ENAM
Sementara itu, Rangga sudah jauh meninggalkan rumah Nyi Gembur. Sekilas
masih sempat terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat menuju
ke arah timur Desa Paranggada ini. Rangga tahu, arah yang dituju bayangan
merah itu adalah hutan yang sering didatangi penduduk untuk mencari kayu
bakar.
“Hup!” Pendekar Rajawali Sakti terus menggenjot ilmu meringankan tubuhnya
yang sudah mencapai pada tingkat sempurna, begitu kembali melihat bayangan
merah itu berkelebat masuk dan langsung menghilang ditelan lebatnya hutan
ini. Rangga segera menghentikan larinya, setelah tiba di tepi hutan yang
tidak begitu lebat ini. Sebentar pandangannya diedarkan ke sekeliling.
“Hm....” Pendengaran Rangga yang setajam mata pisau, langsung bisa
menangkap adanya tarikan napas halus di sekitar tepian hutan ini. Namun
belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa berpikir lebih jauh, mendadak saja
berlompatan sosok-sosok tubuh dari balik pepohonan dalam hutan ini. Dan
sebentar saja, pemuda itu sudah dikepung tidak kurang dari tiga puluh orang
pemuda yang semuanya bersenjata golok terhunus di tangan kanan. Dan di
antara mereka, terlihat Ki Marta yang menggenggam tongkat kayu.
“Serang dia...!” seru Ki Marta langsung memberi perintah.
“Heh, tunggu...!” sentak Rangga terkejut.
“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”
Tapi orang-orangnya Ki Marta tidak lagi mendengar cegahan Pendekar Rajawali
Sakti. Mereka langsung saja berlompatan menyerang dengan ganas, sehingga
membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan, menghindari serangan yang
datang dari segala arah ini. Namun dalam beberapa gebrakan saja, Rangga
sudah bisa mengukur kalau kepandaian lawan-lawan-nya masih tergolong rendah.
Dan sebenarnya, mudah saja baginya untuk menghabisi mereka semua. Tapi tentu
saja Rangga sama sekali tidak ingin melenyapkan nyawa orang yang dianggapnya
tidak tahu apa-apa ini.
“Maaf, aku tidak ada waktu melayani kalian. Hup! Yeaaah...!”
Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melenting tinggi-tinggi ke udara.
Lalu, tubuhnya meluruk deras ke arah sebuah pohon yang tidak begitu jauh.
Dan ketika kedua kakinya langsung menjejak batang pohon itu, lalu...
“Yeaaah...!”
Tanpa berhenti sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti kembali melesat cepat
bagai kilat. Langsung ditinggalkannya orang-orang yang dipimpin Ki Marta
ini. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam
sekejapan mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi.
“Setan...! Ayo, kejar bocah keparat itu...!” seru Ki Marta lantang
menggelegar.
Sekitar tiga puluh orang pemuda itu langsung berlarian masuk ke dalam
hutan, mengejar Rangga yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya.
Sementara, Ki Marta mendengus-dengus kesal. Sudah dua kali dia ditinggalkan
begitu saja oleh pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya yang dicurigai
sebagai pembunuh putra tunggalnya beberapa hari lalu.
Sementara itu, Rangga terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh, hingga semakin jauh masuk ke dalam hutan yang tidak begitu lebat ini.
Dan dia baru berhenti berlari, setelah dirasakan cukup jauh dari orang-orang
Ki Marta.
“Huh!” Rangga mendengus menghembuskan napas berat Sedikit Pendekar Rajawali
Sakti berpaling ke belakang, dan memang tidak terlihat ada yang mengejar.
Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling.
“Hhh! Ke mana dia...?” gumam Rangga bertanya sendiri. Bulan yang bersinar
penuh malam ini, cukup menerangi hutan yang tidak begitu lebat. Sama sekali
Rangga tidak melihat ada seorang pun di dalam hutan ini. Bahkan telinganya
tidak mendengar suara yang mencurigakan sedikit pun. Sedangkan angin yang
bertiup begitu dingin, membuat tubuhnya jadi bergidik menggigil.
“Hhh! Gara-gara Ki Marta, semuanya jadi berantakan. Huh...!” dengus Rangga
menggerutu sendiri.
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan sambil
mengedarkan pandangannya berkeliling. Namun belum juga jauh berjalan, ayunan
kakinya tiba-tiba saja terhenti. Dan kelopak matanya langsung menyipit, saat
melihat kilatan cahaya api jauh di antara pepohonan hutan ini.
“Hm, coba kudekati,” gumam Rangga dalam hati.
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melangkah dengan ayunan kaki cepat dan
lebar-lebar. Tanpa disadari ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan, sehingga
ayunan langkahnya jadi begitu cepat. Dan sebentar saja, api yang dilihatnya
tadi sudah dekat Rangga segera menghentikan ayunan langkahnya. Tampak di
dekat api itu duduk seseorang bertubuh ramping, menutupi tubuhnya dengan
kain yang sudah lusuh warnanya.
“Ehm ehm...!” Rangga mendehem beberapa kali, sehingga orang itu langsung
mengangkat kepalanya. Agak terkejut juga Rangga, begitu melihat kalau orang
itu ternyata wanita berwajah cantik. Lebih terkejut lagi, karena hanya
seorang diri di dalam hutan yang sunyi ini. Malah, hanya selembar kain lusuh
itu saja yang menjadi teman penghangat tubuhnya.
“Maaf, kalau aku mengganggu...,” ujar Rangga ramah.
“Ah, tidak. Silakan duduk kalau kau kedinginan,” sambut wanita itu juga
ramah, seraya tersenyum manis.
“Terima kasih.” Rangga mengambil tempat di depan wanita ini. Hanya api yang
menyala tidak begitu besar saja yang membatasi mereka. Sekilas Rangga
melirik wajah wanita ini. Begitu cantik, bagaikan bidadari baru turun dari
kayangan. Dan saat itu juga, benak Rangga berputar, mengolah berbagai macam
pertanyaan yang tiba-tiba saja berkecamuk dalam kepalanya.
“Kau sendiri di sini, Nisanak?” tanya Rangga setelah beberapa saat
terdiam.
“Kelihatannya bagaimana...?” wanita itu malah balik bertanya.
Rangga jadi tersenyum sendiri. Entah, apa arti senyumannya. Dan kembali
matanya melirik sekilas ke wajah cantik di depannya. Namun saat itu juga,
jantungnya jadi berdegup kencang. Ternyata begitu wanita di depannya
mengetahui lirikannya, malah memberi senyuman yang sungguh menawan.
“Kau seperti sedang mengejar sesuatu, Kisanak...,” ujar wanita itu.
“Rangga. Panggil saja aku Rangga,” selak Rangga memotong, memperkenalkan
diri.
“Nama yang gagah,” puji wanita itu.
“Dan siapa namamu, Nisanak?” tanya Rangga ingin tahu.
“Apakah itu penting?” wanita itu malah balik bertanya.
“Kalau kau tidak keberatan....”
“Ah.... Semua orang sudah melupakan aku, Ki....”
“Rangga.”
