Jaka Sembung 4 - Raja Rampok Dari Lereng Cermai(2)

Sinar matanya yang tadi cerah, kini berubah jadi muram. Agaknya pemuda itu sedang gundah gulana. Dan itu kemudian tercermin dari alunan serulingnya yang terasa menyayat-nyayat hati.

Suara serulingnya kadang-kadang melengking-lengking. Dan apabila angin berhembus kencang, suara sending itu kadang-kadang hilang dan kadang-kadang sangat nyata, seolah-olah ditiup di dekat daun telinga.

Lagu yang dialunkannya adalah sebuah lagu kiser, salah satu jenis lagu rakyat Cirebon, yang sangat romantis. Rupanya irama lagu itu sangat menarik perhatian penghuni hutan itu, yang tak lain adalah monyet-monyet.

Sejak dulu, hutan itu memang hanya dihuni binatang tersebut, tak ada binatang lainnya. Monyet-monyet itu berloncatan dari atas pohon menuju ke arah suara merdu itu.

Orang menyebut hutan itu dengan nama 'Plangon'. Dan sampai sekarang hutan itu masih banyak dihuni monyet dan sering didatangi muda-mudi sebagai tempat rekreasi.

Parmin, demikian nama lelaki tampan yang sedang meniup seruling itu. Ia tampak tersenyum melihat monyet-monyet itu mengerumuni dirinya, layaknya pengagum artis.

Tanpa diduga-duga, monyet-monyet itu berloncatan ke punggungnya. Bahkan ada pula yang ke kepala, menyibak-nyibak rambut Parmin hendak mencari kutu. Sementara yang lainnya menyambar topi yang terbuat dari anyaman bambu milik Parmin, lalu memakainya. Yang lainnya menarik seruling dari tangan Parmin dan mencoba meniupnya. Parmin betul-betul kewalahan.

Tetapi ia senang. Ia tak henti-hentinya tertawa menyaksikan tingkah laku monyet-monyet itu. Lalu ketika monyet-monyet itu membawa kabur topi dan serulingnya, Parmin cuma tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ah, biarlah mereka bersenang-senang dengan seruling itu. Nanti akan kubikin lagi seruling yang lebih bagus, kata lelaki itu dalam hati.

Ketika ia berdiri kembali, tubuhnya terasa lebih segar dan ringan. Rasa penatnya telah hilang, setelah sejak pagi tadi ia menempuh perjalanan yang sangat jauh. Karena hari masih panas, ingin lah ia mandi di sungai tak jauh dari tempatnya istirahat tadi. Maka ia pun segera menuruni tebing-tebing yang cukup terjal.

Suara gemercik air menerpa batu-batu terdengar dari kejauhan seperti irama lagu yang biarpun monoton namun terasa mengandung suatu keindahan yang tiada taranya. Air sungai itu sangat jernih, sehingga dasarnya yang cukup dalam kelihatan dengan nyata.

Beberapa ekor ikan kecil berenang cepat, membentuk lengkungan-lengkungan cahaya warna-warni bagaikan pelangi di senja hari. Ketika hendak membuka bajunya, tiba-tiba terkejutlah lelaki itu karena tak jauh di seberang sungai tampak olehnya seorang wanita.

Parmin tak habis pikir, kenapa ada wanita muda belia dan cantik lagi berani sendirian di sungai yang sepi itu.

Wanita itu agaknya baru saja selesai mandi. Ia tengah berdandan di atas batu di tengah kali.

Karena merasa kurang sopan berada di sungai dekat wanita, Parmin bermaksud meninggalkan tempat itu, mandi di tempat yang agak jauh, di hulu atau di mudik sungai.

Namun baru beberapa langkah beranjak, tiba-tiba kilatan-kilatan cahaya menyambar tubuhnya. Parmin merasakan ada senjata rahasia meluncur cepat sekali ke arah tubuhnya.

Sambil berseru nyaring, ia meloncat tinggi kemudian berjumpalitan di udara, sehingga senjata-senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil itu tak berhasil mengenai tubuhnya. Pisau-pisau itu tertancap ke dinding batu.

Dengan gerakan yang sangat ringan, Parmin kemudian mendarat di atas batu, sekitar limabelas meter dari hadapan wanita yang sedang berdandan selesai mandi itu.

“Maafkan aku, nona. Aku tak sengaja melihatmu tadi. Sungguh, nona. Maafkan kelancanganku ini,” kata Parmin.

“Cih, laki-laki hidung belang. Tak tahu malu! Apa maksudmu mengintipku mandi, heh? Kalau ayahku tahu kekurangajaranmu, lehermu pasti dipelintir sampai buntung, bajingan.

“Rupanya kau belum tahu siapa aku, ya. Akulah putri Gembong Wungu jago silat tanpa tanding yang kesohor di seluruh lereng Gunung Ciremai.”

Gadis yang tak lain tak bukan Ranti, putri almarhum Gagak Ciremai itu berkata dengan suara membentak-bentak.

“Ah, sungguh tak dinyana hari ini aku dapat kehormatan besar bertemu dengan putri pendekar yang sangat sakti itu. Nama ayahmu terkenal sampai ke pantai utara, tempat asalku, nona.”

“Daerah ini adalah daerah kekuasaan ayahku. Setiap orang asing yang menginjakkan kakinya di sini harus terlebih dulu meminta izin kepada ayahku.

“Janganlah kau bertindak seenakmu di daerahku dengan permainan silatmu yang cuma mainan anak-anak itu. Caramu mengelak seranganku tadi biasa dilakukan anak-anak di desa kami. Karena itu, sekali lagi kuperingatkan agar kau jangan coba-coba berbuat seperti ini lagi.”

Terkejut juga Parmin mendengar kata-kata Ranti yang angkuh dan congkak itu, Wajahnya cantik dan suaranya pun merdu, tapi sikapnya sungguh tidak bermoral.

Tetapi sebagai orang yang sudah berpengalaman, Parmin merasa tak perlu meladeni keangkuhan gadis itu. Ia merasa lebih baik secepatnya meninggalkan tempat itu.

Tetapi ketika hendak berbalik, Ranti membentak.

“Tunggu dulu, bajingan! Kau belum boleh pergi!”

“Ah, nona. Kenapa nona segalak itu? Aku benar-benar minta maaf padamu, karena tadi maksudku sebenarnya hanya ingin mandi. Tetapi rupanya nona sudah terlebih dulu berada di sini. Aku melihat nona tanpa sengaja.

“Sekarang aku hendak membuka baju, nona. Harap nona mau bermurah hati meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan di lain kesempatan kita masih bisa bertemu lagi.”

“Idih, dasar laki-laki tak tahu malu.”

Gadis itu membuang muka ketika Parmin membuka baju, lalu dengan muka yang berubah merah padam, ia berkata.

“Tapi baiklah. Saya akan pergi. Tapi ingat, kau masih punya urusan denganku. Bagaimana pun juga, kelancanganmu ini tidak boleh didiamkan.”

“Terimakasih atas kemurahan hati nona. Tolong katakan kepada ayahmu, bahwa ada seseorang yang numpang bermalam di desa ini,” kata Parmin sambil menatap kepergian gadis itu, yang meloncat dengan gesitnya ke atas tebing.

Ranti merasa kesal, kecewa, marah dan entah apa lagi. Sesampainya kembali di rumah, ia duduk termenung di kamarnya. Wajah pemuda yang tadi bertemu dengannya di sungai kembali terbayang di benaknya.

Tubuh pemuda itu demikian kekarnya, bersih dan berisi. Sinar matanya tajam dan berbinar-binar. Wajahnya pun tampan dan mencerminkan sesuatu yang sangat istimewa, yang tak ditemui pada wajah para jejaka di desa Perbutulan.

Ada perasaan aneh menyelinap ke dalam hati Ranti sebagai seorang gadis yang telah menginjak dewasa. Tetapi entah perasaan apa, ia sendiri tidak tahu pasti. Yang jelas, perasaan itu selama ini belum pernah muncul di dalam hatinya.

Perubahan gadis cantik jelita itu rupanya tidak luput dari perhatian Gembong Wungu. Tokoh dari kalangan hitam itu menghampiri Ranti.

Ditepuknya bahu Ranti dengan penuh kasih sayang.

“Ranti anakku. Mengapa kau termenung saja sejak tadi? Adakah sesuatu yang sedang kau pikirkan atau yang membuatmu terganggu? Si Minem sudah menyiapkan makanan untukmu. Ayo, makanlah, tak baik jika mengurung diri terlalu lama di kamar. Nanti kau sakit.”

“Aku belum lapar, ayah. Nanti saja.”

“Ah, jangan begitu anakku. Kau kan tahu, ayah sangat sayang padamu. Ayo, makanlah anakku!”

“Baiklah, ayah!”

***

Sore itu, Parmin mendatangi seorang petani di desa itu. Dengan sikap yang sopan dan ramah tamah, ia mengutarakan maksudnya hendak mencari pekerjaan, karena ia sangat memerlukan bekal untuk perjalanan selanjutnya.

“Nama saya Parmin, pak. Saya berasal dari desa Eretan.”

“Wah, kau datang dari jauh, Nak! Baiklah, kebetulan sekali aku sedang membutuhkan tenaga mengolah sawah. Besok kau sudah boleh bekerja dan boleh tidur di sini kalau kau suka.”

“Terimakasih, pak.”

“Penghidup petani di desa ini sekarang susah, Nak. Pajaknya yang harus disetor ke Kotapraja besar sekali. Belum lagi uang jaminan kepada Gembong Wungu. Jika tak dibayar, anak buahnya pasti berbuat kejam, tak segan-segan membakar sawah saat padi mulai berbuah.

“O, iya Nak. Kunasehatkan janganlah bertindak sembarangan di desa ini. Jangan sampai mengganggu gadis cantik putri raja rampok itu. Aku juga mengerti tentang gejolak hati kaum remaja. Tetapi salah-salah bisa ketiban pulung.”

“Terimakasih atas nasehat bapak. Saya akan selalu mengingatnya.”

Demikianlah besok harinya ketika ayam mulai berkokok, Parmin sudah bangun. Segar sekali rasanya udara di pagi itu. Dengan langkah ringan, pemuda itu berangkat ke sawah, membawa dua ekor kerbau dan bajak.

Dengan bertelanjang dada, ia membajak sawah. Tubuhnya yang kekar berkilau-kilau dibasahi keringat. Otot-ototnya tampak sangat kekar dan kuat.

Dalam waktu tiga hari saja, ia sudah hampir selesai mengerjakan sawah petani desa itu. Sambil memegang bajak di belakang kedua ekor kerbau, ia sekali-kali berteriak-teriak agar kerbaunya tak malas. Ia sama sekali tak menyadari ada sepasang mata bening mengawasinya dari balik pepohonan. Mata itu menatapnya dengan pandangan penuh kekaguman.

Parmin baru menyadarinya ketika gadis yang ternyata putri Gembong Wungu itu melangkah mendekat. Gadis itu berdiri di pematang sawah sambil menatap Parmin dengan berbinar-binar.

“Eh, nona. Selamat siang, nona. Mengapa nona berdiri di situ? Lihatlah, matahari demikian teriknya. Nanti kulit nona menjadi hitam,” ujar Parmin sambil melirik sejenak pada gadis itu. Setelah itu, ia kembali meneruskan pekerjaannya.

“Memangnya orang lihat tidak boleh? Kalau kulitku jadi hitam, biar saja. Apa urusanmu?”

Parmin tersenyum geli mendengar ucapan gadis itu. Enak juga bekerja dimandori gadis cantik, katanya dalam hati.

“Eh, nona. Selamat siang. Mengapa nona berdiri disitu? Lihatlah, matahari demikian teriknya. Nanti kulit nona menjadi hitam,” ujar Parmin sambil melirik sejenak pada gadis itu. Setelah itu, ia kembali meneruskan pekerjaannya.

“Hei, kamu!” teriak Ranti lagi, “Dengarlah, aku ingin memberi saran padamu.”

“Saran? Saran apa maksudmu, nona?”

“Dengarlah baik-baik. Daripada kau memeras keringat seperti ini hanya untuk upah beberapa gulden dan sesuap nasi, lebih baik kau jadi anak buah ayahku. Ayah pasti senang menerimamu. Ilmu silatmu cukup tinggi.”

“Ah, ilmu silatku hanya sampai tingkat anak-anak kecil di desa ini.”

“Aku sungguh-sungguh!”

“Terimakasih atas saranmu. Tapi aku tak ingin jadi perampok. Merampok adalah pekerjaan haram. Aku lebih senang dengan upah kecil asalkan pekerjaan itu halal.”

“Haram? Apa maksudnya?”

Ah, orang ini benar-benar tak tahu ajaran agama, pikir Parmin diam-diam.

“Haram artinya sesuatu yang tidak diridhoi Tuhan. Sesuatu yang dilarang Tuhan. Sedangkan halal sebaliknya, nona.”

“Ayahku tak pernah berkata begitu.”

Ranti kemudian duduk di pematang sawah sehingga pakaiannya berlepotan lumpur.

“Nona jangan duduk di situ. Nanti pakaian nona jadi kotor.”

“Biar saja kotor. Nanti ada yang mencucikannya. Ayahku punya banyak pelayan perempuan yang juga memijat ayah bila sedang kecapaian.”

Itu namanya, gundik nona manis, kata Parmin dalam hati. Pemuda itu kembali meneruskan pekerjaannya, di bawah tatapan sepasang mata Ranti yang terlalu sukar ditebak maknanya.

Dan sejak itu pula, perasaan aneh di dalam hati Ranti makin menjadi-jadi. Jika sedang sendirian di rumah, ia merasa tak betah. Malam harinya, matanya sulit terpejam sebab wajah Parmin selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya.

Ada sesuatu gejolak perasaan tak menentu dalam dirinya jika bertemu dengan pemuda itu. Dan jika tak ketemu, perasaan itu malah semakin tak terbendung.

Sebagai gadis yang sudah terbiasa dimanja, Ranti pun tidak mau perduli sekarang. Pada sangkanya, ia boleh saja berbuat sesuka hati terhadap Parmin. Bukankah selama ini tak ada yang berani menolak kehendaknya?

Maka saban hari, Ranti selalu mendatangi Parmin. Ada-ada saja yang dikatakan atau ditanyakannya. Bahkan ketika pemuda itu sedang sembahyang, Ranti tak segan-segan duduk atau berdiri di dekatnya, sambil bertanya yang bukan-bukan. Kadang-kadang Parmin jengkel dibuatnya.

“Kenapa kau masuk ke mari tanpa seijin tuan rumah?” tanya Parmin pada suatu hari. Ucapannya tidaklah berupa pertanyaan, tetapi cenderung teguran atas kelancangan gadis itu.

“Aku bebas ke mana saja aku suka. Tak seorang pun berani melarangku.”

“Tapi ini rumah orang. Seharusnya kau tahu sopan santun.”

“Masa orang mau ketemu saja tidak boleh. Waktu aku datang ke sini, petani tua itu tidak ada. Aku tak mungkin capek-capek mencarinya hanya untuk permisi. Tapi kalau yang punya rumah ini marah, boleh saja. Besok tentu dia akan dihajar ayahku sampai mampus.”

“Dengar, nona! Seorang wanita masuk ke kamar laki-laki adalah berbahaya, apalagi kau seorang perawan.”

Ranti tidak tersinggung mendengar ucapan itu. Ia malah tersenyum manis, hingga kecantikannya tampak semakin nyata.

“Heh, siapa namamu? Parmin, ya? Parmin! Parmin! Kau suka sembahyang, bukan? Kau santri. Kata ayahku, orang yang suka sembahyang itu namanya santri. Tapi ayahku tidak senang melihat santri. Eh, apa sih gunanya sembahyang itu?”

Mendengar pertanyaan gadis itu, tergerak juga hati Parmin untuk menjelaskan. Bagaimana pun juga, ia menyadari Ranti jadi begitu hanya karena pengaruh lingkungan. Orang seperti Gembong Wungu tentulah tidak mau mengajarinya mengenai agama.

Diam-diam Parmin merasa kasihan juga, karena Ranti, telah terjerumus dalam kehidupan yang tak baik. Hidup dalam dunia kegelapan.

“Dengarlah, nona. Kau telah diberi mata untuk melihat keindahan. Telinga untuk mendengar musik yang merdu. Hidung untuk mencium bau yang harum semerbak. Mulut untuk merasakan lezatnya makanan serta otak untuk berfikir.

“Kau punya tangan, kaki, rambut yang ikal mayang dan punya tubuh yang indah molek. Semua itu adalah pemberian Tuhan, yang menciptakan semuanya itu.”

“Tapi yang menciptakan aku adalah ayah dan ibuku. Kau salah.”

“Bukan, nona. Pernahkan kau melihat seorang anak yang berwajah buruk, hidungnya pesek, mulutnya monyong, matanya juling serta pipinya tembem? Semua itu juga pemberian Tuhan.

“Ayah dan ibu si anak tentu tak menginginkan rupa anaknya seburuk itu. Semua orang tua ingin punya anak yang cantik seperti kau. Tetapi mereka tidaklah bisa menciptakannya itu. Ayah dan ibu hanya merupakan perantara untuk melahirkan kita ke dunia ini.”

“Ho-oh. Aku mengerti. Tetapi kalau memang begitu, berarti Tuhan tidak adil. Kenapa ada yang cantik dan ada yang jelek?”

“Ah, kau telah salah paham nona. Pernahkah kau lihat orang yang wajahnya buruk tapi perangainya baik, punya wajah cantik tapi perangainya jelek? Pasti pernah. Itulah keadilan Tuhan. Tuhan maha adil.

“Karena itu nona tidak boleh memandang orang dari segi luarnya saja. Rupa itu hanyalah pembungkus yang kelak pasti akan hancur dimakan tanah.”

“He-em. Aku mengerti. Kau betul. Lalu apa hubungannya dengan sembahyang?”

“Kita telah diciptakan Tuhan seadil-adilnya. Tuhan mencintai umat-nya, Maha Penyayang dan Pengasih. Oleh karena itu, kita wajib berterimakasih dan membalas kasih sayangnya dengan sembahyang dan mematuhi semua perintahNYA.

“Merampok adalah pekerjaan yang dilarang Tuhan, karena perbuatan itu merampas hak orang lain, menyiksa orang lain. Suatu saat, Tuhan akan menghukum orang yang berbuat demikian.”

Ranti tampaknya belum memahami sepenuhnya kata-kata Parmin yang mirip khotbah itu. Tetapi ucapan itu menambah rasa kagum di hatinya.

Kadang-kadang, gadis itu membuntuti Parmin tanpa sepengetahuannya. Atau kadang-kadang ia mencegat di tengah jalan. Seperti di siang hari bolong itu, ketika Parmin berjalan sendirian di hutan sambil membawa sekeranjang pisang dan kacang tanah.

“Hei, buat apa kau bawa pisang dan kacang tanah?” tanya Ranti setengah berteriak.

“Buat kawan-kawanku.”

“Kawan-kawanmu? Bolehkah aku ikut? Aku ingin tahu siapa kawan-kawanmu itu. Boleh, kan?”

“Kenapa nona selalu mengikuti aku? Aku takut terjadi apa-apa. Nanti aku pula yang disalahkan.”

“Betul, Parmin. Terus terang saja, sejak ayah tahu kita telah berkenalan, ayah merasa tak senang padamu. Alasannya karena kau selalu sembahyang. Kata ayah itu tidak baik.

“Tapi aku senang bersahabat denganmu. Kau baik hati, dan sikapmu lain dari pemuda-pemuda di desa ini.”

Parmin manggut-manggut mendengar ucapan gadis itu.

Tak lama kemudian, kedua insan berlainan jenis itu sampai ke Plangon.

“Hei, kawan-kawan. Silakan turun. Aku membawa oleh-oleh untuk kalian!” seru Parmin sambil menatap ke sekelilingnya.

Sekejap kemudian, monyet-monyet berloncatan dari balik pepohonan, dan langsung mengerumuni Parmin.

Ranti terkejut bukan main, manusia bisa bersahabat dengan binatang, pikirnya.

“Lihatlah mereka, nona. Mereka hidup rukun, tidak saling merebut hak kawannya. Sebuah contoh yang baik bagi manusia.”

“Apakah setiap hari kau melakukannya terhadap binatang-binatang ini? Dan apakah hanya untuk mereka pula kau memeras keringat setiap hari? Apa gunanya berkawan dengan monyet?”

“Oh, kau jangan salah mengerti nona. Aku bekerja bukan untuk mereka, tapi untuk diriku sendiri. Bersahabat dengan mereka tentu ada gunanya. Karena binatang lebih tahu membalas budi kepada kita.”

“Aku jadi tak mengerti.”

“Mungkin karena nona belum membuktikan sendiri. Tapi sebagai orang baik, kita harus menyayangi binatang, karena mereka pun adalah makhluk ciptaan Tuhan. Kita tak boleh menyiksa binatang apalagi menyiksa manusia.

“Kita tidaklah boleh membunuh makhluk di bumi dengan seenaknya saja tanpa rasa perikemanusiaan. Karena itu dapatlah kau bayangkan, betapa jahat dan terkutuknya perbuatan para perampok.”

“Lihatlah mereka, nona. Mereka hidup rukun tidak saling merebut hak kawannya. Sebuah contoh yang baik bagi manusia.”

Ranti tersentak mendengar kata-kata itu. Perampok! Hatinya berulang kali membisikkan kata-kata itu. Bukankah ayahnya Gembong Wungu adalah perampok, bahkan rajanya perampok?

Kalau memang apa yang diucapkan Parmin, berarti ayahnya adalah orang yang tidak baik. Tetapi selama ini ayahnya selalu berbuat baik padanya, selalu memanjakan dan menyayanginya.

Kata-kata Parmin itu menjadi bahan pemikiran bagi Ranti pada hari-hari selanjutnya. Kisah menarik selama limabelas tahun terakhir ini tidak hanya terpaku pada Ranti, putri almarhum Gagak Ciremai yang dididik serta dibesarkan Gembong Wungu.

***

Masih di lereng Ciremai, cukup jauh dari tempat pembicaraan Parmin dan Ranti, ada sebuah hutan yang juga hampir tak pernah didatangi manusia.

Hutan itu sangat lebat dan banyak dihuni binatang buas. Tetapi sebenarnya bukan binatang-binatang berbisa dan buas itu yang membuat orang tak mau menginjakkan kakinya di hutan itu. Ada sesuatu di hutan itu, yang misterius sekaligus menyeramkan yang dari tahun ke tahun menjadi buah bibir dan semacam legenda.

Di hutan itu berkeliaran berbagai jenis makhluk halus seperti jin, hantu, mambang, peri, siluman, setan dan entah apa lagi. Seribu satu macam dedemit yang kabarnya tak kenal kompromi dengan manusia.

Sebagian penduduk malah percaya hutan itu adalah tempat perkumpulan segala jenis makhluk halus. Karena itu, penduduk tidak berani pergi ke hutan itu, sebab mereka percaya setiap orang yang berani menginjakkan kakinya di situ, pastilah akan menemui ajalnya di mangsa para dedemit itu.

Orang tua misalnya jika sedang memarahi anaknya, sering menyebut-nyebut hutan itu. Kukirim kau ke hutan dedemit itu, biar tahu rasa kamu. Dan biasanya, si anak langsung ketakutan dan tidak mau lagi melawan orang tuanya.

Walaupun demikian, jika misalnya ditanya apakah sudah ada yang pernah membuktikan kebenaran adanya makhluk-makhluk halus itu, mungkin semuanya akan menggelengkan kepala.

Di sinilah terlihat tidak sedikit manusia yang demikian mudahnya termakan hasutan. Kadang-kadang, orang juga suka mengada-ada mengatakan yang tidak ada itu ada.

Karena orang yang mendengarnya mudah terpengaruh, maka langsung saja percaya biarpun belum membuktikan sendiri. Pada satu sisi, manusia bisa diperbudak khayalan buruk yang tercipta karena mendengar cerita-cerita menyeramkan.

Di sebuah tempat yang agak lapang di tengah hutan angker itu, terdapat air terjun yang menurut kepercayaan orang adalah tempat para jin itu mandi.

Air terjun itu cukup tinggi, sekitar limabelas meter dan airnya pun cukup besar sehingga tekanannya cukup kuat. Itu terbukti oleh suara air menghantam bebatuan terdengar sampai ratusan meter. Dasar air terjun itu juga selalu mengepulkan uap mirip asap, padahal airnya sangat dingin.

Di dekat air terjun itu, di atas sebongkah batu tampak sesosok tubuh bergerak-gerak. Kadang-kadang lambat, kadang-kadang cepat sekali hingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Sosok tubuh itu rupanya sedang memainkan jurus-jurus ilmu silat tinggi. Apakah ada jin atau setan sedang berlatih silat?

Tidak! Sama sekali tidak. Sosok tubuh itu adalah manusia biasa, tepatnya wanita. Wajahnya sudah cukup tua, mungkin sudah enampuluh tahun.

Atau mungkin lebih muda sebenarnya, tetapi karena rambutnya awut-awutan dan pakaiannya pun compang-camping, ia tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Di wajahnya, terutama di bagian dahinya terlihat kerut-kerut yang nyata. Tidak hanya mencerminkan ketuaan, tetapi juga penderitaan bathin yang teramat sangat.

Wanita tua itu memainkan jurus-jurus ilmu pedang yang teramat dahsyat. Pedangnya diputar cepat sekali membentuk gulungan sinar kemerah-merahan, menandakan betapa cepatnya gerakan pedangnya.

Kadang-kadang ia meloncat tinggi ke udara, lalu meluncur bagaikan burung rajawali dengan gerakan menyambar ke bawah. Pedangnya menusuk sementara kedua kakinya menendang ke arah kiri dan kanan. Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya membentuk cengkeraman meluncur juga dengan kecepatan luar biasa dan mengandung tenaga dalam yang teramat dahsyat.

Serangan yang sangat mematikan. Dapat dipastikan, pendekar silat yang memiliki ilmu biasa-biasa saja, akan tewas oleh serangan itu.

“Ciaaat.......!” Wanita itu berteriak nyaring sambil mengerahkan tenaga dalam hingga tempat itu terasa bergetar. Bersamaan dengan itu, tubuhnya mendarat ringan di atas bongkahan batu. Pergelangan tangan kanannya diputar, sehingga pedangnya yang tadinya menusuk berubah menjadi membabat.

“Mampus kau, laknat! Mampus kau. Mampus.......!” teriak wanita itu dengan beringas.

Tetapi kemudian, tiba-tiba ia menjatuhkan diri menelungkup di atas batu sambil menangis tersedu-sedu.

“Kakang, oh kakang. Betapa beratnya penderitaan bathinku. Tapi akan kubalaskan dendam pada si laknat itu. Waktu itu akan segera tiba kakang. Si bangsat itu pasti mati di tanganku.......”

Mendadak, ia bangkit lagi, Matanya yang masih basah kini berubah merah bagaikan memancarkan api. Rupanya dalam keadaan sedih ia tetap waspada.

Pendengarannya yang sangat tajam menangkap suara mendesis-desis di atas pohon. Sewaktu ia mengangkat wajah, tampaklah olehnya seekor ular belang-belang sebesar paha orang dewasa melingkar di dahan pohon, sementara mulutnya terbuka, siap mematuk mangsa yang lewat di bawah.

“Kebetulan aku sudah lapar sekali. Sejak tadi perutku keroncongan,” ujarnya setengah bergumam.

Secepat kilat wanita itu meloncat. Seberkas cahaya menghantam leher ular itu, hingga putus seketika oleh pedang di tangan wanita itu.

Wanita itu kemudian menarik tubuh ular yang panjangnya lebih sepuluh meter. Dipotongnya tubuh ular itu menjadi tiga bagian sambil tak henti-hentinya terkekeh-kekeh.

“He-he-he.......! Makan besar aku hari ini. Kupotong menjadi tiga. Yang paling besar ini buat kau, kakang. Yang tengah untukku dan ekornya buat anak kita.”

Lalu dilahapnya daging ular mentah itu. Darah segar menetes dari mulutnya. “Enak........ enak sekali. Puas, puas rasanya sekarang. Kakang, lihat tetangga kita juga merasakannya.......”

Malam harinya, wanita itu menanggalkan semua pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu duduk bersila di tengah-tengah air terjun yang deras dan penuh gemuruh itu. Tak terlihat bahwa wanita itu terganggu oleh derasnya air terjun yang menimpa tubuhnya.

Ia juga tak merasa kedinginan sedikit pun juga. Suatu pertanda betapa hebatnya tenaga dalam wanita itu. Siapakah sebenarnya wanita itu?

Tak ada yang mengetahuinya. Sebab jangankan menjenguknya ke hutan angker itu, membicarakan hutan itu saja orang sudah pada takut. Orang mungkin per nah mendengar suaranya jika kebetulan agak dekat ke hutan itu. Tetapi orang yang mendengarnya tentulah menjadi ketakutan karena mengira suara itu adalah suara para dedemit.

Suatu malam ketika rembulan sedang bersinar dengan terangnya. Angin bertiup sepoi-sepoi. Dedaunan bergoyang-goyang berkilau-kilau ditimpa sinar rembulan. Suasana sangat sepi, karena penduduk sudah tidur lelap di bawah selimut.

Hanya beberapa orang saja penjaga di sekitar rumah Gembong Wungu masih berjaga-jaga. Tetapi tanpa sepengetahuan para penjaga itu, wanita penghuni hutan angker telah menyelinap masuk ke halaman rumah.

Dengan gerakan ringan bagaikan kapas, wanita itu meloncat ke atas genteng. Ia melangkah sambil mengendap-endap lalu mengintip ke bawah. Sebentar kemudian, wanita itu melayang turun ke halaman rumah.

Seorang penjaga yang berdiri terkantuk-kantuk di dekat jendela kamar Ranti masih belum menyadari kehadiran orang asing di tempat itu.

Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, wanita itu menghantam tengkuk penjaga hingga roboh seketika. Suara jerit tertahan yang keluar dari mulutnya rupanya sempat menarik perhatian penjaga lainnya. Namun penjaga yang satu itu pun tak luput dari sasaran hantaman wanita misterius itu.

Suara berisik itu rupanya tak luput dari perhatian Ranti. Sebagai pendekar yang sejak kecil telah digembleng untuk selalu waspada, ia segera terbangun dari tidurnya. Dengan gerakan yang sangat ringan dan cepat, ia meloncat ke luar dari jendela.

Persis ketika ia menginjakkan kakinya di tanah, sesosok tubuh penjaga yang dilemparkan meluncur ke arahnya. Ranti terpaksa membuang diri ke samping hingga tidak terjadi tabrakan. Ketika ia berdiri kembali, maka tampaklah olehnya seorang wanita berdiri tegak sambil menghunus sebilah pedang di hadapannya.

“Heh, siapa kau? Saya akan menghajarmu, berani datang ke mari membikin keonaran. Sebutkan namamu!” bentak Ranti geram.

Wanita asing itu tiba-tiba tersenyum. Di bawah sinar rembulan terlihat senyumnya itu begitu lembut dan penuh kasih sayang, tidak sinis. Beberapa saat, Ranti merasa terpukau melihatnya. Dadanya berdebar tidak karuan, entah karena apa.

“Oh, Ranti. Ranti, kau sudah besar, cantik jelita dan gagah perkasa.”

Alangkah terkejutnya Ranti mendengar orang itu menyebut namanya dengan sikap yang sangat akrab dan lembut, seolah-olah sebelumnya sudah kenal padanya

“Kau tahu namaku? Siapa kau sebenarnya? Apa maksudmu datang ke sini dan membunuh orang-orangku?”

“He-he-he.........! Mereka yang lebih dulu menyerangku, anak manis. Aku datang ke mari untuk mencari Gembong Wungu, Di mana dia?”

“Oh, jadi kau ingin menghadapi ayahku? Kalau begitu hadapilah aku lebih dulu!” bentak Ranti sambil menghunus pedangnya.

Namun tiba-tiba, Kosim pembantunya yang sangat setia datang ke tempat itu. Dengan sangat terburu-buru dan agak gugup, pelayan tua itu menarik tangan Ranti.

“Aduh, tobat. Tunggu dulu, den. Sabar, den. Sabar.” Kosim kemudian duduk bersimpuh sambil memeluk kedua kaki Ranti.

Ranti terkejut, karena tak biasanya pelayannya yang setia itu bersikap demikian.

“Heh, Pak Kosim. Apa artinya semua ini? Kenapa sikapmu jadi begini?”

“Ampun, Den. Jangan, jangan hadapi dia. Aku....... oh, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu. Tolonglah, simpan pedang itu kembali. Ampun, Den. Ya, Allah........”

“Apa maksudmu, Pak Kosim? “Mengapa semua ini bisa terjadi” Aku sungguh tak mengerti.”

Tiba-tiba wanita itu tertawa cekikikan sambil menatap Ranti dan Kosim bergantian dengan tatapan aneh.

“Baiklah anak manis. Aku pergi dulu. Katakan kepada Gembong Wungu aku ingin bertemu dengannya kapan saja ia mau........”

Sebelum Ranti dapat menguasai kebingungannya, sosok tubuh wanita itu melesat seperti seekor burung walet terbang ke pohon.

“Katakan kepada Gembong Wungu, aku selalu menantinya di Cadas Kuriling.......” kata wanita itu sambil berlalu. Tubuhnya hilang di balik pepohonan.

Ranti tertegun beberapa saat.

Perasaannya semakin tak menentu dan otaknya pun penuh tanda tanya. Dan sinar mata wanita tua itu, kenapa membuat dadanya berdebar tak karuan?

“Pak Kosim,” kata Ranti kemudian, “Mengapa wanita itu mencari ayahku? Dia bahkan menantangnya untuk bertarung di Cadas Kuriling. Siapakah dia, Pak Kosim? Tampaknya kau mengenalnya. Katakanlah padaku.”

“Saya....... saya tidak tahu, Den. Sungguh saya tidak tahu. Aku hanya khawatir tadi terhadap keselamatan aden, karena ayah aden tidak ada di rumah,” kata Kosim gugup.

“Kau jangan bohong, Pak Kosim.”

“Ah, buat apa saya berbohong, Den? Saya sungguh tak mengenalnya. Permisi, Den. Saya harus bekerja sekarang.” Lelaki itu segera berlalu dari hadapan Ranti.