Pendekar Rajawali Sakti 100 - Kemelut Hutan Dandaka(1)

SATU
KEMARAU panjang yang melanda negeri ini telah berlangsung hampir dua bulan penuh. Banyak mata air yang jadi kering. Sedangkan sungai-sungai hanya berisi sedikit air, namun dipergunakan banyak orang untuk kebutuhan sehari-hari. Tanah di berbagai tempat terlihat retak-retak dan rumput-rumput telah kering meranggas. Daun-daun pohon mulai layu dan menguning, kemudian rontok tertiup angin.

Sehingga di sepanjang tempat terdapat timbunan sampah daun-daun kering yang berserakan. Dekat sebuah lembah, terdapat sebuah jalan yang cukup lebar. Jalan itu memang menghubungkan satu desa ke desa lainnya. Sementara dari kejauhan terlihat seseorang tengah menunggang kuda yang dikendarai lambat-lambat. Ketika sudah dekat, terlihat jelas kalau penunggang kuda itu adalah seorang gadis cantik berkulit putih bersih, dan berbaju biru muda.

Di pinggangnya terselip sebuah kipas berwarna keperakan. Sementara di pinggangnya tersampir sebilah pedang bergagang kepala naga berwarna hitam. Sesekali gadis itu terlihat menyeka keringat yang terus mengucur di dahi dan pelipisnya.

“Kau telah, Putih? Sebentar lagi kita akan mencari sebuah mata air, agar kau bisa minum sepuas-puasnya,” kata gadis itu lembut sambil menepuk-nepuk leher kudanya.

Gadis yang tak lain Pandan Wangi itu turun dari kudanya. Kemudian matanya beredar ke sekeliling sambil memayungi dahinya dengan telapak tangan.

“Ah! Ternyata nasibmu memang baik, Putih! Aku melihat sebuah anak sungai di sebelah sana! Mari kita ke sana, cepat!” seru Pandan Wangi girang, seraya cepat melompat ke punggung kudanya.

Agaknya kuda berbulu putih tunggangan Pandan Wangi itu mengerti betul, apa yang dibicarakan majikannya. Dia berlari kencang ke tempat yang ditunjuk gadis berjuluk si Kipas Maut itu. Begitu tiba, ternyata di tempat itu terdapat sebuah anak sungai yang berair sejuk dari bening.

“Ayo. Putih! kau harus minum sepuas-puasnya. Perjalanan kita memang tak jauh lagi. Tapi, hanya di sinilah kau bisa mendapatkan air yang begini sejuk dan amat menyegarkan!” ujar Pandan Wangi.

Tangannya segera menyiduk air, kemudian meneguknya. Gadis itu pun kemudian membasuh wajahnya dan kedua belah tangan untuk menyegarkan tubuhnya. Begitu selesai menyegarkan tubuhnya, Pandan Wangi melangkah ke sebuah batu di bawah pohon dan duduk dengan tenang.

Matanya lalu beredar ke sekitar tempat itu. Sekilas diperhatikan kudanya yang masih membasahi tenggorokkan dengan air sungai. Pandan Wangi merenung sendiri sambil bersandar pada batang pohon yang daun-daunnya telah rontok.

Seharusnya, dua minggu lalu Rangga kembali ke Karang Setra. Karena kabarnya ada berita yang mengatakan kalau Ki Lintuk yang merupakan patih di Kerajaan Karang Setra tengah sakit keras. Rangga sendiri pada saat ini tengah menumpas gerombolan perampok yang sering mengganggu ketenteraman para penduduk Desa Sabrang Lor, yang juga masih bagian Kerajaan Karang Setra.

Maka dimintanya Pandan Wangi agar kembali ke Karang Setra untuk menjenguk Ki Lintuk. Dan Pandan Wangi akan bertemu Rangga di Desa Pahing Rimbun, sepulangnya dari kerajaan. Kini desa itulah yang sedang dituju Randan Wangi.

“Mudah-mudahan Kakang Rangga telah menyelesaikan tugasnya...” desah Pandan Wangi, lirih.

“Hieeeh...!"

“Heh?!”

Pandan Wangi tersentak kaget ketika si Putih terlihat meringkik halus beberapa kali. Buru-buru didekati dan ditepuk-tepuknya leher hewan itu, untuk menenangkannya.

“Diam, Putih! Diam! Ada apa? Apa yang kau dengar?”

Si Putih kembali meringkik halus. Kali ini lebih mirip desah napasnya yang mengisyaratkan keresahan.

“Hm.... Mungkin kau sudah tak betah di sini, ya? Baiklah. Mari kita berangkat!” ujar Pandan Wangi seperti bicara sendiri, sambil melompat ke punggung kudanya. Setelah menggebah, dia berlalu dari tempat itu.

Namun baru saja kuda itu berlari, mendadak Pandan Wangi mendengar suara seperti ada perkelahian hebat. Seketika hatinya tergelitik untuk mengetahui, apa yang telah terjadi. Maka, si Putih segera dipacu ke arah sumber suara pertarungan.

“Ayo, Putih! Mari kita lihat, apa yang sedang terjadi!”

Ketika tiba di tempat kejadian, Pandan Wangi melihat dua orang laki-laki berwajah seram tampak tengah dikeroyok sekitar sepuluh orang prajurit kerajaan. Kedua orang itu bertelanjang dada. Wajahnya yang seram, masih pula dihiasi cambang bauk serta bekas luka-luka. Yang seorang berambut tipis, sedangkan yang seorang lagi botak.

Pandan Wangi segera mengambil tempat bersembunyi, begitu turun dari kudanya. Sementara, matanya terus mengamati apa yang terjadi.

“Menyerahlah kalian, Perampok-perampok rendah! Kalian telah menjebol penjara dan membunuh banyak prajurit kerajaan. Dan sekarang tak ada lagi jalan keluar buat kalian!” bentak salah seorang prajurit kerajaan, yang agaknya pemimpin dari pasukan itu.

“Ha ha ha...! Sura Darma! Kau boleh mengoceh sesuka hati! Tapi jangan harap kami akan menyerah begitu saja. Pergilah kalian dari sini. Dan, biarlah kami berlalu, sebelum kalian mati di tanganku!” sahut laki-laki berkepala botak, dengan suara tinggi

“Kebo Koneng! Jangan ikut-ikutan saudaramu si Supit Gadar! Kalau kau bersedia menyerah, tentu hukumanmu akan diperingan. Ayo! Menyerahlah, sebelum kesabaranku hilang!” bentak pemimpin pasukan yang dipanggil Sura Darma dengan suara lantang.

“He he he...! Kau dengar itu, Kebo Koneng? Apakah kau ingin menyerah, sesudah kita bersusah-payah kabur dari penjara?!” kata laki-laki berambut tipis yang ternyata bernama Supit Gadar dengan nada menyindir.

“Ha ha ha...! Menyerah! Phuihhh! Lebih baik mati daripada diseret si Sura Darma keparat ini!” tegas laki-laki botak yang dipanggil Kebo Koneng sambil meludah ke tanah.

“Hm.... Rupanya tak ada jalan lain untuk membujuk kalian, selain menggunakan cara kekerasan!” dengus Supit Gadar menggeram.

“Huh! Kau bisa berbuat apa terhadap kami? Mengandalkan pasukanmu yang keropos ini?! Lebih baik pulang sajalah, Sura Darma. Kau tak akan berhasil menangkap kami!” sahut Supit Gadar, mencemooh.

“Kurang ajar! Ayo, kepung mereka dan tangkap hidup atau mati!” teriak Sura Darma memberi perintah pada pasukannya.

Tanpa menunggu perintah dua kali, sepuluh orang prajurit kerajaan yang sejak tadi sudah geram, langsung kembali menyerbu ke arah dua buronan itu.

“Yeaaah...!”

Namun karena yang dihadapi para prajurit berkepandaian rendah, maka mudah saja bagi Kebo Koneng dan Supit Gadar dalam menghindari sergapan. Bahkan dengan mudah pula mereka cepat melepaskan pukulan dan tendangan ke arah prajurit-prajurit yang terdekat.

Prak!

Des!

“Aaa...!”

“Aaakh..!”

Seketika terdengar pekik kesakitan dan jerit menyayat, yang disusul robohnya dua orang prajurit.

“Ayo, Kebo Koneng! Mari kita berpesta kembali. Hancurkan keroco-keroco ini agar tahu diri!”

Duk!

“Aaa...!”

Kembali seorang prajurit terjungkal begitu terkena pukulan dua buronan itu. Kebo Koneng dan Supit Gadar terus melompat ke sana kemari menghindari ayunan pedang enam prajurit kerajaan yang masih tersisa. Namun dengan mudah mereka berkelit dan membalas tanpa belas kasihan. Sejak pertarungan tadi, sekali tangan mereka terayun, maka satu atau dua orang prajurit tewas diiringi pekik kesakitan. Kalau tidak kepala yang remuk, maka tulang dada mereka melesak ke dalam terkena pukulan bertenaga dalam kuat.

“Kurang ajar! Kebo Koneng, ayo hadapi aku!” bentak Sura Darma begitu melihat prajuritnya ada yang terjungkal lagi. Maka dia segera melompat menyerang lawan. “He he he...! Bagus! Kenapa tidak sejak tadi saja turun tangan langsung? Kau hanya membuat anak buahmu menjadi korban saja,” sambut Kebo Koneng.

“Jangan banyak mulut kau! Pecah kepalamu!” sahut Sura Darma seraya mengayunkan pedangnya ke batok kepala lawan yang botak itu.

“Uts! Tidak semudah itu, Setan!” Kebo Koneng berhasil menghindari sabetan pedang lawan dengan merunduk sedikit.

“Bedebah! Yeaaah...!”

Dengan gerakan lincah, Kebo Koneng kembali meladeni permainan pedang lawan. Meski bertangan kosong, namun gerakannya sama sekali tak mengalami kesulitan. Begitu gesit dan lincah, tanpa sedikit pun tersentuh pedang lawan. Bahkan serangan-serangan balasan yang dilakukannya terkadang membuat Sura Darma kaget dan gelagapan. Apalagi, serangan yang tiba-tiba itu menimbulkan desir angin kuat.

“Ha ha ha...! Kau harus berguru sepuluh tahun lagi untuk bisa menangkapku. Sura Darma. Tapi sayang kesempatanmu sudah tak ada lagi, sebab hari kematianmu telah ditentukan saat ini!” ejek Kebo Koneng.

