Matahari bersinar cerah menerangi alam raya ini. Sinarnya menembus
celah-celah dedaunan dan memberi kehidupan bagi pohon-pohon yang tumbuh di
bawah pohon yang rindang. Air sungai yang mengalir dari kaki gunung Ciremai
yang panjang berliku di bawah tebing, seperti cacing yang berliuk-liuk
mencari makanan.
Pohon-pohon di sekitar lereng Gunung Ciremai sebelah selatan tumbuh dengan
lebatnya. Batu-batuan yang terhampar luas membentuk gunduk-gundukan tersusun
indah baik hasil tangan Maha Pengatur. Rumput ilalang tumbuh dengan suburnya
serta kerikil-kerikil berserakan di sepanjang jalan setapak menuruni lereng
gunung.
Di sebuah lereng, di sebelah selatan gunung Ciremai terlihat sesosok tubuh
berjalan menuruni lembah dengan ringannya. Sekali-sekali sosok tubuh itu
melompat-lompat di antara batu-batu besar dan berlumut.
Sosok tubuh itu tidak lain adalah Parmin Sutawinata, Si Jaka Sembung, murid
Ki Sapu Angin! Dengan pakaian celana pangsi serta baju koko berlengan
panjang yang berwarna coklat muda, serta kain sarung kuning bergaris coklat
hitam, dan tongkat besi berani di tangan kanannya, itu terus melangkah
dengan gesit dan mantap.
Parmin telah memasuki daerah Pasundan. Seperti di ketahui wilayah
karesidenan Cirebon terbagi dalam dua bahasa. Sebelah utara gunung Ciremai
penduduknya berbahasa Jawa, sedangkan di sebelah selatan gunung Ciremai
berbahasa Sunda.
Parmin kembali harus merayap menuruni tebing-tebing cadas yang menjulang
tinggi dengan dinding-dindingnya yang licin berlumut serta lereng-lerengnya
yang terjal sama dengan apa yang ia tempuh di sebelah utara gunung Ciremai.
Dengan keteguhan hati ia terus melangkah pasti. Setelah melalui sebuah bukit
kecil, Parmin tiba di sebuah dataran luas yang sangat indah di pandang
mata.
Tiba-tiba Parmin menghentikan langkahnya karena mendengar ada suara yang
menyapanya.
“Assalammuallaikum.......!” Suara itu datang dari arah belakang.
“Waallaikum salam.......!” Sahut Parmin segera sambil menoleh
kebelakang.
Namun Parmin menjadi heran dan bingung setelah melihat tidak ada seorang
pun di sekitarnya. Bola mata Parmin mencari-cari sumber suara itu, namun
tidak ada seorang manusia pun, walau pun Parmin sudah mengerahkan panca
indranya untuk memantau ke segala penjuru.
“Bisakah anda menolongku, musafir?!” Kembali suara itu terdengar menyapa
Parmin yang masih kebingungan.
“Hah.......!!” Sentak Parmin dengan heran setelah mengetahui datangnya
sumber suara itu. “Seekor burung beo.......?!”
“Mimpikah aku.......?” Gumam Parmin dalam hati. Tak habis pikir.
Kiranya yang berbicara kepada Parmin adalah seekor burung beo yang
bertengger di sebuah batu yang berada di hadapan Parmin. Warna bulunya hitam
pekat dengan paruh panjang dan runcing berwarna kuning.
Bola matanya bundar, serta di dekat matanya ada warna kuning memanjang
sampai ke leher. Kepalanya berjambul dengan sepasang kaki yang berwarna
kuning dan kuku-kukunya yang tajam.
“Kukira andalah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan majikanku! Sudah
bertahun-tahun aku menunggu musafir yang lewat!” Ujar burung Beo yang
kemudian mengepakkan sayapnya terbang rendah menuju sebuah goa yang tidak
jauh berada di lereng, meninggalkan Parmin yang masih melongo penuh tanda
tanya.
“Ikutilah aku.......!” kata si Beo sambil terbang.
Parmin tersentak mendengar perintah burung Beo itu, lalu Parmin mengikuti
dari belakang dengan berlari-lari kecil dan melompat-lompat dari batu ke
batu yang lain. Burung Beo itu kemudian memasuki sebuah goa dan bertengger
dengan tenangnya.
Parmin yang mengikuti dari belakang berhenti di mulut goa yang keadaannya
sunyi senyap. Parmin segera menyapu pandang dengan sorot mata penuh
selidik.
