Dewi Ular - Misteri Bencana Kiamat(1)

MISTERI BENCANA KIAMAI
OlehTara Zagita
Serial Dewi Ular Cctakan pertama, 2004
Seorang ahli nujum meramalkan akan kedatangan
kiamat dalam waktu dekat ini. Tanda-tanda kiamat pun
mulai tampak. Langit terbungkus awan jingga. Awan itu
beracun dan semakin rendah. akan membunuh setiap
kehidupan di muka bumi.
Kumala Dewi kebingungan mengatasinya. Ia minta
bantuan Dewa Argon untuk menangkaldatangnya kiamat
muda itu. Tapi di sisi lain, sedrang lelaki tua yang akrab
dipanggil Opa mulai menyebarkan aliran sekte Umat
Pilihan. Para pengikutnya dibawa kepondofe keselamatan. 
Tetapi mereka harus memakan sepuluh
jantung manusia yang menolak menjadi pengikut Umat
Pilihan itu. Opa mengaku sebagai Dewa dari Kahyangan. Ia tahu
kapan saatnya bencana kiamat datang. Tetapi ajarannya
yang menyesatkan membuat Dewi Ular harus segera
turun tangan, mereka yang dihadapi adalah pamannya
sendiri, yaitu Dewa Chonggunata, dewa penguasa
Dapatkah Kumala mengalahkan kesaktian pamannya
sendiri jika benar Opa adalah jelmaan dari Dewa
Chonggunata " Jawabannya ada dalam kisah bencana
kiamat yang menteror setiap manusia ini.
SEANDAINYA siang itu Kumala Dewi ada di kantor,
seandainya ia tidak tidur siang, maka ia akan melihat
perubahan cuaca yang sangat ganjil di sekitar kota
Jakarta. Siang yang terang benderang tiba-tiba redup.
Cahaya siang menjadi remang-remang. Matahari tertutup
mendung. Bukan mendung hitam.
Awan datang berarak-arak. Entah darimana asalnya.
Tapi kehadiran sang awan menjadi pusat perhatian
hampir semua orang, karena awan yang datang adalah
awan berwarna jingga. Kuning kemerah- merahan.
Wajah langit menjadi berubah. Awan jingga semakin
lama semakin tebal. Maka, terpancarlah cahaya redup
yang sangat ganjil. Membuat bumi terasa berubah menj
adi ladang neraka.
Banyak orang yang berdiri bulu kuduknya memandang
langit rata terselimuti awan jingga. Banyak orang
bertanya-tanya, benarkah hal itu merupakan tanda-tanda
kiamat akan tiba "
"Ron, coba keluar sebentar!" seru Mak Bariah, juru
masak di rumah Kumala Dewi. Jelmaan Jin Layon yang
menjadi pemuda berambut kucai dan bernama Buron itu
pun segera keluar. Ia menghampiri Mak Bariah yang
sedang mengangkat jemuran di halaman belakang.
"Kamu itu, Mak... jemuran segitu aja minta bantuan.
Apa berat sih kalau jemuran cuma empat potong, kok
harus minta bantuan aku"!"
"Eh, mulutmu jangan mancung begitu! Aku panggil
kamu bukan minta dibantu membawa jemuran ini. Aku
cuma mau kasih tahu kamu,lihat ke atas tuh!"
Buron memandang ke langit. Mak Bariah melanjutkan
kata-katanya. "Langitnya terbakar, atau gimana itu, Ron?"
Buron diam, masih memandangi langit. Ia memandang ke sisi 
timut, barat, utara dan selatan.
"Bukan langitnya terbakar ini sih...," Buron menggumam pelan.
"Habis, kenapa tuh" Biasanya langit kan biru, awannya
putih. Sekarang awannya warna jeruk, tepiannya seperti
besi membara."
"Itu namanya wama jingga, Mak."
"Aku tahu. Tapi kenapa semua awan warnanya jingga
begitu" Kenapa pula bulu kudukku merinding begitu
melihat awan jingga?"
"Pantaslah kalau bulu kudukmu merinding, Mak,"
Buron masih seperti orang menggumam. Nada bicaranya
datar. "Kok pantas" Memangnya ada yang aneh ya" Ada
yang nggak beres pada awan jingga itu, ya?"
"Naluri gaibku mengatakan begitu. Itu awan bukan
sembarang awan."
"Habis, awan apa itu?"
Buron mengangkat tangan kanannya lurus ke atas
dengan jari mengembang. la memejamkan mata sesaat.
Mak Bariah merigerti maksudnya, karena ia tahu persis
bahwa Buron memiliki kekuatan gaib yang dapat untuk
mendeteksi adanya energi ganjil di sekelilingnya.
Beberapa saat kemudian, Buron menurunkan tangannya
dan berkata pada Mak Bariah dengan suara pelan sekali.
"Awan itu berbahaya, Mak."
Mak Bariah menyeringai was-was.
"Berbahaya bagaimana?"
"Entahlah. Tapi aku menangkap adanya gelombang
hawa mistik yang ada dalam kumpulan awan jingga itu.
Aku nggak ngerti apa jenis kekuatan mistiknya, yang
jelas... mengandung bahaya buat kita yang hidup di
muka bumi ini, Mak."
"Duuuh, bulu kudukku semakin berdiri, Ron. Iihh...!"
Mak Bariah bergidik, tubuhnya terguncang sesaat.
"Aku harus melaporkan hal ini pada Kumala, Mak."
"Ya udah sana. Tapi... eeh, tapi Non Mala kan masih
tidur?" "Hmm, iya, ya... aku nggak berani bangunin dia, nanti
marah. Kamu saja gih, Mak."
"Ogah, ah! Aku nggak berani ganggu tidurnya non
Mala. Lagian, aku nggak tega masa istirahatnya Non
Mala harus terganggu."
Buron memanggil Sandhi, sopir pribadinya Kumala
yang sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Sandhi
ikut memperhatikan awan jingga di langit. Ia juga
sependapat bahwa awan itu bukan sembarang awan.
Menurutnya, awan jingga punya keganjilan yang
mencurigakan. Tapi ketika ia diminta untuk membangunkan 
Kumala, ia menolak. Tidak ada yang
berani membangunkan Dewi Ular jika gadis cantik jelita
itu sedang tidur, atau mengunci diri dalam kamarnya.
Rata- rata mereka punya rasa kasihan jika Kumala
terganggu masa istirahatnya, selebihnya rasa takut kena
tegur. Teguran Kumala selalu lembut, namun bagi
mereka justru menyentuh perasaan dan membuat tak
enak hati, seperti menerima omelan atau kemarahan.
"Kita belum tahu sejauh mana bahayanya awan itu,
jadi menurutku jangan buru-buru bangunkan Kumala,"
kata Sandhi. "Siapa tahu awan jingga seperti itu hanya
suatu keganjilan alam biasa yang terjadi sekian tahun
sekali, seperti halnya gerhana matahari total."
Buron sependapat dengan Sandhi. Tapi agaknya Mak
Bariah kurang sependapat, karena ia sangat mencemaskan 
keadaan dirinya sehubungan dengan
bahaya yang terkandung dalam awan jingga. Namun,
ketika ia disuruh membangunkan Kumala, ia tetap
menolak Akhimya ia hanya mondar-mandir gelisah dan
sebentar-sebentar memandang ke arah luar, di mana
alam menjadi semakin merah dan mencemaskan.
Jarum jam menunjukkan pukul 14.22, hari Minggu.
