Pendekar Rajawali Sakti 101 - Rahasia Dara Iblis(3)

ENAM
Rangga terus berlari-lari mempergunakan ilmu meringankan tubuh, menyusuri lorong yang cukup panjang dan berliku ini. Tapi setelah cukup lama berlari, tidak juga menemukan ujung lorong ini. Dan mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikan larinya. Keningnya jadi berkerut begitu di depannya terlihat sebuah pintu yang sudah jebol.

"Edan...! Rupanya sejak tadi aku berputar-putar saja di sini..!" dengus Rangga baru menyadari.

Rangga berdiri tegak memandangi sekitarnya dengan sinar mata begitu tajam. Perlahan kemudian kakinya terayun melangkah. Setiap dinding di kiri dan kanannya mendapat perhatian yang tajam. Dugaannya, pasti ada dinding rahasia yang dijadikan pintu keluar dari tempat ini. Bahkan langit-langit lorong ini juga mendapat perhatian yang seksama. Rangga terus berjalan perlahan-lahan, menyusuri lorong yang entah sudah berapa kali dilaluinya.

Namun belum jauh berjalan, tiba-tiba saja ayunan kakinya terhenti. Pendengarannya yang tajam menangkap sebuah suara yang terdengar begitu kecil.

"Air...," desis Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti semakin mempertajam pendengarannya. Benar! Telinganya mendengar suara air bergemericik dari balik dinding batu lorong di sebelah kanannya ini. Cepat dihampirinya, dan ditempelkan telinganya ke dinding itu. Tapi, sesaat kemudian pemuda berbaju rompi putih ini jadi tertegun.

"Hm.... Aku berada di bawah air terjun," gumam Rangga lagi, masih terdengar perlahan. Pendekar Rajawali Sakti lalu melangkah dua tindak ke belakang.

"Pasti ada jalan keluar dan masuk ke sini. Tapi..," kembali Rangga tertegun.

Rangga tidak yakin, kalau jalan keluar dari lorong batu ini melalui air terjun yang berada di balik dinding batu lorong ini. Terlalu besar bahayanya kalau dinding batu ini dijebol. Memang tidak terlalu sulit. Tapi, air terjun itu bisa menerobos, masuk ke dalam. Akibatnya, dia akan terkubur hidup-hidup di dalam lorong ini.

"Hhh! Apa akalku sekarang...?" desah Rangga perlahan.

Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Otaknya terus berputar keras mencari jalan keluar. Sedikit pun tidak ada celah di sekitarnya. Sedangkan suara air di balik dinding ini terdengar begitu jelas di telinganya, walaupun sangat pelan. Perlahan kakinya kembali bergerak menggeser ke belakang, sampai hampir sampai merapat dengan dinding di belakangnya. Dan pada saat itu....

"Heh...?!"

Rangga jadi terlonjak kaget, begitu tiba-tiba merasakan adanya desir angin yang sangat halus menerpa punggungnya. Pendekar Rajawali Sakti sampai terlompat selangkah ke depan, dan cepat berbalik. Dipandanginya dinding yang tadi berada di belakangnya. Hanya dinding batu yang kelihatannya begitu kokoh. Tapi, dari mana ada hembusan angin tadi...?

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mendekati dinding itu. Dan tangannya segera terulur ke depan. Tidak ada lagi hembusan angin terasa di tangannya. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut Diraba-rabanya dinding, batu itu dengan cermat Dan ketika jari tangannya berada di bagian bawah dinding batu ini, raut wajahnya seketika jadi bersinar.

"Dewata Yang Agung.... Inilah pintu yang kucari," desah Rangga, begitu merasakan hembusan angin dari bagian bawah dinding batu ini

Tapi sejenak kemudian, Pendekar Rajawali Sakti jadi tertegun. Dan perlahan-lahan kakinya melangkah mundur sampai punggungnya menyentuh dinding batu, di belakangnya. Sebentar Rangga berdiri tegak memandangi dinding batu di depannya. Sementara, kedua tangannya sudah terkepal di pinggang. Sesaat kemudian....

"Hap! Yeaaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan di saat kedua telapak tangannya terbuka, seketika itu juga melesat cahaya merah bagai api dari kedua telapak tangannya. Dan...

Glarrr!

Dinding batu di depannya seketika hancur berkeping-keping terhajar dua cahaya merah yang memancar dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali. Sakti. Debu kontan mengepul, membuat pandangan matanya jadi terhalang. Namun wajahnya jadi cerah, karena di balik dinding yang hancur itu terlihat pepohonan yang bermandikan cahaya matahari. Bergegas Rangga melompat ke luar. Tapi baru saja kakinya menjejak tanah di luar....

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, karena tiba-tiba saja dari sekelilingnya sudah berlompatan orang-orang berseragam serba hitam dan bersenjatakan golok terhunus. Mereka langsung saja menyerang ganas dari segala penjuru.

"Hup! Yeaaah...!"

Tidak ada waktu lagi bagi Rangga untuk mencegah. Maka cepat tubuhnya melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali sambil melepaskan satu pukulan cukup keras ke arah orang yang berada paling dekat dengannya.

Plak!
"Akh...!"

Orang itu memekik tertahan, dan kontan terpental cukup jauh ke belakang. Sementara, Rangga sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah. Sekilas diperhatikannya keadaan sekitar. Ada lebih kurang dua puluh orang berseragam hitam dan bersenjata golok terhunus sudah mengepung dirinya. Mereka adalah pemuda-pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun.

Kini dua puluh orang berpakaian serba hitam itu bergerak perlahan menggeser kakinya mengelilingi Pendekar Rajawali Sakti. Golok yang tergenggam di tangan kanan bergerak-gerak di depan dada, memancarkan cahaya putih keperakan yang membuat hari siapa saja akan bergetar melihatnya. Tapi Rangga malah kelihatan begitu tenang. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh golok yang berkilatan tajam di sekelilingnya.

"Seraaang...!"
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Begitu terdengar teriakan memberi perintah, kedua puluh orang berpakaian serba hitam ini serentak berlompatan menyerang. Namun Rangga yang sudah siap sejak tadi, cepat merentangkan kedua tangannya ke samping Dan saat itu juga, tubuhnya bergerak cepat meliuk-liuk seperti belut, sambil mengibaskan kedua tangannya. Kecepatannya, sangat sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan saat itu juga....

Plak!
Diegkh!
"Akh!"
"Aaa...!"

Terdengar jeritan-jeritan panjang melengking dan tertahan, bersamaan berkelebatnya kedua tangan Rangga yang menyambar para pengeroyoknya. Tampak orang-orang berpakaian serba hitam itu berpelantingan ke belakang, dengan kepala pecah dan dada remuk. Mereka yang terkena kibasan tangan Rangga dalam penggunaan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tidak ada yang bisa bangkit berdiri lagi. Mereka tewas seketika itu juga dengan kepala pecah dan beberapa orang remuk dadanya.

