Jaka Sembung 9 - Membabat Kyai Murtad(1)

Karya : Djair
Sang surya menyinari alam raya ini dengan sinarnya yang keemasan, memberikan kehidupan bagi makhluk yang berada di muka bumi tak terkecuali makhluk kecil maupun makhluk yang terbesar.

Awan yang bergumpal-gumpal tipis seakan-akan berjalan mengikuti arah angin yang berhembus. Langit pun menjadi cerah membuat mentari dapat mengeluarkan cahaya tanpa penghalang, sehingga hawa menjadi panas.

Di kejauhan terlihat sosok tubuh manusia sedang menelusuri dataran yang sangat luas dengan pemandangan di kiri kanannya sawah-sawah yang sedang menguning dan pohon-pohon yang tumbuh dengan suburnya, dengan dibatasi bebatuan yang menyembul dari permukaan bumi membentuk bukit-bukit kecil sehingga sosok tubuh itu terlihat sangat kecil sekali bila dibandingkan alam sekitarnya yang begitu luas. Sosok tubuh itu melangkah dengan langkah pasti dan yakin dengan sebilah tongkat besi tergenggam dalam jari-jari tangannya yang kuat.

Ya....... dialah Parmin alias Jaka Sembung yang meneruskan perjalanannya yang masih jauh. Ia harus melewati Desa Cilimus dan desa-desa lainnya di seluruh Kabupaten Kuningan.

Terik matahari yang bersinar cerah membuat peluh membasahi tubuhnya dan butir-butir keringat yang keluar di wajahnya dihapusnya dengan telapak tangan sekali-kali agar pandangan matanya tidak terganggu. Temannya yang setia terus mengikuti perjalanannya dengan bertengger di pundak Parmin sambil sekali bersiul membuat irama lagu yang membangkitkan semangat dalam jiwa yang mendengarkannya.

Selang beberapa saat langkahnya terhenti. Naluri kependekarannya mengatakan ada sesuatu yang tak beres berada di sekitarnya. Setelah mengamati keadaan sekitar dengan pandangan mata yang tajam, Parmin kemudian melanjutkan perjalanannya dengan penuh kewaspadaan.

Tiba-tiba secara serempak, entah dari mana datangnya berpuluh-puluh bongkahan batu besar dan kecil berjatuhan seperti hujan dari langit mengancam tubuh Parmin. Akan tetapi naluri kependekarannya dengan cepat bereaksi.

Tubuh Parmin bersalto dengan cepat menghindari dan berlompatan ke sana ke mari di sela-sela hujan bongkahan batu-batu itu. Tongkat besi beraninya diputar-putar dengan cepat membuat perisai untuk melindungi tubuhnya.

Dan batu-batu yang terkena besi beraninya hancur berhamburan serta kakinya membuat tendangan keras dengan menyalurkan tenaga dalamnya mengarah bongkahan batu-batu yang seketika hancur menjadi kerikil-kerikil. Debu pun beterbangan ke udara kemudian hilang terbawa hembusan angin.

Parmin membuat gerakan-gerakan salto dengan manisnya di sela-sela bongkahan batu tersebut, yang seakan-akan tidak ada henti-hentinya menghujani dirinya. Ketika Parmin sedang jungkir balik dan menendang sebuah bongkahan batu yang besar, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat keras memecahkan gendang telinga bagi yang tidak mempunyai ilmu dalam yang cukup tinggi.

“Duuaaaar.......!”

Suara itu menggema keras ke seluruh dataran itu dan seketika bukit batu yang berada tidak jauh dari Parmin mendarat, hancur berantakan dan pecahan-pecahannya mengarah ke tubuh Parmin begitu cepatnya dengan debu-debu yang beterbangan membuat pandangan mata Parmin agak terganggu.

Namun bukanlah pendekar Jaka Sembung kalau tidak bisa menghindari semua itu. Dengan sekali hentakkan tubuhnya melambung ke udara menerobos pecahan-pecahan batu itu dengan cepatnya dan mendarat lebih jauh dari tempat semula dengan pijakan kaki mantap, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Belum lagi tubuhnya tegak sempurna, kembali serangan datang ke arahnya dengan bunyi berdesir sangat kencang yang mengitari tubuhnya.

“Hah....... benda apa ini?!” sentak Parmin terperanjat sambil memasang kuda-kuda dengan menyilangkan tangan kanannya yang menggenggam tongkat besi berani ke dadanya yang bidang. Dengan sorot mata tajam mengikuti gerak benda aneh itu dengan penuh kewaspadaan.

Benda aneh itu terus berputar mengitari tubuh Parmin. Desiran angin yang ditimbulkannya membuat debu-debu dan kerikil-kerikil beterbangan sehingga kain yang melekat di tubuh Parmin yang diselempangkan di pundaknya, turut tergerai terkena desiran benda aneh tersebut.

Pada suatu kesempatan Parmin menangkis benda itu dengan sabetan tongkat besinya dengan mengerahkan tenaga dalamnya.

“Triing.......!”

Benturan kedua benda itu sangat nyaring sehingga menimbulkan bunga-bunga api dan asap hitam yang mengepul ke udara dan segera menghilang tertiup angin. Benda aneh itu kembali menyerangnya setelah memantul dari benturan tongkat besi berani Parmin dan dibarengi dengan suara tertawa yang memekakkan gendang telinga dan bergema tak putus-putusnya.

Jaka Sembung berdiri dengan kewaspadaan penuh sambil merasakan getaran di telapak tangannya yang terasa kesemutan. Telapak tangannya lalu digosok-gosok dengan telapak tangan yang lain dan matanya nyalang mencari sumber suara yang mengandung tenaga dalam untuk melemahkan urat saraf bagi yang mendengarkan suara itu.

Jaka Sembung pun segera memusatkan tenaga dalamnya untuk mengusir pengaruh suara yang datang dengan ilmu yang diberikan oleh gurunya yang kedua, yaitu Begawan Sokalima yang dinamakan 'Ilmu melepas sukma'. Dengan demikian terhindarlah Parmin dari pengaruh tersebut dan segera dapat melihat dengan jelas ke atas sebuah batu besar, di mana di atas batu itu telah berdiri seorang laki-laki dengan tertawa terbahak-bahak.

“Ha.... ha.... ha.... ha...! Tak percuma gelar yang kau miliki itu, pendekar Gunung Sembung!” teriaknya keras memuji kehebatan Parmin yang dalam serangan tadi dapat menghindari dengan baik, dan dalam menangkal tenaga dalam pun sanggup melakukannya dengan baik.