Wanita itu tersenyum. “Aku memanggilmu Rangga saja?”
“Sama sekali aku tidak keberatan.”
“Baiklah, Rangga. Kenapa kau ingin tahu namaku, sementara semua orang
selalu menghindar dan melupakan aku...?”
“Rasanya tidak enak kalau kita tidak tahu nama masing-masing. Sedangkan
malam masih terlalu panjang untuk dilewati,” sahut Rangga memberi
alasan.
“Kau pasti tidak ingin mendengar namaku, Rangga.”
“Kenapa?”
“Karena...,” wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya.
“Karena apa, Nisanak?” desak Rangga ingin tahu.
“Kau akan membenciku, Rangga,” kata wanita itu pelan. Begitu pelan
suaranya, sampai hampir tidak terdengar di telinga.
Seketika, Rangga merasakan adanya nada kesenduan pada kata-kata wanita itu
barusan. Dan hatinya mendadak saja jadi terkesiap begitu melihat raut wajah
wanita itu jadi berselimut mendung. Rangga jadi menduga-duga, siapa
sebenarnya wanita ini...? Tapi pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti rupanya
masih terlalu jauh untuk mendapat jawaban.
Wanita itu jadi terdiam membisu, memandangi nyala api yang kecil di
depannya. Entah apa yang menarik dalam api itu. Tangannya bergerak-gerak
mengorek tanah di ujung jari kakinya. Sementara, Rangga hanya diam saja
sambil memperhatikan dengan bola mata tidak berkedip. Namun mendadak saja
detak jantungnya jadi berdebar keras, begitu berhembus angin kencang, sampai
menyibakkan kain yang menyelubungi tubuh wanita di depannya.
“Eh...?”
“Ada apa, Rangga?” tanya wanita itu langsung mengangkat kepalanya.
Begitu terkejutnya Rangga tadi, sampai-sampai terlompat berdiri. Langsung
dipandanginya wanita berwajah cantik yang masih duduk beralaskan selembar
kain ini. Sorot matanya seakan-akan tidak percaya dengan apa yang terlihat
barusan. Di balik kerudung kain itu, ternyata wanita ini mengenakan baju
warna merah yang sangat ketat. Sedangkan Rangga berada di dalam hutan ini
justru karena mengejar bayangan merah dari rumah Nyi Gembur. Saat itu juga,
Rangga jadi teringat cerita Randini. Tapi dugaannya masih belum yakin, kalau
wanita yang berada duduk di depannya ini adalah Lestari. Sedangkan orang
yang dikejarnya saja tadi, sama sekali tidak diketahui. Yang terlihat tadi
kelebatan bayangan saja dengan kecepatan sangat tinggi.
“Maaf, Nisanak. Apakah kau yang bernama Lestari?” Rangga langsung saja
menebak.
Tapi wanita itu malah tersenyum mendengar pertanyaan Pendekar Rajawali
Sakti barusan. Dan perlahan, bangkit berdiri, lalu melepaskan kain yang
membungkus tubuhnya. Tepat dugaan Rangga. Wanita itu memang mengenakan baju
warna merah menyala yang cukup ketat, sehingga membentuk lekuk-lekuk
tubuhnya yang indah dan ramping menggiurkan. Namun di balik semua keindahan
itu, terlihat sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Entah sadar atau
tidak, Rangga menarik kakinya ke belakang tiga langkah.
“Pandanganmu sungguh tajam, Rangga. Sayang, kita berada di sini bukan
sebagai teman. Tapi kalau kau mau, kita bisa menjadi teman,” kata wanita itu
lembut Dan memang, dialah Lestari yang merupakan putri tunggal Ki Rapala,
kepala desa yang tewas di tangan anaknya sendiri.
Lestari memang tidak akan peduli. Dia membunuh siapa saja kalau memang
ingin membunuh orang. Entah, apa sebenarnya yang terjadi pada diri gadis
ini. Dari cerita Randini, Rangga merasakan adanya ketidakwajaran pada diri
gadis ini. Dan sorot matanya yang terlihat sekarang, seperti tidak lagi
memiliki cahaya kehidupan. Begitu kosong dan datar, seperti bola mata orang
yang sudah mati.
“Aku tahu, kau sudah banyak sekali tahu tentang diriku, Rangga. Tapi
sayang, kau belum tahu siapa aku sesungguhnya,” kata Lestari.
Kali ini nada suara wanita itu terdengar dingin sekali. Begitu datar, tanpa
adanya tekanan sedikit pun. Raut wajahnya juga kini terlihat begitu dingin.
Bahkan perlahan-lahan berubah memucat. Rangga jadi agak terkesiap
melihatnya, namun berusaha untuk tetap tenang.
“Yang jelas kau pasti bukan Lestari. Kau hanya meminjam tubuh gadis
Lestari,” ujar Rangga agak datar suaranya terdengar.
“Ha ha ha...! Sungguh hebat kau, Rangga. Tidak percuma kalau kau mendapat
julukan Pendekar Rajawali Sakti. Pandanganmu memang sangat tajam, persis
seperti burung rajawali.”
“Hm.... Kau juga sudah tahu tentang diriku, Lestari.”
“Tidak terlalu sulit untuk mengetahui tentang kau, Rangga. Dan aku sudah
mengetahuimu sejak lama. Hhh! Kau pasti tidak akan bisa melupakan suaraku
ini, Pendekar Rajawali Sakti....”
Rangga jadi tertegun, begitu mendengar suara gadis ini jadi berubah seperti
suara seorang perempuan tua yang sudah lanjut, tidak lagi lembut seperti
tadi. Saat itu juga, otak Rangga jadi berputar. Dia berusaha
mengingat-ingat, suara siapa yang baru saja didengarnya.
“Nyi Sura...,” desis Rangga bisa mengenali suara itu.
“Hi hi hi...! Kau memang hebat, Rangga. Kau bisa mengenali suaraku.”
Rangga jadi tercenung. Sungguh tidak disangka kalau di dalam tubuh Lestari
ternyata berisi roh Nyi Sura, orang yang selama ini diburunya bersama Pandan
Wangi dari Desa Karuling.
“Di desa Karuling ketangguhanmu kuakui, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi
sekarang, aku semakin kuat. Aku tidak akan lari lagi menghadapimu, Pendekar
Rajawali Sakti. Aku malah khawatir, malam ini justru kau yang akan menggali
lubang kuburmu sendiri. Hi hi hi...!”
“Hm....”
Di Desa Karuling, mereka memang sempat bertarung. Dan Rangga sempat melukai
Nyi Sura, sebelum wanita yang sebenarnya sudah tua itu bisa melarikan diri.
Tapi sungguh tidak disangka kalau Nyi Sura bisa memindahkan rohnya ke tubuh
orang lain. Waktu itu, Rangga sudah yakin kalau Nyi Sura menderita luka yang
sangat parah dan tidak mungkin disembuhkan lagi.
