SATU
KEMARAU panjang yang melanda negeri ini telah berlangsung hampir dua bulan
penuh. Banyak mata air yang jadi kering. Sedangkan sungai-sungai hanya
berisi sedikit air, namun dipergunakan banyak orang untuk kebutuhan
sehari-hari. Tanah di berbagai tempat terlihat retak-retak dan rumput-rumput
telah kering meranggas. Daun-daun pohon mulai layu dan menguning, kemudian
rontok tertiup angin.
Sehingga di sepanjang tempat terdapat timbunan sampah daun-daun kering yang
berserakan. Dekat sebuah lembah, terdapat sebuah jalan yang cukup lebar.
Jalan itu memang menghubungkan satu desa ke desa lainnya. Sementara dari
kejauhan terlihat seseorang tengah menunggang kuda yang dikendarai
lambat-lambat. Ketika sudah dekat, terlihat jelas kalau penunggang kuda itu
adalah seorang gadis cantik berkulit putih bersih, dan berbaju biru
muda.
Di pinggangnya terselip sebuah kipas berwarna keperakan. Sementara di
pinggangnya tersampir sebilah pedang bergagang kepala naga berwarna hitam.
Sesekali gadis itu terlihat menyeka keringat yang terus mengucur di dahi dan
pelipisnya.
“Kau telah, Putih? Sebentar lagi kita akan mencari sebuah mata air, agar
kau bisa minum sepuas-puasnya,” kata gadis itu lembut sambil menepuk-nepuk
leher kudanya.
Gadis yang tak lain Pandan Wangi itu turun dari kudanya. Kemudian matanya
beredar ke sekeliling sambil memayungi dahinya dengan telapak tangan.
“Ah! Ternyata nasibmu memang baik, Putih! Aku melihat sebuah anak sungai di
sebelah sana! Mari kita ke sana, cepat!” seru Pandan Wangi girang, seraya
cepat melompat ke punggung kudanya.
Agaknya kuda berbulu putih tunggangan Pandan Wangi itu mengerti betul, apa
yang dibicarakan majikannya. Dia berlari kencang ke tempat yang ditunjuk
gadis berjuluk si Kipas Maut itu. Begitu tiba, ternyata di tempat itu
terdapat sebuah anak sungai yang berair sejuk dari bening.
“Ayo. Putih! kau harus minum sepuas-puasnya. Perjalanan kita memang tak
jauh lagi. Tapi, hanya di sinilah kau bisa mendapatkan air yang begini sejuk
dan amat menyegarkan!” ujar Pandan Wangi.
Tangannya segera menyiduk air, kemudian meneguknya. Gadis itu pun kemudian
membasuh wajahnya dan kedua belah tangan untuk menyegarkan tubuhnya. Begitu
selesai menyegarkan tubuhnya, Pandan Wangi melangkah ke sebuah batu di bawah
pohon dan duduk dengan tenang.
Matanya lalu beredar ke sekitar tempat itu. Sekilas diperhatikan kudanya
yang masih membasahi tenggorokkan dengan air sungai. Pandan Wangi merenung
sendiri sambil bersandar pada batang pohon yang daun-daunnya telah
rontok.
Seharusnya, dua minggu lalu Rangga kembali ke Karang Setra. Karena kabarnya
ada berita yang mengatakan kalau Ki Lintuk yang merupakan patih di Kerajaan
Karang Setra tengah sakit keras. Rangga sendiri pada saat ini tengah
menumpas gerombolan perampok yang sering mengganggu ketenteraman para
penduduk Desa Sabrang Lor, yang juga masih bagian Kerajaan Karang
Setra.
Maka dimintanya Pandan Wangi agar kembali ke Karang Setra untuk menjenguk
Ki Lintuk. Dan Pandan Wangi akan bertemu Rangga di Desa Pahing Rimbun,
sepulangnya dari kerajaan. Kini desa itulah yang sedang dituju Randan
Wangi.
“Mudah-mudahan Kakang Rangga telah menyelesaikan tugasnya...” desah Pandan
Wangi, lirih.
“Hieeeh...!"
“Heh?!”
Pandan Wangi tersentak kaget ketika si Putih terlihat meringkik halus
beberapa kali. Buru-buru didekati dan ditepuk-tepuknya leher hewan itu,
untuk menenangkannya.
“Diam, Putih! Diam! Ada apa? Apa yang kau dengar?”
Si Putih kembali meringkik halus. Kali ini lebih mirip desah napasnya yang
mengisyaratkan keresahan.
“Hm.... Mungkin kau sudah tak betah di sini, ya? Baiklah. Mari kita
berangkat!” ujar Pandan Wangi seperti bicara sendiri, sambil melompat ke
punggung kudanya. Setelah menggebah, dia berlalu dari tempat itu.
Namun baru saja kuda itu berlari, mendadak Pandan Wangi mendengar suara
seperti ada perkelahian hebat. Seketika hatinya tergelitik untuk mengetahui,
apa yang telah terjadi. Maka, si Putih segera dipacu ke arah sumber suara
pertarungan.
“Ayo, Putih! Mari kita lihat, apa yang sedang terjadi!”
Ketika tiba di tempat kejadian, Pandan Wangi melihat dua orang laki-laki
berwajah seram tampak tengah dikeroyok sekitar sepuluh orang prajurit
kerajaan. Kedua orang itu bertelanjang dada. Wajahnya yang seram, masih pula
dihiasi cambang bauk serta bekas luka-luka. Yang seorang berambut tipis,
sedangkan yang seorang lagi botak.
Pandan Wangi segera mengambil tempat bersembunyi, begitu turun dari
kudanya. Sementara, matanya terus mengamati apa yang terjadi.
“Menyerahlah kalian, Perampok-perampok rendah! Kalian telah menjebol
penjara dan membunuh banyak prajurit kerajaan. Dan sekarang tak ada lagi
jalan keluar buat kalian!” bentak salah seorang prajurit kerajaan, yang
agaknya pemimpin dari pasukan itu.
“Ha ha ha...! Sura Darma! Kau boleh mengoceh sesuka hati! Tapi jangan harap
kami akan menyerah begitu saja. Pergilah kalian dari sini. Dan, biarlah kami
berlalu, sebelum kalian mati di tanganku!” sahut laki-laki berkepala botak,
dengan suara tinggi
“Kebo Koneng! Jangan ikut-ikutan saudaramu si Supit Gadar! Kalau kau
bersedia menyerah, tentu hukumanmu akan diperingan. Ayo! Menyerahlah,
sebelum kesabaranku hilang!” bentak pemimpin pasukan yang dipanggil Sura
Darma dengan suara lantang.
“He he he...! Kau dengar itu, Kebo Koneng? Apakah kau ingin menyerah,
sesudah kita bersusah-payah kabur dari penjara?!” kata laki-laki berambut
tipis yang ternyata bernama Supit Gadar dengan nada menyindir.
“Ha ha ha...! Menyerah! Phuihhh! Lebih baik mati daripada diseret si Sura
Darma keparat ini!” tegas laki-laki botak yang dipanggil Kebo Koneng sambil
meludah ke tanah.
“Hm.... Rupanya tak ada jalan lain untuk membujuk kalian, selain
menggunakan cara kekerasan!” dengus Supit Gadar menggeram.
“Huh! Kau bisa berbuat apa terhadap kami? Mengandalkan pasukanmu yang
keropos ini?! Lebih baik pulang sajalah, Sura Darma. Kau tak akan berhasil
menangkap kami!” sahut Supit Gadar, mencemooh.
“Kurang ajar! Ayo, kepung mereka dan tangkap hidup atau mati!” teriak Sura
Darma memberi perintah pada pasukannya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, sepuluh orang prajurit kerajaan yang
sejak tadi sudah geram, langsung kembali menyerbu ke arah dua buronan
itu.
“Yeaaah...!”
Namun karena yang dihadapi para prajurit berkepandaian rendah, maka mudah
saja bagi Kebo Koneng dan Supit Gadar dalam menghindari sergapan. Bahkan
dengan mudah pula mereka cepat melepaskan pukulan dan tendangan ke arah
prajurit-prajurit yang terdekat.
Prak!
Des!
“Aaa...!”
“Aaakh..!”
Seketika terdengar pekik kesakitan dan jerit menyayat, yang disusul
robohnya dua orang prajurit.
“Ayo, Kebo Koneng! Mari kita berpesta kembali. Hancurkan keroco-keroco ini
agar tahu diri!”
Duk!
“Aaa...!”
Kembali seorang prajurit terjungkal begitu terkena pukulan dua buronan itu.
Kebo Koneng dan Supit Gadar terus melompat ke sana kemari menghindari ayunan
pedang enam prajurit kerajaan yang masih tersisa. Namun dengan mudah mereka
berkelit dan membalas tanpa belas kasihan. Sejak pertarungan tadi, sekali
tangan mereka terayun, maka satu atau dua orang prajurit tewas diiringi
pekik kesakitan. Kalau tidak kepala yang remuk, maka tulang dada mereka
melesak ke dalam terkena pukulan bertenaga dalam kuat.
“Kurang ajar! Kebo Koneng, ayo hadapi aku!” bentak Sura Darma begitu
melihat prajuritnya ada yang terjungkal lagi. Maka dia segera melompat
menyerang lawan. “He he he...! Bagus! Kenapa tidak sejak tadi saja turun
tangan langsung? Kau hanya membuat anak buahmu menjadi korban saja,” sambut
Kebo Koneng.
“Jangan banyak mulut kau! Pecah kepalamu!” sahut Sura Darma seraya
mengayunkan pedangnya ke batok kepala lawan yang botak itu.
“Uts! Tidak semudah itu, Setan!” Kebo Koneng berhasil menghindari sabetan
pedang lawan dengan merunduk sedikit.
“Bedebah! Yeaaah...!”
Dengan gerakan lincah, Kebo Koneng kembali meladeni permainan pedang lawan.
Meski bertangan kosong, namun gerakannya sama sekali tak mengalami
kesulitan. Begitu gesit dan lincah, tanpa sedikit pun tersentuh pedang
lawan. Bahkan serangan-serangan balasan yang dilakukannya terkadang membuat
Sura Darma kaget dan gelagapan. Apalagi, serangan yang tiba-tiba itu
menimbulkan desir angin kuat.
“Ha ha ha...! Kau harus berguru sepuluh tahun lagi untuk bisa menangkapku.
Sura Darma. Tapi sayang kesempatanmu sudah tak ada lagi, sebab hari
kematianmu telah ditentukan saat ini!” ejek Kebo Koneng.
