Beberapa saat kemudian Parmin sudah berada di sebuah lembah untuk menemui
seseorang, yaitu Sundata. Saat itu sang surya telah mulai membuat
bayangan-bayangan memanjang. Parmin mendekati sebuah batu untuk duduk di
situ.
“Tempat inilah yang telah ia janjikan untuk pertemuan!” gumam Parmin pada
dirinya.
Ia lalu duduk di atas sebuah batu. Baru saja ia duduk, tiba-tiba orang yang
ditunggu sudah tampak berlari-lari menghampirinya.
“Perintah pertama sudah aku laksanakan. Aku berhasil mengumpulkan sembilan
orang pendekar! Kami menunggu perintah anda selanjutnya, Jaka Sembung!” ujar
Sundata memberi laporan.
“Perintahkan kepada sembilan pendekar itu supaya melamar pada orang-orang
kaya di desa Kalimanggis ini untuk menjadi tukang-tukang pukul!”
“Siap! Akan kami laksanakan!” jawab Sundata cepat, kemudian berlalu
meninggalkan Parmin untuk memberitahukan pendekar lainnya
“Selamat berjuang! Tuhan selalu di pihak yang benar!” ujar Parmin
yakin.
Jaka Sembung lalu melanjutkan langkahnya. Ia tidak lagi berjalan seorang
diri karena di temani oleh sahabat barunya yang setia, yaitu si Beo yang
sangat cerdik itu.
“Kau kelihatan gelisah saja, Beo?” tanya Parmin melihat si Beo
menggerak-gerakkan kepalanya.
Parmin terus melangkah, namun panca indera mengatakan ada sesuatu yang
tidak beres di sekitarnya. Betul saja dugaannya, beberapa batang anak panah
melesat dari busurnya mengarah ke tubuh Parmin.
“Hiiaatt…....!” seru Parmin sambil bersalto di udara mengindari serangan
gelap itu. Selamatlah jiwanya untuk sementara waktu. Namun baru saja kakinya
menyentuh tanah, beberapa batang anak panah kembali meluncur ke
arahnya.
Parmin kembali harus bersalto ke udara sambil memutarkan tongkatnya untuk
menangis. Beberapa batang anak panah patah dua terkena sabetan tongkat
Parmin, dan sebagian lolos di antara kedua kaki dan tangannya.
Serangan anak panah yang bertubi-tubi itu tiba-tiba berhenti. Parmin lalu
mendaratkan kakinya di antara anak panah yang menancap di tanah dengan sikap
waspada. Tak lama kemudian Parmin mendengar suara derap kaki kuda yang
bergemuruh dengan debu-debu yang berterbangan menuju ke arahnya.
Suara gemuruh itu kian dekat ke arah Jaka Sembung yang menanti dengan penuh
kewaspadaan. Teriakan-teriakan penunggang kuda yang ramai itu menjadi hiruk
pikuk. Para penunggang kuda dengan senjata-senjata tombak dan pedang
panjang, serta tali tambang telah siap menyergap Parmin.
“Heeaaattt.......” teriak Parmin sambil berguling di tanah menghindari
babatan pedang serta tombak yang menghujaninya.
Kini Parmin telah terkepung. Para penyerangnya dengan memacu kuda mereka
mengitari Jaka Sembung sehingga debu-debu memenuhi arena pertarungan dan
membuat pandangan mata Parmin menjadi terhalang.
Beberapa buah senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil mengarah ke tubuh
Parmin.
“Heeeeaattt.......” seru Jaka Sembung keras sambil memutar tongkatnya dan
berguling-guling.
Empat buah pisau menempel di tongkatnya. Dengan cepat ia hentakkan
tongkatnya dan pisau-pisau itu melayang kembali mengarah kepada
pemiliknya.
Seketika terdengarlah jeritan panjang diiringi suara berdebamnya tubuh
salah seorang dari penyerang itu dengan pisau menancap di lehernya. Namun
pada detik selanjutnya sebuah tali tambang besar telah melilit tangan Jaka
Sembung.
Parmin berusaha untuk melepas lilitan itu, tetapi dua buah tambang kembali
melilit tangannya dan tubuh Parmin lalu di seret oleh para penunggang kuda
itu.
“Ha.......ha.......ha.......ha! Tikus Gunung Sembung ini sudah tidak
berdaya lagi!” teriak salah seorang dari mereka gembira diikuti tawa yang
lainnya.
“Tarik terus sampai besot-besot! Kita bikin dendeng abon! Yaaah! Yach!”
teriak yang lainnya sambil menarik tambangnya berputar-putar kian
kemari.
Tubuh Parmin terus diseret-seret, pakaiannya telah koyak-koyak terkena
batu-batu kerikil yang ada di lembah itu dan tubuhnya pun telah lecet-lecet.
Di sebuah pohon yang rindang di balik bukit, terlihat si Kaki Tunggal sedang
makan sambil melepaskan lelah.
Tiba-tiba suapan nasinya terhenti ketika telinganya mendengar suara yang
meminta pertolongan.
“Toloooong! Tooloong!”
“Apa iya Jaka Sembung cengeng begitu, baru kena diseret kuda saja sudah
teriak-teriak minta tolong!”
“Pendekar Gunung Sembung dalam bahaya!” suara itu keras terdengar
olehnya.
“Hah! Itu burung Beo Jaka Sembung! Aku harus segera menolongnya!” gumam si
Kaki Tunggal menghentikan makannya begitu melihat Beo menghampiri
dirinya.
Tanpa pikir panjang lagi, bagaikan orang disengat lebah, si Kaki Tunggal
melesat dari tempat duduknya. Tubuhnya berkelebat mengikuti si Beo yang
terbang rendah sebagai petunjuk jalan.
“Cepat sedikit, kawan!” teriak si Beo memberi peringatan.
Sementara itu Parmin masih berkutat dengan siksaan para penunggang kuda
yang menyeret tubuhnya. Tanpa mereka ketahui tiba-tiba sebuah kilatan cahaya
putih telah menerobos arena pertarungan.
“Sret!” Putuslah tali pengikat tangan Parmin, si Kaki Tunggal dengan mata
mencorong telah berdiri di hadapan para penunggang kuda itu.
“Heh! Kurang ajar! Siapa kau?!”
“Kepung kawan-kawan! jangan sampai kunyuk buntung ini lolos!” bentak salah
seorang yang menyeret Parmin, setelah melihat ada orang yang menolong Jaka
Sembung. Kini mereka berdua telah dikepung oleh para penunggang kuda
itu.
