Jaka Sembung 8 - Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung(2)

“Hmm. Nih! Ambil,....... ambil! Duitku ludes semua, tetapi aku masih penasaran jika belum bisa mengeduk uang kalian sampai tak satu gulden pun bertengger dalam kantong kalian!” kata si codet penasaran.

“Ha.... ha.... ha.... ha! Hari ini aku menang banyak!” ujar temannya dengan sangat gembira. Tangannya segera mengeduk uang yang ada di atas meja.

“He, Ujang! Tambahkan lagi tuaknya satu kendi, cepaat!!” Bentak si codet keras melampiaskan kejengkelannya.

Tidak lama kemudian si pelayan menyerahkan kendi tuak kepada si codet dengan terbungkuk-bungkuk, dan si codet segera menenggaknya.

Pada saat itu datang seseorang menghampiri meja mereka. Orang yang baru datang itu mengenakan tudung kepala. Dengan kakinya yang tinggal sebelah ia mendekati mereka dengan tenang.

“Tak usah gusar dulu kawan! Aku punya sekantong uang untuk melanjutkan permainan anda!” ujar si Kaki Tunggal tegas.

Seketika itu ketiga orang yang sedang asyik berjudi menjadi terkejut mendengar suara dari belakang. Mereka menoleh ke belakang hampir bersamaan.

“Lihatlah! aku tak omong kosong! Sekantong penuh. Boleh anda hitung berapa isinya,” lanjut si kaki Tunggal sambil tangan kirinya memperlihatkan kantong uangnya kepada mereka.

“Dengan syarat apa anda memberikan uang itu kepadaku?” tanya si codet penuh selidik dengan mata melotot.

“Aku adalah orang yang suka pada hal-hal yang aneh! Lihatlah ke atas pohon gundul itu!” ujar si Kaki Tunggal dengan jari telunjuk mengarah ke pohon kapuk randu yang dahan-dahannya gundul di luar kedai itu.

Mereka kemudian keluar mendekati sebuah pohon yang di hinggapi oleh banyak sekali keluang atau kalong yang sedang tidur, di ikuti pandangan mata Tirta dan Umang yang sedang makan.

“Tolol!” gumam Tirta dalam hatinya.

“Lihatlah keluang-keluang itu! Mereka begitu enaknya mendengkur dengan kaki di atas kepala di bawah. Aku akan memberikan uang ini cuma-cuma jika anda bisa meniru perbuatan binatang-binatang itu!” ujar si Kaki tunggal memancing reaksi mereka.

“Jika aku bisa, apakah aku percaya begitu saja bahwa kau mau menyerahkan uang itu?” tanya si codet serius.

“Aku yakin manusia tak bisa berbuat seperti keluang itu. Untuk itulah aku berani bertaruh!” ujar si Kaki Tunggal dengan nada yakin.

“Jika aku bisa dan kau tak mau menyerahkan uang itu, ingat! Kepalamu akan lepas dari batang leher! Kau tidak boleh macam-macam terhadapku!!!” teriak si codet penuh ancaman sambil bertolak pinggang dan jari telunjuknya menuding si Kaki Tunggal yang masih tenang dengan senyum tersungging. Bersikap menantang.

“Aku tidak akan ingkar janji!” jawabnya pasti.

Setelah terjadi kesepakatan kedua belah pihak, Si Codet kemudian memasang kuda-kuda dan seketika tubuhnya meletik ke udara seperti kelelawar terbang.

Beberapa detik lamanya kaki si Codet telah menempel di dahan pohon itu seperti seekor kaluang yang bertengger dalam posisi tidurnya.

“Tep!” Dengan pasti kaki itu menempel lekat sekali begitu lembutnya sehingga tak mengusik hewan-hewan malam yang bergelantungan di dekatnya.

“Puaskah kau?” ujar si Codet dengan tangan bersedekap tenang persis seperti keluang yang berada di sekitarnya.

“Bagus! Aku senang sekali melihat pertunjukan ini! Sekarang anda boleh turun, aku rela kehilangan sekantong uang hasil jerih payahku selama tiga bulan! Sekarang ambilah uang ini,” ujar si Kaki Tunggal.

Sambil menunjukkan kantong tersebut ke arah si codet yang masih bertengger di ranting pohon dengan ketawa kemenangan. Suasana tegang menyelinap di sekitar halaman kedai nasi, di ikuti pandangan mata Tirta dan Umang.

Ketika tubuh si Codet melayang turun, orang yang berkaki satu itu tegak berdiri menunggu dengan memasang kuda-kuda. Sedetik kemudian, tiba-tiba terdengar pekik tertahan yang keluar dari mulut si Codet.

“Hekk!” Si Codet terpental ke belakang dengan tubuh hampir putus menjadi dua bagian.

Kiranya si Kaki Tunggal dengan gerakan cepat telah menyabetkan pisau panjangnya yang terbungkus tongkat sebagai penyangga tubuhnya itu dengan sekuat tenaganya. Seketika itu juga tubuh si Codet ambruk ke bumi dan darah pun keluar dengan deras lalu mati seketika.

Si codet mati dengan mata melotot.

“Tolol!” gumam Tirta kembali dalam hati sementara matanya melirik ke arah si Codet yang telah menjadi mayat.

“Oh....... Tuhan, orang itu hampir terpotong jadi dua! Hebat betul tenaga sabetannya!” desah Umang pada dirinya sendiri penuh rasa kagum.

“Satu nyawa untuk pelunas hutang! Hanya Lalawa Hideunglah manusia yang mampu meniru perbuatan seekor kaluang!” ujar si Kaki Tunggal penuh kemenangan.

Kemudian dengan tenangnya si Kaki Tunggal berlalu dari tempat itu dengan tak acuh diikuti pandangan mata orang-orang yang berada di sekitar kedai nasi tersebut. Berita kematian anggota Lalawa Hideung cepat sekali tersebar ke seluruh pelosok desa Kalimanggis dan sekitarnya.

“Aku berani bertaruh, dalam waktu beberapa jam lagi orang berkaki buntung itu pasti sudah terkapar jadi mayat! Lalawa Hideung tak akan membiarkan anggotanya mati begitu saja!” Ujar Tirta penuh keyakinan.

“Semoga Tuhan melindungi orang yang menegakkan kebenaran!” ujar Umang berharap.

Dugaan Tirta memang betul. Tatkala si Kaki Tunggal sampai di sebuah ladang kosong, beberapa sosok bayangan berkelebat mengikutinya, tetapi pendekar kaki Tunggal telah mengetahui adanya orang yang mengikuti dirinya.

“Hm, pancinganku ternyata berhasil dengan baik!” gumamnya pada diri sendiri sambil berjalan penuh kewaspadaan.

“Hei! Berhenti, kunyuk timpang! Kau kira bisa dirimu membunuh orang tanpa perhitungan!” bentak seseorang yang kini sudah hadang si Kaki Tunggal dengan golok terhunus diikuti oleh dua orang temannya dengan golok sudah terlepas dari sarungnya.

“Kita tebus kematian teman kita!” sergah temannya dengan geram.

Kini Si Kaki Tunggal telah di kepung tiga orang dengan golok terhunus siap menerkam tubuhnya, namun pendekar Kaki Tunggal dengan tenang memandangi para pengepungnya. Matanya bersinar tajam memandang mereka satu persatu penuh dendam.

“Hm! Beginilah cara mencari kalong-kalong kesiangan! Mari! Perbanyaklah jumlah kalian! Nyawa istri dan anak-anak ku akan ku tebus semahal-mahalnya dengan darah codot-codot seperti kalian!!!” bentak si Kaki Tunggal dengan geram.

Seketika suasana menjadi tegang masing-masing dengan sorot-sorot mata mencorong tajam mengawasi lawan dengan mata yang mencerminkan rasa ingin membunuh yang menggebu-gebu.

“Hiyaaa.......tttt!!” tiba-tiba si Kaki Tunggal membuat gerakkan yang sangat cepat.

Dengan pisau panjang yang mencuat dari ujung tongkatnya, ia membabat seseorang yang terdekat di hadapannya

“Auw! Aaakh!!” teriak seseorang yang terkena babatan tongkat si Kaki Tunggal, yang demikian cepat menyambarnya. Tubuh orang itu mengejang seketika.

Dia mati dengan dada terburai bersimbah darah.

Melihat temannya mati, dua orang lainnya segera menyerang dengan membabi buta. Namun pendekar Kaki Tunggal dengan cekatan meladeni serangan-serangan itu sambil melompat-lompat memberikan perlawanan yang tak kalah dahsyat dengan tusukan-tusukan yang mematikan.

Pada kesempatan seperti sekian detik di saat musuhnya melayang sambil berjungkir balik di udara, si Kaki Tunggal segera memburu dengan kecepatan yang sangat dahsyat menusukkan tongkatnya, mengarah tenggorokan lawan.

“Set!” Tongkat si Kaki Tunggal melesat cepat, tepat mengenai sasarannya. Seketika tubuh orang itu melayang jatuh berdebam ke bumi dengan darah muncrat keluar dari lukanya. Ia mati seketika.

Dengan mata yang berbinar-binar si Kaki Tunggal menyerang lawan yang tinggal seorang diri dengan sabetan-sabetan yang mematikan.

Dalam pertarungan itu si Kaki Tunggal sengaja memancing mereka ke tengah ladang kosong itu, dengan demikian anggota Lalawa Hideung itu tak bisa melakukan serangan-serangan dari atas seperti dengan jalan menempel pada pohon maupun dinding batu.

Tak jauh dari arena pertarungan itu, seorang petani sedang mencangkul dengan tenangnya. Dadanya dibiarkan terbuka dengan keringat bercucuran di seluruh tubuhnya.

Ia melirik ke arah pertarungan itu dan secara tiba-tiba ia mengayunkan cangkulnya ke arah tengkuk si Kaki Tunggal yang sedang menyabetkan senjatanya ke arah musuh sehingga tidak mengetahui adanya serangan dari arah belakang.

“Beuut!” Cangkul itu melayang dengan cepat ke arah tengkuk si Kaki Tunggal. Saat itu posisi si Kaki Tunggal tidak menguntungkan Cangkul itu tinggal beberapa sentimeter lagi mengenai tengkuknya.

Tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah batu dengan keras menyampok cangkul itu sehingga terpental jauh dengan gagang patah dua.

“Oh!” sentak si Kaki Tunggal sambil membalikkan tubuhnya ke arah penyerangan yang membokongnya dari belakang.

Waktu luang yang satu detik itu tak di sia-siakan oleh si Kaki Tunggal. Dengan cepat ia sabetkan senjatanya ke arah petani itu.

“Ciiaaaattt!” teriak si Kaki Tunggal keras.

“Des! Aakh!” Tubuh petani gadungan itu ambruk menyusul teman-temannya dengan dada tembus oleh senjata si Kaki Tunggal.

Kiranya orang yang melempar batu itu tak lain adalah Parmin Si Jaka Sembung yang secara kebetulan tiba di tempat itu. Si Kaki Tunggal segera menghampiri Parmin dengan membungkuk hormat.

“Terima kasih! anda telah menyelamatkan nyawaku! Bolehkan aku tahu siapa anda?” tanya si Kaki Tunggal pelan.

“Aku seorang pengembara. Namaku, Parmin! Orang menyebutku Jaka Sembung!” jawab Parmin seadanya.

“Oh! Andakah pendekar yang termasyhur dari Gunung Sembung itu? Ah, betapa senangnya aku berjumpa dengan anda, pendekar!”

“Ah, anda terlalu berlebihan. Aku hanya manusia biasa!” jawab Parmin dengan nada merendah.

“Aku mendukung perjuangan anda. Semoga Lalawa Hideung segera lenyap dari muka bumi ini! Sampai bertemu lagi kawan!” ujar Parmin.

Ia lalu meninggalkan si Kaki Tunggal. Dengan sekali loncatan tubuh Parmin menghilang dari pandangan mata si Kaki Tunggal yang membuat ia semakin kagum terhadap pendekar dari Gunung Sembung itu.

“Hmm, sangat mengagumkan! Manusia yang hebat pada masa ini!” gumam si Kaki Tunggal dengan mulut berdecak.

***

BAGIAN 3