Pagi-pagi sekali Parmin bangun. Setelah melakukan sholat subuh, dengan
diam-diam ia pergi mencari makanan ke kampung terdekat atau mencari bahan
makanan apa saja yang dapat ditemuinya dalam hutan itu. Parmin berjalan
menembus hutan berselimut kain sarungnya untuk berlindung dari hawa dingin
yang menusuk.
Udara pagi itu terasa menggigit tulang sumsumnya. Sepanjang jalan Parmin
terhibur oleh kicauan burung-burung melantunkan irama ceria menyambut
datangnya sang mentari. Ia tersenyum sendiri melihat seekor burung yang
sedang belajar terbang di salah satu cabang pohon. Berkali-kali ia
terpeleset dari ranting pohon dalam perjuangannya agar dapat terbang lebih
jauh.
"Paling cepat setengah jam aku baru menemukan pinggiran kampung karena
hutan ini ternyata tak ditumbuhi pohon buah-buahan untuk bisa dimakan.
Kasihan Si Gila! Tentu ia sangat lapar akibat perkelahian sengit dan
begadang hampir semalam suntuk!" gumam Parmin terus melangkahkan kakinya
menelusuri hutan.
Tak lama ia berjalan sampailah dipinggir hutan. Terlihat sebuah rumah
penduduk beratapkan rumbia. Parmin segera menghampiri seorang nenek-nenek
yang sedang mengikat kayu bakarnya diteras pondok itu.
Tanpa berpikir panjang lagi Parmin menyapa nenek-nenek itu.
"Assalamualaikum...!" salam Parmin sambil melipat kain sarungnya dan
disampirkan diatas bahu.
Mendengar ada seseorang yang memberi salam kepadanya si nenek menoleh ke
asal suara itu.
"Waalaikum salam...!" jawabnya tertahan. Ia heran melihat seorang pemuda
tiba-tiba berdiri di dekatnya pagi-pagi begini. "Ada apa anak muda?" Parmin
tersenyum menatap nenek-nenek itu. "Maaf nek mengganggu! Bolehkah aku
min-
ta makanan apa saja sekedar untuk sarapan?" tanya Parmin sambil
membungkukkan tubuhnya memberi hormat kepada orang tua itu.
"Oh! Ada nak! Silakan masuk!" sahutnya meninggalkan pekerjaannya menuju ke
dalam gubuknya. Langkahnya tertatih-tatih dengan tulang punggung yang sudah
melengkung.
Parmin mengikuti langkah nenek-nenek itu masuk ke dalam. Ia kemudian tanpa
sungkansungkan menceritakan dirinya dan sekaligus mengutarakan maksud
kedatangannya kemari. Nenek itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya
bergegas ke dalam dapur untuk mengambil segala yang dibutuhkan Parmin.
Setelah selesai, Parmin segera mohon diri dan sangat berterima kasih kepada
nenek itu untuk kembali ke dalam hutan menemui Si Gila yang mungkin telah
bangun.
Matahari mulai menampakkan cahayanya menerangi hutan dan alam sekitarnya.
Kokok ayam hutan bersahut-sahutan menyongsong terangnya hari.
Dilihatnya Si Gila sedang termangu-mangu dan masih merenung di sebelah peti
kayu jati itu.
"Lagi-lagi peti kayu itu!" desah Parmin seraya menghampiri Si Gila.
"Maaf, aku tadi meninggalkan anda sebentar. Tampaknya anda sudah mulai
sehat?" tanya Parmin menyapa.
Si Gila menoleh. Wajahnya tampak mulai ceria. Tetapi matanya terlihat
sembab akibat menangis semalaman. Namun ia mencoba untuk tersenyum kepada
kawan barunya yang telah menolongnya itu. Parmin duduk bersila disebelah Si
Gila yang masih saja diam membisu. Lalu Parmin memeriksa luka pemuda itu
dengan cermat dan luka yang diderita Si Gila sudah kering. Ternyata telah
terbukti betapa mujarabnya ramuan obat itu. Perubahan pada luka itu terjadi
begitu cepat dan membuat wajah Si Gila mulai terlihat segar. Matanya
bercahaya dan ia mulai mendapatkan rasa percaya terhadap dirinya.
"Mari kita makan!" Parmin membuka nasi yang terbungkus daun jati pemberian
neneknenek tadi.
"Nasi bungkus ini masih hangat, sangat cocok untuk pagi yang dingin seperti
ini!" katanya sambil menyerahkan sebungkus nasi pada Si Gila dan ia
menerimanya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ia lebih banyak bercerita melalui sinar ma- tanya.
Parmin mengerti dan memakluminya. "Banyak-banyaklah anda makan, agar ke-
sehatan anda cepat pulih kembali!" ujar Parmin sambil menyuap nasi yang
masih berasap itu kedalam mulutnya. Ia teringat, nenek itu menolak uang
pemberiannya sebagai imbalan.
***
Melihat Parmin mulai makan, Si Gila tanpa malu-malu turut menyuapkan nasi
kedalam mulutnya. Dikunyahnya pelan-pelan meyakinkan diri betapa pulen nasi
itu dan betapa gurih rasa ikan asin. Kemudian barulah ia menyantapnya dengan
lahap.
"Anda begitu baik kepadaku yang hinadina ini. Apa yang harus kulakukan
untuk membalas budi anda?" tanya Si Gila sambil mengunyah nasi yang berada
dalam mulutnya. Dalam sekejap nasi itu tinggal separuhnya.
Parmin agak terkejut mendengar Si Gila menyapanya. Sepertinya ia ingin
berbagi rasa kepada orang yang baru dikenalnya dan sekaligus dipercaya
olehnya.
"Terus terang, aku mengagumi ilmu pedang yang anda miliki dan kalau boleh
aku ingin mengetahui siapa anda dan darimana anda berasal." tanya Parmin
penuh harap.
Si Gila terdiam sejenak sambil menghabiskan nasinya hingga tak tersisa
sebutirpun diatas daun jati itu.
"Ceritanya sangat panjang! Akupun merasa gembira bilamana anda mau
mendengarkannya. Aku senang, bahwa di dunia ini masih kutemui orang yang
peduli kepada gembel gelandangan seperti aku...!" sahut Si Gila mulai
menceritakan asal muasal dirinya hingga memiliki ilmu pedang yang sangat
dikagumi oleh Parmin.
Sedangkan Parmin mendengarkan Si Gila dengan penuh antusias seraya
membenahi daundaun jati bekas ajang nasi yang kemudian di tumpuk jadi satu
dan dilipatnya sebelum dibuang. ***
Lima tahun yang lalu...ya, lima tahun yang lalu... jauh agak ke hulu sungai
bondet, terdapat sebuah desa yang bernama Ori Malang. Dinamakan demikian
mungkin dahulu di sana banyak di tumbuhi pohon duri yang malang melintang
atau bagaimana ia sendiri tidak tahu. Si Gila dari Muara Bondet itu
mempunyai nama asli Karta berasal dari keluarga yang miskin. Sejak kecil ia
sudah ditinggal ibu dan bapaknya. Ia seorang anak yatim-piatu. Ia dipungut
oleh seorang juragan yang kaya di desa itu yang merasa kasihan padanya
karena tidak mempunyai saudara satupun di desa itu. Ia sebatang kara.
Juragan Benjar, demikian namanya, mengangkat Karta bukan sebagai anak,
tetapi sebagai pesuruh. Kerjanya setiap hari adalah menggembalakan
kerbau-kerbau milik juragannya. Pagi-pagi sekali ia menggembalakan
kerbau-kerbau itu ke tempat yang banyak ditumbuhi rumput bila menjelang sore
barulah ia pulang. Semuanya itu dilakukan sampai menjelang remaja dan sampai
kerbau-kerbau juragannya berkembang biak semakin banyak jumlahnya. Karta
sangat rajin dan cekatan dalam menjalankan pekerjaannya membuat hati juragan
Benjar menjadi sangat senang.
Ketika menginjak masa remaja Karta jatuh cita kepada seorang dara yang
cantik jelita. Namanya Nuraini. Wajahnya bundar bak bulan purnama. Alisnya
hitam tebal. Rambutnya panjang sebatas pinggang dengan tubuh yang ramping
menawan. Sinar matanya bening bagai air telaga. Ia adalah anak majikannya
sendiri. Cinta itu dipupuknya sejak masih kecil. Mereka sering bertemu dan
bercanda di pinggir sungai Jamblang apabila Karta sedang memandikan semua
kerbaukerbau majikannya dan Nuraini mencuci pakaiannya di sungai. Mereka
saling mengutarakan perasaannya masing-masing di bawah sebuah pohon waru
yang tumbuh condong dipinggiran sungai Jamblang tempat mereka bermain. Tiada
hari tanpa cinta, tiada hati tanpa kemesraan. Sungai Jamblang dan pohon waru
itu merupakan saksi bisu dari hubung an asmara kedua remaja itu. Hal itu
membuat Nuraini selalu pulang telat berjam-jam lamanya setelah selesai
mencuci hingga juragan Benjar merasa curiga melihat anaknya selalu pulang
terlambat yang kadangkadang membuat ayahnya merasa cemas. Tapi berkat
kecerdikannya Nuraini dapat meyakinkan ayahnya dengan berbagai macam alasan
sampai ayahnya tidak lagi mencurigainya. Karena bagi juragan Banjar apa yang
dikatakan anaknya yang tercinta dan buah hatinya itu adalah
benar.