“Heh! Bebel siah!” bentak si Kaki Tunggal mencaci-maki penyerangnya, karena
tudung si Kaki Tunggal telah tertembus oleh sebuah tombak yang nyaris
menghantam batok kepalanya.
Dengan cepat ia jatuhkan dirinya ke belakang sambil melemparkan senjatanya.
“Mampus siah!” teriaknya dan seketika itu terdengar jeritan tertahan.
Si penyerang itu mati dengan dada tertembus.
Si Kaki Tunggal masih berguling-guling pada saat tiga buah cahaya dari
senjata rahasia mengarah kepadanya.
Nyawa si Kaki Tunggal terancam, untung Parmin melihatnya, dan dengan
gerakan cepat Parmin menyentil pisau-pisau itu hingga arahnya meleset ke
samping tubuh si Kaki Tunggal. Maka luputlah bahaya yang mengancam
jiwanya.
“Awas pisau, kawan!” teriak Parmin sambil bergerak mendekati si Kaki
Tunggal.
“Terima kasih Jaka Sembung! Beginilah susahnya punya sebelah kaki, gerakan
selalu lamban!” ujar si Kaki Tunggal sambil tangannya melemparkan kembali
pisau-pisau itu mengarah leher lawannya.
Seketika itu juga tiga orang penunggang kuda itu jatuh dari pelananya dan
mati dengan pisau menancap di leher.
Para penunggang kuda yang tinggal beberapa orang itu segera menyerang si
Kaki Tunggal dan Parmin yang masih bergulingan di tanah dengan
senjata-senjata mereka. Namun kembali si Kaki Tunggal dan Parmin membuat
gerakan manis dengan menangkap pisau-pisau itu dengan jari tangan mereka dan
mengembalikannya kepada sang pemilik dengan cepat.
Tepat mengarah leher mereka, sehingga tubuh mereka jatuh berdebam ke tanah
dengan nyawa melayang. Darah membasahi bekas luka itu.
Kini tinggal Parmin dan si Kaki Tunggal berdiri di antara para penunggang
kuda yang tergeletak tak bernyawa lagi dan kuda-kuda mereka telah berlarian
entah kemana.
“Semoga anda tak terluka, pendekar Gunung Sembung! Rupanya kita enteng
jodoh, sehingga dalam satu hari ini kita bisa bertemu dua kali,” ujar si
Kaki Tunggal sambil berdiri dan menghampiri Parmin yang masih duduk di
tanah.
“Terima kasih, pendekar!” ujar Parmin sambil menepis bajunya yang penuh
debu.
“Burung Beo itulah sebetulnya yang menolong anda. Nah, baiklah kita
berpisah dulu. Syukurlah jika anda baik-baik saja. Selamat malam, Jaka
Sembung!” ujar si Kaki Tunggal sambil mengambil tudungnya yang bolong
tertembus sebuah tombak dan berlalu dari hadapan Parmin.
“Kuharap kita bisa berjumpa lagi, pendekar!” ucap Parmin.
***
Hari telah berganti lagi. Siang itu matahari terik menyinari desa
Kalimanggis. Dari tengah sawah terdengar teriakan-teriakan seseorang yang
sedang menghalau burung-burung yang coba-coba mematuk padi yang mulai
menguning.
“Huraaaaaaaaaaaaaaa.......!! Hup! Hup! Huuraaaaaiii.......!
Haayooooooo.......!!!”
Suara itu keras sekali terdengar menggema, dibarengi hentakan-hentakan
tangan pada tali-tali yang tergerak dengan bunyi-bunyian tempurung yang di
isi batu-batu kecil sehingga membuat burung-burung tidak jadi memakan padi
dan terbang menjauh.
Orang itu tak lain adalah Umang. Ia kini telah menjadi buruh pada seorang
petani kaya di desa Kalimanggis.
Kerjanya tiap hari adalah menghalau burung-burung di sawah. Keringatnya
telah membasahi baju serta wajahnya. Sekali-sekali ia menyeka keringat di
wajahnya dengan tangannya yang buntung.
“Huraaaaaaaa.......! Huuraaaaaaa!!” teriak Umang dengan penuh
semangat.
“Seandainya tanganku lengkap, aku lebih baik kerja lainnya. Aku jemu setiap
hari menghalau burung!” gumam Umang menyesali dirinya.
Di saat itu sepasang mata lain mengawasinya dari arah belakang. Orang itu
tak lain adalah Mirah yang terus berusaha mendekati Umang.
“Itulah Umang! Aku akan coba-coba berkawan dengannya. Tampaknya ia lebih
bisa didekati dari pada si Tirta, kawannya itu!” gumam Mirah di dalam
hatinya.
“Saudara Umang!” Sapa Mirah pelan sambil menguak batang padi yang sedang
menguning di hadapannya agar tak menghalangi tubuhnya.
“Heh....... siapa kau? Apa maksudmu datang kemari? Oh....... andakah yang
pernah mengintip kami?!” Kata Umang terkejut sambil menoleh padanya penuh
selidik.
“Betul! Tetapi aku tidak punya niat jahat. Aku ingin bersahabat dengan anda
berdua. Aku pun hendak menuntut balas terhadap Lalawa Hideung!” Jawab Mirah
membela diri.
Umang tidak berkata sepatah pun ketika mendengar keterangan Mirah yang
ingin membalas dendam pada gerombolan laknat itu.
“Percayalah! Aku bukan seorang mata-mata gerombolan Lalawa Hideung.
Ijinkanlah aku menemani anda bercakap-cakap!” Ujar Mirah meyakinkan Umang
agar menerima dirinya sebagai kawan.
“Heh! Berdua dalam gubuk di tengah sawah yang sepi begini? Apakah anda tak
berperasangka buruk terhadapku?” tanya Umang dengan senyum penuh arti.
“Aku percaya bahwa anda seorang laki-laki yang menjunjung tinggi nilai
kesucian seorang wanita!” jawab Mirah pelan penuh harapan.
“Terima kasih! Kemarilah, dan silakan duduk!” kata Umang sambil menggeser
tubuhnya ke kiri untuk memberi Mirah duduk di sampingnya.
Kemudian Mirah menghampiri Umang dan duduk di sebelahnya. Mata mereka
bertemu pandang sejenak dan untuk beberapa saat telah menimbulkan
getaran-getaran di dada masing-masing. Mirah memulai bercerita tentang
dirinya serta keluarganya.