“Huh! Jangan harap, Kebo Koneng! Justru kaulah yang akan mampus hari ini!”
sahut Sura Darma yakin.
Kebo Koneng tertawa-tawa menyambuti ucapan Sura Darma. Padahal, Sura Darma
adalah salah seorang dari tujuh panglima perang yang dimiliki Kerajaan
Pandarakan. Sebagai panglima tentu saja kepandaiannya tak rendah. Dan kalau
kedua buronan itu sampai bisa ditangkapnya. tentu saja Raja Pandarakan akan
memberi penghargaan khusus baginya.
Hal itulah yang menyebabkan Panglima Sura Darma harus mengeluarkan segenap
kemampuannya untuk meringkus lawan, hidup atau mati! Tapi yang dihadapinya
saat ini adalah Kebo Koneng dan Supit Gadar yang termasuk penjahat kelas
kakap
Pada saat Raja Pandarakan memerintahkan agar kedua orang itu ditangkap
kembali, maka Panglima Sura Darma menawarkan diri. Padahal, panglima lain
bermaksud mengawaninya. Namun, Panglima Sura Darma meyakini diri kalau mampu
menangkap kedua buronan itu, dengan ditemani sepuluh prajurit kerajaan.
Akhirnya tugas penangkapan kedua orang buronan itu sepenuhnya diberikan
kepadanya.
Dan yang terjadi saat itu adalah kekeliruan besar yang pernah diambil
panglima kerajaan itu. Buktinya, sisa prajurit yang kini hanya menghadapi
Supit Gadar tampak sangat kewalahan. Bahkan dalam beberapa saat saja
terdengar kembali jerit kematian prajuritnya. Apa lagi Supit Gadar memiliki
jurus pukulan yang dahsyat. Siapa pun yang terkena pukulan 'Kelabang Api',
pasti akan hangus terbakar. Kalaupun lawan memiliki tenaga dalam kuat, maka
nyawanya pun tak akan selamat. Memang pukulan itu amat beracun!
Melihat keadaan anak buahnya terus berjatuhan, maka Panglima Sura Darma
menjadi lengah. Maka kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Kebo Koneng
untuk menghajar lawan, dengan melepaskan satu pukulan tangan lurus.
Panglima Sura Darma cepat berusaha berkelit sambil menangkis dengan
tangannya, begitu serangan lawan terus melaju mengincar perutnya. Namun
kepalan tangan Kebo Koneng yang sebelah lagi cepat menghajar lurus ke
dadanya.
Begkh!
“Ugkh...!”
AKibatnya, Panglima Sura Darma terjungkal ke tanah beberapa tombak sambil
mengeluh kesakitan
“Sekarang mampuslah kau, Sura Darma!” bentak Kebo Koneng sambil melompat
mengirim serangan susulan. “Yeaaah...!”
Belum lagi Panglima Sura Darma mampu bangkit berdiri, kembali datang
serangan. Maka tubuhnya segera berguling-guling untuk menyelamatkan diri.
Tapi Kebo Koneng terus-menerus mengejarnya bagai orang kesetanan. Dia yakin
betul kalau tak lama lagi lawannya akan binasa secara menyakitkan.
“Kini tiba saat kematianmu!” bentak Kebo Koneng ketika tubuh Panglima Sura
Darma membentur sebuah baru yang cukup besar
Laki-laki berusia dua puluh sembilan tahun itu hanya bisa memejamkan
matanya, dengan sikap pasrah. Saat ini Kebo Koneng tampak telah me-lompat ke
arahnya sambil mengayunkan tangan. Sebentar lagi kepala atau dada Kebo
Koneng akan hancur berantakan dihantam pukulan lawan yang tak mungkin lagi
bisa dihindari.
“Yeaaah...!” Tanpa ada yang menyadari, tiba-tiba sebuah bayangan biru
berkelebat cepat ke arah Kebo Koneng. Lalu....
Plak!
“Setaaan…!” Kebo Koneng tersentak begitu di depannya tahu tahu telah
berdiri seorang gadis cantik berpakaian ketat berwarna biru. Sebuah kipas
baja putih terselip di pinggangnya. Sedangkan di balik punggungnya,
menyembul sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga. Siapa lagi wanita itu
kalau bukan Pandan Wangi?
“Siapa kau, Cah Ayu?! Dan, mengapa kau mencampuri urusan kami?” bentak Kebo
Koneng.
“Aku Pandan Wangi. Dan orang-orang menjulukiku si Kipas Maut. Kudengar kau
bernama Kebo Koneng. dan merupakan seorang buronan kerajaan. Hm.... Kalau
memang demikian, menyerahlah sebelum kupaksa dengan kekerasan!” sahut Pandan
Wangi, lantang.
“Apa? Menyerah? Ha ha ha...!” Kebo Koneng terbahak bahak mendengar
kata-kata Pandan Wangi.
“Kurang ajar! Kenapa kau tertawa?!”
“Aku menertawakanmu, yang sok menjadi pahlawan kesiangan,” ejek Kebo
Koneng.
“Bedebah! Rupanya kau memang pantas menghuni penjara kerajaan. Baik.
Rasakanlah!” dengus Pandan Wangi jengkel sambil mencabut kipas mautnya.
Langsung diserangnya Kebo Koneng.
Wut! Wut!
“Uhhh...!”
“Nih! Makan ketawamu sepuas-puasnya?” bentak Pandan Wangi sambil terus
menyerang lawan dengan ganas.
Kebo Koneng tersentak kaget merasakan keganasan sambaran kipas maut Pandan
Wangi. Kalau pada mulanya gadis itu dianggap enteng, maka saat ini Kebo
Koneng kalang-kabut sendiri jadinya. Dan Pandan Wangi tak sedikit pun
memberi kesempatan padanya.
“Hiaaat..!”
Pada suatu kesempatan Pandan Wangi menyabetkan kipasnya ke arah dada lawan.
Melihat serangan ini, Kebo Koneng cepat mengelak ke kiri, seraya mencoba
menangkis tangan lawan yang memegang kipas. Namun tanpa diduga sama sekali,
Pandan Wangi menarik pulang serangannya, dan langsung memutar ke arah perut.
Dengan gugup, Kebo Koneng mencoba mundur selangkah. Namun, terlambat.
Karena....
Cras!
“Uhhh!" Kebo Koneng mengeluh kesakitan ketika ujung kipas baja lawan sempat
menggores perutnya sedikit. Seketika laki-laki berkepala botak ini menggeram
buas. Wajahnya seketika memerah menahan amarah. Bahkan sorot matanya tajam
menusuk. Sambil menggertakkan rahang, mulutnya berkomat-kamit seperti
membaca mantera. Kemudian, terlihat kedua tangannya bergerak-gerak seperti
hendak melancarkan jurus mautnya.
“Heh?" Pandan Wangi tersentak kaget ketika melihat kedua tangan lawan
sebatas siku tampak berubah berwarna keungu-unguan. Hawa racun berbau busuk
mulai menyeruak menyengat hidungnya. Maka Pandan Wangi segera berhati-hati
untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Yeaaah...!” Kebo Koneng berteriak serak seperti seekor gagak. Seketika,
dia langsung melompat menyerang lawan.
Wut!
Dalam keadaan seperti itu, gerakan Kebo Koneng tampak semakin gesit. Bahkan
serangannya pun ganas bukan main. Sepertinya sama sekali tak ada rasa
kegentaran melihat kehebatan kipas yang diayunkan gade cantik itu. Dan kini,
tiba-tiba Kebo Koneng menyodok mengancam pertahanan lawan. Berkali-kali
Pandan Wangi dibuat tersentak. Buru-buru dia melompat menghindari uap
beracun yang ditimbulkan angin serangan dari kibasan kedua tangan
lawan.
Sementara itu, Panglima Sura Darma begitu dirinya lepas dari maut menjadi
terkejut sesaat melihat penolongnya. Tapi kemudian, dia cepat bertindak
membantu sisa anak buahnya menyerang Supit Gadar, Namun meskipun begitu,
beberapa kali Panglima Sura Darma harus jungkir balik menyelamatkan selembar
nyawanya dari serangan lawan yang bertubi-tubi.
“Ha ha ha...! Hei, Sura Darma! Mana kehebatanmu?! Ayo! Tunjukkanlah padaku.
Bukankah kau ingin menangkapku? Ayo, tangkaplah kalau kau bisa!” ejek Supit
Gadar terkekeh.
“Kurang ajar!” Panglima Sura Darma hanya bisa memaki geram.
Panglima Kerajaan Pandarakan itu menyadari kalau anak buahnya yang tinggal
segelintir itu tak bisa diharapkan untuk berbuat banyak. Lagi pula, di
pihaknya telah banyak jatuh korban. Dan jika dia memaksakan diri, bukan
mustahil lawan yang tak kenal ampun itu akan melenyapkannya Panglima Sura
Darma yang masih menggenggam pedangnya erat-erat, memandang lawan dengan
sorot mata tajam.
“Supit Gadar, aku akan mengadu jiwa denganmu!”
“Ha ha ha.... Uts!”
Tawa Supit Gadar seketika terhenti ketika Panglima Sura Darma telah
melompat menyerang dengan jurus-jurus terhebat yang dimilikinya. Supit Gadar
hanya terkejut sejenak, namun kembali terkekeh sedah mempermainkan
lawan.
“He he he...! Dengan ilmu pedang pasaran begini kau ingin menangkap kami?
Phuih! Kau harus berguru sepuluh tahun lagi, Sura Darma!”
“Huh!” Panglima Sura Darma hanya mendengus geram mendengar ejekan lawannya
itu. Tapi, agaknya Supit Gadar bermaksud membuktikan ucapannya itu. Tubuhnya
berputar cepat ketika lawan menikamkan ujung bilah pedang ke arahnya. Dan
tiba-tiba....
Plak!
“Aaa...!” Panglima Sura Darma terpekik keras ketika pergelangan tangannya
yang menggenggam pedang tersampok. Bahkan pedangnya kini terlepas dari
genggaman. Dan belum lagi hilang rasa kagetnya, satu sodokan keras
menghantam perut.
Duk!
Kembali panglima itu memekik kesakitan dengan tubuh terjungkal keras.
Melihat lawan terjungkal. Supit Gadar cepat akan melanjutkan serangan untuk
menghabisi lawannya. Namun....
“Suiiit..!”
Tiba-tiba terdengar siulan panjang melengking, membuat Supit Gadar seketika
menghentikan gerakannya.
