanda Prabu.” Setelah memberi sembah hormat, Rara Ayu Endang
Witarsih meninggalkan Balai Sema Agung Istana Kera-jaan Jatigelang ini,
diikuti dayang-dayangnya dengan sikap begitu hormat.
Mereka juga memberi sembah hormat pada Prabu Gelangsaka, sebelum
meninggalkan ruangan yang megah ini. Sementara Prabu Gelangsaka masih
terdiam sambil bertopang dagu memikirkan cerita anak gadisnya barusan.
“Aneh...! Siapa perampok-perampok itu...? Aneh sekali tindakan mereka.
Tidak seperti perampok lainnya. Hm....,” gumam Prabu Gelangsaka, bicara pada
diri sendiri.
Perlahan laki-laki tua ini mengangkat kepalanya. Dan tatapan matanya
langsung tertuju pada seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, mengenakan
seragam prajurit berpangkat panglima. Di pinggangnya tergantung sebilah
pedang yang cukup panjang. Panglima itu segera memberi sembah dengan
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
“Panglima Sela Gading....”
“Hamba, Gusti Prabu.”
“Kerahkan prajurit-prajuritmu. Cari dua orang perampok itu, dan bawa ke
sini dalam keadaan hidup. Aku merasa ada sesuatu yang aneh pada mereka,”
perintah Prabu Gelangsaka.
“Segala titah Gusti Prabu akan hamba laksanakan,” sahut Panglima Sela
Gading.
“Kerjakan sekarang juga, Panglima Sela Gading.”
“Hamba, Gusti Prabu.”
***
Siang yang panas ini, semakin bertambah panas dengan menyebarnya para
prajurit Kerajaan Pringgada ke seluruh pelosok kerajaan ini. Mereka memang
dipe-rintahkan untuk mencari perampok-perampok yang dikatakan masih ada dua
orang lagi. Dan diduga, kedua perampok itu berada di dalam kotaraja ini.
Semua rumah digeledah, dan penghuninya ditanyai. Dan mereka yang dicurigai,
langsung ditangkap tanpa mengenal ampun.
Bahkan tidak jarang prajurit-prajurit itu bertindak kasar. Siapa saja yang
dicurigai, langsung dirantai, digiring ke istana. Tindakan yang dilakukan
Panglima Sela Gading dan para prajuritnya, tentu saja membuat kekacauan di
seluruh pelosok Kotaraja Jatigelang ini. Namun tidak ada seorang pun yang
tahu, penyebab dari semua tindakan kasar para prajurit itu.
Semua orang hanya saling bertanya saja, tanpa tahu sebabnya. Sementara itu
tidak jauh dari gerbang perbatasan kota, di sebuah kedai kecil yang terbuka,
Rangga dan Pandan Wangi juga menyaksikan semua tindakan para prajurit. Di
dalam hati mereka, tentu saja timbul pertanyaan. Prajurit-prajurit itu
memang bertindak kasar. Dan siapa saja yang mencoba melawan, langsung
ditangkap tanpa ampun lagi. Bahkan ada beberapa prajurit yang secara kasar
mengobrak-abrik beberapa rumah penduduk.
Jerit dan tangis mewarnai seluruh pelosok kerajaan ini. Dan semua tindakan
prajurit itu tidak terlepas dari pengamatan Pendekar Rajawali Sakti dan si
Kipas Maut dari dalam kedai. Bahkan bukan hanya mereka. Beberapa pengunjung
kedai yang semuanya berasal dari kalangan persilatan juga menyaksikan.
“Tindakan mereka benar-benar liar! Sama sekali tidak menampakkan kalau
mereka adalah prajurit!” dengus Pandan Wangi mulai muak.
“Jangan bicara sembarangan, Nisanak. Kalau mereka dengar, bisa ditangkap
nanti,” tegur laki-laki setengah baya pemilik kedai ini
memperingatkan.
Pandan Wangi hanya melirik sedikit saja pada pemilik kedai itu. Sedangkan
pengunjung lain mulai melirik gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu.
Di anta-ra mereka, ada seorang pemuda berwajah cukup tampan. Bajunya warna
putih bersih. Wajahnya juga dihiasi kumis tipis. Dan matanya terus
memandangi Pandan Wangi dengan sinar mata sulit diartikan. Sedangkan Pandan
Wangi sendiri, sama sekali tidak tahu kalau sejak tadi dipandangi
terus-menerus.
“Apa yang mereka cari sebenarnya...? Kenapa sampai menyusahkan rakyat
begitu...?” gumam Pandan Wangi, seperti bertanya sendiri.
“Mereka mencari dua orang perampok,” selak salah seorang pengunjung kedai
ini.
Pandan Wangi segera memutar tubuhnya ke arah sahutan tadi hingga berhadapan
dengan laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Memang dia sejak tadi
sebenarnya duduk tepat di depannya. Walaupun usianya sudah hampir setengah
baya, tapi wajahnya masih kelihatan tampan. Dan senyumnya begitu menarik.
Dari pedang yang tergeletak di atas meja panjang ini, bisa dipastikan kalau
dia dari kalangan persilatan.
Emoticon