"Hih! Yeaaah...!"

Menghadapi orang-orang seperti ini, Rangga tidak mau lagi tanggung-tanggung. Terlebih lagi, sekarang ini tidak memiliki senjata apa pun juga. Dia tidak tahu, di mana pedang pusakanya sekarang berada. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti demikian cepat luar biasa. Hingga tidak ada seorang pun dari para penyerang yang sanggup menghadang. Dan dalam waktu tidak berapa lama saja, dua puluh orang berpakaian serba hitam itu sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Bau anyir darah seketika menyeruak menusuk hidung, terbawa hembusan angin.

"Huh!"

Rangga mendengus kecil memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih di sekitarnya. Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Dan saat itu keningnya jadi berkerut, melihat sebuah air terjun yang tidak begitu besar, Dan tidak jauh dari situ, terdapat sebuah pondok kecil yang sangat sederhana, tapi kelihatan cukup bersih.

"Hm...," sedikit Rangga menggumam kecil. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling Dia tahu kalau sekarang berada di sebuah puncak gunung yang berselimut kabut cukup tebal. Sehingga, cahaya matahari hampir tidak bisa menembusnya. Dan udara di sini juga terasa begitu dingin. Hanya saja Rangga tidak tahu, apa nama gunung ini.

"Coba kulihat, ada apa di dalam pondok itu...," gumam Rangga.

Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mendekati pondok kecil yang berada tidak jauh dari air terjun. Rupanya air terjun itulah yang sempat didengar Rangga dari dalam lorong batu yang mengurungnya tadi. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah perlahan-lahan dengan mata menyorot tajam memandang ke sekitarnya. Pendengarannya juga terpasang begitu tajam, menjaga segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Rangga baru berhenti melangkah setelah berada cukup dekat di depan pondok kecil itu. Sebentar diamatinya keadaan sekitarnya. Namun sedikit pun tidak terdengar adanya tanda-tanda kehidupan. Kembali kakinya melangkah mendekati pondok itu dengan sikap sangat hati-hati.

"Hm.... Rupanya ada orang di dalam pondok ini," gumam Rangga setelah dekat dengan beranda pondok itu.

Telinganya yang tajam mendengar adanya tarikan napas yang begitu halus dari dalam pondok. Tapi kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Tarikan napas itu terdengar sangat lemah, seperti dari orang yang tengah menderita.

"Hup!"

Cepat Ranggga melesat menabrak pintu pondok itu. Sekali gedor dengan tangan kirinya saja, pintu kayu biasa itu hancur berkeping-keping.

Brak!
"Heh...?!"

Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu melihat di dalam ruangan pondok ini terdapat seorang laki-laki tua yang seluruh tubuhnya tengah terikat menyatu dengan tiang yang berdiri di tengah-tengah. Bergegas dihampainya laki-laki tua itu. Tapi belum juga dekat, tiba-riba dari atas atap meluncur sebatang tombak ke arahnya.

"Ups..!"

Hampir saja mata tombak itu menghunjam tubuhnya, kalau saja Rangga tidak cepat-cepat mengegos. Dan tombak itu langsung menancap tepat di depan laki-laki tua yang terikat di tiang seluruh tubuhnya.

"Hup!"

Tanpa berpaling lagi sedikit pun juga, Rangga cepat merundukkan tubuhnya. Dijumputnya sepotong kayu pecahan pintu. Dan secepat kilat, tubuhnya berputar sambil melemparkan potongan kayu itu ke atas atap.

"Hih! Yeaaah...!"
Wusss!
Crab!
"Aaa...!"

Seketika terdengar jeritan panjang melengking tinggi, yang kemudian disusui jatuhnya sesosok tubuh dari atas atap pondok ini. Tampak sebuah potongan kayu tertancap tembus di lehernya. Hanya sedikit saja orang itu mengejang, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi dengan nyawa melayang.

Rangga tidak menghiraukan orang berbaju serba hitam itu. Cepat-cepat dihampirinya laki-laki tua ini, dan melepaskan tambang yang mengikat seluruh tubuhnya. Laki-laki tua itu mengangkat kepalanya sedikit, menatap wajah Rangga yang berada dekat di depannya.

"Bawa aku keluar dari sini, Anak Muda...," lirih sekali suara laki-laki tua ini

"Baik. Hup...!"

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat menyambar tubuh tua itu. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dengan kecepatan bagai kilat Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah berada cukup jauh di luar pondok.

Rangga menurunkan laki-laki tua berbaju jubah putih panjang ini dari pondongannya dan meletakkannya di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Sehingga, tubuhnya terlindung dari sorotan teriknya matahari. Tampak darah kering menggumpal di dalam rongga mulurnya. Dan jubah putihnya ternoda darah yang sudah mengering.

"Anak muda, siapa kau? Kenapa kau ada di sini...?" tanya orang tua itu, lemah sekali suaranya.

"Aku Rangga. Kebetulan saja aku berada di sini," sahut Rangga tidak mengatakan yang sebenarnya.

"Aku Eyang Gajah Sakti. Puncak Gunung Halimun ini tempat tinggalku. Tapi, sekarang mereka sudah menguasainya. Hhh.... Gadis itu..., gadis itu menginginkan lebih dari pertapaanku yang buruk, ini. Anak muda..., tolonglah aku. Pergilah ke Kadipaten Galumbu. Katakan pada Adipati Gadasewu, agar bisa mempertahankan istana dari rongrongan Sarita. Jangan sampai gadis itu menguasainya."

Laki-laki tua yang ternyata bernama Eyang Gajah Sakti ini terbatuk beberapa kali. Begitu lemah keadaannya. Dari luka-luka yang menggurat di tubuhnya, sudah bisa dipastikan kalau Eyang Gajah Sakti mendapatkan siksaan yang cukup parah.

Sementara Rangga hanya membisu saja. Entah apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Dan rasa-rasanya, Rangga pernah mendengar nama Eyang Gajah Sakti. Dan memang Adipati Gadasewu pernah bercerita kalau Eyang Gajah Sakti adalah gurunya, yang telah tewas terbunuh. Jadi, bukankah seharusnya laki-laki di hadapannya ini sudah mati? Tapi kenapa kenyataannya begini? Walaupun, memang tampaknya umur Eyang Gajah Sakti tak akan lama lagi. Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung. Lantas, siapa yang menyiksa Eyang Gajah Sakti? Apakah gadis yang baru saja disebutkannya?

"Siapa gadis itu, Eyang?" tanya Rangga setelah cukup lama terdiam.