Sungguh tidak disangka, dalam beberapa hari saja, Nyi Sura sudah
memindahkan rohnya ke tubuh Lestari. Bahkan kembali melakukan perbuatan
kejinya, membunuh orang-orang hanya untuk kesenangan saja. Tapi memang
sangat aneh ilmu yang dimiliki Nyi Sura ini. Semakin banyak membunuh orang,
semakin digdaya saja ilmunya. Malah, kekuatannya akan semakin berlipat ganda
kalau kedua tangannya sudah berlumuran darah.
Ilmu yang sangat aneh ini, membuat Rangga harus berhati-hati menghadapinya.
Sedikit saja terluka dan mengeluarkan darah, akan membuat wanita itu semakin
bertambah kuat saja. Dan semakin banyak darah yang keluar dari tubuh
lawannya, semakin sulit saja dikalahkan. Rangga tidak tahu, ilmu apa yang
dimiliki Nyi Sura.
“Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti. Jemput ajalmu.... Yeaaah...!”
Belum lagi hilang kata-katanya, Nyi Sura yang meminjam tubuh Lestari sudah
melesat begitu cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat
itu juga dilepaskannya satu pukulan yang sangat keras, disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
“Hupts...!” Namun dengan liukan tubuh yang sangat indah, serangan wanita
ini dapat dihindari. Dan Rangga cepat-cepat menarik kakinya ke belakang dua
langkah.
Tapi pada saat itu juga, Lestari sudah melepaskan satu tendangan
menggeledek sambil memutar tubuhnya ke samping.
“Yeaaah...!”
“Hap! Hih...!”
Plak!
“Ikh...!”
Lestari jadi terpekik kaget, karena tanpa diduga sama sekali Rangga tidak
berkelit menghindar. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti memapak tendangannya,
dengan satu kebutan tangan kiri yang begitu cepat, hingga kakinya tidak
dapat ditarik lagi. Maka, satu benturan yang sangat keras pun terjadi,
membuat wanita itu jadi terpekik. Cepat kakinya ditarik dan melompat ke
belakang sambil berputar satu kali di udara.
Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak, tidak terpengaruh sedikit pun
dari tangkisan tangan kanannya tadi.
“Ugkh...!” Lestari tampak terhuyung-huyung sedikit begitu kakinya kembali
menjejak tanah. Seketika pergelangan kakinya terasa begitu nyeri. Tapi rasa
nyerinya itu cepat bisa dihilangkan, dan kembali bersiap hendak melakukan
pertarungan.
Melihat dari gerakannya, saat itu juga Rangga langsung teringat seorang
wanita yang beberapa hari lalu menghadangnya, dan meminta agar dia dan
Pandan Wangi meninggalkan Desa Paranggada. Tanpa dijelaskan lagi, Rangga
langsung tahu kalau wanita yang menghadangnya pasti Nyi Sura, yang meminjam
tubuh Lestari. Rangga tidak tahu, ada berapa orang yang digunakan Nyi Sura.
Pendekar Rajawali Sakti langsung menyadari kalau sekarang ini tengah
mendapatkan kesulitan yang sangat besar. Nyi Sura sudah bisa memindahkan
rohnya ke tubuh orang lain. Dan ini berarti semakin sulit saja untuk
melenyapkannya. Kalau pun Pendekar Rajawali Sakti bisa membunuh raga yang
dipinjam Nyi Sura, itu bukan berarti Nyi Sura juga sudah ikut mati. Rohnya
akan melayang mencari raga baru. Dan yang lebih parah lagi, raga yang
sebenarnya sudah mati, akan sulit ditaklukkan. Rangga merasa sama saja
berhadapan dengan orang mati yang tidak mungkin dimatikan untuk kedua
kalinya.
“Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaa...!”
Sret!
Cring!
Wut!
“Haiiit..!”
Rangga cepat-cepat merundukkan kepalanya, saat Nyi Sura kembali menyerang
sambil mencabut pedangnya, dan langsung membabatkannya ke leher Pendekar
Rajawali Sakti. Untung saja Rangga cepat merunduk, sehingga mata pedang yang
kelihatannya biasa saja hanya lewat di atas kepalanya.
Tapi, angin tebasan pedang itu sempat juga terasa, membuat Rangga
cepat-cepat menarik kakinya ke belakang dua langkah. Memang, angin tebasan
pedang itu terasa sangat panas, menyengat kulit kepala. Dan belum sempat
Rangga berpikir lebih jauh lagi. Nyi Sura yang menggunakan tubuh Lestari
sudah kembali melesat menyerangnya.
“Hiyaaat...!”
Bet!
Wuk!
“Hup! Yeaaah...!”
Rangga terpaksa harus berjumpalitan, menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah
Ajaib’ dalam menghadapi perempuan yang sebenarnya sudah mati ini.
Kilatan-kilatan cahaya pedang berkelebat mengurung tubuhnya yang tengah
meliuk-liuk bagai belut. Begitu licin, hingga masih terasa sulit bagi
Lestari untuk bisa menyarangkan pedangnya ke tubuh Pendekar Rajawali
Sakti.
***
TUJUH
Entah, sudah berapa jurus pertarungan antar Rangga dan Nyi Sura yang
menggunakan tubuh Lestari itu berlangsung. Jurus demi jurus terus cepat
berganti. Dan Rangga juga sudah mengerahkan dan menggabung-gabungkan
rangkaian lima 'Jurus Rajawali Sakti' yang sangat tangguh dan berbahaya.
Dengan jurus-jurus itu, Nyi Sura semakin kelabakan saja menghadapinya. Malah
sama sekali tidak bisa lagi menyarangkan serangan-serangan. Semua sambaran
pedang dan pukulan serta tendangan yang dilancarkannya, mudah sekali dapat
dihindari Pendekar Rajawali Sakti.
“Setan keparat! Hiyaaat...!” Nyi Sura semakin bertambah geram saja dan
terus memperhebat serangan-serangan. Begitu cepat kebutan-kebutan pedangnya,
sehingga bentuknya jadi lenyap. Dan yang terlihat hanya kilatan-kilatan
cahaya putih keperakan, menggulung tubuh Rangga yang juga hanya kelihatan
bayangannya saja.
Entah sudah berapa jurus pertarungan berlangsung, tapi sedikit pun belum
ada tanda-tanda bakal berhenti. Sementara, malam terus merayap semakin
bertambah larut. Dan udara di sekitar pertarungan itu jadi terasa hangat.
Kilatan-kilatan cahaya pedang Nyi Sura yang dalam tubuh Lestari, membuat
sekitarnya jadi terang.
Kini pertarungan itu terus meningkat menggunakan ilmu-ilmu kedigdayaan,
sehingga menimbulkan ledakan-ledakan yang terdengar saling susul dan
menggelegar dahsyat. Batu-batu mulai terlihat pecah berhamburan. Puluhan
pohon bertumbangan. Bahkan tidak sedikit yang hangus terbakar. Tapi,
pertarungan itu masih terus berlangsung semakin sengit.
Suara-suara pertarungan itu rupanya terdengar juga oleh Ki Marta dan
orang-orangnya yang memang berada dalam hutan ini dalam upaya mengejar
Rangga yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di
Desa Paranggada.