Tentunya bukan hanya Kumala Dewi saja yang libur
kerja, tapi semua pegawai pasti mendapat hak libur,
kecuali mereka yang memang mendapat tugas lembur,
misalnya. Tapi seorang reporter khusus berita-berita
misteri, seperti halnya Niko Madawi, ia justru
memanfaatkan peluang libur untuk memburu berita,
karena hari libur kali ini dianggapnya sebagai hari libur
yang penuh misteri. Awan jingga itulah misteri yang ingin
diliputnya sebagai tayangan mistik di salah satu sebuah
station televisi swasta.
Beberapa waktu yang lalu, Niko terlibat hubungan
pribadi dengan Kumala Dewi. Ia jatuh cinta kepada putri
bidadari dari kahyangan itu. Tetapi jalinan cintanya putus
lantaran kesucianNiko sebagai perjaka direnggut oleh
seorang paranormal wanita yang kini telah tiada. Niko
gagal membangun mahligai cinta pertamanya, namun
berhasil dalam karirnya. Ia sukses sebagai reporter
berita-berita gaib, dan punya banyak penggemar, di
samping ia sendiri pemuda yang cukup tampan serta kini
menyandang sebutan selebritis yang tergolong cukup
kaya, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "TEROR
MISTERIUS"). Meski hubungan cinta patah, namun Niko
dan Kumala masih menjalin hubungan yang lebih akrab
lagi. Niko sudah dianggap seperti saudara sendiri,
sehingga ia bebas datang menemui Kumala kapan saja,
tanpa menimbulkan kecemburuan bagi kekasih Kumala
saat ini, yaitu Rayo Pasca.
Siang itu, Niko sengaja datang sendirian ke rumah
Kumala Dewi. Ia telah ganti mobil, dulu ia memakai
sedan Camry line green warnanya, sekarang ia memakai
BMW terbaru warna hijau lumut. Kedatangan Niko tak
lain ingin membicarakan masalah awan jingga yang
menurutnya mengandung sesuatu yang misterius. Dan,
ia yakin, hanya Kumala Dewi yang bisa menjelaskan apa
yang terkandung dalam misteri awan jingga siang itu.
"Dia masih tidur, Nik," kata Sandlhi yang sudah seperti
saudara sendiri bagi Niko.
"Nggak ada yang bisa bangunkan dia, ya?"
"Yang bisa bangunkan dia banyak, yang berani nggak
ada," jawab Buron ikut menimpali pembicaraan tersebut.
Niko mendesah menahan rasa kecewa. Ia menyadari hal
itu, karena ia memang sudah tahu kebiasaan orangorang 
dekatnya Kumala yang tidak berani
membangunkan dan mengganggu kenyainanan tidur
Kumala. Mereka berada di ruang tengah. Mereka juga
membicarakan tentang awan jingga dan bcrbagai macam
kemungkinan ilmiahnya. Pada akhimya mereka hanya
bisa berkesimpulan, seperti yang dikatakan Niko.
"Aku yakin, hanya Kumala Dewi yang tahu misteri
awan itu."
Lalu, tiba-tiba suara mereka terhenti, karena
mendengar pintu kamar Kumala terbuka. Wajah cantik
mendebarkan muncul dari balik pintu. Kalem. Tenang.
Tapi memiliki kharisma yang mengagumkan.
"Dari tadi kudengar namaku disebut-sebut terus, ada
apa sih?" Mereka sama-sama kikuk.
"Sejak Mak Bariah dan Buron di halamam belakang
sampai Niko datang kok nggak berhenti membicarakan
diriku, kenapa?"
Mak Bariah menyahut lebih dulu, "Non Mala mau
minum" "
"Air es aja, Mak."
"Baik, Non." Mak Bariah pun pergi ke dapur, Kumala
duduk di sofa, sementara Niko, Buron dan Sandhi duduk
di sofa seberangnya. Niko lebih dulu bicara sebelum
Buron menyampaikan maksudnya .
"Ada awan aneh di langit, dan kayaknya mempengaruhi 
kejiwaan tiap manusia, Dewi. Coba
tengoklah ke luar sana."
"Awan jingga," timpal Sandhi pelan.
"Ya, aku tahu...," seraya menerima minuman dari Mak
Bariah. "Kamu belum tahu, Dewi... karena kata Sandhi kamu
dari tadi tidur, sehingga..."
"Aku nggak tidur," potongnya tetap tenang. "... aku
sejak tadi sibuk mempelajari datangnya awan jingga itu.
Ternyata mengandung racun sangat tinggi, sangat
berbahaya bagi kehidupan di bumi."
"Mengandung racun"!" gumam Sandhi dan Buron
hampir bersamaan.
"Radiasinya belum sampai ke bumi. Tapi dia akan
semakin rendah dan semakin membahayakan kita. Bisa
mematikan."
Rupanya dibalik ketenangan Kumala diam-diam ia
menyimpan kecemasan. Tapi ia berusaha menutupi
kecemasan itu agar tidak menimbulkan kepanikan bagi
yang lain. Dan, setelah bicara seperti itu, samar-samar
rona kecemasannya tampak di bentangan wajah cantik
jelitanya. "Radiasi racun itu sebentar lagi akan mematikan
burung-burung yang terbang terlalu tinggi. Coba tengok
ke samping pendapa, Ron... akan ada bangkai burung
yang jatuh karena terbang terlalu tinggi, dan ia
menghirup racun awan jingga itu."
Buron yang diperintah, tapi Sandhi yang pergi lebih
dulu. Akhirnya semua pergi ke samping pendapa
belakang rumah untuk membuktikan kebenaran katakata Kumala itu.
Mereka mencari di rerumputan yang rapi seperti
permadani itu. Ternyata tidak ada bangkai yang
dimaksud. Tetapi setengah menit kemudian mereka
mendengar suara benda jatuh dua kali: plok, plok.! Mata
mereka memandang ke arah benda yang jatuh itu.
Ternyata dua ekor burung dalam keadaan kaku tak
bernyawa lagi. Keduanya jenis burung tekukur yang
bulu-bulunya telah rontok dan wajahnya tampak legam.
Tak salah lagi, burung-burung itu terbang dalam
ketinggian terlalu hingga menghirup radiasi racun dari
awan jingga sehingga mati secara sia-sia.
"Kasihan...," gumam Sandhi dengan wajah tegang,
membuat yang lain pun ikut berwajah tegang
membayangkan racun awan jingga akan turun ke bumi,
dan sudah tentu nasib maijusia nanti akan seperti kedua
burung tersebut.
"Jangan terlalu sering memandang ke atas," tiba- tiba
suara Kumala terdengar, dan ternyata gadis itu sudah
ada di belakang Niko. Tak diketahui kapan ia beijalan
menghampiri mereka. Tapi dalam keyakinan Niko, pasti
Kumala hadir di situ tanpa melangkahkan kakinya,
melainkan menggunakan kesaktiannya sebagai anak
dewa. 
"Cahaya jingga yang terpancar dari awan itu jika
terlalu lama dipandang bisa bikin mata menjadi buta. Aku
tahu kadar racun yang ada di atas sana, tapi nggak tahu
siapa pemiliknya."
"Pasti si Lokapura, Dewa Kegelapan, dialah pemiliknya," 
sahut Buron. Nadanya menggeram penuh
dendam. "Bisa dia, bisa juga bukan dia," kata Kumala Dewi.
"Kenapa kamu nggak cepat-cepai lakukan tindakan
pencegahan?"
"Aku sedang memanggil Dewa Argon untuk berkonsultasi 
dengannya. Sebab, tadi pun dari kamar aku
sudah melakukan pencegahan, tapi kayaknya pencegahanku 
akan sia-sia. Racun itu dapat menembus
lapisan gaib yang kugunakan untuk menangkalnya."
"Kalau sampai gagal, penduduk di mukabumi ini bisa
mati semua dong," ujar Sandhi dengan napas cemas.