Batu-batu yang menjulur ke bawah dengan ujung runcing memagari mulut goa
seperti tombak berjajar. Parmin melangkah masuk dengan tenang. Hawa di dalam
goa sangat sejuk dengan dinding batu berlumut hijau tipis serta batu-batu
kerikil yang berserakan di lantai goa, tersusun rapi di antara
tonjolan-tonjolan batu yang menyerupai tombak menyembul dari lantai goa
tersebut.
Di sebuah sudut terlihat burung Beo itu bertengger pada sebuah kerangka
manusia yang duduk bersila dengan tangan bersedakap, beralas batu berbentuk
bundar yang membelakangi sebuah rongga dinding berbentuk cungkup,
seolah-olah seperti kursi singgasana lengkap dengan tudung yang
melingkupinya.
Burung Beo itu dengan tenang bertengger di pundak sebelah kanan kerangka
manusia yang membisu, seperti batu-batu yang ada di sekitarnya.
“Silahkan duduk, musafir! Silahkan....... jangan sungkan-sungkan!” Ucap si
Beo mempersilahkan Parmin yang masih keheranan melihat burung Beo dapat
berbicara secerdik itu, sepertinya ia sedang berhadapan dengan manusia
sebagai tuan rumah yang menyambut dengan ramahnya.
“Benar-benar seekor burung Beo yang sangat langka!” Gumam Parmin pada
dirinya.
Ia duduk pada sebuah batu yang berada di hadapan kerangka manusia tersebut.
Diam-diam Jaka Sembung memperhatikan kerangka yang duduk seperti direkat
oleh perekat yang tak terlihat sehingga sendi-sendi tulangnya tidak jatuh
berantakan.
“Lihatlah kerangka ini…….!” Ujar burung Beo itu.
“Beliau adalah majikanku dan aku telah bertahun-tahun mengikutinya dengan
setia! Entah mengapa kerangka ini tetap utuh seperti ada perekatnya aku
tidak tahu! Beliau meninggal beberapa tahun yang lalu dalam keadaan
bersemedi…….!”
Si Beo menunda sesaat bicaranya.
“Ada beberapa pertanyaan yang beliau belum ketemukan jawabannya semasa
hidup! Arwahnya tidak akan tenang di alam baka, jika pertanyaan-pertanyaan
itu belum terjawab! Semua pertanyaan itu selalu kuhafalkan setiap hari,
sambil menunggu kalau-kalau lewat orang yang bisa menjawabnya!”
“Pertanyaan-pertanyaan apakah itu?” tanya Parmin serius
“Hmmm....... baiklah!” Lanjut burung cerdik itu.
“Yang pertama apakah agama itu dan apa gunanya?!” Suara beo itu mantap,
persis seperti suara manusia.
Parmin terdiam sebentar untuk berpikir. “Agama adalah suatu ajaran Tuhan
untuk membimbing manusia ke jalan yang benar!”
“Jika begitu, manusia tidak perlu memeluk agama jika misalnya ia bisa
melakukan segala sesuatu dengan benar!”
“Benar.......! Yang anda sebutkan itu belum tentu benar, menurut ajaran
agama atau pun penilaian orang secara umum!”
“Terima kasih.......! aku puas dengan jawaban anda!”
“Pertanyaan kedua adalah....... Mengapa di dunia ini ada beberapa macam
agama yang berlainan ajarannya, sehingga kadang-kadang manusia berperang
karena membela agama masing-masing!” Ujar burung beo.
Parmin tidak langsung menjawab. Dalam hatinya ia merasa kagum sekali dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berat yang dihafal dengan baik oleh burung beo
itu.
“Agama diturunkan Tuhan untuk mengubah sifat buruk manusia menurut jaman
dan nabinya masing-masing sehingga sekarang terdapat berbagai macam agama di
dunia ini! Adapun hasilnya sangat tergantung pada watak dan kemampuan
pemeluknya masing-masing. Watak dan kemampuan ini tidak selalu sama pada
setiap manusia.
“Jika manusia berperang karena agama, tidak lain disebabkan karena itu
masing-masing pribadi manusia itu sendiri yang tidak bisa mengendalikan hawa
nafsu, bersaing dengan mengatas namakan agama masing-masing. Karena
sesungguhnya agama mana pun selalu menganjurkan untuk saling menghormati
terhadap agama lain.
“Pada dasarnya semua agama adalah baik. Semua agama mengakui adanya
kekuasaan yang tertinggi, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja upacara
penyembahan atau ibadahnya berbeda menurut agama masing-masing!”
“Terima kasih! Pertanyaan yang ketiga. Apakah ibadah itu dan apa
gunanya?!”
Parmin menelan ludah, ia tertegun-tegun keheranan melihat kecerdasan burung
Beo ini seakan-akan seekor hewan dari zaman Nabi Sulaiman.