“Huh! Jangan harap, Kebo Koneng! Justru kaulah yang akan mampus hari ini!” sahut Sura Darma yakin.

Kebo Koneng tertawa-tawa menyambuti ucapan Sura Darma. Padahal, Sura Darma adalah salah seorang dari tujuh panglima perang yang dimiliki Kerajaan Pandarakan. Sebagai panglima tentu saja kepandaiannya tak rendah. Dan kalau kedua buronan itu sampai bisa ditangkapnya. tentu saja Raja Pandarakan akan memberi penghargaan khusus baginya.

Hal itulah yang menyebabkan Panglima Sura Darma harus mengeluarkan segenap kemampuannya untuk meringkus lawan, hidup atau mati! Tapi yang dihadapinya saat ini adalah Kebo Koneng dan Supit Gadar yang termasuk penjahat kelas kakap

Pada saat Raja Pandarakan memerintahkan agar kedua orang itu ditangkap kembali, maka Panglima Sura Darma menawarkan diri. Padahal, panglima lain bermaksud mengawaninya. Namun, Panglima Sura Darma meyakini diri kalau mampu menangkap kedua buronan itu, dengan ditemani sepuluh prajurit kerajaan. Akhirnya tugas penangkapan kedua orang buronan itu sepenuhnya diberikan kepadanya.

Dan yang terjadi saat itu adalah kekeliruan besar yang pernah diambil panglima kerajaan itu. Buktinya, sisa prajurit yang kini hanya menghadapi Supit Gadar tampak sangat kewalahan. Bahkan dalam beberapa saat saja terdengar kembali jerit kematian prajuritnya. Apa lagi Supit Gadar memiliki jurus pukulan yang dahsyat. Siapa pun yang terkena pukulan 'Kelabang Api', pasti akan hangus terbakar. Kalaupun lawan memiliki tenaga dalam kuat, maka nyawanya pun tak akan selamat. Memang pukulan itu amat beracun!

Melihat keadaan anak buahnya terus berjatuhan, maka Panglima Sura Darma menjadi lengah. Maka kesempatan itu dimanfaatkan betul oleh Kebo Koneng untuk menghajar lawan, dengan melepaskan satu pukulan tangan lurus.

Panglima Sura Darma cepat berusaha berkelit sambil menangkis dengan tangannya, begitu serangan lawan terus melaju mengincar perutnya. Namun kepalan tangan Kebo Koneng yang sebelah lagi cepat menghajar lurus ke dadanya.

Begkh!

“Ugkh...!”

AKibatnya, Panglima Sura Darma terjungkal ke tanah beberapa tombak sambil mengeluh kesakitan

“Sekarang mampuslah kau, Sura Darma!” bentak Kebo Koneng sambil melompat mengirim serangan susulan. “Yeaaah...!”

Belum lagi Panglima Sura Darma mampu bangkit berdiri, kembali datang serangan. Maka tubuhnya segera berguling-guling untuk menyelamatkan diri. Tapi Kebo Koneng terus-menerus mengejarnya bagai orang kesetanan. Dia yakin betul kalau tak lama lagi lawannya akan binasa secara menyakitkan.

“Kini tiba saat kematianmu!” bentak Kebo Koneng ketika tubuh Panglima Sura Darma membentur sebuah baru yang cukup besar

Laki-laki berusia dua puluh sembilan tahun itu hanya bisa memejamkan matanya, dengan sikap pasrah. Saat ini Kebo Koneng tampak telah me-lompat ke arahnya sambil mengayunkan tangan. Sebentar lagi kepala atau dada Kebo Koneng akan hancur berantakan dihantam pukulan lawan yang tak mungkin lagi bisa dihindari.

“Yeaaah...!” Tanpa ada yang menyadari, tiba-tiba sebuah bayangan biru berkelebat cepat ke arah Kebo Koneng. Lalu....

Plak!

“Setaaan…!” Kebo Koneng tersentak begitu di depannya tahu tahu telah berdiri seorang gadis cantik berpakaian ketat berwarna biru. Sebuah kipas baja putih terselip di pinggangnya. Sedangkan di balik punggungnya, menyembul sebuah gagang pedang berbentuk kepala naga. Siapa lagi wanita itu kalau bukan Pandan Wangi?

“Siapa kau, Cah Ayu?! Dan, mengapa kau mencampuri urusan kami?” bentak Kebo Koneng.

“Aku Pandan Wangi. Dan orang-orang menjulukiku si Kipas Maut. Kudengar kau bernama Kebo Koneng. dan merupakan seorang buronan kerajaan. Hm.... Kalau memang demikian, menyerahlah sebelum kupaksa dengan kekerasan!” sahut Pandan Wangi, lantang.

“Apa? Menyerah? Ha ha ha...!” Kebo Koneng terbahak bahak mendengar kata-kata Pandan Wangi.

“Kurang ajar! Kenapa kau tertawa?!”

“Aku menertawakanmu, yang sok menjadi pahlawan kesiangan,” ejek Kebo Koneng.

“Bedebah! Rupanya kau memang pantas menghuni penjara kerajaan. Baik. Rasakanlah!” dengus Pandan Wangi jengkel sambil mencabut kipas mautnya. Langsung diserangnya Kebo Koneng.

Wut! Wut!

“Uhhh...!”

“Nih! Makan ketawamu sepuas-puasnya?” bentak Pandan Wangi sambil terus menyerang lawan dengan ganas.

Kebo Koneng tersentak kaget merasakan keganasan sambaran kipas maut Pandan Wangi. Kalau pada mulanya gadis itu dianggap enteng, maka saat ini Kebo Koneng kalang-kabut sendiri jadinya. Dan Pandan Wangi tak sedikit pun memberi kesempatan padanya.

“Hiaaat..!”

Pada suatu kesempatan Pandan Wangi menyabetkan kipasnya ke arah dada lawan. Melihat serangan ini, Kebo Koneng cepat mengelak ke kiri, seraya mencoba menangkis tangan lawan yang memegang kipas. Namun tanpa diduga sama sekali, Pandan Wangi menarik pulang serangannya, dan langsung memutar ke arah perut. Dengan gugup, Kebo Koneng mencoba mundur selangkah. Namun, terlambat. Karena....

Cras!

“Uhhh!" Kebo Koneng mengeluh kesakitan ketika ujung kipas baja lawan sempat menggores perutnya sedikit. Seketika laki-laki berkepala botak ini menggeram buas. Wajahnya seketika memerah menahan amarah. Bahkan sorot matanya tajam menusuk. Sambil menggertakkan rahang, mulutnya berkomat-kamit seperti membaca mantera. Kemudian, terlihat kedua tangannya bergerak-gerak seperti hendak melancarkan jurus mautnya.

“Heh?" Pandan Wangi tersentak kaget ketika melihat kedua tangan lawan sebatas siku tampak berubah berwarna keungu-unguan. Hawa racun berbau busuk mulai menyeruak menyengat hidungnya. Maka Pandan Wangi segera berhati-hati untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Yeaaah...!” Kebo Koneng berteriak serak seperti seekor gagak. Seketika, dia langsung melompat menyerang lawan.

Wut!

Dalam keadaan seperti itu, gerakan Kebo Koneng tampak semakin gesit. Bahkan serangannya pun ganas bukan main. Sepertinya sama sekali tak ada rasa kegentaran melihat kehebatan kipas yang diayunkan gade cantik itu. Dan kini, tiba-tiba Kebo Koneng menyodok mengancam pertahanan lawan. Berkali-kali Pandan Wangi dibuat tersentak. Buru-buru dia melompat menghindari uap beracun yang ditimbulkan angin serangan dari kibasan kedua tangan lawan.

Sementara itu, Panglima Sura Darma begitu dirinya lepas dari maut menjadi terkejut sesaat melihat penolongnya. Tapi kemudian, dia cepat bertindak membantu sisa anak buahnya menyerang Supit Gadar, Namun meskipun begitu, beberapa kali Panglima Sura Darma harus jungkir balik menyelamatkan selembar nyawanya dari serangan lawan yang bertubi-tubi.

“Ha ha ha...! Hei, Sura Darma! Mana kehebatanmu?! Ayo! Tunjukkanlah padaku. Bukankah kau ingin menangkapku? Ayo, tangkaplah kalau kau bisa!” ejek Supit Gadar terkekeh.

“Kurang ajar!” Panglima Sura Darma hanya bisa memaki geram.

Panglima Kerajaan Pandarakan itu menyadari kalau anak buahnya yang tinggal segelintir itu tak bisa diharapkan untuk berbuat banyak. Lagi pula, di pihaknya telah banyak jatuh korban. Dan jika dia memaksakan diri, bukan mustahil lawan yang tak kenal ampun itu akan melenyapkannya Panglima Sura Darma yang masih menggenggam pedangnya erat-erat, memandang lawan dengan sorot mata tajam.

“Supit Gadar, aku akan mengadu jiwa denganmu!”

“Ha ha ha.... Uts!”

Tawa Supit Gadar seketika terhenti ketika Panglima Sura Darma telah melompat menyerang dengan jurus-jurus terhebat yang dimilikinya. Supit Gadar hanya terkejut sejenak, namun kembali terkekeh sedah mempermainkan lawan.

“He he he...! Dengan ilmu pedang pasaran begini kau ingin menangkap kami? Phuih! Kau harus berguru sepuluh tahun lagi, Sura Darma!”

“Huh!” Panglima Sura Darma hanya mendengus geram mendengar ejekan lawannya itu. Tapi, agaknya Supit Gadar bermaksud membuktikan ucapannya itu. Tubuhnya berputar cepat ketika lawan menikamkan ujung bilah pedang ke arahnya. Dan tiba-tiba....

Plak!

“Aaa...!” Panglima Sura Darma terpekik keras ketika pergelangan tangannya yang menggenggam pedang tersampok. Bahkan pedangnya kini terlepas dari genggaman. Dan belum lagi hilang rasa kagetnya, satu sodokan keras menghantam perut.

Duk!

Kembali panglima itu memekik kesakitan dengan tubuh terjungkal keras. Melihat lawan terjungkal. Supit Gadar cepat akan melanjutkan serangan untuk menghabisi lawannya. Namun....

“Suiiit..!”

Tiba-tiba terdengar siulan panjang melengking, membuat Supit Gadar seketika menghentikan gerakannya.