"Bukan hanya manusia, tapi semua bentuk kehidupan
dapat hancur akibat keganasan racun itu "
"Kiamat dong!" gumam Buron.
"Seperti itulah ancaman yang ada pada diri kita saat
ini" "O, ya... kalau begitu, apa yang dikatakan Opa, benar.
Kiamat akan datang. Mungkin awan jingga itulah tandatandanya."
"Opa siapa?" tanya Kumala kepada Niko yang tiba-tiba
bicara tentang ramalan seseorang yang dipanggilnya:Opa. 
"Opa itu seorang paranonnal, peramal ulung, yang
kutemukan beberapa hari yang lalu. Dia bilang, dalam
minggu ini Kiamat. akan datang dan benar-benar terjadi.
Aku nggak percaya. Tapi setelah melihat awan beracun
itu, aku jadi percaya dengan ramalannya ."
Niko menceritakan pertemuannya dengan seorang
lelaki tua yang akrab dipanggilnya: Opa. Lelaki itu
berusia sekitar 75 tahun, semua rambutnya sudah
beruban rata, badannya agak jangkung, tapi masih tegap
dan terkesan gagah. Niko bertemu dengan Opa dalam
sebuah pameran lukisan-lukisan bernuansa mistik. Opa
bukan salah satu pelukis yang mengadakan pameran
tersebut, tapi salah satu pengunjung galery yang dapat
menerangkan sisi gaib dari tiap lukisan.
"Bapak juga seorang pelukis?"
"Opa bukan pelukis, Opa nggak bisa melukis ini, Nak.
Tapi Opa tahu getaran gaib yang ada pada tiap lukisan
ini Pelukisnya pasti mengerjakan lukisan ini dengan
bantuan tangan gaib."
Sejak itulah Niko memanggil pak tua itu Opa.
"Opa, kebetulan saya reporter dari sebuah acara
mistik di station teve swasta, saya boleh mengetahui
banyak-banyak tentang apa yang Opa ketahui" Opa
bersedia kami wawancarai" Kebetulan kameraman saya
dan beberapa crew belum pulang, masih di mobil tuh.
Bisa kami wawancarai sebentar dengan Opa?"
"Kenapa tidak" He, he, he... Apa saja yang ingin,
kamu ketahui, Anak Muda?"
Banyak orang yang berkerumun di sekitar tempat Opa
diwawancarai. Mereka ikut mendengarkan apa yang
dibicarakan Opa dan Niko. Umumnya mereka terkesan
hanyut mengikuti pembicaraan tersebut, sehingga tidak
ada satu pun yang ikut bicara walau mereka terekam
oleh kamera. "Dunia ini sudah rapuh, sebentar lagi langit akan
runtuh..."
Itu kata-kata Opa yang pertama ketika ia ditanya
apakah dirinya mengetahui banyak hal tentang masa
depan dunia. Jawaban seperti itu bukan ditentang oleh
Niko atau yang lain, namun justru disimak dan
direnungkan dalam benak mereka masing-masing,
Seolah-olah mereka hanyut dalam tiap ucapan Opa yang
bernada dakwah, ceramah, namun jugaberbau nujum. Ia
tak ubahnya seperti Nostradamus, peramal kelas dunia
yang hidup di abad ke 16.
"... saya tahu apa yang belum Anda ketahui, karena
memang saya adalah Anak Langit, yang turun ke bumi
dengan mengemban tugas memberi informasi kepada
Anda tentang kehancuran bumi, yang akan terjadi tidak
lama lagi Kiamat akan datang dalam hitungan hari,
bukan sebulan-dua bulan lagi, tapi sehari-dua hari lagi."
Mata tua Opa yang cekung menatap mereka yang
mengerumuninya secara satu-persatu, terutama mata
Niko Ketika ia berbalik menatap Niko kembali, ia
menemukan sesuatu yang disembunyikan dalam hati
Niko tadi, yaitu rasa tidak percaya dan penasaran. Oleh
karenanya, Opa pun berkata kepada Niko secara blakblakan. 
"Anda dari tadi menyimak kata-kata saya, tapi tidak
mempercayai sepenuhnya. Bukankah begitu, Nak?"
Niko jadi salah tingkah.
"Mmm, eeehmm, sebenamya... mmmmh..."
"Begini saja, Anda percaya atau tidak, bahwa sebentar
lagi akan turun hujan dalam cuaca masih terang
benderang dan panas masih menyengat seperti saat
ini..!" Mereka melirik ke langit. Terang. Panas matahari
masih sangat benderang. Gersang. Tapi lelaki tua itu
tampaknya yakin betul dengan apa yang diucapkannya.
Bukan hanya Niko saja, tapi beberapa orang yang
mendengarnya merasa sangsi atas ramalan Opa.
"Coba, sekarang Anda hitung dalam hati, satu, dua,
tiga... dan seterusnya. Belum sampai hitungan ke dua
puluh hujan sudah turun lebih dulu. Nggak percaya ya"
Coba saja hitung dalam hati mulai sekarang...!"
Tanpa diperintah lagi, orang-orang yang ada di sekitar
Opa ikut menghitung dalam hati. Demikian pula halnya
dengan Niko. Mereka menghitung: satu... dua... tiga...
empat... Dan, pada hitungan ke dua belas, tiba- tiba
gerimis datang. Matahari tetap benderang. Tak lama
kemudian gerimis berubah menjadi hujan agak deras.
Dan, orang-orang di sekitar Opa berlarian mencari
tempat teduh, karena wawancara itu dilakukan di luar
gedung. Niko dan crew-nya ikut kebingungan mencari
tempat meneduh, karena hujan semakin deras. Hanya
saja, hujan turun tak lama. Hanya tiga menit, kemudian
terang kembali tanpa setetes air pun yang turun dari
langit. Niko dan yang lainnya hanya bisa terbengong.
Hati mereka menggumam tanda sangat mempercayai
tiap kata-kata Opa.
"Gila Benar juga apa kata dia tadi, ya?"
"Wah, kalo gitu kiamat bener-bener bakalan tiba nih" !"
"Gue rasa dia bukan manusia biasa. Pasti malaikat
atau jenisnya, yang tahu tentang kiamat."
"Celaka! Kalo gitu aku harus bertobat sekarang juga!"
"Ah, mungkin apa yang dikatakannya cuma kebetulan
saja benar-benar menjadi kenyataan," pikir salah satu
crew-nya Niko. Tapi orang itu buru-buru buang muka,
karena Opa seperti mendengar suara hatinya, lalu
menatapnya dengan tatapan mata cekung yang
membuat jantungnya berdetak cepat. Bulu kuduknya
merinding. Dan, hal itu dirasakan pula oleh Niko.
sehingga Niko mulai menangkap adanya bahaya jika
pikiran Opa tidak segera dialihkan.
"Jadi... kapan tepatnya kiamat akan tiba, Opa?"
"Dalam minggu ini. Tanda-tandanya akan tampak
beberapa hari lagi. Tunggu saja, dan buktikan kebenaran
kata-kata saya, Nak."
Salah seorang yang mendengarnya segera mendekati
Opa dan memohon-mohon dengan wajah ketakutan.
"Tolong, Opa... tolong batalkan datangnya kiamat itu.
Saya belum siap untuk mati! Saya takut, Opa."
"Siapa yang ingin selamat dalam kiamat nanti, dia
harus ikut aku! Siapa yang tidak ikut aku, dia akan binasa
dalam beberapa hari lagi!"
"Saya mau ikut Opa, tapi keluarga saya harus ikut
Opa! Saya ingin dapat keselamatan bagi seluruh keluarga
saya, Opa!"