“Ibadah adalah niat dan perbuatan bakti kepada Tuhan menurut yang
diwajibkan oleh setiap agama! Gunanya adalah untuk membatasi dan
mendisiplinkan diri manusia sehingga ia selalu berada di jalan yang benar.
Karena dengan ibadah itu mereka selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta
yang memberikan kehidupan serta memelihara kehidupan ini!”
“Terima kasih. Pertanyaan keempat. Apakah hubungan Rasul atau nabi terhadap
kitab-kitab Suci yang dianut oleh manusia…….?!” sambung si Beo. Ia berhenti
lagi sejenak.
“Menurut pendapatku, Nabi tidak berbeda dengan pujangga-pujangga yang
menciptakan karangannya, dan karangannya dianut oleh pengikutnya! Seperti
halnya pujangga-pujangga kita, Mpu Kanwa, Mpu Panuluh atau juga Jayabaya
yang hasil karyanya masih dianut oleh orang-orang! Bagaimana pendapat
anda?!” Tanya si Burung Beo.
“Itu adalah penafsiran yang sama sekali tak benar! Hubungan antara Nabi dan
Kitab-kitab Suci adalah Mu'jizat! Mu'jizat adalah suatu perbuatan yang tidak
bisa dilakukan manusia dan ia melakukannya bukan dengan kemampuannya
sendiri!
“Lain halnya dengan pujangga-pujangga, mereka menciptakan karyanya dengan
pikiran dan daya cipta mereka sendiri! Lagi pula karya seorang pujangga
tidak bisa dianut sepanjang zaman……..”
Parmin berhenti sejenak, kemudian menambahkan.
“Ajarannya tidak bisa dikatakan sempurna!”
“Terima kasih! Anda telah membukakan pikiran kami yang picik! Sekarang
pertanyaan yang terakhir, bagaimanakah wujud Tuhan?” Ucap burung Beo sambil
menatap Parmin dalam-dalam seakan-akan seorang hakim yang sedang mengadili
sang terdakwa.
Parmin kembali menelan ludahnya kagumnya tidak habis-habisnya menyaksikan
kecerdasan burung Beo tersebut.
“Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu bahan perbandingan! Misalnya kita
membuat sebuah kursi, maka sudah jelas bahwa wujud kursi itu tidak sama
dengan kita sendiri! Dalam hal kesempurnaan, tentu manusia jauh lebih
sempurna dari kursi!”
“Sedangkan si kursi itu sendiri jika ia bisa berpikir sekalipun, pasti tak
bisa membayangkan ujud manusia yang menciptakannya! Begitupun manusia, dia
tidak akan bisa membayangkan wujud Tuhannya.
“Alam pikiran manusia tidak akan sampai ke sana walaupun bagi seorang
penghayal yang termasyhur sekali pun! Tetapi kita bisa mengambil kesimpulan
tentang ujud Tuhan! Manusia lebih sempurna dari sebuah kursi, maka Tuhan
adalah Maha Sempurna jauh lebih sempurna dari manusia!”
“Maha adalah tidak terbatas, walau bagaimana pun manusia tak bisa
membayangkan wujud Tuhan sang Pencipta dengan alam pikirannya yang terbatas
ini!” Jawab Parmin menjelaskan panjang lebar.
Burung Beo itu kembali menggerakkan kepalanya manggut-manggut berkali-kali
merasa puas dengan jawaban-jawaban yang diberikan oleh Parmin.
“Terima kasih....... terima kasih! Musafir yang budiman! Semoga tenanglah
arwah beliau di alam baka, sekarang sudah tiba waktunya untuk mengebumikan
jasad beliau!
“Musafir yang budiman dengan apa aku bisa membalas budi anda, aku tidak
tahu! Tetapi aku ingin mengabdikan diri pada anda jika anda sudi menerimaku
dan aku akan ikut ke mana anda pergi!” Ucap si burung Beo sambil terbang
menghampiri Parmin dan bertengger di pundak kiri Parmin.
Setelah mengebumikan kerangka manusia tersebut, Parmin bersama teman
barunya, burung Beo yang cerdik itu, segera melanjutkan perjalanan. Parmin
kini tidak lagi sendiri ia telah mendapatkan kawan baru, yaitu seekor burung
yang sangat langka di dunia. Parmin menuruni lembah dan tebing dengan
langkah ceria.
***
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan sampailah Parmin di sebuah tempat
yang sangat indah. Di depan mata Parmin terbentang sebuah telaga dengan
airnya yang jernih sehingga dasarnya terlihat jelas dan ikan-ikan yang
beraneka ragam jenisnya dengan warna yang indah bergerak kian kemari di
sela-sela tumbuhan yang ada di dasar telaga.
