Pendekar Rajawali Sakti 101 - Rahasia Dara Iblis(1)


SATU
MALAM sudah begitu larut menyelimuti seluruh wilayah Kadipaten Galumbu. Seluruh jalan di kota kadipaten itu kelihatan sunyi senyap, tanpa terlihat seorang pun berkeliaran di sepanjang jalan tanah berdebu ini. Angin bertiup cukup kencang, menyebarkan udara dingin dan debu di sepanjang jalan.

Di malam yang sunyi ini, terlihat seseorang tengah berjalan perlahan-lahan memasuki Kota Kadipaten Galumbu. Dari bentuk tubuhnya yang ramping dan berkulit putih halus terbungkus pakaian ketat berwarna hitam, jelas kalau orang itu adalah wanita. Dia tampak terus berjalan memasuki kota kadipaten ini, seakan tidak mempedulikan kesunyian dan hembusan angin yang begitu dingin menusuk tulang.

Dari raut wajahnya yang cantik, kelihatan kalau usianya masih muda. Paling-paling baru sekitar dua puluh satu tahun. Namun sorot matanya terlihat begitu tajam, tanpa berkedip memandang lurus ke ujung jalan yang dilaluinya. Sebilah pedang yang ujung gagangnya berbentuk sebuah bintang berwarna kuning keemasan, tersampir di punggungnya. Meskipun ayunan langkahnya lambat-lambat, tapi sangat ringan hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Dari sini bisa diduga kalau gadis itu bukan orang sembarangan dan pasti memiliki kepandaian tinggi.

"Hm...."

Sedikit gadis itu menggumam, ketika di ujung jalan di depan terlihat dua orang laki-laki berjalan ke arahnya. Maka ayunan kakinya dihentikan sebentar, kemudian kembali berjalan dengan sikap sangat tenang. Sementara dua orang laki-laki yang berjalan ke arahnya semakin dekat saja, sehingga mereka bertemu tepat di tengah jalan.

"Malam-malam begini mau ke mana, Nyi?" tegur salah seorang pemuda itu.

"Hm...."

Tapi pertanyaan itu hanya dijawab dengan gumaman saja oleh wanita itu.

"Terlalu berbahaya jalan malam-malam begini, Nyi," kata pemuda satunya lagi.

"Hm."

Lagi-lagi gadis itu hanya menggumam sedikit saja. Sementara, dua pemuda ini saling melirik dan memberi senyum. Memang bentuk tubuh dan wajah gadis ini bisa mengundang hasrat kaum lelaki.

"Boleh kuantar, Nyi...?" salah seorang pemuda itu menawarkan jasa dengan senyuman tersungging di bibir.

"Minggirlah. Aku tidak ingin mengotori tanganku dengan darah tikus jelek macam kalian!" tiba-tiba saja gadis cantik berbaju hitam itu mendengus dingin.

"Heh...?!"

Tentu saja dengusan bernada kasar itu membuat kedua pemuda ini jadi tersentak kaget. Tapi tidak lama kemudian, kedua pemuda itu jadi tertawa terbahak-bahak. Sedangkan gadis berbaju hitam ini hanya diam saja. Namun sorot matanya tertuju lurus ke depan, seakan tidak mempedulikan tawa kedua pemuda di depannya.

"Jangan terlalu galak begitu. Kami berdua ini orang baik-baik. Tidak ada maksud kotor di dalam hati kami, Nyi. Kecuali, kalau kau memang menginginkannya. He he he...."

"Ha ha ha...!"

"Hhh!... Mau ke mana, Nyi? Boleh kami antar pulang...?"

"Kalian sudah mulai memuakkan."

"He he he.... Jangan galak-galak, Nyi. Kau tambah cantik kalau galak begitu."

"Baiklah. Apa yang kalian inginkan...?"

"Ha ha ha...!"

Kedua pemuda itu jadi terbahak-bahak. Namun belum juga tawa mereka terhenti, mendadak saja....

"Hih!"

Sret! Bet!

Begitu cepat gadis berbaju hitam ini bergerak mencabut pedangnya, dan langsung dibabatkan ke arah dada kedua pemuda di depannya.

Wuk!

"Akh!"

"Aaa...!"

Tahu-tahu kedua pemuda itu sudah ambruk menggelepar di tengah jalan, dengan dada terbelah lebar mengeluarkan darah segar. Sementara dengan gerakan manis sekali, gadis cantik berbaju hitam itu memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung.

"Hhh! Phuih!"

Sambil menyemburkan ludahnya, gadis itu langsung saja melangkah pergi. Ditinggalkannya kedua orang pemuda yang masih menggelepar, meregang nyawa di tengah jalan ini. Tapi tidak berapa lama kemudian, kedua pemuda itu sudah mengejang, lalu kaku tidak bergerak-gerak lagi. Sementara, gadis berbaju hitam itu sudah lenyap tertelan gelapnya malam.

Jeritan melengking dari kedua pemuda itu rupanya membuat penduduk Kota Kadipaten Ga-lumbu jadi terbangun dari buaian mimpi. Terlebih lagi, yang rumahnya dekat jalan itu. Dan sebentar saja, sudah banyak pelita yang menyala. Lalu, disusul munculnya orang-orang dari dalam rumah. Mereka jadi tersentak kaget, begitu mendapati dua orang pemuda sudah tergeletak tak bernyawa di tengah jalan dengan dada terbelah mengeluarkan darah. Malam itu juga, seluruh penduduk di Kota Kadipaten Galumbu jadi gempar.

Tidak ada seorang pun yang tahu, apa yang telah terjadi. Sementara gadis berbaju hitam tadi sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Malam yang semula terasa sunyi dan dingin, kini jadi hangat oleh semakin bertambah banyaknya orang yang memadati jalan ini. Mereka ingin melihat dua sosok mayat yang menggeletak di tengah jalaa Namun, tidak ada seorang pun yang berusaha mendekati dan memindahkan kedua pemuda malang itu.

Mayat kedua pemuda itu baru diangkat, setelah muncul sepuluh orang prajurit kadipaten. Prajurit-prajurit itu segera menanyakan apa yang terjadi, tapi tidak seorang pun yang tahu. Mau tak mau mereka hanya bisa mengurus mayat kedua pemuda itu. Dan malam pun terus merayap semakin larut Kejadian malam ini membuat semua orang jadi bertanya-tanya, tapi memang sulit menemukan jawabannya.

Kematian dua orang anak muda semalam, bukan hanya menjadi buah bibir penduduk Kota Kadipaten Galumbu. Tapi juga sudah sampai terdengar telinga Adipati Gadasewu, orang yang berkuasa di Kadipaten Galumbu ini. Entah kenapa, sikap Adipati Gadasewu jadi berubah setelah mendengar kematian dua orang pemuda semalam. Dan ini tentu saja membuat Ki Jalaksena, orang yang paling dekat dengannya merasa keheranan. Sejak mendengar kabar itu tadi pagi, Adipati Gadasewu terus menyendiri dan merenung di taman belakang istana kadipatenan.

"Gusti Adipati...."

"Oh... kau, Ki Jalaksena. Ada apa...?"

Adipati Gadasewu agak terperanjat begitu Ki Jalaksena menegurnya, saat sedang duduk menyendiri di dalam taman belakang istana kadipatenan ini. Ki Jalaksena segera memberi sembah, kemudian mengambil tempat di depan adipati yang berusia muda ini.

"Maaf, Gusti. Hamba datang menghadap tanpa diminta," ujar Ki Jalaksena sambil memberi sembah hormat, dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

Adipati Gadasewu hanya tersenyum saja. Meskipun usianya jauh lebih muda, tapi kedudukannya memang jauh lebih tinggi daripada laki-laki tua ini. Dan sudah barang tentu, pangkat tidak melihat perbedaan usia. Kini, Adipati Gadasewu bangkit berdiri dan melangkah ke balik kursi panjang yang tadi didudukinya. Sedangkan Ki Jalaksena tetap duduk bersimpuh di atas rerumputan taman ini. Begitu hormat sikapnya. Bahkan kepalanya sedikit pun tidak diangkat, menekun rerumputan di depannya.

"Ada yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?" tanya Adipati Gadasewu langsung menebak

"Jika Gusti Adipati tidak marah."

"Apa yang harus kumarahi...?"

"Maaf, Gusti."

"Katakan saja, Ki. Apa yang ingin kau bicarakan denganku."

Ki Jalaksena tidak langsung mengutarakannya, dan terdiam beberapa saat. Sementara, Adipati Gadasewu hanya menunggu dan memandangi dengan sabar. Perlahan Ki Jalaksena mengangkat kepalanya. Segera diberikannya sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, seakan meminta izin untuk mengutarakan apa yang terkandung dalam hatinya saat ini.

"Maaf, Gusti. Sejak peristiwa semalam, hamba melihat sikap Gusti jadi lain. Sejak pagi tadi, Gusti selalu menyendiri di dalam taman ini. Maaf atas kelancangan hamba memperhatikan Gusti," ucap Ki Jalaksena dengan sikap sangat hormat. Lalu kembali diberikannya sembah hormat.

Namun kata-kata yang diucapkan Ki Jalaksena tidak membuat adipati muda ini jadi tersinggung. Bahkan jadi tersenyum. Lalu Adipati Gadasewu duduk kembali di kursi panjang yang terbuat dari kayu ini. Dipandanginya laki-laki tua berjubah putih yang duduk bersimpuh di depannya. Sebentar ditariknya napas dalam-dalam.

"Aku memang memikirkan kejadian semalam, Ki. Terus terang, seakan-akan peristiwa malam tadi memberi suatu tanda padaku, kalau kadipaten ini tidak lama lagi akan menghadapi suatu persoalan yang tidak bisa dipandang ringan," jelas Adipati Gadasewu pelan, disertai tarikan napasnya yang dalam.

"Firasat apa, Gusti?" tanya Ki Jalaksena.

"Entahlah, Ki. Sepertinya kejadian semalam merupakan awal peristiwa berdarah berikutnya," sahut Adipati Gadasewu, agak mendesah suaranya.

"Gusti! Sebaiknya hal itu tidak perlu dipikirkan terlalu dalam. Mungkin hanya pembunuhan biasa saja. Antara anak-anak muda," hibur Ki Jalaksena berusaha menenangkan pikiran adipati muda ini.

"Mungkin, Ki. Tapi...."

"Tapi kenapa, Gusti?"

"Hatiku jadi tidak enak, Ki. Aku sendiri tidak tahu, seakan-akan peristiwa semalam terjadi begitu dekat di depan mataku."

"Ah! Sudahlah, Gusti. Hamba rasa itu hanya perasaan Gusti sendiri."

"Hhh...!"

Beberapa saat mereka terdiam.

"Gusti, kedatangan hamba ke sini sebenarnya ingin mengabarkan, kalau Gusti Adipati ditunggu seseorang," jelas Ki Jalaksena lagi.

"Siapa, Ki?"

"Dia tidak mau menyebutkan namanya, Gusti. Katanya, ingin langsung bertemu Gusti Adipati sendiri. Dan hamba tadi memintanya menunggu dipendopo depan."

"Hm.... Apakah dia penduduk kadipaten ini?"

"Melihat dari pakaiannya, seperti bukan. Dan dia membawa pedang, Gusti."

"Orang persilatan..?"

"Mungkin."

"Baiklah, Ki Aku akan menemuinya. Suruh dia menunggu di bangsal agung."

"Baik, Gusti."

Setelah memberi sembah hormat, Ki Jalaksena bergegas meninggalkan adipati muda itu. Beberapa saat Adipati Gadasewu masih duduk merenung dalam taman ini. Dan baru setelah Ki Jalaksena tidak tidak terlihat lagi, taman belakang istana kadipatenan yang sangat megah ini ditinggalkannya.

Kadipaten Galumbu ini memang sangat besar, sehingga tidak heran kalau istana kadipatennya juga megah. Bahkan seperti bangunan istana kerajaan saja. Kadipaten Galumbu juga memiliki prajurit yang cukup banyak, hingga hampir di setiap_sudut selalu terlihat para prajurit berjaga-jaga.

Adipati Gadasewu yang masih berusia sekitar tiga puluh tahun itu duduk dengan agungnya di kursi berwarna kuning keemasan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi seorang laki-laki berusa sekitar dua puluh lima tahun yang duduk bersimpuh di lantai, sekitar sepuluh langkah di depannya. Di belakangnya terlihat Ki Jalaksena duduk bersimpuh mendampingi. Sementara sekitar sepuluh orang prajurit bersenjatakan tombak, terlihat berjaga-jaga di sekitar ruangan yang berukuran cukup luas dan megah ini

"Kisanak. Rasanya, aku belum pernah melihatmu. Ada keperluan apa hingga kau ingin bertemu denganku?" terdengar lembut dan ramah sekali suara Adipati Gadasewu.

"Maaf, Gusti Adipati. Hamba adalah utusan dari puncak Gunung Halimun," sahut laki-laki muda bertubuh kekar, terbungkus baju dari bahan sederhana berwarna biru. Sikapnya juga hormat sekali.

"Hm... Siapa namamu, Kisanak?" tanya Adipati Gadasewu lagi dengan kening berkerut

"Nama hamba Rondokulun, Gusti Adipati."

"Lalu, siapa yang mengutusmu?"

"Guru hamba. Eyang Gajah Sakti."

Kening Adipati Gadasewu jadi berkerut. Dipandanginya laki-laki bertubuh kekar yang mengaku bernama Rondokulun, utusan Eyang Gajah Sakti yang bermukim di puncak Gunung Halimun ini. Tapi beberapa saat kemudian, pandangannya beralih pada Ki Jalaksena.

"Ki Jalaksena...."

"Hamba, Gusti Adipati."

"Tinggalkan aku berdua saja dengannya. Juga kalian semua, Prajurit."

"Tapi Gusti...."

"Tdak apa-apa, Ki. Aku kenal betul Eyang Gajah Sakti. Dan sebagai utusannya, tentu dia membawa kabar penting yang hanya aku sendiri yang boleh mengetahuinya," kata Adipati Gadasewu memutuskan ucapan Ki Jalaksena.

"Baik, Gusti. Hamba akan tetap berjaga-jaga di depan pintu," ujar Ki Jalaksena tidak bisa lagi membantah.

Ki Jalaksena memberi sembah hormat, lalu bangkit berdiri. Kemudian kakinya melangkah ke luar dari ruangan ini, diikuti para prajurit yang memang tadi diperintahkan untuk berjaga-jaga. Setelah Ki Jalaksena tidak terlihat lagi di balik pintu, Adipati Gadasewu bangkit dari kursinya. Dihampirinya Rondokulun yang masih tetap duduk bersimpuh di lantai beralaskan permadani berbulu tebal

"Rondokulun, bangunlah...," ujar Adipati Gadasewu meminta.

"Hamba, Gusti Adipati."

Setelah memberi sembah, Rondokulun bangkit berdiri. Tapi sikapnya masih tetap hormat, tanpa sedikit pun berani mengangkat kepalanya. Sedangkan Adipati Gadasewu merayapinya beberapa saat dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Kau datang ke sini diutus Eyang Gajah Sakti. Kalau demikian, pasti ada kabar yang sangat penting, hingga kau ingin bertemu langsung denganku," kata Adipati Gadasewu.

"Benar, Gusti Adipati. Hamba membawa kabar yang sangat penting dari Eyang Gajah Sakti," sahut Rondokulun.

"Hm, katakan kabar apa yang kau bawa."

"Gusti, sebenarnya Eyang Gajah Sakti sudah tiada...," pelan sekali suara Rondokulun.

"Apa...?!"

"Pesan yang hamba bawa, diucapkan pada saat terakhir."

Adipati Gadasewu hanya diam saja, seperti tidak mendengarkan. Memang, hatinya tadi begitu terkejut saat mendengar Eyang Gajah Sakti yang dikenal sebagai pertapa di puncak Gunung Halimun sudah tiada. Sungguh suatu kabar yang tidak diinginkan.

"Gusti...."

"Oh...?!" Adipati Gadasewu tersentak. Buru-buru sikapnya diperbaiki.

"Hm, Rondokulun. Bagaimana meninggalnya Eyang Gajah Sakti?" tanya Adipati Gadasewu.

"Hamba sendiri tidak tahu apa yang terjadi, Gusti. Saat itu, hamba sedang mencari kayu bakar. Tapi belum juga terkumpul, terdengar jeritan yang datangnya dari arah pertapaan. Hamba langsung kembali, dan mendapatkan Eyang Gajah Sakti sudah terkapar berlumuran darah."

"Jadi Eyang Gajah Sakti dibunuh orang?"

"Benar, Gusti. Sayangnya, hamba tidak tahu pembunuhnya. Tapi Eyang Gajah Sakti sempat menitipkan pesan padaku agar disampaikan pada Gusti Adipati Gadasewu di Kadipaten Galumbu ini"

"Apa pesannya?"

"Eyang Gajah Sakti meminta agar Gusti Adipati berhati-hati. Seseorang akan mencari dan membunuh Gusti. Tapi bukan hanya itu saja. Karena yang paling penting, Eyang Gajah Sakti juga berpesan agar Gusti Adipati menjaga satu-satunya barang yang dititipkannya."

"Hm...."

"Maaf, Gusti. Eyang Gajah Sakti sudah satu pekan meninggal. Dan hamba baru sempat datang hari ini, karena harus mengurus pertapaan dulu," ucap Rondokulun.

"Itu lebih baik, Rondokulun Daripada tidak sama sekali."

"Gusti, hamba sudah melaksanakan amanat Eyang Gajah Sakti. Sekarang, hamba mohon diri," ujar Rondokulun berpamitan.

"Kau ingin ke mana, Rondokulun?"

"Hamba akan pergi mengembara, Gusti. Karena hamba sudah tidak punya tempat tinggal lagi. Sedangkan untuk kembali ke pertapaan, sudah tidak mungkin lagi. Dan yang penting, hamba sudah melaksanakan pesan Eyang Gajah Sakti untuk membakar habis pertapaan," sahut Rondokulun.

"Sebaiknya kau jangan pergi, Rondokulun. Tinggallah di sini. Paling tidak, untuk beberapa hari. Masih banyak yang ingin kuketahui tentang Eyang Gajah Sakti selama aku tidak lagi tinggal di sana," kata Adipati Gadasewu meminta.

"Tapi, Gusti...."

"Kau ada keperluan lain?"

Rondokulun menggeleng.

"Nah! Kalau begitu, tinggalan di sini barang beberapa hari. Aku pasti akan membutuhkanmu di sini. Paling tidak, untuk menghadapi pembunuh Eyang Gajah Sakti. Rondokulun! Kau murid Eyang Gajah Sakti. Dan aku juga muridnya, walaupun ketika aku di sana, kau belum ada. Dan aku yakin, kepandaianmu cukup tinggi. Maka kuingin kau membantuku membekuk pembunuh guru kita," kata Adipati Gadasewu.

"Oh! Jadi..., Gusti Adipati...."

"Kau terkejut kalau kita saudara seperguruan, Rondokulun..?"

"Dewata Yang Agung.... Tidak kusangka kalau Gusti Adipati juga murid Eyang Gajah Sakti."

Adipati Gadasewu tersenyum. Ditepuknya pundak Rondokulun dengan lembut Memang untuk meminta Rondokulun tinggal di istana kadipatenan ini dalam beberapa hari, Adipati Gadasewu terpaksa harus mengatakan keadaan sebenarnya kalau dirinya juga murid Eyang Gajah Sakti. Padahal dia menjadi murid pertapa tua itu hanya tiga tahun saja, karena harus kembali lagi ke kadipaten ini, saat usianya baru lima belas tahun. Dan dia tidak tahu kalau Eyang Gajah Sakti mengambil murid lain Makanya kini mereka bertemu dalam suasana yang tidak terduga sama sekali.

"Mari, Rondokulun Aku akan menjamu kau di sini. Jangan sungkan-sungkan. Aku adalah saudaramu. Dan kau boleh tinggal di kadipatenan ini selama kau suka," ujar Adipati Gadasewu.

"Terima kasih, Gusti Adipati. Memang, sebenarnya hamba sendiri belum ada tujuan yang pasti. Kalau memang Gusti Adipati menghendaki, hamba akan mengabdikan diri di sini," sambut Rondokulun gembira.

"Ha ha ha...! Kau saudaraku, Rondokulun. Kau akan selalu bersamaku, ke mana saja aku pergi."

"Hamba, Gusti Adipati."

"Ayo, kita pindah ke ruangan lain. Aku akan perintahkan emban untuk menyiapkan kamarmu, selama kau belum punya tempat tinggal sendiri."

'Terima kasih, Gusti Adipati."

"Jangan panggil aku seperti itu, Rondokulun. Panggil saja aku kakang."

"Tapi...."

"Kau keberatan...? Baiklah. Kau boleh memanggilku begitu di depan orang lain. Tapi kalau hanya berdua saja, aku tidak ingin kau menyebut gusti padaku. Paham...?"

Rondokulun hanya bisa mengangguk saja. Tidak mungkin lagi keinginan orang yang paling berkuasa di Kadipaten Galumbu ini ditolaknya. Dan mereka pun pindah ke ruangan lain. Sikap Adipati Gadasewu begitu akrab, seakan-akan memang baru bertemu saudaranya yang telah berpisah puluhan tahun lamanya. 

***
DUA
Kedatangan Rondokulun memang membuat sikap Adipati Gadasewu berubah. Seakan-akan peristiwa semalam yang menewaskan dua orang pemuda penduduk Kadipaten Galumbu sudah dilupakannya. Tentu saja perubahan itu sangat menarik perhatian Ki Jalaksena. Laki-laki setengah baya itu memang tidak tahu. Tapi mengingat yang datang adalah utusan Eyang Gajah Sakti, seorang pertapa di puncak Gunung Halimun, Ki Jalaksena tidak lagi mencurigai kehadiran Rondokulun.

Terlebih lagi, setelah Adipati Gadasewu mengatakan kalau Rondokulun saudaranya. Sehingga, pemuda itu kini diterima dengan baik di kadipatenan ini. Bahkan dilayani sebagaimana layaknya anggota keluarga adipati.

Namun setelah malam datang, Adipati Gadasewu jadi kelihatan gelisah di dalam kamarnya. Entah sudah berapa kali mondar-mondar memutari kamarnya yang luas dan indah ini. Sesekali dia berdiri di jendela, dan memandangi bulan yang malam ini bersinar penuh. Sementara malam terus merayap semakin larut, tapi sedikit pun Adipati Gadasewu belum bisa memicingkan matanya. Dari raut wajah dan sinar matanya, dia kelihatan begitu gelisah.

"Aku tidak yakin kalau dia yang membunuh Eyang Gajah Sakti. Hm.... Bagaimana mungkin Eyang Gaja Sakti bisa dikalahkannya...?" gumam Adipati Gadasewu, bicara sendiri.

Kembali adipati itu melangkah menghampiri jendela. Dan baru saja berdiri di sana memandangi bulan, mendadak....

Wusss!
"Heh...?! Ups!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu menarik tubuhnya ke kanan, begitu tiba-tiba terlihat secercah cahaya kuning keemasan melesat cepat menerobos masuk melalui jendela. Cahaya kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan dada Adipati Gadasewu yang miring ke kiri, dan langsung menghantam dinding kamar ini.

"Hup!"

Seperti seekor kancil, Adipati Gadasewu melompat ke luar kamarnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah berumput yang mulai dibasahi embun.

"Hm.... Hup!"

Sekilas Adipati Gadasewu melihat sebuah bayangan berkelebat di atas atap bangunan istana kadipaten ini. Maka tanpa berpikir panjang lagi, tubuhnya langsung melesat naik ke atas atap. Hanya sekali saja tubuhnya berputar, lalu manis sekali kakinya menjejak atas atap. Namun saat itu bayangan hitam tadi terlihat lagi, tengah meluruk turun melewati tembok bagian belakang yang cukup tinggi ini.

"Hup!"

Adipati Gadasewu jadi penasaran. Cepat tubuhnya melesat mengejar bayangan hitam itu. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Sehingga hanya sekati lesatan saja, adipati berusia muda itu sudah berada di luar tembok pagar batu yang mengelilingi bangunan istana kadipaten ini.

"Hap!"

Ringan sekali Adipati Gadasewu menjejakkan kakinya di tanah. Sebentar matanya yang tajam beredar ke sekeliling, merayapi sekitarnya.

Srak!
"Hm...."

Adipati Gadasewu langsung berpaling ke kanan, begitu terdengar gesekan suara semak. Dan saat itu matanya melihat satu bayangan hitam melesat begitu cepat dari sebelah kanannya.

"Hup! Yeaaah...!"

Langsung saja Adipati Gadasewu melesat mengejar bayangan hitam itu. Dan bayangan hitam itu masih sempat terlihat berkelebat begitu cepat, melompati atap-atap rumah penduduk Gerakannya begitu indah dan ringan, sehingga sedikit pun Gadasewu terus mengamati ke mana saja arah gerakan bayangan hitam itu dengan mata tajam.

"Hup! Yeaaah...!"

Sambil berputaran di udara, Adipati Gadasewu melenting dari sebuah atap rumah, dan kembali menjejak tanah. Tapi saat itu juga tubuhnya terus melesat, berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tingkatannya sudah tinggi sekali. Sementara bayangan hitam itu seakan tidak bisa terkejar. Dan begitu sampai di sebuah perkebunan, bayangan hitam itu kembali lenyap. Maka Adipati Gadasewu seketika menghentikan larinya. Sambil berdiri tegak, padangannya beredar ke sekeliling. Begitu tajam sorot matanya, seakan hendak menembus gelapnya malam di tengah-tengah kebun ini. Dan ketika kepalanya bergerak ke kanan....

"Heh...?!"
Wut!
"Ups...!"

Hampir saja wajah Adipati Gadasewu yang tampan itu terbabat pedang berwarna kuning keemasan, kalau saja tidak cepat-cepat menarik kepalanya ke kanan. Dan mata pedang yang berkilatan kuning keemasan itu hanya lewat sedikit saja di depan hidungnya.

"Hap!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu melompat ke belakang sejauh tiga langkah. Dan kini di depannya sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Bajunya ketat berwarna hitam, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang berwarna kuning keemasan, tergenggam di depan dadanya. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan hendak menembus jantung adipati berusia muda ini.

Sementara Adipati Gadasewu sendiri memandanginya dengan kelopak mata agak berkerut. Rasanya, gadis ini belum pernah dikenalnya. Bahkan melihatnya pun baru kali ini. Tapi kenapa tiba-tiba saja menyerang...? Pertanyaan itu yang terus mengganggu benaknya.

"Nisanak, siapa kau? Dan, kenapa menyerangku?" tanya Adipati Gadasewu penasaran.

"Jangan banyak tanya, Gadasewu! Sebut saja leluhurmu sebelum kukirim ke neraka!" bentak gadis itu garang.

"Heh...?!"

Adipati Gadasewu jadi terperanjat setengah mati, hingga sampai terlonjak dua langkah ke belakang.

"Bersiaplah menerima kematianmu, Gadasewu! Hiyaaat...!"

"Eh, tung...."
Bet!
"Ups...!"

Kembali Adipati Gadasewu jadi terhenyak, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini sudah menyerangnya dengan kecepatan sangat luar biasa. Pedang emasnya berkelebat begitu cepat, menyodok ke arah dada. Namun dengan gerakan manis sekali, serangan itu berhasil dihindarinya. Kembali Adipati Gadasewu melompat ke belakang, berusaha menghindari pertarungan. Tapi gadis yang tidak dikenalnya ini malah terus menyerangnya dengan ganas.

"Hup! Yeaaah...!"

Adipati Gadasewu yang tidak ingin bertarung tanpa jelas alasannya, cepat-cepat melompat naik ke atas pohon. Tapi tanpa diduga sama sekali, gadis itu sudah melesat cepat mengejarnya sambil kembali membabatkan pedang emasnya yang mengarah tepat ke dada adipati muda ini

"Hiyaaa...!"
Wut!
"Haiiit...!"

Adipati Ganda sewu terpaksa berjumpalitan di udara, menghindari serangan gadis ini. Lalu tubuhnya kembali meluruk turun, dan manis sekali kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang bersamaan, gadis berbaju hitam itu sudah melesat dan langsung menyerang dengan kecepatan kilat.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Berulang kali gadis itu membabatkan pedangnya, mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan. Namun Adipati Gadasewu memang bukan orang yang kosong. Dengan gerakan-gerakan indah dan liukan lentur, setiap serangan yang datang berhasil dihindarinya.

"Gila! Serangannya dahsyat sekali. Uh...!" keluh Adipati Gadasewu.

Dan memang, semakin jauh mereka bertarung, serangan-serangan gadis itu terasa semakin berbahaya saja. Gerakan-gerakan pedangnya begitu cepat luar biasa. Sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya kuning keemasan saja yang bergulung-gulung, mengurung setiap celah gerak adipati ini.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu mendapat kesempatan, Adipati Gadasewu langsung melepaskan satu pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Serangan balasan ini rupanya membuat gadis itu jadi terhenyak juga. Buru-buru tubuhnya meliuk sambil membabatkan pedangnya menyilang di depan dada. Dan pada saat itu juga, Adipati Gadasewu melesat ke belakang sejauh satu batang tombak.

"Hap!"
Jleg!

Ringan sekali gerakannya, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua kakinya menjejak tanah. Dan kini, jarak antara mereka hanya berkisar satu batang tombak

"Huh, Pengecut! Kenapa terus menghindar, Gadasewu? Kau takut menghadapiku, heh...?!" dengus gadis itu sinis.

"Nisanak! Bukannya aku takut. Tapi aku tidak ingin bertarung tanpa alasan jelas," kata Adipati Gadasewu berusaha lembut.

"Jadi kau ingin alasan, heh...?!"
Adipati Gadasewu hanya diam saja.

"Baik... Dengar, Gadasewu. Aku akan membunuhmu dengan alasan yang jelas atau tidak. Dan yang pasti, kau harus mati di tanganku. Nah! Itu alasanku untuk mengirimmu ke neraka!" ancam gadis itu dingin.

Adipati Gadasewu hanya diam saja. Dia tahu, gadis ini tidak akan mungkin memberi alasan jelas dan benar. Tapi kalau pertarungan ini diteruskan, bukannya tidak mungkin salah seorang ada yang tewas. Dan ini yang tidak diinginkannya. Rasanya memang berat melenyapkan nyawa orang lain tanpa alasan pasti. Terlebih lagi, kalau orang itu tidak memiliki persoalan sedikit pun dengannya. Bahkan yang sudah jelas-jelas bersalah pun, masih bisa diberi ampun. Tapi gadis ini....

"Mampus kau, Gadasewu! Hih! Yeaaah...!"
Wuk!
"Eh...?!"

Adipati Gadasewu jadi terperangah setengah mati, begitu tiba-tiba saja gadis berbaju hitam ini menghentakkan tangan kirinya setelah menyarungkan pedangnya ke dalam warangka di punggung. Dan saat itu juga, beberapa buah benda berbentuk anting yang berwarna kuning keemasan, melesat secepat kilat ke arahnya.

"Hup!"

Cepat-cepat Adipati Gadasewu melenting ke udara, menghindari serangan gadis berbaju hitam itu. Tapi belum juga bisa menjejakkan kakinya kembali ke tanah, gadis berbaju hitam itu sudah kembali melancarkan serangan Kedua tangannya bergerak melontarkan anting-anting emas dengan kecepatan luar biasa sekali.

"Hup! Hiyaaa...!"

Adipati Gadasewu terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari anting-anting emas yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Sementara gadis berbaju hitam itu terus melontarkan senjata-senjatanya sambil bergerak cepat mengelilingi Adipati Gadasewu. Dan ini tentu saja membuat adipati berusia muda itu kelabakan. Anting-anting emas itu tampak datang dari segala arah, mengancam seluruh tubuhnya.

"Edan...! Hih!"
Cring!

Adipati Gadasewu jadi geram mendapat serangan yang begitu beruntun tanpa henti. Maka pedangnya cepat dicabut. Lalu bagaikan kilat pedangnya diputar untuk melindungi tubuhnya dari incaran anting-anting emas itu.

Tring! Trang...!

Entah berapa kati anting-anting emas itu ter-sampok pedang adipati ini. Tapi gadis berbaju hitam itu terus saja menyerang dengan kecepatan tinggi sekali. Sikapnya seakan-akan tidak peduli kalau serangannya tidak ada yang mendapatkan hasil. Sementara dengan pedang di tangan, Adipati Gadasewu tidak lagi kelihatan kelabakan. Pedangnya bergerak begitu cepat, sehingga yang terlihat hanya kilatan cahaya keperakan yang bergulung-gulung menyambar anting-anting emas yang terus berhamburan di sekitar tubuhnya.

"Huh! Alo juga adipati ini!" dengus gadis itu dalam hati, mengakui ketangguhan Adipati Gadasewu.

Meskipun mengakui dalam hati, tapi gadis itu tidak mau menyerah begitu saja. Bahkan serangan-serangannya semakin dahsyat saja. Tidak berhasil dengan senjata anting emasnya, gadis itu menggunakan jurus-jurus silatnya yang dahsyat dan sesekali menggunakan ilmu kedigdayaan. Sementara, Adipati Gadasewu terus bertahan walaupun semakin terdesak saja.

Dan pada jurus-jurus selanjutnya, beberapa kali pukulan keras yang dilancarkan gadis itu sudah berhasil disarangkan ke tubuh Adipati Gadasewu. Darah sudah mulai mengalir dari sudut bibir adipati ini. Keadaannya semakin terdesak saja, dan sulit untuk balas menyerang. Entah sudah berapa kali pukulan keras bertenaga dalam tinggi bersarang di tubuhnya. Namun pada saat yang sangat tidak menguntungkan ini, mendadak saja....

"Menyingkirlah, Kakang Adipati...!"
Slap!
"Heh...?! Ups!"

Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rondokulun muncul. Langsung diterjangnya gadis berbaju hitam ini. Kedatangan Rondokulun tentu saja membuat gadis itu jadi terkejut. Dan hampir saja satu pukulan yang sangat keras mendarat di wajahnya. Untung saja kepalannya segera ditarik ke belakang. Dan saat itu juga, Adipati Gadasewu melompat ke belakang. Tapi tubuhnya langsung terhuyung, begitu kakinya menjejak tanah.

"Hup!"

Sementara gadis berbaju serba hitam itu cepat-cepat melesat ke belakang sejauh dua batang tombak. Setelah beberapa kali berputaran di udara, kakinya menjejak tanah dengan mantap. Dan di depannya kini, berdiri Rondokulun yang merupakan murid Eyang Gajah Sakti di pertapaan puncaW Gunung Halimun

"Huh! Satu saat nanti, kau tidak akan lolos dariku, Gadasewu!" dengus gadis itu kesal.

Sebentar gadis itu menatap tajam Rondokulun. Dan....

"Kau juga akan mampus di tanganku!"

Setelah berkata demikian, gadis berbaju hitam yang tidak dikenal itu cepat bagai kilat melesat pergi. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara, Rondokulun masih tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian gadis itu. Dan badannya bergegas berbalik, begitu mendengar suara batuk dari belakangnya.

"Kakang Adipati...."

Rondokulun cepat-cepat menghampiri Adipati Gadasewu yang tampak kelihatan begitu parah keadaannya. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung pedang yang ditekan ke tanah. Darah di mulutnya terlihat menggumpal kental.

"Aku tidak apa-apa, Rondokulun. Untung kau cepat datang...," kata Adipati Gadasewu lirih.

"Kau terluka, Kakang," kata Rondokulun, bernada cemas.

Adipati Gadasewu berusaha tersenyum. Kakinya hendak melangkah, tapi tubuhnya jadi terhuyung. Bahkan hampir saja ambruk kalau Rondokulun tidak cepat-cepat menyangganya. "Bawa aku ke bawah pohon itu, Rondokulun," pinta Adipati Gadasewu.

"Baik, Kakang."

Rondokulun membawa Adipati Gadasewu ke bawah pohon yang diinginkannya. Kemudian, adipati itu duduk bersila di sana. Sementara, Rondokulun mengambil tempat tidak jauh di depannya. Terus dipandanginya adipati berusia muda yang tengah melakukan semadi untuk menyembuhkan luka-luka dalam yang dideritanya.

Dan malam pun terus merayap semakin larut Rondokulun masih setia menunggui Adipati Gadasewu bersemadi. Hatinya agak cemas juga, melihat darah terus mengucur dari mulut dan hidung. Tapi kecemasannya langsung sirna, begitu melihat kelopak mata Adipati Gadasewu terbuka. Dan darah yang keluar dari mulutnya juga tidak lagi berwarna kehitaman.

"Phuuuh...!"

Adipati Gadasewu menyemburkan darah yang menggumpal memenuhi rongga mulutnya, kemudian beberapa kali melakukan gerakan tangan. Dan akhirnya, kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada, dan perlahan-lahan turun hingga berada di atas lututnya.

Adipati Gadasewu tersenyum melihat Rondokulun masih tetap duduk bersila, tidak seberapa jauh di depannya. Dengan gerakan tangannya, dipanggilnya pemuda yang diakui sebagai saudara seperguruannya itu.

"Ada yang bisa kubantu, Kakang?" tanya Rondokulun setelah dekat.

"Rondokulun.... Kau tahu, siapa gadis itu tadi?" Adipati Gadasewu balik melontarkan pertanyaan.

"Tidak, Kakang. Baru kali ini aku melihatnya," sahut Rondokulun. "Kakang mengenalnya...?"

"Sayang.... Aku juga tidak sempat mengenalinya. Dan aku juga tidak tahu, apa maksudnya hendak membunuhku," pelan sekali suara Adipati Gadasewu.

"Kakang, mungkin gadis itu yang membunuh Eyang Gajah Sakti," tebak Rondokulun.

"Melihat dari kepandaiannya, rasanya kemungkinan itu memang ada. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi. Aku benar-benar dijadikan mainan olehnya."

Rondokulun jadi terdiam. Sementara Adipati Gadasewu juga tidak membuka suara lagi Dan untuk beberapa saat, mereka hanya membisu saja. Angin yang bertiup malam ini terasa semakin bertambah dingin. Perlahan Adipati Gadasewu mengangkat kepalanya, dan langsung menatap bola mata Rondokulun yang duduk bersila di depannya.

"Rondokulun, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Adipati Gadasewu ingin tahu.

"Sebenarnya sejak Kakang keluar dari kamar, aku sudah membuntuti," sahut Rondokulun terus terang.

"Jadi kau tahu semua yang terjadi?" tanya Adipati Gadasewu lagi.

"Maaf, Kakang. Bukan maksudku untuk membuntuti. Aku hanya khawatir saja," ucap Rondokulun.

"Ah.... Kalau kau tidak ada, tentu besok pagi aku sudah ditemukan terbujur jadi mayat, Rondokulun. Terima kasih, kau sudah menyelamatkan nyawaku."

"Kakang, sebenarnya kau bisa mengalahkannya. Tapi Kakang terlalu memberi hati dan kesempatan lawan untuk melakukan serangan dan terus menekan. Aku kira, tidak akan berakhir seperti ini kalau Kakang sama sekali tidak memberi kesempatan. Maaf, Kakang. Bukannya aku menggurui. Tapi kulihat, Kakang tadi seperti mengalah padanya."

Adipati Gadasewu jadi tersenyum. Entah kenapa...? Mungkin kebenaran penilaian Rondokulun tadi diakuinya. Dia tadi memang terlalu memberi hati dan kesempatan pada lawannya. Akibatnya, jadi termakan sendiri. Gadis itu memanfaatkannya untuk terus menekan dengan serangan-serangannya yang gencar dan cepat. Tapi meski tidak diberi kesempatan pun, Adipati Gadasewu tidak yakin akan berhasil mengalahkannya. Sudah dirasakannya kalau tingkat kepandaian yang dimiliki gadis itu sangat tinggi. Paling tidak, berada beberapa tingkat di atas kepandaian yang dimilikinya

. "Ayo kita pulang, Rondokulun," ajak Adipati Gadasewu sambil bangkit berdiri.

Rondokulun cepat-cepat bangun, dan membantu adipati ini berdiri. Kemudian mereka berjalan bersama-sama, kembali ke istana kadipatenan. Tidak ada lagi yang dibicarakan dan terdiam membisu selama berjalan pulang. Kelihatannya, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang ada dalam kepala mereka. Bahkan beberapa kali terdengar hembusan napas Adipati Gadasewu yang panjang dan terasa begitu berat. 

***