“Heh?!” Bukan hanya Supit Gadar yang terkejut. Kebo Koneng pun sampai tersentak pada saat itu juga. Bahkan serangannya pada Pandan Wangi juga di hentikan.

***
DUA
“Suara suitan itu kukenal betul!” seru Kebo Koneng sambil menoleh ke arah Supit Gadar.

“Celaka! itu suara Eyang Guru. Kita harus menemuinya segera!” sahut Supit Gadar.

“Astaga! Ayo, Supit Gadar! Mari cepat kita tinggalkan mereka!” timpal Kebo Koneng. Laki-laki berkepala botak itu segera melesat meninggalkan Pandan Wangi yang jadi bingung tak mengerti.

Sementara Supit Gadar langsung menyusul. Dan mereka kini bergerak cepat, lalu menghilang di balik bukit kecil yang tak jauh dari situ.

Pandan Wangi dan Panglima Sura Darma hanya terpaku menatap kedua orang aneh itu tanpa berkata apa-apa lagi. Pandan Wangi sendiri akhirnya dikejut-kan langkah kaki Panglima Sura Darma yang mendatanginya sambil memberi hormat.

“Nisanak, terima kasih atas pertolongan yang kau berikan. Namaku Sura Darma, panglima dari Kerajaan Pandarakan.”

“Hm.... Aku Pandan Wangi....”

“Apakah Nisanak yang berjuluk si Kipas Maut?”

“Begitulah orang-orang memanggilku…”

“Ah! Sungguh aku beruntung bisa berkenalan dengan seorang pendekar hebat seperti Nisanak.”

Pandan Wangi hanya tersenyum kecil. “Ah..., tak perlu membesar-besarkan. Aku ini hanya orang kebanyakan saja. Paman Panglima, apa yang telah terjadi sehingga kau bentrok dengan kedua orang tadi?” tanya Pandan Wangi. Sebenarnya, Pandan Wangi sudah tahu kalau dua orang tadi adalah buronan. Namun, dia sengaja bertanya begitu agar dikira baru saja datang.

“Mereka adalah buronan yang telah menjebol penjara....”

“Buronan? Hm, kulihat mereka memiliki kepandaian tinggi. Apakah Paman Panglima tak meminta bantuan dari panglima lain?”

“Sudah. Namun para panglima lain sedang sibuk memadamkan pemberontakan. Sedangkan sisanya ada yang memimpin perang melawan kerajaan dari timur. Dan lagi, mereka tak punya tenaga yang cakap dan terampil untuk menangkap kedua buronan itu...,” sahut Panglima Sura Darma.

Apa yang dikatakan panglima itu sebenarnya sedikit banyak diketahui Pandan Wangi. Tapi benarkah begitu sibuknya mereka, sehingga terpaksa mengirimkan Panglima Sura Darma untuk menangkap kedua orang buronan itu?

Tentu saja hal itu menjadi ganjalan dalam benak Pandan Wangi. Dan si Kipas Maut yang telah lama tinggal di Karang Setra, tentu sedikit banyak mengerti siasat perang serta kepemerintahan. Menceritakan keadaan gawat dalam suatu kerajaan, seperti yang diceritakan Panglima Sura Darma, sebenarnya amat tabu diutarakan pada orang luar. Apalagi orang yang baru dikenal seperti diri Pandan Wangi. Lalu kenapa Panglima Sura Darma berani memberikan alasan demikian padanya? Apakah salah bicara dan sekadar ngawur! Ataukah, terlalu percaya pada Pandan Wangi karena telah menolongnya barusan?

“Hm, begitu...,” sahut Pandan Wangi.

“Nisanak, kami sangat mengagumi kepandaian serta sepak terjangmu selama ini. Sebenarnya adalah suatu hal yang tak pantas kalau kami meminta pertolongan kepadamu. Tapi, kedua buronan itu adalah pengacau. Mereka sering mengganggu ketenteraman penduduk. Dan sebagai seorang pendekar, sudikah kau menolong kami atas nama kebenaran dan ketenteraman rakyat yang tak berdaya...?” pinta Panglima Sura Darma lirih.

Pandan Wangi tersenyum kecil sambil mengalihkan pandangan. “Aku tak berjanji. Masalahnya, aku sendiri ada sesuatu yang harus dikerjakan.”

“Apakah itu, Nisanak? Mungkin kami bisa membantu.”

“Tidak. Ini soal pribadi. Aku telah membuat perjanjian dengan seorang kawan untuk bertemu di Desa Palung Rimbun dalam waktu dekat ini. Hm..., kalau aku menyalahi janji yang kusetujui....” Pandan Wangi tak meneruskan kata-katanya. Sebaliknya, matanya malah menatap ke arah Panglima Sura Darma.

“Ya, aku mengerti..,” sahut Panglima Sura Darma pelan.

Keduanya terdiam untuk beberapa saat

“Mereka mendadak pergi karena sesuatu. Kira-kira tahukah Nisanak, apa yang menyebabkan mereka meninggalkan kita...?” tanya Panglima Sura Darma, kembali membuka pembicaraan.

“Entahlah. Ada suitan panjang yang menyebabkan mereka meninggalkan kita....”

“Aku pernah mendengar kalau kedua orang itu memiliki guru yang berkepandaian tinggi. Bahkan kejahatannya melebihi mereka. Kalau tak salah, namanya Nini Towok. Perempuan tua itu tak berperasaan dan kejam. Juga mempunyai kebiasaan aneh, yaitu suka menculik pemuda tampan untuk dijadikan pemuas nafsu iblisnya...”

“Hm, lalu?” Pandan Wangi sedikit tertarik mendengar penuturan Panglima Sura Darma.

“Kedua buronan itu kemungkinan besar bergabung dengan gurunya seperti dulu. Mereka akan membuat keonaran. Dan... semua orang menjadi resah kini.”

Pandan Wangi tergugah hatinya mendengar cerita itu. Apalagi ketika Panglima Sura Darma kembali menambahkan sederetan cerita kekacauan sebelumnya, yang dilakukan guru dan kedua muridnya. Kini hatinya mulai bimbang. Sebenarnya kalau mau jujur, sejak tadi hati Pandan Wangi sudah tergerak dan berniat membantu mereka menangkap kembali kedua buronan itu. Tapi bagaimana janjinya dengan Rangga?

Bagaimana kalau Pendekar Rajawali Sakti telah tiba di desa itu dan menunggunya. Padahal, entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menangkap kembali kedua buronan itu. Rangga pasti kesal dan marah. Itu tak seberapa. Bagaimana kalau dia kesal dan akhirnya pergi mengembara sendiri?

“Paman Panglima, bisakah kau menambah jumlah prajurit dalam penangkapan nanti terhadap mereka?”

“Bisa! Oh! Apakah kau bersedia membantu kami?” tanya Panglima Sura Darma.

Pandan Wangi mengangguk.

“Oh! Terima kasih atas kesediaanmu, Nisanak!”

“Sudahlah. Tapi, tolong perintahkan seorang prajuritmu untuk menunggu kedatangan temanku di Desa Palung Rimbun.”

“Tentu saja.”

Setelah menceritakan ciri-ciri Rangga, mereka pun kembali bergerak. Seorang prajurit menuju ke Desa Palung Rimbun, dan dua orang lagi ke istana untuk meminta bantuan tenaga.

***

Seorang perempuan tua bertubuh kurus mengenakan selendang di pinggangnya. tampak tengah berdiri di depan dua orang lelaki yang tengah duduk bersila. Wajahnya tampak lonjong dengan sepasang kelopak mata cekung. Tulang pipinya menonjol. Dan ketika bota matanya melotot seperti saat ini, terlihat amat mengerikan. Daun telinganya digantungi anting-anting berbentuk gelang yang agak besar. Melihat kulitnya yang banyak ditumbuhi keriput, paling tidak usianya telah mencapai enam puluh tahun lebih. Dialah perempuan tua yang bernama Nini Towok.

“Hm, dasar bocah-bocah goblok! Kenapa kalian bisa tertangkap oleh kecoa-kecoa busuk itu, heh?!”

Kedua laki-laki bertampang seram yang duduk bersila di depannya hanya menundukkan kepala. Sedikit pun mereka tak berani menengadahkan wajah.

“Ayo jawab. Tolol?!” maki Nini Towok.

“Eh! Ng... anu Eyang Guru. Me.... mereka terlalu tangguh dan berjumlah banyak...,” sahut laki-laki yang berambut tipis dengan nada takut. Dan dia memang Supit Gadar. Sementara yang seorang lagi sudah pasti Kebo Koneng.

“Tangguh dan berjumlah banyak, heh...?!” perempuan tua itu seperti ingin menegaskan pendengarannya

“Be..., betul, Eyang Guru. Tanya saja pada Kebo Koneng!”
“Betul begitu, Kebo?!”
“Be..., betul, Eyang...”
“Setan!”

Nini Towok mendengus, seraya mencelat sedikit. Maka....

Duk! Begkh!
“Aaakh...!”

Kedua orang itu kontan terjungkal. Karena tiba-tiba sekali perempuan tua itu menendang mereka secara bersamaan dengan keras.

“Kemari kalian!”

“Ba..., baik, Eyang..!” sahut Kebo Koneng dan Supit Gadar berbarengan sambil tertatih-tatih melangkah mendekati perempuan tua itu. Mereka kemudian kembali duduk bersila dengan sikap hormat

“Ada yang berani menentang hukuman dariku tadi?!”

“Ti... tidak, Eyang...!”

“Hm..., bagus! Kalau tidak, hari ini juga kalian lebih baik mampus. Sebenarnya hukuman itu terlalu ringan. Phuih! Kalian hanya membuat aku malu saja. Apa kata orang nanti?! Kedua murid Nini Towok ditangkap dan dipenjarakan? Cuh! Cuh!” perempuan tua itu meludah berkali-kali sambil berkacak pinggang.

“Ta..., tapi kami hanya sebentar, Eyang. Bukankah Eyang lihat, kini kami telah kembali bebas?” tanya Supit Gadar membela diri.

“Hi hi hi...! Kau pintar bicara, Supit Gadar. Betul katamu. Kalian kini sudah bebas. Kalau tidak, he...! Aku akan menyatroni penjara kalian. Dan.... “

“Membebaskan kami, Eyang?” sahut Kebo Koneng, mencoba sedikit tersenyum.