Dan bukan hanya Ki Marta saja yang terkejut begitu melihat pemuda yang
dikejarnya kini tengah bertarung sengit melawan seorang wanita berbaju
merah. Tapi, semua pengikutnya juga jadi mengkeret nyalinya. Dan yang lebih
mengejutkan, ternyata lawan yang sedang dihadapi pemuda berbaju rompi putih
itu adalah Lestari. Karena dialah putri tunggal Ki Rapala kepala desa mereka
sendiri. Dan Ki Rapala pun telah menjadi korban pembunuhan pula.
“Ki! Bukankah itu Lestari...?” ujar salah seorang pemuda yang berdiri di
sebelah kanan Ki Marta.
“Hm, benar,” sahut Ki Marta agak menggumam terdengar suaranya.
“Hebat..! Tidak disangka kalau dia punya kepandaian begitu tinggi,” sambung
pemuda lainnya memuji.
Sedangkan Ki Marta hanya diam saja memandangi pertarungan itu tanpa
berkedip sedikit pun juga. Tampak keningnya jadi berkerut, seakan-akan
tengah memikirkan sesuatu. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini.
Namun....
“Kalian berpencar, dan kepung tempat ini. Jaga jangan sampai gadis itu bisa
lolos!” perintah Ki Marta agak mendesis terdengar suaranya.
“Eh?! Apa, Ki...?”
Tentu saja pemuda-pemuda itu jadi terkejut mendengar perintah Ki Marta
barusan. Sungguh mereka tidak mengerti, kenapa justru harus memusuhi
Lestari. Dan, kenapa bukannya pemuda asing yang tadi dikejar yang harus
dimusuhi...? Tapi, tidak ada seorang pun yang berani membantah perintah Ki
Marta. Walaupun dengan raut wajah memancarkan ketidakmengertian, tapi mereka
bergerak juga mengepung tempat ini dari jarak yang cukup jauh.
Sementara, Ki Marta tetap berdiri tegap memperhatikan pertarungan. Kedua
bola matanya tidak berkedip sedikit pun. Beberapa kali mulutnya menggumam
pelan, dan hampir tidak terdengar suaranya. Sementara pertarungan antara
Rangga dan Nyi Sura yang menggunakan tubuh Lestari, masih terus berlangsung
sengit.
“Hup! Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja secara bersamaan, mereka melompat ke atas sambil berteriak
keras menggelegar. Semua orang yang ada di sekitar pertarungan itu jadi
menengadahkan kepala. Dan saat itu juga, mereka saling melontarkan pukulan
keras dan cepat bagai kilat
“Yeaaah...!”
“Hiyaaa...!”
Plak!
Glarrr...!
Satu ledakan keras menggelegar seketika itu juga terdengar, tepat di saat
dua pasang telapak tangan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi
yang berisi aji kesaktian beradu di udara. Tampak bunga api memercik,
menyebar ke segala arah disertai kepulan asap hitam membubung tinggi ke
angkasa. Dan pada saat itu juga, terlihat kedua orang yang bertarung itu
sama-sama terpental jauh ke belakang. Secara bersamaan pula, mereka jatuh
bergulingan di tanah beberapa kali.
“Hoeeekh...!”
“Ugkh!”
Tampak Nyi Sura yang memakai tubuh Lestari memuntahkan darah kental
berwarna kehitaman, begitu tubuhnya berhenti berguling. Sedangkan Rangga
melenguh berat, sambil memegangi dadanya. Beberapa kali Pendekar Rajawali
Sakti menggeleng-geleng. Dan begitu bangkit berdiri, kedua kakinya seperti
tidak sanggup menahan beban berat tubuhnya, sehingga jadi limbung beberapa
saat.
Sementara, Nyi Sura masih terduduk dengan kedua lutut tertekuk ke belakang.
Dan pedangnya menjadi tumpuan berat tubuhnya.
“Ukh...!” Perlahan wanita itu bangkit berdiri, bertumpu pada pedang yang
ujungnya menghunjam ke dalam tanah. Sesaat tubuhnya masih kelihatan limbung.
Mulutnya penuh darah yang menggumpal kental. Sesekali darah yang memenuhi
rongga mulutnya termuntah.
Sementara Rangga sudah bisa berdiri tegak, walaupun pandangan matanya masih
agak berkunang-kunang.
“Kau.... Kau memang hebat, Pendekar Rajawali Sakti...,” ujar Nyi Sura
terbata-bata suaranya.
Rangga hanya diam saja memandangi wanita itu dengan tajam. Perlahan Nyi
Sura mengangkat tangan kirinya ke depan. Namun belum juga sempurna
mengangkat tangannya, mendadak saja....
“Akh...!"
Bruk!
Begitu terdengar jeritan tertahan, tubuh wanita yang meminjam raga orang
lain itu jatuh terguling kembali ke tanah. Dan kembali dari mulutnya
menyembur darah kental kehitaman. Perlahan kepalanya diangkat, langsung
menatap Rangga yang masih tetap berdiri tegak memandanginya.
“Aku belum kalah, Pendekar Rajawali Sakti.... Tunggulah! Aku akan kembali
lagi membalas semua ini. Akh...!” Nyi Sura yang memakai tubuh Lestari,
langsung ambruk setelah berkata tersendat. Dan tubuhnya tidak lagi bergerak
sedikit pun juga.
Sementara, Rangga masih berdiri memandangi beberapa saat, kemudian
melangkah menghampiri wanita itu. Tapi baru saja berjalan beberapa
langkah....
“Heh...?!”
Wusss!
“Hi hi hi...!”
Bukan hanya Rangga saja yang kaget setengah mati, begitu tiba-tiba tubuh
Lestari yang tergeletak di tanah jadi lumer seperti lumpur tersiram air. Dan
pada saat yang bersamaan, terlihat secercah cahaya kebiruan melesat dari
tubuh gadis itu, disertai terdengarnya suara tawa mengikik mengerikan.
Mau tak mau, bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya jadi meremang berdiri.
Begitu cepat cahaya kebiruan itu melesat, sehingga dalam sekejapan mata
sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Sedangkan tubuh Lestari sudah lenyap
mencair. Rangga jadi berdiri mematung memandangi cairan berwarna merah agak
kehitaman yang berasal dari tubuh Lestari.
Dan saat itu, Ki Marta bersama orang-orangnya datang menghampiri. Tapi,
kali ini sikap mereka tidak seperti semula. Tidak lagi terpancar cahaya
permusuhan di mata mereka. Dan Rangga langsung mengangkat kepalanya, menatap
Ki Marta yang sudah berada sekitar setengah batang tombak di depannya.
“Terimalah salam hormat dan maafku, Gusti Pendekar...,” ucap Ki Marta
sambil menjura memberi hormat.
“Kenapa kau bersikap begitu, Ki?” tanya Rangga tidak mengerti.
“Maafkan atas tindakanku, Gusti Pendekar. Aku sungguh-sungguh tidak tahu
kalau kau seorang pendekar digdaya yang sudah sering kali kudengar
julukannya,” sahut Ki Marta masih dengan memberi hormat.
Sementara anak buah Ki Marta yang berjumlah sekitar tiga puluhan itu,
langsung mengambil tempat di belakangnya dan langsung berlutut tanpa
diperintah lagi. Kata-kata Nyi Sura yang terakhir tadi, sudah menyadarkan.