"Barang siapa mau selamat, dia harus jadi
pengikutku!"
"Saya mau, Opa!" celeluk seseorang di belakang sana.
Yang lain pun ikut bersahutan menyatakan mau menjadi
pengikut Opa. "Apa benar sih"!" dalam hatinya Niko masih 
bertanya-tanya, seakan ada sisa keraguan yang timbultenggelam. 
Namun sebagai seorang yang bekeija untuk
sebuah infotaiment, Niko tidak boleh menuruti apa kata
hatinya sendiri. Tentunya dia tetap akan menjadikan
sesuatu yang unik itu menjadi salah satu rangkaian
informasi mistik sebagai matcri acaranya. Hal-hal gaib
yang bersifat kontroversial tidak boleh ia lewatkan begitu
saja, sepanjang masyarakat pemirsa rnenyukai
danmerigingiiikan materi tersebut.
"Nak...," kata Opa lagi kepada Niko, " ... meski pun hatimu 
masih ragu, tapi Opa
tidak keberatan menerima
kedatanganmu kerumah Opa sebelum kiamat itu terjadi.
Barangkali kamu ingin mengtahut lebih banyak lagi
tentang dunia yang sebentar lagi akan hancur ini, silakan
saja datang ke rumah Opa. Atau, mungkin sanak
saudaramu menginginkan keselamatan dari ancaman
kiamat, silakan bergabung dengan Opa. Pintu rumah Opa
terbuka lebar-lebar untuk dirimu, karena kamu telah
membantu menyebarkan kabar duka ini lewat media
tempatmu bekeija ."
"Terima kasih, Opa. Boleh saya minta alamat tempat
tinggal Opa?"
"Kenapa tidak" Catat saja..."
Niko mencoba melupakan nujum sang Opa. Dalam
dunia mistik ia sudah terlalu sering menghadapi penipuan
yang.bermodus supranatural. Segala macam trick di
dunia supranatural sudah sering dijumpainya sehingga
turunnya hujan di siang hari bolong itu dianggapnya
suatu trick ala Opa yang belum diketahui rahasia
kebohongannya. Namun sekarang, kata-kata Opa
terngiang kembali di telinga Niko mengingat awan jingga
yang melapisi langit diyakini sebagai tanda-tanda akan
datangnya kiamat. Niko menjadi lebih cemas lagi setelah
mendengar keterangan Kumala Dewi mengenai awan
beracun itu, karena ia tak pernah menyangsikan katakata 
Kumala yang pernah membangkitkan dirinya dari
kematian tragis.
Mendengar cerita tentang Opa, dahi Kumala sedikit
berkerut. Seperti ada yang dipikirkan secara serius.
Sandhi dan Buron pun ikut termenung seakan
berkomentar sendiri dalam hati kecilnya. Lalu, terdengar
suara Sandhi yang bertanya kepada Kumala. Pelan.
"Apakah orang itu adalah jelmaan dewa yang..."
"Bukan!" potong Kumala cepat. "Dari bicaranya
terkesan dia cari pengikut sebanyak-banyaknya supaya
mau menjadi pengikutnya. Aku khawatir dia punya aliran
sesat yang bertujuan mencelakakan keimanan seseorang."
"Tapi bagaimana dengan tanda-tanda kiamat di atas
kita itu?" tanya Niko.
Kumala diam sesaat. Mungkin mencari kata-kata yang
tepat untuk menjelaskan alasannya. Sayangnya sebelum
ia sempat bicara, tanda-tanda lain muncul dan membuat
Sandhi, Niko serta Buron mundur beberapa langkah dari
tempatnya masing-masing. Menjauhi Kumala .
Hembusan angin sejuk dan cahaya biru samar- samar
melintas di sekitar mereka, membuat mereka mundur.
Kumala justru diam dengan senyum cantik tersungging di
bibir ranumnya. Tak lama kemudian mereka melihat
sesosok pria muda tampan dan gagah sudah berada di
depan Kumala. Pria tampan berdagu belah itu
mengenakan jubah hijau dalamannya putih berhias
benang emas. Aroma wangi yang muncul dari tubuhnya
menyatu dengan aroma wanginya Kumala, membuat hati
mereka dihinggapi perasaan damai dan tenang. Mereka
mengenail betul siapa tamu yang datang dengan
hembusan angin sejuk dan bergeraknya selalu diikuti
bayang-bayang cahaya biru. Dia tak lain adalah si Dewa
Pengembara yang akrab dipanggil: Argontara Bhisma,
atau Argon, (baca serial Dewi Ular dalam episode:
'RAHASIA ANAK NERAKA").
"Maaf terlambat datang, Dewi Ada urusan yang harus
kuselesaikan dulu dengan piliak Kahyangan."
Senyum Kumala semakin mekar. Hatinya berseri- seri,
karena suara Argon mengandung getaran romantis yang
menjadi ciri khas dirinya.
"Nggak apa-apa. Aku nggak pernah bosan menunggu
kedatanganmu. Tapi, apakah kamu nggak mengalami
gangguan saat menembus dimensi kehidupan manusia
ini, Argon" Lihatlah di atas sana.. !"
"Aku nggak turun lewat dimensi langit, tapi menembus
bumi, karena mencari jalan yang cepat mencapai sini,
dan...," Argon berhenti bicara setelah mengangkat
kepala, mendongak ke langit, dan ekspresi wajahnya
mulai sedikit cemas. Rupanya ia langsung mengenaii
awan jingga yang sekarang semakin tebal itu.
"Celaka! Separah ini rupanya"!"
"Kan sudah kubilang dalam bisikanku tadi?"
"Tapi kupikir belum separah ini, Dewi. Hmm..." ia
manggut-manggut. Berpikir dengan sedikit lebih tegang
lagi. Tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas. Plook...! Lalu ada
yang jauh lagi, plook...! Dan, plook, plook...! Semua
mata tertuju pada benda yang jatuh itu.
Oh, ternyata bangkai burung. Seperti kedua ekor
burung yang tadi bangkainya jatuh lebih dulu, burung-burung 
ini juga mati dalam keadaan menyedihkan,
Tanda-tanda keracunan terlihat jelas pada kondisi bulu
dan kepalanya yang biru legam, Bahkan bagian tubuh
lainnya juga biru legam .
"Apa becar ini tanda-tanda kiamat akan tiba?" bisik
Kumala, seakan ingin mencocokkan pendapat batinnya.
Dewa Argon menggeleng.
"Kalau dibiarkan memangya, kiamat. Tapi kita harus
mencegahnya, Dewi. Ini perbuatan Lokapura. Awal dari
datangnya Perang Maha gaib."
"Lokapura yang ada di balik awan jingga itu,
maksudmu" H:nm, sudah kuduga. Tapi aku kurang
percaya dengan dugaanku sendiri. Bodoh, memang."
"Siapa?"
"Aku yang bodoh."
Tangan Argon menepuk pelan pundak Kumala.
"Tidak. Kamu tidak bodoh, Dewi. Kamu harus hentikan
awan beracun itu agar jangan sampai lebih , rendah lagi.
Kematian akan menghampar di permukaan alam ini jika
awan itu semakin rendah "
"Sudah kucoba menghentikan dan menetralkan
racunnya, tapi... aku gagal, A rgon."
"Kau belum gagal. Kau hanya tidak mengetahui "
caranya." "Adakah caranya yang lebih cepat?"
"Tentu saja ada."
"Kau mau memberitahukan padaku?" "
"Kenapa tidak?"
Kemudian Argon membawa Kumala berjalan ke
belakang bangunan pendapa. Sandhi, Buron dan Niko
tidak berani mengikuti langkah kedua anak dewa itu.