“Heh?!” Bukan hanya Supit Gadar yang terkejut. Kebo Koneng pun sampai
tersentak pada saat itu juga. Bahkan serangannya pada Pandan Wangi juga di
hentikan.
***
DUA
“Suara suitan itu kukenal betul!” seru Kebo Koneng sambil menoleh ke arah
Supit Gadar.
“Celaka! itu suara Eyang Guru. Kita harus menemuinya segera!” sahut Supit
Gadar.
“Astaga! Ayo, Supit Gadar! Mari cepat kita tinggalkan mereka!” timpal Kebo
Koneng. Laki-laki berkepala botak itu segera melesat meninggalkan Pandan
Wangi yang jadi bingung tak mengerti.
Sementara Supit Gadar langsung menyusul. Dan mereka kini bergerak cepat,
lalu menghilang di balik bukit kecil yang tak jauh dari situ.
Pandan Wangi dan Panglima Sura Darma hanya terpaku menatap kedua orang aneh
itu tanpa berkata apa-apa lagi. Pandan Wangi sendiri akhirnya dikejut-kan
langkah kaki Panglima Sura Darma yang mendatanginya sambil memberi
hormat.
“Nisanak, terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Namaku Sura
Darma, panglima dari Kerajaan Pandarakan.”
“Hm.... Aku Pandan Wangi....”
“Apakah Nisanak yang berjuluk si Kipas Maut?”
“Begitulah orang-orang memanggilku…”
“Ah! Sungguh aku beruntung bisa berkenalan dengan seorang pendekar hebat
seperti Nisanak.”
Pandan Wangi hanya tersenyum kecil. “Ah..., tak perlu membesar-besarkan.
Aku ini hanya orang kebanyakan saja. Paman Panglima, apa yang telah terjadi
sehingga kau bentrok dengan kedua orang tadi?” tanya Pandan Wangi.
Sebenarnya, Pandan Wangi sudah tahu kalau dua orang tadi adalah buronan.
Namun, dia sengaja bertanya begitu agar dikira baru saja datang.
“Mereka adalah buronan yang telah menjebol penjara....”
“Buronan? Hm, kulihat mereka memiliki kepandaian tinggi. Apakah Paman
Panglima tak meminta bantuan dari panglima lain?”
“Sudah. Namun para panglima lain sedang sibuk memadamkan pemberontakan.
Sedangkan sisanya ada yang memimpin perang melawan kerajaan dari timur. Dan
lagi, mereka tak punya tenaga yang cakap dan terampil untuk menangkap kedua
buronan itu...,” sahut Panglima Sura Darma.
Apa yang dikatakan panglima itu sebenarnya sedikit banyak diketahui Pandan
Wangi. Tapi benarkah begitu sibuknya mereka, sehingga terpaksa mengirimkan
Panglima Sura Darma untuk menangkap kedua orang buronan itu?
Tentu saja hal itu menjadi ganjalan dalam benak Pandan Wangi. Dan si Kipas
Maut yang telah lama tinggal di Karang Setra, tentu sedikit banyak mengerti
siasat perang serta kepemerintahan. Menceritakan keadaan gawat dalam suatu
kerajaan, seperti yang diceritakan Panglima Sura Darma, sebenarnya amat tabu
diutarakan pada orang luar. Apalagi orang yang baru dikenal seperti diri
Pandan Wangi. Lalu kenapa Panglima Sura Darma berani memberikan alasan
demikian padanya? Apakah salah bicara dan sekadar ngawur! Ataukah, terlalu
percaya pada Pandan Wangi karena telah menolongnya barusan?
“Hm, begitu...,” sahut Pandan Wangi.
“Nisanak, kami sangat mengagumi kepandaian serta sepak terjangmu selama
ini. Sebenarnya adalah suatu hal yang tak pantas kalau kami meminta
pertolongan kepadamu. Tapi, kedua buronan itu adalah pengacau. Mereka sering
mengganggu ketenteraman penduduk. Dan sebagai seorang pendekar, sudikah kau
menolong kami atas nama kebenaran dan ketenteraman rakyat yang tak
berdaya...?” pinta Panglima Sura Darma lirih.
Pandan Wangi tersenyum kecil sambil mengalihkan pandangan. “Aku tak
berjanji. Masalahnya, aku sendiri ada sesuatu yang harus dikerjakan.”
“Apakah itu, Nisanak? Mungkin kami bisa membantu.”
“Tidak. Ini soal pribadi. Aku telah membuat perjanjian dengan seorang kawan
untuk bertemu di Desa Palung Rimbun dalam waktu dekat ini. Hm..., kalau aku
menyalahi janji yang kusetujui....” Pandan Wangi tak meneruskan
kata-katanya. Sebaliknya, matanya malah menatap ke arah Panglima Sura
Darma.
“Ya, aku mengerti..,” sahut Panglima Sura Darma pelan.
Keduanya terdiam untuk beberapa saat
“Mereka mendadak pergi karena sesuatu. Kira-kira tahukah Nisanak, apa yang
menyebabkan mereka meninggalkan kita...?” tanya Panglima Sura Darma, kembali
membuka pembicaraan.
“Entahlah. Ada suitan panjang yang menyebabkan mereka meninggalkan
kita....”
“Aku pernah mendengar kalau kedua orang itu memiliki guru yang
berkepandaian tinggi. Bahkan kejahatannya melebihi mereka. Kalau tak salah,
namanya Nini Towok. Perempuan tua itu tak berperasaan dan kejam. Juga
mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka menculik pemuda tampan untuk dijadikan
pemuas nafsu iblisnya...”
“Hm, lalu?” Pandan Wangi sedikit tertarik mendengar penuturan Panglima Sura
Darma.
“Kedua buronan itu kemungkinan besar bergabung dengan gurunya seperti dulu.
Mereka akan membuat keonaran. Dan... semua orang menjadi resah kini.”
Pandan Wangi tergugah hatinya mendengar cerita itu. Apalagi ketika Panglima
Sura Darma kembali menambahkan sederetan cerita kekacauan sebelumnya, yang
dilakukan guru dan kedua muridnya. Kini hatinya mulai bimbang. Sebenarnya
kalau mau jujur, sejak tadi hati Pandan Wangi sudah tergerak dan berniat
membantu mereka menangkap kembali kedua buronan itu. Tapi bagaimana janjinya
dengan Rangga?
Bagaimana kalau Pendekar Rajawali Sakti telah tiba di desa itu dan
menunggunya. Padahal, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
menangkap kembali kedua buronan itu. Rangga pasti kesal dan marah. Itu tak
seberapa. Bagaimana kalau dia kesal dan akhirnya pergi mengembara
sendiri?
“Paman Panglima, bisakah kau menambah jumlah prajurit dalam penangkapan
nanti terhadap mereka?”
“Bisa! Oh! Apakah kau bersedia membantu kami?” tanya Panglima Sura
Darma.
Pandan Wangi mengangguk.
“Oh! Terima kasih atas kesediaanmu, Nisanak!”
“Sudahlah. Tapi, tolong perintahkan seorang prajuritmu untuk menunggu
kedatangan temanku di Desa Palung Rimbun.”
“Tentu saja.”
Setelah menceritakan ciri-ciri Rangga, mereka pun kembali bergerak. Seorang
prajurit menuju ke Desa Palung Rimbun, dan dua orang lagi ke istana untuk
meminta bantuan tenaga.
***
Seorang perempuan tua bertubuh kurus mengenakan selendang di pinggangnya.
tampak tengah berdiri di depan dua orang lelaki yang tengah duduk bersila.
Wajahnya tampak lonjong dengan sepasang kelopak mata cekung. Tulang pipinya
menonjol. Dan ketika bota matanya melotot seperti saat ini, terlihat amat
mengerikan. Daun telinganya digantungi anting-anting berbentuk gelang yang
agak besar. Melihat kulitnya yang banyak ditumbuhi keriput, paling tidak
usianya telah mencapai enam puluh tahun lebih. Dialah perempuan tua yang
bernama Nini Towok.
“Hm, dasar bocah-bocah goblok! Kenapa kalian bisa tertangkap oleh
kecoa-kecoa busuk itu, heh?!”
Kedua laki-laki bertampang seram yang duduk bersila di depannya hanya
menundukkan kepala. Sedikit pun mereka tak berani menengadahkan wajah.
“Ayo jawab. Tolol?!” maki Nini Towok.
“Eh! Ng... anu Eyang Guru. Me.... mereka terlalu tangguh dan berjumlah
banyak...,” sahut laki-laki yang berambut tipis dengan nada takut. Dan dia
memang Supit Gadar. Sementara yang seorang lagi sudah pasti Kebo
Koneng.
“Tangguh dan berjumlah banyak, heh...?!” perempuan tua itu seperti ingin
menegaskan pendengarannya
“Be..., betul, Eyang Guru. Tanya saja pada Kebo Koneng!”
“Betul begitu, Kebo?!”
“Be..., betul, Eyang...”
“Setan!”
Nini Towok mendengus, seraya mencelat sedikit. Maka....
Duk! Begkh!
“Aaakh...!”
Kedua orang itu kontan terjungkal. Karena tiba-tiba sekali perempuan tua
itu menendang mereka secara bersamaan dengan keras.
“Kemari kalian!”
“Ba..., baik, Eyang..!” sahut Kebo Koneng dan Supit Gadar berbarengan
sambil tertatih-tatih melangkah mendekati perempuan tua itu. Mereka kemudian
kembali duduk bersila dengan sikap hormat
“Ada yang berani menentang hukuman dariku tadi?!”
“Ti... tidak, Eyang...!”
“Hm..., bagus! Kalau tidak, hari ini juga kalian lebih baik mampus.
Sebenarnya hukuman itu terlalu ringan. Phuih! Kalian hanya membuat aku malu
saja. Apa kata orang nanti?! Kedua murid Nini Towok ditangkap dan
dipenjarakan? Cuh! Cuh!” perempuan tua itu meludah berkali-kali sambil
berkacak pinggang.
“Ta..., tapi kami hanya sebentar, Eyang. Bukankah Eyang lihat, kini kami
telah kembali bebas?” tanya Supit Gadar membela diri.
“Hi hi hi...! Kau pintar bicara, Supit Gadar. Betul katamu. Kalian kini
sudah bebas. Kalau tidak, he...! Aku akan menyatroni penjara kalian. Dan....
“
“Membebaskan kami, Eyang?” sahut Kebo Koneng, mencoba sedikit
tersenyum.