“Semprul! Aku akan mengamuk di sana dan mencekik orang-orang yang telah memenjarakan kalian. Kemudian setelah kalian kutemukan, maka akan kucekik sampai mampus!” dengus Nini Towok

Mendengar perkataan itu, nyali Supit Gadar dan Kebo Koneng jadi mengkeret dan diam membisu. Mereka tahu betul, kalau sang Guru suka angin-anginan, namun selalu membuktikan ucapannya. Kalau dia mengatakan ingin mencekik, maka betul-betul dicekiknya orang yang dimaksud!

“He? Tadi kudengar ada suara pertarungan. Apa yang telah terjadi? Apakah para prajurit istana mengejar kalian?”

“Betul, Eyang. Tapi kami berhasil membuat mereka ketakutan!” sahut Supit Gadar, bernada cerah. Dugaan mereka hati sang Guru akan senang. Maka, pasti perempuan tua itu akan memuji. Atau paling tidak, tak akan memaki-maki.

“Hi hi hi...! Mereka betul-betul takut pada kalian, heh?!”

“Betul, Eyang. Mereka tak kuampuni dan banyak yang telah mampus di tanganku!” seru Supit Gadar.

“Semprul! Kalau begitu, kenapa mereka masih kulihat berkeliaran dan mencari-cari kalian, heh?!”

Kebo Koneng dan Supit Gadar kembali menundukkan wajah dan diam seribu bahasa.

“Phuih! Mereka tidak takut pada kalian, bukan?!”

“Eh! Ka..., kalau tadi Eyang tak memanggil kami, tentu mereka telah mampus tercincang...,” sahut Supit Gadar.

“Hm.... Jadi, kalian bermaksud untuk menghajar mereka?”
“Tentu saja, Eyang!”
“Bagus! Nah, kerjakanlah sekarang!”
“Sekarang, Eyang?” tanya Supit Gadar tak percaya.
“Semprul! He! Apakah penjara itu membuat telinga kalian jadi tuli?!”
“Eh! Ti.., tidak, Eyang...!” sahut kedua murid itu serempak.
“Kalau begitu, lekas pergi!”
“Ba.... baik, Eyang!”
“Eit, tunggu dulu!” bentak Nini Towok ketika keduanya hendak berbalik.
“Ada apa, Eyang...?”

“Hm... Kalian harus membalas terhadap orang-orang yang telah menangkap kalian itu. Semuanya!” tandas Nini Towok.

“Pasti, Eyang!” sahut Kebo Koneng dan Supit Gadar cepat.
“Satu lagi!”
“Apa itu, Eyang?”

“Semprul! Apa kalian tak sabar dan ingin buru-buru pergi dari hadapanku. heh?!”

“Eh! Mana kami berani berniat begitu, Eyang...!” sahut keduanya lirih.

“Kalau begitu, dengarkan baik-baik dan jangan sampai lupa!”
“Ba.... baik, Eyang!”
“Bawakan kebiasaanku...!”
“Pemuda gagah, Eyang?” tanya Supit Gadar seperti mengerti betul apa yang dimaksud gurunya.
“Semprul! Apa lagi kalau bukan itu?!”
“Tentu, Eyang! Tentu!” sahut Supit Gadar.

“Nah! Kalau begitu, lekas pergi dari mukaku! Awas! Jangan sampal tertangkap lagi. Kalau tertangkap, tak ada ampun lagi. Kalian akan mampus di tanganku! Ingat itu!”

“Kami ingat, Eyang...!” sahut keduanya cepat.

“Sudah! Sana pergi!”

Setelah menjura hormat, kedua laki-laki bertampang seram itu segera berlalu. Mereka melewati jalan-jalan kecil yang berliku dan lembah-lembah kecil serta pohon-pohon yang lebat. Tempat itu adalah sebuah hutan yang cukup luas dan terkenal angker. Dan orang-orang biasa menyebutnya sebagai Hutan Dandaka!

***

Sepasang anak muda tampak tengah berjalan pelan-pelan, seperti tak hendak terburu-buru. Yang pemuda mengenakan baju hijau dan berikat kepala merah. Sedangkan yang wanita mengenakan baju kuning muda dengan rambut dikuncir. Menilik dari gerak-gerik dan wajah, usia mereka paling tidak sekitar dua puluh dan delapan belas tahun. Wajah pemuda bertubuh tegap itu cukup tampan, dengan rambut sebahu. Sedangkan yang wanita berkulit coklat muda dan berwajah manis

Melihat dari cara berpakaian, jelas kalau mereka bukanlah orang kebanyakan. Paling tidak, mereka berasal dari kalangan persilatan. Apalagi, di pinggang pemuda itu terselip sebuah kapak bermata dua. Sedang di pinggang wanita itu juga terselip sebuah pedang pendek.

Sambil berjalan, pemuda itu sesekali mencuri pandang ke arah gadis di sebelahnya. Demikian pula sebaliknya. Dan mereka sama-sama memalingkan wajah dengan perasaan malu, ketika pandangan mereka bertemu.

“Ratih...!” akhirnya si pemuda memberanikan membuka suara, menyebut nama gadis itu.

“Hm...”

“Kau betul tidak menyesal kalau kelak kita sudah menikah...?”

“Kenapa mesti menyesal, Kakang Yudha?” gadis bernama Ratih itu malah balik bertanya.

“Aku orang tak berada. Sedangkan kau... ah! Orang tuamu adalah seorang saudagar terpandang di kotaraja. Apakah mereka tak malu mempunyai seorang menantu sepertiku?” kata pemuda yang ternyata bernama Yudha.

“Kakang. kenapa hal itu dipersoalkan lagi? Bukankah Kakang telah mengetahui jawabanku? Atau, mestikah aku mengulanginya sampai seribu kali?” sahut Ratih sambil tersenyum manis.

Dan Yudha pun ikut tersenyum. “Aku hanya merasa malu.“
“Kau malu karena aku kekasihmu, Kakang?”
“Oh, tidak! Bukan itu maksudku.”
“Lalu apa?” Ratih pasang wajah cemberut.
“Karena kau seorang gadis cantik, terpandang, dan anak keluarga kaya...”
“Kakang, apakah kau tak yakin akan cintaku?”
“Kenapa kau berkata demikian?”
“Bicaramu sepertinya mengatakan demikian!
Yudha tersenyum manis sambil memandang wajah Ratih lekat-lekat.

“Jangan bicara seperti itu, Ratih. Seperti aku mencintaimu, maka begitulah keyakinanku akan cintamu kepadaku....”

“Betul?”
Yudha mengangguk.

“Kalau begitu, jangan lagi bicara tentang perbedaan yang ada di antara kita! Mau kan?”

“Hm.... Kalau kau menginginkan sesuatu, bagaimana mungkin aku tak mengabulkannya?”

“Aku tak mau kalau Kakang melakukannya karena terpaksa!” sahut Ratih bernada kesal.

“Baiklah. Aku akan mencoba menutup mata terhadap soal itu.”

“Jangan mencoba, tapi harus!”
“Baik. Harus!”
“Nah, begitu lebih baik...,” sahut Ratih sambil tersenyum lebar.

Yudha tersenyum. Sengatan matahari di siang yang terik ini, seperti tak dirasakan dua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Langkah kaki mereka terasa ringan, sambil tertawa-tawa kecil.

“Kau tak letih?” tanya Yudha, ketika peluh di wajah Ratih terlihat mulai bercucuran.

“Tidak, Apakah Kakang sudah merasa lelah?”

“Hm... Kalau saja kau bersedia dijemput orang tuamu dengan mengendarai kereta kuda, tentu tak akan merasa tersiksa begini berjalan kaki.”

“Kakang! Aku lebih suka berjalan kaki, asalkan bersamamu.”

“Tapi bukankah orang tuamu juga mengajakku kalau kau dijemput?”

“Tapi tak seindah kalau kita melakukan perjalanan berdua.”

“Hei?! Diam-diam ternyata kau pintar juga, ya?” sahut Yudha sambil tersenyum kecil.

Ratih tampak tersipu-sipu. Namun tiba-tiba....

“Ha ha ha...! Sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara, rasanya dunia ini hanya milik mereka berdua. Tapi siapa yang mengatakan begitu, sementara yang lain pun ingin mencicipinya!”

“Heh?!” kedua anak muda itu tersentak ketika terdengar seseorang berkata dengan suara lantang.

Mendadak saja, berkelebat dua sosok bayangan ke arah mereka. Dan kini di depan mereka telah berdiri dua orang berwajah seram dan bertelanjang dada.

“Siapa kalian?!” tanya Yudha datar dengan tatapan curiga.

“Ha ha ha...! Dua bocah yang manis-manis ini sangat menggugah seleraku, Kebo Koneng!”

“Betul, Supit Gadar! Terlebih lagi, gadis itu. Hm, aku sangat menginginkannya. Biarlah kau tangkap pemuda itu untuk Eyang Guru. Sedangkan gadis cantik ini, bagianku!”

“Kukira selama ini kau buta, Kebo. Tapi matamu liar juga kalau melihat gadis cantik! Ha ha ha...! Jangan mau enaknya saja kau!” sergah Supit Gadar sambil terkekeh.

Kedua orang itu terkekeh-kekeh seperti tak mempedulikan sepasang remaja ini untuk sementara waktu. Tentu saja hal itu membuat Yudha dan Ratih menjadi semakin curiga dan tak senang.

“Kisanak! Kalau kalian memang tak ada keperluan, kami hendak melanjutkan perjalanan kami. Silakan tertawa sepuas hati!” sentak Yudha.

Setelah berkata demikian. Yudha menggandeng lengan Ratih dan bermaksud melangkah menghindari mereka. Namun dengan serta merta, kedua orang itu melompat menghalangi.

“Phuihhh! Kau pikir bisa mengoceh seenak perut saja terhadap kami?!”

Langkah Yudha dan Ratih terpaksa kembali berhenti, dan mereka langsung memandang satu persatu dua laki-laki berwajah seram itu secara bergantian dengan sorot mata menunjukkan ketidak-senangan. Yang membentak tadi memang Supit Gadar. Kini matanya tampak melotot garang dengan mulut menyeringai lebar seperti hendak menelan bulat-bulat kedua pasang remaja itu.