Mereka bertiga tahu, bahwa di belakang pendapa di
sana, Argon sedang bicara tentang suatu rahasia gaib
kepada Dewi Ular. Mereka bertiga hanya bertanya- tanya
dalam hati, rahasia gaib macam apa yang dibeberkan
Argon kepada Dewi Ular"
TIGA pesawat penumpang jatuh di tiga tempat. Salah
satu korbannya ditemukan tewas dalam keadaan hancur,
tapi wajahnya biru legam. Para ahli menyimpulkan
aaanya uap beracun berkadar tinggi yang dihirup oleh
mereka dan mengakibatkan pilot pesawat kehilangan
kendali, lalu jatuhkan pesawat tersebut.
Keluarga Kumala mendengar kabar tersebut dari
siaran berita di salah satu televisi swasta. Lalu, mereka
berkesimpulan sama, bahwa pesawat-pesawat yang naas
itu diyakini telah terbang dalam batas ketinggian
tertentu, lalu awan beracun berhasil merusak seluruh
jaringan saraf mereka.
Kesimpulan lain yang mereka dapatkan adalah, bahwa
awan beracun sudah semakin rendah dan sebentar lagi
akan menewaskan seluruh kehidupan di muka bumi.
Diperoleh keterangan pula bahwa awan beracun bukan
hanya terdapat di atas wilayah Indonesia, tapi juga di
seluruh asia, bahkan seluruh dunia. Ini menandakan
Dewa Kegelapan memang ingin me- musnahkan
kehidupan inanusia di seluruh dunia.
"Ron, di daerah pegunungan sudah ada orang yang
tewas secara tiba-tiba. Lihat berita di FAN-TV. Coba
pindahkan chanel ke FAN-TV. Buruan...!" kata Sandhi
yang baru datang dari rumah sebelah. Buron yang
semula diam saja menikmati siaran sepak bola, kini buru-buru 
memindah chanel tevenya, dan menemukan benta
yang dimaksud Sandhi.
Beberapa orang yang tinggal di pegunungan
keracunan udara. Tentu saja hal itu menandakan siapa
yang berada di tempat tinggi atau dataran tinggi, dia
akan mati karena awan jingga telah menebarkan
racunnya lebih ke bawah lagi. Repotnya, bahaya maut itu
tidak akan diketahui oleh si calon korban karena tidak
mengetahui dari mana datangnya, juga tidak mengenali
apa penyebabnya. Kapan dan di mana racun itu telah
menjalar juga sulit diketahui secara awam.
"Gawat! Radiasi racun itu sudah semakin rendah!"
geram Buron seperti tak sabar namun juga jengkel
lantaran tidak bisa berbuat banyak menghadapi bahaya
seperti itu. "Kenapa dia lama melakukan penangkalan"! Ada
gangguan apa ya?" sambil Sandhi mengenang Kumala
Dewi yang sedang berusaha menyingkirkan awan jingga
itu. Menurutnya sudah cukup lama Kumala pergi bersama
Argon. Sudah ada tiga jam. Mestinya sudah bisa
menghilangkan awan tersebut. Tapi kenyataannva justru
awan itu semakin rendah dan semakin menimbulkan
korban lebihbanyak lagi. Bukan hanya buning atau
hewan lainnya, tapi manusia sudah ada yang menjadi
korban keganasan awan beracun itu.
Tentu saja hal itu sangat diketahui oleh putri
tunggalnya Dewa Permana dan Dewi Nagadini itu. Tetapi
agaknya ia memang menghadapi suatu masalah di atas
sana. Kumala sudah sejak tadi merubah sosok dirinya
menjadi seekor naga cahaya. Naga cahaya itu berwama
hijau dan melesat ke atas, mendekati gumpalan awan
jingga. Di punggung naga cahaya itu duduk seorang
dewa tampan yang tak lain adalah Dewa Argontara
Bhisma. Dialah yang memandu arah perjalanan Dewi Ular
untuk melumpuhkan awan beracun.
"Jangan ke arah matahari, Dewi. Kau bisa terbakar
karena kekuatan racun yang bercampur panas matahari.
Ke arah selatan saja."
"Tak kurasakan hawa sejuk ada di sana, Argon!" suara
Kumala besar, karena dia dalam keadaan tidak menjadi
gadis cantik seperti biasanya. Dan, suara itu hanya
didengar oleh Dewa Argontara. Sementara suara
Argonjuga hanya didengar oleh Kumala saja.
Di bumi, di sisi lain, beberapa orang sempat melihat
cahaya hijau meluncur di langit seperti roket. Mereka tak
dapat melihat bentuk naganya. Mereka hanya melihat
cahayanya yang menyerupai perjalanari roket berasap di
belakangnya. Pada satu posisi tertentu naga cahaya tak dapat
bergerak lagi. Mereka seperti terkepung pusaran angin
kencang yang membuat naga cahaya hanya bisa
berputar dan berputar. Maju tak bisa, mundur pun tak
manipu. Hawa panas menyertai angin padat dari
berbagai arah itu.
"Argon, aku nggak bisa bergerak nih!"
"Kita terjebak pusaran petir, Dewi! Lekas keluar
darisini!"
"Keluar ke mana"! Aku nggak bisa bergerak"!"
Argontara Bhisma berdiri di atas punggung naga.
Kedua tangannya merapat. Telapak tangan digesekkan
satu kali dan dilepaskan keduanya ke arah kanan dan
kiri. Kilatan cahaya ungu terlepas dari kedua telapak
tangan itu. Claaap...! Bleeegaaaar...! Dentuman keras
teijadi. Naga hijau terlempar keluar dari pusaran petir.
Argon pun terpisah dari naga hijau yang sudah tidak
berbentuk cahaya lagi tapi berwujud naga bersisik emas
berbadan hijau.
"Argooonn...!"
Zlaaaap...! Zuuub, zuuub...!
Naga hijau berkelok melesat zig-zag, tahu-tahu
badannya sudah berada di bawah kaki Argon. Dewa
tampan bersuara romantis itu melayang dan jatuh di
punggung naga lagi. Jleeg...! Ia jatuh tengkurap seperti
memeluk badan naga dengan kedua tangannya.
"Cepat menjauuh...!" serunya, dan naga hijau melesat
kembali menjauhi pusaran petir.
"Hancurkan saja pusaran petit itu dari sini!"
"Jangan! Pusaran petir itu memang dipersiapkan untuk
melesakkan awan beracun ini, agar menyebar cepat ke
bumi pada saatnya nanti. Hey, kamu inasih menggunakan 
napas mumi, Dewi?"
"Masih."
"Syukurlah Kalau nggak pakai napas murni kita sudah
hancur karena racun tadi. Gunakan terus, jangan lupa!"
"Ya. Tapi ke mana kita mencari sumber racunnya?"
"Coba ke arah timur."
"Aku bingung, yang mana arah timur?"
"Sebelah kiri kita"
Lalu, Dewi Ular berbentuk naga hijau bersisik emas itu
melesat kembali ke arah kiri. Dewa Argontara Bhisma
masih duduk di punggung naga, seperti kesatria yang
maju ke medan laga.
Akhirnya mereka temukan awan sejuk. Gumpalan
awan sejuk itu diyakini Argon sebagai pusat racun yang
paling berbahaya. Argon menyuruh Dewi Ular menggunakan 
kesaktiannya untuk menghancurkan gumpalan awan sejuk, 
sebab hanya Kumala yang memiliki kemampuan menghancurkan 
awan tersebut.