Di pohon waru condong di tepi kali Jamblang itulah mereka sering bertemu
dan memadu kasih.
Tetapi kisah percintaan keduanya mengalami suatu rintangan!
Suatu hari sehabis mencuci pakaian di sungai, Nuraini melihat ayahnya
sedang menerima tamu seorang yang sangat kaya dari desa lain. Tamu itu
adalah seorang juragan tua dan anak laki-lakinya yang bertubuh tegap bernama
Badar. Ternyata maksud kedatangan mereka tidak lain dan tidak bukan untuk
melamar dirinya.
Nuraini rupanya mendengarkan semua percakapan mereka dari balik gorden yang
membatasi ruang tamu dengan ruang keluarga. Mereka menjanjikan mas kawin
yang sangat banyak dan mahal-mahal sehingga ayahnya langsung setuju dan
menerima lamaran mereka hari itu juga.
Direncanakan hari perkawinan sesudah panen tahun depan. Saat itu juga
Nuraini merasa sangat kecewa karena ayahnya tidak membicarakan dan minta
pendapat semua itu kepadanya. Ayahnya begitu mudah memutuskan semua itu
tanpa menanyakan kepadanya apakah ia suka atau tidak dengan calon suaminya.
Yang jelas ia tidak mau dikawinkan dengan orang lain kecuali Karta seorang!
Kemudian ia berlari sambil menangis menuju kamar tidurnya dan mengunci diri.
Hanya isak tangis saja yang ia curahkan sebagai tanda protes yang tidak
tersampaikan.
Keesokan harinya seperti. biasa Karta menggembalakan kerbau-kerbau
majikannya di sungai Jamblang. Ia duduk di atas punggung salah satu
kerbaunya yang sedang mengunyah rumput dengan santai. Tiba-tiba ia melihat
kekasihnya berjalan menggendong sebuah bakul berisi pakaian kotor dengan
tangis yang terisak-isak menuju ke arahnya. Ia segera melompat dan berlari
menghampiri Nuraini yang jatuh terkulai di pinggir sungai sambil menangis
sesenggukan. Karta segera meraih bahu kekasihnya.
"Ain, kenapa menangis, sayang? Ada apa?" tanya Karta dengan lembut sambil
membelai rambut indah milik kekasihnya. Rambut panjang hitam legam yang
selama ini ia kagumi.
Nuraini mengangkat wajahnya. Air matanya membasahi kedua pipinya yang
mulus. Matanya merah sayu.
"Aku akan dikawinkan dengan orang yang jadi pilihan ayahku...!" ratapnya
lirih kemudian memeluk tubuh Karta erat-erat yang diam mematung mendengar
jawaban Nuraini. Ia seolah-olah mendengar petir disiang hari! Tanpa terasa
ia membalas pelukan Nuraini dengan erat juga seakan-akan mereka tidak sudi
untuk dipisahkan oleh siapapun.
Betapa hancur hati keduanya. Musnahlah seluruh harapan mereka dan mulai
saat itu matamata dari calon suami Nuraini selalu berada di sekitarnya untuk
menjaga sang dara dari gangguan pemuda lain di desa Ori Malang. Pertemuan
mereka menjadi terbatas sekali dan bersifat sembunyi-sembunyi.
Pada suatu ketika fihak calon suaminya, Badar mencium pertemuan rahasia
Karta dengan calon istrinya Nuraini. Mereka tertangkap basah sedang bercanda
ria di bawah pohon waru tempat pertemuan mereka selama ini. Badar datang ke
tempat itu bersama beberapa orang begundalnya yang terdiri dari jago-jago
silat bayaran.
"Heii, tikus busuk! Apa yang sedang kau perbuat dengan calon istriku,
hah?!" teriak Badar geram melihat Nuraini sedang berpegangan tangan begitu
mesra dengan seorang pemuda yang lusuh dan miskin. Matanya mendelik
sengit.
Karta dan Nuraini terkejut bukan main dengan datangnya Badar yang
diketahuinya sebagai calon suami kekasihnya itu. Seketika pegangan tangan
keduanya terlepas. Nuraini ketakutan sambil menyandarkan tubuhnya ke batang
pohon kelapa di dekatnya dengan tangan berpegang erat sekali pada batang
itu. Peluh dingin merembes keluar dari pori-pori sekujur tubuhnya dan betapa
jantungnya serasa berhenti. saat itu juga. Sementara itu Karta berusaha
untuk bersikap tenang dan menguasai dirinya.
Karta menatap mereka satu persatu dengan dada berdebar-debar.
Badar melangkah maju menghampiri mereka diikuti oleh anak buahnya dari
perguruan silat Ori Malang. Mereka semua berempat.
"Hmm... pantas kau selalu menghindari aku, Nuraini! Rupanya karena ada
monyet dekil ini!" bentak Badar keras. Matanya merah menahan luapan
amarahnya yang tak terhingga.
Pandangannya kemudian diarahkan kepada Karta. Napasnya bergemuruh.
"Hei, monyet! Kenalkah siapa aku? kau memang benar-benar tak tahu diri,
hah!!" Karta mengangkat alisnya karena ia memang belum mengenali siapa Badar
dan temantemannya itu. Yang ia tahu selama ini hanyalah bahwa calon suami
kekasihnya adalah seorang anak tuan tanah yang kaya-kaya.
Melihat Karta tidak menjawab pertanyaannya, seketika meledaklah amarah
Badar.
"Kurang ajar!! Nih, buat pelajaran bagimu!" teriaknya sambil mendaratkan
telapak kakinya ke wajah Karta yang tidak memiliki kepandaian bela diri
apa-apa hingga terjengkang ke belakang dan berguling-guling di tanah. Dari
mulutnya mengalir darah segar. Bibirnya sobek.
Melihat kekasihnya dipukul oleh Badar, Nuraini jadi histeris.
"Oh, Karta! Karta...!" teriaknya hendak memeluk Karta yang sedang meringis
kesakitan sambil meraba bibirnya. Tapi Nuraini segera ditarik oleh Badar
dengan kasar menjauh darinya.
"Pulang! Ayo pulang, Nur! Apa yang kau harapkan dari kambing gembel seperti
dia!! Puiih! Anak tak tahu diuntung terhadap majikan!" bentak Badar meludahi
wajah Karta yang masih tergolek di tanah sambil menarik-narik tangan Nuraini
yang memberikan perlawanan kepadanya. Darah remaja yang pantang dihina di
hadapan kekasihnya, membuat darahnya melonjak naik ke ubun-ubun.
Karta berontak. Ia langsung berdiri tegak. Tangannya mengepal keras.
Giginya gemeretak kuat. Napasnya terdengar mendengus seperti banteng
ketaton. Ia menatap Badar dengan geramnya.
Melihat gelagat itu Badar segera melepaskan tangan Nuraini siap menghadapi
Karta yang sudah berdiri di hadapannya siap memberi perlawanan.
"E...eh! Rupanya kau masih penasaran? Baiklah...! Agaknya kau belum
mengenal siapa Badar sebenarnya? Ha ha ha ha ha!"
Karta langsung merangsak Badar tanpa perhitungan. Kasihan ia. Rasa sakit
hati telah membutakan dirinya yang tak mempunyai kemampuan apa-apa, walaupun
ia tahu bahwa orang yang sedang dihadapi adalah murid dari perguruan silat
Ori Malang yang sudah mencapai tingkat lumayan.
Dengan sekali gebrak, tubuh Karta terjungkal jauh ke belakang langsung
ambruk ke tanah akibat pukulan Bandar. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat
Karta merangkak di atas tanah dan dengan susah payah mencoba bangun. Ia
berusaha menengadahkan wajahnya untuk menatap mereka. Matanya menyala-nyala
oleh dendam yang sangat besar. Bibirnya digigit menahan sakit dan untuk
sesaat tubuhnya bergetar kuat kemudian ambruk tak sadarkan diri. Badar dan
teman-temannya kembali tertawa keras menyaksikan lawannya hanya mampu
memberikan perlawanan yang tak berarti
Nuraini melolong-lolong menangisi Karta yang pingsan. Ia berontak sekuat
tenaga terhadap orang yang akan merampas dirinya dari sisi Karta yang sangat
dicintainya.