"Sarita.... Dia anak tiri Kanda Adipati Payangga, Ayahanda Adipati Gadasewu. Gadis itu telah menaruh dendam pada keluarga adipati, karena ibunya bersama dirinya merasa disia-siakan. Dia bukan hanya ingin merampas istana peninggalan Adipati Payangga, tapi juga akan menghancurkan Kadipaten Galumbu. Bahkan Sarita merasa berhak atas Kadipaten Galumbu. Ukh...! Anak muda.... Katakan pada Adipati Gadasewu, jangan mempercayai siapa pun juga. Apalagi orang yang bernama Rondokulun. Dia itu kekasih Sarita, yang bermaksud merebut kekuasaan Adipati Gadasewu. Ugkh...!"

"Eyang...."

Beberapa kali Eyang Gajah Sakti terbatuk dan menyemburkan ludah yang bercampur darah kental berwarna agak kehitaman. Keadaannya semakin terlihat lemah. Dan napasnya juga sudah mulai tersendat Rangga tahu, laki-laki tua ini tidak mungkin lagi bisa ditolong. Siksaan yang diterimanya begitu berat. Tak jelas, sudah berapa lama Eyang Gajah Sakti tersiksa di puncak Gunung Halimun ini.

"Hhh...!"

Rangga hanya bisa menarik napas panjang saja, melihat Eyang Gajah Sakti sudah terkulai tidak bernyawa lagi. Perlahan diusapnya wajah laki-laki tua itu hingga kedua matanya terpejam. Lalu, dibaringkannya di bawah pohon ini. Sebentar Rangga memandangi tubuh tua yang sudah tidak bernyawa itu. Terngiang kembali kata-kata Eyang Gajah Sakti yang terakhir.

Rangga memang baru kali ini melihat Eyang Gajah Sakti. Tapi dari kata-katanya yang terakhir, bisa diketahui kalau apa yang terjadi di Kadipaten Galumbu hanya persoalan keluarga dan perebutan kekuasaan saja. Tapi bagaimanapun juga, Rangga tidak menyukai cara gadis yang berjuluk Dara Iblis itu.

"Hm.... Nyawa Adipati Gadasewu benar-benar terancam sekarang. Aku harus segera kembali ke Kadipaten Galumbu," gumam Rangga perlahan.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memandangi tubuh Eyang Gajah Sakti yang terbujur tidak bernyawa lagi di depannya. Kini jelas, siapa yang menyiksa Eyang Gajah Sakti. Selain gadis yang bernama Sarita, ternyata Rondokulun ikut terlibat. Padahal, pemuda itu adalah murid Eyang Gajah Sakti sendiri. Mungkin karena terbuai oleh cintanya pada Sarita, Rondokulun jadi lupa diri. Bahkan ikut bersekongkol. Rondokulun kemudian pergi ke Kadipaten Galumbu untuk pura-pura mengabarkan pada Adipati Gadasewu bahwa Eyang Gajah Sakti telah tewas. Dan itu memang siasat Rondokulun, agar bisa menyusup ke dalam istana. Dengan demikian, dia bisa membaca kelemahan dan kelebihan kekuatan prajurit Baru setelah itu, istana bisa dikuasainya.

"Maaf, Eyang. Kalau aku sudah menyelesaikan semua amanatmu, aku akan kembali lagi untuk menguburkanmu di sini," ujar Rangga pelan.

Setelah berkata demikian, cepat sekali Rangga melesat pergi menuruni puncak Gunung Halimun yang selalu terselimut kabut ini. Gerakannya begitu cepat, hingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara itu tanpa diketahui sama sekali, sepasang mata yang sangat indah mengamati perbuatan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dan pemilik sepasang mata itu baru keluar dari balik semak tempatnya bersembunyi, setelah Rangga benar-benar tidak terlihat lagi bayangannya.

Ternyata dia seorang gadis muda yang sangat cantik. Baju hitam pekat yang dikenakannya begitu ketat, membungkus tubuh yang ramping, indah, dan padat berisi. Sebilah pedang bergagang emas berbentuk bintang pada ujung tangkainya terlihat menyembul dari balik punggungnya. Gadis itu berdiri tegak tidak jauh dari tubuh Eyang Gajah Sakti yang terbujur kaki tidak bernyawa lagi.

"Pendekar Rajawali Sakti. Hm..., dia benar-benar manusia tangguh yang sukar sekali dihadapi," gumam wanita itu perlahan.

Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, merayapi tubuh-tubuh berbaju hitam yang bergelimpangan di sekitar puncak Gunung Halimun ini.

"Benar-benar tangguh dia. Semua anak buahku tewas di tangannya," gumam gadis itu lagi perlahan.

Beberapa saat wanita berwajah cantik itu terdiam membisu, berdiri tegak memandang ke arah kepergian Rangga tadi. Dia tahu, arah yang dituju Pendekar Rajawali Sakti adalah Kadipaten Galumbu.

"Hhh! Kedudukan Kakang Rondokulun sudah terancam. Aku harus mendahuluinya, sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menemui Adipati Gadasewu Huh! Memang sebaiknya adipati keparat itu kubunuh saja. Karena dia, aku sengsara seumur hidup!"

Setelah berkata demikian, dengan kecepatan bagal kilat, wanita berbaju hitam yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis itu melesat cepat menuruni puncak Gunung Halimun. Tapi arah yang dituju tidak sama dengan yang dilalui Pendekar Rajawali Sakti.

Tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Dara Iblis memang sudah tinggi sekali. Sehingga hanya bayangan putih saja yang berkelebat begitu cepat bagai kilat, menembus tebalnya kabut yang menyelimuti seluruh puncak gunung ini. Dan dalam waktu sebentar saja, bayangannya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, puncak Gunung Halimun ini jadi sunyi senyap, tanpa terdengar suara sedikit pun juga. Hanya desir angin saja yang terdengar menggesek daun-daun.

***
TUJUH
Saat matahari sudah tenggelam di balik peraduannya, Rangga baru sampai di Kota Kadipaten Galumbu. Pendekar Rajawali Sakti berhenti sebentar di depan rumah Ki Sampan. Tapi baru saja ingin terus melangkah, terdengar sebuah suara panggilan yang sangat dikenalnya. Rangga seketika mengurungkan langkah kakinya. Tubuhnya segera berputar berbalik. Tampak Ki Sampan dan Pandan Wangi berlari-lari, keluar dari dalam rumah penginapan itu menghampirinya.

"Dari mana saja kau, Kakang? Aku seharian cemas memikirkanmu?" dengus Pandan Wangi, langsung menegur.

"Ada yang harus kujelaskan padamu, Pandan. Tapi rasanya tidak ada waktu lagi," kata Rangga begitu bersungguh-sungguh.

"Ada apa, Kakang?" tanya Pandan Wangi, jadi penasaran ingin tahu.

"Nanti saja kujelaskan sambil jalan. Sebaiknya, kau ikut aku saja," kata Rangga. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menatap Ki Sampan.

"Ki... Kau pulang saja. Tutup pintu dan jendela rapat-rapat Jangan sekali-kali membuka pintu, selain aku yang datang," pesan Rangga.

"Baik, Den," sahut Ki Sampan.