“Dua tahun yang lalu, desa kami dirampok oleh gerombolan Lalawa Hideung.
Kekasihku serta keluargaku mati terbunuh. Juga rumah kami di bakar habis,”
ucap Mirah sedih mengenang peristiwa itu dan tanpa terasa air matanya
menetes di pipinya.
“Semua orang bernasib sama karena kekejian Lalawa Hideung! Aku sudah banyak
mendengar cerita duka seperti ini! Aku hanya bisa turut berduka cita atas
nasibmu. Hm, Siapa namamu, dik?!” tanya Umang lembut dan membayangkan
kejadian yang menimpa dirinya serta keluarga sendiri.
“Mirah!” jawab gadis tersebut sambil mengusap air matanya dengan jari-jari
tangannya yang halus.
Mereka berdua terlibat pembicaraan mengenai diri masing-masing dengan
serius. Sementara itu, tanpa mereka sadari, sesosok tubuh dengan kain
membungkus kepalanya hingga tak terlihat sehelai rambut pun menghampiri
mereka dari belakang.
“Huh! Kurang ajar betul ayam hutan itu!” gumamnya penuh rasa geram.
Sosok tubuh yang tak lain adalah Tirta itu terus mendekati mereka dengan
perlahan-lahan. Tiba-tiba tangannya bergerak.
“Heeeaaatttt.......” teriak Tirta keras dengan sorot mata tajam.
Melesatlah tiga buah senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil mengarah ke
punggung Mirah yang sedang asyik berbicara dengan Umang.
“Haaiiii........tt!” teriak Mirah sambil melesat ke atas menjebol atap
gubuk itu dan bersalto di udara. Pisau-pisau itu menancap di atas tempat
duduk Mirah yang telah kosong.
Umang sangat terperanjat dengan serangan yang datang secara tiba-tiba itu.
Detik-detik selanjutnya Mirah yang masih berada di udara terus dihujani
dengan serangan pisau-pisau kecil, sehingga Mirah terpaksa jungkir balik
menghindarinya.
“Kau harus mampus, awewe jurig!!!” Bentak Tirta keras sambil melempar
pisau-pisaunya ke arah titik-titik kematian pada tubuh Mirah.
“Tirta, tunggu!! Hentikan Tirta!!” teriak Umang sambil melompat dari tempat
duduknya dan mengejar Tirta yang masih terus memburu Mirah.
“Tirta, tunggu! Gadis itu bukan musuh kita! Dia kawan kita, Tirta!”
“Aku lebih tahu tampang seorang cecunguk!!” bantah Tirta tanpa menghiraukan
perkataan Umang. Ia malah menghunus goloknya yang lalu diayunkan ke arah
Mirah yang terus menghindar tanpa memberi perlawanan.
“Tirta, hentikan kataku! Kau terlalu mengumbar napsu!!” Sergah Umang sambil
memegang tangan Tirta.
“Jangan ikut campur! Ini adalah urusanku!!” bentak Tirta sambil meronta
melepaskan pegangan tangan Umang. Dengan gerakan gesit ia kembali menyerang
Mirah yang berusaha melompat menghindari serangan itu.
Akhirnya dengan susah payah Umang berhasil menyergap tubuh Tirta dan
mendekapnya erat-erat.
“Lepaskan aku, Umang!” teriak Tirta keras sambil berusaha meronta dan
melepaskan diri dari pelukkan Umang.
“Ah?! Umang tersentak kaget seraya melepaskan dekapan tangannya, dan mundur
dua langkah dengan sorot mata mengandung sebuah pertanyaan.
Ketika Umang mendekap tubuh kawannya itu, ia merasakan tangannya menyentuh
sesuatu yang lembut di balik baju Tirta.
Seketika itu Tirta berontak dan kemudian tertunduk malu. Wajahnya seketika
bersemu merah.
“Kau selalu saja menghalang-halangiku! Seharusnya aku sudah dapat mengirim
perempuan itu ke neraka. Suatu saat kita sendiri dapat terbunuh karena
tindakanmu!” Ujar Tirta dengan wajah cemberut karena kesal dan malu atas
kejadian yang baru saja berlangsung sambil meraba dadanya seakan-akan bekas
tangan Umang masih terasa dan membuat bulu-bulu tubuhnya berdiri
meremang.
“Tetapi kepada musuh wanita, kita tidak boleh bertindak secara membabi
buta!” bentak Umang mengharap pertimbangan.
“Musuh wanita lebih berbahaya dari pada musuh laki-laki! Karena menganggap
wanita lemah dan remeh, kita akan menjadi lengah dan sedikit saja salah
langkah, kita akan terbunuh olehnya!” Jawab Tirta dengan nada penuh emosi
dan rasa benci terhadap wanita.
“Tapi aku yakin ia bukan musuh kita!” Ujar Umang kembali dengan nada
ditekan.
“Itulah kebodohanmu, Umang! Laki-laki semacam kau akan bisa dengan mudah
kena perangkap dengan umpan wanita-wanita cantik!” sambung Tirta dengan nada
kesal.
“Tetapi aku tidak melihat kebohongan pada sinar matanya!” bantah Umang
membela diri sambil meyakinkan teman seperjalannya itu yang masih
ragu-ragu.
Perdebatan mereka segera terhenti. Tirta bergegas meninggalkan Umang menuju
lumbung tua. Umang mengikutinya dari belakang, sesampai di dalam lumbung tua
tempat tinggal sementara bagi mereka, perdebatan pun dilanjutkan
kembali.
Tirta dengan wajah yang masih cemberut, duduk bersandar pada sebuah balok
dengan kaki di lipat, sedangkan Umang merebahkan diri di atas alang-alang
kering dengan tangan sebagai alas kepala.
“Kita sama-sama lelaki, Umang!” ujar Tirta dengan nada sumbang sambil
tangannya berusaha menutup kancing leher bajunya.
“Justru karena kita laki-laki, maka naluri kita bisa menangkap denyut
kebohongan dalam dada setiap wanita!” jawab Umang cepat sambil duduk dan
memandang wajah Tirta dalam-dalam.
“Kusesalkan seandainya kau bisa jatuh cinta pada musuh!” sergah Tirta
dengan nada cemburu dan berusaha membuang muka menghindari tatapan
Umang.
Matahari pun bergulir kearah barat dan senja telah datang.