"Kau kejam! Manusia iblis! Jangan sentuh aku! Lepaskan! Lepaskan! Aku jijik
melihatmu!!" maki Nuraini pada Badar yang hanya senyum menanggapinya. Tapi
biar bagaimanapun Badar tak sanggup lagi menghadapi Nuraini yang terusterus
memaki-maki dirinya. Lalu tiba-tiba tangannya melayang menampar pipi gadis
itu sehingga ia langsung terkulai lemas. Kemudian Badar memanggul tubuh
Nuraini di atas pundaknya dan membawa pulang ke rumah calon mertuanya. Ia
tersenyum simpul penuh arti. Calon mertuanya tentu akan memuji dirinya
sebagai malaikat penolong.
***
Sementara itu waktu terus berjalan dan entah berapa jam kemudian Karta
mulai siuman kembali. Hari telah malam. Bulan meninggi diatas langit
memancarkan cahayanya yang kemilau. Angin bertiup lembut mendesir membelai
alam sekitarnya dan seluruh tubuhnya yang terasa ngilu.
Ruas-ruas tulangnya terasa hendak lepas. Tetapi semua itu tidak terlalu
dirasakannya. Yang terasa hanya hatinya yang begitu perih seperti disayat
sembilu.
Karta mencoba bangkit.
Perlahan-lahan ia merangkak mendekati sebuah pohon kelapa lalu menyandarkan
tubuhnya. Hatinya teramat sakit. Ia sadar bahwa dirinya tak kuasa untuk
membalas sakit hatinya. Ia merasakan dirinya manusia lemah, miskin, hinadina
dan tak berharga sama sekali dibandingkan dengan Badar yang mempunyai
segalanya.
Karta berjalan terseok-seok membawa tubuhnya pulang ke rumah majikannya.
Tubuhnya jatuh-bangun disepanjang jalan. Dan lebih menyakitkan lagi tatkala
ia sampai di rumah majikannya, juragan Benjar Karta disambut dengan
caci-maki serta kalimat yang kotor dan kasar yang membuatnya semakin merasa
hina-dina.
"Anak tak tahu terima kasih! Beraniberaninya kau mengganggu tunangan orang!
Seharusnya kau menyadari siapa dirimu sebenarnya! Kau tak lebih dari seorang
gembel! Gembel yang kupungut dari tong sampah!" bentak majikannya geram.
Tangannya mengepal keras ingin menghajar Karta, tetapi ia masih mempunyai
rasa kasihan sehingga meja yang berada di depannya menjadi sasaran empuk
kemarahan yang meluapluap. Walaupun akibat dari hantaman itu membuat ia
sendiri meringis kesakitan karena bukubuku jarinya ngilu.
Karta tertunduk diam menggigit bibir.
"Kau kira apa pangkatmu, gembel! Masih untung kau tak kuadukan kepada
opas!" maki majikannya tiada henti bagai semburan mitraliur. Karta tidak
sanggup lagi mendengarkan semua itu. Sinar matanya tidak lagi memperli-
hatkan semangat hidup yang menggebu-gebu lagi seperti hari-hari sebelumnya.
Hatinya sangat perih dan ngilu teriris-iris. Ia hanya menundukkan kepalanya
tanpa bisa menjawab ataupun menyangkal semua perkataan dan cacian yang
mencerca dirinya. Ia benar-benar merasa kehilangan harga dirinya. Bahkan
kehilangan segala-galanya. Dunia rasanya kiamat.
Dan kontan malam itu juga ia dipecat dan diusir dari rumah majikannya tanpa
pesangon sepeserpun dengan alasan melanggar adat dan sopan-santun yakni
mencintai anak majikannya sendiri. Di mata juragan Benjar pelanggaran
seperti itu adalah perbuatan biadab.
Karta dengan lesu segera membereskan semua barang-barangnya dan pergi
meninggalkan rumah juragan Benjar malam itu juga.
Ia lunglai mengayunkan langkahnya yang terasa mengambang. Ia akan pergi
entah kemana. Ia sendiri tidak tahu.
Ketika melewati kandang kerbau gembalanya, Karta sempat berhenti sejenak
menatap binatang itu dengan sedih. Ia akan meninggalkan hewan-hewan
kesayangannya yang menjadi kawan dekat sejak kecil. Diulurkan tangannya
membelai kepala seekor diantara kerbau itu penuh kasih sayang. Hewan itu
sepertinya mengerti apa yang telah menimpa gembalanya sehingga kerbau itu
melenguh panjang turut merasakan kesedihan dan kehampaan yang sedang
merundung hati Karta gembalanya. Kemudian Karta kembali melangkahkan kakinya
terus berjalan lesu sambil sesekali menoleh ke belakang seakan begitu berat
meninggalkan segala sesuatu yang pernah memberinya kehidupan. Dan sejak itu
pula Karta tak pernah berjumpa dengan jantung hatinya. Ia telah kehilangan
segala-galanya. Pekerjaannya, dan lebih terpenting adalah kekasihnya
Nuraini.
Hidupnya kini tak tentu arah.
Setiap hari kerjanya hanya luntang-lantung kesana kemari seperti
gelandangan dan mirip orang sinting. Setiap orang yang menjumpainya selalu
memperhatikan dan kasihan terhadapnya. Mereka tidak percaya bahwa Karta yang
dulunya dikenal sebagai anak yang rajin dan selalu hormat kepada semua orang
tanpa pandang bulu, kini mereka melihat kenyataan Karta sudah
menjadi tidak waras lagi. Mereka semua merasa kasihan tanpa bisa berbuat
apa-apa.
***
Begitulah...... Karta. Hari demi hari keluar masuk setiap kampung tanpa
tujuan.
Sementara bumi terus berputar mengikuti porosnya. Siang malam silih
berganti. Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan musim panenpun
tiba. Penduduk desa Ori Malang menyambut gembira musim menunai padi itu.
Tua-muda, besar-kecil semuanya bersuka-ria apalagi dengan adanya pesta
perkawinan anak seorang juragan terkaya dengan putri juragan Benjar. Para
penduduk benar-benar merasakan suatu kegembiraan yang begitu besar. Pesta
perkawinan itu diadakan selama tujuh hari tujuh malam dengan beraneka macam
tontonan gratis seperti wayang kulit, tayuban, tari topeng, langendriyan dan
lain-lain.
Lain halnya dengan Karta.
Malam itu Karta duduk sendirian memandangi air sungai Jamblang yang jernih
dan memantulkan cahaya kemilauan dari bias sinar bulan purnama yang
mengelus-elus permukaan air sungai itu. Ia duduk termenung menundukkan
kepalanya seperti orang yang lagi tepekur dibawah sebuah pohon yang tumbuh
di pinggir sungai itu. Pohon waru condong pohon kenangan. Sunyi mencekam
meliputi dirinya. Dari jauh terdengar sayup-sayup suara gegap-gempitanya
pesta itu. Pesta perkawinan gadis yang dicintainya. Suara itu dirasakan
Karta bagai ribuan jarum-jarum yang menusuk hatinya. Pesta itu di
selenggarakan di rumah bekas majikannya. Jiwa Karta seperti lolos dari
tubuhnya. Malam yang demikian indahnya itu terasa hampa. Jiwanya
merintih.
Wajah rembulan yang biasanya indah menawan bila ia menatapnya bersama
Nuraini kini tampak suram dan tak ada arti apa-apa bagi Karta. Tak terasa
air matanya mengalir jatuh dikedua pipinya. Air mata yang belum pernah ia
keluarkan sejak ia terlahir ke dunia.
Dan malam semakin larut. Angin mulai dingin berhembus. Riak-riak air sungai
jamblang terdengar begitu indah. Serangga malam berdendang riuh-rendah.
Suara gending tetabuhan dari keramaian pesta perkawinan itu masih mengalun
dan gaungnya terdengar sampai keseluruh penjuru desa Ori Malang.
Tiba-tiba secara tak terduga sebuah peristiwa menggemparkan telah terjadi
seperti membelah desa Ori Malang. Terdengar suara teriakan orang-orang di
tengah-tengah perayaan itu meredam bunyi gending yang masih mengalun.
Penganten perempuan di malam pertama telah bunuh diri karena tak sudi
disentuh oleh yang tak dicintainya.
Karta tersentak nanar mendengarnya.
Berita itu seperti guntur yang membelah dan menghancur-leburkan jiwanya. Ia
seolah-olah merasa bumi yang dipijaknya tiba-tiba merekah menelan dirinya
bulat-bulat. Karta tak sanggup menghadapi kenyataan ini. Begitu kejam. Orang
yang dicintainya telah meninggalkan dunia ini dengan cara yang mengerikan.
Karta tak dapat lagi melihat wajah yang selalu dirindukannya. Betapa tragis
akhir percintaan mereka. Akhir dari sebuah cinta remaja yang suci.