Di tengah-tengah telaga itu tersembul beberapa bebatuan yang membentuk
patung-patung abstrak. Angin pun berhembus sepoi-sepoi basah membuat udara
di sekitar telaga menjadi sejuk dan nyaman. Apabila angin datang berhembus
menerpa air telaga, maka airnya bergelombang kecil-kecil dan hilang
seketika.
Di sekitar telaga tumbuh pohon-pohon yang rindang dengan daun-daunnya yang
hijau subur beralas rerumputan yang menghampar bagaikan permadani yang
tebal.
Parmin merasa tubuhnya letih dan ingin beristirahat barang sejenak di
telaga itu. Ia lalu mereguk air telaga yang jernih itu dengan kedua belah
tangannya.
“Alhamdulillah.......! Bukan main segarnya!” Ucap Parmin setelah air telaga
itu memasuki tenggorokkannya dan di ikuti oleh burung Beo yang minum dengan
paruhnya.
Kemudian Parmin bersandar pada sebuah batang pohon besar dengan
ranting-rantingnya yang menjuntai ke bawah serta daun-daun yang tumbuh
lebat.
Angin tertiup sejuk semilir membuat mata Parmin menjadi berat dengan kedua
belah telapak tangannya sebagai alas kepala, Parmin memejamkan
matanya.
“Lebih baik anda tidur! Biarlah aku yang berjaga-jaga” Tegur si Beo sambil
bersiul kecil berirama perlahan-lahan mengiringi Parmin tidur.
Waktu pun terus berlalu dari detik ke detik, matahari pun bergerak menuju
ke arah barat.
Ketika Parmin terbangun, hari telah sore. Suasana di sekitar telaga terasa
menjadi begitu romantis.
Tiba-tiba saja Parmin teringat pada kekasihnya Roijah.
“Mengapa anda melamun, pendekar?!” Tegur si Beo melihat wajah Parmin
murung.
“Aku terkenang kampung, halaman!” Jawab Parmin tersentak.
Kemudian Parmin meniup serulingnya dan mengalunkan sebuah lagu kiser
“Dermayon”, lagu kesayangan Roijah.
Maka lembah yang indah itu kini lebih terasa semakin indah.
“Wajahmu selalu terbayang.
“Bila engkau pergi aku tetap menanti.”
“Cintaku padamu tidak akan melayang.”
“Aku tetap setia sampai mati.”
“Merdu sekali lagu ini! apa namanya?!”
“Lagu ini biasa dinyanyikan oleh jejaka-jejaka pada waktu malam jaringan di
desa Kandang Haur! Jaringan itu adalah suatu upacara adat mencari jodoh yang
hanya terdapat di desa Kandang Haur!” Jawab Parmin menerangkan dengan suara
sendu, membayangkan wajah Roijah dengan cubitan-cubitan mesra di pipi dan
belaian pada rambut hitam panjang gadis itu.
Tatapan mata Jaka Sembung menerawang jauh, tapi lamunannya itu segera
tersentak ketika ia dengar celoteh si Beo.
“Aku jadi teringat kekasihku! Aku patah hati karena kehilangan dia. Dia
cemburu dan mogok makan, kemudian mati! Kami bangsa burung Beo memang suka
mogok makan jika mempunyai perasaan tertekan!” Ujar si Beo dengan kepala
menunduk sedih.
“Aku turut berduka cita atas kemalanganmu, Beo!” Ucap Parmin pelan sambil
membayangkan bagaimana kira-kira bila sepasang burung sedang bercinta.
“Biasanya adat bangsa kami, aku harus ikut mati. Tetapi aku tidak mau mati
karena patah hati! Banyak jalan untuk hidup berguna, walaupun hatiku tetap
setia padanya!” Suara si Beo bergetar mengenang kekasihnya yang telah
tiada.
Dua makhluk yang berlainan jenis dengan akrab terlihat pembicaraan dengan
kenangannya masing-masing.
Tiba-tiba percakapan mereka terhenti, ketika mendengar ada suara yang
datang dan berkelebatnya sosok-sosok tubuh. Tiga buah bayangan berkelebat
entah dari mana datangnya dan dengan cepat mata Parmin menangkap suatu
gelagat yang akan mengusik ketenangan di lembah itu.
Parmin melihat pertempuran yang seru satu lawan dua. Gerakkan-gerakkan
mereka begitu gesit, sehingga cuma bayang-bayang dan kilatan golok saja yang
tampak oleh mata orang biasa.