Rupanya mereka selama ini tak tahu kalau pemuda yang dicurigai adalah
seorang pendekar digdaya yang julukannya sudah sering kali terdengar.
Apalagi, sepak terjangnya. Hal inilah yang membuat mereka langsung berubah
sikap.
Rangga yang langsung cepat bisa tanggap, jadi tersenyum sendiri. Nyi Sura
tadi memang menyebut julukannya, Pendekar Rajawali Sakti. Kini bisa
dimengerti perubahan sikap Ki Marta dan orang-orangnya ini. Sudah barang
tentu mereka jadi berubah, setelah tahu siapa sebenarnya pemuda berbaju
rompi putih ini.
“Ah, sudahlah.... Bangkitlah kalian. Tidak baik bersikap begitu padaku,”
ujar Rangga merasa jengah.
“Gusti.... Sudilah Gusti Pendekar memaafkan kami semua yang telah berlaku
tidak semestinya selama ini,” ucap Ki Marta lagi.
“Ah, lupakan saja. Aku bisa mengerti dan memahami semuanya. Kau tidak
salah, Ki. Juga orang-orangmu. Sudahlah..., bangkitlah kalian semua,” ujar
Rangga lembut.
Ki Marta memerintahkan orang-orangnya berdiri. Dan mereka semua menuruti
perintah itu. Sedangkan Rangga melangkah mendekati Ki Marta, langsung
menepuk pundaknya dengan senyuman penuh persahabatan tersungging di
bibirnya.
“Sebaiknya kita kembali ke desa, Ki,” ajak Rangga. “Sudah terlalu malam.
Terlalu berbahaya berada di dalam hutan malam-malam begini,” ajak
Rangga.
“Benar, Gusti...,” sahut Ki Marta seraya mengangguk.
“Ah! Tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu, Ki. Panggil saja aku
Rangga. Namaku Rangga,” kata Rangga meminta.
“Tapi....”
“Kau tidak perlu bersikap seperti itu. Aku tidak pantas menerima sanjungan
yang begitu besar. Aku sama sepertimu juga, Ki. Panggil saja aku Rangga,”
ujar Rangga memutuskan ucapan Ki Marta.
“Baiklah, kalau itu maumu,” sahut Ki Marta tidak bisa lagi menolak.
Rangga hanya tersenyum saja. Dan sebentar kemudian, mereka sudah berjalan
bersama-sama keluar dari dalam hutan yang sudah hancur porak-poranda akibat
pertarungan yang sangat dahsyat tadi. Mereka terus berjalan tanpa bicara
lagi, sampai tiba di Desa Paranggada.
“Kita berpisah di sini, Ki. Aku harus kembali ke rumah Nyi Gembur. Aku
bermalam di sana. Adikku pasti sudah tidak sabar menunggu,” kata Rangga saat
mereka sampai di perempatan jalan.
“Baiklah, Rangga,” sambut Ki Marta.
Mereka pun berpisah. Rangga terus menuju ke rumah Nyi Gembur, sedangkan Ki
Marta mengambil jalan ke kanan, pulang ke rumahnya sendiri diikuti
pembantu-pembantunya.
Dan malam pun terus merayap semakin bertambah larut Desa Paranggada ini
juga semakin terasa sunyi. Malam yang terasa begitu dingin. Tapi, tidak
demikian halnya Rangga. Rasanya malam ini begitu panas. Dan Pendekar
Rajawali Sakti memang harus secepatnya sampai di rumah Nyi Gembur, untuk
bersemadi. Kekuatannya yang begitu banyak terkuras akibat pertarungannya
dengan Nyi Sura tadi harus segera dipulih-kan.
***
Rangga kembali masuk melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. Dia agak
terperanjat juga, begitu berada di dalam kamar yang disewanya dari Nyi
Gembur. Di dalam kamar itu bukan hanya ada Randini, tapi juga Pandan Wangi
dan Nyi Gembur. Ketiga wanita ini seperti sedang menunggunya.
“Kotor sekali kau, Kakang. Dari mana saja...?” tegur Pandan Wangi
langsung.
“Panjang untuk diceritakan,” sahut Rangga seraya menghempaskan tubuhnya,
duduk di kursi rotan dekat jendela.
Sementara, Pandan Wangi berdiri saja di samping pintu. Sedangkan Nyi Gembur
duduk di tepi pembaringan bersama Randini. Mereka semua mengerahkan
pandangan pada Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang dipandangi seperti tidak
peduli. Sebentar matanya dipejamkan. Kemudian tangannya bergerak, memijat
bagian dadanya tiga kali.
“Hhh...!”
“Kau seperti habis bertarung, Kakang. Kau terluka?” tanya Pandan Wangi
dengan kelopak mata agak menyipit.
Rangga kembali tersenyum seraya menatap gadis cantik yang dikenal berjuluk
si Kipas Maut ini. Memang sudah lama sekali mereka selalu bersama-sama dalam
pengembaraan. Sudah barang tentu Pandan Wangi bisa cepat mengetahui kalau
Pendekar Rajawali Sakti baru saja bertarung. Dan sekarang, mendapat luka
yang diketahui pemuda itu sendiri.
“Dengan siapa kau bertarung, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Nyi Sura,” sahut Rangga.
“Apa...?! Dia ada di sini?” Pandan Wangi kelihatan terkejut.
“Ya. Dia ada di sini. Dan semua yang terjadi di desa ini akibat ulahnya,”
kata Rangga lagi.
“Ukh...!”
“Oh! Kau terluka, Kakang....”
Rangga cepat mengulurkan tangannya ke depan, saat Pandan Wangi mau
mendekat. Seketika Pandan Wangi jadi mengurungkan langkahnya. Hanya
dipandanginya saja Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sinar mata penuh
kecemasan.
“Nanti akan kuceritakan semuanya. Sekarang biarkan aku bersemadi dulu,”
kata Rangga meminta.
“Parah lukanya, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Tidak begitu. Tapi kau jangan mendekat, ada racun di sekitar tubuhku.
Keluarlah kalian.”
Pandan Wangi langsung bisa mengerti, dan segera mengajak Nyi Gembur dan
putrinya keluar dari dalam kamar ini. Dan ketika Pandan Wangi hendak menutup
jendela, Rangga sudah cepat mencegahnya. Terpaksa gadis itu terus saja
melangkah keluar dari kamar ini, dan menutup pintunya rapat-rapat. Pandan
Wangi menyusul Nyi Gembur dan Randini yang sudah berada di ruangan tengah
rumahnya. Hanya ada sebuah pelita yang menyala, sehingga hampir tidak
sanggup menerangi seluruh ruangan yang cukup luas ini. Mereka bertiga duduk
menghadapi meja bundar dari kayu berwarna hitam pekat.
“Dugaanmu ternyata salah, Randini,” ujar Pandan Wangi seraya menatap
Randini cukup dalam.