Keesokan harinya orang berbondongbondong mengantarkan jenazah Nuraini ke
pekuburan. Orang-orang ramai memperbincangkan kematian Nuraini kembang desa
Ori Malang. Mereka sebagian mengecam ayah Nuraini yang telah menyebabkan
kematiannya. Juragan Benjar me- nangis meraung-raung saat jenazah anaknya
diturunkan ke dalam perut bumi dan Badar hanya memandang semua itu dengan
perasaan kecewa yang dendam kepada seseorang yang telah menyebabkan kematian
istrinya.
Dan Karta sendiri menyaksikan pemakaman kekasihnya itu dari kejauhan. Ia
mengintip dari balik sebuah pohon besar, menangis dengan lirih dengan hati
luluh-lantak. Kemudian ia berjalan dengan gontai entah kemana. Dilain fihak
pemakaman itu telah selesai dan para penduduk kembali ke rumahnya
masing-masing. Di sepanjang jalan mereka masih saja memperbincangkan
peristiwa yang tragis dan menghebohkan itu.
Hari mulai malam. Sinar matahari telah menyembunyikan wajahnya jauh dari
bumi dan berganti rembulan yang tersenyum simpul. Para penduduk desa Ori
Malang telah tertidur dengan lelap. Seluruh desa itu sunyi mencekam.
Sungguhpun masih dicekam oleh peristiwa bunuh diri sang pengantin yang tak
henti-hentinya menjadi bahan percakapan. Malam itu mereka tidur dengan mimpi
masing-masing.
Kawasan pekuburan tempat Nuraini dikebumikan terasa sunyi dan mencekam.
Suara burung malam berkumandang menambah suasana seram tempat itu.
Kalong-kalong beterbangan di udara dengan kepak sayapnya yang angker.
Suasana tanah pekuburan itu membuat bulu roma merinding. Angin menghembuskan
wewangian bunga kamboja yang tumbuh merindang bagai sosok-sosok makhluk yang
memberi kesan magis dan menyeramkan.
Tiba-tiba dari arah barat terlihat seseorang pemuda berjalan menuju tanah
pekuburan itu. Ia membawa sebuah cangkul di atas bahunya. Dari pantulan
sinar bulan dapat dilihat wajah pemuda itu.
Ternyata ia adalah Karta!
Ia menghentikan langkahnya di salah satu kuburan di mana tadi siang Nuraini
dimakamkan. Dengan cepat ia menggali kuburan tersebut dan tak lama kemudian
terlihat papan-papan penutup mayat Nuraini. Sejenak ia melepaskan
cangkulnya, dan segera membuka papan itu perlahanlahan. Mayat Nuraini yang
ditutupi kain kafan itu segera digendongnya ke atas. Ia keluar dari dalam
liang dan membuka kain pocong yang menutupi tubuh kekasihnya. Didorong oleh
rasa rindu ingin melihat wajah kekasihnya yang begitu menggebu membuat ia
nekad melakukan semua ini.
Wajah Nuraini yang pucat dipandanginya dalam-dalam. Dari mulai keningnya
terus ke alis matanya, hidungnya, kedua pipinya, sampai bibirnya. Lama
sekali...
Wajah itu sangat pucat tetapi tak mengurangi kecantikannya. Bahkan semakin
cantik bagi Karta.
"Oh, Ain! Mengapa kau tega meninggalkan aku? Mengapa...? Tidak!
Tidaaaaaaaaaaaaaak...!! Kau tidak mati!" ratap Karta melolong-lolong memecah
kesunyian malam. Mayat itu terasa dingin dalam pelukannya, tapi ia tak
peduli.
"Kau sedang tidur, tidur, bukan? Jangan! Jangan tinggalkan aku sendiri! Aku
tak mau kau pergi!" jerit Karta sambil meletakkan kepala mayat itu
kedalam pelukannya.
Karta nekat menggali kuburan itu dan membawa pergi jenazah Nuraini
kekasihnya.
Setelah puas menumpahkan perasaannya, Karta segera membungkus kembali mayat
tersebut dengan kain kafannya. Ia lalu menimbun liang kuburan itu seperti
semula dan pergi jauh meninggalkan tanah pekuburan desa Ori Malang malam itu
juga membawa jenazah Nuraini.
"Mari kita pergi, sayang! Kita pergi meninggalkan orang-orang yang tak
menyenangi kita!" kata Karta sambil memondong mayat itu.
Ia berjalan sejauh mungkin menuju ke timur dengan menelusuri tepian sungai
Jamblang.
Esok harinya jika orang-orang kampung melewati tanah pekuburan tidak tahu
sama sekali bahwa kuburan Nuraini yang masih tegak berdiri itu sesungguhnya
telah kosong. Dan kemana gerangan Karta pergi tak seorangpun yang
mengetahuinya.
***
Orang-orang yang kebetulan ada ditepian sungai hanya mengetahui bahwa ada
seorang pemuda berdiri di atas sebuah rakit dan disebelahnya terdapat sebuah
peti kayu jati. Rakit itu meluncur mengikuti arus sungai Bondet yang
merupakan lanjutan dari sungai Jamblang setelah bergabung dengan sungai
Plumbon menuju ke utara tempat muara sungai itu bertemu laut. Mereka tidak
tahu siapa nama pemuda yang kelihatan selalu diam dan murung di atas
rakitnya. Hanya tangannya saja yang bergerak sesekali mengayuh membelah air
sungai.
Berhari-hari Karta mendayung rakitnya itu dibawa impiannya sendiri tanpa
makan dan minum kecuali dari air kali dan apa yang ada di permukaannya.
Tanpa terasa lagi ia sudah berada dimuara sungai Bondet. Di depannya
terbentang laut lepas. Laut Jawa. Seperti hamparan permadani biru.
Burung-burung camar menyambut kedatangan Karta dengan celotehnya yang
riuhrendah. Gelombang menghantam rakit Karta sehingga semburan air laut
membasahi wajah Karta yang sayu. Tubuhnya kurus dan rambutnya sudah tumbuh
panjang melewati bahunya.
Para nelayan yang kebetulan melihat tingkah laku seorang anak muda itu
tentu merasa heran karena melihat pemuda itu mengoceh sendirian seperti
orang sinting. Beberapa di antara mereka melemparkan sisa bekal makanan tadi
malam ke atas rakit itu. Dari sisa makanan para nelayan yang pulang dari
laut itulah Karta dapat terus menyambung hidupnya dari hari ke
hari.
Sejak saat itu penduduk di pinggir kali Jamblang sering melihat Karta hilir
mudik di atas sebuah rakit dengan peti kayu jati yang dibawanya.
Rakit itu terapung-apung hilir-mudik sepanjang pantai teluk Cirebon. Jika
matahari bergerak menggelincir ke arah barat maka rakit itu kembali ke muara
Bondet. Dua orang nelayan yang sedang mengayuh perahunya ke pantai sehabis
menjala ikan ditengah laut berpapasan dengan rakit Karta yang menuju ke
muara. Sejenak perahu itu berhenti. Dua orang nelayan itu melihat rakit
Karta melewati perahunya. Salah seorang berdiri mengangkat kaki kirinya ke
atas pinggiran perahunya sehingga ia dapat memperhatikan semua yang
dilakukan Karta diatas rakit itu.
"Coba lihat! Aku tak habis pikir melihat tingkah laku orang itu! Apa saja
yang dikerjakan setiap hari mondar-mandir begitu? Cuma bicara sendiri
seperti orang gila!" katanya mengernyitkan dahinya keheranan kepada temannya
yang sedang memegang dayung duduk di sebelahnya.
"Ya, pak! Tak jemu-jemunya ia sejak beberapa minggu yang lalu dan peti yang
dibawanya berisi apa, ya? Kadang-kadang peti dielus-elusnya seperti elusan
sayang! Barangkali emas permata!" sahutnya sambil membetulkan gulungan tali
layar yang terlihat mengendor.
"Ya mungkin juga!" ujar orang itu manggutmanggut. Kemudian ia kembali
meneruskan perjalanannya menuju ke hilir, sementara rakit Karta meninggalkan
perahu mereka menjauh-menuju laut lepas. Minggu ditelan minggu. Bulan
ditimpa bulan dan sudah berjalan satu tahun Karta hilirmudik di Muara Kali
bondet dan laut teluk Cirebon. Rambutnya semakin panjang tak terurus.
Wajahnya keras tetapi sinar matanya terlihat hampa dengan pandangan yang
menerawang jauh menembus cakrawala dan kaki langit. Akhirnya para nelayan
sudah tidak lagi ambil pusing dengan dirinya lagi. Kini bagi mereka sudah
merupakan pemandangan biasa dan tak ada keanehannya sama sekali.
Dan mereka menyebutnya dengan nama SI GILA DARI MUARA BONDET.