Parmin terus mengikuti dengan pandangan mata penuh perhatian, tiga bayangan
itu terus bergerak dengan cepat dan gesit. Terlihat kini orang yang
dikeroyok dengan nafsu membunuh menyabetkan goloknya dengan cepat mengarah
titik-titik kematian pada tubuh si pengeroyok.
Dua orang pengeroyok itu berpakaian serba hitam dengan kepala tertutup
serta mulut dan hidung tertutup pula dengan sebuah kain berwarna hitam
sehingga yang terlihat hanyalah dua bola mata yang bersinar-sinar.
“Ciiaat........!”
“Ha....... ha....... ha....... percuma seorang diri menantang Lalawa
Hideung!” Teriak mereka sambil tertawa sinis.
“Ha.......ha.......ha telah kami katakan percuma!” Bentak salah seorang
sambil bersalto ke udara yang di ikuti oleh temannya.
Parmin tiba-tiba menjadi tercengang, ketika dua orang yang berpakaian serba
hitam itu membuat gerakkan jungkir balik di udara dan hinggap dengan ke dua
kaki menempel di atas dahan pohon sehingga kepala mereka menjuntai ke bawah,
meninggalkan musuhnya di bawah yang tercengang dan menahan
serangannya.
“Beruntung sekali nyawa tikusmu pantang kucabut hari ini! Kami sedang malas
membunuh orang!” ujar salah seorang dari mereka dengan nada mengejek.
“Turun kalian!! Aku tak gentar menghadapi Lalawa Hideung!! Jangan kira aku
menjadi takut menghadapi kalian!! Ayo turun jika kalian benar-benar bajingan
jantan!!” Sahutnya dengan suara lantang penuh dendam.
“Sampai bertemu lagi tikus busuk!” Teriak kawanan itu lalu mereka membuat
gerakan melompat dan bersalto dari dahan ke dahan dengan cepat, kemudian
kedua sosok tubuh itu lenyap entah kemana.
“Manusia-manusia iblis yang keji! Golokku harus di lumuri darah mereka
sebelum aku mati!” Gerutunya dengan gigi bergetak menahan amarah.
Parmin terus memperhatikan dari balik sebuah batu besar yang tak jauh dari
orang tersebut berada. Orang itu berwajah bulat dengan dagu panjang yang
ditumbuhi oleh bulu-bulu halus dan kumis tebal tumbuh tidak terurus, bernama
Sundata.
Ia segera meninggalkan tempat itu dengan langkah bergegas. Sementara itu
Parmin dengan ilmu berjalan di atas pematang basah mengikuti langkah Sundata
kemana ia pergi.
Setelah cukup lama berjalan di suatu dataran di celah bukit, Parmin
menghentikan langkahnya. Parmin memperhatikannya dari balik sebatang pohon
yang tidak jauh dari Sundata.
“Oh....... dia berziarah!”
“Makam siapakah gerangan?!” tanya Parmin dalam hati ambil menghela
napas.
Sundata dengan tapakur bersimpuh di sebuah gundukkan tanah bernisan yang
terlindung di bawah sebuah pohon yang rindang.
“Isteriku........, empat tahun sudah kau terbaring di sini! Luka di hati
suamimu tak akan sembuh, jika kematianmu tidak ku balaskan. Tapi percayalah!
Aku akan terus menuntut ilmu untuk menumpas gerombolan Lalawa Hideung!”
Sundata berbicara sendiri dengan linangan air mata membasahi pipinya,
sementara Parmin terus mendengarkannya.
“Lalawa Hideung keparat!! Sudah berapa nyawa direnggutnya! Sudah berapa
banyak harta di rampok! Sudah berapa banyak kesucian wanita yang mereka
rusakkan! Keji! bangsat! biadab.......!!” Umpat Sundata dengan suara
keras.
Mendengar kata-kata itu Parmin mengepalkan tangannya tanda bahwa naluri
kependekarannya tidak terima. Lalu dekati orang tersebut.
“Aku ingin sekali membantu anda, pendekar!” sapa Parmin pelan.
“Oh., siapakah anda?!” Sentak Sundata sambil berdiri penuh selidik.
“Namaku Parmin dan orang menyebutku Jaka Sembung!” jawab Parmin dengan
pandangan mata memberikan rasa simpati.
Ketika Sundata mendengar Parmin menyebutkan nama julukannya, ia menjadi
terkejut dan di wajahnya terbayang rona cerah.
“Oh....... andakah pendekar dari gunung Sembung itu?! Oh....... Tuhan! Nama
anda telah termashur sampai ke tanah Pasundan ini!” sergah Sundata gembira,
lalu ia memperkenalkan dirinya.