“Siapakah anda?” tanya Parmin keheranan setelah melihat wajah orang tersebut, yang sama sekali belum dikenalnya, sambil tetap dengan kewaspadaan penuh kalau-kalau orang itu kembali menyerangnya.

“Oh....... tentu! Tentu! Kau harus tahu siapa aku sebelum kau menjadi bangkai busuk! Ha.... ha.... ha.... ha...!! Pernahkah kau ingat seorang Hindustan yang mati di tanganmu, Gembel busuk?! Ketahuilah aku kakaknya yang bernama Goga Khan yang akan menuntut balas!!” bentaknya keras dengan sorot mata penuh dendam ingin membunuh sambil menggerakkan senjatanya berputar-putar, membuat daun-daun kering berjatuhan ke tanah terkena hempasan anginnya.

Goga Khan berwajah cukup menyeramkan. Matanya melotot seperti mata burung hantu, dan hidung seperti burung betet dengan jenggot dan kumis yang menyambung, menutupi mulutnya yang lebar, tumbuh dengan lebatnya sampai mencapai leher.

Dengan bertelanjang dada sehingga dadanya yang bidang yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang menutupi seluruh dadanya, ia terlihat seperti seekor gorila. Kepalanya yang botak pelontos licin seperti jalan tol menambah penampilannya semakin angker bagi yang bernyali kecil.

Otot-otot tangannya yang kekar dan tubuh yang tinggi besar dengan senjatanya yang aneh yang berbentuk bundar seperti durian, namun terbuat dari bahan logam keras dengan diikat pada rantai yang panjang yang tergenggam dengan kokoh di tangan kanannya.

Tangan sebelah kiri menggenggam rantai untuk pengulur di waktu menyerang lawan dari jarak jauh. Senjata yang berbentuk durian itu kini diputar-putarnya lebih kencang sehingga Parmin yang berada di bawahnya dapat merasakan angin yang ditimbulkan oleh senjata tersebut.

“Duuaar!”

Bunyi itu begitu keras ketika menyerang Parmin. Dan mengenai ruang kosong manakala Parmin dengan begitu indahnya membuat gerakan bersalto ke belakang menghindari serangan tersebut dan membuat tanah yang terkena senjata itu menjadi berlobang sampai setengah meter dalamnya.

Parmin yang melihat berapa dalamnya lobang tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya merasa kagum.

“Bukan main tingginya ilmu dalam Goga Khan ini!” gumam Parmin dalam hati sambil mengerahkan juga tenaga dalamnya dan memasang kuda-kuda menantikan serangan yang akan datang.

Goga Khan dengan wajah bengis dan dengus napas ingin membunuh sudah kembali memutar-mutar senjatanya dan detik berikutnya senjata itu telah melesat menuju sasarannya yaitu Parmin yang sudah bersiap-siap menantikan dengan penuh kewaspadaan.

“Hiiyaaaaat.......!” teriak Parmin dengan gerakan cepat menghindari senjata yang bagaikan peluru kendali itu.

Tubuhnya terus berjumpalitan menjauhi serangan yang datang secara bertubi-tubi. Dan setiap senjata itu mengenai tempat kosong yang telah ditinggalkan oleh Parmin, kembali tanah yang terkena itu berubah menjadi sebuah lobang sehingga terlihat di tempat mereka bertempur lobang-lobang kecil seperti permukaan sebuah sumur di sana sini.

Parmin berusaha menghindari serangan-serangan tersebut dengan mengerahkan semua ilmu yang didapat dari gurunya, Ki Sapu Angin dan Begawan Sokalima.

Pada suatu kesempatan Parmin melesat ke sebuah hutan yang berada tak jauh dari tempat mereka bertempur. Hutan itu ditumbuhi dengan pohon-pohon beraneka macam jenisnya dengan daun-daunnya yang tumbuh lebat menutupi rantingnya.

Tetapi kembali senjata maut itu menyerang Parmin seperti mempunyai mata saja senjata itu menyerang ke mana Parmin bergerak untuk mengelak.

Pohon-pohon yang terkena sambaran senjata maut itu menjadi tumbang dengan batang yang hancur nyaris menimpa tubuh Parmin untuk menguburnya hidup-hidup. Daun dan ranting menjadi beterbangan oleh angin yang ditimbulkan oleh senjata tersebut.

Terpaksa Parmin kembali melesat ke luar dari hutan itu. Kini ia tegak berdiri dengan kaki agak ditekuk dan menyilangkan tangannya di depan dada.

“Ha.... ha.... ha.... ha...! Aku akan membuat sendi-sendimu menggigil dahulu sebelum senjataku ini melumat batok kepalamu!!” Ancam Goga Khan keras dengan nada mengejek dan bibir mencibir, sambil memutar-mutarkan senjata mautnya yang mengeluarkan suara mendesing seperti angin puyuh membuat daun-daun kering dan ranting-ranting yang telah rapuh beterbangan ke udara.

Sepersekian detik senjata maut itu telah melesat dengan cepat mengarah ke batok kepala Parmin. Begitu senjata maut yang seperti durian itu sudah dekat ke arahnya, dengan gerakan cepat Parmin melesat tinggi ke udara sambil bersalto.

Sebaliknya Goga Khan dengan cepat pula menarik senjatanya dengan tangannya yang sudah terlatih sempurna untuk mengubah arah senjata mautnya, sehingga mengancam Parmin yang masih bersalto di udara.

Jaka Sembung sudah kehilangan akal untuk menghindari serbuan senjata maut yang dimainkan oleh tangan yang ahli dan membuat Jaka Sembung terdesak. Akhirnya, Parmin mengambil suatu keputusan hidup atau mati!

Maka secara tiba-tiba Parmin yang masih bersalto di udara itu membuat gerakan yang tidak diduga oleh Goga Khan, sehingga membuat ia menjadi terkejut. Kiranya Parmin dengan ilmu 'Menyatukan Sukma' telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sempurna mendaratkan kakinya tepat di atas bola senjata maut yang berduri itu dan otomatis membuat tubuhnya ikut berputar-putar di udara mengelilingi musuhnya seperti sebuah komidi putar dengan Goga Khan sebagai porosnya.

Pada detik kelengahan dari Goga Khan, Parmin membuat gerakan meloncat menerobos pagar pertahanan Goga Khan dari arah belakang dengan golok pendeknya yang terhunus di tangan kanannya dan.......

“Sreet.......!”

“Eek!” teriak Goga Khan tertahan sambil menundukkan kepalanya menghindari serangan yang tak diduga sebelumnya. Tetapi sayang Goga Khan kalah cepat dengan serangan yang dilakukan Parmin sehingga ia terlambat bergerak.

Kepalanya yang botak plontos itu tergores golok Parmin yang tajamnya seperti pisau cukur membuat garis sepanjang jari telunjuk dan dalamnya sekitar dua sentimeter dan darah pun terburai dari luka itu membasahi wajahnya. Goga Khan menghapus dengan tangan kanannya, darah yang mengalir ke matanya agar tidak menghalangi penglihatannya.

“Sampai di sini dulu! Selamat tinggal! Tunggulah pembalasanku!!” bentak Goga Khan sambil melompat dan menghilang di balik bebatuan.

Melihat lawannya telah menghilang dari pandangan mata, Parmin menghela nafas dalam-dalam.

“Hm....... ia begitu cepat menghilang seperti kilat! Suatu saat dia tentu akan mencariku lagi untuk membalas dendam! Ia akan selalu penasaran untuk bisa membunuhku!” gumam Parmin dalam hati sambil tangannya menghapus peluh di dahi dan membersihkan bajunya yang penuh debu.

Sementara itu si Beo terbang menghampiri Parmin dan hinggap di pundak Parmin. Kemudian Parmin melanjutkan perjalanannya.

Matahari hampir condong ke Barat dan membuat bayangan memanjang. Ketika Parmin akan melewati dataran rumput ilalang di kejauhan sana mata Parmin melihat sesosok tubuh sedang berjalan ke arahnya.

Sosok tubuh itu adalah seorang tua yang sudah keriput kulitnya. Di wajahnya terlihat jelas kerut-kerut ketuaan dengan warna kulit hitam terkena teriknya matahari di dalam pengembaraannya, sehingga kulitnya yang memang sudah hitam menjadi semakin hitam legam.

Tubuhnya gemuk gempal dan ototnya terlihat masih kuat. Ia berjalan dengan ditopang sebuah tongkat kayu jati bercagak.

Bentuk tubuhnya bongkok sehingga orang menyebutnya si Bongkok dengan membawa buntelan yang ditaruh di pundaknya sehingga membuat tubuhnya yang sudah bongkok terlihat semakin bongkok saja. Ia berjalan dengan langkah perlahan.

Dengan rambut panjang yang berwarna putih awutan-awutan dan pakaiannya yang ditambal di sana sini membuat ia tampak seperti seorang gembel saja layaknya.

“Kukira pengembara tua renta di hadapanku ini pastilah bukan orang sembarangan! Lihatlah sepasang matanya begitu tajam mengawasiku. Aku harus hati-hati!” kata Parmin dalam hati setelah melihat dari jarak beberapa meter dan ia melangkah dengan senyum ramah yang tersungging.

Si Bongkok pun terus melangkah mendekati Parmin dengan langkah perlahan namun dengan tatapan matanya tajam seakan-akan ingin menembus isi kepala Parmin. Setelah dekat dengan Parmin si Bongkok lalu memberi salam.

“Assalamualaikum.......!” sapanya dengan suara agak ditekan namun bibirnya tidak bergerak.

“Wa'alaikum salam.......!” jawab Parmin sambil memindahkan tongkatnya ke tangan sebelah kiri dan menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan.

“Hem....... he....... he....... he! Melihat sinar wajahmu aku tentu tidak salah tebak bahwa kau pasti seorang pendekar yang alim! He....... he....... kebetulan....... kebetulan!” katanya sambil jari telunjuknya menuding Parmin yang segera menarik kembali tangannya dengan tanda tanya.

Kemudian si Bongkok melanjutkan bicara seakan-akan Parmin tidak boleh bicara dulu.

“He....... hem! Kau tentu bisa menjawab pertanyaanku, Anak muda! Aku punya sebuah pertanyaan mengenai sesuatu!”

“Apa maksud anda, Pak?!” sergah Parmin sambil mengerutkan dahinya tidak mengerti.

“Bila engkau bisa menjawabnya, aku akan memberi sebuah hadiah! Aku pernah membaca sebuah tulisan. Tulisan itu aku baca di sebuah dinding rumah seorang muslim yang berbunyi:

“Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah adalah Islam!”

“Kalau benar apakah ini bukan semacam bujukan terhadap calon pemeluknya? Karena sesungguhnya yang benar itu tak perlu menonjolkan dirinya benar dan yang baik itu tidak perlu menonjolkan dirinya baik?!” katanya dengan sorot mata penuh tantangan menatap mata Parmin yang terdiam sejenak memikirkan pertanyaan si Bongkok itu.

“Semua agama itu baik, tetapi tidak semua yang baik itu benar. Agama Islam adalah agama yang baik dan benar. Apapun nama agama yang ada di dunia ini jika ternyata ajarannya baik dan benar adalah Islam,” jawab Parmin dengan cara yang cukup diplomatis, membuat dahi si Kakek Bongkok menjadi semakin berkerut.

Sejenak si Bongkok terdiam untuk mencerna jawaban yang diberikan Parmin dan beberapa saat kemudian tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berseri gembira seperti anak kecil yang mendapat permen coklat sehingga giginya yang ompong terlihat jelas.

“Ha....... ha....... heh....... heh….! Aku mengerti sekarang anak muda! Terima kasih! Terima kasih! Dan sebagai hadiah yang kujanjikan tadi, terimalah sebuah cincin batu kecubung ini sebagai satu-satunya pusaka yang kumiliki!” kata si Bongkok sambil menyodorkan batu cincin yang berikat tembaga, serta menjelaskan khasiat dari batu tersebut.

“Batu kecubung adalah batu pemikat perempuan. Bila kau pakai maka akan banyak wanita yang tergila-gila kepadamu! Aku sudah tua tak memerlukan ini lagi! Terimalah anak muda!” ujarnya sungguh-sungguh.

“Terima kasih! Simpanlah cincin batu itu kembali. Maafkanlah aku tidak bisa memakainya. Tuhan telah menciptakan manusia beserta daya tarik masing-masing. Oleh karena itu manusia tak usah memakai jimat-jimat untuk memikat lawan jenisnya!

“Salah sekali bila kita mengharapkan suatu anugerah dari benda-benda yang ada di atas dunia yang fana ini. Tempat memohon hanyalah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa! Benda yang anda percayai 'berkat' nya itu ternyata hanya segelincir batu yang juga diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa!” jawab Parmin membuat wajah kakek tua itu menjadi merah padam.

“Baiklah, sampai bertemu lagi anak muda!” ucap si Bongkok dengan nada sinis dan berlalu dari hadapan Parmin tanpa menoleh ke belakang.

Tinggallah Parmin sendiri menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah laku si kakek Bongkok. Parmin menghela nafas dalam-dalam dan kemudian meneruskan perjalanannya kembali.

Matahari sudah lama terbenam di ufuk Barat. Siang pun telah berganti dengan malam ditandai dengan munculnya sang rembulan di ufuk Timur, dengan cahaya emasnya yang menerangi alam maya pada ini.

Setelah melewati dataran yang ditumbuhi rumput ilalang, Parmin melihat dari kejauhan beberapa bangunan tua di pinggiran desa. Parmin menuju ke arah bangunan itu dengan maksud hendak beristirahat.

Bangunan tua itu memiliki tiang-tiang batu yang sudah berlumut dan sudut-sudutnya telah dipenuhi banyak sarang laba-laba, sehingga mirip sebuah bangunan yang angker. Genteng-gentengnya dan sudah banyak yang pecah hingga berserakan di lantai yang juga sudah berdebu tebal.

Pelatarannya pun sudah banyak sampah-sampah dedaunan kering serta dahan pohon yang berjatuhan. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bangunan tersebut sangat rindang namun tidak terurus oleh jamahan tangan-tangan manusia.

◄Y►

2

Beberapa saat Parmin melihat keadaan di dalam bangunan tua itu melalui sinar rembulan yang masuk dari celah-celah genteng lalu ia kembali ke luar dan duduk pada sebuah anak tangga di depan bangunan tua itu.

Tanpa sepengetahuan Parmin, sesosok tubuh berkelebat mengikuti gerak gerik Parmin melalui atap bubungan bangunan yang lain. Dengan sorot mata tajam ia mengawasi Parmin yang sedang memandang sang rembulan.

Saat itu Parmin tengah terbayang wajah sang kekasih yang nun jauh di sana, di desa Kandang Haur. Pada malam-malam terang bulan dengan angin berhembus perlahan menambah keindahan malam, sangatlah sempurna bila di sampingnya ada sang kekasih yang dicintainya.

Malam pun telah beringsut-ingsut menuju larut, namun sepasang mata tajam itu terus mengawasinya dan kini kian memancarkan sinar nafsu membunuh. Dengan berkacak pinggang di atas ubungan itu, sinar rembulan menerpa tubuhnya, maka jelaslah siapa orang tersebut.

“Ha.... ha.... ha.... ha... ha….! Agaknya di sini kita bisa berjumpa lagi!!” ujarnya keras yang disertai tenaga dalam untuk melumpuhkan syaraf lawan.

Parmin tersentak dari lamunannya dan merasakan ada getaran masuk secara tiba-tiba melalui gendang telinganya. Ia lalu berdiri setelah berhasil menolak getaran itu dengan hawa murni dari bawah pusat perutnya, dan dengan segera ia membalikkan tubuhnya ke arah dari mana datangnya suara itu.

Kalau saja orang biasa yang mendengar suara itu, sudah dapat dipastikan akan melorot meraung-raung dengan gendang telinga pecah berhamburan darah. Namun bukanlah Jaka Sembung bila tidak dapat mengatasi semua itu dengan cepat.

Dengan tenang ia melangkah empat langkah dan berdiri di tengah halaman bangunan tua itu sambil memandang ke atas dengan sorot matanya yang tajam, sinar bulan membantu menerangi tubuh orang yang berada di atas bangunan itu. Dengan cepat Parmin sudah mengenal siapa orang tersebut.

“Memang bukan sembarangan orang dapat lolos dari serangan halimun maut di puncak Gunung Ciremai! Aku kagumi kau dalam hal ini, Dewa Suci Penyebar Bala!” sergah Parmin dengan suara lantang mengingatkan peristiwa yang dialaminya di puncak Gunung Ciremai di mana dirinya hampir saja celaka.

Ya! Memang seperti telah dikisahkan pada awal cerita yang lalu di dalam episode “Lagu Rindu dari Puncak Ciremai” Parmin telah bentrok dengan seorang yang menamakan dirinya 'Dewa Suci Penyebar Bala' yang berasal dari daratan Tiongkok.

Dalam duel tersebut Parmin hampir jatuh ke dasar jurang setelah mengadu tenaga dalam. Untung ada sebuah pohon yang tumbuh pada dinding tebing di saat dirinya sedang melayang ke bawah, sehingga ia dapat selamat.

Setelah selamat dari jurang terjal itu, Parmin menghadapi bahaya yang lebih ganas lagi yaitu 'halimun maut' yang bisa membekukan tubuh manusia. Meskipun sudah mengeluarkan ilmu andalannya, masih belum mampu ia menghadapi halimun maut itu, kalau tidak ditolong oleh Begawan Sokalima.

“Ha.... ha.... ha.... ha...! Dewa Suci tak melupakan janji! Di sini kita harus bertanding habis-habisan! Mari kita buktikan, bangsaku atau bangsamu yang lebih unggul dalam ilmu silat! Kita bertempur atas nama leluhur kita masing-masing!!” ujarnya dengan nada sinis dan gigi gemeretak menahan kemarahan.

“Hm....... Dewa Suci! Agaknya kau terlalu menyombongkan kepandaian yang kau miliki!” Ujar Parmin tegas sambil mengamati lawan yang berada di atas bubungan rumah.

“Haiyaaa! Tutup bacotmu, Gembel!!! Ciiaaat.......!!” bentak Dewa Suci sambil melemparkan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil ke arah Parmin dengan disertai tenaga dalam yang dahsyat sekali.

Parmin melihat cahaya-cahaya yang datang begitu cepatnya maka dengan cepat pula Parmin miringkan tubuhnya ke kanan sehingga pisau-pisau itu lolos menemui tempat kosong dan menancap pada tiang beton sampai ke pangkalnya. Bersamaan dengan bergeraknya tubuh Parmin, si Beo pun terbang dan bertengger di sudut jendela bangunan tua tersebut.

Sebelum Parmin berbuat banyak, kembali kilatan-kilatan pisau menghunjam deras ke mana saja tubuh Parmin berkelebat. Agaknya kali ini Dewa Suci tak akan memberi kesempatan kepada Parmin dan ia pun terus melancarkan serangan-serangan yang mematikan.

“Ciiaaat.......!!” teriak Parmin sambil bersalto beberapa kali ke udara, menghindari pisau-pisau itu. Tongkatnya diputar-putar dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari serangan maut tersebut.

Lima jurus, sepuluh jurus, sampai tigapuluh jurus Parmin mengeluarkan ilmu silatnya menghindari serangan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil yang dilemparkan oleh si Dewa Suci. Pertahanan Parmin niscaya akan bobol jika secara kebetulan ia tidak memiliki tongkat besi berani pemberian gurunya yang kedua, yaitu Begawan Sokalima.

Berpuluh-puluh batang pisau telah melekat pada tongkatnya dan dengan gerakan cepat ia mengembalikan kepada sang pemilik dengan disertai tenaga dalam yang lebih dahsyat lagi, sehingga sang pemilik harus jungkir balik menghindar.

Dalam melakukan jungkir balik itu, tangan si Dewa Suci membuat gerakan yang sangat cepat. Dan dengan jari-jari yang lentur ia menangkap dan menjepit beberapa buah pisau yang dilemparkan Parmin dan dengan cepat pula mengembalikan serangan ke biji mata Parmin.

Tubuh Dewa Suci yang bertubuh gemuk dengan lincah terus berjungkir balik sambil mengirimkan serangan yang mematikan ke arah Parmin dengan pisau-pisau yang tersedia, sehingga Parmin dibuat kerepotan.

Tubuhnya yang gemuk gempal itu bagaikan kapas saja waktu ia melakukan lompatan atau pun bersalto ke udara. Ya....... memang si Dewa Suci ini telah memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna sehingga gerakannya tidak terpengaruh walaupun tubuhnya gembrot seperti itu.

Dengan gesitnya ia melakukan jungkir balik dan melompat ke sana dan ke sini. Parmin yang memang sudah mengetahui kehebatan si Dewa Suci itu terus melayani serangan demi serangan yang dilancarkan oleh lawannya. Bukanlah Jaka Sembung kalau tidak mempunyai ketenangan dan keuletan dalam menghadapi segala kesulitan.

Memang betul. Dengan bermodal ketenangan apapun akan bisa teratasi.

Apalagi Parmin telah digembleng oleh gurunya Ki Sapu Angin di Pantai Eretan yang ombaknya besar dan anginnya kencang serta oleh gurunya yang kedua, Begawan Sokalima di puncak Gunung Ciremai, tepatnya di Lembah 'Banyu Panas' yang belerangnya sangat menyesakkan pernapasan dan airnya yang mendidih, ditambah lagi segudang pengalaman dalam pengembaraannya.

Parmin mengelakkan serangan yang dilancarkan si Dewa Suci dengan tongkat besi beraninya sehingga sepasang pisau yang hendak mengancam biji matanya segera menempel di tongkatnya dan pisau lainnya lolos di celah-celah kakinya yang direntangkan sambil melompat tinggi dan bersalto menuju bubungan atap bangunan.

Ketika si Dewa Suci melihat Parmin menghindar jauh, maka dengan segera ia bersalto untuk mengejarnya. Parmin yang masih berada di udara segera menangkap adanya bayangan yang mengejar dari arah belakang.

Si Dewa Suci dengan geram menyerang Parmin, jari-jari tangannya siap mencengkeram tubuh Parmin.

Namun Parmin dengan gerakan manis membuat gerakan dengan menyontekkan ujung tongkatnya ke genteng dan tubuhnya kembali melayang melewati tubuh si Dewa Suci sambil menyabetkan tongkatnya ke pundak lawannya.

Dengan gesit si Dewa Suci berkelit, namun terlambat sedikit sehingga bajunya sobek di bahu. Untung kulitnya masih utuh tidak terkena sabetan Parmin, sehingga serangannya mengenai tempat yang kosong, yang menjadi sasaran cengkeraman mautnya itu adalah genteng-genteng yang menjadi berantakan dan yang diremasnya menjadi debu halus.

Memasuki jurus ketujuhpuluh lima, si Dewa Suci mengeluarkan jurus andalannya, yaitu jurus 'Cengkeraman Singa Dari Gurun Gobi'. Jari-jari tangannya mengeluarkan asap hitam dan kakinya yang sebelah kanan diangkat sedikit, lalu dengan geraman keras ia menerkam Parmin.

Geraman itu memecahkan suasana yang sunyi dan membuat daun-daun kering berjatuhan. Parmin segera memasang kuda-kuda untuk mengusir getaran yang datang akibat geraman yang dikeluarkan si Dewa Suci dan bersiap-siap menanti serangan tersebut.

“Haaiiit.......!!!” sambil melompat tinggi, Parmin menghindari dari cengkeraman tangan maut si Dewa Suci dan menangkis dengan tongkatnya.

“Triing!”

Tongkat Parmin menerpa jari Dewa Suci yang menjadi keras seperti baja dan tangan si Dewa Suci secepat kilat menyampok kaki Parmin yang sedang melayang. Kakinya nyaris menendang selangkangan Parmin sehingga tubuh Parmin terpaksa harus bergerak menghindar dengan melambung ke atas.

“Hm....... angin pukulannya cukup untuk merobohkan sebatang pohon kelapa!” kata Parmin dalam hati sambil bersalto menghindar.

Si Dewa Suci melihat musuhnya masih dapat menyelamatkan diri dari serangan jurus mautnya. Dengan segera ia membuat jurus kembangan dari jurus maut cengkeraman 'Singa Dari Gurun Gobi' yang terdiri dari limabelas jurus. Tangannya digerak-gerakan dengan cepat sehingga menimbulkan suara berdesing dan angin keras pun keluar dari gerakan tersebut.

Parmin dengan cepat memutar tongkatnya membuat perisai untuk menghalangi tubuhnya dari serangan tangan si Dewa Suci yang menimbulkan angin sangat kencang sambil mengerahkan tenaga dalamnya supaya tidak terpental. Adu tenaga dalam pun kian meningkat.

Parmin mengerahkan seluruh kemampuan yang diajarkan oleh gurunya yang kedua, yaitu Begawan Sokalima, yang didapat di saat mempelajari jurus terakhir dari ilmu tongkat sakti. Caranya dengan menyalurkan tenaga dalam ke suatu titik yang berada di tangan Parmin, sehingga tongkat besi beraninya berubah menjadi merah dan mengeluarkan hawa panas menolak serangan yang dilancarkan si Dewa Suci. Terlihat asap mengepul ke udara akibat beradunya tenaga dalam mereka.

Si Dewa Suci menambah daya serangan dengan sekali melompat kakinya diluruskan ke depan mengarah pertahanan Parmin yang sedang memutar-mutarkan tongkatnya yang semakin cepat.

“Hiiyaaat.......!!!” si Dewa Suci memekik keras dengan mengerahkan tenaga dalamnya untuk membuyarkan konsentrasi Parmin dan tubuhnya melesat cepat dengan jari-jari tangan siap mencengkeram batok kepala Parmin, sedangkan kakinya lurus ke depan mengarah perut Parmin.

“Duk!!”

Bunyi beradunya tenaga dalam mereka membuat genteng-genteng yang berada di sekitar mereka jadi hancur berantakan, tubuh Parmin terpental enam langkah sedangkan si Dewa Suci terpental empat langkah. Tubuh Parmin sempoyongan ke belakang seakan-akan hendak jatuh ke bawah.

Di saat itu si Dewa Suci sudah bersiap-siap kembali dengan jurus kembangan yang kesepuluh dari jurus 'Cengkeraman Singa dari Gurun Gobi'. Tangannya masih tetap hendak mencengkeram lawan, namun kali ini kepalanya yang botak plontos dimajukan agak ke depan sehingga sejajar dengan tangannya dan mulutnya terbuka lebar dan dengan geraman yang keras sekali membuat bulu kuduk berdiri.

Tubuh si Dewa Suci melesat dengan cepat sekali mengarah Parmin yang masih sempoyongan. Namun di saat yang bersamaan tiba-tiba bayangan hitam membelah pertempuran yang menegangkan itu.

“Hiiyaaat.......!!” Suara itu demikian keras mengalahkan suara si Dewa Suci yang seketika menghentikan serangannya dan dengan segera miringkan tubuhnya ke kanan sehingga serangan yang dilancarkan oleh bayangan tersebut lolos mengenai tempat yang kosong dan sosok bayangan itu kemudian jungkir balik ke bubungan yang lain.

Dengan sekali lompat Parmin menjauh dari dua orang tersebut.

Kini terlihatlah dengan jelas setelah bayangan itu berdiri tegak dan sinar rembulan menerangi tubuhnya. Tubuh bayangan hitam itu terbungkus baju koko dengan lengan panjang sampai pergelangan tangannya.

Lengan bajunya lebar sehingga bila tertiup angin lengan bajunya itu akan tergerai melambai-lambai dan ujungnya bersetrip putih. Celana pangsinya berwarna hitam sampai ke pangkal kaki dan bersetrip pula, serta pinggangnya diikat kain putih selebar telapak tangan dengan tutup kepala yang menyerupai mangkok berwarna hitam.

Kumisnya yang tipis dibiarkan tumbuh sampai ke dagu dan matanya yang sipit dengan alis mata berwarna putih serta giginya yang hampir mencuat ke depan. Tubuhnya yang kurus serta kulitnya yang keriput menandakan usianya sudah lanjut namun melihat bentuk tulangnya yang masih amat kuat dan gerakan tangannya sangat cepat bila ia sedang memainkan jurus-jurus kuntauw dengan kuda-kuda yang kokoh, ia bukanlah orang sembarangan.

Kini mereka sudah berhadapan muka dengan masing-masing berdiri di atas bubungan rumah. Si Dewa Suci Penyebar Bala dengan berkacak pinggang memperhatikan terus bayangan hitam itu dengan waspada.

Bayangan hitam yang bernama Boen Sio Liong merentangkan tangannya sehingga tangannya yang kurus seakan-akan menjadi besar oleh lengan bajunya yang tertiup angin.

“Haiiyaaa!! Kiranya kau berada di sini Dewa Kualat! Bertahun-tahun aku mencarimu ke segala pelosok daratan Tiongkok, baru detik ini kita saling berhadapan di negeri orang!” ujar Boen Sio Liong dengan senyum sinis.

“Hm....... kiranya kau kakek keriput!” jawab si Dewa Suci setelah mengetahui siapa bayangan hitam tersebut.

“Haiiyaaa! Agaknya kau masih mengenalku! Baik! Bersiap-siaplah untuk membuat perhitungan kita di negeri leluhur dulu! Akhirnya kau tak akan bisa lari lagi dari tanganku dan hari ini tamatlah petualanganmu!!” bentaknya dengan suara keras penuh ancaman sambil tangan kanannya menuding dengan jari membentuk jurus kuntauw.

Si Dewa Suci yang dituding seketika tertawa terbahak-bahak sehingga perutnya yang buncit bergerak-gerak turun naik.

“Ha....... ha....... ha! Tidak semudah itu kau berbuat, Kakek kurus!” sergah si Dewa Suci sambil tangan kirinya mengusap usap kepalanya yang botak tanda ia meremehkan lawannya.

Parmin yang berada di atas bubungan lain menyaksikan dengan serius dua seteru dari negeri seberang itu yang kini bersiap-siap memasang kuda-kuda masing-masing. Boen Sio Liong dengan kaki kanan ke depan yang ditekuk sedikit, lalu menggeser kaki kirinya ke belakang sehingga tubuhnya agak turun ke bawah, namun pantatnya tidak mengenai genteng.

Tangan kanannya yang membentuk jurus kuntauw diluruskan ke depan. Dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka menempel pada jempol tangan kanannya dan seketika dari telapak tangannya keluar asap kemerah-merahan.

Si Dewa Suci Penyebar Bala melihat lawannya telah mengeluarkan jurus tenaga dalamnya lalu membuat kuda-kuda dengan kaki terbentang lebar dan agak ditekuk sedikit. Dan kedua tangannya dikepal lalu disilangkan di depan dadanya kemudian terlihatlah asap berwarna hitam keluar dari tangan si Dewa Suci.

Kedua seteru itu kemudian melepaskan pukulan jarak jauhnya dengan menggunakan lwekang masing-masing. Suasana malam yang kian larut dengan hawanya yang dingin namun menegangkan syaraf bagi yang melihat pertandingan adu tenaga dalam tersebut.

Sinar merah dan hitam saling mendorong satu dengan yang lainnya dan tubuh mereka bergoyang-goyang menahan dorongan yang dilancarkan. Sinar-sinar tersebut saling bergulung-gulung sehingga menimbulkan hawa panas di sekitarnya membuat daun-daun serta ranting-ranting pohon yang terdekat hangus terbakar.

Parmin yang menyaksikan pertarungan itu merasakan ada hawa panas yang tak wajar menerpanya sehingga ia segera menyalurkan hawa murni dari bawah perutnya dan berhasil mengusirnya.

Pertarungan itu pun berlanjut terus sehingga tubuh mereka terlihat terangkat dua jengkal dari posisi semula dan sinar-sinar itu semakin bergulung-gulung kemudian menghilang ke udara. Ternyata mereka sama-sama memiliki ilmu dalam yang seimbang dan lihai.

“Kau memang banyak kemajuan dewa laknat! Tetapi terimalah ini! Hiiiyaaa!!!” bentaknya keras sambil mengerahkan tenaga dalamnya dan bagai kilat si jubah hitam itu melompat menyerang Dewa Suci dengan tangan kanannya menusuk biji mata dan tangan kirinya terbuka mengarah batok kepala serta kaki kanannya mengarah perut.

Si Dewa Suci dengan kewaspadaan penuh dan perhitungan yang matang menggeser tubuhnya ke kiri dan kepalan tangannya siap menghantam iga si Jubah Hitam.

“Tak!!” bunyi beradu dua tulang seperti hendak patah dan tubuh si Dewa Suci sempoyongan beberapa meter, sebaliknya tubuh si Jubah Hitam meletik ke udara dengan bersalto seperti kapas tertiup angin.

Tubuh Boen Sio Liong begitu ringannya sehingga dalam bentrokan tadi tubuhnya bisa melayang kembali setelah terkena tenaga yang dilancarkan si Dewa Suci dan tenaga tersebut dijadikan sebagai pantulan tubuhnya.

Pada saat tubuh si Jubah Hitam sedang melambung ke udara, sebuah bayangan lain berkelebat menyambarnya dengan tusukan yang mematikan mengarah leher. Bayangan itu begitu cepatnya menyerang si Jubah Hitam, namun dengan gerakan cepat pula si Jubah Hitam berkelit memutar tubuhnya yang masih bersalto dan loloslah serangan yang dilakukan oleh bayangan tersebut.

“Haiyaa....... curang!!” bentak si Jubah Hitam menghindar setelah tahu ada orang lain yang menyerangnya dengan sabetan-sabetan yang mematikan mengarah ke tubuhnya.

Bayangan yang membokong itu tak lain adalah Ling Pei, dara manis putri si Dewa Suci yang terus mengikuti ke mana ayahnya mengembara! Ya! Dalam episode yang terdahulu pun Ling Pie telah membokong Parmin yang sedang melakukan sholat.

Namun indra kependekaran yang dimiliki Jaka Sembung sudah sangat terlatih sehingga serangan gelap berupa pisau-pisau kecil yang mengarah ke tubuh Parmin dapat dihindarinya, sedangkan serangan senjata sepasang pedang Ling Pei di tangannya pun dengan mudah dihindari Jaka Sembung.

Kini Ling Pie dengan sepasang pedangnya kembali menyerbu si Jubah Hitam yang sudah mendarat di bubungan tak jauh dari tempat Ling Pei berdiri. Tubuh Ling Pei melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya dengan kedua pedang mengarah leher serta perut.

si Jubah Hitam tetapi dengan gerakan yang tak terduga oleh Ling Pei menyelinap di antara kedua pedangnya dan tanpa ampun lagi tangan kanan si Jubah Hitam yang telah diisi tenaga dalam tersebut mendobrak dada si dara manis itu.

“Plak!!” Tangan itu menggedor dada Ling Pei dan dengan suara tertahan tubuh Ling Pei melayang tak berdaya meluncur deras dari bubungan dengan darah berhamburan dari rongga mulutnya.

Parmin yang menyaksikan tubuh dara itu melayang ke bawah dengan cepat bertindak hendak menolong agar tubuh dara tersebut tidak berdebam di tanah. Dengan sekali gerakan Jaka Sembung telah berada tepat di bawah tubuh molek yang sedang melayang tanpa terkendali. Kedua belah tangannya yang kokoh dibentangkan ke depan, menyongsong tubuh dara tersebut.

“Tap!!” Tubuh dara itu disambut oleh tangan Parmin, yang lalu membopongnya dan meletakkannya di anak tangga di depan bangunan tua itu.

Sayang. Ternyata nyawa Ling Pei telah melayang entah ke mana dengan darah berhamburan ke luar dari mulutnya hingga membasahi bajunya.

“Innalillahi.......!” ucap Parmin setelah mengetahui bahwa dara tersebut telah meninggal dunia. Parmin lalu teringat akan pesan gurunya Ki Sapu Angin bila kau melihat ada orang yang terkena musibah ucapkanlah 'Innalillahi wainnailaihi roji'un', segala yang berasal dari-Nya akan berpulang kepada-Nya jua.

***

3

Di atas bubungan yang lain dua seteru masih bertarung hidup dan mati. Mereka mengeluarkan seluruh ilmu yang mereka miliki.

Ilmu silat mereka memang berimbang, keduanya sama-sama mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat tertinggi sehingga tubuh mereka tampak seperti gulungan-gulungan sinar yang saling menindih. Dan sekali-sekali menekan lawannya sehingga orang yang berilmu rendah tidak mampu mengikuti pertarungan yang begitu cepat.

Parmin yang menyaksikan dari bawah berdecak kagum melihat kedua orang itu bertarung dengan ilmu silat yang paling tinggi, yang mereka miliki. Apakah yang mereka perebutkan? Kekuasaan? Kehormatan? Atau harta peninggalan nenek moyang mereka?

Jikalau mereka memperebutkan kekuasaan, apakah mereka sanggup melawan penjajah Kumpeni Belanda yang sedang berkuasa di negeri ini? Apabila mereka memperebutkan harta peninggalan nenek moyang mereka, mengapa harus jauh-jauh bertarung di negeri ini?

Andaikan mereka mencari kehormatan, apalah artinya kehormatan itu? Kehormatan dengan mempertaruhkan nyawa. Sungguh suatu hal yang salah besar! Kehormatan dunia tidaklah mutlak.

Lihatlah orang-orang yang mempunyai harta benda yang melimpah ruah, segala keinginannya terpenuhi dengan segera apa-apa yang mereka mau dengan cepat terlaksana. Apakah itu yang dinamakan kehormatan? Mungkin anggapan mereka itulah kehormatan.

Tetapi bila harta tersebut telah habis atau telah lenyap dan nyawa mereka telah diambil oleh Sang Maha Pencipta, apakah kehormatan itu masih kita miliki? Tidak! sekali lagi tidak! Yang tinggal hanyalah kesedihan dan kesengsaraan.

Kehormatan yang hakiki hanyalah di hadapan Allah Sang Maha Pencipta. Parmin menarik napas dalam-dalam. Matanya yang tajam terus mengikuti pertempuran di atas bubungan di mana kedua seteru itu masih saling menyerang satu dengan lainnya dengan jurus-jurus maut yang mematikan.

“Kau telah membunuh putriku, Jahanam keparat!!!” bentak Dewa Suci dengan geraman keras dan gigi gemeretuk menahan amarah yang meledak melihat putri tersayangnya telah menjadi mayat. Dengan gerakan cepat kakinya menendang perut si Jubah Hitam, sedangkan tangannya mengarah ke tenggorokan.

Tetapi dengan sekali hentakan, tubuh si Jubah Hitam telah melesat ke atas dan membuat gerakan salto sambil kakinya menendang tengkuk si Dewa Suci. Akan tetapi ketika si Dewa Suci melihat tubuh musuhnya melewati kepalanya, ia segera membuat gerakan tak terduga.

Kakinya yang telah mengarah ke perut lawan tiba-tiba dialihkan dengan berguling-guling memburu selangkangan si Jubah Hitam yang masih jumpalitan di udara. Kembali si Jubah Hitam membuat gerakan lain.

Dengan tubuh yang masih jumpalitan ia membuat kebalikan dari arah semula, di mana ia diserang dan segera berdiri tegak tanpa menimbulkan suara, serta langsung memasang kuda-kuda. Sebaliknya si Dewa Suci dengan cepat berdiri dengan penuh kewaspadaan.

Mereka kini telah siap kembali dengan jurus maut yang mereka miliki. Di detik selanjutnya terdengar suara menggelegar memecahkan suasana.

“Hiiyaaatt.......!!” Suara mereka keras hampir bersamaan dan seketika itu tubuh mereka melesat ke udara. Terlihatlah berkas sinar saling menyongsong.

“Duuaaarr.......!!” Sinar itu bertemu di udara dengan suara ledakan yang menggema ke sekeliling tempat itu.

Asap hitam pun mengepul membubung ke udara dan hilang tertiup angin. Dalam benturan itu tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang dan keduanya sama-sama bersalto menjaga keseimbangan tubuh agar tak terjatuh dari atap bangunan.

Embun pagi telah membasahi dedaunan dan rumput ilalang, namun mereka tetap bertempur dengan jurus-jurus maut yang mematikan, walaupun belum terlihat seorang pun yang bakal kalah.

Berpuluh-puluh jurus telah mereka keluarkan, peluh membasahi tubuh sehingga pakaian mereka basah kuyup. Memasuki jurus keseratus, mereka mengeluarkan ilmu andalannya masing-masing.

Si Dewa Suci mengeluarkan jurus maut dari ilmu silat Gurun Gobi, sedangkan Boen Sio Liong alias si Jubah Hitam mengeluarkan jurus andalannya dari Pegunungan Himalaya.

Kedua seteru ini telah bersiap-siap dengan ilmu andalannya masing-masing. Dewa Suci mengerahkan tenaga dalam dengan sepenuhnya. Terlihat sewaktu ia menggerak-gerakan tangannya yang dikepal lalu terbuka, dan dikepal lagi sehingga menimbulkan hawa panas dan telapak tangannya menjadi merah seperti bara.

Si Jubah Hitam yang merasakan hawa panas tersebut segera menolak dengan jari-jari tangan terbuka seperti hendak menerkam lawan. Dari tangannya keluar asap putih mengepul dan segera asap itu menolak hawa panas yang datang. Jurus ini disebut Jurus Beruang Sakti dari Gunung Himalaya sebuah jurus maut yang sangat ampuh.

Sinar merah dan putih saling mendorong untuk menjatuhkan lawan dan akibatnya genteng-genteng di atap bangunan yang terdekat menjadi terbakar. Pada detik selanjutnya Dewa Suci menerjang dengan seluruh tenaga dalamnya.

Tangannya lurus mengarah ulu hati si Jubah Hitam dan dengan geraman keras disertai nafsu membunuh, ia merangsak Jubah Hitam dan berhasil menggedor dada lawan. Bersamaan itu si Jubah Hitam menyongsong serangan lawan dengan kedua tangan yang siap menerkam.

“Buk! Prak!”

Bunyi bentrokan itu keras sekali, hampir bersamaan terdengar oleh Parmin yang berada di bawah dan senantiasa menggeleng-geleng kepala menyaksikan pertarungan langka tersebut.

Tangan kanan si Dewa Suci tepat mendarat di dada si Jubah Hitam. Darah keluar dari mulut si Jubah Hitam akibat dadanya terguncang hebat dan terlihat baju di depan dadanya pun terbakar, akan tetapi bersamaan dengan itu tangan kiri si Jubah Hitam tepat menghantam batok kepala si Dewa Suci yang botak plontos.

Jari-jari si Jubah Hitam amblas ke dalam hingga tak terlihat dan dengan sekuat tenaga menjebol batok kepala tersebut hingga berantakan. Darah merah berhamburan membasahi muka lawan sehingga tangan kiri si Jubah Hitam menjadi merah dan batok kepala si Dewa Suci Penyebar Bala menjadi hancur seperti kerupuk.

Pekik mereka berdua tertahan sejenak ketika tangan mereka mendobrak sasaran. Kemudian tubuh mereka melayang deras ke bawah tanpa terkendali dan tepat jatuh di depan Parmin yang sempat menggeser kakinya ke belakang sehingga terhindar dari kejatuhan dua sosok tubuh tersebut.

Tubuh mereka berdua menggeletak tak bernyawa lagi, dalam keadaan bersimbah darah. Parmin termangu-mangu memandangi tiga sosok tubuh yang telah menjadi mayat.

“Inilah penyelesaian yang paling baik bagi Dewa Suci dan agaknya ia memang ditakdirkan mati di tangan orang bangsanya sendiri!” gumam Parmin dalam hati.

Sang waktu terus merangsek perlahan namun pasti, rembulan telah memasuki peraduannya. Di ufuk Timur mentari telah menyinarkan cahaya keperakan, memberikan kehidupan bagi makhluk yang berada di bumi ini.

Burung-burung serta unggas yang saling bernyanyi menyambut sang surya. Kicauan burung-burung yang saling bersahutan memberi kenikmatan hidup bagi yang mendengarnya. Sungguh Maha Besar Sang Pencipta alam raya ini.

Parmin pun segera membuat liang lahat dan beberapa saat kemudian ia telah selesai menguburkan mayat-mayat itu. Setelah itu Parmin mencari mata air yang terdekat. Tidak lama kemudian ia telah menemukan mata air tersebut dan segera menanggalkan pakaiannya, Parmin lalu merendam tubuhnya di mata air tersebut.

“Uh....... sejuknya air ini membuat tubuhku terasa lebih segar! Ayo Beo, mandi! Bukankah kau telah satu minggu tidak mandi?!” ujar Parmin kepada sahabatnya itu.

Dengan segera burung Beo itu terbang lalu hinggap di pundak Parmin dengan perlahan sehingga kulit Parmin tidak terluka oleh kukunya yang tajam. Kemudian dua makhluk yang berlainan jenis itu segera terlihat canda ria di pagi yang cerah.

Setelah puas menikmati air yang jernih itu dan tubuhnya terasa lebih segar, Parmin melanjutkan perjalanannya kembali.

***