“Kisanak! Aku tak mengerti, apa yang kalian inginkan. Kalau kalian hendak merampok, kami tak punya barang-barang yang berharga. Kalaupun ada urusan, kita pun belum pernah bertemu sebelumnya. Jadi, mana mungkin kami punya urusan dengan kalian!” sahut Yudha semakin tegas.

“Kalian harus ikut kami! Ayo cepat!” bentak Supit Gadar.

Sementara, Kebo Koneng malah maju mendekati gadis di hadapannya dan bermaksud memeluknya.

“Kurang ajar!”

“Uts! Galak juga rupanya kau. Cah Ayu? Tapi, sabarlah. Sesaat lagi kau akan terlena dalam pelukanku!” sahut Kebo Koneng sambil terkekeh-kekeh ketika gadis itu menghindar dengan sengit. Tapi Kebo Koneng tak berhenti sampai di situ. Dengan gerakan gesit, kembali dia melompat sambil menyerang secepat kilat.

Melihat kekasihnya dalam bahaya, tentu saja Yudha tak mau tinggal diam. Segera dia melompat untuk melindungi gadisnya.

“Eit! Biarkan mereka bermain-main sejenak. Kau bagianku!” sergah Supit Gadar sambil menyerang pemuda itu

Yudha tersentak kaget dan buru-buru menghindari serangan lawan. Tapi, Supit Gadar tak mau memberi hati. Bahkan merangsek habis-habisan

“Hiyaaat…!” Tubuh Yudha Jungkir balik menghindari serangan lawan. Maka dengan geram segera dicabutnya kapak, dan bermaksud balas menyerang lawan. Namun melihat hal itu. Supit Gadar malah melecehkannya.

“Ha ha ha...! Bocah bau kencur! Ilmu silatmu memang cukup lumayan. Tapi sayang. Kau masih mentah. Lihat serangan!”

Kata-kata yang dikeluarkan Supit Gadar bukanlah omong kosong belaka. Dengan gerakan lincah, dengan mudah serangan lawan bisa dihindari. Kemudian tiba-tiba tubuhnya menyusup lewat celah yang tak disangka-sangka. Akibatnya, Yudha gelagapan untuk menghindari serangan balik lawan. Dan ketika terdengar teriakan kecil Ratih, perhatian Yudha seketika terganggu. Maka tentunya itu ber-akibat buruk baginya. Karena tiba-tiba Supit Gadar mencelat ke arahnya. melepaskan serangan.

Tuk!

“Aaah...!” Yudha mengeluh kecil dengan tubuh terkulai lemas, ketika totokan lawan mendarat di bahunya.

Supit Gadar sendiri cepat menyambar dan memanggul Yudha ke atas pundak, kemudian memandang ke arah Kebo Koneng yang telah lebih dulu melumpuhkan Ratih.

“Brengsek kau, Kebo! Ternyata kau memang rakus sekali. Mari kita bawa bocah ini untuk Eyang Guru. Dan setelah itu, aku akan bersabar menunggu giliranku untuk mendekap kelinci cantik itu!”

“Ha ha ha…! Mari kita berangkat!“

***
TIGA
Seorang penunggang kuda hitam melambatkan lari kudanya ketika telah memasuki mulut Desa Palung Rimbun. Dia adalah seorang pemuda berwajah tampan dan berbaju rompi putih. Di balik punggungnya tampak menyembul sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung. Pemuda itu terus menjalankan lambat-lambat kudanya, setelah memasuki desa ini.

Suasana Desa Palung Rimbun tampak sepi. Padahal, hari telah siang. Bisa jadi karena di tempat itu segala macam kegiatan perdagangan tak begitu ramai. Itu juga disebabkan jarak antara satu rumah dengan rumah lain agak berjauhan. Dari sini bisa tercermin kalau penduduk desa itu masih tergolong sedikit. Dan melihat banyaknya sawah di desa itu, bisa diduga kalau mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Dan siang terik begini, bisa jadi mereka masih berkutat dengan lumpur. Atau sedang beristirahat di dangau-dangau sambil menikmati santap siang.

Tapi ternyata di depan sana ada juga seseorang yang tengah mengerjakan sawahnya. Dan kebetulan pemuda itu akan melintasinya. Pemuda itu terus menjalankan kudanya, hampir melintasi petani di depannya. Begitu dekat, kepalanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Petani itu juga mengangguk, seraya membuka tudung kepalanya. Langsung dia memberi hormat pada pemuda itu.

“Kisanakkah yang bernama Rangga...?” tanya petani itu setelah memberi hormat

“Hei? Dari mana kau tahu namaku?” tanya pemuda tampan itu yang tak lain Rangga, agak heran.

“Aku sebenarnya salah seorang prajurit di negeri ini. Dan aku mendapat pesan dari seseorang untuk menunggu Kisanak di sini “

“Siapa yang menyuruhmu?”

“Panglima Sura Darma. Dan itu atas keinginan kawan Kisanak yang bernama Pandan Wangi... “

“Heh?! Pandan Wangi? Di mana dia sekarang?”

Utusan itu kemudian menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Rangga. Dan pemuda yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu mengangguk-angguk tanda mengerti

“Lalu, kenapa kau berpakaian seperti petani?”

“Hanya menjaga agar tak terlalu menyolok di mata penduduk. Lagi pula dengan berpakaian seperti ini, aku bebas bergerak...”

Rangga kembali mengangguk. Tapi pikirannya tak bergeming dari persoalan Pandan Wangi. Gadis itu terlalu ceroboh bertindak! Atau, barangkali benar seperti apa yang dikatakan prajurit ini, bahwa semua itu tak lepas dari permintaan Panglima Sura Darma agar Pandan Wangi mau membantunya?

“Apakah Kisanak bermaksud menyusulnya ke sana?” tanya prajurit itu

“Tentu saja. Kau tahu tempat mereka, bukan?”

Prajurit itu mengangguk cepat.

“Hm.... Kalau begitu, kita jangan membuang waktu lagi. Naiklah di belakangku, dan tunjukkan padaku di mana mereka berada.”

“Baiklah...!” sahut prajurit itu. Prajurit itu lalu melompat ke belakang Rangga yang berada di alas kuda bernama Dewa Bayu. Dan mereka langsung melaju cepat Rangga memang mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya. Sebab menurut apa yang diceritakan prajurit ini, kedua tokoh yang dikejar itu memiliki kepandaian tinggi. Meskipun mendapatkan tambahan pasukan dari kerajaan, rasanya Pendekar Rajawali Sakti tetap tak yakin kalau mereka bisa mengatasi kedua buronan itu. Tak heran bila Dewa Bayu dipacu kuat-kuat sehingga melesat kencang bagai dikejar setan. Namun belum lama Rangga menggebah kudanya. Tiba tiba...

“Hiyaaat...!”
Plarrr!
“Yeaaah...!”

Dua bayangan mendadak melesat menyerang, setelah melepaskan pukulan jarak jauh yang menimbulkan gemuruh kecil serta desir angin kencang. Melihat hal ini, Rangga cepat melompat dari punggung kudanya, lalu mendarat manis di tanah.

“Kisanak! Kau pegang tali kendali ini kuat-kuat! Kudaku akan menurut padamu!” teriak Rangga

“Kisanak! Kau mau ke mana...?”

Pertanyaan prajurit itu tak sempat terjawab, karena Rangga telah melesat cepat menghadang lawan-lawannya yang terus melesat ke arahnya. Sementara, prajurit itu terus mengendalikan Dewa Bayu, berhenti pada jarak sekitar lima tombak dari tempat Rangga yang kini sudah bertarung.

Pendekar Rajawali Sakti tampak tengah sibuk mempertahankan diri dari serangan-serangan gencar yang dilakukan kedua penghadangnya. Namun sedikit pun tak terlihat kalau Rangga kewalahan. Tubuhnya begitu lincah, bergerak ke sana kemari menghindari serangan-serangan. Dan tiba-tiba, tubuh Rangga melompat ke atas dan berputar beberapa kali menjauhi lawan-lawannya. Kemudian tubuhnya meluncur turun dan mendarat mantap sekali di tanah. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga tak terdengar suara saat kakinya mendarat. Langsung ditatapnya tajam-tajam dua orang penghadangnya dalam jarak tiga tombak lebih di depannya.

“Siapa kalian?! Dan, apa maksud kalian menyerang kami dengan tiba-tiba?!” tanya Rangga dengan nada tak senang.

Di depan Pendekar Rajawali Sakti kini berdiri tegak dua orang laki-laki yang berbeda usia. Yang seorang berusia sekitar lima puruh lahun lebih. Wajahnya berjenggot panjang. Tubuhnya agak sedikit gemuk dan di tangannya menggenggam senjata arit. Sedangkan yang berusia lebih muda, sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tinggi, namun berukuran sedang. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat pendek. Kini keduanya juga menatap tajam ke arah Rangga dengan wajah sinis.

“Phuih! Antek-antek kerajaan! Kalian harus mampus di tangan kami!” dengus laki-laki yang lebih tua sengit.

“Hm.... Apa maksudmu dengan antek-antek kerajaan?” tanya Rangga bingung.

Kedua orang itu kemudian memandang ke arah prajurit yang masih berada di atas kuda. Memperhatikan mereka sejak tadi.

“Meski dia berpakaian lusuh begitu, jangan harap bisa mengelabui kami!” desis orang tua itu geram, sambil menunjuk si prajurit

“Kisanak! Kami sedang terburu-buru. Dan aku sama sekali tidak tahu, apa yang kalian inginkan. Kalau memang tak ada urusan yang lebih penting, harap kalian sudi memberi jalan,” sahut Rangga masih bernada sopan dan tak bermaksud meladeni keinginan mereka.

“Hm. Kalian telah berada di sini, dan jangan harap bisa pergi begitu saja!” sahut orang yang lebih muda.

“Apa maksudmu...?”
“Kalian harus mampus!”

Rangga berusaha menahan sabar mendengar kata-kata yang diucapkan kedua penghadangnya. Namun kedua orang itu agaknya tak mau mendengar penjelasannya. Bahkan sama sekali tak peduli dengan niat baiknya untuk menyelesaikan persoalan secara damai. Melihat keadaan itu, Rangga tersenyum sambil memandang ke arah si prajurit. Lalu, Rangga segera bersuit nyaring. Maka, Dewa Bayu yang seperti mengerti arti siulan itu langsung meringkik dan melesat cepat sehingga nyaris melemparkan prajurit yang masih di atas punggungnya. Untung saja dia sempat berpegangan kuat-kuat

“Huh! Jangan dikira dia bisa kabur begitu saja!” desis orang tua itu. Langsung dia melompat hendak mencegah lari Dewa Bayu. Namun sigap sekali Rangga menghalangi dengan gerakan tak kalah cepat

“Orang tua! Bukankah kau ingin berurusan denganku? Nah, biarkan dia pergi!"

“Kurang ajar! Hih...!”

Orang tua itu langsung menyerang Rangga dengan sebuah pukulan pendek. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak menghindar ke kiri. Namun, orang tua itu seperti tidak memberi kesempatan. Dia terus merangsek Pendekar Rajawali Sakti dengan serangan-serangan dahsyat dan mematikan.

Tapi seperti biasanya, Rangga langsung bisa menghindari dengan pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Akibatnya, orang tua itu semakin geram, karena tak ada satu pun serangannya yang mendarat di tubuh lawan. Sungguh tidak disangka kalau lawan mampu bergerak secepat itu. Meskipun senjata aritnya berkelebat cepat dan bermaksud melukai lawan, tapi hal itu hanya sia-sia belaka.

Bahkan pada satu kesempatan, Rangga melepaskan serangan balik begitu orang tua itu baru saja mengkelebatkan aritnya. Begitu tiba-tiba datangnya, sehingga orang tua itu tak bisa menghindari kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti yang demikian cepat. Maka....

Bugkh!
“Hugkh...!”

Orang tua itu kontan terjajar beberapa langkah ke belakang sambil mengeluh pendek. Padahal, kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti tidak disertai pengerahan tenaga dalam. Hanya saja, memang cukup keras.

Tentu saja hal itu tak bisa didiamkan kawannya. Dia segera bertindak membantu. Namun sebelum terjadi, Rangga telah melesat cepat meninggalkan mereka dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai kesempurnaan. Dan kedua orang itu hanya bisa saling berpandangan dengan wajah kesal.

***

Pasukan yang dipimpin Panglima Sura Darma telah memasuki suatu wilayah yang diperkirakan sebagai sarang kedua buronan yang bernama Supit Gadar dan Kebo Koneng. Mereka kini memang berada di pinggir hutan yang lebat dan jarang didatangi manusia. Konon, tempat itu dipercaya sebagai sarang makhluk halus yang sering mengganggu manusia. Bahkan bukan hanya itu. Setiap orang yang lewat, jarang ada yang bisa kembali.

Namun, Panglima Sura Darma mana bisa mempercayai kabar kosong itu begitu saja. Sebagai seorang prajurit sejati, tugasnya harus dijalankan dengan baik dan tuntas. Dan dari apa yang pernah diketahuinya. di dalam hutan inilah kedua orang buronan itu diperkirakan berada. Sebab, guru mereka yang bernama Nini Towok memang tinggal di situ.

Dan Panglima Sura Darma memang telah menambah kekuatan pasukannya. Makanya, dia bertekad untuk meringkus dua buronan kerajaan itu. Prajurit yang diperintah untuk memanggil pasukan kerajaan memang telah kembali bersama sekitar tiga puluh orang. Dan mereka langsung bergabung dengan Panglima Sura Darma.

“Semua siap! Kita telah memasuki kawasan Hutan Dandaka!” teriak Panglima Sura Darma memperingatkan anak buahnya.

Mereka segera menggenggam erat senjatanya masing-masing sambil menajamkan penglihatan dan pendengaran. Suasana seketika menjadi sepi. Hanya derap langkah kaki kuda saja yang menyapu padang rumput di bawahnya.

“Apakah Paman Panglima yakin kalau mereka bersembunyi di tempat ini?” tanya Pandan Wangi halus.

“Mereka tak akan pergi jauh dari sisi gurunya,” sahut Panglima Sura Darma setengah ragu.

“Dua orang murid yang setia tentunya...” Panglima Sura Darma hanya tersenyum pahit.

“Sebaiknya pasukan dibagi dua, Paman. Kalau boleh biar kupimpin sebagian ...” lanjut Pandan Wangi menawarkan diri.

Panglima Sura Darma memandangnya heran. Tapi, Pandan Wangi tetap berusaha meyakinkan.

“Percayalah, aku pernah melakukan hal ini sebelumnya. Tapi kalau memang Paman tak percaya, tak apa...”

“Bukan begitu. Tapi, bukankah kalau membagi dua pasukan berarti akan mengurangi kekuatan kita?”

“Bukankah mereka hanya berdua? Dan mungkin bertiga, bila guru mereka muncul. Mereka bukan pasukan besar. Jadi, kusarankan agar para prajuritmu tak kacau-balau nantinya.”

Panglima Sura Darma berpikir sesaat, sebelum menyetujui usul Pandan Wangi. Namun baru saja mereka membagi dua kelompok pasukan, tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring yang menyelimuti sekitar tempat itu.

“Hi hi hi..! Sungguh tak disangka, anjing berani mendatangi penggebuk!”

“Ha ha ha..! Hei, Sura Darma! berani mati kau datang ke Hutan Dandaka ini, he?!”

Bersamaan dengan suara itu, melesat dua sosok tubuh. Dan tahu-tahu di hadapan mereka telah berdiri dua laki-laki bertampang seram. Seketika semua pasukan segera bersiaga dan menghentikan langkah. Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi hanya memandang tajam kepada dua sosok tubuh yang telah mereka kenal itu.

“Kebo Koneng dan Supit Gadar! Menyerahlah secara baik-baik. Dan jangan paksa kami untuk bertindak keras untuk menangkap kalian!” bentak Panglima Sura Darma.

“Apa? Menyerah?! Ha ha ha....! Kau ini tolol sekali, Sura Darma. Tidakkah kau tahu, sedang berada di mana saat ini? Hei! Seharusnya kaulah yang menyerah, dan gorok lehermu sendiri!” sahut Supit Gadar sambil tertawa mengejek.

“Sura Darma! Tahu dirilah sedikit! Kalau kemarin, kami masih memberi kesempatan padamu untuk tidak mengganggu kami lagi. Tapi, kau memang keras kepala. Dan hari ini, jangan harap kami akan mengampuni lagi. Kau dan anak buahmu akan mampus!” timpal Kebo Koneng geram.

“Kisanak berdua! Kalian adalah buronan kerajaan. Menyerahlah secara baik-baik, atau aku akan meringkus kalian saat ini juga!” gertak Pandan Wangi dengan suara nyaring

“Ha ha ha! Bocah ayu, kau membuatku gemas saja. Bicaramu lancang sekali. Kalau tadi aku berniat memenggal kepalamu, maka biarlah kutunda barang sesaat, agar kita bisa bermain sejenak berdua saja. Wajahmu yang cantik itu, sayang sekali bila harus dilukai tanganku!” sahut Supit Gadar menganggap remeh.

“Kurang ajar! Huh! Kau pikir dirimu sudah hebat karena telah membunuh banyak prajurit kerajaan?! Terimalah bagianmu hari ini!” bentak Pandan Wangi. seraya memberi perintah pada para prajurit untuk menyerang Supit Gadar.

“Yeaaah…!”

“Ringkus orang itu hidup atau mati!” teriak Panglima Sura Darma memberi perintah pada prajuritnya untuk meringkus Kebo Koneng.

Panglima Sura Darma dan Pandan Wangi tahu kalau lawan-lawannya memiliki kemampuan tinggi dan sulit ditaklukkan. Tapi mereka telah menemukan akal untuk mengatasi. Pada saat prajurit-prajurit kerajaan mengeroyok mereka, maka di saat itulah masing-masing mendesak Supit Gadar dan Kebo Koneng dengan serangan serangan hebat.

Supit Gadar dan Kebo Koneng memang memiliki kepandaian tinggi. Namun menghadapi tekanan sedemikian rupa. agaknya mereka kewalahan juga. Ruang gerak mereka terbatas, dan tak sedikit pun kesempatan untuk balas menyerang. Mereka terpaksa jungkir balik untuk menyelamatkan selembar nyawa.

“Bangsat! Huh! Kalian akan menerima balasannya!”

“Jangan banyak bicara kau! Yeaaah...!” bentak Pandan Wangi sambil mengayunkan kipasnya ke arah leher Supit Gadar.

“Uts! Yeaaah...!”

***
EMPAT
Mendadak Supit Gadar berteriak nyaring sambil mengayunkan tangan kanannya. Seketika melesat secercah sinar kuning ke arah Pandan Wangi. Seketika Pandan Wangi tersentak kaget melihat kelebatan sinar kuning kemerahan yang mengancam pertahanannya. Buru-buru gadis itu melompat ke samping. Menghindarinya. Namun...

“Aaakh...!”

Salah seorang prajurit yang kebetulan di belakang ternyata menjadi sasaran begitu Pandan Wangi menghindar. Orang itu kontan memekik kesakitan. Bahkan sekujur tubuhnya langsung menghitam seperti luka bakar. Tubuhnya lalu ambruk ke tanah dan bergulingan ke sana kemari sambil melolong kesakitan. Tidak berapa lama kemudian, dia diam tak berkutik lagi.

“Ha ha ha..! Kenapa ? Kau mulai takut heh...?!” ejek Supit Gadar ketika melihat Pandan Wangi terlongong bengong. Bahkan semua prajurit juga menghentikan serangan dengan wajah bingung

Belum lagi habis rasa keterkejutan mereka, mendadak kembali terdengar pekikan dari arah lain. Tampak dua orang prajurit kerajaan yang tergabung dalam kelompok Panglima Sura Darma terhuyung-huyung. Begitu mengerikan nasib yang menimpa mereka. Kulit keduanya tampak melepuh dan lumer. Bahkan tulang-tulangnya mulai terlihat, perlahan-lahan tubuh mereka hancur menjadi potongan-potongan berbagai ukuran. Seketika hal itu membuat nyali para prajurit jadi ciut. Dan mereka jadi terpaku beberapa saat.

“Ayo! Bukankah kalian ingin menangkap kami? Kenapa sekarang ragu-ragu...? Ke sini cepat..!” bentak Kebo Koneng dengan sikap jumawa

“Keparat! Kau pikir aku takut dengan gertakanmu?! Huh! Kau rasakan balasanku!” bentak Pandan Wangi sengit.

Tubuh si Kipas Maut segera melesat cepat sambil menyabetkan ujung kipas mautnya ke leher. Namun Supit Gadar cepat menghindarinya dengan mudah sambil terkekeh pelan. Tidak seperti tadi, kali ini Pandan Wangi mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk menjatuhkan lawan secepatnya. Sehingga meskipun sesekali Supit Gadar mengumbar pukulan maut namun hingga saat ini belum berhasil melukainya.

“Kenapa diam?! Ayo, serang dia lagi...!” teriak salah seorang prajurit.

Serentak para prajurit lain seperti disentak dan langsung menyerang kedua buronan Itu. Demikian pula halnya Panglima Sura Darma dan para prajuritnya. Dengan semangat masih menyala-nyata, mereka kembali menyerang lawan.

“Yeaaah...!”

“Hm... Kecoa-kecoa busuk tidak berguna! Kalian kira bisa menangkap kami? Phuih! Kalian hanya bermimpi!” desis Kebo Koneng geram.

Laki-laki berkepala botak itu segera mengumbar pukulan-pukulan mautnya beberapa kali. Akibatnya prajurit yang berada paling dekat dan tak mampu menghindari menjadi sasaran. Mereka langsung berjatuhan, dan tak mampu bangkit kembali.

“Hi hi hi..! Dasar murid-murid goblok! Menghadapi cacrng-cacing tidak berguna saja, begitu lama! Coba lihat ini...!” Mendadak terdengar suara nyaring melengking Lalu...

Wusss...!

Tiba-tiba bertiup angin berhawa panas menyengat yang menyambar pasukan yang dipimpin Panglima Sura Darma.

“Aaa...!”

Bersamaan dengan itu, terlihat beberapa orang prajurit melayang bagai sehelai daun kering tertiup angin disertai jeritan kesakitan.

Pada saat yang sama, Kebo Koneng mengambil kesempatan baik, saat semangat Panglima Sura Darma mulai bergetar, dan perhatiannya terganggu oleh kejadian itu.

“Yeaaah...!”

Sambil mem bentak nyaring, laki-laki berkepala botak itu menghantamkan pukulan mautnya. Panglima Sura Darma jadi tersentak kaget dan berusaha menghindar sambil mengayunkan sebelah tangannya. Tapi...

Plak!
“Aaa...!”

Panglima Sura Darma kontan memekik kesakitan dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke belakang. Tangannya seperti tersundut besi panas. Belum lagi habis rasa terkejutnya, tiba-tiba satu serangan lawan mengancam batok kepalanya.

Prak!

Panglima Kerajaan Pandarakan itu hanya sempat mengeluh pendek begitu kepalan tangan Kebo Koneng mendarat telak di kepalanya. Tubuhnya langsung ambruk, dan kulitnya meleleh bagai terbakar. Demikian pula tulang-tulangnya yang jadi hancur seperti dihantam godam.

Sementara itu, ketika serangkum angin panas tadi menerpa prajurit-prajurit yang dipimpin Pandan Wangi, banyak prajurit yang terlempar sambil menjerit kesakitan. Sedangkan gadis itu jadi terkejut dan berusaha mempertahankan diri. Namun, Supit Gadar tampaknya tak ingin memberi kesempatan lagi. Dan dia sudah terus menghujani serangan bertubi-tubi ke arah gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu.

“Yeaaah...!”

Dan ketika baru saja Pandan Wangi menghindari sebuah serangan, sudah menyusul lagi serangan berikut. Jari-jari tangan Supit Gadar yang membentuk kepala ular, melepaskan sebuah patukan ke punggung Pandan Wangi. Maka cepat-cepat gadis itu merunduk sambil memapak.

Plak!

Melihat dari serangannya, rupanya Supit Gadar memang tidak berniat membunuhnya. Buktinya ketika memapak tadi, tenaga dalam yang dikeluarkan laki-laki itu tidak begitu tinggi.

Namun rupanya serangan itu hanya sebuah tipuan belaka. Begitu serangannya luput. Supit Gadar tiba-tiba mencelat ke atas dengan kecepatan mengagum-kan. Dan ketika berada di udara, tangan kanannya yang membentuk paruh ular menotok cepat. Dan....

Tuk!

“Ohhh...!” Pandan Wangi langsung jatuh lunglai di tanah, begitu punggungnya tertotok

“Ha ha ha...! Kini kau bisa berbuat apa padaku. Cah Ayu?” ejek Supit Gadar terbahak bahak

“Keparat licik! Lepaskan totokan ini, atau kuhajar kau!” maki Pandan Wangi sambil melotot lebar. Namun, tubuhnya tak mampu digerakkan lagi.

“Ha ha ha...! Gertakanmu boleh juga, Cah Ayu. Tapi apakah kau tidak menyadari, kalau kini sudah tidak berdaya lagi? Aku bisa berbuat apa saja yang kusuka. Coba lihat. Sebentar lagi, kecoa-kecoa itu akan rata dengan tanah,” sahut Supit Gadar sambil tertawa penuh kemenangan. Lalu, dia melangkah mendekati Pandan Wangi. Kembali gadis itu ditotok hingga pingsan.

Apa yang dikatakan Supit Gadar memang tidak salah. Tampak Kebo Koneng mengamuk dahsyat menghabisi sisa-sisa prajurit yang sudah kehilangan pemimpinnya. Beberapa orang berusaha menyelamatkan diri, namun tidak diberi kesempatan sedikit pun juga. Akibatnya seluruh prajurit yang berjumlah sekitar tiga puluh orang itu tewas tidak tersisa dalam keadaan mengerikan, terkena pukulan maut yang diepaskan Kebo Koneng.

“Hm, habis sudah riwayat kalian!” dengus Kebo Koneng sambil berkacak pinggang dan wajah tak berperasaan.

“Huh! Tidak pantas kau berbangga begitu. Goblok!”

“Eh, ng,.. Eyang Guru...”

Kebo Koneng dan Supit Gadar baru tersadar kalau guru mereka telah berada di tempat itu sambil mencibir. Serentak mereka menghampiri dan berlutut sambil menjura memberi hormat.

“He! Semprul! Kenapa kau bunuh Cah bagus tadi?” bentak wanita yang tak lain Nini Towok, sambil melotot garang kepada Kebo Koneng.

“Bocah yang mana, Eyang?” Kebo Koneng takut-takut

“Matamu! Ya, bocah cakep yang kau remukkan kepalanya itu!”

“Oh! Itu Sura Darma. Eyang,”

“Huh! Siapa yang peduli namanya..? Kenapa kau bunuh dia, heh?! Padahal, dia gagah dan cocok untukku!”

“Eh, ng.... Dia.... dia amat berbahaya kalau dibiarkan hidup. Eyang, sebab itu lebih baik dibunuh saja.”

“Semprul! Siapa yang mengatakan itu padamu, hah?! Tidak ada seorang pun di jagat ini yang berbahaya di depanku! “

“Maafkan aku. Eyang.”

“Maaf. maaf...! Heh! Pilihlah hukumanmu sendiri. Kutendang sampal isi perutmu muncrat, atau kau carikan lima orang seperti dia hari ini juga! “

“Ba.... baik, Eyang “

“Baik apa?”

“Aku pilih yang kedua”

“Bagus! Nah, sekarang minggat dari mukaku!”

“Se.... sekarang juga, Eyang?”

“Semprul! Kapan lagi. he...?!”

“Ba.... baik, Eyang.” sahut Kebo Koneng terus berlari terbirit-birit dari tempat itu setelah menjura memberi hormat

Sementara, Nini Towok memandangnya sekilas, kemudian berpaling pada Supit Gadar. “Kenapa tidak kau bunuh saja perempuan itu, heh?!”

“Eh... ng,...”

“Hm... Kau akan bersenang-senang dulu dengannya?” tanya Nini Towok dengan suara dingin. Supit Gadar hanya mengangguk saja sambil menyeringai kecil. Dan Nini Towok hanya memandangnya sekilas

“Tapi setelahnya nanti akan kubunuh dia,” kata Supit Gadar sebelum gurunya berkata.

Nini Towok hanya menggumam tak jelas, kemudian memandang gadis itu. “Hm.... Cantik juga dia. Pandai kau memilih perempuan,” kata perempuan tua itu.

Sedangkan Supit Gadar hanya terkekeh kecil mendengarnya.

“Hei?! Senjatanya itu mengingatkan aku pada seseorang. Siapa gadis ini?” tanya Nini Towok dengan sorot mata tajam ke arah Supit Gadar

“Ti... tidak tahu. Eyang.”

“Semprul! Dasar murid goblok. Coba ingat-ingat gadis yang bersenjatakan kipas baja berwarna putih keperakan. Ng… Ya, ya. Aku ingat sekarang, Dia si Kipas Maut!” agak berteriak suara Nini Towok. Bola mata perempuan tua itu tampak berbinar-binar tajam, kemudian tertawa panjang mengikik.

Supit Gadar jadi terheran-heran sendiri melihatnya, tapi tidak berani menegur.

“He. Supit Gadar. Bawa gadis ini ke rumah, dan jaga jangan sampai lepas.”

“Eh! Untuk apa. Eyang?”

“Goblok! Tidak tahukah kau, kalau gadis ini kekasih Pendekar Rajawali Sakti...?”

“Eh, kekasihnya...? Lalu, apa hubungannya dengan kita?”

“Dasar tolol! Sudah lama sekali aku memimpikan bisa bertemu bocah yang kabarnya berkepandaian hebat itu. Kalau dia tahu kekasihnya berada di tanganku, tentu akan ke sini mencari.”

“Jadi…, jadi aku tidak boleh memiliki gadis ini?”

“Edan! Kalau sampai kau menyentuh rambutnya saja, batok kepalamu kupecahkan. Dia milikku! Dan setelah Pendekar Rajawali Sakti berhasil kutaklukkan, baru kau boleh berbuat apa saja padanya. Mengerti kau, Supit Gadar...?”

“Iya.... iya. Eyang.”

“Bagus. Sekarang bawa dia ke pondok"

Supit Gadar menelan ludahnya. Kemudian dia melangkah dan berhenti dekat Pandan Wangi. Segera dipanggulnya tubuh gadis yang telah pingsan itu. Namun, dia tidak segera melangkah kembali.

“Kenapa? Kau tidak senang mendengar keputusanku?!” bentak Nini Towok, seperti bisa merasakan apa yang dipikirkan muridnya.