“Bisakah anda ceritakan tentang Lalawa Hideung?” Pinta Parmin kepada teman
barunya itu yang dijawab dengan anggukkan kepala.
“Lalawa Hideung adalah gerombolan perampok yang ganas dan kejam! Mereka
adalah momok bagi rakyat daerah Kuningan ini. Gerombolan garong itu terdiri
dari orang-orang yang mempunyai kepandaian silat yang tinggi!
“Ilmu mereka yang paling terkenal adalah 'Ilmu keseimbangan tubuh dan
pernapasan'. Mereka bisa berjalan dengan kaki menempel di atas, karena
memiliki ilmu itu! Anggota mereka tersebar luas di pelosok daerah sebagai
rakyat biasa.
“Itulah salah satu kesulitan untuk memberantas mereka! Kita hanya bisa
mengenal mereka pada saat mengenakan pakaian seragam yang serba hitam,
lengkap dengan tutup kepala dan cadar. Banyak sekali pendekar-pendekar yang
hendak menuntut balas, tetapi mereka tak mengetahui di mana adanya
gerombolan itu!” cerita Sundata bersemangat dan Parmin mendengarkan dengan
penuh perhatian.
“Terima kasih, saudara pendekar!” Ujar Parmin. Ia meneruskan
kata-katanya.
“Nah....... jalan satu-satunya adalah anda harus bersatu dengan para
pendekar yang akan untuk mengadakan pembalasan! Anda kupercayakan untuk
mengumpulkan mereka, Sundata!”
“Apa pun akan ku tempuh, dan kami tentu sangat membutuhkan saran-saran
anda, pendekar Gunung Sembung,” jawab Sundata penuh semangat.
“Aku berjanji membantu anda sekalian dengan segala daya dan kemampuan yang
ada padaku! Insya Allah......! Nah....... sampai bertemu lagi, pendekar!”
ucap Parmin memberi semangat kepada Sundata, lalu pergi dari tempat
itu.
“Oh, besar terima kasihku, pendekar! Semoga Tuhan bersama kita,” ujar
Sundata gembira sambil mengacungkan tangan.
Ia pun berlalu untuk memulai tugas yang dibebankan Parmin. Mereka berpisah
setelah merencanakan suatu tempat sebagai pertemuan mereka.
***
Hari telah gelap, malam menyelubungi daerah pegunungan dan seluruh belahan
bumi. Udara di sekitar pegunungan itu terasa dingin dan angin berhembus agak
kencang, ketika Parmin sampai di suatu daerah.
“Lihatlah di depan itu Beo! Bukankah itu suatu perkampungan, tetapi mengapa
begitu sepi? Lihat asap mengepul, seolah-oleh baru saja terjadi kebakaran!”
kata Parmin kepada burung Beo itu sambil terus melangkah memasuki mulut
perkampungan.
“Tak salah lagi ini tentu perbuatan Lalawa Hideung,” gumam Jaka Sembung
pada dirinya sendiri.
Parmin melihat perkampungan itu sudah porak poranda dan di depannya
terlihat sebuah rumah yang telah terbakar habis. Setelah beberapa saat ia
menyelusuri kampung itu, ia melihat mayat-mayat yang bergelimpangan, tumpang
tindih satu dengan yang lainnya dengan luka yang mengerikan.
“Mereka membuat malapetaka di mana-mana,” kembali Parmin bergumam sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ketika Parmin memasuki sebuah rumah, di dalam ia menemukan sesosok tubuh
wanita muda dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergolek
disebuah balai-balai yang ambruk. Semua perabotan yang ada di ruangan itu
porak poranda.
“Nasib sama yang juga di alami oleh istri Sundata yang kujumpai tadi sore,”
desah Parmin menarik napas.
Jaka Sembung mencari-cari kalau ada kain yang bisa digunakan untuk menutupi
tubuh wanita muda itu.
Matanya segera menemukan apa yang diinginkan. Baru saja tangannya menjulur
hendak menjangkau selembar kain rombeng yang ia ketemukan, tiba-tiba indra
keenamnya memperingatkan adanya sesuatu yang datang dari arah
belakang.
Secepat kilat Jaka Sembung miringkan tubuhnya sedikit dan loloslah senjata
gelap yang berdesing mengancamnya. Senjata itu menancap pada dinding bilik
yang berada jauh dari sampingnya.
Belum hilang rasa kagetnya, kembali Parmin harus menghindar dengan
menggerakkan tongkat besi beraninya yang diputar untuk melindungi tubuh dari
serangan-serangan senjata gelap berupa anak panah yang dilepaskan secara
beruntun dan bertubi-tubi mengarah ke tubuhnya.