“Semprul! Aku akan mengamuk di sana dan mencekik orang-orang yang telah
memenjarakan kalian. Kemudian setelah kalian kutemukan, maka akan kucekik
sampai mampus!” dengus Nini Towok
Mendengar perkataan itu, nyali Supit Gadar dan Kebo Koneng jadi mengkeret
dan diam membisu. Mereka tahu betul, kalau sang Guru suka angin-anginan,
namun selalu membuktikan ucapannya. Kalau dia mengatakan ingin mencekik,
maka betul-betul dicekiknya orang yang dimaksud!
“He? Tadi kudengar ada suara pertarungan. Apa yang telah terjadi? Apakah
para prajurit istana mengejar kalian?”
“Betul, Eyang. Tapi kami berhasil membuat mereka ketakutan!” sahut Supit
Gadar, bernada cerah. Dugaan mereka hati sang Guru akan senang. Maka, pasti
perempuan tua itu akan memuji. Atau paling tidak, tak akan
memaki-maki.
“Hi hi hi...! Mereka betul-betul takut pada kalian, heh?!”
“Betul, Eyang. Mereka tak kuampuni dan banyak yang telah mampus di
tanganku!” seru Supit Gadar.
“Semprul! Kalau begitu, kenapa mereka masih kulihat berkeliaran dan
mencari-cari kalian, heh?!”
Kebo Koneng dan Supit Gadar kembali menundukkan wajah dan diam seribu
bahasa.
“Phuih! Mereka tidak takut pada kalian, bukan?!”
“Eh! Ka..., kalau tadi Eyang tak memanggil kami, tentu mereka telah mampus
tercincang...,” sahut Supit Gadar.
“Hm.... Jadi, kalian bermaksud untuk menghajar mereka?”
“Tentu saja, Eyang!”
“Bagus! Nah, kerjakanlah sekarang!”
“Sekarang, Eyang?” tanya Supit Gadar tak percaya.
“Semprul! He! Apakah penjara itu membuat telinga kalian jadi tuli?!”
“Eh! Ti.., tidak, Eyang...!” sahut kedua murid itu serempak.
“Kalau begitu, lekas pergi!”
“Ba.... baik, Eyang!”
“Eit, tunggu dulu!” bentak Nini Towok ketika keduanya hendak
berbalik.
“Ada apa, Eyang...?”
“Hm... Kalian harus membalas terhadap orang-orang yang telah menangkap
kalian itu. Semuanya!” tandas Nini Towok.
“Pasti, Eyang!” sahut Kebo Koneng dan Supit Gadar cepat.
“Satu lagi!”
“Apa itu, Eyang?”
“Semprul! Apa kalian tak sabar dan ingin buru-buru pergi dari hadapanku.
heh?!”
“Eh! Mana kami berani berniat begitu, Eyang...!” sahut keduanya
lirih.
“Kalau begitu, dengarkan baik-baik dan jangan sampai lupa!”
“Ba.... baik, Eyang!”
“Bawakan kebiasaanku...!”
“Pemuda gagah, Eyang?” tanya Supit Gadar seperti mengerti betul apa yang
dimaksud gurunya.
“Semprul! Apa lagi kalau bukan itu?!”
“Tentu, Eyang! Tentu!” sahut Supit Gadar.
“Nah! Kalau begitu, lekas pergi dari mukaku! Awas! Jangan sampal tertangkap
lagi. Kalau tertangkap, tak ada ampun lagi. Kalian akan mampus di tanganku!
Ingat itu!”
“Kami ingat, Eyang...!” sahut keduanya cepat.
“Sudah! Sana pergi!”
Setelah menjura hormat, kedua laki-laki bertampang seram itu segera
berlalu. Mereka melewati jalan-jalan kecil yang berliku dan lembah-lembah
kecil serta pohon-pohon yang lebat. Tempat itu adalah sebuah hutan yang
cukup luas dan terkenal angker. Dan orang-orang biasa menyebutnya sebagai
Hutan Dandaka!
***
Sepasang anak muda tampak tengah berjalan pelan-pelan, seperti tak hendak
terburu-buru. Yang pemuda mengenakan baju hijau dan berikat kepala merah.
Sedangkan yang wanita mengenakan baju kuning muda dengan rambut dikuncir.
Menilik dari gerak-gerik dan wajah, usia mereka paling tidak sekitar dua
puluh dan delapan belas tahun. Wajah pemuda bertubuh tegap itu cukup tampan,
dengan rambut sebahu. Sedangkan yang wanita berkulit coklat muda dan
berwajah manis
Melihat dari cara berpakaian, jelas kalau mereka bukanlah orang kebanyakan.
Paling tidak, mereka berasal dari kalangan persilatan. Apalagi, di pinggang
pemuda itu terselip sebuah kapak bermata dua. Sedang di pinggang wanita itu
juga terselip sebuah pedang pendek.
Sambil berjalan, pemuda itu sesekali mencuri pandang ke arah gadis di
sebelahnya. Demikian pula sebaliknya. Dan mereka sama-sama memalingkan wajah
dengan perasaan malu, ketika pandangan mereka bertemu.
“Ratih...!” akhirnya si pemuda memberanikan membuka suara, menyebut nama
gadis itu.
“Hm...”
“Kau betul tidak menyesal kalau kelak kita sudah menikah...?”
“Kenapa mesti menyesal, Kakang Yudha?” gadis bernama Ratih itu malah balik
bertanya.
“Aku orang tak berada. Sedangkan kau... ah! Orang tuamu adalah seorang
saudagar terpandang di kotaraja. Apakah mereka tak malu mempunyai seorang
menantu sepertiku?” kata pemuda yang ternyata bernama Yudha.
“Kakang. kenapa hal itu dipersoalkan lagi? Bukankah Kakang telah mengetahui
jawabanku? Atau, mestikah aku mengulanginya sampai seribu kali?” sahut Ratih
sambil tersenyum manis.
Dan Yudha pun ikut tersenyum. “Aku hanya merasa malu.“
“Kau malu karena aku kekasihmu, Kakang?”
“Oh, tidak! Bukan itu maksudku.”
“Lalu apa?” Ratih pasang wajah cemberut.
“Karena kau seorang gadis cantik, terpandang, dan anak keluarga
kaya...”
“Kakang, apakah kau tak yakin akan cintaku?”
“Kenapa kau berkata demikian?”
“Bicaramu sepertinya mengatakan demikian!
Yudha tersenyum manis sambil memandang wajah Ratih lekat-lekat.
“Jangan bicara seperti itu, Ratih. Seperti aku mencintaimu, maka begitulah
keyakinanku akan cintamu kepadaku....”
“Betul?”
Yudha mengangguk.
“Kalau begitu, jangan lagi bicara tentang perbedaan yang ada di antara
kita! Mau kan?”
“Hm.... Kalau kau menginginkan sesuatu, bagaimana mungkin aku tak
mengabulkannya?”
“Aku tak mau kalau Kakang melakukannya karena terpaksa!” sahut Ratih
bernada kesal.
“Baiklah. Aku akan mencoba menutup mata terhadap soal itu.”
“Jangan mencoba, tapi harus!”
“Baik. Harus!”
“Nah, begitu lebih baik...,” sahut Ratih sambil tersenyum lebar.
Yudha tersenyum. Sengatan matahari di siang yang terik ini, seperti tak
dirasakan dua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Langkah kaki mereka
terasa ringan, sambil tertawa-tawa kecil.
“Kau tak letih?” tanya Yudha, ketika peluh di wajah Ratih terlihat mulai
bercucuran.
“Tidak, Apakah Kakang sudah merasa lelah?”
“Hm... Kalau saja kau bersedia dijemput orang tuamu dengan mengendarai
kereta kuda, tentu tak akan merasa tersiksa begini berjalan kaki.”
“Kakang! Aku lebih suka berjalan kaki, asalkan bersamamu.”
“Tapi bukankah orang tuamu juga mengajakku kalau kau dijemput?”
“Tapi tak seindah kalau kita melakukan perjalanan berdua.”
“Hei?! Diam-diam ternyata kau pintar juga, ya?” sahut Yudha sambil
tersenyum kecil.
Ratih tampak tersipu-sipu. Namun tiba-tiba....
“Ha ha ha...! Sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, rasanya dunia
ini hanya milik mereka berdua. Tapi siapa yang mengatakan begitu, sementara
yang lain pun ingin mencicipinya!”
“Heh?!” kedua anak muda itu tersentak ketika terdengar seseorang berkata
dengan suara lantang.
Mendadak saja, berkelebat dua sosok bayangan ke arah mereka. Dan kini di
depan mereka telah berdiri dua orang berwajah seram dan bertelanjang
dada.
“Siapa kalian?!” tanya Yudha datar dengan tatapan curiga.
“Ha ha ha...! Dua bocah yang manis-manis ini sangat menggugah seleraku,
Kebo Koneng!”
“Betul, Supit Gadar! Terlebih lagi, gadis itu. Hm, aku sangat
menginginkannya. Biarlah kau tangkap pemuda itu untuk Eyang Guru. Sedangkan
gadis cantik ini, bagianku!”
“Kukira selama ini kau buta, Kebo. Tapi matamu liar juga kalau melihat
gadis cantik! Ha ha ha...! Jangan mau enaknya saja kau!” sergah Supit Gadar
sambil terkekeh.
Kedua orang itu terkekeh-kekeh seperti tak mempedulikan sepasang remaja ini
untuk sementara waktu. Tentu saja hal itu membuat Yudha dan Ratih menjadi
semakin curiga dan tak senang.
“Kisanak! Kalau kalian memang tak ada keperluan, kami hendak melanjutkan
perjalanan kami. Silakan tertawa sepuas hati!” sentak Yudha.
Setelah berkata demikian. Yudha menggandeng lengan Ratih dan bermaksud
melangkah menghindari mereka. Namun dengan serta merta, kedua orang itu
melompat menghalangi.
“Phuihhh! Kau pikir bisa mengoceh seenak perut saja terhadap kami?!”
Langkah Yudha dan Ratih terpaksa kembali berhenti, dan mereka langsung
memandang satu persatu dua laki-laki berwajah seram itu secara bergantian
dengan sorot mata menunjukkan ketidak-senangan. Yang membentak tadi memang
Supit Gadar. Kini matanya tampak melotot garang dengan mulut menyeringai
lebar seperti hendak menelan bulat-bulat kedua pasang remaja itu.
“Kisanak! Aku tak mengerti, apa yang kalian inginkan. Kalau kalian hendak
merampok, kami tak punya barang-barang yang berharga. Kalaupun ada urusan,
kita pun belum pernah bertemu sebelumnya. Jadi, mana mungkin kami punya
urusan dengan kalian!” sahut Yudha semakin tegas.