"Tadi Kakang Rangga mengatakan kalau habis bertarung dengan Nyi Sura, orang
yang selama ini kami kejar. Dia memang perempuan berdarah dingin. Sudah
tidak terhitung lagi berapa orang terbunuh di tangannya. Yang lebih
menjengkelkan, perbuatannya itu hanya untuk kesenangan belaka dan untuk
menambah kekuatan ilmunya. Dari membunuh itu, Nyi Sura bisa semakin kuat dan
tangguh.”
“Tapi, tanda-tanda dari korbannya sangat mirip dengan yang dilakukan
Lestari, Kak Pandan,” selak Randini.
Randini memang sudah menceritakan semuanya pada si Kipas Maut ini. Hal ini
terpaksa diceritakan, karena Pandan Wangi terus mendesak. Randini tahu kalau
ada kecurigaan dalam hati Pandan Wangi, makanya terpaksa harus mengatakan
yang sebenarnya. Semula memang Pandan Wangi masih belum percaya betul. Tapi
setelah Rangga pulang dalam keadaan terluka dalam, semua yang dikatakan
Randini baru bisa dipercayai. Rangga bukan menghindari dirinya, tapi
mengejar orang yang hendak membunuh Randini. Dan orang itu ternyata Nyi
Sura, wanita pembunuh berdarah dingin yang selama ini dikejar.
“Kak Pandan..., mungkin saja orang itu bukan mengincar aku, tapi Kakang
Rangga,” ujar Randini terdengar hati-hati sekali nada suaranya.
“Hm, mungkin juga...,” gumam Pandan Wangi pelan.
“Mungkin, kebetulan saja orang yang Kak Pandan dan Kakang Rangga cari ada
di sini. Tapi aku yakin, semua pembunuhan yang terjadi di desa ini dilakukan
oleh Lestari,” tegas Randini lagi dengan suara mantap.
“Kenapa kau begitu yakin, Randini?” tanya Pandan Wangi jadi ingin
tahu.
Randini tidak langsung menjawab, tapi malah menatap ibunya yang duduk di
sebelahnya. Kemudian terdengar tarikan nafasnya yang begitu panjang dan
dalam. Lalu dihembuskan kuat-kuat. Sementara, Pandan Wangi terus menatap,
seakan menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi. Dan untuk beberapa saat,
mereka jadi terdiam. Ruangan ini jadi terasa begitu sunyi, sampai suara
jangkrik di luar terdengar sangat jelas. Saat itu, Nyi Gembur bangkit
berdiri.
“Aku buatkan minuman hangat dulu,” kata Nyi Gembur, langsung saja melangkah
pergi ke belakang.
***
DELAPAN
Pagi-pagi sekali, Rangga sudah berpamitan pada Nyi Gembur. Diajaknya
Randini untuk pergi ke goa yang telah diceritakan semalam. Pandan Wangi
tidak mau ketinggalan, karena memang harus ikut untuk menjaga keselamatan
anak gadis pemilik kedai yang rumahnya dipakai untuk menginap semalam.
Mereka tidak menunggang kuda, karena Randini bukan hanya gadis desa yang
lugu, tapi juga tidak pernah menunggang kuda seumur hidupnya.
Semalam Rangga memang sudah menceritakan semua yang dialami di dalam hutan.
Dan dia tahu, Nyi Sura belum mati. Tapi yang jelas Pendekar Rajawali Sakti
mempunyai pendapat kalau kehidupan Nyi Sura ada di dalam goa, tempat
terakhir kalinya ditemukan. Dia yakin, pasti ada di dalam goa itu. Maka
Randini harus diajak untuk menunjukkan jalannya.
Namun begitu mereka sampai di perbatasan desa, Ki Marta sudah menanti
bersama lima orang pembantunya. Laki-laki separo baya ini meminta Rangga
agar mengizinkannya ikut. Dan Rangga sendiri tidak kuasa menolaknya. Kini,
mereka berdelapan menuju dalam hutan. Hanya saja, jalan yang dilalui bukan
jalan yang semalam dilalui Rangga. Randini tetap berjalan paling depan
menjadi penunjuk jalan, didampingi Pandan Wangi. Sementara, Rangga berada di
belakangnya bersama Ki Marta, diikuti lima orang pemuda pembantu laki-laki
separo baya ini.
Tepat di saat matahari berada di atas kepala, mereka sampai di depan mulut
goa yang cukup besar. Dan kelihatannya, memang cukup mengerikan. Bahkan
banyak ular yang berkumpul di depan mulut goa ini, memperdengarkan suara
mendesis mengerikan. Rangga kemudian meminta mereka semua, menyingkir
menjauhi mulut goa itu. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti perlahan melangkah
mendekati. Ayunan kakinya baru terhenti setelah berjarak tinggal sekitar
tujuh langkah lagi di depan goa ini. Ketika Rangga berdiri tegak memandangi
ular-ular itu, Randini mendekati Pandan Wangi.
“Dulu goa ini tidak banyak ularnya...,” bisik Randini.
“Hm.... Kakang Rangga pasti bisa mengatasi,” ujar Pandan Wangi, juga
berbisik.
Dan apa yang dikatakan Pandan Wangi memang menjadi kenyataan. Tidak berapa
lama kemudian, ular-ular itu terlihat bergerak pergi meninggalkan mulut goa
ini. Sedangkan Rangga kelihatan tidak bertindak apa-apa. Pendekar Rajawali
Sakti hanya berdiri mematung saja memandangi ular-ular yang kini semakin
menghilang di telan semak belukar. Memang tidak ada seorang pun yang tahu,
kecuali Pandan Wangi. Gadis itu tahu, Pendekar Rajawali Sakti memiliki
sebuah ilmu aneh sehingga bisa berhubungan dengan ular-ular manapun di dunia
ini. Semua ilmu itu didapatkan ketika Rangga bertemu sahabat gurunya, Satria
Naga Emas.
“Heh...?! Bagaimana mungkin ular-ular itu bisa pergi...? Ilmu apa yang
dipakai?” desis Ki Marta keheranan sendiri.
Sementara, Rangga sudah melangkah mendekati mulut goa itu. Tidak ada lagi
seekor ular pun yang terlihat lagi. Sementara, mereka yang berada cukup jauh
dari mulut goa itu terus memandangi dengan dada berdebar kencang. Semakin
dekat Pendekar Rajawali Sakti ke mulut goa, semakin kencang jantung mereka
berdetak. Namun belum juga Rangga masuk ke dalam goa itu, mendadak
saja....
Slart!
“Hup!”
Secepat secercah cahaya merah meluruk deras dari dalam goa itu, secepat itu
pula Rangga mengegoskan tubuhnya ke belakang. Sehingga, kilatan cahaya merah
itu hanya lewat di samping tubuhnya. Namun belum juga Pendekar Rajawali
Sakti bisa menarik tegak tubuhnya lagi, kembali terlihat satu serangan kilat
dari beberapa buah benda berbentuk pisau kecil yang memancarkan cahaya
keperakan.
“Hup! Yeaaah...!”