"Cepatlah. Tidak ada waktu lagi, Ki."

Ki Sampan bergegas berlari-lari dengan langkah terseok. Rangga dan Pandan Wangi baru melangkah, setelah laki-laki tua itu tidak terlihat lagi, tenggelam di dalam rumahnya. Dan kedua pendekar muda dari Karang Setia itu segera berjalan cepat menuju Istana Kadipaten Galumbu yang tidak seberapa jauh lagi jaraknya. Sepanjang perjalanan ini, Rangga menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Sejak dari semalam diserang dari belakang, hingga tidak sadarkan diri, sampai kejadian yang dialami di puncak Gunung Halimun.

"Puncak Gunung Halimun...?" desis Pandan Wangi agak terperangah saat Rangga mengatakan dari puncak Gunung Halimun.

"Ya, kenapa...?" tanya Rangga berbalik.

"Baru saja Ki Sampan bercerita padaku, kalau Adipati Gadasewu waktu kecilnya pernah berguru pada Eyang Gajah Sakti di Pertapaan Puncak Gunung Halimun," jelas Pandan Wangi.

"Aku juga bertemu Eyang Gajah Sakti. Sayang, dia terlalu cepat menghembuskan napas yang terakhir sebelum aku bertanya lebih banyak. Tapi, itu juga sudah cukup bagiku untuk bertindak sekarang. Dan kini aku tahu, siapa biang keladi dari semua ini, Pandan. Sekarang keselamatan Adipati Gadasewu benar-benar terancam. Kita harus cepat sampai di sana, sebelum terjadi sesuatu."

Pandan Wangi mengangguk-angguk walaupun belum seluruhnya bisa mengerti. Tapi paling tidak, sekarang ini tujuan mereka sudah jelas. Dan Rangga sudah tahu, apa yang sedang terjadi di Kadipaten Galumbu. Malah rahasia yang sudah membuat kota kadipaten ini bagaikan kota mati sudah tersingkap.

Sementara, malam terus merayap semakin larut Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu ini. Tidak ada seorang pun yang terlihat di luar rumahnya. Rangga dan Pandan Wangi terus berjalan dengan ayunan kaki cepat menuju Istana Kadipaten Galumbu.

"Tunggu dulu, Pandan...," sentak Rangga tiba-tiba, sambil mencekal pergelangan tangan kiri Pandan Wangi.

"Ada apa?" tanya Pandan Wangi langsung menghentikan langkahnya.

"Kau lihat..," kata Rangga sambil menunjuk ke arah pintu gerbang istana kadipaten yang sudah tidak jauh lagi di depan.

Pandan Wangi langsung mengarahkan pandangan ke arah yang ditunjuk Pendekar Rajawali Sakti. Namun sebentar kemudian wajahnya berpaling menatap wajah tampan di sebelahnya.

"Kau lihat, Pandan. Tidak ada seorang prajurit pun yang menjaga di sana. Aku khawatir, telah terjadi sesuatu di dalam," kata Rangga berbisik.

"Sejak tengah malam kemarin, gerbang ini tidak dijaga, Kakang," jelas Pandan Wangi.

Rangga jadi terdiam. Semalam, sebelum diserang dari belakang, Pendekar Rajawali Sakti memang sudah tidak melihat seorang penjaga pun di pintu gerbang Padahal ketika pertama kali datang, paling sedikit ada empat orang prajurit yang menjaga pintu gerbang istana itu. Tapi kini..., tidak seorang pun yang terlihat di sana. Dan itu membuat Rangga jadi berpikir lain.

andan! Kau masuk lewat belakang, dan langsung ke kamar Adipati Gadasewu. Aku masuk dari depan," kata Rangga, mengatur rencana.

"Lalu, apa yang kulakukan kalau ketemu Adipati Gadasewu?" tanya Pandan Wangi.

"Ceritakan semua yang kualami di Pertapaan Gunung Halimun. Dan sampaikan pesan Eyang Gajah Sakti padanya. Kau harus bisa mengatakannya, seakan-akan juga ada di sana bersamaku, Pandan," pinta Rangga.

"Baik," sahut Pandan Wangi seraya mengangguk.

"Cepatlah, sebelum ada orang yang melihat."

Pandan Wangi tidak berkata apa-apa lagi. Dan tubuhnya langsung melesat pergi dengan gerakan cepat sekali. Ilmu meringankan tubuhnya yang tingkatannya sudah sangat tinggi segera dikerahkan. Sebentar saja bayangan tubuh gadis yang dikenal berjuluk Kipas Maut itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak memandangi tembok benteng yang mengelilingi bangunan istana kadipaten di depannya.

"Hup!"

Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagai kilat mendekati pintu gerbang yang tertutup rapat dan tidak terjaga. Dan setelah melesat tinggi ke udara, beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu dengan ringan sekali, kedua kakinya menjejak bagian atas tembok benteng istana ini.

"Hm, sunyi sekali..... Tidak ada seorang pun di sini," gumam Rangga agak mendesis pelan.

Keadaan yang begitu sunyi, membuat Rangga harus lebih berhati-hati lagi. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti ' melompat turun dari atas tembok benteng istana kadipaten ini. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Namun baru saja mendarat, mendadak...

Wusss...!
"Heh...?! Ups!"

Rangga cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Dan tangan kirinya langsung dikibaskan untuk menangkis sebatang tombak yang tiba-tiba saja meluncur deras ke arahnya.

Tak!

Tombak itu seketika patah menjadi dua bagian, terhantam pergelangan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan belum lagi bisa menarik napas, Rangga kembali dikejutkan oleh munculnya seseorang dari balik sebuah pilar yang ada di beranda depan istana kadipaten ini.

Sementara itu, Pandan Wangi yang masuk melalui belakang, tidak mengalami kesulitan sedikit pun juga. Si Kipas Maut ini langsung menerobos masuk ke dalam kamar Adipati Gadasewu dari jendela. Tapi dia jadi terkejut, karena kamar ini kosong tanpa terlihat seorang pun. Pandan Wangi tidak mau lama-lama berada di dalam kamar ini.

Cepat tubuhnya melesat lagi, keluar dari dalam kamar itu melalui jendela. Begitu ringan gerakannya. Dan dengan manis sekali, kakinya menjejak tanah. Namun baru saja gadis itu bisa berdiri tegak mendadak saja melesat sebuah bayangan hitam ke arahnya dengan kecepatan begitu tinggi.

"Ups...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Lalu secepat itu pula, si Kipas Maut melompat bangkit berdiri.

"Dara Iblis...!" desis Pandan Wangi agak terkejut, begitu di depannya sudah berdiri seorang . wanita berwajah cantik berbaju hitam pekat.

"Hhh! Rupanya masih ada juga tikus busuk di sini," dengus Dara Iblis yang sebenarnya bernama Sarita.

"Kau yang bangkai busuk, Perempuan Iblis!" dengus Pandan Wangi tidak kalah sengit.

"Punya nyali juga kau rupanya. Tapi, memang harus begitu. Jadi kekasih pendekar ternama, harus berani menantang setiap lawan. Nah! Bersiaplah kau, Kipas Maut!"

Sret!
Cring...!

Pandan Wangi langsung mencabut senjata kipasnya, saat si Dara Iblis meloloskan pedangnya yang berwarna kuning keemasan. Tapi kedua bola mata si Kipas Maut itu jadi terbeliak, saat melihat ke pinggang Dara Iblis yang ternyata bergantung sebilah pedang yang begitu dikenalnya. Pedang Pusaka Rajawali Sakti milik Rangga!

Memang, Pandan Wangi tadi tidak sempat memperhatikan Rangga saat bertemu. Rupanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah kehilangan pedang pusakanya. Dan sekarang, pedang yang sangat dahsyat itu berada di pinggang Dara Iblis. Pandan Wangi jadi bergetar juga hatinya. Kalau Pedang Pusaka Rajawali Sakti digunakan, tidak ada seorang pun yang bisa menandinginya. Bahkan mungkin Rangga sendiri tidak akan mampu menandinginya lagi. Pedang itu terlalu dahsyat dan berbahaya. Apalagi, kalau berada di tangan yang salah. Pandan Wangi jadi berpikir seribu kaii. Tapi untuk menghindari pertarungan, sudah tidak mungkin lagi. Karena, Dara Iblis sudah melesat cepat menerjangnya.

"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Wut!
Bet!
Trang!

Bunga api seketika memercik, begitu dua senjata beradu di udara. Tampak Pandan Wangi terdorong tiga langkah ke belakang. Sementara, Dara Iblis tetap berdiri tegak, dan langsung memutar pedangnya menyambar ke arah kepala si Kipas Maut itu.

Bet!
"Haiiit...!"

Untung saja Pandan Wangi cepat-cepat merunduk, sehingga tebasan pedang Dara Iblis hanya lewat di atas kepalanya. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, menjaga jarak dengan lawannya. Tapi Dara Iblis tampaknya tidak ingin memberi kesempatan pada si Kipas Maut Dengan kecepatan bagai kilat, kembali tubuhnya melesat menerjang sambil memutar pedangnya.

"Hiyaaat..!"
"Gila! Ups!"

Pandan Wangi cepat membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Lalu dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya melesat tinggi ke udara. Namun, si Dara Iblis sepertinya sudah bisa membaca gerakan si Kipas Maut. Maka dengan cepat pula, gadis yang bernama Sarita ini melesat sambil melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Padahal, saat itu Pandan Wangi baru memutar tubuhnya di udara. Akibatnya, serangan Dara Iblis tentu saja membuat Pandan Wangi jadi tersentak kaget.

"Ikh...?!"
Diegkh!
"Akh...!"

Tidak ada kesempatan lagi bagi Pandan Wangi untuk menghindar, walaupun sudah berusaha. Dan tetap saja pukulan tangan kiri Sarita mendarat tepat di bagian kanan dadanya. Dan akibatnya, si Kipas Maut jadi terpental deras di udara.

Bruk!
"Akh...!"

Kembali Pandan Wangi terpekik, begitu tubuhnya keras sekali menghantam tanah. Tampak darah mengalir. dari sudut bibirnya. Sambil menyeka darah dengan punggung tangan, si Kipas Maut kembali bangkit berdiri. Namun belum juga bisa berdiri tegak, Dara Iblis sudah melepaskan satu tendangan keras luar biasa.

"Hiyaaat..!"
Begkh!
"Akh...!"

Kembali Pandan Wangi terpekik begitu dadanya terkena tendangan telak dari Sarita. Maka, si Kipas Maut kembali terpental jauh ke belakang.

Bruk!

Dinding tembok bagian belakang istana kadipaten ini, seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh Pandan Wangi. Hanya sedikit saja si Kipas Maut bisa menggerakkan tubuhnya, dan selanjutnya terkulai tidak bergerak-gerak lagi. Darah semakin banyak menggumpal, memenuhi rongga mulutnya. Sementara Dara Iblis berdiri tegak, tidak jauh dari tubuh Pandan Wangi yang menggeletak di antara reruntuhan dinding batu istana kadipaten ini.

"Huh! Mudah sekali aku membunuhmu, Pandan Wangi. Tapi aku tidak ingin melakukannya sekarang. Kau akan menerima gilirannya nanti, kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah kupenggal batang lehernya," terasa begitu dingin nada suara Sarita.

Cring!

Setelah memasukkan pedangnya kembali ke dalam warangka di punggung, Sarita mengangkat tubuh Pandan Wangi yang sudah tidak berdaya lagi. Dipanggulnya si Kipas Maut itu ke pundak, lalu dibawanya pergi.

Sementara itu, Rangga yang berada di halaman depan istana kadipaten ini tengah berdiri tegak berhadapan dengan seorang pemuda tampan, dengan tangan kanan menggenggam pedang telanjang. Dia tahu, pemuda itu adalah Rondokulun, yang diangkat saudara oleh Adipati Gadasewu.

"Sejak semula sudah kuduga, kaulah biang keladi dari semua ini, Rondokulun," terdengar begitu dingin nada suara Rangga.

"Kau hanya sendiri, Pendekar Rajawali Sakti. Sebaiknya menyerah saja. Tidak ada untungnya mencampuri urusan ini," kata Rondokulun angkuh.

alaupun sendiri, aku masih mampu membekukmu, Rondokulun.

a ha ha...! Rondokulun tertawa terbahak-bahak seakan kata-kata Rangga barusan membuat tenggorokannya jadi tergelitik. Namun Rangga sendiri hanya diam saja dengan sorot mata begitu tajam menatap lurus ke bola mata pemuda di depannya. Seakan-akan sorot matanya itu begitu tajam hendak menembus langsung jantung Rondokulun.

"Aku tahu, kau tidak akan menyerah begitu saja, Pendekar Rajawali Sakti. Memang sebaiknya kita sedikit menguras tenaga," kata Rondokulun lagi.

"Hm...."

Rangga hanya sedikit menggumam saja. Dia tahu, Rondokulun sudah tidak sabar lagi ingin bertarung dengannya. Maka, perlahan kakinya digeser ke kanan beberapa langkah. Sementara, Rondokulun sendiri melangkah ke depan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti," desis Rondokulun sambil menjura memberi hormat.

Rangga jadi tersenyum, melihat sikap yang dibuat Rondokulun padanya. Maka dibalasnya penghormatan itu dengan sedikit membungkuk. Sikap yang diperlihatkan Rondokulun menandakan kalau lawannya begitu dihormati. Dan pertarungannya ini rupanya diinginkan berjalan secara ksatria. Maka Rangga juga menghormati cara Rondokulun.

"Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rondokulun melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Pedangnya langsung dikebutkan, membabat ke arah dada pemuda berbaju rompi putih ini.

Bet!
"Haps!"

Hanya sedikit saja Rangga meliuk, maka tebasan pedang itu hanya lewat di depan dadanya. Lalu cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik kakinya ke belakang, begitu melihat Rondokulun memutar pedang sambil menggeser kakinya sedikit ke kanan. Dan dugaan Rangga memang tepat Rondokulun langsung menebas ke arah kakinya.

"Hiyaaat...!"

Secepat kilat Rangga melenting ke udara. Dan sebelum Rondokulun bisa menarik serangannya yang gagal di tengah jalan, Rangga sudah meluruk deras sambil mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Begitu cepat kedua kakinya bergerak berputar, membuat Rondokulun jadi terperangah untuk sesaat. Dan....

"Ikh...!"
Bruk!

Rondokulun buru-buru membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali, sebelum kedua kaki Rangga menghantam kepalanya. Lalu secepat itu pula, Rondokulun bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa menegakkan rubuhnya, Rangga sudah melepaskan satu tendangan menggeledek yang begitu keras, disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh. Begitu cepat tendangan yang dilancarkan, sehingga Rondokulun tidak sempat lagi berkelit menghindar. Dan....

Des!
"Hegkh...!"

Rondokulun kontan mengeluh, begitu tendangan Rangga yang cukup keras tadi telak menghantam dadanya. Akibatnya, tubuhnya terlempar ke belakang sejauh satu setengah tombak. Beberapa kali Rondokulun terguling di tanah, namun cepat bangkit berdiri. Sementara, Rangga sudah berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Phuih!"

Rondokulun menyemburkan ludahnya yang bercampur darah kental. Disekanya darah di bibir dengan punggung tangan. Lalu, perlahan kakinya melangkah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, tanpa menghiraukan dadanya yang terasa sesak akibat tendangan yang diterimanya tadi.

"Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!" Diiringi teriakan lantang menggelegar, Rondokulun melompat cepat bagai kilat sambil mem-babatkan pedangnya ke arah kepala pemuda berbaju rompi putih ini.

Bet!
"Haiiit..!"

Tapi hanya sedikit saja Rangga mengegoskan kepalanya, ujung pedang itu lewat di depan hidungnya. Dan pada saat yang hampir bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti sedikit memiringkan tubuhnya ke kiri, dan langsung mespaskan satu tendangan keras. Akibatnya, Rondokulun tidak dapat lagi menghindarinya, dan tendangan itu kembali menghantam telak dadanya.

"Akh!" Rondokulun kembali terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan beberapa kali.

Sementara, Rangga kembali berdiri tegtk dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Diam beberapa gebrakan ladi, Rangga sudah bisa mmgukur, sampai di mana tingkat kepandaian Roncbkulun. Dan memang, rupanya tingkat kepandaiannya masih jauh untuk bisa menandingi Pendekat Rajawali Sakti. Sehingga, mudah sekali Rangga membuatnya jatuh bangun.

***
DELAPAN
Entah sudah berapa kali pukulan dan tendangan Rangga mendarat di tubuh Rondokulun. Tapi, tampaknya pemuda itu belum juga sadar kalau kepandaiannya belum sebanding dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan terus saja Rangga diserang dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dan ini tentu saja membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi jengkel. Hingga....

"Hih! Yeaaah...!"

Tepat di saat Rondokulun maju menyerang, Rangga sudah cepat mendahuluinya. Maka satu pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskan dengan kecepatan bagai kilat. Tanpa disadari, Rangga melepaskannya pada tingkatan yang terakhir. Akibatnya...

Des!
"Aaa...!

Rondokulun menjerit keras melengking, begitu pukulan yang dilepaskan Rangga menghantam kepalanya. Dan seketika itu juga, Rondokulun jatuh menggelepar di tanah dengan kepala pecah berhamburan. Darah kontan mengucur deras, membasahi tanah yang berumput cukup tebal ini. Sementara, Rangga hanya berdiri tegak memandangi sambil menghembuskan napas panjang.

"Maaf... Kau sudah membuatku jengkel, Rondokulun. Kaulah yang menginginkan cara kematian seperti ini," desah Rangga pelan.

Pendekar Rajawali Sakti cepat melesat masuk ke dalam istana. Namun baru saja menjejakkan kakinya, di beranda depan, tiba-tiba saja dari dalam melesat sebuah bayangan hitam yang begitu cepat Sehingga, Rangga jadi terhenyak kaget setengah mati. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa berbuat sesuatu....

Plak!
"Akh...!"

Rangga jadi terpekik, begitu tiba-tiba merasakan satu hantaman keras yang mendarat di tubuhnya. Akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti jadi terpental ke belakang, dan jatuh bergulingan pada anak-anak tangga beranda istana yang terbuat dari batu ini. Tubuhnya baru berhenti berguling, setelah menyentuh tanah.

"Hup!"

Cepat-cepat Rangga melompat bangkit berdiri. Seketika ada rasa sesak yang menyerang dadanya, akibat hantaman telak di dada sebelah kanan. Sedikit kepalanya menggeleng, menghilangkan rasa pening yang mendadak saja menyerang kepalanya. Dan tampak di ujung anak tangga, seorang wanita cantik berbaju hitam berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.

"Sarita...," desis Rangga langsung mengenali. Pendekar Rajawali Sakti tidak lagi menyebut julukan wanita itu, karena dia sudah tahu nama sebenarnya dari Eyang Gajah Sakti.

Sedangkan Sarita yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis, melangkah perlahan-lahan menuruni anak-anak tangga istana kadipatenan ini. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus jantung Pendekar Rajawali Sakti yang juga menatapnya dengan sinar mata tidak kalah tajam.

"Untuk apa mencampuri segala persoalan yang bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti?" terdengar dingin sekali nada suara Sarita. Saat ini, wanita cantik itu sudah berada sekitar enam langkah lagi di depan Rangga.

"Aku hanya melaksanakan tugasku sebagai pendekar, Sarita. Aku sama sekali tidak memusuhimu, dan hanya mencegah tindakanmu yang telah melenyapkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah," kata Rangga kalem.

"Tidak bersalah katamu, heh...?! Apa yang kau ketahui di Kadipaten Galumbu ini, Pendekar Rajawali Sakti?! Mereka sudah sepatutnya menerima ganjaran dari perbuatannya padaku. Juga pada ibuku...!" agak tinggi nada suara Sarita.

"Kau hanya dikuasai rasa dendam yang tidak beralasan, Sarita. Bukankah ayah tirimu sudah memberi yang terbaik, dengan mencukupi segala kebutuhanmu dan ibumu? Apakah semua itu tidak cukup bagimu...?"