Beberapa anak panah patah dua terkena sabetan tongkat Parmin. Yang lain
berterbangan ke segala penjuru, tak mampu menembus pertahanan Jaka Sembung
di balik putaran tongkat yang laksana kipas raksasa melindungi
tubuhnya.
Parmin merasa tak bisa bergerak bebas dalam ruangan sempit itu, oleh karena
itu bergerak cepat. Dengan sebuah loncatan tubuhnya menjebol dinding bilik
yang kini sudah mulai berkobar dimakan api.
“Ciaaaa.........tt!” teriak Parmin keras sambil menggerahkan tenaga
dalamnya untuk membuyarkan perhatian para penyerang gelap itu.
“Brus!” Tubuh Parmin tersembul ke luar dan berguling-guling di tanah lalu
segera berdiri memasang kuda-kuda siap siaga dengan tongkat besi berani
menyilang di depan tubuhnya.
“Nah....... akhirnya tikus itu keluar juga!”
“Inilah yang aku harapkan........ kepung!!” ujar salah seorang penyerang
gelap itu.
Mereka dengan cepat mengepung Parmin yang tegak siap-siaga di tengah
halaman, dengan sorot mata tajam mengawasi para pengepung yang berpakaian
serba hitam dengan tertutup kepala serta cadar berwarna hitam pula.
Mereka berjumlah duapuluh orang dengan masing-masing memegang golok yang
tajam dan mengkilap. Mata mereka liar dan nyalang dengan dengus napas ingin
membunuh.
“Ha........ ha....... ha.......! Inikah tampang Jaka Sembung yang kesohor
itu?! Mari kita cincang, kawan-kawan!!”
“Kalau tidak dibikin mati, ia akan menjadi kerikil tajam bagi kita!”
“Ayo kawan-kawan, sikaaaaa.......tt,” teriak yang lain memberi komando
kepada kawan-kawannya.
“Ciaaaaaaa.........tt!!” Suara mereka serentak memecahkan suasana yang
sunyi di tempat itu. Mereka bergerak menyerang Parmin secara bersamaan
dengan golok terhunus mengarah tubuh Parmin dari kaki hingga ke leher.
Parmin dengan siaga penuh menanti datangnya senjata mereka sampai pada
jarak yang sudah ia perhitungkan.
Begitu senjata-senjata mereka tiba, dengan gerak ilmu tongkat yang
dinamakan “Tongkat Penahan Ombak Menentang Badai” golok-golok lawan terlepas
dari genggaman masing-masing.
“Haaiiiii........ttt,” teriak Parmin keras mengerahkan tenaga dalamnya
dengan memutarkan tongkatnya lebih cepat. Tubuhnya melejit bersalto di udara
dan mendarat tanpa mengeluarkan suara di atas balok bubungan sebuah
rumah.
Para pengeroyok itu tercengang sejenak melihat tubuh Jaka Sembung
berkelebat begitu cepat, namun setelah jelas Parmin berdiri di atas atap,
mereka segera mengejarnya ke tempat itu. Mereka ikut bersalto ke udara dan
hinggap di atas atap rumah, lalu kembali mengepung Parmin.
“Ha........ ha....... ha.......!! Kau kira kami tidak dapat mengejarmu Jaka
Sembung?! Lalawa Hideung punya seribu mata tersebar di segala
pelosok!”
Terjadilah kejar-mengejar yang tampak menggagumkan di atas atap-atap rumah.
Gerak-gerak mereka sangat cepat sehingga yang terlihat hanyalah
bayangan-bayangan dan sinar golok yang membentuk gulungan-gulungan putih
menghimpit tubuh Parmin.
Sesuai dengan namanya, gerombolan Lalawa Hideung ini persis seperti
kelelawar yang berterbangan dengan gesitnya. Gerakan mereka sulit untuk
diduga oleh Parmin. Kejar-mengejar itu terus berlangsung dari atap ke atap
yang lain dengan cepatnya.
Parmin terus berusaha untuk mengimbangi serangan-serangan itu. Sudah
puluhan jurus Parmin mengeluarkan kepandaiannya, namun belum juga dapat
menjatuhkan mereka.
“Mereka ternyata jago-jago silat yang tangguh dan cekatan!” gumam Parmin
dalam hati sambil membuat gerakan salto menghindari serangan mereka dan
turun dari atas atap.
Baru saja Parmin menginjakkan kaki kembali, dengan cepat para pengeroyok
itu sudah menghadang di hadapannya. Ia kembali terkepung.
Keringat telah membasahi pakaian Jaka Sembung, namun para pengeroyok itu
seakan-akan bertambah banyak saja. Parmin merasa bahwa kemampuannya belum
dapat menanggulangi mereka untuk saat ini.