Binatang-binatang malam telah keluar dari sarangnya mencari makan. Malam itu
udara di luar terasa dingin membuat orang-orang tertidur dengan
nyenyaknya.
Di dalam lumbung tua terlihat Tirta dan Umang sudah terbaring dengan posisi
bertolak belakang. Umang dengan posisi terlentang sedangkan Tirta dengan
posisi terlungkup. Di dalam tidurnya malam itu, Umang agak gelisah. Ada
sesuatu yang aneh di rasakan entah mimpi entah bukan.
Dalam perasaannya ada seseorang yang membelai tubuhnya dengan begitu
lembut. Pakaiannya terasa di buka satu persatu oleh tangan-tangan halus lalu
bibirnya dipagut oleh bibir yang tipis yang mengeluarkan bau harum dari
mulutnya.
Tubuhnya bergulingan bersama tubuh lain dengan napas memburu dan pada saat
puncaknya, tubuh Umang menegang untuk kemudian lemas.
Tatkala Umang terbangun tengah malam itu tubuhnya terasa agak lemah seperti
dilolosi dan ia menoleh kepada Tirta yang tidur lena dengan bibir tersenyum
bahagia. Sungguh aneh!
Sang surya telah memancarkan sinar emasnya menerangi alam raya ini, Umang
meninggalkan Tirta yang masih tertidur. Ia kemudian membersihkan tubuhnya di
air pegunungan yang tak jauh dari tempat mereka tinggal.
Air pegunungan di pagi itu membuat tubuh Umang terasa lebih segar dari
biasanya, Umang terus merendam tubuhnya dengan pikiran yang masih dipenuhi
dengan teka-teki.
“Tirta, tapi, ah....... Tak mungkin!” gumam Umang membayangkan kejadian
yang dialami semalam.
Ketika Umang kembali ke lumbung tua itu, Tirta sudah tidak ada di tempatnya
dan ia hanya melihat sudah ada hidangan yang tersedia disana.
“Tirta, ke mana Tirta? Biasanya ia memberi tahu aku kemana dia pergi! Hmm,
apakah yang di tinggalkan itu? Makanan untukku? Telur ayam setengah matang!
Tentu ini disediakan untukku!” gumam Umang pada dirinya sendiri setelah
sia-sia mencari Tirta di tempat itu.
Umang mengambil telur dan di makannya sebelum menyantap makanan lainnya
yang lengkap sebagai sarapan pagi penuh dengan gizi.
***
Pada malam hari di suatu tempat yang tak seorang pun tahu, telah berkumpul
gerombolan Lalawa Hideung dengan berpakaian serba hitam komplit dengan cadar
menutupi mukanya dan kepala terbungkus kain warna hitam pula.
Dalam ruangan yang hanya di terangi sebuah pelita yang tergantung pada
sebuah balok melintang, duduk orang-orang Lalawa Hideung membentuk lingkaran
mengelilingi meja perundingan dengan sang ketua duduk paling ujung
menghadapi orang-orangnya yang dengan penuh perhatian mendengarkan
pemimpinnya berbicara.
“Kalian harus waspada! Kini desa Kalimanggis terpagar kuat oleh para
pendekar yang hendak menuntut balas kepada kita!” Ujar sang ketua dengan
suara lantang dan berwibawa. Semua anak buahnya mendengarkan dengan serius.
Kemudian sang ketua melanjutkan pembicaraannya.
“Penjagaan mereka tersusun rapi karena siasat pendekar Gunung Sembung!
Seperti kalian tahu, kalian telah dua kali gagal membunuh pendekar dari
daerah utara itu! Ini berarti Lalawa Hideung mendapat tantangan yang cukup
berat!
“Minggu depan sudah mulai panen, kita harus bersiap-siap menyusun siasat
dan kekuatan kita! Lalawa Hideung harus tetap jaya!
“Telah bertahun-tahun Lalawa Hideung merajai daerah lereng selatan gunung
Ciremai ini! Lalawa Hideung adalah momok sepanjang jaman! Ha..ha.. ha..ha!!”
seru sang ketua berapi-api dan bersemangat, dengan ketawa yang keras sekali
membuat berdiri bulu kuduk bagi siapa saja yang mendengarnya.
“Hidup sang ketua! Hidup Lalawa Hideung!!” teriak mereka serempak seperti
ada yang memberi komando.
Setelah mendengar sang ketua berbicara, kemudian mereka menyusun rencana
untuk malam ini. Hari telah larut malam, tetapi mata Umang tak mau
mengantuk, lalu membuat api unggun di depan lumbung tua itu menantikan Tirta
yang tak kunjung datang.
Umang kemudian duduk di bawah pohon tak jauh dari api unggun itu sambil
termenung. “Sudah hampir tiga bulan aku menetap di desa Kalimanggis ini,
belum pernah seorang Lalawa Hideung pun yang kutemui! Apakah pengembaraanku
akan sia-sia!” gumam Umang pada dirinya sendiri.
Pikiran menerawang seakan-akan menembus kegelapan malam. Tiba-tiba indera
keenamnya bereaksi mengatakan ada sesuatu disekitarnya. Maka ia segera
menoleh ke belakang.
“Heh, siapa itu?” Sapa Umang melihat sesosok bayangan tubuh menghampiri
dirinya.
Setelah orang itu dekat Umang kembali memalingkan wajahnya menghadapi api
unggun, karena orang yang baru datang itu tak lain adalah Mirah.
“Maafkanlah, lagi-lagi aku mengganggu anda, Umang!” katanya dengan lembut
dan segera duduk di sebelah Umang.
“Oh....... tidak! Aku justru sedang butuh kawan!” balas Umang sambil
menambah kayu bakar supaya api unggun tidak mati.
“Anda sedang sendirian? Kemana teman anda Tirta? Apakah ia sengaja memasang
perangkap untukku?!” tanya Mirah menyelidik kalau-kalau Tirta ada di
sekitarnya.
“Tidak! Sejak pagi tadi ia belum pulang. Jika ia bermaksud membunuhmu, aku
pasti akan turun tangan!” jawab Umang dengan pandangan mata penuh
arti.
“Hmm, anda berdua mulai bertengkar karena aku? Maafkanlah segala
tindakanku!” ujar Mirah dengan bibir tersenyum sebagai balasan atas tatapan
mata pemuda tampan bertangan satu itu.
“Ah....... tak mengapa! Memang sebagai kawan, Tirta terlalu berlebihan
terhadapku sehingga kadang-kadang aku merasa diperlakukan seperti anak kecil
yang harus menuruti apa yang ia katakan!”
“Itu tandanya ia mempunyai sikap yang akrab terhadap kawan sependeritaan,”
komentar Mirah dengan nada agak menyindir.
“Suatu saat, ia kadang-kadang berlaku manja seperti anak kecil dan justru
aku merasa tersiksa oleh kemanjaannya. Dia terlampau halus, mudah
tersinggung tetapi sebaliknya ia suka mau tahu dalam segala hal! Ia marah
sekali ketika aku menghalang-halanginya untuk membunuhmu,” Ujar Umang
menceritakan perilaku Tirta.
“Tirta sangat mencurigaiku, tetapi aku sanggup membuktikan dengan apa saja
sampai anda berdua percaya kepadaku!” Katanya dengan nada meyakinkan lawan
bicaranya itu.
Tiba-tiba percakapan mereka terhenti, ketika sebuah benda panjang berdesing
dengan deras ke arah mereka.
“Awas, Umang!!” teriak Mirah sambil bersalto ke belakang diikuti oleh
Umang. Kiranya sebuah tombak telah tertancap tepat di tempat duduk Mirah
yang telah kosong.
Belum sempat Mirah dan Umang membetulkan posisi mereka, kembali
senjata-senjata gelap melayang mengancam nyawa mereka. Mau tak mau, mereka
harus bersalto menghindar.
Mirah dengan cekatan sekali membuat gerakan-gerakan indah di udara sambil
menangkis senjata-senjata rahasia tersebut dengan pedangnya. Sejenak
serangan itu terhenti.
Mirah dan Umang yang kini sudah memasang kuda-kuda dengan punggung mereka
menempel satu dengan yang lainnya, menanti dengan penuh kewaspadaan.
Beberapa saat kemudian sosok-sosok tubuh berlompatan dengan ringannya
mengepung mereka dengan senjata-senjata tajam terhunus.
“Lalawa Hideung!!” bentak Umang sambil menyilangkan goloknya didepan dada
setelah melihat orang-orang yang mengepungnya itu berpakaian serba hitam
dengan cadar yang menutupi muka serta ikat kepala berwarna hitam pula.
Teriakan-teriakan mereka memecahkan suasana yang sepi menjadi hiruk-pikuk
disertai dentingan-dentingan suara senjata tajam yang beradu menimbulkan
percikan bunga-bunga api.
Di tengah-tengah berkecamuknya pertempuran itu, muncullah sesosok bayangan
lain dengan gerakan yang cepat.
“Hiiyaaaaaaa........tt! Mampus kalian semua!” bentaknya dengan suara
melengking sambil menyabetkan goloknya ke arah gerombolan Lalawa Hideung
yang mengepung Mirah dan Umang.
“Tirta!!” seru Umang dan Mirah hampir bersamaan.
Mereka bertiga kini menghadapi Lalawa Hideung dengan sabetan-sabetan dan
serangan-serangan yang mematikan.
Namun bagaikan kelelawar-kelelawar, tubuh-tubuh berpakaian hitam itu
melompat kesana-kemari memusingkan pandangan mata, kemudian menempel pada
dahan-dahan pohon dengan sangat mengagumkan. Telapak-telapak kaki mereka
melekat erat pada dahan-dahan itu seakan-akan memiliki daya perekat,
meninggalkan musuhnya di bawah sana yang menjadi kebingungan.
“Ha.......ha.......ha.......ha! Kalian kira kemampuan kalian akan mampu
menandingi Lalawa Hideung?” Ujar salah seorang dari mereka dengan nada
mengejek.
“Turun kalian! Kami tidak takut!!” bentak mereka hampir bersamaan dengan
rasa penasaran.
Kemudian orang-orang di atas pohon itu membuat gerakan menukik seperti
seekor kelelawar menyambar seekor serangga, dengan golok-golok terhunus
mengarah kepada mereka yang berada dibawah. Namun Mirah dan Umang serta
Tirta menangkiskan golok mereka masing-masing sehingga para penyerangnya
kembali melesat ke atas dengan manisnya dan menempel ketat di pohon.
Mereka menjadi terkejut melihat komplotan itu kembali dengan cepatnya
setelah beradu dengan senjata-senjata mereka. Rupanya kelompok Lalawa
Hideung itu membuat senjata musuhnya sebagai pantulan. Belum hilang rasa
terkejut mereka, tiba-tiba kelompok Lalawa Hideung kembali menyerang dengan
bersalto berkali-kali dengan sebuah jaring besar ditebarkan mengarah kepada
mereka.
“Awas! Umang, jaring!!” teriak Mirah memperingati Umang.
Namun terlambat Umang meronta, namun sia-sia jaring itu demikian kuatnya.
Secepat kilat jaring itu terangkat dengan tubuh Umang di dalamnya
terperangkap tak berdaya.
“Kepung! Jangan sampai lolos awewe itu!” Ujar seseorang dari mereka yang
segera menyerang Mirah dengan membabi buta, membuat gadis itu
kewalahan.
“Wah....... celaka! Umang tertangkap,” gumam Mirah khawatir melihat keadaan
pemuda yang dalam waktu singkat ini telah merebut hatinya.
“Jumlah mereka terlalu banyak untukku! He, kemana gerangan Tirta? Aku tak
melihatnya? Apakah ia tertangkap? Percuma melawan mereka sendirian! Aku
harus segera lari. Di sini banyak sekali pohon-pohon yang sangat
menguntungkan mereka,” gumam Mirah kecut setelah melihat situasi yang tidak
menguntungkan dirinya.
Sambil menangkis dan bersalto menjauhi mereka, ia segera lari dengan
mempergunakan ilmu larinya seperti seekor kijang lari menyelusup ke dalam
semak-semak belukar. Mirah berlari dan berlari tak tentu arah menjauhkan
diri dari komplotan itu.
“He....... mereka berhenti mengejar?” pikirnya setelah mengetahui dirinya
tidak dikejar lagi oleh gerombolan Lalawa Hideung.
“Hh........., hh........, napasku hampir putus! Oh, Umang! Dia tertangkap!
Umang, Umang....... tidaak! aku sudah sebatang kara di dunia ini, aku tak
mau kehilangan lagi!” desah Mirah sambil menyandarkan tubuhnya pada sebatang
pohon kelapa.
“Aku berjanji akan menolongmu, akan kuselamatkan! Aku akan mencarimu,
Umang! Oh, Tuhan! Tuhan! Lindungilah dia! Aku tak mau lagi kehilangan
seseorang yang kucintai!” pekik Mirah dengan tangis terisak dan air mata
membasahi kedua pipinya, dengan deras.
Kemudian ia menyabetkan pedangnya kian kemari melampiaskan rasa kesal dalam
hatinya, membuat daun-daun yang terkena pedangnya menjadi terpotong
berhamburan.
“Dengan saksi bintang-bintang di langit, angin yang bertiup, aku bersumpah!
Akan kutumpas setan-setan keji itu yang telah merampas hidupku, cintaku!!”
teriaknya keras mengacungkan pedangnya ke atas.
***
Saat itu di tempat lain, ada sebuah gubuk reot terlihat Umang terikat pada
sebuah tiang dengan dijaga ketat oleh gerombolan Lalawa Hideung.
“Mengapa kalian tak segera membunuhku?!” bentak Umang marah dengan mata
melotot.
“Ketua kami memerintahkan untuk menawan anda hidup-hidup!” Jawab salah
seorang yang dipercaya oleh sang ketua.
“Aku tahu! Lalawa Hideung adalah iblis keji! Kalian akan membunuhku secara
perlahan-lahan!” Sergah Umang dengan mata melotot.
“Kami tidak tahu! Kami hanya patuh kepada perintah Pimpinan! Untuk apa anda
harus ditangkap hidup-hidup! Kami tak tahu! Kami hanya menunggu perintah
selanjutnya!” jawab orang kepercayaan sang ketua itu selanjutnya.
Waktu pun berlalu dengan cepatnya, tak terasa musim panen telah datang.
Huma dan sawah telah dituai, lumbung-lumbung telah penuh terisi. Semua orang
bergembira, tetapi kegembiraan itu di barengi pula dengan rasa cemas dan
waswas karena harta benda milik mereka jelas terancam.
Tidak seorang pun di antara penghuni rumah-rumah itu merasa tenteram setiap
malam datang. Setiap laki-laki muda ditugaskan berjaga-jaga sampai
pagi.
Pada suatu malam dengan sinar bulan yang enggan menampakkan diri, di
pinggiran desa Kalimanggis tampaklah sesosok bayangan berdiri di kegelapan
malam. Sosok tubuh itu tak lain Parmin, si Pendekar Gunung Sembung yang
menempatkan diri di batas sebelah Barat.
Di atas desa sebelah Timur sesosok tubuh dengan topi tudungnya yang tak
lain adalah si Kaki Tunggal, selalu mengintai bagaikan seekor
Serigala.
Sementara itu untuk pertahanan dalam desa, tersebar sepuluh pendekar dari
segala pelosok. Mereka siap siaga setiap detik dengan senjata-senjata di
tangan.
Begitulah suasana desa Kalimanggis setiap malam, tetapi penjagaan yang
ketat itu belum bisa menghibur hati orang-orang kaya. Mereka tetap merasa
tak tenteram dan ini terjadi pada minggu pertama sesudah panen. Pada malam
itu terlihat di bangunan besar milik orang kaya yang badannya gemuk serta
perutnya gendut.
“Sudahlah pak! Kenapa sih, belum tidur-tidur juga?” tanya istrinya sambil
membelai dada suaminya manja.
“Hatiku merasa dag-dig-dug! Di mana kau simpan barang-barang berharga kita,
bu?” jawab sang suami dengan nada waswas.
“Dalam peti besi buatan kumpeni, pasti aman! Lagi pula kita telah menyewa
tukang-tukang pukul jago berkelahi itu kan pak?” Ujar istrinya dengan maksud
menenangkan suaminya.
“Aku tak percaya dengan kekuatan mereka, bu! Lalawa Hideung bisa menyelusup
seperti jurig!” Sanggah suaminya penuh khawatir. Memang tanpa mereka sadari,
dari atas genteng terlihat sesosok bayangan hitam telah berada di atas kamar
mereka dan tiba-tiba.
“Betul apa yang kalian katakan! Lalawa Hideung bisa berada di mana-mana
seperti malaikat pencabut nyawa!” bentaknya mengancam dengan golok terhunus
dan telapak kakinya menempel di hamparan atap kamar suami istri tersebut.
Rupanya ia masuk melalui lubang langit-langit kamar setelah membongkar
gentengnya.
“Hah........!!!” sentak suami-istri itu dengan wajah ketakutan yang tak
terhingga, lalu mereka berpelukan dengan tubuh menggigil dan mandi keringat
dingin.
“Hayo....... cepat serahkan peti harta kalian kepadaku! Cepat kataku!!”
bentaknya keras sambil meloncat turun dan segera menempelkan goloknya di
leher si gendut yang semakin ketakutan.
“Am....... am…. ampun! Ja........ jang....... an bunuh aku!” ratapnya
dengan nada terputus-putus menahan ketakutan sampai tak terasa celananya
telah basah akibat kencingnya sendiri.
Tetapi di luar dugaan, kemunculan anggota Lalawa Hideung itu tertangkap
oleh sepasang mata burung Beo teman Parmin yang bertengger pada sebuah
lemari yang berukir dalam kamar tersebut.
“Kami hanya punya harta, padi kami belum terjual!” jawab si Gendut coba
mengelak sambil mendekap bantal guling untuk menutupi celananya yang
basah.
“Heh, kau coba-coba membohong, babi!! Kalian kira Lalawa Hideung tuli!!
Ini....... agaknya kau lebih menghendaki aku mengupas kulit kepalamu!!”
bentaknya sambil menggoreskan goloknya di atas jidat si gendut....... Darah
pun segera keluar dari luka itu membasahi mukanya.
“Am....... am........ pun, tu....... an!” rintihan si gendut sambil
mengusap darah di wajahnya dan menunjukkan di mana tempat hartanya
disimpan.
Melihat itu, si burung Beo segera terbang menerobos kisi-kisi jendela
sambil berteriak-teriak memberi peringatan kepada para pendekar.
“Toolooong! Lalawa Hideung! Tooo....... looong! Lalawa Hideung datang!
Siaaa....... ppp!!” teriak Beo sambil berputar-putar mengelilingi desa
Kalimanggis itu dengan cepat.
Beberapa saat kemudian rumah saudagar kaya itu telah dikepung oleh para
pemuda desa itu dengan senjata lengkap terhunus.
“Ciiiiaaaa........ttt!!” teriak mereka keras sambil mendobrak pintu. Maka
seketika keluarlah sesosok bayangan dengan cepatnya.
Para pemuda desa Kalimanggis segera mengepung orang tersebut dengan tombak
serta golok dan senjata lainnya secara serempak. Namun orang yang berpakaian
serba hitam itu dengan manis, bersalto ke udara dan menempel pada sebuah
pohon dengan tangan menggondol peti harta. Ia segera meninggalkan musuh jauh
di bawah sana dengan pandangan mata kebingungan.
Detik berikutnya dengan tiada terduga-duga terjadilah hujan pisau dari atas
pohon-pohon melanda pemuda-pemuda Kalimanggis itu.
Dengan leher tertancap pisau-pisau rahasia, mereka mati seketika. Disusul
kemudian dari atas pohon, turunlah berpuluh-puluh anggota Lalawa Hideung!
Dalam sekejap saja terjadilah pertempuran sengit. Suara-suara teriakan keras
memecah suasana malam di iringi dengan suara dentingan senjata-senjata yang
saling beradu. Api telah berkobar di mana-mana diiringi jerit tangis
kepanikan para wanita dan anak-anak yang ketakutan.
Sudah banyak pemuda-pemuda Kalimanggis gugur bergelimpangan dengan luka
mengerikan. Namun di lain sudut, sepuluh pendekar mengamuk bagaikan banteng
ketaton dengan sabetan-sabetan golok yang menimbulkan cahaya putih menyambar
tubuh musuhnya yang berteriak tertahan terkena sabetan itu lalu mati
seketika.
Terlihat pula Parmin melompat ke sana ke mari dengan gesitnya. Dengan
tongkat besi berani di tangan kanannya serta golok pendek di tangan kiri
menyambar-nyambar tubuh anggota Lalawa Hideung. Setiap tubuhnya berkelebat,
tumbanglah beberapa orang Lalawa Hideung dengan jeritan tertahan.
Di lain sudut terlihat pula si Kaki Tunggal membabatkan pisau tongkatnya
kesana kemari dengan ganas. Setiap kali tongkatnya bergerak, dua tiga orang
musuhnya yang berpakaian serba hitam itu mati dengan leher hampir
putus.
Pertempuran itu lebih ramai lagi dengan munculnya Mirah yang begitu gesit,
seakan-akan tubuhnya sedang menari-nari dengan pedangnya. Gulungan cahaya
putih dari pedang Mirah menyambar-nyambar kian kemari dan mendarat tepat di
tubuh para anggota Lalawa Hideung diiringi jeritan-jeritan kesakitan dan
ambruk seketika dengan nyawa melayang.
Para pendekar yang kini berjumlah tigabelas orang itu berjuang mati-matian
dan berusaha memancing Lalawa Hideung ke tempat terbuka dan gundul dengan
maksud melumpuhkan gerak Lalawa Hideung dan menjauhi kobaran api yang
semakin besar.
Di tengah-tengah kemelut itu, Mirah melihat sesosok tubuh berkelebat keluar
dari kancah pertempuran menuju ke suatu tempat dengan tergesa-gesa.
“Heh, itu seperti Tirta! Lari kemana dia? Mengapa ia meninggalkan
pertempuran? Baiklah kuikuti terus!”
Pikir Mirah sambil berlari mengikuti kemana Tirta berlari dengan hati-hati.
“Aku harus segera mendapatkan Umang!” desis Tirta pada dirinya sendiri
sambil mempercepat larinya.
“Heh, agaknya ia hendak menuju puncak bukit itu! Ada apa gerangan?” gumam
Mirah setelah melihat Tirta mendaki sebuah bukit di luar desa
Kalimanggis.
“He, dia menuju sebuah rumah tua!” desah Mirah keheranan sambil
mengendap-ngendap dengan pedang selalu siap di tangannya. Di dalam gelap
yang pekat itu Tirta memasuki rumah tua itu tanpa menyadari ada orang lain
yang mengikutinya. Di dalam rumah tua itulah terlihat Umang terikat di
sebuah tiang.
“Umang!” sapa Tirta pelan mendekati Umang.
“Heh, siapa kau? Oh,....... engkau Tirta! Syukurlah kau selamat, kukira
engkau tewas malam itu!” kata Umang setelah mengetahui siapa yang
datang.
“Aku baik-baik saja, Umang!” ujar Tirta lembut. “Lalawa Hideung telah
mengurung ku di sini selama dua Minggu! Mereka memberiku makan seperti
anjing! Dari mana kau tahu aku meringkuk di sini? Cepat buka ikatanku! Kita
segera lari!” Ujar Umang memelas.
“Jika kau menghendaki lari, aku akan membunuhmu di sini! Kecuali jika kau
mau menuruti apa yang ku katakan!” sergah Tirta dengan nada mengancam,
membuat Umang terkejut seperti disambar petir.
“Aku tak mengerti apa yang kau maksud? Mengapa kau hendak membunuhku?
Apakah kau sudah tak waras Tirta?!” tanya Umang sambil mengerutkan
keningnya.
“Ha........ ha....... ha....... ha! Umang! Umang! Berapa tahun engkau telah
berkelana untuk balas pati kepada Lalawa Hideung? Ah,....... kasihan betul!
Kau tolol! Jika kau hendak membalas dendam kepada Lalawa Hideung berarti kau
adalah musuhku!”
“Ha.......ha.......ha.......hi..hi!” bentak Tirta dengan suara keras dan
tertawa-tawa mengejek. “Kau tolol! Kau Tolol! Umang! Akulah sebenarnya
pemimpin Lalawa Hideung! Kau telah berkawan dengan seekor ular yang setiap
saat bisa menelanmu!!!”
Suara Tirta semakin keras memperkenalkan siapa dirinya yang
sesungguhnya.
“Ha, apa? Kau pemimpin gerombolan iblis laknat yang terkutuk itu?! Kau,
kau....... kaukah itu Tirta?” tanya Umang terkejut mendengar keterangan
Tirta dengan mulut menganga dan mata melotot.
“Hi.......hi.......hi.......hi! Telah kau saksikan sendiri betapa lihainya
Lalawa Hideung, bukan? Tetapi kau tak usah khawatir aku tidak bermaksud
membunuhmu! Kau adalah milikku, oleh karena itu sengaja kau ku tangkap
hidup-hidup dan di sembunyikan di sini!
“Malam itu sebenarnya aku sedang bersandiwara dengan berpura-pura membantu
kalian melawan Lalawa Hideung! Semua ini atas siasatku! Sayang betina itu
bisa lolos dari lubang jarum! Sayang sekali!!!” ujarnya dengan nada sinis
dan senyum tersungging penuh arti.
“Iblis keparat kau! Bajingan licik! Terkutuk! Keji!!” bentak Umang memaki
Tirta dengan wajah merah menahan dendam.
“Jangan marah Umang. Aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu! Aku sangat
mencintaimu, Umang! Marilah kita hidup bersama-sama dengan harta
berlimpah-limpah! Lihatlah! Akan kubuka tutup kepalaku! Kau lihat, Umang.
Betapa perasaanku kepadamu selama ini!” Ujarnya sambil melepas penutup
kepalanya.
“Kau....... kau seorang wanita! Siapakah kau sebenarnya?” sergah Umang
heran demi melihat Tirta yang cantik.
“Ya aku seorang wanita. Oleh karena itu aku merasa cemburu terhadap si
Mirah! Kini....... marilah sayang....... kita berdua pergi ke tempat yang
tenang dan tersembunyi, di mana kita dapat hidup berdua! Kita akan bahagia
sebagai suami istri.
“Hartaku takkan habis dimakan tujuh turunan! Harta yang telah
bertahun-tahun kukumpulkan! Marilah sayang,......... marilah!”
Suara Tirta lembut dengan sorot mata menantang dan senyuman dan rekah bibir
yang manis. Kedua tangan gadis itu terbentang sambil berlenggak-lenggok
mendekati Umang.
“Tidaak!! Jangan sentuh aku! Enyaaah kau! Kau pembunuh! Pembunuh
ibu-bapakku! Pembunuh kakak perempuanku! Pembunuh dan perampok terkutuk di
muka bumi ini! Tidaak! Tiidaaakkk!!” teriak Umang keras sambil memejamkan
matanya menahan amarah yang tak terbendung lagi.
“Jangan bersikap tolol, sayang. Selagi ada kesempatan gunakanlah kesempatan
ini sebaik-baiknya. Persetan dengan penderitaan orang lain! Marilah sayang,
jangan buang-buang waktu.......” ujarnya manja dengan bibir mengecup leher
pemuda yang masih terbelenggu tak berdaya itu.
Belum sampai niatnya terlaksana, tiba-tiba tubuh molek itu mengeliat dengan
suara tertahan. Tubuhnya mengejang sejenak dengan badan tertembus pedang
tepat di jantungnya.
Seketika darah segar menyembur dan membasahi baju Umang di
hadapannya.
“Mampus kau kunyuk!” teriak Mirah dari belakang sambil menusukkan pedangnya
lebih dalam ke tubuh wanita muda yang selama ini menyamar sebagai seorang
pemuda bernama Tirta itu.
“Mirah! Tepat pada waktunya kau datang! Mirah, terima kasih. Tak
kusangka,....... Tirta,........ Oh!” tukas Umang gembira
“Umang! Umang,........ kau tak apa-apa, sayang?” ujar Mirah dengan mesra
sambil mendekap Umang yang dibalas dengan belaian mesra dari sang pemuda
tersebut.
“Semuanya telah berakhir Umang....... Mari kita pergi! Lalawa Hideung akan
musnah bersama terbitnya matahari esok!” ujar Mirah sambil melepaskan tali
belenggu Umang dan menggandengnya keluar rumah.
Kepalanya disandarkan ke dada Umang. Mereka berlalu dari tempat itu
menuruni bukit dengan hati cerah, secerah warna langit di ufuk timur yang
mulai Jingga. Ayam jantan mulai berkokok bersahut-sahutan menyambut sebuah
hari baru.
Hari itu berakhirnya riwayat gerombolan perampok keji dari daerah Pasundan
ini. Mereka yang masih hidup mengucapkan syukur, walaupun desa Kalimanggis
sudah berubah menjadi puing-puing.
Di sana-sini mayat bergelimpangan. Bau darah yang anyir bercampur baur
dengan bau asap yang menyesakkan dada. Parmin termenung memandangi sisa-sisa
api dan melihat mayat-mayat yang bergelimpangan.
“Perampokan, pembunuhan, ganas dan kejam! Semua ini selalu terjadi
sepanjang zaman di antara manusia di muka bumi. Ya Allah, tunjukkanlah
mereka jalan yang benar, jalan yang lurus!!” Ucap Parmin dengan perasaan
trenyuh. Kemudian Parmin mengumpulkan para pendekar dan memberi sedikit kata
sambutan.
“Saudara-saudara pendekar! Terima kasih atas segala bantuannya. Jika kita
bersatu, musuh yang paling dahsyat pun bisa kita lumpuhkan! Bersatu kita
teguh, bercerai kita runtuh!
“Kepada yang gugur, marilah kita panjatkan doa kehadirat Illahi, semoga
mereka mendapat tempat layak! Satu hal yang patut kita sadari ialah bahwa
bangsa kita dalam penderitaan di bawah telapak kaki penjajah!
“Untuk ini marilah kita bersatu lebih kokoh, karena kita menghadapi
perjuangan yang jauh lebih besar! Namun kita percaya akan menang jika kita
berjuang dengan penuh pengabdian dan berada di jalan Allah!” Ujar Parmin
dengan ringkas, tetapi tegas dan didengarkan oleh para pendekar dengan
serius.
Setelah mengurus semua jenazah dengan layak, Parmin pun minta diri untuk
melanjutkan pengembaraannya.
“Nah, saudara-saudara sekalian, kurasa tibalah masanya kita berpisah
dahulu! Tugasku masih banyak, perjalanan ku masih panjang. Kalau Tuhan masih
mengijinkan langkahku, aku bermaksud menghubungi pendekar-pendekar di
seluruh daerah Pasundan ini!”
Dengan hati berat, para pendekar dan penduduk desa Kalimanggis melepas
keberangkatan Parmin. Di antara mereka tak terkecuali sepasang muda-mudi
yang sedang kasmaran, Umang dan Mirah, Si Kaki Tunggal yang gagah dan tegar,
melambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Sang Pendekar muda dari
Utara yang terkenal dengan gelar Jaka Sembung tersebut.
SELESAI
Nantikan judul serial Jaka Sembung selanjutnya yang berjudul: Membabat Kyai Murtad
Emoticon