"Huh! Dia sudah berjanji akan menyerahkan kadipaten ini padaku. Bukan pada Gadasewu yang hanya anak angkat! Gadasewu tidak berhak menduduki takhta adipati. Akulah yang berhak! Dan siapa bilang aku anak tiri, heh...?! Aku anak kandung adipati yang terdahulu. Walaupun ayahku tidak mengawini ibuku secara sah, tapi semua orang tahu kalau aku adalah anaknya. Dan adipati keparat itu, tidak mau mengakuinya. Bahkan mengambil Gadasewu yang diakuinya sebagai anak. Padahal, Gadasewu hanya anak gembel jalanan yang dipungut!"

Rangga jadi terhenyak tidak menyangka. Namun belum juga bisa membuka suaranya....

"Aku mengakui semua itu, Sarita...."
"Heh...?!"
"Hhh...! Bagaimana kau bisa lolos...?"

Bukan hanya Rangga yang terkejut, begitu tiba-tiba Adipati Gadasewu muncul di ambang pintu istana kadipaten. Di sampingnya, berdiri Ki Jalaksena dan Pandan Wangi, serta beberapa orang prajurit yang tidak memegang senjata.

"Kau terlalu bangga dengan kepandaianmu, Sarita. Kami semua memang tertotok, hingga tidak bisa bergerak sama sekali. Tapi, jangan sekali-kali melupakan Nini Pandan Wangi. Kau telah menganggapnya enteng. Nini Pandan Wangi bisa membebaskan totokanmu dan membebaskan kami semua, Sarita," jelas Adipati Gadasewu gamblang.

"Huh!"

Sarita hanya mendengus saja mendengar penjelasan itu. Diakui, tadi Pandan Wangi memang dianggapnya enteng. Bahkan mudah sekali ditundukkannya. Dan memang tidak diketahuinya kalau Pandan Wangi memiliki pengerahan hawa murni yang sudah sempurna. Sehingga totokan ringan yang diberikan sangat mudah dihalaunya.

"Sarita! Kau memang berhak menuntut. Tapi ketahuilah. Segala keputusan sudah ditentukan Ayahanda Adipati, sehingga aku menggantikannya memimpin kadipaten ini. Sedangkan kau diberi sebagian wilayah kadipaten ini. Apakah itu masih kurang, Sarita...?" terdengar tegas dan lembut sekali nada suara Adipati Gadasewu.

"Kau merampas milikku!" bentak Sarita garang.

"Aku memang bukan anak kandung Ayahanda Adipati, Sarita. Tapi, aku tidak bisa menolak segala yang sudah diputuskan. Sarita.... Aku rela melepaskan semua ini, asalkan kau tidak lagi menyakiti rakyat. Mereka tidak bersalah, dan tidak tahu apa-apa. Jangan sampai mereka menjadi korban dari kebencian dan...."

"Cukup...!" sentak Sarita memotong ucapan Adipati Gadasewu.

"Sarita, sadarlah.... Semua yang kau lakukan tidak benar. Berjanjilah padaku, kau akan menjadi pemimpin yang baik. Dan aku akan pergi dari kadipaten ini, dengan berjanji tidak akan kembali lagi ke sini," kata Adipati Gadasewu lagi.

"Penjilat! Keparat...! Aku tidak butuh ocehanmu, Gadasewu! Kau harus mati di tanganku! Hiyaaat..!"

Dengan kalap Sarita melompat sambil berteriak lantang menggelegar menyerang Adipati Gadasewu. Pedangnya yang berwarna kuning keemasan, langsung dikebutkan dengan deras ke arah adipati muda ini. Sedangkan Adipati Gadasewu sendiri seperti tidak berusaha menghindar, dan tetap berdiri tegak menanti serangan. Dan sikap itu tentu saja membuat yang lain jadi tersentak kaget.

"Adipati, minggir...! Hih!"

Pandan Wangi yang berada di samping kanan Adipati Gadasewu, tidak bisa tinggal diam lagi. Dengan cepat didorongnya tubuh adipati itu, tepat di saat ujung pedang Sarita sudah hampir menebas kepalanya. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaan. Ternyata Sarita cepat memutar pedangnya. Dan....

Cras!
"Akh...!"
"Pandan...!"

Rangga jadi tersentak kaget, melihat ujung pedang Sarita merobek bahu kiri Pandan Wangi. Seketika gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu jadi terhuyung ke belakang. Sementara Adipati Gadasewu terguling ke lantai beranda istana ini. Dia juga kaget, tidak menyangka tindakan yang dilakukan Pandan Wangi. Demi untuk menyelamatkan nyawanya, Pandan Wangi rela mengorbankan dirinya menjadi sasaran pedang Sarita.

"Keterlaluan kau, Sarita...!" desis Adipati Gadasewu sambil bangkit berdiri.

Tapi belum juga Adipati Gadasewu bisa berbuat sesuatu, Rangga sudah lebih dulu melesat cepat bagai kilat Satu pukulan keras menggeledek dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir dilepaskan.

"Hiyaaat..!"
"Haiiit..!"

Tapi, Sarita sudah lebih cepat lagi menghindar dengan melenting ke belakang. Sehingga pukulan yang dilepaskan Rangga hanya menghantam pilar batu di beranda depan istana ini. Seketika, pilar yang sangat besar itu hancur berkeping-keping disertai ledakan dahsyat menggelegar.

"Hup! Yeaaah...!"

Rangga yang amarahnya sudah memuncak melihat Pandan Wangi terluka, tidak bisa lagi menahan diri. Dengan kecepatan bagai kilat, tubuhnya kembali melompat menyerang Dara Iblis ini. ? Pukulan-pukulan cepat dan bertenaga dalam tinggi segera dilepaskan secara beruntun, membuat Sarita terpaksa harus menghindar dengan berjumpalitan di udara.

Pertarungan itu memang tidak dapat dicegah lagi. Gencar sekali Rangga melancarkan serangan-serangan dalam pengerahan jurus-jurus dahsyat, dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang dipadukan secara sempurna. Akibatnya, Sarita yang selama ini dikenal berjuluk Dara Iblis jadi kelabakan setengah mari menghindarinya.

Namun Sarita tidak hanya bisa berkelit dan menghindar. Malah sudah beberapa kali balas menyerang tidak kalah ganasnya. Dan kini, mereka saling melancarkan serangan menggunakan jurus-jurus yang begitu cepat dan dahsyat luar biasa.

Saat itu, Adipati Gadasewu menghampiri Pandan Wangi yang sudah bisa berdiri lagi. Darah masih terlihat mengucur dari bahu yang sobek tersabet pedang tadi.

"Lukamu cukup lebar, Nini Pandan," kata Adipati Gadasewu.

Tuk! Tuk!

Tanpa meminta izin lebih dulu, Adipati Gadasewu memberi beberapa totokan di sekitar luka itu. Dan seketika itu juga, darah tidak lagi mengalir. Sedangkan Pandan Wangi hanya tersenyum saja. Sebenarnya, gadis itu bisa melakukannya sendiri. Tapi, dia tidak menolak pertolongan adipati berusia muda ini.