Ia segera mengambil keputusan. Dengan gerakan yang sangat cepat, tubuhnya
berkelebat menerobos kepungan itu disusul dengan gerak salto ke udara untuk
menghindar serangan gelap berupa senjata rahasia yang mereka
lontarkan.
“Aku terpaksa melarikan diri! Perlawananku akan percuma saja,” desah Parmin
menarik napas sambil menangkis senjata rahasia yang datang bertubi-tubi
kearahnya dengan memutar-mutar tongkat besi beraninya.
“Ciiaaaa.......t!” teriak Parmin sambil melompat ke atap sebuah rumah.
“Tap! tap! tap!” Beberapa senjata rahasia melekat di tongkat Jaka Sembung
yang segera menghilang di balik semak belukar di belakang rumah
tersebut.
“Hah! tongkatnya terbuat dari besi berani!”
“Kurangajar! kadal buduk!”
“Hmm menghilang kemana tikus itu?”
“Cepat betul! Ayo teman-teman, lekas cari!” seseorang dari mereka bersuara
menyadarkan mereka dari ketersimaannya.
Baru saja mereka hendak bergerak mencari, tiba-tiba terdengar suara di
kejauhan sana.
“Ha....... ha....... ha..,! Aku di sini, kawan! Kejarlah aku!” suara itu
keras menggema.
“He! Dia sembunyi di balik semak-semak itu!”
“Kepung! Kejar. Jangan sampai lolos!” teriak yang lain yang diikuti oleh
teman- temannya yang segera mengejar ke arah suara itu.
Mereka berlompatan saling mendahului dan berlari mengejar suara yang
terdengar semakin jauh menghindari mereka.
“Ha........ha........ha.........ha.......!! Kalian tidak akan sanggup
menyusulku!” Suara itu kembali terdengar menggema.
Gerombolan Lalawa Hideung mempercepat lari mereka dan mengerahkan seluruh
tenaga untuk mengejarnya.
Sementara itu di balik semak-semak di belakang rumah itu terlihat Jaka
Sembung berdiri keheran-heranan melihat gerombolan Lalawa Hideung berlari
meninggalkan dirinya.
Parmin segera sadar apa yang telah terjadi. Kiranya suara yang bergema itu
tak lain adalah ulah si burung Beo yang cerdik.
“Ha....... ha....... ha....... ha! Kalian adalah kucing-kucing
tolol!”
Burung Beo itu terus mengejek orang-orang gerombolan Lalawa Hideung yang
mengejarnya.
Selanjutnya burung yang cerdik itu terbang sampai melewati tebing yang
curam dan menghilang di balik bukit.
“Ha....... ha....... ha....... ha! Pendekar Gunung Sembung dapat lari
secepat angin. Lalawa Hideung bukan apa-apa bagi pendekar Gunung
Sembung!”
Suara burung Beo itu terdengar mengolok-olok dari sebuah tempat yang tinggi
dan sangat jauh dari jangkauan mereka.
“Hh....... hh....... hh.. Bukan main cepatnya dia berlari!”
“Lihatlah! Ia sudah melewati tebing sana. Melewati jurang dengan cepatnya!”
keluh mereka. Pengejaran mereka terhenti sampai di bibir tebing curam
itu.
“Stop! Berhenti!” salah seorang berteriak.
“Betul-betul hebat pendekar gembel itu!” gerutu mereka dengan kagum.
“Kita harus segera lapor kepada Pak Ketua!” ujar yang lainnya.
“Hmm....... saudara-saudara! Kita semua menjadi pecundang, sungguh
memalukan!” kata mereka dengan bersungut-sungut. Mereka lalu kembali ke
sarangnya.
Sementara itu Parmin masih berdiri tenang menantikan si burung Beo. Selang
beberapa saat lamanya terlihatlah burung itu terbang mendekat ke arah Parmin
dan hinggap di bahu sebelah kirinya dengan tenang seperti tak terjadi
apa-apa.
“Ha.......ha.......ha.......! Kau sungguh cerdik, terima kasih Beo,” ucap
Parmin dengan gembira. Tangannya mengusap bulu-bulu burung itu dengan
bangga.
“Kita harus mengurus jenazah orang-orang kampung ini dulu, Beo! Setelah itu
baru kita bisa beristirahat!” ujar Parmin.
Malam pun merambat terus. Di sisi sungai itu tumbuh pohon-pohon serta
batu-batu yang menonjol. Sungai itu cukup dalam dengan ikan-ikannya yang
hilir mudik di sela bebatuan yang ada di dasarnya.
***
Emoticon