Terpaksa Rangga harus melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali
menghindari terjangan pisau-pisau kecil dari perak. Sementara mereka yang
menyaksikan dari kejauhan, jadi kaget setengah mati, melihat Rangga diserang
dari dalam goa. Hanya Pandan Wangi saja yang kelihatan tenang, karena tahu
betul kemampuan Pendekar Rajawali Sakti. Sesulit apa pun bahaya yang
menghadangnya, Rangga pasti bisa menghadapi dengan tenang.
Sementara itu, semakin banyak saja senjata kecil berhamburan keluar dari
dalam goa, membuat Rangga tidak punya kesempatan sedikit pun untuk
menjejakkan kakinya di tanah. Beberapa kali ujung jari tangan dan kakinya
menotok benda-benda itu, kemudian kembali melesat ke udara dan berputaran
dengan gerakan manis sekali.
“Dia perlu bantuan...,” desis Ki Marta.
“Jangan, Ki!” sentak Pandan Wangi.
Tap!
Cepat sekali gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu menangkap
pergelangan tangan Ki Marta, dan mencekalnya erat-erat. Akibatnya, laki-laki
separo baya itu jadi meringis, memandangi gadis cantik ini.
“Kakang Rangga tidak perlu bantuan. Lihat saja. Dia pasti bisa mengatasi
semuanya,” tandas Pandan Wangi sambil melepaskan cekalannya pada pergelangan
tangan Ki Marta.
“Tapi, Nini....”
“Percayalah. Tidak akan terjadi apa-apa pada Kakang Rangga,” kata Pandan
Wangi meyakinkan.
Ki Marta tidak bisa lagi berkata-kata. Walaupun raut wajahnya memancarkan
kecemasan, tapi tidak bi-sa membantah kata-kata Pandan Wangi. Dan memang
kenyataannya, Rangga masih bisa mengatasi serangan-serangan itu, walaupun
harus berjumpalitan di udara menghindarinya, tanpa dapat membalas sedikit
pun.
“Hup! Hiyaaa ...!”
Tiba-tiba saja Rangga melenting tinggi-tinggi ke udara. Lalu secepat kilat,
tubuhnya meluruk deras dengan kepala berada di bawah. Bagaikan seekor burung
rajawali, kedua tangannya mengembang lebar ke samping. Dan saat itu
juga....
“Aji Bayu Bajra! Yeaaa...!”
Wuk!
Secepat kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti menyatu di depan wajahnya,
seketika itu juga dari kedua telapak tangannya yang terbuka berhembus angin
badai yang begitu keras menghantam mulut goa ini.
Glarrr!
Satu ledakan dahsyat seketika terjadi, membuat bumi bergetar hebat bagai
diguncang gempa. Dan bersamaan begitu kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti
menjejak tanah, mulut goa itu hancur berkeping-keping. Akibatnya, debu dan
bebatuan langsung berhamburan di sekitarnya. Rangga melompat mundur sejauh
dua batang tombak, begitu dari dalam kepulan debu di mulut goa bagai
kilat.
Wusss!
“Haiiit..!”
Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan, begitu bayangan merah itu
meluncur deras menerjang ke arahnya. Tapi di saat bayangan merah itu
melewati tubuhnya, saat itu juga....
Plak!
“Akh...!”
“Kakang...!”
“Rangga...!”
Semua yang menyaksikan jadi terpekik, begitu melihat Rangga tahu-tahu
terpental ke kanan sejauh dua batang tombak. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti
jatuh keras sekali ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Brak!
Sebatang pohon yang cukup besar seketika hancur terlanda tubuh pemuda ini.
Namun bersamaan dengan hancurnya batang pohon itu, Rangga cepat sekali
melesat bangkit. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri tegak
di tanah.
Saat itu juga, bayangan merah yang tadi menerjangnya sudah berada sekitar
satu batang tombak di depannya. Tampak kini di depannya telah berdiri
seorang wanita muda bertubuh ramping dan padat terbungkus baju warna merah
menyala. Rangga langsung yakin kalau wanita itu pernah juga bertarung
dengannya. Dan dia tahu, di dalam tubuh wanita ini bersembunyi Nyi
Sura.
“Kau pakai siapa lagi untuk menghadapiku, Nyi Sura...,” desis Rangga,
terdengar sangat dingin nada suaranya.
“Jangan banyak omong kau, Rangga. Kau harus mampus! Hih...!”
Slap!
“Hap!”
Manis sekali Rangga mengegoskan tubuhnya, tepat ketika Nyi Sura yang kini
memakai tubuh gadis ini menghentakkan tangan kanannya. Seketika dari telapak
tangan itu memercik kilatan api yang menyambar di samping tubuh Pendekar
Rajawali Sakti.
“Hap! Yeaaah...!”
Rangga yang sudah tahu akan kedigdayaan lawannya, tidak ingin bermain-main
lagi. Dengan kecepatan kilat, tubuhnya langsung melesat tinggi ke angkasa.
Dan saat berada di atas kepala wanita itu, cepat tubuhnya menukik turun
dengan kedua kaki berputaran mengarah ke kepala.
“Jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’...,” desis Pandan Wangi yang
terus menyaksikan, langsung mengenali.
“Yeaaah...!”
“Upts! Hiyaaa...!”
Sret!
Bet!
“Aikh...!”
Rangga jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja Nyi Sura mencabut
ikat pinggang, dan langsung mengebutkannya di atas kepala. Cepat-cepat
Rangga memutar tubuhnya. Langsung diberikannya satu pukulan keras ke arah
dada, begitu tubuhnya terbalik dengan kepala berada di bawah.
“Hap!”
Namun tanpa diduga sama sekali, Nyi Sura memapak pukulan itu dengan
menyilangkan tangan kiri di depan dada. Hingga....
Plak!
“Hap!”
Rangga melenting ke belakang dan berputaran beberapa kali begitu pukulannya
mendarat di tangan wanita ini. Sedangkan Nyi Sura sendiri sempat terdorong
dua langkah ke belakang. Dengan manis sekali, Rangga kembali menjejakkan
kakinya di tanah.
“Hap!”
“Cabut pedangmu, Rangga! Hari ini kita mengadu nyawa!” dengus Nyi Sura
dingin menantang.
“Hm....” Rangga sebenarnya masih enggan menggunakan Pedang Pusaka Rajawali
Sakti yang masih saja tersimpan dalam warangka di punggung. Tapi melihat
ketangguhan perempuan ini, memang tidak ada pilihan lain lagi. Pedang
pusakanya yang sampai saat ini belum ada yang bisa menandingi kesaktiannya
harus digunakan.
Cring!
“Hah...?!”
Bukan hanya Nyi Sura yang terbeliak melihat pedang di tangan Pendekar
Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru menyilaukan mata. Tapi semua
orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi ternganga memandangnya.
Sementara, Rangga sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Sedangkan
telapak tangan kirinya sudah menempel pada bagian pangkal gagang
pedang.
“Kau sudah membuatku muak, Nyi Sura. Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi
menghadapimu,” kata Rangga dengan suara begitu dingin dan datar.
“Huh! Kau pikir aku takut melihat pedang bututmu, Pendekar Rajawali Sakti!”
dengus Nyi Sura, menutupi rasa keterkejutannya.