"Terima kasih," ucap Pandan Wangi.

"Biarkan Ki Jalaksena merawat lukamu, Nini Pandan," kata Adipati Gadasewu.

Sebelum Pandan Wangi bisa menolak, Adipati Gadasewu sudah memerintahkan Ki Jalaksena untuk merawat luka di bahu kiri gadis ini. Dan Pandan Wangi memang tidak bisa lagi menolak.

Sementara itu, pertarungan antara Rangga dan Sarita masih terus berlangsung sengit di pelataran halaman depan bangunan istana kadipatenan ini. Malah, kini Adipati Gadasewu kembali memusatkan perhatiannya ke arah pertarungan itu.

Dan saat itu mereka sama-sama berlompatan ke belakang mengambil jarak sejauh sekitar satu batang tombak. Tampak satu sama lain berdiri tegak saling berhadapan, mengatur jalan pernapasan yang sudah mulai tersengal. Dari sikap mereka, jelas kalau masing-masing tengah mengerahkan ilmu kedigdayaan.

Rangga sendiri sudah mulai mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma', tanpa menggunakan pedang yang kini berada di pinggang Sarita. Sedangkan Dara Iblis juga tengah mengerahkan ilmu kesaktiannya. Beberapa saat mereka masih berdiri saling menatap tajam. Saat itu, dari sela-sela kedua telapak tangan Rangga yang merapat di depan dada, sudah terlihat cahaya biru mamancar bagai hendak mamberontak keluar.

"Mampus kau, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!

"Aji Cakra Buana Sukma Yeaah...!"

Tepat ketika Sarita menghentakkan kedua tangannya ke depan, Rangga juga mendorong kedua tangannya ke depan. Saat itu dari kedua telapak tangan Sarita memancar cahaya kuning keemasan. Sedangkan dari kedua telapak tangan Rangga, meluncur cahaya biru yang menggumpal terang menyilaukan mata.

Glarrr

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar keras menggelegar, tepat ketika dua cahaya itu beradu di tengah-tengah.

"Akh..!"

Tampak Sarita terpekik agak tertahan, dan kakinya terdorong ke belakang dua langkah. Namun, cahaya biru yang memancar dari kedua telapak tangan Rangga terus meluruk deras kearah Dara Iblis ini.

"Akh.!"

Kembali Sarita memekik, begitu tubuhnya terhantam cahaya biru yang memancar dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan cahaya biru itu langsung menggulung tubuh Dara Iblis itu. Sarita menggeliat-geliat berusaia melepaskan diri dari selubung sinar biru itu.

Sementara, Rangga mulai melangkah perlahan-lahan mendekati, dengan kedua tangan masih terentang lurus ke depan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, mengamati gerakan-gerakan tubuh Sarita yang masih tergulung cahaya biru dari aji 'Cakra Buana Sukma'.

"Shiaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras agak mendesis. Dan saat itu juga, dari rongga mulutnya yang tebuka meluncur cahaya biru yang menggumpal terang menyilaukan mata. Saat itu, Pandan Wangi yang tengah dirawat lukanya jadi tersentak kaget. Dia tahu, kalau Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan seluruh kekuatan dari aji 'Cakra Buana Sukma' yang sangat dahsyat pada tingkat terakhir. Sementara itu, Sarita semakin tidak dapat lagi melepaskan diri dari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan....

"Yeaah...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, saat itu juga Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya ke depan, setelah menarik sedikit ke belakang. Dan....

Glarr!

Satu ledakan sangat dahsyat, seketika terdengar menggelegar. Begitu dahsyatnya, hingga bumi ini jadi bergetar bagai terjadi gempa. Tampak cahaya biru yang menggulung tubuh Sarita memancar ke segala arah. Bersamaan dengan melompatnya Rangga ke belakang, terlihat tubuh Dara Iblis itu hancur berkeping-keping.

Sementara, cahaya biru yang berkilauan terang sudah tidak terlihat lagi Rangga kini berdiri tegak dengan napas tersengal memburu. Seluruh tubuhnya sudah basah oleh keringat. Sekitar satu tombak di depannya, teronggok debu dari tubuh Sarita yang hancur berkeping-keping. Tidak jauh dari situ, tampak sebilah pedang bergagang kepala burung tergeletak.

"Hhh...!"

Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, sambil menghembuskan napas panjang. Diambilnya Pedang Pusaka Rajawali Sakti, dan disandangkannya kembali di punggung. Saat itu, Pandan Wangi sudah melangkah menuruni anak tangga istana kadipaten ini, diikuti Adipati Gadasewu dan Ki Jalaksena. Sedangkan para prajurit kadipaten sudah langsung menyebar ke setiap sudut bangunan istana ini, setelah mendapatkan senjatanya lagi.

"Bagaimana lukamu, Pandan?" tanya Rangga langsung, begitu Pandan Wangi dekat.

"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa," sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.

Rangga menatap Adipati Gadasewu yang berdiri di sebelah kanan Pandan Wangi. Adipati yang masih berusia muda itu memandangi Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu sulit diartikan...?

"Maafkan aku, Adipati Aku terpaksa melenyapkannya," ucap Rangga

"Sudah sepatutnya, Rangga. Yaaah.... Aku juga menyesali tindakannya. Sama sekali tidak kusangka kalau Sarita yang menjadi dalang kerusuhan ini," ujar Adipati Gadisewu agak mendesah berat.

"Tapi semuanya sudah terakhir," selak Pandan Wangi.

"Ya, semuanya sudah terakhir...," desah Adipati Gadasewu.

"Tapi, dari mana Sarita memiliki kepandaian begitu hebat?" tanya Rangga. Dan pertanyaan itu memang sudah lama tersimpan di benaknya.

"Kudengar, setelah hidupnya tersia-sia, dia pergi ke padepokan kakeknya yang berarti ayah dari ibu Sarita sendiri. Di sana, dia memperdalam ilmu olah kanuragan dan kedigdayaan. Namun sungguh tak kusangka kalau kepandaiannya justru untuk melampiaskan dendamnya.... Sayang sekali," jelas Adipati Gadasewu, agak mendesah.

"Sudahlah.... Yang penting, Gusti Adipati sekarang bisa meneruskan pemerintahan dengan adil dan bijaksana," hibur Pandar Wangi.

"Mudah-mudahan...," desah Adipati Gadasewu.

Dan sebenarnya, Rangga ingin menjelaskan kalau sempat bertemu Eyang Gajah Sakti yang pernah diberitakan telah tewas namun ternyata masih hidup. Namun karena kini Eyang Gajah Sakti telah benar-benar tewas, Rangga hanya memendam ceritanya dalam-dalam. Toh yang diketahui Adipati Gadasewu, Eyang Gajah Sakti telah tewas...

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: