Dewi Ular - Misteri Bencana Kiamat(2)

Kumala masih ingat pesan Dewa Argon sebelum dewa
romantis itu kembali ke Kahyangan setelah membantu
Kumala melumpuhkan awan beracun, tiga hari yang lalu.
"Lokapura mengirim utusan ke bumi, entah siapa.
Waspadalah dengan ancaman itu, Dewi."
"Kenapa bukan Lokapura sendiri sih vang muncul
kebumi" Aku jadi nggak sabar ingin segera berhadapan
dengannya, walau pun nggak harus perang. Mungkin
bisa adakan perundingan damai dengannya."
"Tidak mungkin Lokapura turun sekarang, Dewi."
"Lho, memangaya kenapa?"
"Lokapura sedang menunggu kelahiran anak andalannya."
"Anak andalan" Maksudnya bagaimana tuh?"
"Anak itu akan lahir dari selirmas Lokapura yang
bernama Auro. Kelak anak itu akan menjadi anak paling
sakti di antara anak-anaknya Lokapura, bahkan bisa jadi
lebih sakti dari Lokapura sendiri."
"Kenapa begitu?"
"Karena Auro anak dari Penghulu Ibiis yang bernama
Bahoddam. Bahoddam terkenal sakti. Sebelum ia lenyap
selamanya, dia sudah berjanji akan mewariskan seluruh
kesaktiannya kepada cucunya yang berdarah hitam. Cucu
berdarah hitam diperoleh apabila Auro menikah dengan
Lokapura. Auro wanita yang hanya punya kesempatan
satu kali hamil dan beranak. Kehamilannya tidak cukup
hanya 9 bulan, tapi sembilan tahun menurut perhitungan
tahun bumi. Dan, sekarang Auro sudah waktunya
melahirkan bayi yang dikan- dungnyaitu."
Argon kembali ke Kahyangan setelah sukses
membantu Kumala melumpuhkan awan beracun. Dan,
yang paling diingat oleh Kumala saat ini adalah pesan
Argon agar waspada kepada utusannya Lokapura yang
dikirim ke bumi. Naluri Kumala mengatakan, bahwa
utusan Lokapura sangat mengetahui apa saja yang akan
dan telah dilakukan oleh Lokapura. Tentunya utusan itu
juga berbekal kesaktian yang tidak bisa dianggap ringan.
"Buron, coba selidiki siapa sebenarnya lelaki tua yang
disebut sebagai Opa itu," perintah Kumala kepada Buron.
Waktu itu, Tante Firda sudah pulang, dan Niko belum
datang. " Baru saja kubicarakan dengan Sandhi, kemungkinan
besar Opa bukan manusia biasa dan..."
"Berangkatlah sekarang juga!"
Claaaap... ! Buron berubah menjadi seberkas cahaya
kuning yang menyerupai meteor. Cahaya kuning kecil
berekor itu melesat menembus atap rumah tanpa suara
apapun. Beberapa saat kemudian barulah Niko tiba di rumah
Kumala. Ia datang sendirian dengan wajah memendam
ketegangan. la iangsung menemui Kumala yang sedang
berada di dapur bersama Mak Bariah, membantu
pelayannya menangani masalah dapur.
"Dewi, ada kabar buruk tentang..."
"Ya, aku sudah dengar dari Sandhi."
"Bukan hanya itu saja, Dewi. Ada yang lebih gawat
lagi" 
"Okey, tapi jangan sekarang. Pergilah ke ruang
makan. Duduklah di sana, dan tunggu aku beberapa
saat. Aku nggak mau pekerjaan dapurku terganggu "
"Tapi, Dewi..."
"Please...!" Kumala memohon dengan senyum dan
kesabaran. Niko tak mampu mengeraskan hatinya lagi, ia
terpaksa bergegas pergi dari dapur dan duduk di ruang
niakan ditemani Sandhi. Beberapa saat kemudian Kumala
datang, menghidangkan mie goreng buatannya, dibantu
oleh Male Bariah dalam menyiapkannya.
"Okey, sekarang bicaralah, tapi... cicipi dulu masakanku ini."
"Aku bicara dulu baru cicipi masakanmu. Atau, bicara
sambil mencicipi masakanmu?"
Kumala tertawa kecil. "Okey-lah..."
"Korban bertambah. Sekarang, berita terakhir kudapatkan 
dari temanku yang menjadi pengikut Opa,
katanya sudah ada enam orang yang tewas secara
misterius. Umumnya mereka habis terlibat adu debat
dengan Opa, dan kematian mereka sangat mendadak "
"Aku sudah suruh Buron untuk selidiki siapa
sebenarnya Opa. Sebab, ada kemungkinan dia utusannya
si Lokapura dengan satu misi khusus yang belum
tersimpulkan dengan jelas."
"Pantas kalau begitu," suara Niko seperti menggumam. 
Sandhi menimpali, "Apanya yang pantas "
"Dia mampu membuat semua mobil atau motor yang
diparkir di depan rumahnya menjadi mogok, nggak bisa
dihidupkan mesinnya. Hal itu membuat mereka yang
ingin pergi meninggalkan dia jadi batal lantaran
kendaraannya nggak bisa dipakai."
"Siapa temanmu yang menjadi pengikutnya itu?" tanya
Kumala. "Danny. Dia ingin keluar dari kelompok itu tapi
terkesan dihalang-halangi oleh kekuatan gaib yang
membuatnya ragu-ragu terus. Opa ingin membawa
mereka ke suatu tempat, semacam pondok yang ada di
pinggiran kota. Konon, mereka akan dikukuhkan sebagai
Umat Pilihan dan akan diselamatkan pada saat kiamat
tiba nanti."
"Sudah berapa banyak pengikutnya?" tanya Sandhi.
"Mencapai puluhan, tapi belum ada 50 orang. Belum
sampai sebanyak itu. Danny lebih tahu soal itu."
"Jumlah itu akan semakin bertambah kalau tidak
segera dicegah," kata Kumala tetap kalem, sambil
menikmati mie goreng buatannya la memang selalu
tampak tenang selama deteksi gaibnya menunjukkan
kondisi yang belum terlalu parah. Itulah sebabnya ia
tugaskan Buron bukan turun tangan sendiri, karena ia
merasa kasus tersebut belum membahayakan seluruh
jiwa manusia. Namun, kadang perhitungan logikanya memang
meleset. Walau tak terlalu jauh melesetnya Jika
lawannya pandai menyembunyikan potensi yang dimiliki,
deteksi gaib Kumala sering salah persepsi. Oleh sebab
itu, dia menugaskan Buron datang ke sana, menjaga
kalau sampai deteksi gaibnya kurang tepat pada sasaran.
Sebagai jelmaan dari Jin Layon, Buron punya banyak
akal dan kesaktian dalam menghadapi masalah- masalah
yang bersifat mistik. Ia dapat merubah penampilannya
dari pemuda berambut kucai menjadi pemuda berwajah
tampan, atau yang sejenisnya lagi. Namun agaknya kali
ini Buron merasa belum memerlukan suatu penyamaran
semacam itu. Ia memposisikan dirinya sebagai penyusup
yang bisa berada di tengah-tengah para pengikut Umat
Pilihan itu. "Mau ke mana kita ini, Mas?" tanya Buron sok akrab
kepada salah seorang lelaki yang baru keluar dari rumah
Opa. Mereka tampak bersiap-siap untuk melakukan
perjalanan, dan sedang berkumpul di halaman rumah
berdinding abu-abu itu.
"Lho, tadi kan Opa sudah bilang kalau kita mau
dipindahkan ke pondok. Di sana kita dapat pengukuhan
sebagai Umat Pilihan. Apa situ tadi nggak dengar Opa
kasih wejangan begitu?"
"Tadi aku lagi ke toilet, kali. Jadi nggak dengar
semua." "Makanya kalau Opa lagi kasih wejangan, jangan
bergeser dari tempatmu sekejap pun. Penting itu!"
"Iya, ya...," Buron cengar-cengir sambil garuk- garuk
kepala. Agaknya yang diajak bicara itu orang yang masih
setia menjadi pengikut Opa dan sangat percaya dengan
apapun yang dikatakan Opa.
Lama-lama Buron menemukan satu kejanggalan.
Mereka akan pergi ke suatu tempat, tapi mengapa
mereka tidak segera pergi. Mereka berkumpul di halaman
itu, seperti menunggu jemputan. Sementara semua
kendaraan mereka tidak ada yang digunakan. Timbu!
pertanyaan di hati Buron, mungkinkah Opa sudah
menyiapkan mobil jemputan untuk mengangkut mereka
yang jumlahnya sekitar 30 orang itu"
Tak berapa lama kemudian Opa muncul dari dalam
rumah. Semua pengikutnya bersiap-siap menghadap dan
mendengarkan apa yang dikatakan oleh lelaki tua itu.
"Bikin satu lingkaran dan berkumpullah menjadi satu!"
perintah Opa dengan suara tua yang masih berwibawa.
Maka, mereka segera membentuk lingkaran besar.
Beberapa orang bergandengan tangan dan membentuk 
lingkaran, sisanya berada di tengah, di
dalam lingkaran. Termasuk Buron yang sejak tadi sangat
berhati-hati dalam melemparkan pandangan matanya ke
arah Opa. Ia takut keberadaannya diketahui oleh Opa
sebagai penyusup.
Sebab menurutnya, jika memang Opa orang berilmu
maka ia dapat merasakan getaran gelombang gaib dari
tempat lain. Mungkin juga dapat mengenali jenis
gelombang gaib jin yang dimilikinya.
"Aku harus mengosongkan diri," pikir Buron: "Kalau
jalur gaibku nggak kututup, dia dapat menangkap
gelombang gaibku. Tapi kalau jalur gaib kututup, aku
nggak bisa merasakan getaran gaib lain yang seharusnya
kukenali tingkatannya. Hmm, gimana enaknya?"
Setelah berpikir sejenak, Buron pun berpendapat
dalam hatinya. "Okey, kututup sementara saja, sampai kutemukan
titik-titik kejanggalan yang perlu kuselidiki, baru kubuka
kembali jalur gaibku buat menembus titik kejanggalan
itu." Salah seorang berseru, "Kami sudah siap, Opa."
"Baik. Sekarang... pejamkan mata kalian. Jangan ada
yang coba-coba buka mata sedikitpun. Bisa buta mata
kalian kalau berani buka mata sedikit saja."
Perintah itu sangat dipatuhi. Mereka memejamkan
mata dengan kepala tertunduk. Tapi Buron sengaja buka
mata sedikit tanpa takut ancaman buta seperti yang
dikataikan Opa tadi. Ia ingin tahu apayang teijadi saat itu
sebenarnya. Tampak kedua tangan Opa sedikit terangkat, hanya
sebatas pinggang. Tak terlalu tinggi. Tapi pada saat itu
juga dari dalam tanah seperti muncul bias cahaya putih.
Terang dan makin lebar. Makin menyilaukan. Claaaap...!
Mata Buron perih seketika. Jalur gaibnya dibuka untuk
menetralisir rasa perih itu. Zzzzub...! Tiba-tiba cahaya
putih menyilaukan itu padam seketika. Buron kembali
menutup jalur gaibnya. Ia hanya merasakan hembusan
angin menjadi lebih seiuk ketimbang sebelumnya.
"Benar juga kata dia tadi, ada yang berani melek
sedikit aja, bisa langsung buta matanya!" pikir Buron
sebelum mendengar aba-aba dari Opa yang ditujukan
untuk para pengikutnya itu.
"Ya, cukup. .! Buka mata kalian!"
Semua membuka mata. Semua saling tercengang.
Mereka memandang ke sana-sini dengan kebingungan.
Ternyata mereka sudah bukan berada di depan rumah
berdinding abu-abu lagi. Mereka sudah berada di tempat
lain. Di pinggiran kota. Banyak pepohonan. Ada
bangunan rumah seperti pondok berukuran panjang.
Halamannya sangat luas. Pohon bambu betjajar di salah
satu sisi. Terdengar suara arus air deras. Tak salah
dugaan mereka, di bawah pepohonan bambu itu terdapat
aliran arus sungai.
Mereka baru menyadari bahwa mereka telah dibawa
Opa ke pondok yang disebut-sebut sebagai pondok Umat
Pilihan. Mereka telah dipindahkan secara gaib. Hal itu
membuat hati mereka semakin percaya bahwa Opa
memang sang penyelamat yang mereka dambakan.
Kesaktian Opa merupakan jaminan akan kebenaran
seluruh ucapannya, terutama mengenai datangnya
kiamat dalam waktu dekat ini.
"Boleh juga atraksinya,"
gumam hati Buron menanggapi keajaiban tersebut. Namun 
ia tetap bersikap lowprofile, bahkan cenderung berlaga bego.
"Opa," seru salah seorang. "... apa yang akan kami
lakukan di pondok ini selain pengukuhan" Apakah kami
habis itu boleh puiang ke rumah masing-masing?"
"Untuk apa kamu pulang ke rumah " Kamu mengikuti
aku berarti kamu sudah rela meninggalkan segala harta
milikmu, termasuk rumahmu. Bahkan saudara atau
keluargamu yang tidak mau ikut bersamamu harus kamu
relakan juga! Untuk apa kembali ke rumah"!"
"Hmm, maksud saya..."
"Kamu cari selamat apa cari mampus"!'
"Cari selamat, Opa."
"Kalau cari selamat, tetaplah bersamaku! Kamu calon
Umat Pilihan yang tidak peduli lagi dengan hal- hal
duniawi! Paham"!"
"Hmm, iya... paham, Opa!"
"Sekarang, semua masuk ke balai agung .. ruangan
yan gada di tengah dalam sana! Tapi tunggu, tunggu...!"
cegah Opa membuat mereka yang mau bergerak tidak
jadi bergerak, semua mernperhatikan Opa. Masin-gmasing 
bertariya dalam hati, ada apa dan mengapa
harus menunggu"
"Ada yang tidak beres di antara kalian!"
Mereka saling pandang satu dengan yang lain, seakan
saling menyimpan kecurigaan. Salah seorang berseru
kepada Opa.
"Tidak beres bagaimana, Opa" Siapa yang tidak beres
itu?" "Aku mencium bau jin di antara kalian!"
Buron tersentak dalam hati, "Waduh, mati aku!
Ketahuan deh"
Opa masih berdiri di lantai teras yang memiliki anak
tangga tiga baris. Dari tempatnya berdiri ia memandang
ke setiap orang dengan tatapan mata tajamnya. Buron
berusaha berlindung di balik punggung seorang
perempuan gemuk yang takut mati itu. Tapi agaknya
Opa mencari bukan dengan mata, namun dengan
penciumannya. Barangkali karena radar gaibnya tidak
mampu mendeteksi gelombang gaibnya Buron, maka ia
rnenggunakan penciumannya. Dan, ternyata orang tua
itu hapal betul dengan bau khas keringat jin.
"Hey, kamu yang pake kaos merah itu! Kemari kau...!
Hey:..!" Buron makin mengkerut. "Waduh... gelombang gaib
bisa kusembunyikan. Dia mengenali bau keringat asliku"
Celaka!" Semua orang jadi memandang Buron. Yang merasa
dekat dengan Buron segera menyingkir, karena Opa
sedang menghampiri dengan mata memandang tajam,
menandakan kegeraman amarahnya. Menyadari hal itu
Buron merasa tidak bisa mengelak lagi, tidak bisa
menutupi dirinya lagi, maka ia kembali membuka jalur
gaibnya. "Sudah terlanjur kepergok begini, ngapain harus
menutup jalur gaibku. Di-on-kan lagi aja! Kepalang
tanggung, ah!"
Buron menarik napas dalam-dalam. Ia tidak bergeser
dari tempatnya. Ia terkesan siap menghadapi kedatangan Opa. 
Dari wajahnya tidak terlihat rasa takut
sedikit pun. Bahkan cenderung santai.
"Apa yang kau lakukan di sini, hay anak jin"!"
Suara tua itu menggeram setelah berhenti melangkah
dalam jarak sekitar 10 meter dari tempat Buron berdiri.
"Kau telah memasuki wilayahku, tahu"!" sentak Opa
lagi. Buron tersenyum kalem. Ngeselin.
"Yang memasuki wilayah siapa" Kau atau aku,
Paktua"!"
"Kau!"
"Aku sudah lebih dulu ada di bumi ini, dan kau baru
saja datang karena ingin menyesatkan pikiran manusia,
bukan"!"
"Tutup mulutmu! Aku ini dewa dari Kahyangan!"
"Dewa..."!
Oh, ya..."!"
sikap Buron makin mengesalkan lawannya. "Dewa cap apa kamu" 
Setahuku nggak ada dewa strukturnya kayak kamu."
"Aku Dewa Chong...! Chonggunata, penguasa binatang buas!"
"Emang ada apa dewa namanya Chonggunata"
Kayaknya nggak ada deh "
"Tentu saja kamu tidak tahu karena kamu bukan
penghuni Kahyangan!"
"Dewa gadungan kali luh...," ledek Buron sambil
cengar-cengir. Orang-orang yang ada di sekitar situ
merasa heran melihat Buron tidak ada takutnya sedikit
pun berhadapan dengan Opa. Di pihak lain, Opa semakin
berang mendengar kata-kata Buron. Ia merasa
dilecehkan di depan orang-orang yang mengagungkan
dirinya. "Mulutmu memang harus dibrangus, Anak jin!
hiiihh...!"
Wuusst...! Opa seperti melemparkan piring ke aruh
Buron. Yang keluar dari lemparannya hanya percikan
cahaya merah pendek. Tapi tiba-tiba Buron tersentak
mundur dan tak mampu berteriak. Ia tak bisa
mengeluarkan suara apapun, karena mulutnya hilang.
Lubang mulut termasuk bibimya menjadi rata dengan
kulit daging-pipinya.
"Halih.. ."! Tuh anak mulutnya hilang"!" cetus salah
satu dari mereka dengan mata terbelalak. Mereka pun
semakin takut dan menjauhi Opa Sementara Buron
berusaha meraba mulutnya dan tampak bingung setelah
mengetahui dirinya tidak bermulut lagi.
Wuut, wuuuut...! Buron mengibaskan kedua tangannya 
seperti orang menari Kibasan kedua tangan
mengeluarkan asap kuning yang menyembur ke wajah
Opa. Tapi dengan satu kali tiupan mulut, asap kuning itu
pudar dan lenyap tanpa meninggalkan akibat apapun
pada diri Opa. Hanya saja, dedaunan yang ada di atas
mereka berguguran dan jatuh ke tanah dalam keadaan
menjadi kering'. Orang-orangyang melihat kejadian itu
terperangah lagi
"Gila! Asap kuning tadi bisa bikin daun rontok dan
kering seketika"! Wah, walau kena muka Opa gimana tuh
tadi ya"!" ujar salah seorang dengan bulu kuduk
merinding. Tiba-tiba dari tangan kanan Opa keluar semacam 
paku baja berukuran satu kelingking panjangnya. jumlahnya
sangat banyak. Zraaak! Paku-paku itu menerjang Buron.
Titik sasaran dada Buron. Tapi dengan cepat Buron
berubah menjadi cahaya kuning. Claaap..! Tak peduli
disaksikan orang banyak, Buron melesat ke atas
sehingga paku-paku itu lolos tak mengenai dirinya,
namun menancap di beberapa pohon. Pohon-pohon yang
terkena paku itu tiba-tiba mengkerut, layu, kemudian
kering. Dalam hitungan detik pohon- pohon itu tampak
jelas menjadi keropos dan rapuh .
Sekali lagi para pengikut Opa tercengang melihat
kesaktian Opa yang mampu membuat pohon segar
menjadi rapuh dalam waktu sekejap. Namun mereka
juga kagum melihat Buron bisa berubah menjadi cahaya
kuning seperti meteor kecil. Ada yang kagum ada yang
ketakutan. Ternyata Opa tidak hanya memiliki kesaktian sampai
di situ saja. Sinar kuningnya Buron dikejar dengan cara
merubah did menjadi sinar meraK sebesar telur burung.
Sinar merah itu memercik-mercikkan bunga api, dan
memburu sinar kuning. Di udara mereka bertabrakan.
Blegaaaaarrr...!
Ledakan yang terjadi akibat tabrakannya dua sinar tadi
membuat pohon sekitar mereka bergetar. Tanah juga
bergetar. Mereka berlarian mencari tempat aman karena
menyangka akan terjadi gempa. Suasana menjadi kacau.
Namun hanya beberapa saat saja. Suasana kacau reda
kembali setelah kedua sinar tadi berubah menjadi Opa
dan Buron. Hanya saja keadaan Biiron lebih menyedihkan, 
namun juga ada segi menguntungkannya.
Buron terpental cukup jauh. Membentur batang pohon
besar. Terpuruk di sana dajam keadaan sekujur
tubuhnya tersayat-sayat, seperti habis dicabik-cabik
dengan kuku-kuku tajam. Dari wajah sampai kaki
mengalami luka cabikan. Tapi keadaan mulutnya yang
tadi merapat dan hilang, kini sudah muncul kembali.
Normal seperti semula. Hanya saja dengan keadaan bibir
berdarah seperti habis kena cakar. Sementara Opa
terpental tak seberapa jauh, dan mendaratkan kakinya di
atas tanah dengan tegak. Hanya separoh wajahnya yang
tampak memar. "Pergi kau dari sini !" sentak Opa, suaranya 
berubah serak dan besar. Menyeramkan.
Tapi Buron tidak merasa gentar sedikitpun. la bangkit
dengan menyeringai menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Lalu, mengambil sikap ingin menyerang lagi. Sebelum
Buron banyak bergerak, Opa segera melompat dalam
posisi tengkurap, melayang cukup jauh jaraknya, dan
dalam perjalanan melayang ke arah Buron itulah ia
berubah menjadi seekor harimau. Blaaab...!
"Gggrroooww...!!"
Harimau loreng itu mengaum. Ukurannya yang besar
membuat suaranya menggema ke mana-mana. Buron
sempat terkejut melihatnya Namun lagi-lagi ia harus
meloloskan diri dari ancaman maut dengan cara melesat
dan berubah menjadi cahaya kuning mirip meteor kecil.
Claap,wuuus...! Tahu-tahu ia sudah berada di tempat
lain, jauh dari tempatnya semula. Harimau loreng itu
membentur pohon. Bruusk! Namun dalam sekejap ia
sudah berbalik arah. Matanya yang merah nanar mencari
mangsanya dengan liar. Ketika dilihatnya Buron sudah
berada di tempat lain, harimau itu melayang bagaikan
terbang. "Grrraaaaaooowww...!!!"
Buron sempat berpikir, "Kalau gue keluarin jati diri
gue, wah... orang segini banyak bisa pingsan semua"!
Salah-salah ada yang mati terinjak kakiku nanti. Jangan!
Kuhantam saja pakai aji Tapak Siluman...!"
Claaap...! Buron keluarkan cahaya menyerupai petir
berlarik-larik banyaknya. Cahaya kuning itu menghantam
tubuh harimau yang sedang melayang. Blaaam...! Tapi
justru harimau itu sekarang menjadi ada dua ekor, sama
bentuk dan ukurannya. Buron terkejut, dan segera
menghindar dari tempatnya.
Oh, ternyata sebelum dua ekor harimau itu
menyentuhkan kakinya ke tanah, sudah muncul lagi dua
ekor harimau baru yang berlawanan arah dengan
keduanya tadi. Dua ekor harimau itu seakan-akan keluar
dari bagian pantat dan segera menyerang Buron
bersamaan. "Grrraaaoww...!! Gggrrrrrrhh...!"
Buron keteter menghadapi lawannya. Karena kedua
harimau baru itu bukan hanya menyerang secara fisik,
tapi juga mengeluarkan sinar merah dari masing-masing
matanya. Sinar merah itu membuat Buron semakin
kebingungan. Akhirnya dia adu dengan sinar jingga yang
keluar dari matanya dan kedua lubang hidungnya.
Claaaap... ! . Jegaaar, bleeegaaarrr...!!
Ledakan dahsyat itu melemparkan Buron dengan kuat,
membentur pohon dan membuat pohon itu retak,
bagaikan mau terbefah secara vertikal. Sementara pohon
lainnya ada yang tumbang, ada yang hanya patah
dahannya. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan
itu ada yang terluka dan patah kakinya karena tertimpa
patahan dahan. Sedangkan dua ekor harimau yang
mengeluarkan sinan merah tadi lenyap tinggal yang
pertama. Bahkan seekor lagi juga ikut lenyap. Jadi yang
tersisa adalah harimau jelmaan Opa.
Bagaimana keadaan Buron" Parah.
"Aduuuh, kepalaku retak kali nih! Yaa, ampuun
bocor...," ia meraba darah yang mengucur dan meleleh
membasahi pipinya.
"Ilmunya tinggi. Aku nggak mampu menahan
serangannya. Dadaku terasa jebol sampai ke belakang.
Gawat! Aku harus segera temui Kumala, lukaku... ooohh,
lukaku mengandung racun, sepertinya. Badanku panas
sekali"!"
Sebelum harimau jelmaan Opa menyerang lagi, Buron
sudah berubah menjadi cahaya kuning lagi, lalu lenyap
dalam kecepatan tinggi. Ia merasa akan hancur jika tetap
bertahan menghadapi kesaktian Opa. Dan, ia tak ingin
mati konyol akibat kebodohannya. Tak peduli apa kata
lawannya nanti, yang penting ia harus menghindar
secepatnya. "Dia bukan tandinganku...!" tegasnya dalam hati.
Sportif. Kumala Dewi sedang bicara dengan Niko dan Sandhi
di ruang makan. Tahu-tahu mereka dikejutkan oleh suara
gaduh dari atas seperti suara atap rumah yang rubuh.
Niko dan Sandhi terlonjak dari tempat duduknya. Kumala
tetap tenang hanya sedikit berkerut dahi. Namun ia tetap
bangkit dan agak mundur dari kursinva. Tak lama
kemudian sebuah benda jatuh tepat di atas meja makan
setelah sekilat tampak cahaya kuning datang dari atas.
Gebraaaak, praaang...!
"Astaga..."! Burooon"!" pekik Niko karena sangat
terkejut
melihat keadaan Buron penuh luka menyedihkan. 
"Kumala...dia...!"
"Tenang, aku tahu dia terluka," kata Kumala
memotong ucapan Sandhi. Saat itu Buron setengah
pingsan, masih bisa mengerang namun sulit mengangkat
badan dan kepalanya.
"Hmmm, lukanya beracun. Sangat bahaya," gumam
Kumala, kemudian segera melakukan gerakan seperti
menaburkan bunga. Yang keluar dari tangannya adalah
percikan cahaya hijau bening, seperti percikan bunga api
yang indah. Cahaya itu menaburi sekujur tubuh Buron.
Tubuh itu mengeluarkan asap pada setiap lukanya.
Namun beberapa saat kemudian tiap luka tampak
mengering. Bahkan merapat dan akhimya semua luka
cabikan itu kembali pulih seperti sediakala, kecuali
pakaian Buron yang masih tetap tercabik-cabik tak
karuan. Pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Buron
adalah apa yang membuatnya penasaran dalam hati.
"Emang ada, dewa yang namanya Dewa Chong?"
"Yang ada Dewa Chonggunata."
"Ada"! Dewa apa tuh?"
"Dewa Chonggunata adalah dewa penguasa binatang
buas, sejenis harimau, singa dan sebagainya."
Buron menepak jidatnya sendiri. Plaak...!
"Mati aku!"
"Memangnya kenapa?" tanya Sandhi jadi penasaran.
"Aku habis tarung dengan Dewa Chong."
"Kau gila, apa"! Dewa dilawan"!" kecam Sandhi.
Kumala berkata, "Dewa Chonggunata adalah suami
dari bibiku; Dewi Anggraini. Dia adik tiri ibuku. Berarti
Dewa Chonggunata adalah pamanku. Kenapa kamu
sampai bertarung melawan beliau?"
"Dia adalah Opa!"
"Hahh..."!" semua terkejut.
"Dewa Chong menjelma menjadi Opa, pemimpin sekte
Umat Pilihan itu!"
Kumala Dewi tertegun, tak habis pikir kenapa
pamannya sendiri menjadi penyebar berita tentang
kedatangan kiamat" Kenapa pamannya menjadi pihak
yang dicurigai beraliran sesat"
DENGAN kepala dingin dan emosi tenang, Kumala
mendatangi pondok Umat Pilihan. Tentu saja Buron
sebagai pemandunya. Mereka hanya berdua. Sandhi
tidak ikut. Mereka tidak menggunakan mobil, tapi
menggunakan jalur gaib. Tidak ada orang yang tahu
bahwa Kumala dan Buron pergi ke pondok itu, karena
keberadaan mereka tertutupi lapisan jalur gaib.
Setibanya di sana, Buron diam terbengong Ia tampak
bingung, juga memendam rasa kesal dalam hatinya.
"Di mana pondok itu berada, Ron?"
"Ya, disini"
"Yang benar dong Di sini mana" Cuma pohon bambu
dan belukar yafig ada. Pohon rambutan, pohon sawo
dan... ini kebun kosong!"
"Hmm, eeh... iya sih, kebun kosong."
Buron benar-benar sulit bicara, karena di situ mereka
tidak menemukan bangunan serba kayu jati yang
panjang dan berhalaman luas. Tidak ada teras beranak
tangga tiga baris, dan tidak ada pohon yang terbelah
atau pun tumbang. Tapi pepohonan bambu yang tumbuh
di tanggul sungai memang ada Jalanan berbatu menuju
jalan raya juga ada. Pohon rambutan yang terbelah
vertikal juga masih ada, bahkan masih utuh. Tidak ada
tanda-tanda tempat itu pernah didatangi sekelompok
orang yang menjadi pengikut Opa.
"Sialan!" geram Buron. "Rupanya dia lebih dulu
memindahkan pondok dan pengikutnya ke tempat lain!"
"Tapi kamu yakin memang di sinilah tadi kamu
bertarung dengan Dewa Chong?"
"Yakin sekali!" tegas Buron. "Ciri-ciri alam sekelilingnya
masih kukenali. Rumah di seberang sana juga tadi kulihat
ada. Posisi pondok itu bersimpangan jalan batu dengan
rumah yang ada di sana, yang kelihatan bagian
belakangnya itu, Kumala."
"Hmm, ya, ya, ya...," Kumala Dewi manggut- manggut
sambil memandang ke sana-sini. "Kamu tertipu oleh
pandangan gaibnya Atau dia kabur lebih dulu sebelum
aku datang kemari! Mungkin dia tahu kalau kamu akan
mengadu padaku dan aku akan kemari."
Buron melacak dengan radar gaibnya. Begitu juga
Kumala. Tapi mereka tidak menemukan jejak gaib di
sekitar tempat itu. Mereka sulit menemukan ke mana
arah kepergian Opa bersama para pengikutnya itu.
"Atau...,"
kata Kumala, "... mereka
memang dipindahkan oleh Opa ke alam gaib?"
"Kalau begitu aku akan mencarinya di alam gaib!"
"Tunggu, sebentar!" sergah Kumala, membuat Buron
batal merubah dirinya menjadi sinar kuning.
"Ada apa?" tanya Buron.
Kumala menggelengkan kepala, seperti ada sesuatu
yang ingin didengarnya. Sesuatu itu jaraknya terlalu
jauh, hingga hanya terdengar samar-samar. Itulah
sebabnva ia bungkam tak menjawab pertanyaan Buron,
dan Buron sendiri segera diam karena tahu ada suara
yang ingin dijangkau oleh pendengaran batin Kumala.
"Ada yang memanggilku," kini Kumala berbisik. Buron
mencoba mempertajam pendengarannya tapi masih
belum menangkap apa-apa.
Pelan-pelan kaki Kumala melangkah mendekati
rumpun bambu. Buron mengikuti dalam jarak cukup
dekat. Di bawah rumpun bambu ada lereng tebing
pendek berakhir pada aliran sungai. Buron memandang
ke arah permukaan air sungai yang coklat ke kuningkuningan. 
Tapi arah pandangan mata Kumala tidak
tertuju ke sungai, melainkan ke semak akar bambu.
Buron jadi ikut-ikutan memandang ke situ juga.
"Nyaiii. .Nyaiii.."
Buron dan Kumala saling beradu pandang.
"Kamu dengar suara itu?"
"Ya, sekarang aku dengar. Ada yang memanggil Nyai.
Apakah kamu yang dipanggil?"
"Menurutmu, apakah kamu pantas dipanggil Nyai?"
"O, iya, ya... goblok amat gue ini!"
"Udah lama gobloknya...," sahut Kumala lalu tidak
mempedulikan Buron lagi. Ia melangkah pelan-pelan
mendekati arah datangnya suara.
"Awas!" sergah Buron. Refleks tangannva langsung
mencekal pundak Kumala supaya langkah kaki Kumala
terhenti. "Kenapa?"
"Ada ular besar tuh!"
"Aku tahu. Kenapa kamu" Takut?"
"Hati-hati, kamu nanti dimakan ular besar itu!"
"Kamu tahu, aku siapa" Dewi Kebo?"
"Dewi Ul... oo, iya. ... kamu Dewi Ular, ya" Kenapa
aku jadi khawatirkan dirimu" Itu kan anak buahmu yang
melingkar di sana!" Buron tertawa sendiri, cengar-cengir
malu. Seekor ular besar melingkar di antara akar bambu.
Ular itu berwarna coklat dengan tepian perut berwarna
kuning. Besarnya seukuran betis orang dewasa.
Panjangnya sekitar 7 meter. Pada bagian ekornya
tampak tertindih bongkahan batu sebesar satu kepal
tangan orang dewasa. Namun, justru akibat tertindih
batu yang tak seberapa itulah sang ular tidak dapat
bergerak Seperti tertindih batu sebesar gajah. Aneh
sekali. "Nyaii .. tolonglah aku,'' pinta suara ular tersebut.
Hanya pendengaran batin yang dapat menangkap suara
ular itu seperti suara perempuan. Berarti ular tersebut
adalah ular betina.
"Cuma ketindihan batu sekecil itu dia nggak bisa
bergerak" Kok bego amat dia, ya?" bisik Buron.
"Kamu yang bego. Batu itu pasti bukan sembarang
batu. Coba kamu yang angkat batu itu, kalau bisa...
jago!" Benar juga. Buron mencoba mengangkat dengan
tangan satu, ternyata tidak kuat. Dengan tangan dua,
juga tidak kuat. la kerahkan tenaga gaibnya untuk
mengangkat batu yang menindih ekor ular, ternyata
tetap tidak kuat. Padahal ukuran batu relatif kecil untuk
seekor ular yang besarnya satu betis orang dewasa itu.
"Bisa, Ron?"
Sambil nyengir malu Buron menggeleng.
Kumala Dewi diam sesaat, kemudian dengan
menggunakan dua jari dan tanpa tenaga batu itu
ditepisnya. Pluuk. . .! Batu itu terpental sejauh tiga
meter. Ekor ular pun bebas dari himpitan batu
berkekuatan sangat besar.
"Terima kasih, Nyai Dewi," kata ular betina itu.
"Siapa yang melakukan hal ini padamu?"
"Dewa Chong, Nyai."
Tersentak hati Kumaja mendengar jawaban itu. Buron
hanya menggumam dan manggut-manggut. Setidaknya
ia merasa lega karena ada"bukti lain yang mengetahui
bahwa ada pihak yang mengaku sebagai Dewa Chong di
tempat itu. 
"Apakah yang kau maksud adalah leiaki tua berbadan
jangkung dan akrab dipanggil sebagai Opa?"
"Benar, Nyai. Dia berubah menjadi harimau ketika
hendak membawa pergi para pengikutnya Harimau itu
mengetahui keberadaanku di sini dan dia menyerangku.
Aku berusaha melawannya sebisa-bisaku, akhirnya ia
menindihkan dengan batu itu tndi "
"Sekarang di mana dia ! "
"Membawa pergi para pengikutnya. Nyai ."
"Ke mana" Kau tahu7"
"Dengar-dengar dia mau membawa pengikutnya ke
Kahyangan."
Sekali lagi Kumala Dewi dan jelmaan jin Layon itu
saling beradu pandang. Heran dan agak kagrt
mendengar jawaban ular tadi.
"Ke Kahyangan"!" gumam Buron. "Nggak semudah itu
membawa manusia ke Kahyangan. Apa kamu nggak
salah dengar, Sobatku yang cantik?"
Ular betina itu menjawab, "Tidak, aku tidak salah
dengar. Aku mendengar dengan jelas bahwa Dewa
Chong akan membawa para pengikutnya pindah ke
Kahyangan Biar aman dari gangguan pihak mana pun
Bangunan pondoknya pun dibawanya ke Kahyangan
juga, Nyai."
Kumala Dewi tertegun sebentar. Berpikir.
"Semudah itukah paman Dewa Chonggunata membawa 
manusia masuk Kahyangan" Hmm, kalau toh
benar begitu, pasti beliau punya alasan yang kuat. Kalau
memang pihak Kahyangan menerima aku bisa komplein
kepada para penguasa Kahyangan, mengapa dapat
menerima kehadiran manusia dengan mudah" Sementara
aku sendiri baru boleh diizinkan masuk Kahyangan kalau
sudah mendapatkan cinta sejati. Aku harus menemui
paman Dewa Ardhitaka selaku komandan pasukan
perbatasan wilayah Kahyangan,"
Setelah berpamitan dengan ular betina itu, Kumala
dan Buron pulang ke rumah. Kumala mempersiapkan diri
untuk menghadap Dewa Ardhitaka, penjaga perbatasan
wilayah Kahyangan. Tetapi baru saja Kumala dan Buron
tiba di rumah, telepon telah menyambutnya. Telepon
datang dari Tante Firda.
"Kumala, aduuuh... aku sangat berterima kasih sekali
atas bantuanmu, ya" Terima kasih banyak, Kumala..."
"Hmm, iya... hmm, sama-sama, Tante." Kumalatampak bingung.
"Kamu benar-benar hebat, seperti yang diceritakan
orang-orang. Aku benar-benar kagum dan salut pada
reputasimu, Kumala."
"Hmm, iya... eeh, tapi... ucapan terima kasih Tante
tadi untuk masalah apa nih" Saya jadi bingung sendiri."
"Jangan berlagak bingung deh... Kan berkat bantuan
Kumala sekarang Ringgo sudah balik."
"Ringgo"!"
"Iya, Ringgo meninggalkan kelompok Umat Pilihan dan
dia memilih kembali ke rumahku. Sekarang dia ada
bersamaku. Dia kelihatan kangen sekali sama aku lho,"
berderai tawa Tante Firda. Tergambar keceriaan hatinya
saat itu. 
"Kapan dia pulangnya, Tante " "
"Tadi, pukul lima lewat dikit," jawabnya di sela tawa
riang. Kumala Dewi melirik jam dindingnya yang
menunjukkan pukul tujuh malam kurang.
"Ya, syukurlah kalau Ringgo sudah piilang. Dia baik-baik 
saja kan, Tante?"
"O, ya. Dia baik-baik saja. Sehat. Bahkan... hii, hii,
hii... bahkan kelihatannya kangen sekali sama aku lho..."
Tawa cekikikan Tante Firda masih belum habis meski
pun ia sudah meletakkan gagang telepon Karena pada
saat ia selesai bicara dengan Kumala dari telepon yang
ada di dalam kamarnya, saat itu juga Ringgo muncul dari
kamar mandi Ringgo baru selesai mandi dan hanya
mengenakan celana dalam. Badannya tampak segar,
dadanya bidang, dan semua itu mengundang keceriaan
tersendiri di hati Tante Firda. Ia segera menyambut
Ringgo yang sedang menggantungkan pakaiannya di
tempat gantungan.
"Sudah selesai mandinya, Sayang" Aku baru mau
nyusul ke dalam kamar mandi, buat mandiin kamu."
"Kelamaan mandi nggak baik buat Tante. Nanti keburu
moodnya hilang," jawab Ringgo dengan senyum
mendebarkan. la biarkan tangan Tante Firda merayapi
dada dan pinggangnya.
"Kamu benar, Ringgo. Kalau kelamaan ditinggal kamu,
aku kehilangan gairah. Cuma kamu yang bisa membakar
gairahku dan..."
Tante Firda tidak bisa melanjutkan kata-katanya
karena Ringgo segera mengecup bibirnya. Bibir itu bukan
hanya dikecup tapi juga dilumat dan dinikmati dengan
menggebu-gebu. Tante Firda membalas tak kalah ganas.
Bahkan tangannya berhasil menyelusup ke dalam celana
Ringgo, membuat celana itu pada akhirnya terlepas.
"Ooh, Sayang... Oouuh, cumbu aku terus, aku sangat
rinduu...!" ujarTante Firda di sela desah napas yang
terputus-putus.
Ia menggelinjang ketika Ringgo menyusuri leher
dengan ciuman panasnya. Bahkan tangan Tante Firda
membantu melepaskan gaunnya sehingga kini ia sudah
seperti bayi baru lahir. Ringgo mendorongnya hingga
punggung Tante Firda merapat di dinding samping meja
rias. Di sana ciuman Ringgo mengganas ke arah dada,
Tante Firda mengerang, memekik-mekik sambil meremas-remas 
kepala Ringgo penuh kegemasan.
"Oooh, yaaah... teruskan, Sayang... teruskan...!"
rengek Tante Firda seperti anak kecil.
Ia menekan pundak Ringgo sehingga pemuda itu
menjadi berlutut. Tentu saja sasaran ciumannya sudah
bukan bibir atau dada lagi. Kaki kiri Tante Firda
diletakkan di atas bangku rias, dan Ringgo semakin
merendahkan badan. Ciumannya bertambah ganas dan
rakus. Ciuman rakus itu sangat disukai oleh Tante Firda,
sehingga tanpa berpikir panjang ia merintih, meraung,
mengerang-erang sebagai lambang curahnya segunung
kenikmatan yang membahagiakan hati. Tentu saja
napasnya pun semakin terputus-putus dan tak menentu,
karena sebentar-sebentar harus mendesah ditikam
kenikmatan lidah Ringgo.
Di kamar Tante Firda terjadi pergumulan mesra yang
menghebohkan emosi cinta keduanya. Tapi di sisi lain
pergumulan yang terjadi bukan atas dasar cinta dan
birahi, namun karena perasaan heran dan kecurigaan.
Pergumulan itu terjadi baik dalam hati Kumala maupun
dalam perbincangannya dengan Buron dan Sandhi.
"Masalahnya sekarang adalah, apakah benar Opa'
membawa mereka ke Kahyangan, atau mengembalikan
mereka ke rumah masing-masing?"
Sandhi mengomentari persoalan yang diajukan Buron
itu. "Yang perlu kita ketahui, apakah yang kembali ke
rumah itu benar-benar Ringgo, atau sosok lain yang
menyerupai Ringgo?" Agaknya pertanyaan Sandhi yang
perlu direnungkan lebih dulu oleh Kumala. Tidak
menutup kemungkinan orang yang kembali dari pondok
Umat Pilihan itu adalah orang yang sudah kehilangan jati
dirinya. Oleh karena itu Kumala perlu menghubungi Niko,
karena Niko sempat mencatat beberapa nama-nama
orang yang menjadi pengikut Opa, termasuk teman Niko
yang bernama Danny.
"Nik...," sapa Kumala melalui teleponnya.
"Ya, kenapa?"
"Kamu masih simpan nama-nama orang yang jadi
pengikut Opa?"
"Masih, tapi nggak lengkap."
"Tapi ada alamat mereka?"
"Sebagian ada.".
"Kamu tahu rumah temanmu yang bernama Danny
itu?" 
"Tahu. Dia dekat dengan rumah tanteku. Kenapa sih?"
"Coba kamu cek kebenarannya, apakah dia sudah
pulang ke rumah atau belum. Sebab, kudengar pengikut
Opa ada yang sudah pulang. Maksudku..."
"Siapa?"
"Ringgo, cowoknya Tante Firda. Nah, coba kamu lihat
apakah Danny juga sudah pulang ke rumah dan
keadaannya baik-baik saja atau nggak "
"Okey. Nanti aku hubungi kamu Aku memang sedang
menuju ke rumah tanteku untuk ambil barang. Nanti
kusempatkan mampir ke rumah Danny."
Selesai bicara dengan Niko, telepon berdering kembali.
Langsung saja Kumala yang menyambutnya.
"Hallo... Ada apa, Nik?"
"Aku, Lala. . . Bukan Niko."
"Oohm Ray..." Sorry, kukira kamu Niko. Baru saja aku
telepon Niko. Baru aja kututup. Kamu di mana, Ray?"
Hati Kumala sempat berdesir indah. Rayo Pasca bukan
orang jauh. Rayo Pasca adalah laki-laki yang selama ini
mengisi hatinya. Tapi karena kesibukan masing-masing
dalam karirnya, ia dan Rayo jadi jarang berkomunikasi.
Hanya telepon saja yang kadang mempererat hati
mereka, dan menjadi obat rindu selama ini.
"Aku ada di rumah temanku: Hervan. Kamu bisa
datang ke-sini, Lala" Aku butuh bantuanmu."
"Hervan yang mana, Sayang" Yang punya toko buah?"
"Benar. Kamu pernah kuajak datang ke rumahnya
beberapa kali, kan" Masih ingat rumahnya?"
"Ya, ya... masih dong, Sayang. Apa aku harus ke situ
sekarang?"
"Kalau bisa secepatnya, Lala. Ada kasus misteri di sini,
menyangkut tentang adiknya yang bernama Sisca."
"Sisca..."!"
Kumala berkerut dahi mencoba mengenang apakah ia 
pemah bertemu adik Hervan atau
hanya sekedar mendengar nama Sisca saja. Tapi belum
sempat ia dapatkan ingatannya itu, Rayo sudah kembali
bicara. "Istri Hervan tewas dibunuh Sisca. Jantungnya
dimakan." "Apa...?"!"
"Pelayannya yang memergoki kejadian sadis itu.
Untung dia sempat kabur, melarikan diri ketika Sisca
menyantap jantung iparnya."
"Gila"!"
"Datanglah secepatnya, Lala. Aku yakin ini berkaitan
dengan dunia mistik, karena menurut keterangan
Hervan, Sisca sudah beberapa hari nggak pulang. Ia
menjadi pengikut aliran Umat Pilihan. Dan, kabarnya
baru tadi sore dia kembali di saat Hervan jalan- jalan
dengan kedua anaknya. Istri Hervan sedang sakit, jadi
nggak ikut jalan-jalan. Makanya..."
"Iy, iya... iya aku kesana sekarang juga!" Kumala
dengan kesan terburu-buru dan sedikit tegang Kini ia
tahu bahwa Sisca yang dimaksud pasti Sisca yang
diceritakan Tante Firda, yaitu mantan pacar Ringgo.
Kali ini Kumala datang ke TKP bersama Sandhi,
menggunakan mobil BMW-nya yang berwarna hijau giok.
Jarak tempuh tidak terlalu lama, dan tempat sudah
diketahui dengan jelas, jadi Kumala merasa tidak perlu
menggunakan jalur gaibnya.
Tiba di sana disambut oleh Rayo Pasca. Sebuah
ciuman di pipi diberikan Rayo sebagai tanda kasih sayang
sekedarnya. Lalu, Rayo membawa Kumala ke ruang
tengah, tempat mayat istrinya Hervan sedang dibawa ke
ambulance oleh pihak kepolisian. Kumala sempat melihat
sebentar keadaan mayat itu. Robek dadanya. Ada bekas
luka bakar lebar. Dan. . kehilangan jantungnya seperti
yang dikatakan Rayo dalam telepon tadi.
Lebih jelasnya lagi Kumala mendengar penuturan dari
Sarmi, pelayan berusia 25 tahun, yang menyaksikan
sendiri adegan sadis itu dilakukan oleh Sisca.
"Saya tidak tahu awalnya, tapi saya dengar Non Sisca
memaksa Nyonya untuk jadi pengikut Umat Pilihan.
Nyonya tetap tidak mau. Terus... entah gimana, karena
saya nggak berani dekat-dekat, saya mendengar suara
Nyonya menjerit pendek. Saya curiga, tapi saya nggak
berani melongok. Lama sekali suasana sepi. Saya makin
penasaran. Lalu, saya pura-pura menaruh tempat sendok
di meja makan sambil melirik apa yang terjadi di ruang
tengah, dan saat itulah saya lihat jelas... jelas sekali!"
Sarmi menangis lagi dengan bibir gemetaran. Kumala
menenangkan dengan menyalurkan hawa murninya
lewat kepala Sarmi. Lalu, ketika Sarmi tenang kembali,
iapun melanjutkan penuturannya.
"Saya lihat dengan jelas, Non Sisca merogoh sesuatu
dari dalam tubuh Nyonya yang sudah terkapar di lantai
tak bergerak sedikit pun. Dari dalam tubuh Nyonya, Non
Sisca mengeluarkan sesuatu... daging apalah... saya
nggak jelas, belum tahu kalau itu jantung... terus saya
lihat, Non Sisca memakannya dengan tenang sekali,
seperti tidak berdosa sedikit pun. Melihat kengerian itu
saya hampir pingsan. Tapi saya kuatkan diri... saya coba
keluar lewat pintu garasi, lari ke samping rumah, dan
terus ke rumah tetangga... sampai di depan pintu rumah
Tuan Budi itu, saya nggak kuat, lalu jatuh pingsan...
Anaknya Tuan Budi yang tolong saya dan menyadarkan
saya... Terus saya cerita sama mereka. Dan. . terus...
mereka kemari, tapi Non Sisca sudah nggak ada. Terus...
terus..." "Ya, udah... cukup, cukup...." potong Kumala, merasa
kasihan pada Sarmi yang tampak shock sekali
menghadapi peristiwa mengerikan itu. Bahkan menurut
keterangan Rayo, tadi Sarmi tidak bisa bertutur selancar
sekarang. Setelah mendapat usapan di kepala dari
Kumala Dewi, Sarmi bicara lancar. Hawa murni yang
disalurkan Kumala lewat tanganriya itu membuat Sarmi
menjadi lebih tenang dari sebelumnya.
Tentu saja semua orang yang mendengar penjelasan
itu merasa merinding bulu kuduknya. Jantung mereka
ikut berdetak-detak membayangkan kengerian tersebut.
Kumala sempat melihat luka parah pada dada korban
tadi. Ada luka bakar yang membentuk telapak tangan.
Lalu, teropong Mata Dewa-nya digunakan, dan ia melihat
jelas saat korban sebelum tewas. Sisca memukul dada
korban tidak terlalu keras. Tapi dada itu terbakar
membekas telapak tangan, lalu bolong. Dari luka itulah
Sisca mengambil jantung dan memakannya tanpa rasa
berdosa sedikit pun.
"Dapatkah kau melacak ke mana perginya Sisca?" bisik
Rayo. "Akan kucoba. Aku butuh tempat sepi."
"Mungkin... bisa di dak atas, tempat menjemur
pakaian." "Boleh."
"Aku akan minta izin keluarga Hervan dulu "
Setelah meminta izin, Rayo Pasca membawa Kumala
ke tempat menjemur pakaian, atap rumah. Sandhi tetap
ikut mendampingi majikan cantiknya. Di sana memang
sepi. Tidak ada siapa pun. Tempatnya terbuka. Langit
tampak berbintang cerah. Kumala Dewi duduk bersila
dengan hanya beralaskan selembar koran. Rayo dan
Sandhi berdiri tidak jauh dari tangga. Tidak ada yang
berani bicara sedikit pun. Mereka tak ingin mengganggu
konsentrasi Kumala yang sedang melakukan sebuah
ritual pelacakan energi gaib.
Sebab, menurut Kumala, tangan Sisca tidak mungkin
dapat melubangi dada korbannya dengan mudah jika
tidak memiliki energi gaib cukup tinggi. Energi gaib itu
jelas bukan milik Sisca pribadi. Sebab tadi keluarga Sisca
sempat menjelaskan bahwa Sisca bukan orang yang
memiliki ilmu gaib atau black magic apapun. Maka
disimpulkan oleh Kumala, energi gaib yang dimiliki Sisca
adalah energi titipan. Tentunya bertujuan untuk
melakukan tindakan sadis seperti yang sudah dilakukannya 
terhadap istri Hervan.
Energi gaib itu akan dapat terlacak oleh radar gaibnya
Kumala apabila tidak memiliki kekuatan yang bersifat
memprotek energi tersebut. Dengan merentangkan
kedua tangan Kumala Dewi dapat merasakan getaran
gaib lain yang berada dalam radius 1 kilometer dari
tempatnya berada. Dan, rupanya Sisca memang belum
jauh dari rumah tersebut. Kumala merasakan adanya
energi gaib cukup kuat di arah timur. Tangan kanannya
bergetar lembut. Tapi mata Sandhi dan Rayo dapat
meliha getaran tangan itu. Sandhi berbisik sangat pelan
di telinga Rayo.
"Dapat nih kayaknya..."
Rayo hanya mengangguk. Ia menahan diri karena
jantungnya berdebar-debar seirama getaran tangan
Kumala. Ketika tangan itu bergerak semakin kuat,
jantung Sandhi dan Rayo ikut deg-degan makin kuat
juga. Namun beberapa saat kemudian, Kumala
menghentikan meditasinya. Saat itu angin berhembus
cepat. Ia berdiri memandang ke atas. Rayo dan Sandhi
ikut memandang ke atas. Oh, teryata langit sudah tidak
secerah tadi. Bintang sudah tidak ada. Kini gumpalan
mendung hitam tampak sedang bergerak dari berbagai
arah, menuju ke satu titik, yaitu tepat pada langit di atas
kepala-Kumala. "Tolong bilang sama petugas polisi yang 
masih ada di bawah, suruh mereka bersiap-siap menyambut 
kedatangan Sisca. Aku sudah berhasil menariknya agar
kembali datang kemari!"
Sandhi dan Rayo bergegas turun. Tapi sebelum
mereka turun, Kumala buru-buru berpesan pada mereka.
"Kau saja, Ray...! Biar Sandhi di sini bersamaku."
"Okey..."
"Bilang sama mereka, jangan ada yang menye- rang
Sisca. Dia masih ganas. Pengaruh gaib hitamnya besar
sekali. Aku menanknya terus dari sini Kalau sudah
datang, aku akan menanganinya."
"Polisi?"
"Polisi hanya memberi jalan dan mengamankan yang
lain. Jangan ada yang menyerang atau menangkapnya.
Berbahaya. Bisa timbulkorban baru nanti. Paham, ya
Ray?" "Ok. Paham."
Rayo segera turun, Sandhi tetap di atas walau tak
tahu harus berbuat apa ia di atas. Ia hanya
memperhatikan Kumala yang masih melakukan 
gerakan-gerakan ritual dengan lembut, tanpa menguras tenaga
Sandhi hanya merasakan hembusan angin semakin
kencang. Awan hitam di langit semakin tebal, semakin
berkumpul di atas kepala mereka. Tampak pula kilatan
cahaya petir di kejauhan sana. Cahaya petir yang sangat
fauh di balik awan hitam itu sesekali menoreh terang,
membuat jantung Sandhi seperti disayat dengan pedang.
"Mengerikan suasana alam saat ini?" pikir Sandi.
"Kalau aku harus sendirian di atas sini, ooh. .. ogah!
Nggak rnauaku berdiri sendirian di sini. Mendingan..."
"San...!" panggil Kumala, membuat Sandhi tersentak
kaget dan jantiingnya seperti mau copot.
"Hmm, eeh, iya... kenapa?"
Kumala masih membelakangi Sandhi .
"Bilangin Rayo, suruh menahan Hervan. Aku
merasakan adanya ledakan emosi dalam diri Hervan yang
akan dilampiaskan pada Sisca nanti. Tolong suruh Hervan
tahan emosi, atau... entah bagaimana caranya, yang
pentingjangan ada yang sentuh Sisca dulu sebelum aku
datang menyambutnya. Cepetan, San...!"
"Oh, hmm, iya, iya...!"
Sandhi pun buru-buru menuruni tangga. Kakinya
tergelincir karena tegang terburu-buru. Ia sempat jatuh
menggelinding. Tapi segera dapat kuasai diri. Tak sampai
ke bawah. Ada memar kecil di tulang keringnya. Ia
bangkit kembali dan buru-buru menghampiri Rayo.
Dugaan Kumala benar, ternyata saat itu Hervan
sedang mempersiapkan sebilah parang yang diambilnya
dari dalam kamar begitu ia mendengar dari Rayo bahwa
Sisca mau datang.