“Bersiaplah, Nyi Sura. Kau yang menginginkan. Dan aku tidak akan
mengecewakanmu,” kata Rangga lagi, masih dengan suara dingin menggetarkan.
Dengan pedang di tangan, Pendekar Rajawali Sakti bagaikan sosok malaikat
maut yang sudah siap mencabut nyawa perempuan itu.
Sementara, Pandan Wangi segera meminta yang lainnya untuk menyingkir lebih
jauh lagi. Dia tahu, saat ini Rangga akan mengeluarkan aji kesaktiannya yang
paling dahsyat dan belum ada tandingannya pada saat ini. Si Kipas Maut tak
ingin ada di antara mereka yang terkena ajian dahsyat Pendekar Rajawali
Sakti.
“Hap!”
Saat itu, Nyi Sura sudah siap mengeluarkan ilmu kesaktian pamungkasnya.
Sementara, perlahan-lahan Rangga mulai menggosok mata pedangnya dengan
telapak tangan kiri. Dan saat itu juga, cahaya biru yang memancar dari
pedang pusaka itu menggumpal, tepat ketika telapak tangan Pendekar Rajawali
Sakti berada di ujung senjatanya.
“Hiyaaa...!”
“Hap! Aji Cakra Buana Sukma! Yeaaah...!”
Tepat di saat Nyi Sura melompat sambil berteriak nyaring. Rangga
menghentakkan ujung pedang yang tangkainya terpegang oleh kedua tangannya ke
depan. Dan saat itu juga, dari ujung Pedang Rajawali Sakti memancar cahaya
biru terang yang bergulung-gulung, menyambut tubuh perempuan yang mengenakan
baju warna merah menyala ini.
Plas!
“Akh...!”
Bruk!
Nyi Sura langsung jatuh menghantam tanah, begitu tubuhnya terhantam cahaya
biru yang memancar dari ujung Pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu
hendak melompat bangkit, Rangga sudah menekannya. Akibatnya, wanita itu
menggeletak di tanah sambil menggelepar mengeluarkan desisan bagai
ular.
“Hih!”
Hanya sekali sentak saja, tubuh Nyi Sura terangkat bangkit berdiri.
Sementara, sinar biru yang memancar dari Pedang Pendekar Rajawali Sakti
terus menggulung tubuhnya.
“Aaakh...!”
Nyi Sura terus menggeliat-geliat sambil berteriak, seakan-akan seluruh
tubuhnya dihunjam ribuan jarum yang sangat menyakitkan. Dan semakin keras
perempuan itu berusaha melepaskan belenggu cahaya biru ini, semakin deras
pula tenaganya mengalir keluar, hingga tidak dapat lagi dikendalikan.
Saat itu, Rangga perlahan-lahan mulai melangkah maju mendekati. Sedangkan
cahaya biru yang memancar dari ujung pedangnya semakin banyak menggumpal
menggulung tubuh Nyi Sura. Tatapan mata Pendekar Rajawali Sakti demikian
tajam, seakan tidak ingin melepaskan wanita yang sudah lama dikejarnya ini.
Sekilas Rangga berpaling pada Pandan Wangi yang berada di antara orang-orang
dari Desa Paranggada.
“Pandan! Cari Batu Mustika Merah miliknya di dalam goa!” teriak Rangga
keras.
“Baik, Kakang!” sahut Pandan Wangi. “Hup!”
“Setan keparat! Jangan...!” teriak Nyi Sura terkejut “Hih! Aaakh...!”
Baru saja Nyi Sura hendak melepaskan- pukulan jarak jauhnya pada Pandan
Wangi, Rangga sudah menekan kuat sekali. Akibatnya, wanita itu jadi terpekik
dan kembali menggelepar di tanah. Dan Rangga sudah menghentakkan pedangnya
lagi, sehingga wanita ini kembali berdiri di depannya.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah lenyap di dalam goa. Tapi tidak berapa
lama, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah kembali lagi
sambil membawa sebuah batu berwarna merah menyala yang memancarkan cahaya
berkilauan begitu indah.
“Kakang, sudah kudapatkan!” seru Pandan Wangi memberi tahu.
“Hancurkan batu itu dengan pedangmu, Pandan!”
“Tidak! Jangaaan...! Akh!” teriak Nyi Sura.
Namun Pandan Wangi sudah mencabut Pedang Pusaka Naga Geni. Seketika pedang
berwarna merah bagai terbakar itu langsung saja dihantamkan ke Batu Mustika
Merah yang tadi diletakkan di tanah, sebelum mencabut pedangnya.
“Yeaaah...!” Pandan Wangi segera mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan
siap dikebutkan. Dan....
Glarrr!
“Hih!”
Tepat pada saat terdengarnya ledakan dari Batu Mustika Merah yang hancur,
saat itu juga Rangga mengangkat pedangnya ke atas kepala. Dan...
“Hiyaaa...!”
Cras!
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti mengebutkan pedangnya. Maka...
“Aaa...!” Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, bersamaan
tergulingnya kepala Nyi Sura, begitu terbabat Pedang Pusaka Rajawali
Sakti.
“Hup!”
Cring!
Sambil melompat ke belakang, Rangga memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti
ke dalam warangka di punggung. Dan seketika itu juga, cahaya biru memancar
menerangi tempat ini jadi lenyap tak terlihat lagi. Sementara, sekitar satu
batang tombak di depannya telah menggeletak tubuh seorang wanita berbaju
merah. Pendekar Rajawali Sakti berpaling, saat mendengar langkah-langkah
kaki menghampirinya.
“Ayo, kita kembali ke Desa Paranggada,” ajak Rangga.
Tidak ada seorang pun yang membuka suara mendengar ajakan Pendekar Rajawali
Sakti. Tapi, mereka semua langsung saja melangkah mengikuti Rangga yang
sudah lebih dulu berjalan didampingi Pandan Wangi.
“Kakang! Bagaimana kau tahu kalau Nyi Sura punya Batu Mustika Merah?” tanya
Pandan Wangi.
“Setiap orang yang bisa melepaskan jiwa dari raganya, akan menyimpan jiwa
yang sesungguhnya di dalam sebuah benda. Dan kebetulan saja, aku tahu kalau
Nyi Sura selalu membawa-bawa Batu Mustika Merah. Aku jadi berpikir, mungkin
di batu itu jiwa yang sesungguhnya disimpan,” jelas Rangga.
“Aku sama sekali tidak memperhatikan, Kakang,” ujar Pandan Wangi. Rangga
hanya tersenyum saja. “Kakang, kenapa kita kembali ke Desa Paranggada?
Mengapa tidak terus saja melanjutkan perjalan ini, Kakang?” tanya Pandan
Wangi.
“Kau lupa pada kuda kita, Pandan...?”
“Oh...?!”
Lagi-lagi Rangga tersenyum. Sedangkan Pandan Wangi hanya tersipu saja.
Entah kenapa, gadis itu jadi malu sendiri, karena tidak ingat kalau kuda
mereka ditinggalkan di Desa Paranggada. Sudah tentu kuda-kuda itu harus
diambil dulu, sebelum melanjutkan pengembaraan yang panjang dan tiada akhir
ini.
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon