Jaka Sembung 5 - Airmata Kasih Tertumpah Di Kandang Haur(2)

Setelah itu, ia bisa melarikan diri sambil membawa Roijah dengan lebih leluasa. Sebab pada kenyataannya, centeng-centeng itu belumlah mampu mengimbanginya sekalipun menyerang secara berbarengan.

Namun dalam pertarungan itu tadi, Ranti hanya berfikir untuk bisa melarikan diri. Bahkan karena belum pernah bertarung secara sungguhan, ia menjadi panik. Ia merasa takut gagal menyelamatkan dirinya dan Roijah.

Kini gadis itu telah memasuki hutan. Sementara musuh-musuhnya masih mengejar di belakang. Ranti menerjang rerumputan dan semak-semak dengan berlari sekuat tenaga.

“Bangsat! Sialan! Setan betina itu makin jauh. Ayo, cepat. Kita harus menangkapnya!” Terdengar teriakan di belakangnya. Makin lama, Ranti makin jauh masuk hutan hingga akhirnya memasuki kawasan hutan Loyang.

“Stop! Stop!” teriak si Punuk geram. Teman-temannya sesama centeng berhenti, lalu menghampirinya dengan nafas tersengal-sengal.

“Ada apa? Kenapa kita berhenti?”

“Kita tak perlu mengejarnya lagi. Hutan ini angker, dihuni dedemit yang buas, dan binatang- binatang berbahaya. Biarlah wanita iblis itu mati diterkam macan.”

'Ya, kau memang benar. Hutan ini angker. Sejak dari dulu, hanya orang gila yang mau masuk ke sini. Aku juga takut, sebaiknya kita pulang saja,” sambung si Gotom yang rupanya hanya kumisnya saja yang panjang tapi nyalinya sangat kecil.

“Tapi bagaimana nanti nasib kita? Van Eisen tentu akan marah besar, bahkan pasti akan menghukum kita. Menurut pendapat ku, sebaiknya kita mengejar monyet betina itu dan harus menangkapnya. Ia tentu tak bisa melarikan diri jauh-jauh, karena di samping sangat letih, saya yakin ia belum mengetahui seluk-beluk hutan ini.”

“Ah, biarlah!” kata si Punuk dengan ketus, “Biarlah nanti aku yang bertanggungjawab. Dalam keadaan malam begini, bagaimana bisa kita mengejarnya? Kalian lihat sendiri tadi, wanita siluman itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Nyawa ku nyaris melayang di ujung senjatanya.”

“Aku sangat setuju. Di samping itu, wanita itu tentu tidak akan bisa selamat selama berada di tengah hutan angker ini. Kalau tidak diterkam binatang buas, tentu ia akan dimangsa setan penghuni hutan ini.”

“Tuan Van Eisen sudah memutuskan akan menghukum mati Roijah. Sekarang ia dibawa kabur. Mungkin nanti kita sendiri yang akan dihukum mati sebagai gantinya!”

“Kau terlalu khawatir, sobat. Saat ini kita memang gagal menangkapnya. Tetapi percayalah, cepat atau lambat orang itu pasti tertangkap. Ayo, kita pulang saja,” kata si Punuk seraya menarik lengan kawannya.

“Ya, baiklah kalau begitu.”

Para centeng penjaga gudang penggilingan Van Eisen itu segera pulang meninggalkan hutan itu. Tanpa mereka sadari, si Kinong mendengar semua pembicaraan mereka dari balik pepohonan hanya beberapa meter dari tempat itu.

Anak kecil yang sangat lincah itu sebenarnya bermaksud mengejar Ranti tadi. Tetapi karena kalah cepat, Kinong akhirnya jadi tertinggal. Sedangkan para centeng itu pun semakin dekat, sehingga ia segera bersembunyi di balik pepohonan.

Kini setelah para centeng bertampang seram itu meninggalkan hutan, Kinong menjadi gembira. Ia segera keluar dari tempat persembunyiannya, lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan, sambil bernyanyi-nyanyi.

“Jrik pung jrik.
Plang ketimpang plang.
Paling enak siang-siang makan rujak pecel,
dimakannya di bawah pohon aren.
Centeng-centeng itu kayak sambel,
itulah kerbo piaraan Van Eisen......”

Lagu itu dinyanyikannya berulang-ulang, sehingga suaranya terdengar dan bergema ke sekeliling penjuru hutan. Suara Kinong yang kecil nyaring, membuat gema suaranya terdengar agak menyeramkan. Seandainya ada yang mendengarnya, mungkin orang itu akan ketakutan karena mengira suara itu adalah suara kuntilanak sedang menyanyi.

Sementara itu, si dara tangkas Ranti masih berlari sekencang-kencangnya, seolah-olah centeng-centeng Van Eisen masih mengejar di belakang. Roijah yang berada di pundaknya belum juga sadarkan diri.

Agaknya wanita itu menderita luka-luka yang sangat parah. Ia seharusnya mendapat perawatan yang baik, bukannya dipanggul dengan berlari-lari. Goncangan-goncangan yang dialaminya karena dibawa berlari-lari tentu akan membuat luka-lukanya semakin parah.

Tetapi Ranti seperti tidak menyadarinya.

Dara jelita itu terus berlari walaupun kecepatannya mulai berkurang karena tenaganya semakin terkuras. Ia makin jauh masuk hutan. Pepohonan semakin tinggi dan rapat dengan akar-akar malang melintang. Ranti menjadi sangat hati-hati, takut tersandung, atau siapa tahu ada jurang yang tertutup dedaunan dan semak-semak.

Agaknya, hutan itu belum pernah didatangi manusia. Tak ada tanda-tanda bahwa hutan itu telah pernah didatangi apalagi dihuni orang. Hal itu membuat Ranti semakin hati-hati. Tiba-tiba kaki Ranti menginjak rawa-rawa, gelap dan dingin sekali.

“Aduh! Aku masuk rawa-rawa!” kata gadis itu tanpa sadar.

Karena sudah terlanjur, Ranti meneruskan langkahnya. Makin ke tengah rawa-rawa itu ternyata semakin dalam hingga sampai sebatas dadanya.

Dasar rawa-rawa itu terlumpur dan sepertinya mengandung tenaga sedotan yang sangat kuat. Ranti mulai cemas, apalagi karena rawa-rawa itu cukup luas. Sejenak ia menyesal karena terlanjur masuk ke sana. Tetapi untuk berbalik lagi juga sudah percuma.

Sewaktu kecil, Ranti sudah pernah mendengar cerita bahwa di tengah-tengah hutan biasanya ada rawa-rawa yang sangat berbahaya. Rawa-rawa seperti itu bisa menyedot benda apa saja yang masuk hingga tenggelam dan hilang. Karena hal itu, orang-orang sering bilang di dalam rawa-rawa itu ada makhluk halus pemangsa manusia.

Akan tetapi Gembong Wungu dahulu menjelaskan kepada Ranti bahwa sebenarnya di tengah rawa seperti itu tidak ada apa-apa. Adanya daya sedot rawa-rawa bukanlah karena ada setan dan sejenisnya, melainkan karena adanya pergeseran air dan lumpur sewaktu terinjak.

Oleh karena itu, jika sudah terlanjur masuk rawa-rawa berbahaya, sebaiknya jangan panik dan meronta-ronta. Hal itu bukannya bisa memberikan jalan keluar, malahan akan membuat tubuh lebih cepat terbenam. Demikian pesan Gembong Wungu.

Untuk membuktikan ucapannya itu, si raja rampok Gembong Wungu pernah membawa Ranti ke sebuah rawa-rawa di tengah hutan di lereng Ciremai. Disaksikan oleh Ranti, pendekar bermata satu itu masuk ke dalam rawa-rawa dan meronta-ronta.

Akibatnya, tubuhnya menjadi terbenam. Jagoan yang memiliki berbagai ilmu kesaktian itu kemudian memperlihatkan cara yang paling baik untuk menyelamatkan diri dari dalam rawa-rawa itu.

Ranti teringat pesan ayah angkatnya itu. Ia pun berhenti sejenak sambil menghela nafas dalam-dalam. Ia memusatkan perhatiannya, lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Tak lama kemudian, Ranti menggerak-gerakkan kedua kakinya, setengah berjalan dan berenang.

Benar juga pesan Gembong Wungu itu. Tubuh Ranti tidak terbenam lagi. Bahkan makin lama, ia semakin dekat ke tepi rawa dan akhirnya selamatlah dia bersama Roijah.

Uh, aku sudah sangat lemah, keluhnya dalam hati. Tetapi kemudian, Ranti merasa terkejut ketika merasakan benda-benda kecil dan licin merayap di kedua kakinya. Geli dan terasa menjijikkan. Benda apakah gerangan itu?

Ranti memperhatikan kedua kakinya. Ternyata lintah! Puluhan binatang kecil penghisap darah itu tampak sedang merayap di kakinya.

Hampir saja Ranti berteriak kaget. Tapi ia segera dapat menguasai diri. Ia menurunkan tubuh Roijah, lalu berusaha melepaskan lintah-lintah itu.

Kata orang, melepaskan lintah harus memakai air ludah, pikirnya. Lalu ia membasahi tangannya dengan air ludah. Benar juga, lintah-lintah itu dengan mudah dapat dilepaskannya.

Lintah-lintah sialan. Kau seperti serdadu Kumpeni Belanda saja, kerjanya hanya menghisap darah orang! Maki Ranti geram.

Ia lalu mengangkat tubuh Roijah dan melanjutkan perjalanan. Ia mulai berfikir bahwa tempat itu kurang menyenangkan. Padahal sebenarnya tubuhnya sudah sangat lelah. Itu sebabnya ia memaksakan diri meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat peristirahatan yang cukup nyaman.

Ranti terus berjalan dengan langkah yang mulai terseok-seok.

Tanpa ia sadari, ada sepasang mata mengawasinya dari atas pepohonan. Ia seorang wanita berusia tua, mungkin sudah berumur sekitar enampuluh tahun.

Agaknya wanita berambut putih itu bukanlah orang sembarangan. Ia bukannya duduk di dahan pohon melainkan bergelantungan dengan posisi kepala ke bawah, sementara kedua ujung kakinya dikaitkan ke dahan. Kedua tangannya didekapkan di dada.

Nafasnya terdengar sangat teratur. Posisi seperti itu adalah semedi yang sangat baik untuk mengatur kelancaran peredaran darah.

Tetapi di kalangan dunia persilatan, semedi dengan posisi tubuh terbalik seperti itu biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah memiliki kesaktian tinggi. Karena di samping harus mampu menguasai peredaran darahnya yang jadi terbalik, ia juga harus menumpukan berat badannya hanya pada kedua ujung kakinya yang terkait ke dahan.

Ranti terus melangkah tanpa menyadari orang aneh yang sedang berada di atas. Namun baru beberapa meter melewati tempat itu, tiba-tiba terdengar sapaan yang membuat Ranti terkejut bukan main.

“Tunggu dulu, nona......”

Hah, seperti suara wanita. Apakah aku tidak salah dengar? Jangan-jangan itu suara kuntilanak, pikir Ranti sambil menggenggam hulu pedangnya.

Ketika Ranti membalikkan tubuh, tampaklah olehnya seorang wanita meloncat dari atas pohon dan mendarat di tanah dengan sangat ringan sehingga hampir tak menimbulkan suara. Diam-diam Ranti terkejut juga, karena sebagai orang yang memiliki ilmu silat kelas tinggi, ia segera dapat melihat bahwa wanita tua itu bukanlah orang sembarangan.

“Siapakah yang kau gendong itu, nona manis? Hendak kau bawa ke mana dia?” tanya wanita itu juga.

Ranti tidak segera menjawab. Matanya yang senantiasa berbinar tajam mengawasi wanita tua di depannya. Rambut wanita itu cukup panjang dan sudah hampir semuanya memutih, dibiarkan awut-awutan sampai ke pinggulnya.

Ia mengenakan baju dan celana panjang sebatas betis serba hijau dan di pinggangnya dililitkan ikat pinggang berupa sabuk dari kain berwarna hitam. Wajah nenek tua itu sudah keriputan terutama di bagian kening dan pipinya. Kulit tangannya pun sudah mengendur dan tubuhnya kurus.

Akan tetapi sinar mata wanita tua itu tampak masih berbinar tajam, pertanda ia masih memiliki semangat hidup yang berkobar-kobar. Ranti tidak lupa memperhatikan senyum di bibir nenek tua itu.

Menurut penilaiannya, senyum itu tulus dan tampaknya wanita itu memiliki hati yang welas asih dan bersikap lembut. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, Ranti tidak mau percaya begitu saja. Sebab bagaimana pun juga, orang yang tampaknya baik hati itu belum tentu kenyataannya begitu.

Buah yang dari luar tampak bagus juga belum tentu rasanya enak. Begitu halnya buah yang kelihatannya jelek, mungkin isinya enak, seperti buah embacang misalnya. Ranti sudah sering mendengarnya, bahkan membuktikan sendiri.

“Hai nona manis, kenapa kau diam saja? Siapa yang kau gendong itu dan hendak mau kau bawa ke mana dia?” tanya wanita tua itu lagi.

“Kenapa kau menanyakannya, nenek tua? Siapakah kau?”

“Tampaknya kau seorang gadis yang galak, padahal wajahmu cantik jelita. Buat apa kau menanyakan diriku, nona manis?”

“Baiklah kalau begitu. Di antara kita tak ada urusan apa-apa. Harap kau minggir agar aku melanjutkan perjalanan.”

“He-he-he, tidak semudah itu nona manis. Jawab dulu pertanyaan saya tadi, baru kau boleh pergi.”

“Dasar nenek peot, tak tahu diri. Kalau kau memang ingin tahu siapa aku, sebutkan dulu namamu. Jangan kau kira aku takut padamu! Ayo, jangan sampai aku kehilangan kesabaran.”

“Aduh, galak sekali! Tapi baiklah, aku perkenalkan diriku. Namaku Nyi Saidah. Cukup, bukan? Sekarang giliranmu memperkenalkan diri, setelah itu berikan wanita yang kau gendong itu padaku.”

Mendengar ucapan Nyi Saidah yang terakhir tadi, bukan main marahnya Ranti. Dadanya bagaikan hendak meledak menahan amarah. Ia sudah mempertaruhkan nyawa untuk membawa Roijah melarikan diri.

Sekarang nenek peot yang mengaku bernama Nyi Saidah itu malah memintanya dengan sikap seolah-olah sangat pandang remeh pada Ranti. Maka tanpa pikir panjang lagi, Ranti segera menghunus senjatanya dan bersiap-siap mengadu nyawa dengan wanita tua di hadapannya.

Dalam pikiran gadis itu, Nyi Saidah adalah antek-antek Kumpeni Belanda yang sengaja disuruh untuk merebut Roijah kembali. Demi apapun juga, Ranti bertekad akan mempertahankan Roijah. Bahkan ia rela mati daripada harus melepaskan Roijah ke pihak musuh.

“Rupanya nenek tua yang sudah hampir masuk liang kubur masih mau jadi anjing penjajah Belanda. Sekarang terimalah ini, hiaaaat…….!”

Sambil menggendong tubuh Roijah, Ranti meloncat dengan kecepatan tinggi dan menyabetkan goloknya ke arah pinggang Nyi Saidah. Serangan itu masih cukup berbahaya dan jika mengenai sasaran niscaya lawan akan rubuh dan tewas seketika.

Namun dengan gerakan yang sangat ringan, Nyi Saidah meloncat tinggi ke udara, sehingga sabetan golok Ranti hanya mengenai angin. Sewaktu masih melayang di udara, tubuh Nyi Saidah berjumpalitan beberapa kali menjauhi Ranti.

“Tunggu dulu, nona manis. Jangan menyerang aku seperti itu. Apakah kau tidak kasihan melihat nenek tua seperti aku? Seranganmu sangat ganas, aku bisa kehilangan nyawa di ujung senjatamu.”

Mendengar ucapan Nyi Saidah, makin panas juga hati Ranti. Sebab gadis itu menanggapi kata-kata nenek tua itu adalah sindiran, seolah-olah mengatakan serangan Ranti tidak ada apa-apanya, bahkan jika mau, Nyi Saidah dalam Sekejap bisa membunuh Ranti.

Sebagai gadis yang sudah terbiasa hidup manja, amarah Ranti lebih cepat berkobar. Dulu sewaktu masih hidup dalam asuhan Gembong Wungu, tak seorang pun berani berlaku kasar padanya.

Semua penduduk di desa Perbutulan menghormati dan menakutinya. Selain karena Ranti memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, penduduk juga sangat menakuti Gembong Wungu. Sedangkan Ranti sendiri suka mengadu kepada ayah angkatnya itu.

Dan biasanya Gembong Wungu tidak mau tahu apakah Ranti yang salah atau benar. Ia langsung saja menghukum orang yang diadukan Ranti, tanpa memberikan orang itu kesempatan untuk membela diri.

Sekarang mendengar ada orang yang berani mengejek sekaligus merendahkan dirinya, bukan main geramnya Ranti. Ia kembali berteriak nyaring sambil menyerang Nyi Saidah, dengan ganas.

Namun kembali wanita tua itu dapat dengan mudah mengelakkan serangan Ranti. Tubuhnya bagaikan kapas saja melayang tinggi ke udara, kemudian kedua kakinya mendarat dengan ringan di atas dahan pepohonan.

“Tunggu dulu, nona manis. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Percayalah, aku tak bermaksud jelek,” kata Nyi Saidah dari atas pohon.

“Tidak! Ayo, turun kau nenek peot. Biar kau tahu, aku lebih baik mati daripada menyerahkan orang ini padamu. Kalau kau memang menginginkannya, turunlah.

“Mari kita selesaikan persoalan kita sampai salah seorang di antara kita mati. Jangan kau kira aku takut padamu, nenek siluman. Akan kucincang tubuhmu sampai halus.”

“Kau terlalu takabur, nona. Serahkan dia padaku,” bentak Nyi Saidah.

Tubuh wanita tua itu tiba-tiba jungkir balik. Kedua kakinya mengait dahan pohon sehingga tubuhnya bergayutan seperti seekor monyet. Beberapa detik kemudian, kedua tangannya mencengkeram ke arah Roijah.

Tentu saja Ranti sangat terkejut melihat kehebatan wanita tua itu. Apalagi setelah menyaksikan betapa cepatnya gerakan musuh. Ia segera merunduk sehingga kedua tangan Nyi Saidah tidak berhasil menjangkau tubuh Roijah. Dengan kecepatan kilat, Ranti lalu menyabetkan pedangnya ke arah perut Nyi Saidah.

“Tak ada gunanya menyerang aku, nona!” kata Nyi Saidah sambil mengayunkan tubuh ke belakang sehingga senjata Ranti kembali gagal mengenai sasaran.

“Kau pasti mampus di tanganku, nenek peot!” bentak Ranti tak kalah geramnya.

Pedang ia ayunkan secara beruntun mengincar tubuh lawan. Dengan gerakan yang sangat cepat tetapi terlihat santai, Nyi Saidah menggoyang-goyangkan tubuhnya sedemikian rupa sehingga semua serangan Ranti tidak mengenai sasaran.

Dan sampai sebegitu jauh, Nyi Saidah tidak balas menyerang seolah-olah sedang memberikan kesempatan kepada lawan untuk mengeluarkan semua ilmunya. Tak terkatakan betapa kesalnya hati Ranti. Tidak adakah artinya ilmu yang selama ini ia pelajari?

Masakan hanya menyerang lawan yang sedang bergelantungan di atas pohon saja dia tidak bisa? Sialnya lagi, Nyi Saidah sama sekali tidak melawan, seperti hendak mempermainkannya.

Nyi Saidah rupanya sudah bisa membaca pikiran Ranti. Wanita tua itu tetap bergelantungan dengan posisi terbalik, sehingga makin lama Ranti semakin penasaran. Serangannya pun semakin ngawur, apalagi dalam kondisi yang sangat lemah seperti itu, belum lagi karena ia sedang memanggul tubuh seorang gadis.

Saking kesalnya melihat serangannya tak satu pun berhasil melukai lawan, Ranti melemparkan pedang persis mengarah ke bagian dada Nyi Saidah. Senjata itu menyambar sangat cepat sehingga membentuk kilatan cahaya bagaikan pelangi. Selain itu, Ranti menyambitkan tiga bilah pisau kecil ke arah musuh yang sangat dibencinya itu.

“Serangan yang sangat berbahaya,” kata Nyi Saidah.

Wanita tua itu lalu melesat ke atas dahan yang lebih tinggi lagi. Pisau-pisau Ranti lagi-lagi hanya mengenai angin, lalu tertancap di dahan pohon. Nyi Saidah memang berhasil mengelakkan serangan beruntun dari Ranti, tetapi ia sempat terdesak dan terpaksa meloncat lebih tinggi lagi.

Kesempatan itu digunakan Ranti untuk melarikan diri dari hutan tersebut.

Apa boleh buat, aku harus menyingkir dari tempat ini. Tetapi aku tak takut padanya. Suatu saat nanti, aku pasti akan membuatnya bertekuk lutut di hadapanku. Akan kurobek mulutnya yang teramat lancang itu. Bahkan bila perlu akan kucincang tubuhnya, kata Ranti dalam hati.

Setelah memungut pedangnya, Ranti segera mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Tubuhnya lalu melesat dengan mempergunakan ilmu loncatan 'Kidang Lembayung', sehingga tubuhnya meloncat sejauh beberapa tombak.

Ranti berlari menembus semak belukar dan berkelebatan di antara pepohonan. Ranti telah menyadari bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, ia tak mungkin mampu mengalahkan nenek tua itu. Terlalu memaksakan diri juga tak ada artinya.

Itu sebabnya Ranti terpaksa pula menekan rasa dongkol dalam hatinya. Ia masih sangat penasaran dan belum menerima kalah dari nenek tua itu.

Tunggulah nenek sialan. Suatu saat nanti aku akan mencarimu. Akan kucincang tubuhmu! Aku tidak takut padamu! Ranti memaki-maki di dalam hati. Ia merasa bahwa hatinya tidak akan pernah lega sebelum membuat Nyi Saidah bertekuk lutut. Ranti terus berlari, entah sudah berapa jauh.

Ia hampir lupa segala-galanya, sebab ia pikirkan sekarang adalah bagaimana dapat berlari sejauh mungkin membawa Roijah agar tidak ada yang mengganggunya lagi.

Putri kandung Gagak Ciremai itu memang memiliki kekuatan luar biasa. Semangatnya juga masih berkobar-kobar ditambah tekad kokoh bagaikan batu karang.

Sejak dari desa Kandang Haur sambil menggendong tubuh Roijah ia bertarung habis-habisan dengan puluhan centeng Van Eisen. Kemudian berlari lagi dan bertarung dengan Nyi Saidah. Setelah itu berlari lagi dengan mengerahkan segenap tenaganya.

Sejak kecil, Ranti juga sudah digembleng dengan keras oleh almarhum Gembong Wungu. Selama latihan, ia sudah terbiasa menguras tenaga. Tetapi bagaimana juga, gadis itu juga sama seperti manusia lainnya yakni mempunyai kemampuan yang terbatas.

Orang bisa saja menguasai ilmu kelas tinggi yang mungkin jarang tandingannya. Boleh memiliki tenaga luar biasa pula, tetapi ada batasnya.

Ranti seolah-olah lupa akan keadaan dirinya sendiri, sehingga masih terus memaksakan diri berlari. Tiba-tiba tubuhnya kejang karena terlalu banyak menguras tenaga. Kakinya terpeleset, kemudian terpelanting beberapa meter bersama tubuh Roijah.

Sejenak kedua tubuh gadis itu berguling-gulingan, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi dengan posisi tubuh miring dan saling berdekatan. Ranti tidak ingat apa-apa lagi.

Di saat Ranti tak sadarkan diri, tiba-tiba Nyi Saidah muncul di tempat itu. Diam-diam wanita tua itu rupanya mengikuti ke mana Ranti tadi melarikan diri.

Ketika diserang Ranti dengan pisau, dia terpaksa melompat ke dahan pohon yang lebih tinggi lagi. Kesempatan itu digunakan Ranti melarikan diri.

Akan tetapi dengan ilmunya yang sangat tinggi, Nyi Saidah dengan segera dapat menyusul Ranti dan terus membuntuti dari belakang tanpa sepengetahuan gadis itu. Sebenarnya, wanita berambut putih itu tidak sungguh-sungguh tadi sewaktu bertarung atau sewaktu diserang Ranti.

Seandainya ia mengerahkan segenap kemampuannya dan jika ia mau, mungkin keadaannya akan jadi lain. Namun ada satu pertimbangan bagi Nyi Saidah yang membuatnya merasa tak perlu melayani kekerasan hati Ranti.

Apalagi ketika Ranti menuduhnya anjing Belanda yang hendak merebut Roijah, diam-diam Nyi Saidah merasa geli juga sekaligus gemas. Tetapi tadi, Ranti tidak mau memberinya kesempatan menjelaskan siapa dia sebenarnya.

Melihat Ranti terjatuh tadi, tahulah Nyi Saidah bahwa gadis itu sudah pingsan. Ia segera menghampiri tubuh Roijah dan mengurut-urut tubuh gadis itu dengan maksud untuk mengembalikan daya guna urat syaraf Roijah.

Nyi Saidah tampak menghela nafas sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika memperhatikan luka-luka di bagian punggung Roijah. Untuk Roijah segera bisa tertolong. Kalau tidak, luka-luka bekas cambukan di tubuhnya bisa berakibat fatal.

Sambil mengurut-urut tubuh Roijah, mulut nenek tua yang sudah ompong itu tak henti-hentinya mengunyah-ngunyah daun-daunan untuk dijadikan obat mengobati luka-luka di sekujur tubuh gadis itu. Ramuan itu kemudian dioleskan ke luka-luka di tubuh Roijah.

Sehabis mengobati Roijah, Nyi Saidah segera meninggalkan tempat itu. Mungkin wanita tua itu hendak mencari ramuan obat yang lebih baik lagi. Atau mungkin juga sengaja merahasiakan kehadirannya entah dengan maksud apa.

Malam sudah berganti pagi. Embun turun membasahi bumi.

Udara di pagi itu dipenuhi bunyi kicauan burung-burung, seolah-olah menciptakan nada-nada yang sangat ceria, datang dari jarak berbeda-beda. Jarak seluas udara itu seolah-olah menunjukkan sebuah kehidupan.

Oh, alangkah senangnya hidup. Alangkah indahnya kalau bisa hidup dan mencintai hidup.

Dan jika hidup itu sendiri tidak menjanjikan penderitaan dan perpisahan yang sangat menyakitkan, terutama dengan orang-orang yang dicintai. Tetapi adakah hidup yang hanya menjanjikan keindahan? Di mana gerangan ada kehidupan seperti itu?

Ranti sudah sering memikirkannya, namun belum pernah menemukan jawabannya. Ia sekarang sudah bangun dari tidurnya. Tubuhnya terasa lebih segar setelah istirahat dan tidur entah berapa jam lamanya.

Sinar mentari pagi menerobos dari celah-celah dedaunan, menerpa wajahnya, seolah-olah menyuruh Ranti untuk segera bangkit. Ketika Ranti menggosok-gosok matanya, Roijah pun terbangun. Ia masih tidur menelungkup, karena sekujur punggungnya yang penuh luka cambuk masih nyeri. Ia melirik ke sekelilingnya, hanya pepohonan dan semak-semak.

Roijah merasa sangat asing, atau apakah ia sedang bermimpi? Seingatnya, ia berada di dalam penjara gudang penggilingan padi milik Van Eisen. Tetapi kenapa ia sekarang berada di tengah hutan? Apakah ia benar-benar telah terbebas dari sekapan serdadu penjajah?

“Oh, di manakah aku sekarang?” ujar Roijah dengan suara setengah merintih.

Ranti melirik ke arah Roijah dengan girang.

“Kau sudah terbangun, kak Roijah?”

Roijah menatap Ranti. Tak terkatakan betapa terkejutnya gadis itu ketika menyadari bahwa gadis yang kini berada di dekatnya sama sekali tak ia kenal. Seumur hidupnya rasanya ia belum pernah melihat wajah itu.

Lama juga Roijah mengingat-ingat, sebab siapa tahu ia telah lupa. Tetapi ia kembali merasa yakin bahwa ia belum pernah bertemu dengan wanita di sampingnya.

Akan tetapi kenapa wanita cantik di dekatnya itu mengetahui namanya? Bahkan wanita itu menyebut namanya dengan sikap akrab seolah-olah mereka sudah cukup lama saling kenal.

“Kenapa kau diam saja, kak Roijah?” tanya Ranti membuat lamunan Roijah buyar.

“Aku...... aku tak tahu. Di manakah aku sekarang? Kenapa ada di tengah hutan ini? Apakah aku sedang bermimpi? Siapakah kau sebenarnya? Aku......” kata Roijah tergagap.

Ranti tersenyum manis. Ia bisa memaklumi sikap Roijah. Bahkan seandainya ia sendiri yang mengalami nasib seperti Roijah, sikapnya pun pasti seperti itu. Ya, siapa pun tentu akan heran sekaligus cemas jika tanpa sadar telah berada di tengah hutan bersama seseorang yang tak dikenal.

Roijah sama sekali belum kenal kepada Ranti. Dan apa maksud gadis itu belum diketahui? Ranti bisa saja bermaksud baik padanya, tetapi juga tak tertutup kemungkinannya sebagai orang jahat yang bermaksud buruk padanya.

Sedangkan saat ini, kondisi Roijah masih sangat lemah, luka-lukanya pun masih sangat nyeri. Jadi seandainya nanti Ranti hendak mencelakakan dirinya, tak ada kemungkinan baginya untuk menyelamatkan diri.

“Tenanglah, kak Roijah. Tetaplah berbaring. Tubuhmu masih sangat lemah, luka-lukamu masih sangat parah. Jangan banyak bergerak nanti keadaanmu tambah parah.”

“Apakah kau yang menolongku? Siapakah kau sebenarnya?”

“Ah, kak Roijah. Sebaiknya kau bisa agak bersabar sejenak. Saat ini sebaiknya kau tak perlu tahu siapa aku sebenarnya. Nanti aku akan menjelaskan semuanya.”

“Aku masih penasaran,” ujar Roijah sambil berusaha bangkit.

Tetapi tiba-tiba, tubuhnya jatuh lemas kembali. Luka-lukanya terasa semakin nyeri. Bahkan karena terlalu memaksakan diri bergerak tadi luka cambuk di tubuhnya sebagian mengeluarkan darah kembali.

“Aduh......” rintih Roijah hampir tak terdengar.

“Apa kubilang, kak Roijah? Sebaiknya kau tenang-tenang saja dulu. Tetaplah berbaring seperti tadi.”

“Aku masih sangat penasaran. Tolong katakan, siapa kau sebenarnya? Jika kau adalah orang-orang dari pihak Kumpeni Belanda, tolong jangan biarkan aku hidup lebih lama lagi. Bunuhlah aku sekarang juga daripada harus diserahkan kembali kepada Kumpeni Belanda.”

“Ah, kak Roijah. Apakah tampangku memang mirip anjing Belanda atau adakah alasan bagimu mencurigaiku seperti itu?”

“Kalau begitu, siapakah kau sebenarnya?”

“Nanti aku akan menceritakannya, kak Roijah. Sekarang berbaringlah dengan tenang agar luka-lukamu lebih cepat sembuh. Aku akan menyiapkan sarapan pagi kita.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Roijah segera berbaring.

Ranti membalikkan badan, lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak segera mencari sarapan pagi, melainkan terlebih dulu mandi di sebuah kolam kecil berupa mata air yang sangat jernih dan sejuk sekali.

Tadi Ranti sebenarnya kebetulan saja lewat dari tempat itu ketika sedang mencari makanan sekadar mengganjal perut. Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu segera menanggalkan semua pakaiannya. Lalu ia berendam sepuas hati.

Sambil berendam di air sejuk dan jernih, Ranti teringat akan perkenalannya dengan Parmin beberapa waktu lalu. Saat itu Ranti masih dalam asuhan si raja rampok Gembong Wungu dan sama sekali belum mengetahui bahwa jagoan bermata satu itu bukanlah ayah kandungnya.

Ketika itu, Ranti mandi di kali di hutan sepi tak jauh di belakang desa Perbutulan. Ketika sedang menyisir rambut sambil berjemur di atas sebongkah batu, tiba-tiba ia melihat Parmin tak jauh dari tempatnya mandi.

Ranti geram bukan main, karena mengira lelaki itu sedang mengintipnya mandi. Tanpa memberikan Parmin kesempatan membela diri, Ranti segera menyerang dengan ganas.

Seandainya Parmin tidak memiliki ilmu silat tinggi, besar kemungkinan ia akan mati di tangan Ranti. Sebab saat itu Ranti masih sangat kolokan dan siapa saja yang dianggap berani lancang berbuat kotor padanya harus diserang tanpa tanggung-tanggung.

Dan jika orang itu misalnya mati, itu dianggap hukuman setimpal. Ayahnya Gembong Wungu pun tidak akan menyalahkan, bahkan pasti membelanya dan membenarkan sikapnya itu. Melirikan mata sedikit saja kepada Ranti sudah dianggap sangat kurang ajar, apalagi kalau sampai mengintipnya mandi.

Tetapi ternyata, Parmin bukanlah orang sembarangan. Pemuda itu selain memiliki wajah tampan dan sikap yang simpatik, juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kemudian Ranti mengetahui pula bahwa Parmin adalah pendekar sakti yang namanya tersohor ke seluruh lereng Ciremai, yakni pendekar Jaka Sembung.

Di kalangan dunia persilatan, nama itu telah bagaikan suatu perlambang kehebatan dan kesatriaan seorang pendekar. Karena Jaka Sembung tidak pernah menggunakan ilmunya untuk menyusahkan orang, bahkan senantiasa membela yang baik dan orang-orang dalam kesusahan.

Pendekar itu juga berupaya keras mengusir kaum penjajah dari bumi nusantara tercinta. Bukan seperti tokoh lainnya, seperti Gembong Wungu misalnya, malahan menambah penderitaan rakyat yang tadinya sudah sengsara lantaran kejamnya pemerintahan Kumpeni Belanda.

Ranti tidak terlalu mempersalahkan diri sendiri karena terlanjur mencintai Parmin. Bahkan menurut perkiraannya, siapa pun pasti menaruh perasaan yang sama jika punya pengalaman yang sama sewaktu bertemu dengan lelaki perkasa itu.

Dulu Ranti hampir selalu bisa memiliki apa saja yang ia inginkan. Sebab apa saja yang ia minta, pastilah akan dikabulkan Gembong Wungu.

Tetapi sekarang, gadis itu menyadari bahwa dalam hidup ini tidaklah semua keinginan itu bisa dipenuhi. Seandainya pun dia masih hidup bersama Gembong Wungu seperti dulu, ayahnya itu tentulah tidak akan bisa memberikan atau merampas cinta dari hati Parmin untuk diberikan padanya.

Manusia bisa diperbudak, bisa ditaklukkan dengan berbagai cara dan usaha. Tetapi hati nuraninya tetaplah miliknya, tidak bisa di kuasai orang lain. Itu sebab jasad manusia bisa dijajah, namun tidaklah demikian dengan hati sanubarinya.

Dalam kehidupan sekarang ini, orang-orang masih banyak yang kurang menyadarinya. Anak-anak orang kaya misalnya bisa saja meminta keinginannya kepada orang tuanya.

Tetapi jika meminta cinta tentulah tidak akan bisa diberikan. Sebab cinta lahir sendiri, tanpa disadari dan tanpa direncanakan. Dan cinta itu tidaklah bisa dipaksakan.

Seseorang bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu, tetapi ia tak mungkin bisa dipaksa mencintai seseorang. Di sinilah terlihat, bahwa di dalam hidup ini semuanya serba terbatas. Dan harta duniawi bukanlah jaminan bagi orang untuk meraih kebahagiaan.

Jadi jika ada yang beranggapan bahwa yang bahagia itu hanyalah orang kaya, itu bukanlah anggapan yang benar. Kurang apa rupanya Ranti sewaktu di dalam asuhan Gembong Wungu? Tetapi ia kemudian merasa hidupnya gersang, setelah jatuh cinta kepada Parmin. Ia merasa dalam hidupnya ada yang kurang, bahkan terasa ada yang hilang.

Setelah usai mandi, Ranti mulai menyusuri hutan itu mencari apa saja yang bisa dijadikan sarapan pagi. Rupanya di hutan itu jarang sekali ada pohon yang buahnya bisa dimakan. Hanya pohonnya saja yang besar dan tinggi, buahnya tak ada gunanya!

Gadis itu bersungut-sungut dalam hati. Jangan-jangan aku mati kelaparan di tengah hutan ini, pikirnya kesal. Tetapi tiba-tiba telinganya mendengar suara gemerisik dedaunan kering, pasti itu binatang. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, Ranti mendekat ke arah suara itu dan mengintip dari balik semak-semak.

Seekor rusa jantan yang beranjak dewasa tampak sedang memakan rumput dengan lahap, sama sekali tak menyadari ada sepasang mata sedang mengawasi. Pucuk dicinta ulam tiba. Ini kesempatan baik, tak boleh dilewatkan begitu saja.

Ini makanan yang amat lezat, pikir Ranti sambil memungut batu yang sedikit lebih besar dari kepalan tangannya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, Ranti menyambitkan batu itu ke arah rusa jantan yang sedang merumput. Batu itu menyambar cepat sekali.

“Tak!” Dengan sangat telaknya, batu itu menghantam tepat bagian batok kepala rusa jantan itu. Demikian kuatnya sambitan batu itu hingga kepala rusa itu pecah. Sambil mengoek, tubuh rusa itu ambruk.

Darah segar bercampur benak berhamburan dari kepalanya yang telah berantakan.

“Ha-ha-ha...... dapat makanan yang enak aku hari ini. Roijahpun tentu akan senang nanti,” gumam Ranti sambil melangkah menghampiri rusa itu.

Dibelai-belainya bulu binatang bertanduk itu dengan lembut. Sayang, pikirnya, binatang seelok engkau harus mati di tanganku. Tapi mungkin sudah takdirmu, mungkin jika tidak begini engkau pun akan dimangsa macan. Bukankah lebih baik aku yang memakanmu daripada macan?

Sambil tersenyum-senyum, Ranti memanggul tubuh rusa bernasib malang itu. Tetesan darah dari bagian kepala binatang itu tidak di perdulikan Ranti, sehingga bajunya basah dan merah.

Ranti benar-benar girang, sewaktu berjalan pulang ke tempatnya tadi tidur bersama Roijah, ia bernyanyi-nyanyi kecil.

Ternyata Roijah sudah duduk bersandar pada batang pohon besar di tempat itu. Wajahnya tidak sepucat tadi lagi. Sepasang matanya mulai bersinar-sinar, menatap ke arah Ranti yang sedang membawa seekor rusa jantan.

“Hai, apakah yang kau bawa itu? Dapat dari mana kau rusa sebesar itu?” tanya Roijah terheran-heran.

“Tenanglah, kak Roijah. Kita akan makan besar hari ini. Orang Belanda yang paling kaya pun belum tentu mampu makan menjangan seperti ini.”

“Kau selalu menyebut-nyebut Belanda. Apakah kau punya hubungan dengan penjajah itu?” tanya Roijah sambil mengerenyitkan kening hingga tampak berkerut-kerut.

“Ya,” sahut Ranti seenaknya.

“Kau tentu kenal baik bangsat-bangsat sialan itu. Bahkan bisa jadi...... maaf, orang-orang kita pun banyak yang mau jadi anjing mereka. Bahkan kaum perempuan kita tidak sedikit yang jadi gundik serdadu penjajah itu......”

“Ya, kau benar!” sahut Ranti tanpa melirik kepada Roijah.

Gadis itu meletakkan rusa di atas tanah. Setelah itu, ia mengumpulkan dedaunan dan ranting-ranting kering. Dua buah bongkah batu cadas ia adukan disertai tenaga dalam hingga menimbulkan percikan api.

Dengan cara kuno seperti itu, Ranti dapat menyalakan api. Dalam sekejap, api sudah menyala-nyala. Ranti lalu menguliti dan memotong-motong daging rusa itu dan menusuknya dengan ranting-ranting kayu.

“Hari ini kita akan makan daging panggang sepuas-puas hati. Kau tentu senang, bukan?”

Roijah memperhatikan ketrampilan Ranti dengan pandangan rasa kagum. Diam-diam, ia merasa bersyukur juga, karena dalam keadaan seperti itu ada orang yang mau menolongnya, biarpun di dalam hati ia yakin bahwa di balik kebaikan Ranti, pasti ada maksud tertentu. Entah apa!

“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi,” ujar Roijah.

“O, iya! Aku lupa. Kak Roijah menanyakan apa tadi?” tanya Ranti ternyata melirik wanita itu sejenak. Lalu ia mulai memutar-mutar daging rusa yang telah dipotong-potongnya di atas api.

“Itu tadi, masalah gundik Belanda. Bukankah tadi kau pun mengakui bahwa gadis-gadis kita banyak yang jadi gundik penjajah itu adik yang manis?”

“Iya, ya. Memang banyak gadis kita seperti itu. Maksud kakak sebenarnya apa? Apa maksudnya menanyakan masalah gundik Belanda?”

“Kau tadi bilang punya hubungan dengan Belanda. Tapi...... saya tak berani mengatakan jika seandainya adik yang demikian muda dan cantik jelita adalah wanita seperti itu.”

Ranti tertawa ngakak sehingga suara tawanya bergema sampai ke seluruh penjuru hutan belantara itu. Ia merasa sangat geli mendengar ucapan Roijah. Tetapi ia sama sekali tidak tersinggung, sebab ia yakin Roijah sengaja memancingnya untuk menceritakan siapa sebenarnya dirinya.

“Jadi kak Roijah menuduh saya ini gundik Belanda?”

“Ah, aku tidak menuduh seperti itu. Aku hanya bertanya saja. Adik jangan salah paham.”

“Aku tidak salah paham. Tapi kalau memang aku ini adalah gundik Belanda, kak Roijah mau apa? Itu hak ku, bukan? Aku kira kak Roijah tak berhak melarangku bersenang-senang dengan para serdadu penjajah itu.”

“Jadi......?” seru Roijah tercekat.

Ranti tampak tak acuh. Sambil tersenyum, ia memanggang daging lainnya. Bau sedap daging panggang itu memenuhi sekitar hutan.

Roijah diam-diam merasa sangat lapar. Tetapi ia masih sangat penasaran karena Ranti tadi sepertinya telah mengakui dirinya adalah gundik Belanda.

“Adik yang baik hati, bolehkah aku tahu namamu? Dari mana asalmu?”

“Tunggulah, kak Roijah. Tak baik membicarakan hal-hal serius dalam keadaan lapar. Kata temanku dahulu, jika bicara selagi lapar lidah kita bisa keseleo.”

“Bila perlu aku tidak akan makan. Jangan kira aku mau makan-makanan anjing Belanda. Lebih baik aku mati kelaparan.”

Ranti tidak menyahut lagi. Daging panggangnya sudah matang. Ia meletakkannya di atas dedaunan dan kemudian menyuguhkannya di hadapan Roijah.

“Sayang tidak ada garam dan cabe. Daging panggang ini pasti semakin lezat. Tapi tak apalah, tanpa apa-apa juga enak, bukan? Ayo, kita makan saja. Makanlah sebanyak-banyaknya biar kesehatanmu cepat pulih kembali.”

Roijah menatap Ranti dengan sinar mata yang terlalu sukar di mengerti maknanya. Ada keraguan terpancar dalam sinar mata gadis itu, ada rasa tak senang dan entah apa lagi. Ia memperhatikan Ranti yang sedang makan daging panggang dengan sangat lahapnya.

“Hei, kenapa kak Roijah diam saja? Ayo, makanlah, kak. Jangan diam saja. Ingat, kakak sedang sakit. Jika tak makan banyak, penyakit kakak pasti susah sembuhnya.”

“Aku tak mau makan sebelum kau mengakui siapa sebenarnya dirimu.”

“Ah, kak Roijah tampaknya terlalu sulit percaya pada orang. Padahal kakak adalah seorang pendekar yang dikagumi orang. Sekalipun misalnya ada alasan bagi kakak untuk mencurigai saya, apakah sikap seperti itu baik?”

“Ah, adik yang manis. Saya jadi merasa tak enak. Tapi baiklah sekarang aku akan makan bersamamu.”

Roijah lalu makan dengan lahap seperti halnya Ranti. Sambil mengunyah-ngunyah daging panggang itu, Roijah memperhatikan wajah Ranti. Sungguh sangat cantik dan cerdas pikirnya. Tetapi tampaknya gadis di hadapannya itu agak kolokan dan tidak begitu perduli akan perasaan orang lain.

Melihat gerak-gerik Ranti, yakin pulalah Roijah bahwa gadis itu bukan orang sembarangan. Pastilah pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi.

Kalau tidak demikian, mustahil Ranti bisa membawanya kabur dari tahanan gudang Van Eisen, kemudian melarikannya sampai ke tengah hutan ini. Entah siapa sebenarnya gadis di hadapannya itu dan dari golongan mana pula, sehingga mau menyelamatkannya.

Sejenak Roijah agak ragu juga mengenai kecurigaannya terhadap Ranti. Sebab menurut pikiran Roijah, kalau misalnya Ranti bermaksud jelek padanya bisa saja gadis itu membunuhnya sewaktu ia sedang tak sadarkan diri. Tapi siapa tahu, Ranti memang ingin menangkapnya hidup-hidup. Bukankah orang-orang Kumpeni Belanda suka berbuat seperti itu?

“Adik yang manis,” ujar Roijah setelah beberapa saat terdiam dan termenung, “Saya sebenarnya sangat berterima kasih padamu terutama atas keberanianmu menyelamatkan aku dari penjara Van Eisen. Saya tak tahu bagaimana caranya membalas budi baikmu ini.

“Sekalipun misalnya adik bermaksud jelek padaku, tapi sedikitnya untuk saat ini saya bisa menikmati udara bebas. Sekarang kalau adik tidak keberatan, tolonglah katakan, siapa sebenarnya adik ini?”

“Kak Roijah, sebaiknya kita selesai makan dulu. Ayah ku...... eh, maksudku temanku dulu sering bilang tidak baik bicara kalau lagi makan. Nanti sajalah, kak. Percayalah, saya akan menceritakan semuanya.”

Mereka makan kembali dengan lahapnya. Ranti makan dengan sikap yang santai dan tidak malu-malu. Mulutnya tampak terbuka lebar-lebar di kala mengunyah makanan dan menimbulkan bunyi menciplak keras.

Lain halnya dengan Roijah, tampak agak hati-hati dan makan dengan mulut kebanyakan tertutup kalau sedang mengunyah, karena ia memang seorang anak bangsawan. Melihat cara makan kedua gadis itu, bisa diterka keduanya mempunyai sifat yang agak berbeda.

Ranti lebih supel dan terbuka dan tampak lebih ceria dan lincah. Ia tidak terlalu pintar menyembunyikan isi hatinya, karena cenderung bicara ceplas-ceplos.

Lain halnya dengan Roijah, selain tampak jauh lebih dewasa dari Ranti, gadis ayu itu kelihatannya punya sifat yang agak hati-hati dan perasa pula. Di samping itu, Roijah tampaknya kurang ceria dan suka termenung.

Ranti sendiri tidak terlalu memperdulikan sikap Roijah. Sebab selama ini ia memang sudah terbiasa tidak mau perduli akan perasaan orang. Ranti sekarang datang ke kawasan Kandang Haur bukan karena ia seorang pejuang yang ingin bahu membahu dengan pendekar lainnya untuk mengusir penjajah.

Selama ini malah hampir tidak pernah memikirkan masalah penjajahan dan bagaimana mengusir Belanda dari bumi nusantara tercinta. Ia mempunyai maksud lain yang sifatnya sangat pribadi dan hanya perlu diketahui Roijah sendiri.

Demikian bergejolaknya hasrat di hati Ranti untuk mengatakannya kepada Roijah, sehingga ia menempuh perjalanan yang sangat jauh dengan jalan kaki dari desa Perbutulan ke desa Kandang Haur. Ia berlari dan berjalan masuk keluar hutan kurang lebih dari satu minggu, sebelum sampai di desa Kandang Haur.

Namun tadinya, Ranti sama sekali tidak menyangka bahwa Roijah akan mengalami musibah ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh pemerintah Kumpeni Belanda. Untunglah ia segera tiba di desa itu dan berhasil menyelamatkan Roijah.

Seandainya tidak, barangkali Roijah tidak akan bisa hidup lebih lama lagi.

Seusai makan, Ranti segera membenahi sisa-sisa makanan mereka dan menyimpan daging rusa yang tersisa. Ia lalu mengambil air minum dari mata air jernih dan sejuk tak jauh dari tempat itu dengan dedaunan, kemudian memberikannya kepada Roijah.

“Minumlah, kak. Tentunya kau sudah haus setelah makan panggang tadi.”

“Terimakasih, dik. Kau sangat baik.”

“Terimakasih juga atas pujian kakak.”