“Kalian harus ikut kami! Ayo cepat!” bentak Supit Gadar.
Sementara, Kebo Koneng malah maju mendekati gadis di hadapannya dan
bermaksud memeluknya.
“Kurang ajar!”
“Uts! Galak juga rupanya kau. Cah Ayu? Tapi, sabarlah. Sesaat lagi kau akan
terlena dalam pelukanku!” sahut Kebo Koneng sambil terkekeh-kekeh ketika
gadis itu menghindar dengan sengit. Tapi Kebo Koneng tak berhenti sampai di
situ. Dengan gerakan gesit, kembali dia melompat sambil menyerang secepat
kilat.
Melihat kekasihnya dalam bahaya, tentu saja Yudha tak mau tinggal diam.
Segera dia melompat untuk melindungi gadisnya.
“Eit! Biarkan mereka bermain-main sejenak. Kau bagianku!” sergah Supit
Gadar sambil menyerang pemuda itu
Yudha tersentak kaget dan buru-buru menghindari serangan lawan. Tapi, Supit
Gadar tak mau memberi hati. Bahkan merangsek habis-habisan
“Hiyaaat…!” Tubuh Yudha Jungkir balik menghindari serangan lawan. Maka
dengan geram segera dicabutnya kapak, dan bermaksud balas menyerang lawan.
Namun melihat hal itu. Supit Gadar malah melecehkannya.
“Ha ha ha...! Bocah bau kencur! Ilmu silatmu memang cukup lumayan. Tapi
sayang. Kau masih mentah. Lihat serangan!”
Kata-kata yang dikeluarkan Supit Gadar bukanlah omong kosong belaka. Dengan
gerakan lincah, dengan mudah serangan lawan bisa dihindari. Kemudian
tiba-tiba tubuhnya menyusup lewat celah yang tak disangka-sangka. Akibatnya,
Yudha gelagapan untuk menghindari serangan balik lawan. Dan ketika terdengar
teriakan kecil Ratih, perhatian Yudha seketika terganggu. Maka tentunya itu
ber-akibat buruk baginya. Karena tiba-tiba Supit Gadar mencelat ke arahnya.
melepaskan serangan.
Tuk!
“Aaah...!” Yudha mengeluh kecil dengan tubuh terkulai lemas, ketika totokan
lawan mendarat di bahunya.
Supit Gadar sendiri cepat menyambar dan memanggul Yudha ke atas pundak,
kemudian memandang ke arah Kebo Koneng yang telah lebih dulu melumpuhkan
Ratih.
“Brengsek kau, Kebo! Ternyata kau memang rakus sekali. Mari kita bawa bocah
ini untuk Eyang Guru. Dan setelah itu, aku akan bersabar menunggu giliranku
untuk mendekap kelinci cantik itu!”
“Ha ha ha…! Mari kita berangkat!“
***
TIGA
Seorang penunggang kuda hitam melambatkan lari kudanya ketika telah
memasuki mulut Desa Palung Rimbun. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan
dan berbaju rompi putih. Di balik punggungnya tampak menyembul sebuah gagang
pedang berbentuk kepala burung. Pemuda itu terus menjalankan lambat-lambat
kudanya, setelah memasuki desa ini.
Suasana Desa Palung Rimbun tampak sepi. Padahal, hari telah siang. Bisa
jadi karena di tempat itu segala macam kegiatan perdagangan tak begitu
ramai. Itu juga disebabkan jarak antara satu rumah dengan rumah lain agak
berjauhan. Dari sini bisa tercermin kalau penduduk desa itu masih tergolong
sedikit. Dan melihat banyaknya sawah di desa itu, bisa diduga kalau mata
pencaharian penduduknya adalah bertani. Dan siang terik begini, bisa jadi
mereka masih berkutat dengan lumpur. Atau sedang beristirahat di
dangau-dangau sambil menikmati santap siang.
Tapi ternyata di depan sana ada juga seseorang yang tengah mengerjakan
sawahnya. Dan kebetulan pemuda itu akan melintasinya. Pemuda itu terus
menjalankan kudanya, hampir melintasi petani di depannya. Begitu dekat,
kepalanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Petani itu juga mengangguk,
seraya membuka tudung kepalanya. Langsung dia memberi hormat pada pemuda
itu.
“Kisanakkah yang bernama Rangga...?” tanya petani itu setelah memberi
hormat
“Hei? Dari mana kau tahu namaku?” tanya pemuda tampan itu yang tak lain
Rangga, agak heran.
“Aku sebenarnya salah seorang prajurit di negeri ini. Dan aku mendapat
pesan dari seseorang untuk menunggu Kisanak di sini “
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Panglima Sura Darma. Dan itu atas keinginan kawan Kisanak yang bernama
Pandan Wangi... “
“Heh?! Pandan Wangi? Di mana dia sekarang?”
Utusan itu kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Rangga.
Dan pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk-angguk tanda
mengerti
“Lalu, kenapa kau berpakaian seperti petani?”
“Hanya menjaga agar tak terlalu menyolok di mata penduduk. Lagi pula dengan
berpakaian seperti ini, aku bebas bergerak...”
Rangga kembali mengangguk. Tapi pikirannya tak bergeming dari persoalan
Pandan Wangi. Gadis itu terlalu ceroboh bertindak! Atau, barangkali benar
seperti apa yang dikatakan prajurit ini, bahwa semua itu tak lepas dari
permintaan Panglima Sura Darma agar Pandan Wangi mau membantunya?
“Apakah Kisanak bermaksud menyusulnya ke sana?” tanya prajurit itu
“Tentu saja. Kau tahu tempat mereka, bukan?”
Prajurit itu mengangguk cepat.
“Hm.... Kalau begitu, kita jangan membuang waktu lagi. Naiklah di
belakangku, dan tunjukkan padaku di mana mereka berada.”
“Baiklah...!” sahut prajurit itu. Prajurit itu lalu melompat ke belakang
Rangga yang berada di alas kuda bernama Dewa Bayu. Dan mereka langsung
melaju cepat Rangga memang mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Sebab
menurut apa yang diceritakan prajurit ini, kedua tokoh yang dikejar itu
memiliki kepandaian tinggi. Meskipun mendapatkan tambahan pasukan dari
kerajaan, rasanya Pendekar Rajawali Sakti tetap tak yakin kalau mereka bisa
mengatasi kedua buronan itu. Tak heran bila Dewa Bayu dipacu kuat-kuat
sehingga melesat kencang bagai dikejar setan. Namun belum lama Rangga
menggebah kudanya. Tiba tiba...
“Hiyaaat...!”
Plarrr!
“Yeaaah...!”
Dua bayangan mendadak melesat menyerang, setelah melepaskan pukulan jarak
jauh yang menimbulkan gemuruh kecil serta desir angin kencang. Melihat hal
ini, Rangga cepat melompat dari punggung kudanya, lalu mendarat manis di
tanah.
“Kisanak! Kau pegang tali kendali ini kuat-kuat! Kudaku akan menurut
padamu!” teriak Rangga
“Kisanak! Kau mau ke mana...?”
Pertanyaan prajurit itu tak sempat terjawab, karena Rangga telah melesat
cepat menghadang lawan-lawannya yang terus melesat ke arahnya. Sementara,
prajurit itu terus mengendalikan Dewa Bayu, berhenti pada jarak sekitar lima
tombak dari tempat Rangga yang kini sudah bertarung.
Pendekar Rajawali Sakti tampak tengah sibuk mempertahankan diri dari
serangan-serangan gencar yang dilakukan kedua penghadangnya. Namun sedikit
pun tak terlihat kalau Rangga kewalahan. Tubuhnya begitu lincah, bergerak ke
sana kemari menghindari serangan-serangan. Dan tiba-tiba, tubuh Rangga
melompat ke atas dan berputar beberapa kali menjauhi lawan-lawannya.
Kemudian tubuhnya meluncur turun dan mendarat mantap sekali di tanah. Begitu
tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tak terdengar suara saat kakinya
mendarat. Langsung ditatapnya tajam-tajam dua orang penghadangnya dalam
jarak tiga tombak lebih di depannya.
“Siapa kalian?! Dan, apa maksud kalian menyerang kami dengan tiba-tiba?!”
tanya Rangga dengan nada tak senang.
Di depan Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dua orang laki-laki
yang berbeda usia. Yang seorang berusia sekitar lima puruh lahun lebih.
Wajahnya berjenggot panjang. Tubuhnya agak sedikit gemuk dan di tangannya
menggenggam senjata arit. Sedangkan yang berusia lebih muda, sekitar tiga
puluh tahun. Tubuhnya tinggi, namun berukuran sedang. Di tangannya
tergenggam sebatang tongkat pendek. Kini keduanya juga menatap tajam ke arah
Rangga dengan wajah sinis.
“Phuih! Antek-antek kerajaan! Kalian harus mampus di tangan kami!” dengus
laki-laki yang lebih tua sengit.
“Hm.... Apa maksudmu dengan antek-antek kerajaan?” tanya Rangga
bingung.
Kedua orang itu kemudian memandang ke arah prajurit yang masih berada di
atas kuda. Memperhatikan mereka sejak tadi.
“Meski dia berpakaian lusuh begitu, jangan harap bisa mengelabui kami!”
desis orang tua itu geram, sambil menunjuk si prajurit
“Kisanak! Kami sedang terburu-buru. Dan aku sama sekali tidak tahu, apa
yang kalian inginkan. Kalau memang tak ada urusan yang lebih penting, harap
kalian sudi memberi jalan,” sahut Rangga masih bernada sopan dan tak
bermaksud meladeni keinginan mereka.
“Hm. Kalian telah berada di sini, dan jangan harap bisa pergi begitu saja!”
sahut orang yang lebih muda.
“Apa maksudmu...?”
“Kalian harus mampus!”
Rangga berusaha menahan sabar mendengar kata-kata yang diucapkan kedua
penghadangnya. Namun kedua orang itu agaknya tak mau mendengar
penjelasannya. Bahkan sama sekali tak peduli dengan niat baiknya untuk
menyelesaikan persoalan secara damai. Melihat keadaan itu, Rangga tersenyum
sambil memandang ke arah si prajurit. Lalu, Rangga segera bersuit nyaring.
Maka, Dewa Bayu yang seperti mengerti arti siulan itu langsung meringkik dan
melesat cepat sehingga nyaris melemparkan prajurit yang masih di atas
punggungnya. Untung saja dia sempat berpegangan kuat-kuat
“Huh! Jangan dikira dia bisa kabur begitu saja!” desis orang tua itu.
Langsung dia melompat hendak mencegah lari Dewa Bayu. Namun sigap sekali
Rangga menghalangi dengan gerakan tak kalah cepat
“Orang tua! Bukankah kau ingin berurusan denganku? Nah, biarkan dia
pergi!"
“Kurang ajar! Hih...!”
Orang tua itu langsung menyerang Rangga dengan sebuah pukulan pendek.
Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak menghindar ke kiri.
Namun, orang tua itu seperti tidak memberi kesempatan. Dia terus merangsek
Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan-serangan dahsyat dan
mematikan.
Tapi seperti biasanya, Rangga langsung bisa menghindari dengan pengerahan
jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Akibatnya, orang tua itu semakin geram,
karena tak ada satu pun serangannya yang mendarat di tubuh lawan. Sungguh
tidak disangka kalau lawan mampu bergerak secepat itu. Meskipun senjata
aritnya berkelebat cepat dan bermaksud melukai lawan, tapi hal itu hanya
sia-sia belaka.
Bahkan pada satu kesempatan, Rangga melepaskan serangan balik begitu orang
tua itu baru saja mengkelebatkan aritnya. Begitu tiba-tiba datangnya,
sehingga orang tua itu tak bisa menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali
Sakti yang demikian cepat. Maka....
Bugkh!
“Hugkh...!”
Orang tua itu kontan terjajar beberapa langkah ke belakang sambil mengeluh
pendek. Padahal, kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak disertai
pengerahan tenaga dalam. Hanya saja, memang cukup keras.
Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan kawannya. Dia segera bertindak
membantu. Namun sebelum terjadi, Rangga telah melesat cepat meninggalkan
mereka dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai
kesempurnaan. Dan kedua orang itu hanya bisa saling berpandangan dengan
wajah kesal.
***
Pasukan yang dipimpin Panglima Sura Darma telah memasuki suatu wilayah yang
diperkirakan sebagai sarang kedua buronan yang bernama Supit Gadar dan Kebo
Koneng. Mereka kini memang berada di pinggir hutan yang lebat dan jarang
didatangi manusia. Konon, tempat itu dipercaya sebagai sarang makhluk halus
yang sering mengganggu manusia. Bahkan bukan hanya itu. Setiap orang yang
lewat, jarang ada yang bisa kembali.
Namun, Panglima Sura Darma mana bisa mempercayai kabar kosong itu begitu
saja. Sebagai seorang prajurit sejati, tugasnya harus dijalankan dengan baik
dan tuntas. Dan dari apa yang pernah diketahuinya. di dalam hutan inilah
kedua orang buronan itu diperkirakan berada. Sebab, guru mereka yang bernama
Nini Towok memang tinggal di situ.
Dan Panglima Sura Darma memang telah menambah kekuatan pasukannya. Makanya,
dia bertekad untuk meringkus dua buronan kerajaan itu. Prajurit yang
diperintah untuk memanggil pasukan kerajaan memang telah kembali bersama
sekitar tiga puluh orang. Dan mereka langsung bergabung dengan Panglima Sura
Darma.
“Semua siap! Kita telah memasuki kawasan Hutan Dandaka!” teriak Panglima
Sura Darma memperingatkan anak buahnya.
Mereka segera menggenggam erat senjatanya masing-masing sambil menajamkan
penglihatan dan pendengaran. Suasana seketika menjadi sepi. Hanya derap
langkah kaki kuda saja yang menyapu padang rumput di bawahnya.
“Apakah Paman Panglima yakin kalau mereka bersembunyi di tempat ini?” tanya
Pandan Wangi halus.
“Mereka tak akan pergi jauh dari sisi gurunya,” sahut Panglima Sura Darma
setengah ragu.
“Dua orang murid yang setia tentunya...” Panglima Sura Darma hanya
tersenyum pahit.
“Sebaiknya pasukan dibagi dua, Paman. Kalau boleh biar kupimpin sebagian
...” lanjut Pandan Wangi menawarkan diri.
Panglima Sura Darma memandangnya heran. Tapi, Pandan Wangi tetap berusaha
meyakinkan.
“Percayalah, aku pernah melakukan hal ini sebelumnya. Tapi kalau memang
Paman tak percaya, tak apa...”
“Bukan begitu. Tapi, bukankah kalau membagi dua pasukan berarti akan
mengurangi kekuatan kita?”
“Bukankah mereka hanya berdua? Dan mungkin bertiga, bila guru mereka
muncul. Mereka bukan pasukan besar. Jadi, kusarankan agar para prajuritmu
tak kacau-balau nantinya.”
Panglima Sura Darma berpikir sesaat, sebelum menyetujui usul Pandan Wangi.
Namun baru saja mereka membagi dua kelompok pasukan, tiba-tiba terdengar
suara tawa nyaring yang menyelimuti sekitar tempat itu.
“Hi hi hi..! Sungguh tak disangka, anjing berani mendatangi
penggebuk!”
“Ha ha ha..! Hei, Sura Darma! berani mati kau datang ke Hutan Dandaka ini,
he?!”
Bersamaan dengan suara itu, melesat dua sosok tubuh. Dan tahu-tahu di
hadapan mereka telah berdiri dua laki-laki bertampang seram. Seketika semua
pasukan segera bersiaga dan menghentikan langkah. Panglima Sura Darma dan
Pandan Wangi hanya memandang tajam kepada dua sosok tubuh yang telah mereka
kenal itu.
“Kebo Koneng dan Supit Gadar! Menyerahlah secara baik-baik. Dan jangan
paksa kami untuk bertindak keras untuk menangkap kalian!” bentak Panglima
Sura Darma.
“Apa? Menyerah?! Ha ha ha....! Kau ini tolol sekali, Sura Darma. Tidakkah
kau tahu, sedang berada di mana saat ini? Hei! Seharusnya kaulah yang
menyerah, dan gorok lehermu sendiri!” sahut Supit Gadar sambil tertawa
mengejek.
“Sura Darma! Tahu dirilah sedikit! Kalau kemarin, kami masih memberi
kesempatan padamu untuk tidak mengganggu kami lagi. Tapi, kau memang keras
kepala. Dan hari ini, jangan harap kami akan mengampuni lagi. Kau dan anak
buahmu akan mampus!” timpal Kebo Koneng geram.
“Kisanak berdua! Kalian adalah buronan kerajaan. Menyerahlah secara
baik-baik, atau aku akan meringkus kalian saat ini juga!” gertak Pandan
Wangi dengan suara nyaring
“Ha ha ha! Bocah ayu, kau membuatku gemas saja. Bicaramu lancang sekali.
Kalau tadi aku berniat memenggal kepalamu, maka biarlah kutunda barang
sesaat, agar kita bisa bermain sejenak berdua saja. Wajahmu yang cantik itu,
sayang sekali bila harus dilukai tanganku!” sahut Supit Gadar menganggap
remeh.
“Kurang ajar! Huh! Kau pikir dirimu sudah hebat karena telah membunuh
banyak prajurit kerajaan?! Terimalah bagianmu hari ini!” bentak Pandan
Wangi. seraya memberi perintah pada para prajurit untuk menyerang Supit
Gadar.
“Yeaaah…!”
“Ringkus orang itu hidup atau mati!” teriak Panglima Sura Darma memberi
perintah pada prajuritnya untuk meringkus Kebo Koneng.
Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi tahu kalau lawan-lawannya memiliki
kemampuan tinggi dan sulit ditaklukkan. Tapi mereka telah menemukan akal
untuk mengatasi. Pada saat prajurit-prajurit kerajaan mengeroyok mereka,
maka di saat itulah masing-masing mendesak Supit Gadar dan Kebo Koneng
dengan serangan serangan hebat.
Supit Gadar dan Kebo Koneng memang memiliki kepandaian tinggi. Namun
menghadapi tekanan sedemikian rupa. agaknya mereka kewalahan juga. Ruang
gerak mereka terbatas, dan tak sedikit pun kesempatan untuk balas menyerang.
Mereka terpaksa jungkir balik untuk menyelamatkan selembar nyawa.
“Bangsat! Huh! Kalian akan menerima balasannya!”
“Jangan banyak bicara kau! Yeaaah...!” bentak Pandan Wangi sambil
mengayunkan kipasnya ke arah leher Supit Gadar.
“Uts! Yeaaah...!”
***
EMPAT
Mendadak Supit Gadar berteriak nyaring sambil mengayunkan tangan kanannya.
Seketika melesat secercah sinar kuning ke arah Pandan Wangi. Seketika Pandan
Wangi tersentak kaget melihat kelebatan sinar kuning kemerahan yang
mengancam pertahanannya. Buru-buru gadis itu melompat ke samping.
Menghindarinya. Namun...
“Aaakh...!”
Salah seorang prajurit yang kebetulan di belakang ternyata menjadi sasaran
begitu Pandan Wangi menghindar. Orang itu kontan memekik kesakitan. Bahkan
sekujur tubuhnya langsung menghitam seperti luka bakar. Tubuhnya lalu ambruk
ke tanah dan bergulingan ke sana kemari sambil melolong kesakitan. Tidak
berapa lama kemudian, dia diam tak berkutik lagi.
“Ha ha ha..! Kenapa ? Kau mulai takut heh...?!” ejek Supit Gadar ketika
melihat Pandan Wangi terlongong bengong. Bahkan semua prajurit juga
menghentikan serangan dengan wajah bingung
Belum lagi habis rasa keterkejutan mereka, mendadak kembali terdengar
pekikan dari arah lain. Tampak dua orang prajurit kerajaan yang tergabung
dalam kelompok Panglima Sura Darma terhuyung-huyung. Begitu mengerikan nasib
yang menimpa mereka. Kulit keduanya tampak melepuh dan lumer. Bahkan
tulang-tulangnya mulai terlihat, perlahan-lahan tubuh mereka hancur menjadi
potongan-potongan berbagai ukuran. Seketika hal itu membuat nyali para
prajurit jadi ciut. Dan mereka jadi terpaku beberapa saat.
“Ayo! Bukankah kalian ingin menangkap kami? Kenapa sekarang ragu-ragu...?
Ke sini cepat..!” bentak Kebo Koneng dengan sikap jumawa
“Keparat! Kau pikir aku takut dengan gertakanmu?! Huh! Kau rasakan
balasanku!” bentak Pandan Wangi sengit.