“Eh, mana berani aku berpikir begitu, Eyang....”
“Heh! Kau pikir aku bodoh...?”
Supit Gadar hanya terdiam saja.

“Kau bisa mencari sepuluh perempuan secantik dia. Tapi khusus untuk yang ini, jangan coba-coba. Mengerti...?!”

“Mengerti, Eyang”
Namun, belum lagi guru dan murid itu melangkah jauh, tiba-tiba saja....
“Nini Towok, berhenti kau!”
“Heh...?!”

Nini Towok dan Supit Gadar tersentak. Mereka langsung berhenti melangkah, dan menoleh. Tampak di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri tegak dua orang laki-laki. Yang seorang bertubuh tinggi memakai baju merah. Pada tangannya tampak ter-genggam sebilah pedang berukuran besar. Sedangkan yang seorang lagi bertubuh pendek. Tangannya memegang bandul besi berduri tajam. Kini keduanya memandang guru dan murid itu dengan sorot mata tajam menusuk.

“Hm.... Soreang dan Rudapaksi. Apa yang kalian inginkan, hingga jauh-jauh datang ke tempatku ini?” tanya Nini Towok tenang, langsung mengenali.

“Nini Towok! Sebenarnya aku tidak ingin mengganggumu dan menyudahi saja urusan lama kita. Tapi kedua muridmu sungguh keterlaluan. Mereka menculik putri Soreang dan murid perempuanku. Dan kami tidak bisa membiarkan begitu saja. Kau boleh lepas tanggung jawab, tapi serahkan kedua muridmu untuk dihukum!” sahut laki-laki pendek kekar berusia sekitar empat puluh tahun. Namanya, Rudapaksi.

“Benar! Kalau kau melindungi mereka, berarti memang sengaja mengorek luka lama. Dan kami harus menuntut balas atas perlakuan kedua muridmu!” sambung laki-laki bertubuh tinggi, yang bernama Soreang.

Mendengar ucapan mereka, Nini Towok seketika tercekat dengan wajah heran. Kemudian terlihat dia tergelak sendiri. Sikapnya benar-benar meremehkan kedua orang itu.

“Soreang dan Rudapaksi. Kalian pikir aku ini pengasuh anak kecil, heh?! Kedua muridku sudah tua bangka. Dan mereka bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri. Lalu untuk apa kalian mengungkit-ungkit peristiwa lama? Ingin menantangku lagi, he?! Boleh...!” balas Nini Towok sambil berkacak pinggang.

Perempuan tua itu memang penaik darah dan mudah tersinggung. Sedikit pun tidak boleh merasa dikecilkan oteh orang lain. Dan dari apa yang diucapkan Soreang dan Rudapaksi, bisa disimpulkan kalau mereka sengaja datang membawa persoalan lama untuk menggertaknya. Sebenarnya, apa persoalan mereka dahulu?

Memang, Nini Towok adalah seorang perempuan yang mempunyai kebiasaan aneh. Sejak muda, dia paling suka bermain cinta dengan jejaka-jejaka gagah dan berwajah tampan. Hal itu dilakukan dengan mengobral diri seperti pelacur rendahan. Nafsunya seperti tidak pernah puas oleh hanya seorang pemuda. Dan dia terus berganti-ganti pasangan sampai usianya mendekati tua.

Namun sejalan dengan kebiasaan buruknya, maka banyak pula pemuda yang menaruh hati padanya. Bahkan tidak jarang yang berasal dari kalangan persilatan berkepandaian tinggi jatuh cinta padanya. Maka dengan rayuan mautnya, Nini Towok berhasil membujuk mereka agar sudi mengajarkan ilmunya. Perempuan itu tidak peduli, apakah pemuda yang menyintainya termasuk dalam golongan sesat atau lurus. Baginya, yang penting mendapat ilmu baru.

Pada mulanya tidak ada seorang pun yang tahu tentang perbuatannya. Namun akhirnya hal itu menjadi tanda tanya, dan berlanjut menjadi kecurigaan. Hal itu terjadi ketika banyak pemuda yang dekat dengannya, kemudian hilang tak ketahuan lagi ke mana rimbanya. Dan ketika dua orang pemuda yang pernah dekat dengannya berhasil meloloskan diri, gegerlah semua orang mendengar ceritanya.

Ternyata, Nini Towok selalu membunuh semua kekasihnya setelah puas mereguk kenikmatan sekaligus mendapat ilmu baru. Dan kedua orang pemuda itu adalah Soreang dan Rudapaksi, yang masing-masing kini memang telah berusia setengah baya.

Tentu saja hal itu membuat banyak kalangan persilatan menjadi murka. Mengingat Nini Towok kini berkepandaian tinggi, maka secara beramai-ramai mereka bermaksud menghajar perempuan jalang itu. Memang, Nini Towok berhasil dihajar sampai babak belur. Bahkan nyaris saja tewas kalau tidak sempat melarikan diri.

Dan sejak itu, Nini Towok tidak pernah lagi muncul dalam kancah dunia persilatan. Sampai akhirnya, kedua muridnya membuat keributan belakangan ini. Orang-orang segera mengetahui kalau mereka murid Nini Towok, karena ilmu silat dan pukulan maut yang dimiliki berciri-ciri sama.

“Nini Towok! Kau memang keterlaluan dan tidak bisa dikasih hati. Kalau memang hal itu yang diinginkan, baiklah. Aku tidak akan sungkan-sungkan lagi bertindak!” dengus Rudapaksi geram. Bandul besinya segera diayunkan, siap menghajar perempuan tua itu.

“Hi hi hi...! He, Rudapaksi dan Soreang! Berani betul kalian menantangku. Sudah bosan hidup, he...?!” ejek Nini Towok bernada merendahkan.

Dan begitu bandul besi berduri itu mengancam kepalanya....

“Uts!”

Nini Towok cepat merunduk, menghindari sambaran bandul berduri Rudapaksi. Namun saat itu juga Rudapaksi sudah melesat sambil melepaskan tendangan kilat. Namun, Nini Towok menyambutnya dengan tangkas. Sambil merunduk, ditangkisnya tendangan itu dengan sebelah tangannya

Plak!
Wut!

Begiru berhasil menangkis, kepalan tangan Nini Towok yang sebelah lagi cepat menghantam lurus ke dada. Seketika Rudapaksi tersentak. Maka buru-buru dia membuang diri sambil menarik bandul berdurinya kembali. Dan begitu bangkit berdiri, bandul berdurinya kembali dikelebatkan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

Swing!
“Yeaaah...!”

Nini Towok cepat melesat ke udara seraya berputaran beberapa kali. Tubuhnya lalu menukik turun, dan terus menerkam ke arah lawan. Pertarungan antara mereka memang berlangsung cepat dan sengit.

Sementara itu Soreang menyadari kalau Rudapaksi tidak unggul bila sendirian menghadapi perempuan tua ini. Maka tanpa diminta lagi, dia langsung saja melompat hendak membantu. Namun sebelum hal itu dilakukan, Supit Gadar sudah lebih dulu menghadang, setelah meletakkan tubuh Pandan Wangi di tanah.

“Eit! Jangan coba-coba, selama aku masih di sini! Biarkan mereka bermain-main. Dan kau, boleh bermain denganku.”

“Keparat! Kebetulan sekali memang kau yang kuharapkan. Kucincang tubuhmu, Jahanam!” geram Soreang sambil mengacungkan pedangnya di tangan kanan.

Supit Gadar segera meladeninya dengan gerakan yang gesit. Sambaran-sambaran pedang Soreang dapat dielakkan dengan mudah. Bahkan sesekali balas menyerang. Akibatnya. laki-laki bertubuh besar itu tersentak kaget.

“Hiyaaat..!”

Bukan main geramnya Soreang melihat keadaan itu. Sama sekali tidak diperkirakan kalau murid Nini Towok ini memiliki kepandaian yang tidak berada di bawahnya. Bahkan bisa jadi kepandaiannya sendiri masih di bawah Supit Gadar.

Dan baru saja Soreang akan melipatgandakan serangannya, mendadak saja....

“Aaa...!”

Tiba-tiba terdengar pekikan kesakitan Rudapaksi. Sekilas terlihat kakinya melangkah terhuyung-huyung dengan kepala berlumuran darah. Bahkan bandul besi berdurinya sudah terlempar jauh. Tidak berapa lama kemudian, terlihat Nini Towok melontarkan satu pukulan jarak jauh disertai kebengisannya. Akibatnya, Rudapaksi terlempar jauh dengan nyawa putus sebelum menyentuh tanah.

Melihat kesadisan itu, Soreang jadi lengah. Dan kelengahan Soreang harus dibayar mahal. Supit Gadar yang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu langsung menghantamkan pukulan mautnya yang bernama 'Pukulan Kelabang Api'.

Wusss!

Pukulan yang mengeluarkan cahaya kuning kemerahan itu menderu cepat ke arah lawan. Soreang tersentak dan buru-buru membuang tubuhnya ke samping. Namun tidak urung bahu kirinya terkena hantaman pukulan.

“Uts!”
Plak!

Soreang kontan meringis kesakitan. Sementara, Supit Gadar terus bergerak cepat tanpa memberi hati sedikit pun juga. Meski Soreang berusaha membabatkan pedangnya, namun mudah sekali dapat dielakkan. Sebaliknya, telapak tangan Supit Gadar malah meluncur deras ke arah batok kepalanya.

Prak!
“Aaa...!”

Soreang kontan terpekik, begitu batok kepalanya jadi sasaran telapak tangan lawan. Tubuhnya terhuyung-huyung dengan kepala retak dan mengucurkan darah. Namun rupanya serangan Supit Gadar tidak berhenti di situ saja. Buktinya....

“Yeaaah...!”
Des!

Tubuh Soreang terjungkal dan tidak sempat berteriak lagi, begitu Supit Gadar mencelat melepaskan pukulan mautnya. Saat itu juga Soreang ambruk ke tanah. Sedangkan Supit Gadar langsung berkacak pinggang.

“Sudah, tinggalkan saja mereka. Ayo kita berangkat,” sentak Nini Towok, seraya melesat pergi menembus kegelapan Hutan Dandaka.

“Baik, Eyang.” sahut Supit Gadar, langsung menyambar tubuh Pandan Wangi. Dan langsung melesat, mengikuti jejak gurunya.

***