Sementara itu para nelayan yang menaruh belas kasihan kepadanya tetap
memberikan sisa perbekalan makanannya pada Karta dan ia pun tidak menolak
diberi julukan Si Gila oleh mereka walaupun ia sendiri merasa bahwa
pikirannya seratus persen dalam keadaan waras. Mereka kadang-kadang bertanya
macam-macam kepada Karta, tetapi ia menjawab dengan senyuman hambar dan
pancaran mata yang hampa. Ia tidak mau menceritakan asal muasalnya. Ada juga
orang yang mencoba memegang peti kayu yang dibawanya tapi segera Karta
mencegah dengan gerakan tangannya tanpa berbicara sepatah katapun. Walaupun
maklum, tetapi orang-orang itu masih tetap ingin tahu apa isi peti kayu
tersebut. Namun mereka hanya bertanya pada dirinya sendiri apa kira-kira isi
peti itu.
Tapi biar bagaimanapun mereka tidak be- rani berbuat kurangajar terhadap Si
Gila. Ada semacam rasa menghargai terhadap hak-hak orang lain disertai rasa
belas kasihan kepadanya. Bila malam telah sunyi. Bintang-bintang gemerlapan
di atas lazuardi. Angin bertiup sepoi seakanakan membisikkan kata-kata yang
lembut. Ombak pantai Cirebon mengalun tenang mengusap dan membelai rakit Si
Gila penuh rasa kasih sayang. Dia saat seperti Si Gila meratapi peti
kayu jati itu. Suara tangisnya menyayat hati. Tak seorangpun yang
mendengarkannya. Peti itu dipeluknya erat-erat. Sebagian kakinya basah
terkena percikan ombak yang menghantam pinggiran rakit itu. Hawa dingin
malam yang menyusup ke dalam tubuh samasekali tak dirasakannya. Ia tenggelam
dalam khayalannya sendiri. Kesendirian merupakan kenikmatan bagi dirinya.
Ombakombak laut, bulan dan bintang serta angin malam adalah saksi bisu dari
segala tingkah laku Si Gila diatas rakit itu.
***
Tahun kedua telah datang. Tampaknya tidak ada perubahan pada diri Karta.
Semua tetap seperti sedia kala. Hanya rambutnya sudah panjang sebatas
pinggang. Kulitnya kelihatan hitam tembaga karena terus-menerus diterpa
angin laut yang kering dan sinar matahari yang menyengat. Bulu-bulu tubuh
meremang di sekitar wajahnya. Tubuhnya berubah menjadi kekar dan berotot,
namun tatapan matanya tetap saja tampak kosong. Dipinggangnya kini terselip
sebuah golok panjang.
Suatu keajaiban telah terjadi dalam diri Karta. Setiap malam seperti dalam
keadaan setengah sadar, Karta melakukan gerakan-gerakan yang aneh. Tubuhnya
meliuk-liuk dan tangannya direntangkan seiring gerak kakinya. Ia bergerak di
seputaran rakitnya mengitari peti kayu yang berada ditengah rakit itu.
Semakin lama gerakan itu semakin lincah. Karena dilakukan setiap malam maka
tubuh Karta menjadi luwes dan gesit. Gerakan yang semula terlihat lamban
kini kian hari kian cepat, sehingga tubuhnya bagaikan selembar daun yang
dipermainkan oleh tiupan-tiupan angin laut yang berhembus dan jika dilihat
dari jauh seperti seekor udang yang sedang melompatlompat di atas pasir
pantai. Gerakan-gerakan itu kemudian terbentuk dengan sendirinya tanpa
diciptakan menjadi jurus-jurus silat yang aneh tapi sempurna.
Pada awalnya Si Gila melakukan gerakan itu hanya di seputaran rakitnya,
tapi kini ia telah dapat melesat keatas dan meliuk-liukkan tubuhnya di udara
sambil mempermainkan golok panjangnya. Rakit itu turun naik dan
kadang-kadang miring karena dimainkan oleh ombak laut. Tetapi Si Gila
seperti tak menghiraukan semua itu. Bahkan ia semakin banyak melakukan
gerakangerakan yang bervariasi untuk menjaga keseimbangan tubuhnya terhadap
gerak oleng rakit yang diinjaknya.
Tubuhnya berputar-putar di udara. Bila selesai melakukan rangkaian gerakan
tersebut, ia kemudian duduk bersila diatas peti kayunya memejamkan matanya
seiring dengan pengaturan napas untuk menghilangkan rasa lelah sehabis
berlatih. Tanpa ia sadari ilmu peringan tubuh Karta sudah mencapai tingkat
yang sempurna. Karta mendapatkan semua itu bukan dari seorang guru maupun
belajar dari kitab silat, tetapi ia dapatkan dari imajinasinya sendiri yang
timbul akibat dari tekanan jiwa yang sangat berat. Keajaiban-keajaiban alam
yang penuh misteri turut membantu menggemblengnya.
Dan ada satu hal lagi yang merupakan keajaiban.
Pada suatu hari para nelayan di muara Bondet dibuat gempar. Mereka terkejut
sekali melihat ikan-ikan mati terapung di laut lepas. Berpuluh-puluh ekor
bahkan beratus-ratus ekor ikan mati terapung dengan keadaan badan terpotong
menjadi dua bagian. Nelayan itu merasa ditimpa suatu malapetaka. Mereka
mendapat kutukan dari penguasa laut Jawa. Mereka gelisah dan panik tak
menentu.
"Apakah dewa laut sedang marah?"
"Ya! Kita harus menyajikan kepala kerbau untuk dikuburkan di tengah-tengah
laut!"
Para nelayan mencoba menduga-duga apa yang menyebabkan semua ini terjadi.
Masingmasing tenggelam dalam pikiran dan ilusinya. Hanya burung-burung camar
yang merasa senang karena kenyang dapat menikmati hikmah dari peristiwa itu.
Dan sekumpulan burungburung laut berdatangan menyelimuti laut pantai Cirebon
berpesta pora. Sedangkan para nelayan menyaksikan semua itu dengan
gundah-gulana dan keluh-kesah berkepanjangan.
Apakah sebab musababnya?
Betulkah dewa laut sedang marah karena mereka lupa membuat sajian?
Kita lihat rakit Si Gila masih tenang mengapung diatas permukaan air laut
dengan setia mengayun-ngayunkan rakitnya. Di atasnya masih terdapat peti
kayu jati, kain sarung, dan baju pembungkus tubuhnya. Tetapi dia sendiri
tidak kelihatan batang hidungnya. Kemana gerangan?
Bila kita lihat lebih dekat ke permukaan air laut itu, tampaklah
gelembung-gelembung udara yang muncul ke permukaan. Beruntun dan besarbesar.
Tidak mungkin gelembung itu ditimbulkan dari napas seekor ikan. Ternyata di
dasar muara Bondet terlihat bayangan sesosok tubuh berkelebat kesana kemari
dengan gesitnya seperti seekor ikan hiu mengikuti mangsanya. Gerakannya
luwes sepertinya tidak terhalang oleh hambatan arus dan tekanan air laut.
Tangan kanannya memegang sebuah golok panjang yang diayunayunkan melawan
arus air yang ditimbulkan oleh gerakan gelombang laut. Ia membelah-belah air
laut seperti membelah-belah udara. Begitu mudahnya sehingga tampak golok
panjang itu man- tap sekali. Setiap ia berkelebat sambil mengibaskan
pedangnya, dua atau tiga ekor ikan yang kebetulan mendekatinya menggelepar
dalam keadaan terpotong menjadi dua bagian yang terpisah, terkena sabetan
pedangnya.
Sosok tubuh itu bukanlah seorang dewa penguasa laut setempat dan ternyata
dia adalah Si Gila dari Muara Bondet!
Apa yang dilakukannya merupakan latihan mempertinggi ilmu tenaga dalamnya
dan sekaligus pula ilmu meringankan tubuhnya. Semua itu hanya dilakukan oleh
Karta seorang diri berdasarkan tuntunan nalurinya semata-mata. Si Gila
bergerak meluncur dan melayang sambil mengibaskan pedangnya membabat sasaran
yang berupa ikan-ikan dari yang besar sampai yang terkecil-kecilnya. Dan
dapat dibayangkan betapa hebat tenaga sabetannya, apabila ia melakukan semua
gerakan itu di udara yang tanpa hambatan.
Bisa diukur besar tenaga itu bila benarbenar dilakukannya di darat. Karena
ikan-ikan yang menjadi sasarannya kadang-kadang ada yang ukurannya sebesar
tubuh seorang anak kecil. Sedangkan kecepatan sabetannya bisa melalui ikan
kecil yang jadi korban. Yang lebih hebat lagi pendengarannya. Ia dapat
bertahan dari tekanan air laut yang menerpa telinganya. Apalagi Si Gila kita
ketahui bahwa tekanan yang ditimbulkan di dalam air laut tergantung dari
kedalamannya. Semakin dalam semakin besar tekanan yang ditimbulkan. Napasnya
kuat sekali. Ia dapat berla- ma-lama melakukan latihan di dasar laut hanya
dengan satu kali tarikan napas. Dan bila Si Gila sudah kehabisan napas ia
kembali muncul ke permukaan untuk menghirup udara lagi. Hampir sepuluh jurus
dapat ia lakukan dalam satu tarikan napas. Persis seperti ikan lumba-lumba.
Para nelayan yang kebetulan melihatnya sedang muncul di permukaan mengira Si
Gila sedang mandi belaka. Sekali sabet beberapa ekor ikan dan ukuran
besar dan kecil terpotong menjadi dua bagian.
Begitulah seterusnya Si Gila selalu berlatih dan berlatih.
Hari demi hari dilalui hanya dengan semangat membara yang timbul dari dasar
jiwanya. Bila saja tiba, ia segera naik ke permukaan laut untuk kembali
menuju ke muara Bondet. Napasnya tersengal-sengal ketika ia menggapai
pinggir rakit itu dan mengangkat tubuhnya naik. Seperti biasa ia duduk
bersila mengatur napasnya di atas peti kayu jati itu untuk menghilangkan
rasa lelah dan mengembalikan kesegaran tubuhnya. Kemudian setelah itu ia
memakai pakaiannya dan segera mengayuh rakitnya.
Empat tahun telah lewat tak terasa. Selama itu pula Karta hidup di atas
rakitnya bersama peti kayu jati itu. Makan dan tidur juga di situ. Para
nelayan hanya dapat melihat bahwa pemuda gila itu tubuhnya kian kekar dengan
rambut panjang melambai-lambai di tiup angin dan kulit tubuh yang semakin
hitam tembaga. Semua yang ia lakukan adalah tumpahan amarah, dendam, kecewa,
rindu yang terlukiskan melalui gerakangerakan aneh yang lama-kelamaan
terbentuk menjadi suatu rangkaian jurus-jurus silat yang lain dari yang
lain. Si Gila dari Muara Bondet telah berhasil menciptakan ilmu silat baru
yang aneh dan langka! Sebuah ilmu silat hasil ekspresi jiwa!
Suatu hari di pagi yang cerah, Karta berkacak pinggang berdiri tegak diatas
rakitnya yang dibiarkan meluncur mengikuti gelombang air laut. Matanya
menatap kaki langit yang penuh pesona. Hari ini ia betul-betul sedang
menikmati keindahan alam.
Dua orang nelayan yang sedang melintas dengan perahunya memperhatikan
tingkah Si Gi- la yang kali ini terlihat lain dari biasanya yang ia lakukan.
Mereka saling berpandang-pandangan.
"Lihatlah! Si Gila sekarang mempunyai sebilah pedang yang terselip di
pinggangnya! Mungkin ia sedang berkhayal menjadi seorang kesatria yang
menang perang!"
Memang menurut penglihatan mereka, Si Gila seperti seorang komandan perang
yang berdiri siap menghadapi musuhnya. Mereka tidak tahu apa sebenarnya yang
terbesit dalam pemuda eksentrik itu. Si Gila hanya tersenyum mendengar
percakapan mereka. Memang sangat tajam pendengarannya! Padahal jarak dari
rakitnya ke perahu nelayan itu cukup jauh.
Malam itu bulan terlihat muram. Angin berdesir kencang. Gelombang laut
bergerak dinamis mengombang-ambingkan rakit Si Gila.
Ia sedang duduk termenung mengenang kembali masa silamnya. Teringat
masa-masa indah bersama kekasihnya Nuraini. Ia teringat wajahnya, hidungnya,
bibirnya, belaiannya, dan segala yang ada pada diri Nuraini. Sampai
terkenang kembali pada peris-tiwa berdarah yang telah merenggut nyawa
kekasihnya. Timbul kembali rasa dendam yang menyala-nyala dan meledakledak
dengan hebatnya. Wajahnya berubah disertai napas yang bergemuruh. Tubuhnya
bergetar kuat sehingga rakitnya turut bergetar.
Tapi lama-kelamaan dendam itu kian mereda. Desiran angin laut seakan-akan
membelaibelai hatinya yang panas sehingga lambat-laun mulai terasa dingin
mencair, Malam itu Si Gila seolah-olah mendengar sesuatu yang merasuk ke
dalam telinganya membuat amarahnya berangsur-angsur mereda. Selanjutnya
setiap malam, bisikkan itu mengiang-ngiang di telinganya. Bisikan lembut
yang ia sendiri tidak tahu dari mana datangnya.
Kalimat itu demikian jelas dan dapat di hafal oleh Karta.
"Seorang pendekar yang sejati pantang menanam dendam... sayangilah musuhmu
dan doakanlah semoga ia mendapatkan keinsyafan !"
Si Gila tersentak dari lamunannya.
Ia segera memantau seluruh permukaan laut lepas. Sejauh mata memandang
hanya terlihat hamparan air laut saja yang terbentang luas. Dan bila ia
duduk kembali termenung, suara itu mengiang lagi di telinganya. Bisikan itu
betulbetul meresap kedalam sanubarinya yang paling dalam, sehingga didalam
hatinya tertanam perasaan untuk tidak membalas dendam terhadap
musuh-musuhnya. Dan Si Gila bertekad untuk tidak kembali ke desa Ori
Malang.
Ia lebih senang luntang-lantung di sekitar muara Bondet. Setiap orang yang
mengenalnya memanggilnya Si Gila. Sampai demikian terkenalnya nama itu ke
seluruh pelosok desa. Apalagi di kalangan anak-anak kecil. Setiap ia
melangkahkan kakinya melewati suatu daerah, anak-anak kecil selalu mengikuti
sambil memperolokolokannya. Begitulah... asal mula Si Gila dari Muara
Bondet.
***
"Selanjutnya anda tentu mengetahuinya!" kata Si Gila kepada Parmin yang
duduk mendengarkannya bercerita.
Parmin menarik napas panjang setelah mendengar seluruh penuturan itu. Tak
terlukiskan betapa perasaan saat itu. Haru, kagum, dan berulang kali memuji
kebesaran Tuhan yang menciptakan seluruh kehidupan ini dengan segala
keajaibannya. Ia juga bersyukur bahwa Karta dalam keputus-asaannya tidak
sampai menjadi korban bisikan iblis yang menyesatkan.
"Sesungguhnya tanah air tercinta ini membutuhkan pendekar-pendekar berjiwa
luhur seperti dia!" desah Parmin dalam hati.
Kemudian ia beringsut dari duduknya mendekati Si Gila dan menatapnya
lekat-lekat.
"Aku merasa terharu mendengar riwayat anda, Karta! Jika anda mencintai
kekasih anda, maka biarkanlah ia beristirahat dengan tenang di alam akhirat!
Kita harus menguburkan kembali jenazahnya!"
Tetapi diluar dugaan, tiba-tiba Si Gila mendengus dengan pancaran mata
menolak.
"Tidak! Aku tidak mau berbuat kejam terhadap Ain kekasihku!" Tangan Si Gila
dari muara Bondet mencengkram kuat-kuat bahu Parmin yang tetap bersikap
tenang.
"Siapa bilang kita hendak menyakiti kekasihmu, Karta? Nuraini kekasihmu itu
tetap bersamamu kemanapun kau pergi. Ia ada dalam kalbumu! Jiwa kekasihmu
hidup abadi, Karta!" kata Parmin berusaha meyakinkan teman barunya itu.
Sinar mata Parmin memancarkan sugesti dan ini benar-benar menusuk kalbu Si
Gila.
"Tapi ketahuilah bahwa jasadnya berasal dari alam, dari bumi ini, maka
sepatutnyalah kalau isi peti ini kita kembalikan pula ke dalam bumi!"
sambung Parmin.
Atas nasihat-nasihat Parmin, akhirnya Karta mau juga merelakan jenazah
Nuraini dikuburkan. Peti kayu yang sudah lima tahun berada didekatnya kini
harus dikubur. Lima tahun! Tentu bisa dibayangkan bahwa didalamnya hanya
tinggal tulang-belulang!
Lama juga Karta menekuri gundukan tanah itu. Tapi ia sudah tidak menangis
lagi. Ekspresi wajahnya mulai datar dan tatapan matanya bersinar kesadaran
sebagai seorang lelaki yang waras.
"Beristirahatlah dengan tenang, kekasihku!" kata-kata itu hanya terdegup di
dalam kalbunya. Karta duduk bersimpuh di depan kuburan kekasihnya yang
berada di bawah sebuah pohon yang sangat rindang.
Parmin menatap punggung Karta dan turut bersedih. Tapi ia harus membimbing
Si Gila agar tak larut terus menerus dalam kesedihan itu. "Semua orang
akhirnya akan kembali kepangkuan Ilahi. Kita tidak bisa menolak hal itu.
Semua pertemuan pasti diakhiri dengan perpisahan. Tetapi suatu perpisahan
belum tentu berakhir dengan pertemuan. Kita harus rela melepas kepergian
orang yang kita cintai sebagaimana kita juga kelak akan meninggalkan orang
yang kita cintai!" kata Parmin sambil berjalan menghampiri Si Gila yang
semakin erat memegang tonggak nisan kuburan itu. Matanya menatap mata Si
Gila penuh harap. Ternyata perubahan yang diharapkan sudah mulai tampak. Si
Gila dari muara Bondet mengembangkan senyumnya.
Wajahnya yang tampan itu sebenarnya sangat manis bila tersenyum.
"Aku kini telah merelakannya! Aku tidak merasa sendiri lagi di dunia ini.
Aku telah menemukan jiwamu yang teduh dimana aku bisa bernaung. Aku akan
ikut kemana anda pergi, pendekar budiman!!"
Parmin memegang bahu Si Gila dan mengajak kawan barunya itu untuk bangun
dari duduknya. Si Gila segera bangkit.
"Nah, begitulah seharusnya sifat seorang pendekar. Lupakanlah kepahitan itu
dengan mendarmabaktikan diri untuk membela bangsa dan tanah air!" kata
Parmin mengobarkan semangat kesatria yang di miliki Si Gila agar selalu
menegakkan kebenaran dan keadilan di manapun di setiap jengkal persada bumi
pertiwi ini.
"Sekarang apakah yang harus kulakukan? Sudah sepatutnya aku yang bodoh ini
menerima segala petunjuk anda!" seru Si Gila merendahkan diri.
Parmin benar-benar gembira melihatnya, "Baiklah! Mulai saat ini kau menjadi
adikku! Kita berjanji untuk sehidup-semati berjuang bahumembahu!" kata
Parmin bersemangat.
Si Gila mengepalkan tinjunya ke atas sambil mengembangkan senyum dan
tatapan mata yang optimis. Segera Parmin menyambutnya dengan kepalan tangan
yang disilangkan ke tangan adik angkatnya itu kuat-kuat. Semangat hidupnya
kembali tumbuh. Matanya berbinar-binar. Si Gila kini merasa tidak sebatang
kara lagi. Ia sudah mempunyai semangat tumpuan harapan dan tujuan hidup
yakni berjuang melawan penjajah Kumpeni Belanda yang sedang menghisap
keringat dan darah bangsanya. Kini di antara kedua pendekar muda itu telah
terjalin ikatan batin yang sangat kuat. Sepasang pendekar satu
citacita satu tujuan! Masing-masing bertekad untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan.
Angin berdesir kencang tatkala mereka berjabat tangan disusul dengan
rangkulan hangat. Seluruh hutan itu menyaksikan ikrar mereka dan juga tanah
yang masih merah di mana di dalamnya terbaring sosok tulang-berulang seorang
gadis yang setia dengan memilih mati daripada menjadi milik orang
lain.
Tiba-tiba Parmin dan Karta tersentak kaget dan segera melepaskan rangkulan,
ketika terden- gar suara tawa terkekeh-kekeh yang datang dari atas sebuah
pohon besar tak jauh dari mereka.
"Hi hi hi hi hi hi...! Jangan kalian berkhayal macam-macam, anak muda!
Sebentar lagi kalian akan mati!"
"Nenek ?!"
Parmin terperangah melihat siapa sebenarnya sumber suara itu.
Ternyata ia adalah nenek-nenek yang berada di pondok tepi hutan yang telah
memberinya nasi dan kuk untuk sarapan.
Karta pun menatapnya. Hanya saja ia sama sekali belum mengerti apa
kaitannya dan mengapa perempuan itu hadir di hadapan mereka?
"Ya! Dalam nasi yang kalian makan itu sudah kububuhi dengan racun yang
bekerja lambat agar kalian dapat merasakan sakitnya lalu mati secara
pelan-pelan!" lanjut nenek tersebut sambil menggosok giginya, yang menghitam
dengan susur tembakaunya.
Untuk sesaat Parmin tergagap.
"Si... siapakah sebenarnya anda? Mengapa bermaksud mencelakai kami?" tanya
Parmin yang mulai terpengaruh oleh sugesti nenek bongkok yang bertengger
seenaknya di atas dahan pohon menandakan bahwa ilmu meringankan tubuhnya
sangat tinggi.
"Orang menjuluki aku dengan nama NYAI WEWE GENDEL! Hi hi hi...!" dan kali
ini dalam tertawanya tampak nenek itu semakin menye- ramkan seperti apa yang
menjadi nama gelarnya. Wewe Gendel adalah bahasa daerah setempat yang
berarti kuntilanak!
"Kau tentu ingat nama Leonard Van Eisen?" tanya Wewe Gendel mendelik
sehingga putih biji matanya terlihat lebih banyak dan menambah seram
tampangnya.
"Tentu! Dialah tuan tanah yang serakah dan ingin menguasai desa Kandang
Haur sebagai lumbung bahan makanan bagi serdadu Kumpeni Belanda!" jawab
Parmin geram.
"Bagus! Keberadaan Leonard Van Eisen di tanah Cirebon ini bukan tanpa
dukungan, karena bangsa Belanda itu bermaksud baik yakni akan menata
kehidupan dan mendidik bangsa kita menjadi bangsa yang maju setaraf dengan
bangsa-bangsa lain!"
"Dan anda adalah salah satu pendukungnya?" tanya Parmin lugas yang membuat
keriputkeriput di wajah Nyai Wewe Gendel seakan bertambah banyak secara
mendadak.
"Tak salah, anak muda! Dan pertama-tama tugasku adalah memusnahkan kerikil
tajam seperti kau!" jawab Nyai Wewe Gendel sambil menudingkan jarinya dan
berkacak pinggang.
"Katakan kepada orang-orang bule itu bahwa negerinya bukan di sini! Pada
mulanya mereka datang dengan alasan untuk berdagang segala rempah-rempah
yang berasal dari negeri ini untuk dipasarkan di Eropa sana. Tapi nyatanya
sampai sekarang mereka masih tetap ber- cokol disini dan semakin merajalela
dengan menjadikan bangsa kita sebagai budak-budaknya! Itukah yang dinamakan
menata dan mendidik?" Parmin berbicara dengan semangat yang berapiapi dan
siap untuk mendahului serangan sebelum racun yang bersemayam didalam
tubuhnya benar-benar akan merenggut nyawanya.
Tapi mendadak sontak tubuh Si Gila dari Muara Bondet menegang sambil
tangannya menekan perutnya sendiri.
"Kang Parmin..!!!"
Disusul dengan robohnya sang adik angkatnya itu ke tanah meliuk-liuk dan
giginya mengatup rapat menahan rasa sakit yang sangat hebat.
Parmin segera menegakkan tubuh Si Gila dan ia dengan cepat menekan kedua
tangannya ke perut Karta sambil menyalurkan hawa panas dari dalam tubuhnya
sendiri agar dapat mengurangi rasa sakit itu. Tetapi malah sebaliknya.
Tindakan ini berakibat fatal bagi dirinya. Dari celahcelah bibir Parmin
seketika meleleh darah hitam kental sebagai luka yang sudah mengendap dalam
perutnya. Tubuhnya bergetar. Parmin menahan perih di perutnya dan berjuang
mengatur pernapasan untuk membagikannya kepada Si Gila.
Bersamaan dengan itu, Nyai Wewe Gendel melesat dari dahan pohon besar itu
menukik ke bawah. Tangannya menjulur dengan jari-jari yang berkuku runcing
mengembang terbuka seperti cakar seekor serigala yang ganas mengancam
tengkuk Parmin dari belakang.
"Heyaaaaaaaaaaaa!!" suaranya merobek udara pagi itu.
"Awas, kang!" teriak Karta.
Dengan gerakan reflek yang sangat kuat, Parmin melempar diri ke samping
sambil memeluk Si Gila erat-erat sehingga kedua pendekar muda itu
berguling-guling di atas tanah menghindar dari serangan Nyai Wewe Gendel
seperti sebuah gulungan benang yang bergulir.
Sementara itu terkaman si nenek menyeruak tempat kosong dan menjebol
akar-akar pohon tempat dua pendekar itu berada.
"Kurang ajar! Kalian tak mungkin lolos dari cengkramanku, tikus-tikus
kecil!" teriak Nyai Wewe Gendel geram karena serangannya luput. Lalu ia
memutar tubuhnya untuk memasang jurus baru.
Parmin tegak berdiri untuk siap siaga. Ia berusaha agar rasa nyeri di
perutnya tidak dirasakannya lagi. Konsentrasi nya tertuju pada iblis
pencabut nyawa yang garang di hadapannya. Air liur kental bercampur warna
coklat tembakau sirih meleleh dari sela-sela gigi nenek tersebut yang sudah
tanggal beberapa biji seperti sebuah sisir yang rompal. Kulit wajahnya yang
berkerut-kerut semakin angker dengan rona merah padam karena didorong nafsu
membunuh yang menggebugebu. Buah dadanya yang sudah mengendur seperti aliran
lahar itu terpontang-panting hampir ke pusarnya karena kain kemben yang
menutupi tubuhnya hampir terlepas ketika ia terjun bebas dari atas dahan
pohon yang cukup tinggi itu. Nyai Wewe Gendel tak perduli terhadap semua
itu. Ia siap menyerang lagi.
"Huaaaaah!! Kali ini kalian tak bisa mengelak lagi, anak muda jelek! Kalian
tak akan dapat menangkis jurus andalanku Cakar Luwak Wadon sedang menyusui
ini!" teriak Nyai Wewe Gendel sambil memasang kuda-kuda dengan posisi kaki
dan tangannya seperti seekor musang atau luwak yang hendak mencakar lawan
karena mengganggu anak yang sedang disusuinya.
"Bismillah....heep!" Parmin memasang jurus Hening Cipta. Sebuah jurus yang
meningkatkan kepekaan indera untuk menangkap segala bentuk gejala yang ada
pada lawan. Beberapa kali konsentrasinya buyar karena rasa sakit yang
kembali menusuk-nusuk perutnya sepertinya racun keparat itu sedang
menggerogoti ususususnya dan mencabik-cabiknya. Sesekali Parmin menggigit
bibirnya sendiri dan berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan
konsentrasinya.
Ketika telah mencapai keheningan dari puncak jurus andalannya itu, Parmin
dapat melihat titik-titik lemah yang ada pada tubuh Nyai Wewe Gendel,
seperti juga titik-titik lemah seekor sejenis musang atau luwak yang dipakai
lawannya sebagai jiwa dari jurus andalannya.
Dan ketika Nyai Wewe Gendel itu berkelebat menyergap Parmin dengan cakar
yang menyi- lang siap mengoyak-ngoyak, ia dengan cepat mendahuluinya dengan
sebuah sodokan lurus kearah ulu hati. Cakar nenek itu berhasil pula
menyentuh lawannya. Baju Parmin pada bagian dadanya terkoyak menyilang,
tetapi Nyai Wewe Gendel itu menjerit lengking terjengkang ke belakang dan
jatuh terlentang di tanah.
Ketika ia coba bangkit, napasnya seperti hendak putus. Ia tersekat sehingga
wajah nenek itu menjadi pucat-pasi karena darah dari jantungnya
terhambat.
"Bangsat! Jurus apa yang kau pakai?" "Jurus ikan asin menyeruak
nasi!"
"Kurang ajar! Kau memperolok-olokku, bangsat kecil!" Nyai Wewe Gendel
terbatuk-batuk sambil mendekap dadanya. Ia segera bangkit dengan kedua
tangan dan jari-jarinya merentang ke samping.
Tapi nafsu membunuhnya sudah bulatbulat menguasai dirinya sehingga membuat
segalanya menjadi buta. Ia menerjang dengan ganas. Tangan kanannya mengarah
untuk mencengkram tenggorokan, sedangkan tangan kirinya bertujuan membetot
sesuatu di celah paha Parmin. Benarbenar cara Kuntilanak dalam membantai
korbannya.
"Heyaaaaaatt!" Parmin meloncat ke udara ketika serangan itu datang sehingga
cengkraman lawan ke arah tenggorokannya kandas menembus tempat kosong di
celah pahanya. Dan tangan kiri yang ingin membetot alat vitalnya terinjak
telapak kaki Parmin sekaligus untuk melambungkan tubuhnya lebih tinggi. Pada
saat posisi kepala Nyai Wewe Gendel tepat di bawah tubuhnya, segera Parmin
mengambil suatu tindakan yang cepat. Telapak tangannya dalam keadaan miring
ia sabetkan ke ubun-ubun lawannya.
Dengan cepat dan telak Parmin memukul ubun-ubun Nyai Wewe Gendel dengan
telapak tangan miring
Seketika terdengar suara berderak keras, ditandai dengan retaknya kepala
nenek tua itu. Dalam sekejap rambutnya yang panjang seperti benang lawe itu
menjadi merah oleh semburan darahnya sendiri yang memancar dari ubunubunnya.
Dengan jeritan melengking memilukan, Nyai Wewe Gendel terjungkal ke tanah.
Tubuh kurus bongkok itu berkelojotan seperti seekor udang dalam penggorengan
panas! Terdengar suara gemeletuk gigi-gigi ompongnya menahan sakit yang
hebat dan nafasnya menggerogok seperti kayu digergaji. Kemudian setelah
berkejat beberapa kali, nafas terakhirnya lolos dari tenggorokan dan
tubuhnya lemas tak berkutik lagi.
Rumput-rumput di sekitarnya penuh percikan darah dan sesuatu yang berwarna
putih seperti tahu mentah.
Parmin bergidik sendirian, sementara kedua kakinya telah mendapat dengan
mantap di atas tanah. Namun tiba-tiba tubuhnya oleng merintih lirih sambil
mendekap perutnya dengan kedua tangannya lalu roboh dengan posisi tertekuk
seperti orang sujud. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya yang
menggigil hebat. Sementara itu Si Gila dari muara Bondet sudah tidak
terdengar lagi suaranya dan tampaknya ia sudah terbujur tak bergerak sambil
memeluk gundukan tanah kuburan kekasihnya.
"Ya, Allah! Kalau memang di sinilah ajalku, aku ikhlas menerimanya asal Kau
kabulkan permohonanku. Selamatkan nyawa saudara angkatku Karta untuk
meneruskan perjuangan dan tugasku!"
Setelah itu tubuh Parmin perlahan-lahan roboh ke samping untuk tak terlihat
tanda-tanda ia masih hidup.
***
Entah berapa lama Parmin terkapar dalam hutan dekat pesisir pantai teluk
Cirebon itu. Angin senja membelai dedaunan dan rerumputan semak-belukar
hutan Celancang. Matahari yang berwarna merah sudah amblas dikaki langit
sebelah barat. Angin senja yang terasa lembut itu juga membelai sekujur
tubuh Parmin yang tergolek tak bergerak. Sejuknya seolah-olah menyelinap ke
segenap pori-pori tubuhnya dan beberapa saat kemudian terdengar rintih lirih
dari mulutnya. Kelopak matanya perlahan-lahan terbuka.
Pertama kali yang terlihat olehnya adalah sosok tubuh mengabur yang sedang
jongkok di sampingnya. Ada gerak tangan yang mengguncang-guncangkan bahunya
dengan perlahan dan kemudian membantunya untuk bangkit duduk.
"Kau, dik ? Bagaimana kau bisa lolos da-
ri serangan racun itu?" tanya Parmin untuk per- tama kali. Ternyata yang
ditanya tak lain adalah Karta, Si Gila dari muara Bondet yang hanya
tersenyum mengembang menyambut kebangkitan saudara angkat yang ia
cemaskan.
"Nyatanya kau juga selamat, kang Parmin!
Bisakah kau menjawabnya?"
"Allahu Akbar!" seru Parmin sambil menengadahkan wajahnya ke langit.
Pancaran matanya penuh dengan rasa puji syukur.
"Apa yang kau ucapkan?" tanya Karta heran.
"Kita selamat dari ancaman maut karena
kemurahan Tuhan. Agaknya kita berdua memang tidak ditakdirkan mati karena
racun nenek iblis yang berkedok malaikat penolong dengan memberi kita nasi
untuk makan sarapan!" ujar Parmin kepada adik angkatnya yang sama sekali
awam terhadap ajaran agama.
"Itu artinya tugas kita masih banyak, Karta."
"Ya, kang!"
Mereka membisu sejenak sambil saling
berpegangan tangan di bahu masing-masing diiringi tatapan mata penuh
semangat. Keduanya lalu bangun dan membenahi pakaian mereka masing-masing
yang sudah acak-acakan. Mereka harus segera mulai menjalankan tugas dan
kewajiban sebagai patriot bangsa.
Kemudian Parmin memberi tugas kepada Karta untuk mengumpulkan
pendekar-pendekar yang berjiwa patriot yang berada didaerah barat Cirebon
sesuai dengan tempat asal dan kampung halaman Karta. Parmin sendiri pergi
menuju ke selatan kembali meneruskan tugas yang diamanatkan oleh gurunya Ki
Sapu Angin, demi tanah air dan bangsa kepadanya.
Si Gila dari Muara Bondet melambaikan tangannya sambil mengayunkan
langkahnya menuju ke barat. Demikian juga dengan Parmin. Ia pun melangkahkan
kakinya dengan rasa bangga terhadap adik angkatnya itu. Untuk sementara
mereka berpisah dan kelak di suatu saat mereka kembali berkumpul dan
menghimpun kekuatan untuk mengadakan pemberontakan membebaskan tanah air
tercinta dari belenggu penjajahan Kumpeni Belanda.
Sampai episode ke dua berjudul Si Gila dari Muara Bondet ini,
kita belum juga bertemu dengan JAKASEMBUNG. Siapa gerangan dia? Baiklah,
kita nantikan saja kehadiran episode ketiga yang berjudul "MENUMPAS BERGOLA IJO"
Emoticon