"Nah, sekarang gunakan kesaktianmu: Darah Berhala
Murka...! "Wuuut.. ! " Dewa Argon melesat menjahui badan
naga lebih dulu. Ia berubah menjadi cahaya ungu seperti
bintang kecil. Pada saat itu Dewi Ular segera
menggunakan kesaktiannya yang bernama Darah Berhala
Murka, karena dia adalah keturunan dari Dewa
Murkajagat. Kesaktian milik kakeknya itu menurun
padanya dan digunakan hanya untuk menghancurkan
kekuatan gaib tingkat tinggi.
Kini tubuh naga bukan hijau lagi, tapi merah seperti
bara. Dalam keadaan begitu, naga tersebut meliuk-liuk
bagaikan menari di udara lepas, lalu tiba- tiba dari
mulutnya menyemburlah percikan cahaya merah yang
sangat banyak dan tertuju pada pusat gumpalan awan
sejuk. Woooossssszzzz...!!
Blegaaaarrrrr....!
Luar biasa besarnya dentuman dahsyat yang terjadi
saat itu. Awan jingga segera berubah menjadi abu-abu,
makin lama makin gelap. Langit bergetar bagaikan mau
runtuh. Mereka yang ada di bumi melihat perubahan awan
jingga menjadi hitam sebagai tontonan yang mengagumkan. 
Tentu saja mereka tidak tahu bahwa
mereka baru saja diselamatkan dari ancaman kepunahan. 
Mereka bahkan bertepuk tangan dan
tertawa-tawa menyaksikan perubahan cuaca yang cukup
drastis itu. Karena, setelah awan menjadi hitam, lambat
laun berubah menjadi putih dan langit menjadi terang
kembali . "Asyiiik, nggak jadi kiamat! Kiamat dibatalkan!"
"Horeee..., kita masih dapat hidup lebih lama lagi..!"
Orang-orang yang bersorak girang itu adalah mereka
yang berada di rumah Opa. Mereka senang sekali melihat
langit cerah kembali. Tanda-tanda kiamat sudah.tersingkirkan, 
berarti mereka punya harapan untuk
hidup lebih lama lagi. Hampir semua yang menjadi
pengikut Opa merasa lega. Hanya Opa sendiri yang
bersungut-sungut
memendam kejengkelan dalam hatinya. Sepeitinya ia tak 
rela kiamat tak jadi datang.
"Kiamat nggak jadi datang kan, Opa?"
"Bukan nggak jadi datang, tapi tertunda!" sentak Opa
dengan kesal. Lalu, dengan caranya sendiri Opa
meyakinkan beberapa orang yang sudah terlanjur
mempercayainya, untuk membuat mereka yakin bahwa
kiamat akan datang dan saat ini sedang tertunda. Opa
juga mengatakan akan ada tanda-tanda kedua yang bisa
dijadikan isyarat akan kedatangan kiamat nanti.
"Sebentar lagi akan ada tanda-tanda kedua. Kalian
bisa lihat sendiri nanti."
"Kapan tanda-tanda itu akan muncul, Opa?"
"Tidak sampai satu minggu."
"Kalau ternyata tidak ada tanda-tanda bagaimana?"
"Kamu percaya nggak sama omongariku"! Kamu mau
selamat nggak"!" bentak Opa lagi dengan nada kesal.
Mata cekungnya menatap seakan menembus ke jantung
orang itu. Jantung orang itu menjadi berdetak cepat dan
cepat sekali hingga dia terengah-engah. Ia pun pergi
menghindari tatapan mata Opa sambil memegangi
dadanya. Pada saat itu dadanya terasa sesak dan panas.
Entah mengapa. "Dadaku kok jadi kayak gini, ya?" ia mengadu pada
seorang teman: "Kebanyakan merokok kali luh."
"Ah, nggak juga. Biasanya...," orang itu tak mampu
melanjutkan kata-katanya. Ia tersedak, batuk satu kali,
lalu muntah. "Hoeeek...!"
"Hahh..."!" temannya terbelalak kaget karena yang
dimuntahkan orang itu adalah darah hitam. Darah busuk
dan kotor. Orang itu muntah terus tiada henti- hentinya,
sampai akhimya ia terkulai, lalu meregang nyawa. Tak
bernapas lagi. "Kenapa dia tadi?" bisik teman yang lain.
"Nggak tahu."
"Kan tadi ngomong ama elu?"
"Iya sih,tapi..."
"Ngomong apa dia?"
"Dia habis debat sama Opa, menyangsikan ramalan
Opa, lalu dia dipandang Opa, dadanya terasa panas
dan... dan... tahu-tahu dia batuk, lalu muntah. Muntah
darah. Terus mati."
"Wah, gawat..."!"
Orang itu cemas dan melirik ke arah Opa yang ada di
ruang dalam. Matanya menampakkan rasa curiga dan
kecemasan yang mendalam. Yang lain juga demikian.
Tapi ada pula yang menyalahkan si korban. Pro-kontra
tentang Opa mulai bermunculan di antara orang-orang
yang semula mempercayai ramalan Opa dan bersedia
menjadi pengikutnya demi keselamatan jiwanya saat
kiamat tiba nanti. Pro-kontra itu telah membuat keruh
suasana karena menyebar sampai ke mana-mana,
didengar oleh orang yang tidak menjadi pengikut Opa.
Bahkan sampai juga di telinga Niko Madawi.
"Hallo... Sandhi, ya?" sapa Niko lewat HP-nya.
"Ya, kenapa" Ada apa, Nik?"
"Aku mau ngomong sama Kumala."
"Kumala lagi ada pembicaraan penting sama tamu,
mereka di pendapa. Ada apa" Ada pesan yang bisa
kusampaikan, Nik?"
"Tentang Opa."
"Hmm, orang yang pernah kamu ceritakan itu" Ada
apa dengan dia?"
"Ada keanehan lagi pada dirinya."
"Dia kecewa karena kiamat nggak jadi datang,
begitu?" "Pokok masalahnya kayaknya sih soal itu, tapi...
dampaknya cukup menyedihkan pada diri beberapa
orang yang percaya padanya."
"Para pengikutnya, maksudmu?"
"He, eh...! Ada tiga orang yang tewas gara-gara
kejengkelan Opa atas tertundanya kiamat. Ah, sebaiknya
aku ke situ aja deh..."
?"Iya, Nik... Bagusan lu ke sini aja, biar bisa bicara
langsung sama Kumala, dan aku bisa jelas mendengarnya."
Selesai bicara dengan Niko, Sandhi meletakkan
gagang telepon sambil diam tertegun. Ia merenungi
kata-kata Niko. Menurutnya, jika benar ada pengikut Opa
yang tewas akibat kekecewaan Opa atas tertundanya
kiamat, maka jelas sudah bahwa Opa bukan orang pintar
beraliran putih. Jelas bahwa Opa lebih menghendaki
kiamat tiba daripada tertunda.
"Jangan-jangan dia sendiri yang menciptakan tandatanda kiamat?" 
pikir Sandhi masih tetap termenung
melamun di depan meja telepon.
Kumala duduk bersila di pendapa. Rambutnya yang
panjang digulung naik asal-asalan, mengenakan jepit
rambut warna hijau dari bahan viber berbentuk seekor
naga. Sisa rambutnya yang berjuntai di leher dan pundak
membuat ia semakin tambah cantik dan mempesona.
Bibirnya yang selalu tampak ranum dan basah sesekali
tersenyum, mendebarkan hati lawan jenisnya yang
memandang. Ia mengenakan blus potongan tank-top dan
celana jenis kulot ketat. Aroma wangi khas bunga
cendanagiri dari Kahyangan menyebar ke mana- mana.
Aroma wangi itu keluar dari tiap pori-pori tubuhnya yang
halus dan lembut selembut kulit bayi.
Meski pun ia sering tersenyum ramah dan mempesona
tapi ia tetap kelihatan anggun dan berkharisma. Ia
tampak seperti gadis terhormat dan disegani oleh lawan
jenis yang punya hobby iseng. Kumala Dewi bicara
dengan nada lembut, tapi memiliki aksentuasi yang
cukup tegas, berwibawa.
"Sudah berapa lama menjalin hubungan dengan
Ringgo " "Antara.... tiga bulan. Dan, kami sudah terlalu jauh
melangkah. Artinya, sudah seperti suami-istri layaknya,
Kumala" "Tinggal serumah?"
"Kadang ya, kadang dia pulang ke tempat kostnya,
atau aku yang datang ke tempat kostnya. Karena itulah,
aku merasa sangat kehilangan atas kepergiannya,
Kumala. Dia terpengaruh kata-kata mantan pacarnya
yang bemama Sisca itu, sehingga tega meninggalkan aku
untuk bergabung dengan kelompok Umat Pilihan."
"Bisa dijelaskan, siapa yang dimaksud Umat Pilihan itu,
Tante?" "Menurutnya, Umat Pilihan adalah sekelompok
manusia yang akan selamat dan dijamin akan hidup
abadi pada saat kiamat datang nanti."
"Hmmm, itu...," Kumala Dewi manggut-manggut,
agaknya sekarang ia mulai paham apa yang dimaksud
dalam kasusnya sang tamu itu.
Ringgo adalah mahasiswa semester akhir yang
berperawakan tegap, gagah dan memiliki ketampanan
yang lumayan. Meski tak memiliki cambang dan kumis,
namun Ringgo memiliki sorot sepasang mata yang penuh
keromantisan. Sikapnya yang ramah dan supel membuat
Tante Firda tertarik ketika mereka jumpa pada suatu
seminar beberapa waktu yang lalu.
Tante Firda sering merasa tergoda oleh lirikan mata
Ringgo yang mendebarkan hati, sehingga sebagai janda
yang sudah lima tahun ditinggal mati suami itu Tante
Firda merasa perlu untuk melakukan pendekatan. Bahkan
hasratnya sering meletup-letup setiap kali ia bicara
dengan Ringgo. Maka, pada suatu malam, pemuda
berambut ikal rapi itu diundang datang ke rumah dengan
alasan membicarakan rencana usaha baru di bidang
periklanan. Malam itu adalah malam yang ditunggu-tunggu oleh
Tante Firda. Wanita berperawakan tinggi, sekal dan
bertampang indo itu sudah mulai berdebar-debar
sebelum petang tiba, karena ia melihat langit mendung,
hujan akan turun. Itulah sebabnya ia berusaha
membujuk Ringgo melalui teleponnya agar segera datang
ke rumahnya. Kedua anaknya sedang bermalam di
rumah nenek, tinggal ia sendiri dan seorang pelayan
yang masih berusia muda. Meski pun Tante Firda sudah
berusia 39 tahun, namun ia masih memiliki kecantikan
dan keelokan tubuh yang menggiurkan bagi kaum lelaki .
Maka, ketika Ringgo datang ke rumah itu sekitar pukul
tujuh lewat, hatinya pun merasa gundah lantaran Tante
Firda mengenakan gaun yang menggoda iman.
Perempuan berambut sebahu itu mengenakan gaun ketat
badan yang hanya sebatas paha, tak sampai menutup
lututnya. Gaun itu tak berlengan, sehingga nyaris sebagian
besar kulit tubuhnya yang putih montok itu terlihat jelas
di mata Ringgo. Apalagi sikap duduknya sesekali tampak
seronok, membuat Ringgo berusaha menahan diri untuk
tidak kentara sering melirik ke arah yang menggiurkan
itu. "Aku butuh seorang accounting untuk menangani
periklanan ini. Dan, aku harapkan kamu bisa menangani
nya, Ringgo."
"Kalau Tante percaya dengan saya, saya sanggup
menanganinya, asalkan...," Ringgo berhenti bicara,
memandang ke arah luar.
"Wah, hujan..."!" gumamnya pelan. Hujan memang
turun agak deras.
"Ah, cuek ajalah... cuma hujan ini, kan nggak gempa
bumi...," canda Tante Firda sambil tersenyum, hatinya
semakin girang karena cuaca inilah yang memang ia
harapkan di saat Ringgo ada di rumahnya. Kegirangan
Tante Firda bertambah setelah hujan menjadi sangat
deras. Pintu ruang tamu terpaksa ditutup karena
menghindari hembusan angin yang akan membawa
masuk butiran hujan. Pembicaraan masalah bisnis
dilanjutkan sebagai kamuflase belaka.
"Sudah pukul sepuluh, Tante..."
"Memangnya kenapa kalau pukul sepuluh" Pukul dua
belas pun nggak masalah. Kamu nggak usah khawatir
apa-apa selama di sini. Ditanggung aman dan nyaman
kok, hiii, hii..."
"Aman dan nyaman bagaimana?" senyum Ringgo
terkesan malu-malu.
"Yaah, aman. Nggak akan ada yang mengganggu
keasyikan kita berdua. Itu kalau kita asyik lho. Nyaman,
artinya...yaah, enjoy aja. Nggak akan ada yang mengusik
keindahan kita berdua. Itu juga kalo kita bisa menikmati
keindahan berdua lho..."
Tendensius sekali kata-katanya, pikir Ringgo. Ia
semakin gelisah. Tante Firda pindah duduk di sofa
panjang, tepat di samping kanan Ringgo. Alasannya
menunjukkan berkas konsep keija yang telah dibuatnya
belum lama ini. Aroma wangi sensual tercium lembut
oleh Ringgo. Aroma sensual itu datang dari tubuh
mulusnya Tante Firda.
"Mau tambah minum, Ring" Kopi, mau?"
"Hmmm... nggak usahdeh," Ringgo kikuk.
"Nggak apa kok, biar aku bikinin kopi ya" Pelayanku
jam segini udah tidur, jadi aku suka bikin kopi sendiri "
Ketika Tante Firda mau berdiri, secara refleks Ringgo
mencekal tangan Tante Firda.
"Nggak usah repot-repot, Tante. Minuman ini aja
masih ada kok Belmn habis, dan... dan..."
Ringgo semakin salah tingkah karena mata Tante Firda
melirik pada pergelangan tangannya yang dipegang
Ringgo. Buru-buru Ringgo melepaskannya. Tapi Tante
Firda justru semakin menantang sikapnya. Ia duduk
kembali dengan lebih merapatkan diri pada Ringgo.
"Kenapa genggamanmu kau lepaskan" Pegang lagi
aja. Nggak apa-apa kok. Aku malah senang."
"Maaf, Tante..."
"Nggak apa-apa. Kamu boleh pegang aku di hagian
mana saja."
"Di bagian mana saja" Wah, nanti..."
"Nanti kita pindah ke kamar saja, bagaimana?"
Ringgo tersipu-sipu tak bisa memberi jawaban. Hati
Tante Firda semakin berdebar-debar.
"Aku yakin dia mau," ujarnya dalam hati. "Aku yakin dia nggak 
akan menolak. Wajahnya merah, pertanda dia
malu tapi mau. Oooh... aku suka cowok yang kayak gini.
Dia pasti dapat memuaskan hasratku. Ooh, sudah lama
aku nggak bercinta, pasti nikmat bercumbu dengannya.
O, ya ampunn... celananya sudah menonjol"! Idiiih...
nakal juga yang ada di pangkuannya itu. Tapi dia sopan
dan nggak kurang ajar. Aku suka pria kayak dia..."
Malam semakin indah ketika topik pembicaraan
mereka sudah berganti, dari masalah bisnis menjadi
masalah erostis. Tante Firda suka sekali menggoda
Ringgo yang masih malu-malu, walau bukan berarti dia
masih peijaka tingting.
Trikk... klikk...!
Tante Firda mematikan lampu utama. Kini yang
menyala hanya lampu di sudut ruang tamu, yang
memakai kap berwarna cream. Suasana menjadi
remang-remang dan sepi. Hanya deru hujan yang
kedengaran samar- samar dari tempat mereka saling
duduk merapatkan diri.
"Kenapa lampunya diganti yang redup begini, Tante?"
"Biar kamu bebas memegangku, biar kamu nggak
malu kalau mau pegang aku. Pegang aja sekarang, gih..
! '' "Hmm, say... saya harus pegang bagian mana?"
"Terserah, sesuka kamu. Pegang ini juga boleh,"
sambil tangan Ringgo diraihnya lalu diletakkan ke
dadanya. Ringgo gemetar.
"Napasmu memburu...," bisik suara Tante Firda.
"Sa... saya..."
"Sentuh lebih ke bawah lagi... yaah, jangan takut,
Sayang... Aku suka..."
"Sungguh" Tante... Tante suka...?"
"Yaah... suka...," sambil bibirnya merekah dan pelanpelan mendekati 
bibir Ringgo. Matanya menjadi sayu
ketika tangan Ringgo benar-benar turun, menyelusup di
balik gaun di dadanya, lalu mendesis karena tangan
Ringgo menyentuh kehangatan yang membukit.
Ringgo tertantang, dan menjadi bersikap pantang
mundur. Bibir yang ada di depannya segera dikecup.
Dilumat dengan lembut bersama remasan tangan yang
lembut pula. Tante Firda membalas dengan lumatan
mengganas. Ia merasakan nikmat yang luar biasa,
sehingga dahinya berkerut lantaran tak mampu
mengerang. Lidah Ringgo menjadi sasaran lumatan
ganas itu. Ia enggan membawa pindah Ringgo ke kamar,
sehingga sofa pun mereka jadikan ajang kemesraan yang
paling indah menurutnya.
Sejak itu Tanle Firda sering menikmati kehangatan
yang melambungkan jiwanya ke puncak asmara. Ringgo
sering datang dan bermalam di rumahnya. Ringgo pandai
melambungkan jiwanya berkali-kali dalam satu malam,
sehingga Tante Firda sangat takut kehilangan pemuda
itu. Apapun yang diinginkan Ringgo selalu dipenuhi oleh
Tante Firda, termasuk materi. Janda kaya itu merasa
mampu menghidupi pasangan kencannya, sehingga
timbul ambisinya untuk memiliki Ringgo sepenuhnya.
"Lupakan pacar lamamu itu. Dia cuma menyengsarakan dirimu, bukan?"
"Aku sudah lupakan dia kok Cuma, dia aja yang sering
ngebel ke HP-ku padahal..."
"Ganti nomor HP-mu dengan yang baru dan jangan
berikan nomornya pada si gadis jalang itu! Besok
kubelikan kamu nomor baru."
Namun pada suatu hari, Ringgo mengaku mendapat
telepon dari Sisca, mantan pacarnya. Dia merasa tidak
memberikan nomor HP-nya kepada Sisca. Diduga Sisca
mendapatkan dari teman akrab Ringgo yang bernama
Weldy itu. Tante Firda sangat cemburu jika Ringgo
terima telepon dari Sisca, sehingga sempat nekat
merampas HP Ringgo ketika Ringgo ditelepon Sisca dan
Tante Firda bicara kasar pada Sisca.
"Hey, perek jalang! Jangan telepon Ringgo lagi, ya!
Dia sudah muak padamu! Dia sudah menjadi milikku! Lu
silakan cari mangsa lain dari tempat mangkal lu! Di mana
sih mangkal lu" Di Monas"!"
"Perempuan mesum! Gue nggak bakalan mundur lu
tantangin begitu! Lihat, sebentar lagi Ringgo akan tunduk
sama gue dan jijik ama lu!"
Balasan ketus Sisca ternyata terbukti. Ringgo menjadi
kurang hangat lagi terhadap Tante Firda. Jika diminta
untuk datang ke rumah, Ringgo selalu beralasan untuk
tidak bisa datang. Bahkan beberapa hari yang lalu Tante
Firda memergoki Sisca baru keluar meninggalkan tempat
kost Ringgo. Dan, ketika Tante Firda datang ke tempat
kost itu, Ringgo jadi uring-uringan tak jelas sebabnya.
Namun titik masalahnya adalah Ringgo tidak suka Tante
Firda datang ke tempat kostnya itu .
"Sorry, Tante... aku sudah nggak berani berbuat zinah
lagi. Sekarang kiamat sudah dekat, aku harus bertobat.
Aku mau menjadi Umat Pilihan saja! Biar aku bersama
Sisca, karena dialah yang akan membimbingku menjadi
Umat Pilihan. Aku akan bergabung dengan kelompoknya,
supaya bisa selamat pada saat kiamat datang nanti!"
Kata-kata itu menyakitkan hati Tante Firda. Yang lebih
menyakitkan lagi Ringgo diam-diam pindah tempat kost.
Tak jelas informasi yang didapat Tante Firda, di mana
Ringgo sekarang berada. Bahkan HP-nya sudah tidak
bisa dihubungi lagi. Tapi ada kabar kecil dari teman
kuliahnya, bahwa Ringgo sudah bergabung dengan
kelompok Umat Pilihan bersama Sisca. Umat Pilihan itu
meyakini akan datangnya hari kiamat pada bulan dan
tahun ini. Tante Firda kalang kabut. Ia yakin Ringgo telah
diguna-guna Sisca supaya tunduk dan mau menjadi
pengikut Umat Pilihan. Oleh karena itu, Tante Firda
menghubungi Kumala Pewi atas petunjuk rekannya yang
sudah lama mengenal Kumala. Tante Firda meminta
bantuan pada Kumala untuk mengembalikan jati diri
Ringgo, dan membuat Ringgo kembali padanya.
"Sebenarnya saya bukan dukun ilmu pelet, Tante,"
kata Kumala saat menanggapi permohonan Tante Firda
dengan ramah dan lembut.
"Tetapi yang menarik bagi saya adalah adanya Umat
Pilihan. Yang merasa yakin betul kiamat akan datang di
bulan ini. Saya yakin, pasti ada dalang menyesatkan di
balik isu kelompok Umat Pilihan. Dalang itulah yang
membantu Sisca mempengaruhi jalan pikiran Ringgo.
Yang perlu dicegah bukan hanya tindakan Sisca, namun
lebih cenderung pada tindak pcnyesatan umat itu. Saya
sudah tahu siapa dalangnya."
"Kalau begitu, tolong lumpuhkan dia, supaya Ringgo
sadar dan kembali padaku, Kumala...." Tante Firda
memohon-mohon sekali .
Kumala hanya tersenyum kalem. Namun bukan berarti
menyanggupi keinginan tamunya. Ia hanya ingin
menenangkan tamunya.
KELOMPOK yang menamakan diri Umat Pilihan,
disinyalir sebagai sekte aliran sesat yang sedang
merekrut anggota sebanyak-banyaknya. Dugaan Sandhi
tidak salah, kelompok tersebut adalah para pengikutnya
lelaki tua yang akrab dipanggil Opa. Pria jangkung itulah
pimpinan mereka yang selalu meyakinkan tiap orang
bahwa sebentar lagi bumi akan hancur, kiamat akan tiba.
Mereka dihimbau untuk menjadi pengikutnya jika ingin
selamat dan hidup abadi pada saat kehancuran bumi
tiba.