Tubuh si Kipas Maut segera melesat cepat sambil menyabetkan ujung kipas
mautnya ke leher. Namun Supit Gadar cepat menghindarinya dengan mudah sambil
terkekeh pelan. Tidak seperti tadi, kali ini Pandan Wangi mengerahkan segala
kemampuan yang dimiliki untuk menjatuhkan lawan secepatnya. Sehingga
meskipun sesekali Supit Gadar mengumbar pukulan maut namun hingga saat ini
belum berhasil melukainya.
“Kenapa diam?! Ayo, serang dia lagi...!” teriak salah seorang
prajurit.
Serentak para prajurit lain seperti disentak dan langsung menyerang kedua
buronan Itu. Demikian pula halnya Panglima Sura Darma dan para prajuritnya.
Dengan semangat masih menyala-nyata, mereka kembali menyerang lawan.
“Yeaaah...!”
“Hm... Kecoa-kecoa busuk tidak berguna! Kalian kira bisa menangkap kami?
Phuih! Kalian hanya bermimpi!” desis Kebo Koneng geram.
Laki-laki berkepala botak itu segera mengumbar pukulan-pukulan mautnya
beberapa kali. Akibatnya prajurit yang berada paling dekat dan tak mampu
menghindari menjadi sasaran. Mereka langsung berjatuhan, dan tak mampu
bangkit kembali.
“Hi hi hi..! Dasar murid-murid goblok! Menghadapi cacrng-cacing tidak
berguna saja, begitu lama! Coba lihat ini...!” Mendadak terdengar suara
nyaring melengking Lalu...
Wusss...!
Tiba-tiba bertiup angin berhawa panas menyengat yang menyambar pasukan yang
dipimpin Panglima Sura Darma.
“Aaa...!”
Bersamaan dengan itu, terlihat beberapa orang prajurit melayang bagai
sehelai daun kering tertiup angin disertai jeritan kesakitan.
Pada saat yang sama, Kebo Koneng mengambil kesempatan baik, saat semangat
Panglima Sura Darma mulai bergetar, dan perhatiannya terganggu oleh kejadian
itu.
“Yeaaah...!”
Sambil mem bentak nyaring, laki-laki berkepala botak itu menghantamkan
pukulan mautnya. Panglima Sura Darma jadi tersentak kaget dan berusaha
menghindar sambil mengayunkan sebelah tangannya. Tapi...
Plak!
“Aaa...!”
Panglima Sura Darma kontan memekik kesakitan dengan tubuh terjajar beberapa
langkah ke belakang. Tangannya seperti tersundut besi panas. Belum lagi
habis rasa terkejutnya, tiba-tiba satu serangan lawan mengancam batok
kepalanya.
Prak!
Panglima Kerajaan Pandarakan itu hanya sempat mengeluh pendek begitu
kepalan tangan Kebo Koneng mendarat telak di kepalanya. Tubuhnya langsung
ambruk, dan kulitnya meleleh bagai terbakar. Demikian pula tulang-tulangnya
yang jadi hancur seperti dihantam godam.
Sementara itu, ketika serangkum angin panas tadi menerpa prajurit-prajurit
yang dipimpin Pandan Wangi, banyak prajurit yang terlempar sambil menjerit
kesakitan. Sedangkan gadis itu jadi terkejut dan berusaha mempertahankan
diri. Namun, Supit Gadar tampaknya tak ingin memberi kesempatan lagi. Dan
dia sudah terus menghujani serangan bertubi-tubi ke arah gadis yang berjuluk
si Kipas Maut itu.
“Yeaaah...!”
Dan ketika baru saja Pandan Wangi menghindari sebuah serangan, sudah
menyusul lagi serangan berikut. Jari-jari tangan Supit Gadar yang membentuk
kepala ular, melepaskan sebuah patukan ke punggung Pandan Wangi. Maka
cepat-cepat gadis itu merunduk sambil memapak.
Plak!
Melihat dari serangannya, rupanya Supit Gadar memang tidak berniat
membunuhnya. Buktinya ketika memapak tadi, tenaga dalam yang dikeluarkan
laki-laki itu tidak begitu tinggi.
Namun rupanya serangan itu hanya sebuah tipuan belaka. Begitu serangannya
luput. Supit Gadar tiba-tiba mencelat ke atas dengan kecepatan mengagum-kan.
Dan ketika berada di udara, tangan kanannya yang membentuk paruh ular
menotok cepat. Dan....
Tuk!
“Ohhh...!” Pandan Wangi langsung jatuh lunglai di tanah, begitu punggungnya
tertotok
“Ha ha ha...! Kini kau bisa berbuat apa padaku. Cah Ayu?” ejek Supit Gadar
terbahak bahak
“Keparat licik! Lepaskan totokan ini, atau kuhajar kau!” maki Pandan Wangi
sambil melotot lebar. Namun, tubuhnya tak mampu digerakkan lagi.
“Ha ha ha...! Gertakanmu boleh juga, Cah Ayu. Tapi apakah kau tidak
menyadari, kalau kini sudah tidak berdaya lagi? Aku bisa berbuat apa saja
yang kusuka. Coba lihat. Sebentar lagi, kecoa-kecoa itu akan rata dengan
tanah,” sahut Supit Gadar sambil tertawa penuh kemenangan. Lalu, dia
melangkah mendekati Pandan Wangi. Kembali gadis itu ditotok hingga
pingsan.
Apa yang dikatakan Supit Gadar memang tidak salah. Tampak Kebo Koneng
mengamuk dahsyat menghabisi sisa-sisa prajurit yang sudah kehilangan
pemimpinnya. Beberapa orang berusaha menyelamatkan diri, namun tidak diberi
kesempatan sedikit pun juga. Akibatnya seluruh prajurit yang berjumlah
sekitar tiga puluh orang itu tewas tidak tersisa dalam keadaan mengerikan,
terkena pukulan maut yang diepaskan Kebo Koneng.
“Hm, habis sudah riwayat kalian!” dengus Kebo Koneng sambil berkacak
pinggang dan wajah tak berperasaan.
“Huh! Tidak pantas kau berbangga begitu. Goblok!”
“Eh, ng,.. Eyang Guru...”
Kebo Koneng dan Supit Gadar baru tersadar kalau guru mereka telah berada di
tempat itu sambil mencibir. Serentak mereka menghampiri dan berlutut sambil
menjura memberi hormat.
“He! Semprul! Kenapa kau bunuh Cah bagus tadi?” bentak wanita yang tak lain
Nini Towok, sambil melotot garang kepada Kebo Koneng.
“Bocah yang mana, Eyang?” Kebo Koneng takut-takut
“Matamu! Ya, bocah cakep yang kau remukkan kepalanya itu!”
“Oh! Itu Sura Darma. Eyang,”
“Huh! Siapa yang peduli namanya..? Kenapa kau bunuh dia, heh?! Padahal, dia
gagah dan cocok untukku!”
“Eh, ng.... Dia.... dia amat berbahaya kalau dibiarkan hidup. Eyang, sebab
itu lebih baik dibunuh saja.”
“Semprul! Siapa yang mengatakan itu padamu, hah?! Tidak ada seorang pun di
jagat ini yang berbahaya di depanku! “
“Maafkan aku. Eyang.”
“Maaf. maaf...! Heh! Pilihlah hukumanmu sendiri. Kutendang sampal isi
perutmu muncrat, atau kau carikan lima orang seperti dia hari ini juga!
“
“Ba.... baik, Eyang “
“Baik apa?”
“Aku pilih yang kedua”
“Bagus! Nah, sekarang minggat dari mukaku!”
“Se.... sekarang juga, Eyang?”
“Semprul! Kapan lagi. he...?!”
“Ba.... baik, Eyang.” sahut Kebo Koneng terus berlari terbirit-birit dari
tempat itu setelah menjura memberi hormat
Sementara, Nini Towok memandangnya sekilas, kemudian berpaling pada Supit
Gadar. “Kenapa tidak kau bunuh saja perempuan itu, heh?!”
“Eh... ng,...”
“Hm... Kau akan bersenang-senang dulu dengannya?” tanya Nini Towok dengan
suara dingin. Supit Gadar hanya mengangguk saja sambil menyeringai kecil.
Dan Nini Towok hanya memandangnya sekilas
“Tapi setelahnya nanti akan kubunuh dia,” kata Supit Gadar sebelum gurunya
berkata.
Nini Towok hanya menggumam tak jelas, kemudian memandang gadis itu. “Hm....
Cantik juga dia. Pandai kau memilih perempuan,” kata perempuan tua
itu.
Sedangkan Supit Gadar hanya terkekeh kecil mendengarnya.
“Hei?! Senjatanya itu mengingatkan aku pada seseorang. Siapa gadis ini?”
tanya Nini Towok dengan sorot mata tajam ke arah Supit Gadar
“Ti... tidak tahu. Eyang.”
“Semprul! Dasar murid goblok. Coba ingat-ingat gadis yang bersenjatakan
kipas baja berwarna putih keperakan. Ng… Ya, ya. Aku ingat sekarang, Dia si
Kipas Maut!” agak berteriak suara Nini Towok. Bola mata perempuan tua itu
tampak berbinar-binar tajam, kemudian tertawa panjang mengikik.
Supit Gadar jadi terheran-heran sendiri melihatnya, tapi tidak berani
menegur.
“He. Supit Gadar. Bawa gadis ini ke rumah, dan jaga jangan sampai
lepas.”
“Eh! Untuk apa. Eyang?”
“Goblok! Tidak tahukah kau, kalau gadis ini kekasih Pendekar Rajawali
Sakti...?”
“Eh, kekasihnya...? Lalu, apa hubungannya dengan kita?”
“Dasar tolol! Sudah lama sekali aku memimpikan bisa bertemu bocah yang
kabarnya berkepandaian hebat itu. Kalau dia tahu kekasihnya berada di
tanganku, tentu akan ke sini mencari.”
“Jadi…, jadi aku tidak boleh memiliki gadis ini?”
“Edan! Kalau sampai kau menyentuh rambutnya saja, batok kepalamu
kupecahkan. Dia milikku! Dan setelah Pendekar Rajawali Sakti berhasil
kutaklukkan, baru kau boleh berbuat apa saja padanya. Mengerti kau, Supit
Gadar...?”
“Iya.... iya. Eyang.”
“Bagus. Sekarang bawa dia ke pondok"
Supit Gadar menelan ludahnya. Kemudian dia melangkah dan berhenti dekat
Pandan Wangi. Segera dipanggulnya tubuh gadis yang telah pingsan itu. Namun,
dia tidak segera melangkah kembali.
“Kenapa? Kau tidak senang mendengar keputusanku?!” bentak Nini Towok,
seperti bisa merasakan apa yang dipikirkan muridnya.
“Eh, mana berani aku berpikir begitu, Eyang....”
“Heh! Kau pikir aku bodoh...?”
Supit Gadar hanya terdiam saja.
“Kau bisa mencari sepuluh perempuan secantik dia. Tapi khusus untuk yang
ini, jangan coba-coba. Mengerti...?!”
“Mengerti, Eyang”
Namun, belum lagi guru dan murid itu melangkah jauh, tiba-tiba
saja....
“Nini Towok, berhenti kau!”
“Heh...?!”
Nini Towok dan Supit Gadar tersentak. Mereka langsung berhenti melangkah,
dan menoleh. Tampak di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak dua orang
laki-laki. Yang seorang bertubuh tinggi memakai baju merah. Pada tangannya
tampak ter-genggam sebilah pedang berukuran besar. Sedangkan yang seorang
lagi bertubuh pendek. Tangannya memegang bandul besi berduri tajam. Kini
keduanya memandang guru dan murid itu dengan sorot mata tajam menusuk.
“Hm.... Soreang dan Rudapaksi. Apa yang kalian inginkan, hingga jauh-jauh
datang ke tempatku ini?” tanya Nini Towok tenang, langsung mengenali.
“Nini Towok! Sebenarnya aku tidak ingin mengganggumu dan menyudahi saja
urusan lama kita. Tapi kedua muridmu sungguh keterlaluan. Mereka menculik
putri Soreang dan murid perempuanku. Dan kami tidak bisa membiarkan begitu
saja. Kau boleh lepas tanggung jawab, tapi serahkan kedua muridmu untuk
dihukum!” sahut laki-laki pendek kekar berusia sekitar empat puluh tahun.
Namanya, Rudapaksi.
“Benar! Kalau kau melindungi mereka, berarti memang sengaja mengorek luka
lama. Dan kami harus menuntut balas atas perlakuan kedua muridmu!” sambung
laki-laki bertubuh tinggi, yang bernama Soreang.
Mendengar ucapan mereka, Nini Towok seketika tercekat dengan wajah heran.
Kemudian terlihat dia tergelak sendiri. Sikapnya benar-benar meremehkan
kedua orang itu.
“Soreang dan Rudapaksi. Kalian pikir aku ini pengasuh anak kecil, heh?!
Kedua muridku sudah tua bangka. Dan mereka bisa mempertanggungjawabkan
perbuatannya sendiri. Lalu untuk apa kalian mengungkit-ungkit peristiwa
lama? Ingin menantangku lagi, he?! Boleh...!” balas Nini Towok sambil
berkacak pinggang.
Perempuan tua itu memang penaik darah dan mudah tersinggung. Sedikit pun
tidak boleh merasa dikecilkan oteh orang lain. Dan dari apa yang diucapkan
Soreang dan Rudapaksi, bisa disimpulkan kalau mereka sengaja datang membawa
persoalan lama untuk menggertaknya. Sebenarnya, apa persoalan mereka
dahulu?
Memang, Nini Towok adalah seorang perempuan yang mempunyai kebiasaan aneh.
Sejak muda, dia paling suka bermain cinta dengan jejaka-jejaka gagah dan
berwajah tampan. Hal itu dilakukan dengan mengobral diri seperti pelacur
rendahan. Nafsunya seperti tidak pernah puas oleh hanya seorang pemuda. Dan
dia terus berganti-ganti pasangan sampai usianya mendekati tua.
Namun sejalan dengan kebiasaan buruknya, maka banyak pula pemuda yang
menaruh hati padanya. Bahkan tidak jarang yang berasal dari kalangan
persilatan berkepandaian tinggi jatuh cinta padanya. Maka dengan rayuan
mautnya, Nini Towok berhasil membujuk mereka agar sudi mengajarkan ilmunya.
Perempuan itu tidak peduli, apakah pemuda yang menyintainya termasuk dalam
golongan sesat atau lurus. Baginya, yang penting mendapat ilmu baru.
Pada mulanya tidak ada seorang pun yang tahu tentang perbuatannya. Namun
akhirnya hal itu menjadi tanda tanya, dan berlanjut menjadi kecurigaan. Hal
itu terjadi ketika banyak pemuda yang dekat dengannya, kemudian hilang tak
ketahuan lagi ke mana rimbanya. Dan ketika dua orang pemuda yang pernah
dekat dengannya berhasil meloloskan diri, gegerlah semua orang mendengar
ceritanya.
Ternyata, Nini Towok selalu membunuh semua kekasihnya setelah puas mereguk
kenikmatan sekaligus mendapat ilmu baru. Dan kedua orang pemuda itu adalah
Soreang dan Rudapaksi, yang masing-masing kini memang telah berusia setengah
baya.
Tentu saja hal itu membuat banyak kalangan persilatan menjadi murka.
Mengingat Nini Towok kini berkepandaian tinggi, maka secara beramai-ramai
mereka bermaksud menghajar perempuan jalang itu. Memang, Nini Towok berhasil
dihajar sampai babak belur. Bahkan nyaris saja tewas kalau tidak sempat
melarikan diri.
Dan sejak itu, Nini Towok tidak pernah lagi muncul dalam kancah dunia
persilatan. Sampai akhirnya, kedua muridnya membuat keributan belakangan
ini. Orang-orang segera mengetahui kalau mereka murid Nini Towok, karena
ilmu silat dan pukulan maut yang dimiliki berciri-ciri sama.
“Nini Towok! Kau memang keterlaluan dan tidak bisa dikasih hati. Kalau
memang hal itu yang diinginkan, baiklah. Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi
bertindak!” dengus Rudapaksi geram. Bandul besinya segera diayunkan, siap
menghajar perempuan tua itu.
“Hi hi hi...! He, Rudapaksi dan Soreang! Berani betul kalian menantangku.
Sudah bosan hidup, he...?!” ejek Nini Towok bernada merendahkan.
Dan begitu bandul besi berduri itu mengancam kepalanya....
“Uts!”
Nini Towok cepat merunduk, menghindari sambaran bandul berduri Rudapaksi.
Namun saat itu juga Rudapaksi sudah melesat sambil melepaskan tendangan
kilat. Namun, Nini Towok menyambutnya dengan tangkas. Sambil merunduk,
ditangkisnya tendangan itu dengan sebelah tangannya
Plak!
Wut!
Begiru berhasil menangkis, kepalan tangan Nini Towok yang sebelah lagi
cepat menghantam lurus ke dada. Seketika Rudapaksi tersentak. Maka buru-buru
dia membuang diri sambil menarik bandul berdurinya kembali. Dan begitu
bangkit berdiri, bandul berdurinya kembali dikelebatkan disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
Swing!
“Yeaaah...!”
Nini Towok cepat melesat ke udara seraya berputaran beberapa kali. Tubuhnya
lalu menukik turun, dan terus menerkam ke arah lawan. Pertarungan antara
mereka memang berlangsung cepat dan sengit.
Sementara itu Soreang menyadari kalau Rudapaksi tidak unggul bila sendirian
menghadapi perempuan tua ini. Maka tanpa diminta lagi, dia langsung saja
melompat hendak membantu. Namun sebelum hal itu dilakukan, Supit Gadar sudah
lebih dulu menghadang, setelah meletakkan tubuh Pandan Wangi di tanah.
“Eit! Jangan coba-coba, selama aku masih di sini! Biarkan mereka
bermain-main. Dan kau, boleh bermain denganku.”
“Keparat! Kebetulan sekali memang kau yang kuharapkan. Kucincang tubuhmu,
Jahanam!” geram Soreang sambil mengacungkan pedangnya di tangan kanan.
Supit Gadar segera meladeninya dengan gerakan yang gesit. Sambaran-sambaran
pedang Soreang dapat dielakkan dengan mudah. Bahkan sesekali balas
menyerang. Akibatnya. laki-laki bertubuh besar itu tersentak kaget.
“Hiyaaat..!”
Bukan main geramnya Soreang melihat keadaan itu. Sama sekali tidak
diperkirakan kalau murid Nini Towok ini memiliki kepandaian yang tidak
berada di bawahnya. Bahkan bisa jadi kepandaiannya sendiri masih di bawah
Supit Gadar.
Dan baru saja Soreang akan melipatgandakan serangannya, mendadak
saja....
“Aaa...!”
Tiba-tiba terdengar pekikan kesakitan Rudapaksi. Sekilas terlihat kakinya
melangkah terhuyung-huyung dengan kepala berlumuran darah. Bahkan bandul
besi berdurinya sudah terlempar jauh. Tidak berapa lama kemudian, terlihat
Nini Towok melontarkan satu pukulan jarak jauh disertai kebengisannya.
Akibatnya, Rudapaksi terlempar jauh dengan nyawa putus sebelum menyentuh
tanah.
Melihat kesadisan itu, Soreang jadi lengah. Dan kelengahan Soreang harus
dibayar mahal. Supit Gadar yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu langsung
menghantamkan pukulan mautnya yang bernama 'Pukulan Kelabang Api'.
Wusss!
Pukulan yang mengeluarkan cahaya kuning kemerahan itu menderu cepat ke arah
lawan. Soreang tersentak dan buru-buru membuang tubuhnya ke samping. Namun
tidak urung bahu kirinya terkena hantaman pukulan.
“Uts!”
Plak!
Soreang kontan meringis kesakitan. Sementara, Supit Gadar terus bergerak
cepat tanpa memberi hati sedikit pun juga. Meski Soreang berusaha
membabatkan pedangnya, namun mudah sekali dapat dielakkan. Sebaliknya,
telapak tangan Supit Gadar malah meluncur deras ke arah batok
kepalanya.
Prak!
“Aaa...!”
Soreang kontan terpekik, begitu batok kepalanya jadi sasaran telapak tangan
lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan kepala retak dan mengucurkan darah.
Namun rupanya serangan Supit Gadar tidak berhenti di situ saja.
Buktinya....
“Yeaaah...!”
Des!
Tubuh Soreang terjungkal dan tidak sempat berteriak lagi, begitu Supit
Gadar mencelat melepaskan pukulan mautnya. Saat itu juga Soreang ambruk ke
tanah. Sedangkan Supit Gadar langsung berkacak pinggang.
“Sudah, tinggalkan saja mereka. Ayo kita berangkat,” sentak Nini Towok,
seraya melesat pergi menembus kegelapan Hutan Dandaka.
“Baik, Eyang.” sahut Supit Gadar, langsung menyambar tubuh Pandan Wangi.
Dan langsung melesat, mengikuti jejak gurunya.
***
Emoticon